Kritikus Sastra Jawa Modern

2.3 Kritikus Sastra Jawa Modern

Secara faktual dinamika kritik sastra Jawa modern tidak dapat dilepaskan dari dinamika perkembangan sastrawan dan dinamika sosial di sekelilingnya (bandingkan Wellek dan Warren, 1957). Hal demikian terjadi karena kritikus akan datang apabila terjadi stagnasi atau muncul suatu karya inovatif sehingga terjadi polemik dalam masyarakat sastra, dan pada gilirannya akan memunculkan suatu aliran sastra baru, atau memunculkan suatu periode baru. Misalnya, ketika Krisna Mihardja mengembangkan inovasinya pada awal tahun 1990-an, karya-karyanya sulit masuk ke dalam penerbitan atau media massa karena inovasi yang ditawarkannya diasumsikan tidak akan terbaca atau diterima oleh pembaca. Begitu juga yang terjadi pada karya-karya Jayus Pete dan Turio Ragil Putra. Namun, keadaan akan menjadi berbeda ketika pengarang-pengarang tersebut pada tahun 1990-an memenangkan hadiah sastra yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga bergengsi, misalnya, Secara faktual dinamika kritik sastra Jawa modern tidak dapat dilepaskan dari dinamika perkembangan sastrawan dan dinamika sosial di sekelilingnya (bandingkan Wellek dan Warren, 1957). Hal demikian terjadi karena kritikus akan datang apabila terjadi stagnasi atau muncul suatu karya inovatif sehingga terjadi polemik dalam masyarakat sastra, dan pada gilirannya akan memunculkan suatu aliran sastra baru, atau memunculkan suatu periode baru. Misalnya, ketika Krisna Mihardja mengembangkan inovasinya pada awal tahun 1990-an, karya-karyanya sulit masuk ke dalam penerbitan atau media massa karena inovasi yang ditawarkannya diasumsikan tidak akan terbaca atau diterima oleh pembaca. Begitu juga yang terjadi pada karya-karya Jayus Pete dan Turio Ragil Putra. Namun, keadaan akan menjadi berbeda ketika pengarang-pengarang tersebut pada tahun 1990-an memenangkan hadiah sastra yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga bergengsi, misalnya,

A. Nugroho, Kelik Eswe, dan Dhanu Priyo Prabowa yang berlatar belakang akademisi dan peneliti. Pada karya kritik mereka terlihat kecenderungan kritik akademis, yang ditandai oleh adanya argumentasi- argumentasi ilmiah sebagai landasan kritik mereka, baik berupa teori maupun acuan-acuan (referensi) serta cara penjelasan yang sistematis dan bernalar.

Di samping hal yang dicontohkan di atas, kritik akademis seringkali dinilai negatif oleh pengarang karena dianggap sangat meng- hakimi kreativitas pengarang. Misalnya, sebuah polemik besar pernah terjadi pada akhir tahun 1980-an karena muncul argumentasi ilmiah baru pada penelitian Ratna Indriani. Atas dasar hasil penelitiannya tentang perkembangan cerpen di majalah-majalah yang terbit di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, pada Pilnas HISKI di Denpasar, Bali, ia meluncurkan pernyataan yang mengejutkan para pengarang Jawa waktu itu. Temuannya selama penelitian menunjukkan situasi sastra Jawa -- terutama fiksi (cerpen)-- yang terbit di majalah-majalah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta --terutama yang dimuat dalam Mekar Sari dan Djaka Lodhang-- pada tahun 1980-an sedang mengalami stagnasi atau keman-degan. Pada pascakritiknya itulah muncul sejumlah kritik gugatan yang pedas dari kelompok kritikus mapan, pengarang, dan kelompok kritikus muda di Jawa Timur. Pada umumnya, para kritikus tersebut tidak puas dengan penyataan Ratna Indriani atau memper- tanyakan kesahihan kritik tersebut. Dalam Jawa Pos, misalnya, seseorang yang tidak mau menye-butkan nama dirinya, secara terbuka dan kasar mengatakan bahwa pernyataan Ratna Indriani itu tidak ilmiah karena tidak melihat fakta perkembangan sastra yang lebih luas, misalnya di Jawa Timur. Padahal, pernyataan Ratna Indriani itu berlan- daskan fakta literer, bukan interpretatif karena benar-benar diangkat dari majalah-majalah yang terbit di DIY pada kurun waktu yang jelas dan dilandasi oleh penalaran atau teori. Namun, setelah beberapa waktu kemudian, pada akhirnya para pengamat sastra Jawa menyadari kebe- naran kata-kata Ratna Indriani tersebut. Atau, setidaknya mereka Di samping hal yang dicontohkan di atas, kritik akademis seringkali dinilai negatif oleh pengarang karena dianggap sangat meng- hakimi kreativitas pengarang. Misalnya, sebuah polemik besar pernah terjadi pada akhir tahun 1980-an karena muncul argumentasi ilmiah baru pada penelitian Ratna Indriani. Atas dasar hasil penelitiannya tentang perkembangan cerpen di majalah-majalah yang terbit di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, pada Pilnas HISKI di Denpasar, Bali, ia meluncurkan pernyataan yang mengejutkan para pengarang Jawa waktu itu. Temuannya selama penelitian menunjukkan situasi sastra Jawa -- terutama fiksi (cerpen)-- yang terbit di majalah-majalah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta --terutama yang dimuat dalam Mekar Sari dan Djaka Lodhang-- pada tahun 1980-an sedang mengalami stagnasi atau keman-degan. Pada pascakritiknya itulah muncul sejumlah kritik gugatan yang pedas dari kelompok kritikus mapan, pengarang, dan kelompok kritikus muda di Jawa Timur. Pada umumnya, para kritikus tersebut tidak puas dengan penyataan Ratna Indriani atau memper- tanyakan kesahihan kritik tersebut. Dalam Jawa Pos, misalnya, seseorang yang tidak mau menye-butkan nama dirinya, secara terbuka dan kasar mengatakan bahwa pernyataan Ratna Indriani itu tidak ilmiah karena tidak melihat fakta perkembangan sastra yang lebih luas, misalnya di Jawa Timur. Padahal, pernyataan Ratna Indriani itu berlan- daskan fakta literer, bukan interpretatif karena benar-benar diangkat dari majalah-majalah yang terbit di DIY pada kurun waktu yang jelas dan dilandasi oleh penalaran atau teori. Namun, setelah beberapa waktu kemudian, pada akhirnya para pengamat sastra Jawa menyadari kebe- naran kata-kata Ratna Indriani tersebut. Atau, setidaknya mereka

Para peneliti sastra di Balai Bahasa Yogyakarta menanggapi isu tersebut dengan mengadakan pertemuan dengan elemen-elemen pendu- kung sastra, yaitu sastrawan, penerbit, dan pembaca sastra Jawa di DIY (1990). Selanjutnya, pada pascapertemuan tersebut, didirikanlah sanggar sastra yang bernama Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta atau SSJY (1991). Hal yang sama juga dilakukan oleh Ustadji Pw di kota kelahirannya, Kutoarjo. Ia mendirikan sebuah sanggar sastra bagi anak-anak bernama Sanggar Sastra Kalimasada. Di dalam sanggar-sanggar semacam ini juga disiapkan kritikus-kritikus akademis dan nonakademis melalui pembi- naan kritik atas karya-karya yang pernah terbit. Di Jawa Timur, hal yang sama juga dilakukan, dan itu dimaksudkan untuk membangkitkan sastrawan muda di daerah-daerah Jawa Timur. Tamsir AS --bersama beberapa teman-- men-dirikan Sanggar Sastra Triwida. Sanggar ini berdiri tahun 1980, bermarkas di Tulungagung, dan merupakan sanggar sastra Jawa yang terbesar dan terbanyak anggotanya karena mencakupi tiga wilayah (Tulungagung, Blitar, Trenggalek). Dari sanggar-sanggar semacam itu muncul kritikus-kritikus muda yang berbakat, seperti Bonari Nabonenar (Tenggalek), Irul Es Budiato (Boyolali), Sarworo Soeprapto (Yoyakarta), KC (Kicuk) (Surabaya), Widodo Basuki (Sura- baya), dan sebagainya yang sebagian juga akademisi nonbahasa Jawa. Pada gilirannya nanti, mereka yang berada di “dua dunia” itulah yang menjadi kritikus muda masa kini yang berbakat.