Kritik Terhadap Karya

3.2 Kritik Terhadap Karya

Data memperlihatkan bahwa pada kurun waktu 1980—1997 esai atau artikel-artikel kritik berbahasa Indonesia yang menyoroti karya sastra Jawa modern jumlahnya relatif lebih banyak (bahkan dominan) jika dibandingkan dengan kritik terhadap pengarang. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa kesadaran terhadap pengertian “kritik sastra” adalah “kritik terhadap karya sastra” telah berkembang dengan baik; selain telah tumbuh kesadaran bahwa kritik sastra Jawa tidak hanya layak ditulis dalam bahasa Jawa dan dipublikasikan dalam media berbahasa Jawa, tetapi juga layak ditulis dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan dalam media-media berbahasa Indonesia.

Bukti menunjukkan pula bahwa objek sasaran yang disoroti oleh Bukti menunjukkan pula bahwa objek sasaran yang disoroti oleh

Dalam tulisan berjudul “Sastra Jawa pada Zaman Sebelum, Semasa, dan Sesudah Pendudukan Jepang” yang dimuat dalam buku Sosiologi Sastra Jawa (1997), misalnya, Suripan Sadi Hutomo menyo- roti sastra Jawa di sekitar zaman Jepang. Dalam artikel ini Hutomo mengawali pembicaraan dengan menyatakan bahwa sastra, pada hakikatnya, tidak dapat dilepaskan dari aspek dan dinamika lingkungan; dan dalam konteks Indonesia waktu itu terlihat pada persiapan Belanda dalam menghadapi Perang Dunia II. Kemudian, Hutomo menunjukkan fakta bahwa karya-karya pengarang Jawa pada kurun waktu itu seolah mengabaikan fakta lingkungannya. Misalnya, cerpen “Perang Tandhing” karya Pe Noek (Panjebar Semangat, 28 Februari 1942) yang tidak membayangkan situasi hangat masa itu sebagaimana dimuat dalam media massa baik berbahasa Belanda, Indonesia, maupun Inggris. Demi- kian juga dengan sejumlah cerpen lain yang temanya tidak menanggapi keadaan zaman, misalnya “Dayane Perayaan R.A. Kartini” karya Soen- Pas (Panjebar Semangat, 26 Juli 1941) dan “Paham Anyar” karya Zilvervos (Panjebar Semangat, 5 Juli 1941).

Kritik Hutomo di atas ditulis dengan landasan pendekatan sosio- logis dan objek sasarannya adalah karya-karya sastra yang terbit pada masa sebelum, semasa, dan sesudah zaman Jepang. Hal serupa dilakukan pula dalam tulisannya berjudul “Sastra Jawa Tionghoa” yang dimuat dalam buku yang sama. Dalam tulisan tersebut Hutomo menyatakan bahwa ketika membahas karya-karya sastra Jawa modern, ia menjumpai beberapa nama pengarang yang mirip dengan nama Tionghoa, seperti Tan Koen Swie, Tjak Iem, Li Am Si, Tan Put, Max Moe, dan Loem Min Noe. Nama-nama itulah yang mengingatkan dirinya pada khazanah sastra Indonesia sebelum kemerdekaan yang memang memiliki sejumlah Kritik Hutomo di atas ditulis dengan landasan pendekatan sosio- logis dan objek sasarannya adalah karya-karya sastra yang terbit pada masa sebelum, semasa, dan sesudah zaman Jepang. Hal serupa dilakukan pula dalam tulisannya berjudul “Sastra Jawa Tionghoa” yang dimuat dalam buku yang sama. Dalam tulisan tersebut Hutomo menyatakan bahwa ketika membahas karya-karya sastra Jawa modern, ia menjumpai beberapa nama pengarang yang mirip dengan nama Tionghoa, seperti Tan Koen Swie, Tjak Iem, Li Am Si, Tan Put, Max Moe, dan Loem Min Noe. Nama-nama itulah yang mengingatkan dirinya pada khazanah sastra Indonesia sebelum kemerdekaan yang memang memiliki sejumlah

Senada dengan tulisan Hutomo di atas, tulisan Ratna Indriani yang berjudul “Novel Tan Loen Tik lan Tan Loen Tjong: Sebuah Tinjauan Sosiologis terhadap Penokohan” (Widyaparwa, No. 27, 1985) juga menyoroti karya sastra Jawa secara sosiologis, seperti halnya tulisan Adi Triyono berjudul “Kesadaran Sosial dalam Geguritan Jawa 1988” (Widyaparwa, No. 38, 1992). Hanya saja, tulisan Indriani lebih terfokus pada bahasan dan kritik terhadap karya individual, bahkan hanya terbatas pada tokoh dan penokohan dalam novel Tan Loen Tik lan Tan Loen Tjong saja. Sementara itu, tulisan Triyono secara khusus membahas puisi Jawa yang dimuat dalam media massa berbahasa Jawa tahun 1988.

Hal serupa dilakukan pula oleh Jakob Sumarjo dalam artikelnya “Sastra Minoritas” yang dimuat dalam buku antologi esai berjudul Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (1991) hasil suntingan Prawoto. Dalam artikel tersebut Sumarjo menegaskan bahwa sebelum tahun 1920 di Indonesia telah berkembang sastra modern dari berbagai daerah. Bahkan, pada tahun 1870 telah muncul sejumlah buku sastra yang ditulis oleh kelompok Cina di Indonesia dalam bahasa Melayu rendah. Tahun 1914 muncul pula karya sastra Sunda modern yang pertama, yakni karya Daeng Kanduran. Sebelumnya, yaitu pada tahun 1912, telah terbit sebuah roman sejarah dari Jawa berjudul Rangsang Tuban karya Ki Padmasoesastro. Itu semua menjadi bukti bahwa sebelum karya sastra Indonesia modern pertama terbit (1920), sebenarnya telah terbit beberapa karya sastra daerah; sementara pada tahun 1930-an di Medan dan Sumatra Barat berkembang sastra picisan.

Menurut Sumarjo, hal tersebut membuktikan pula bahwa masya- rakat sangat membutuhkan bacaan, baik dalam bahasa daerah maupun Melayu, terutama bacaan sastra. Dalam hal ini, sastra Sunda dan Jawa diterbitkan oleh Balai Pustaka sehingga tidak mengalami masalah dalam hal penerbitan dan penyebar-luasannya. Sementara itu pembaca karya sastra berbahasa daerah diarahkan kepada rakyat golongan bawah, yaitu murid sekolah dasar, guru, dan lulusannya; sedangkan karya sastra Menurut Sumarjo, hal tersebut membuktikan pula bahwa masya- rakat sangat membutuhkan bacaan, baik dalam bahasa daerah maupun Melayu, terutama bacaan sastra. Dalam hal ini, sastra Sunda dan Jawa diterbitkan oleh Balai Pustaka sehingga tidak mengalami masalah dalam hal penerbitan dan penyebar-luasannya. Sementara itu pembaca karya sastra berbahasa daerah diarahkan kepada rakyat golongan bawah, yaitu murid sekolah dasar, guru, dan lulusannya; sedangkan karya sastra

Dalam sejarah perjalanan selanjutnya, kata Sumarjo, sastra Indo- nesia menunjukkan pengaruh yang semakin kuat, dan sebaliknya, sastra daerah menunjukkan keadaan berbalik, yaitu menjadi sastra minoritas walaupun dari segi budaya memiliki posisi yang kuat. Sastra Sunda, Jawa, dan sastra daerah lainnya yang masih eksis hingga saat ini diakui masih memiliki pembaca, tetapi sebagian besar adalah kelompok mene- ngah ke bawah. Kelompok elit amat jarang bersentuhan dengan sastra daerah ini. Hal ini menyebabkan produksi merosot tajam dan sastra daerah menjadi sastra minoritas. Hal yang sama juga terjadi pada sastra Melayu-Cina yang menggunakan medium bahasa Melayu rendah. Kelompok pembaca jenis sastra ini adalah kelompok menengah ke bawah sehingga tersisih oleh produk terbitan Balai Pustaka yang didukung oleh bahasa Melayu tinggi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tulisan-tulisan kritik yang menggunakan pendekatan struktural cukup dominan. Di antaranya adalah tulisan R.S. Subalidinata berjudul “Langkah-Langkah Pendekatan dalam Sebuah Sajak” (Bhadrawada, No. 5, 1981), tulisan Asia Padmo- puspita berjudul “Analisa Struktural Guritan Anie Soemarno” (Bhadra- wada , No. 5, 1981), “Analisis Struktural Serat Riyanto” (Widyaparwa, No. 18, 1981), dan “Arti Guritan Anie Soemarno” (Bha-drawada, No. 6, 1981), tulisan Endang Siti Saparinah “Sisi-Sisi Novel Penganten” (Bhadrawada, No. 6, 1981), tulisan Sri Widati “Novel Su-praba lan Suminten: Menentang Cara Berpikir Tradisional” (Widya-parwa, Nomor Khusus, 1988), dan masih banyak lagi. Dalam artikel-artikel ini, pada umumnya penulis (kritikus) menyoroti berbagai aspek struktur karya sastra seperti alur, tokoh, latar, gaya, suasana, dan sebagainya. Dilihat dari gaya penulisannya, terlihat jelas bahwa para penulisnya berasal dari kalangan akademik.

Sementara itu, kritik terhadap karya sastra Jawa modern yang menggunakan pendekatan semiotik tampak pada tulisan Dhanu Priyo Prabowa berjudul “Cerita Jagading Lelembut dalam Majalah Djaka Lodang: Sebuah Fenomena Pembaruan Fiksi dan Nonfiksi” (Widya- parwa , No. 38, 1992) dan “Konggres Kagunan Joged: Sebuah Refleksi Kebudayaan Indonesia di Awal Kemerdekaan” (Widyaparwa, No. 45, 1995). Kritik dengan pendekatan resepsi tampak dalam tulisan Imam

Budi Utomo berjudul “Tinjauan Resepsi Sastra Serat Riyanto” (Widya- parwa , No. 46, 1996). Sementara kritik dengan pendekatan intertekstual tampak dalam tulisan Dhanu Priyo Prabowa berjudul “Mitos Wayang dalam Penokohan Novel Penganten Karya Suryadi WS” (Widyaparwa, No. 37, 1991).

Berdasarkan penelusuran secara seksama dapat dikatakan bahwa karya-karya (esai, artikel) kritik yang sangat dominan pada periode ini adalah karya yang ditulis tanpa menunjukkan secara eksplisit pendekatan yang digunakan, walaupun sasaran atau objek kritiknya jelas menunjuk pada karya sastra. Karya-karya jenis ini sebagian besar dimuat dalam surat kabar, dan sebagian lagi dimuat dalam majalah-majalah umum seperti Kebudayaan, Basis, atau dari makalah pertemuan ilmiah yang kemudian dibukukan dalam bentuk buku. Kendati demikian, hal itu tidak berarti bahwa karya-karya kritik semacam itu tidak berbobot. Bahkan, sebagian di antara karya-karya jenis itu justru memiliki bobot yang lebih daripada karya-karya yang ditulis dalam majalah ilmiah. Sebagai contoh, misalnya, karya Tri Rahayu Prihatmi, Kuntowijoyo, Poer Adhie Prawoto, Ratna Indriani, Sri Widati, Ariel Heryanto, Faruk, Suparto Brata, Suripan Sadi Hutomo, Subagio Sastrowardoyo, Muhammad Ali, Kuntara Wiryamartana, Subagijo I.N., Arswendo Atmowiloto, dan sebagainya.

Dalam esai berjudul “Pembauran dalam Fiksi Jawa” yang dimuat dalam Widyaparwa (edisi khusus, 1988:190--202), misalnya, Ariel Heryanto secara kritis membahas tiga fiksi berbahasa Jawa, yaitu “Tembok” (Dyah Kushar), “Lien Nio Atimu Putih” (Retno Yudhawati), dan “Pembauran” (Pierre Moerlan). Setelah membahas masalah pem- bauran dalam ketiga karya tersebut, Ariel Heryanto menyimpulkan demikian:

Tulisan ini tak lebih daripada suatu kajian awal untuk mengetengahkan permasalahan yang belum mampu dijawab sendiri oleh penulisnya. Setidak-tidaknya, dengan memberi-kan konteks yang lebih luas dari ketiga karya yang dibahas di depan, kita dapat lebih menghargai karya-karya tersebut dengan pertim- bangan yang lebih luas daripada sekedar pertimbangan estetika. Sama halnya, tulisan ini tidak berkesempatan atau pun berke- mampuan menjawab pertanyaan: mengapa dalam ketiga karya yang dibahas di depan hubungan cinta antara pribumi dan Tulisan ini tak lebih daripada suatu kajian awal untuk mengetengahkan permasalahan yang belum mampu dijawab sendiri oleh penulisnya. Setidak-tidaknya, dengan memberi-kan konteks yang lebih luas dari ketiga karya yang dibahas di depan, kita dapat lebih menghargai karya-karya tersebut dengan pertim- bangan yang lebih luas daripada sekedar pertimbangan estetika. Sama halnya, tulisan ini tidak berkesempatan atau pun berke- mampuan menjawab pertanyaan: mengapa dalam ketiga karya yang dibahas di depan hubungan cinta antara pribumi dan

Kita menghadapi suatu pokok bahasan yang luas, dan yang hampir tak pernah tersentuh perhatian para ahli.

Kutipan di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa Ariel Heryanto bermaksud melakukan kritik atas karya sastra Jawa, di samping kritik kepada para kritikus atau para ahli, yang dalam hal pembauran, hanya dan hanya (selalu) menampilkan tokoh pria sebagai pribumi dan wanita sebagai nonpribumi. Secara implisit Ariel bertanya tentang ke- benarannya dan bertanya mengapa hanya itu yang berhasil digali oleh pengarang Jawa. Padahal, menurut Ariel, berbicara tentang tema pembauran dituntut untuk menghadapi persoalan yang amat luas.

Kritik serupa itu, yang juga tidak kalah kritisnya, dilakukan oleh Sri Widati dalam tulisannya “Novel Supraba lan Suminten Menentang Cara Berpikir Tradisional” yang dimuat dalam buku yang sama (Widya- parwa edisi khusus). Di akhir tulisan ini dikemukakan bahwa novel Jawa karya Kamsa ini memang kuat, terutama dalam hal perjuangan dan usaha menentang cara berpikir tradisional, tetapi bagi pembaca, novel ini terkesan sangat menggurui dan menganggap pembacanya amat bodoh dan perlu dididik. Jadi, secara implisit, Sri Widati ingin menunjukkan bahwa inilah (sifat menggurui itu) kelemahan novel terbitan Balai Pustaka tahun 1923 itu.

Sementara itu, dalam tulisan berjudul “Sastra Priyayi sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa” yang semula berupa makalah sarasehan di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta tahun 1988 dan kemudian dimuat dalam majalah Basis yang akhirnya dimuat lagi dalam buku antologi Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (1991) hasil suntingan Prawoto, Kuntowijoyo menjelaskan tentang karya-karya sastra (terutama fiksi) modern yang terbit pada awal abad ke-20 yang dikatakan memiliki visi yang khusus dan menyuarakan dinamika zamannya. Dalam tulisan ini dijelaskan mengapa pada awal abad ke-20 terbangun sejumlah karya sastra berbeda dari karya-karya tradisi yang dominan yang dilembagakan oleh para priayi. Dikatakannya bahwa sejak akhir abad ke-19 terjadi pergolakan yang menurunkan peranan bangsawan dan menaikkan peran Sementara itu, dalam tulisan berjudul “Sastra Priyayi sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa” yang semula berupa makalah sarasehan di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta tahun 1988 dan kemudian dimuat dalam majalah Basis yang akhirnya dimuat lagi dalam buku antologi Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (1991) hasil suntingan Prawoto, Kuntowijoyo menjelaskan tentang karya-karya sastra (terutama fiksi) modern yang terbit pada awal abad ke-20 yang dikatakan memiliki visi yang khusus dan menyuarakan dinamika zamannya. Dalam tulisan ini dijelaskan mengapa pada awal abad ke-20 terbangun sejumlah karya sastra berbeda dari karya-karya tradisi yang dominan yang dilembagakan oleh para priayi. Dikatakannya bahwa sejak akhir abad ke-19 terjadi pergolakan yang menurunkan peranan bangsawan dan menaikkan peran

Melalui karya jurnalistik berjudul Lampah-Lampahipun Mas Purwa Lelana (1865) karangan Tjandranegara (Adipati Demak) terbukti bahwa, menurut Kuntowijoyo, sastra priayi bukan lahir pertama kali di daerah Kajawen, tetapi di daerah Gubernemen yang berbentuk catatan mobilitas sosial yang terjadi di daerah Gubernemen, bukan di daerah Kajawen. Faktor pendidikan formal yang berkembang di kedua daerah pemerintahan itu memegang peranan penting dalam mobilitas sosial itu. Kehadiran anak-anak priayi dari luar Kejawen di tengah pendidikan formal Belanda mendorong kesadaran mereka untuk berbeda dari gene- rasi sebelumnya. Namun, pada kenyataannya, kata Kuntowijoyo, sastra priayi bukan terbit di daerah Gubernemen, tetapi di daerah Kajawen. Ia membuktikan hal itu dengan munculnya Serat Riyanto (1920) karya R.B. Soelardi.

Dikatakan lebih lanjut bahwa fakta tersebut tidak hanya didu- kung oleh penyebaran pendidikan formal, tetapi juga oleh kehadiran lembaga bahasa di Surakarta yang bernama Instituut voor de Javaansche Taal . Selanjutnya, di daerah Kajawen bermunculan fiksi yang memiliki ciri khusus, yang menurut Kuntowijoyo disebut “sastra priayi”. Jenis sastra ini, menurutnya, berbeda dengan jenis sastra lain seperti sastra keraton yang mencerminkan pola kehidupan keraton, dan sastra baru yang meng-gambarkan kehidupan masyarakat (kecil) pada umumnya. Dikatakannya pula bahwa sebenarnya sastra priayi muncul ketika Ki Padmosoesastro dengan tegar mengubah nama dirinya dari Raden Ngabei Kartipradata menjadi Ki Padmosoesastra. Saat itu ia mengu- mumkan dirinya menjadi wong mardika ‘orang merdeka’. Ciri-ciri karya sastra priayi yang mencolok ialah menggambarkan kehidupan para priayi yang menolak tradisi kehidupan bangsawan keraton. Tema-tema dasar novel priayi terpusat pada penolakan kepada ma-lima dan tradisi gugon tuhon serta menggalakkan ilmu pengetahuan melalui bidang pendidikan formal untuk mendorong mobilitas sosial.

Dalam artikel tersebut Kuntowijoyo juga membicarakan buku- buku sastra karya priayi yang mendorong perubahan sikap hidup, di antaranya Serat Pamoring Jaler Estri (1905), Bab Alaki Rabi: Wayuh kaliyan Mboten (1912), dan Serat Subasita (1914). Sejumlah novel yang menggambarkan kehidupan para priayi, menurut Kuntowijoyo, antara Dalam artikel tersebut Kuntowijoyo juga membicarakan buku- buku sastra karya priayi yang mendorong perubahan sikap hidup, di antaranya Serat Pamoring Jaler Estri (1905), Bab Alaki Rabi: Wayuh kaliyan Mboten (1912), dan Serat Subasita (1914). Sejumlah novel yang menggambarkan kehidupan para priayi, menurut Kuntowijoyo, antara

Sementara itu, dalam kritiknya yang berjudul “Sastra Jawa Modern Mengalami Kemandhegan” (Surabaya Post, 21 Juli 1989), Ratna Indriani menyatakan dengan tegas bahwa sastra Jawa saat ini mengalami stagnasi dalam hal kreativitas. Pernyataan ini dibuktikan melalui penelitian terhadap 80 cerpen yang dimuat dalam majalah ber- bahasa Jawa Mekar Sari dan Djaka Lodhang di Yogyakarta sepanjang tahun 1980-an. Menurutnya, sastra Jawa mengalami stagnasi karena (1) cerita didominasi oleh tema percintaan walaupun ada beberapa yang bertema pendidikan dan dekadensi sosial, (2) masalah ketidaksetiaan (salah satu di antara dua tokoh dan wanita yang ditekankan untuk selalu setia dan tabah) tetap menjadi inti permasalahan. Akhirnya, Ratna Indriani membuat suatu simpulan bahwa secara kuantitas sastra Jawa berkembang, tetapi secara kualitas tak ada perkembangan. Kritik Ratna Indriani ini kemudian disanggah oleh Agung Pranoto, seorang dosen SPBS IKIP Surabaya, dalam tulisannya “Sastra Jawa Tidak Mandheg” (Surabaya Post, 28 Juli 1989). Dalam tanggapan itu dikatakan olehnya bahwa sastra Jawa tidak akan mengalami stagnasi.

Senada dengan tanggapan Agung Pranoto di atas adalah tulisan Arswendo Atmowiloto yang berjudul “Sastra Jawa: Kekuatan Sukma, Bukan Raga”. Dalam tulisan yang semula dimuat Kompas kemudian diantologikan oleh Prawoto dalam buku Keterlibatan Sastra Jawa Modern (1991), Arswendo Atmowiloto menegaskan bahwa sastra Jawa bukanlah sastra dalam bentuk wadag atau konkret karena ada juga yang berbentuk abstrak, yaitu yang terwujud dalam sikap-sikap budaya. Hal tersebut dibuktikannya dengan menunjukkan bahwa di Jawa, tembang, dagelan lisan, tembang-tembang gedhe dan kawi yang diatur atau mengikuti tata krama bahasa Sansekerta masih sangat kuat.

Memang benar bahwa, menurut Arswendo, semua milik masya- rakat itu kini telah terhapus oleh musik Melayu dan Rock. Bahkan, Sultan sebagai raja yang seharusnya memelihara keutuhan budaya Jawa sudah menggunakan bahasa persatuan sebagai sarana komunikasi. Sementara bahasa daerah yang memiliki stratifikasi yang beragam itu seringkali tersisih dari percaturan, tersisih oleh arus demokrasi. Bahkan, bahasa daerah pesisiran sering hanya difungsikan sebagai media humor. Oleh sebab itu, sastra Jawa dapat dikatakan tidak memiliki sisa-sisa apa Memang benar bahwa, menurut Arswendo, semua milik masya- rakat itu kini telah terhapus oleh musik Melayu dan Rock. Bahkan, Sultan sebagai raja yang seharusnya memelihara keutuhan budaya Jawa sudah menggunakan bahasa persatuan sebagai sarana komunikasi. Sementara bahasa daerah yang memiliki stratifikasi yang beragam itu seringkali tersisih dari percaturan, tersisih oleh arus demokrasi. Bahkan, bahasa daerah pesisiran sering hanya difungsikan sebagai media humor. Oleh sebab itu, sastra Jawa dapat dikatakan tidak memiliki sisa-sisa apa

Kendati demikian, menurut Arswendo, serat-serat budaya Jawa masih tampak kuat dalam masyarakat, misalnya dalam bentuk-bentuk ungkapan: mendhem jero, mikul dhuwur; rumangsa bisa, nanging ora bisa rumangsa; menang tanpa ngasorake, rai gedhek, dan sebagainya. Semua itu masih menjadi peribahasa yang hidup dalam lingkungan masyarakat, misalnya dalam pembinaan mental keluarga, dalam menjaga hubungan antara sesama manusia, untuk menghormati orang lain, dan sebagainya. Ajaran-ajaran seperti itulah yang dikatakan sastra Jawa tidak bersifat ragawi, tetapi bersifat sukmawi atau spiritual. Bagi Arswendo, meski tidak ada lagi bentuk ragawi sastra Jawa, sukma sastra Jawa masih sangat kuat, yakni dalam spiritualnya. Sekali lagi ditegaskan bahwa sastra Jawa bukan hanya raga, tetapi juga memiliki sukma, sehingga selama orang Jawa masih ada roh sastra Jawa akan menjelma terus, tidak selalu dalam bentuk, tetapi dalam sukma.

Artikel berjudul “Bahasa dan Sastra Jawa dalam Arus Modern- isasi” karya Siman Widyatmanta yang dimuat dalam buku Pusaran Bahasa dan Sastra Jawa (1993:23-35) masih berbicara tentang keber- adaan sastra Jawa seperti yang telah diungkapkan Arswendo di atas. Dalam artikel ini Widyatmanta menunjukkan keberadaan karya sastra Jawa di tengah arus modernisasi yang tidak dapat dibendung. Karena sastra Jawa hidup di tengah masyarakat yang jumlahnya sangat besar, diasumsikan bahwa sastra Jawa tidak akan punah. Bahkan dapat dikatakan arus modernisasi yang terus bergulir itu justru akan mem- berikan warna baru bagi sastra Jawa. Hal itu terbukti karya sastra Jawa berkembang dengan tema dan gaya penulisan yang beragam. Kendati demikian, menurut Siman, bagaimana pun derasnya arus modernisasi, sastra Jawa sebaiknya harus tetap ditulis dengan landasan kebudayaan Jawa.

Persoalan “ketegangan” yang terjadi antara karya sastra Jawa dan karya sastra Indonesia dibicarakan oleh I. Kuntara Wiryamartana dalam tulisan berjudul “Sastra Jawa Modern dalam Jaringan Tegangan- Tegangan” yang dimuat dalam buku antologi Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (1991) hasil suntingan Prawoto. Seorang dosen dan pengamat sastra dari Fakultas Sastra UGM ini mengetengahkan bahwa ada “tegangan” antara karya sastra Jawa modern dan sastra Indonesia, Persoalan “ketegangan” yang terjadi antara karya sastra Jawa dan karya sastra Indonesia dibicarakan oleh I. Kuntara Wiryamartana dalam tulisan berjudul “Sastra Jawa Modern dalam Jaringan Tegangan- Tegangan” yang dimuat dalam buku antologi Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (1991) hasil suntingan Prawoto. Seorang dosen dan pengamat sastra dari Fakultas Sastra UGM ini mengetengahkan bahwa ada “tegangan” antara karya sastra Jawa modern dan sastra Indonesia,

Dikatakan lebih lanjut bahwa dunia sastra Indonesia mening- galkan sastra dunia Melayu sejak Chairil Anwar, bahkan Chairil tidak hanya menyatakan dirinya sebagai warga sastra nasional, tetapi juga menjadi warga sastra dunia. Pada sisi yang lain, sastra Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari sastra tradisinya, yaitu sastra Melayu. Begitu pula halnya dengan sastra Jawa modern, yang sejak akhir abad ke-20 mencoba mengubah bentuk aslinya ke arah bentuk Barat, yang baru pada tahun 1920 menemukan bentuk naratif modern yang terlihat dalam Serat Riyanto . Seperti halnya dalam sajak-sajak Chairil, sastra Jawa modern pun tidak mungkin dapat melepaskan diri dari pengaruh sastra klasik.

Sementara itu, masalah pornografi dalam karya-karya sastra Jawa dikupas oleh Subagijo I.N. dalam tulisannya “Porno dalam Sastra Jawa” yang dimuat dalam buku Wawasan Sastra Jawa Modern (1993) susunan Prawoto. Tulisan ini menanggapi lontaran banyak pihak yang mengatakan bahwa cerpen berjudul “Crita saka Dhaerah Kana” (Jaya Baya, 15 Maret 1970) karya Suparto Brata adalah cerpen porno. Menurut Subagijo, sebenarnya cerpen tersebut sangat sederhana walaupun menceritakan pengalaman seorang pelacur di sebuah warung. Namun, karena cara ungkap dan kosa kata yang digunakan seolah sama dengan yang biasa digunakan di “daerah sana” (derah pelacuran), cerpen itu pun dengan cepat membawa imajinasi pembaca ke dunia realita pelacuran. Apalagi hal itu didukung ilustrasi gambar pria duduk dekat wanita yang sedang tiduran di balai-balai kamar. Gambar wanita itu mengingatkan pada ilustrasi iklan di surat kabar yang sangat naturalis. Kendati demikian, menurut Soebagijo, apa yang ditulis Suparto Brata itu belum senaturalis karya Motinggo Busje atau Asbari Nur Patria Krishna, sehingga, mestinya, tidak perlu terjadi penangkapan imaji yang berbeda. Namun, menurut Soebagijo, hal-hal yang erotis seperti itu tidak perlu diungkapkan apa adanya, tetapi cukup dengan simbol-simbol saja. Sebab, adegan yang romantis akan dianggap porno apabila diungkapkan dengan apa adanya (terbuka) walaupun secara rasio hal itu benar.

Dalam tulisan berjudul “Roman Detektif Berbahasa Jawa” yang dimuat dalam buku Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (Prawoto, 1991), Suparto Brata membahas roman detektif dalam sastra Jawa modern. Ia mengawali tulisannya dengan menyatakan bahwa menurut- nya, belum ada seorang pun pengarang Jawa yang mendahului menulis jenis fiksi detektif ini. Menurutnya, cerita detektif adalah cerita mengenai kejahatan dengan pusat pembahasan pada perunutan kejahatan. Dengan demikian, cerita detektif termasuk salah satu di antara jenis-jenis roman kejahatan. Dalam kaitan dengan definisinya itu Suparto Brata tidak membatasi objeknya pada karya-karya detektif saja, tetapi meliputi semua roman detektif dalam sastra Jawa. Dikatakannya bahwa dia juga belajar dari beberapa roman detektif yang ditulis oleh pengarang sebelumnya, baik pengarang pribumi maupun nonpribumi, seperti roman Ni Wungkuk ing Bendha Growong (Jasa-widagdo), Tri Jaka Mulya, Kembang Kapas, Kepala Kecu, Gambar Mbabar Wewados , bahkan juga roman terjemahan dari Turki berjudul Topeng Mas.

Pada masa kemerdekaan pun Suparto Brata membaca roman kejahatan Grombolan Gagak Mataram dan Grombolan Mliwis Putih. Selain itu, ia membaca roman detektif Anjing Setan dan Hilang Tak Tentu Rimbanya karya A. Conan Doyle yang terkenal dengan detektifnya Sherlock Holmes, juga karya-karya Agatha Christy dan David Brown. Dari pembacaannya yang luas itu ia menarik simpulan bahwa roman detektif Jawa terlalu sederhana dalam teknik penggarapannya. Itulah sebabnya, dia menekuni jenis fiksi yang spesifik itu, mempelajari ciri dasarnya, dan menciptakan trade mark sendiri bagi karya-karyanya yang berbeda dari roman detektif Jawa sebelumnya.

Sementara itu, Suripan Sadi Hutomo, dalam artikel “Sastra Jawa Dewasa Ini: Tema Pembauran dan Pembauran Bangsa” yang dimuat dalam Problematik Sastra Jawa (1988:31—48), membahas situasi sastra Jawa di tengah dinamika bermacam etnis yang ada di negeri ini. Masing- masing etnis, katanya, memiliki tradisi yang berbeda-beda yang terbawa dalam setiap kegiatan dan perilaku masyarakatnya. Keadaan ini tentu akan mempengaruhi sastra Jawa karena pengarang Jawa tidak akan selalu dapat mengisolasi diri dari dinamika di sekelilingnya. Hal itu terlihat dari berbagai tema yang digunakan pengarang Jawa. Menurut Hutomo, dalam cerbung karya Suharmono Kasiyun yang dimuat dalam Panyebar Semangat (1987) berjudul “Asmaradana”, misalnya, digam- barkan percintaan beda etnis, yaitu antara wanita Cina (Palupi/Swan Me) Sementara itu, Suripan Sadi Hutomo, dalam artikel “Sastra Jawa Dewasa Ini: Tema Pembauran dan Pembauran Bangsa” yang dimuat dalam Problematik Sastra Jawa (1988:31—48), membahas situasi sastra Jawa di tengah dinamika bermacam etnis yang ada di negeri ini. Masing- masing etnis, katanya, memiliki tradisi yang berbeda-beda yang terbawa dalam setiap kegiatan dan perilaku masyarakatnya. Keadaan ini tentu akan mempengaruhi sastra Jawa karena pengarang Jawa tidak akan selalu dapat mengisolasi diri dari dinamika di sekelilingnya. Hal itu terlihat dari berbagai tema yang digunakan pengarang Jawa. Menurut Hutomo, dalam cerbung karya Suharmono Kasiyun yang dimuat dalam Panyebar Semangat (1987) berjudul “Asmaradana”, misalnya, digam- barkan percintaan beda etnis, yaitu antara wanita Cina (Palupi/Swan Me)

Suatu ketika Suripan Sadi Hutomo pernah menyatakan bahwa karya sastra Jawa modern sebenarnya adalah karya sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Jawa. Pernyataan inilah yang kemudian menarik perhatian Muhammad Ali sehingga ia menulis artikel berjudul “Sastra Jawa Modern, Masihkah Diperlukan?”. Lewat tulisan yang kemudian dimuat dalam buku Keterlibartan Sosial Sastra Jawa Modern (1991) susunan Prawoto tersebut, Muhammad Ali menegaskan bahwa andaikan pendapat Hutomo itu benar dan usaha pengembangannya tidak dengan ambisi untuk menegakkan subkultur di tengah merebaknya wawasan kebudayaan nasional seperti yang kini tengah digalang bersama, maka pertanyaannya adalah masihkah sastra Jawa modern diperlukan? Lebih- lebih, jika diingat bahwa tak ada jaminan bagi pengembangan dan peningkatannya meskipun dana dan tenaga tersedia melimpah.

Ada dua fakta empirik yang dirasa menjadi penyebab mengapa Hutomo melontarkan pernyataan tersebut, yaitu (1) bahasa daerah sudah tidak lagi diajarkan di sekolah karena bahasa nasional adalah bahasa Indonesia, dan (2) sebagian besar intelektual Jawa (penulis dan sastra- wan) menulis dalam bahasa Indonesia dengan menyerap atmosfer Jawa. Fakta kedua itu terlihat jelas dalam karya-karya pengarang Indonesia dari etnis Jawa --seperti Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Linus Suryadi Ag., Sapardi Djoko Damono, Gunawan Mohammad-- yang antara lain menggemakan pola penghayatan yang serba kejawen. Namun, dikata- kannya bahwa sastra Jawa modern masih perlu dipelihara dan dikem- bangkan, demikian juga sastra daerah-daerah lainnya. Kasus yang terjadi dalam sastra Jawa, dikatakannya sama dengan kasus sastra di Eropa yang masing-masing menggunakan bahasa etnis serta mendukung warna dan ciri daerahnya.

Secara tidak langsung, Subagio Sastrowardoyo juga turut me- nanggapi persoalan Jawa-Indonesia seperti yang telah dibahas Suripan Sadi Hutomo dan Muhammad Ali sebagaimana diuraikan di atas. Dalam tulisannya berjudul “Jagat Jawa Sebaiknya Ditulis dalam Bahasa Jawa” yang dimuat dalam buku Kongres Bahasa Jawa I (1991) di Semarang itu, Subagio dengan tegas menyatakan, memang benar banyak pengarang Secara tidak langsung, Subagio Sastrowardoyo juga turut me- nanggapi persoalan Jawa-Indonesia seperti yang telah dibahas Suripan Sadi Hutomo dan Muhammad Ali sebagaimana diuraikan di atas. Dalam tulisannya berjudul “Jagat Jawa Sebaiknya Ditulis dalam Bahasa Jawa” yang dimuat dalam buku Kongres Bahasa Jawa I (1991) di Semarang itu, Subagio dengan tegas menyatakan, memang benar banyak pengarang

Subagio Sastrowardojo berpendapat bahwa hanya di tangan sastrawan yang benar-benar menguasai seluk-beluk kebahasaan sehari- hari-lah, salah satu di antaranya bahasa daerah, ia akan mampu menulis dengan baik. Begitu juga dengan pengarang Jawa yang memiliki bahasa daerah yang mengakar. Seharusnya, pengarang sastra Jawa “tergila-gila” mempelajari bahasa Jawa agar mampu menciptakan karya yang bagus. Baginya, pengarang Jawa tidak boleh mayuh (mendua) sebab kalau hal itu terjadi, ia akan mengalami kendala yang besar, yaitu masalah pengu- asaan kosa kata dan rasa bahasa, serta penguasaan aspek-aspek kultur lainnya.

Berkenaan dengan hal tersebut, Subagio kemudian menekankan agar “jagat (karya) sastra Jawa” mestinya (dan harusnya) ditulis dalam bahasa Jawa, bukan dalam bahasa lain, agar seluruh esensi kulturalnya terbangun secara lebih utuh. Sebab, katanya, kosa kata setiap bahasa itu memiliki keterkaitan dengan pola pikir dan pola budaya masing-masing yang eksklusif. Misalnya, bahasa Jawa adalah bahasa perasaan yang memerlukan kecermatan kultural dalam pemilihan dan penempatannya dalam tutur. Dalam kaitan ini, Subagio menunjukkan bukti tentang keterbatasan kosa kata yang bernuansa daerah seperti yang dialami oleh beberapa pengarang Indo-nesia seperti Umar Kayam, N.H. Dini, Satyagraha Hoerip, Mangunwijaya, Linus Suryadi Ag., dan sebagainya. Dalam karya-karya mereka banyak tersisipkan kata-kata Jawa karena kata-kata itu tidak atau sulit ditemukan dalam khazanah bahasa Indonesia. Seharusnya, karya-karya seperti Burung-burung Manyar, Sri Sumarah dan Bawuk, Hati yang Damai, Sesudah Bersih Desa, dan atau Pengakuan Pariyem itu ditulis dalam bahasa Jawa karena karya-karya itu berbicara tentang jagat Jawa. Oleh karena itu, ditegaskan sekali lagi bahwa permasalahan di daerah hanya akan lebih tepat bila disampaikan dalam bahasa daerah masing-masing.

Apa yang dikatakan Subagio di atas memang benar, tetapi hal itu tidak mudah dilakukan. Hal demikian diakui, misalnya, oleh Suparto Brata dalam salah satu tulisannya berjudul “Wawasan Karya Tulis Cerita

Pendek” yang dibacakan dalam Sarasehan Sastra Jawa dalam rangka HUT Sanggar TRIWIDA, Tulungagung, 4—6 Juli 1986. Suparto Brata menyatakan bahwa karya-karya sastra, dalam hal ini cerpen, yang ditulis oleh para pengarang Indonesia dan dunia seperti Pramudya, Rijono Pratikto, Beni Setia, Anton Chekov, O Henry, dan sebagainya itu memang bagus. Akan tetapi, katanya, ketika dia sendiri mulai menulis sastra Jawa, orientasinya tidak terfokus pada karya-karya dari pengarang Indonesia dan dunia itu, tetapi justru terpaku pada karya Any Asmara. Hal ini agaknya disebabkan oleh wawasannya, juga wawasan para pengarang Jawa umumnya, sangat kurang, sehingga tidak mampu menulis karya-karya yang berkualitas.

Demikian antara lain paparan ringkas mengenai kritik terhadap karya sastra Jawa modern yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan dalam media-media berbahasa Indonesia periode 1981-- 1997. Dari paparan ringkas di atas akhirnya dapat dikatakan bahwa kehidupan kritik sastra Jawa modern berbahasa Indonesia mulai berkembang baik, tetapi jika dibandingkan dengan perkembangan karya sastranya sendiri, perkembangannya tetap belum seimbang. Jelas hal ini tidak akan mendukung proses kreatif dan inovatif pengarang karena lemahnya sistem kritik akan membuat pertumbuhan karya sastra tidak terkontrol. Akibatnya, sastra Jawa menjadi kurang sepadan dengan tuntutan kemajuan dan perkembangan zaman.