Keterbatasan pengujian empiris market timing theory of capital structure di bej dengan kasus ipo emiten non keuangan 2000 2001

perusahaan akan cenderung mengurangi penggunaan hutang salah satu proxy-nya adalah leverage. Hal ini karena saat itu investor di pasar modal akan menilai perusahaan secara over-valued sehingga cost of equity akan lebih kecil dari cost of debt. Dan biasanya kondisi ini akan terjadi saat perusahaan yang mengalami pertumbuhan tinggi melakukan IPO. Kontribusi lain terletak pada penemuan variabel kontrol MTT. Ada proxy yang dipakai di riset Baker Wurgler 2002 serta Huang Ritter 2005 seperti net property, plant equipment; Earning After Tax dan Total Asset. Peranan variabel tersebut dalam ikut mempengaruhi hubungan market to book ratio dan leverage menarik untuk dikaji. Sebab variabel market to book ratio tidak akan berdiri sendiri secara akunting. Kusumawati Danny 2006 menyatakan peran masing-masing sebagai proxy intensitas aktiva tetap, volatilitas earning dan ukuran perusahaan yang berpengaruh langsung pada tingkat pertumbuhan dengan proxy: market to book ratio.

D. Keterbatasan

Ada tiga hal yakni: Pertama; penulis tidak memakai periode data yang panjang seperti studi MTT di USA yang rata-rata di atas 20 tahun. Hal ini karena keterbatasan waktu penulis. Kedua sehubungan dengan tidak panjangnya periode penelitian, maka penulis tidak bisa memakai model regresi data panel GLS. Untuk studi ini, penulis cukup mencoba dengan metode OLS berbasis argumentasi “parsimonisitas”. Terakhir; penulis tidak memakai data sektor keuangan karena perilaku leverage-nya berbeda dengan perusahaan biasa dan juga sektor keuangan amat teregulasi oleh aturan pemerintah misal bank oleh BI dan non bank oleh Departemen Keuangan. TINJAUAN TEORI A. Perkembangan Teori Struktur Modal Seperti terlihat pada gambar 1, penulis mengintrodusir munculnya market timing theory juga berawal dari teori struktur modal konvensional MM pada akhir 50-an. Beliau berdua memang diakui sebagai peletak dasar teori keuangan perusahaan. Modigliani Miller MM mengeluarkan dua proposisi. Proposisi pertama berkaitan dengan leverage, arbitrage 4 dan firm value. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan leverage, risk 5 dan cost of capital. Berk De Marzo 2007 menyatakan kedua proposisi ini berujung pada anggapan bahwa leverage tidak mempengaruhi nilai perusahaan, walaupun syarat utamanya adalah perfect market seperti tidak ada biaya transaksi; risiko usaha setiap bisnis yang sama; akses informasi yang merata simetrik; rasionalitas dan homogenitas harapan di kalangan investor. Kemudian kita semua tahu bahwa asumsi no relevant debt ini banyak menimbulkan kontroversi. Sebab ada bukti bahwa dengan leverage, EPS akan naik, bahkan tanpa leverage pun tidak terjadi dilusi kepemilikan saham. Kalau penulis melihat, kuncinya adalah pada asumsi perfect market. Maka setelah revisi teori MM dari mereka berdua sendiri pada tahun awal 1960-an, muncul pula teori-teori alternatif seperti Pecking Order Static Trade-Off yang berlandaskan pada asumsi imperfect market seperti adanya asimetrik informasi dan munculnya financial distress akibat penggunaan hutang. Dengan memakai gambar 1 di halaman berikutnya, penulis menyatakan Pecking Order dan Static Trade-Off memiliki dominasi yang kuat pada pertengahan 60-an sampai akhir 80-an. Pecking Order berawal dari survey Fortune 500 yang menghasilkan urutan pendanaan mulai dari laba ditahan, hutang dan saham. Klaim urutan pendanaan didasari atas mahal atau tidaknya biaya modal. Sedangkan Static Trade Off berawal dari maraknya pakar keuangan membicarakan financial distress sebagai implikasi negatif penggunaan hutang. Menurut STT, hutang harus dipergunakan secara optimal sampai batasan tidak akan menurunkan nilai perusahaan. Yang menarik berapa proporsi terbaik masih beragam untuk berbagai sektor industri; sehingga menimbulkan “optimal leverage puzzle”. 4 Hal ini berdasarkan dugaan karena tingkat bunga individu diperlakukan sama dengan tingkat bunga institusi; maka individu investor memiliki akses yang luas di pasar modal untuk bertransaksi saham- saham perusahaan yang levered dan unlevered melalui homemade leverage. Dalam kondisi equilibrium akan tercipta proses arbitrage sehingga tidak akan perbedaan lagi nilai perusahaan antara yang levered dan unlevered. 5 Faktor risiko yang timbul adalah selisih dari biaya modal perusahaan yang levered dan unlevered dikalikan dengan besarnya hutang. Makin besar hutang akan membuat biaya modal sendiri makin meningkat. Karenanya efek tax-shield dari hutang akan terimbangi oleh kenaikan biaya modal sendiri. Situasi tersebut akan membuat besarnya hutang tidak relevan terhadap kenaikan nilai perusahaan. Gambar 1. Peta Teori Struktur Modal Dirancang dari hasil analisis berbagai literatur 2007 Pada dekade 80-an dan 90-an banyak penelitian lanjutan struktur modal yang mengacu pada STT dan POT. Walaupun ada kelompok yang pro terhadap POT seperti Myers 1984, Baskin 1989, Allen 1993 dan Adedeji 1998, namun juga ada yang tidak sepenuhnya pro artinya memasukkan unsur STT seperti Shyam-Sunders Myers 1999 dan Frank Goyale 2003. Hasil-hasil riset mereka beragam, namun intinya tetap memperteguh eksistensi POT STT secara empirik. Karena intinya tetap eksis, penulis memiliki skenario POT STT memberi inspirasi munculnya MTT. 6 Mengapa bisa muncul MTT? Baker Wurgler 2002 sempat menyatakan bahwa keputusan struktur modal terkait dengan upaya perusahaan untuk melakukan timing terhadap pasar modal. Yang menjadi alasan adalah POT STT 6 Penulis pernah berdiskusi bersama bahwa MTT adalah “irisan” dari POT dan STT. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengakuan MTT bahwa perusahaan harus menetapkan target leverage serta memberikan argumentasi kuat manakala akan menggunakan suatu sumber dana baik hutang ataupun ekuitas. Capital Structure Theory Market Timing Theory Pecking Order Theory Static Trade- Off Theory Modigliani-Miller Theorem Gap Riset ? tidak mampu memaksimumkan nilai perusahaan dan MTT yang memiliki karakter “persisten” diharapkan mampu menjadi alat pencapai tujuan finance. Kata kunci persisten menjadi keunggulan MTT dalam implementasinya. Pada bagian berikut setelah pembahasan detail POT STT, penulis akan membahasnya tersendiri. Namun seperti Alti 2006 yang begitu mempertanyakan sifat persistensi MTT; penulis menduga masih banyak gap riset yang bisa menjadi acuan penelitian-penelitian berikutnya. Gap riset terutama berkenaan tentang keterandalan MTT Baker Wurgler 2002 sebagai teori struktur modal kontemporer. B. Static Trade-Off Pecking Order Theories Pada gambar 1 penulis mengupas habis POT dan STT dengan memakai 4 pilar yakni asumsi, inti, variabel dan model riset. Pemilihan 4 pilar ini untuk lebih mudah membahas suatu kajian teori dengan melihat unsur-unsur metodologisnya. Tabel 1. Studi Banding POT STT Keterangan POT STT Asumsi  Preferensi pendanaan internal karna takut pada asimetrik informasi  Kebijakan dividen ketat “sticky” biasanya DPR yang rendah  No target leverage  Target leverage  Pendanaan internal dan eksternal untuk maksimisasi nilai perusahaan Inti  Pendanaan dengan melihat urutan dari Cost of Capital yang murah sampai yang mahal  Cost of Capital COC yang murah umumnya lebih banyak didominasi oleh internal financing, sebaliknya untuk COC yang mahal  Pendanaan untuk mencari rasio leverage optimal  Penggunaan hutang berlebihan akan menimbulkan risiko kebangkrutan yang didahului oleh kondisi financial distress Variabel Penjelas  Profitabilitas  Ukuran Penawaran Saham  Harga Saham  Kondisi Pasar Modal  Risiko bisnis  Deviasi dari target leverage  Volatilitas pendapatan Model Riset  Donaldson 1961  Baskin 1989  Bayless Diltz 1994  Allen 1993  Stiglitz 1969; Haugen Papas 1971 serta Rubinstein 1973  Bayless Diltz 1994  Frank Goyale 2003 Sumber: Hasil analisis penulis 2007 Terlihat pada tabel 1 perbedaan nyata antara STT dan POT. POT lebih menekankan pada hirarkis pendanaan, sedang STT pada optimalitas pendanaan. Walaupun ada perbedaan mencolok, namun kalau diamati pada segi inti keduanya tetap fokus pada Cost of Capital. POT memfokuskan pada COC murah sedangkan STT bertitik berat pada COC minimum. Temuan ini mengindikasikan bahwa COC tetap menjadi tujuan utama keputusan struktur modal. Beberapa variabel penjelas, penulis ambil dari studi Pangeran 2004. Model utama adalah regresi logistik dengan pilihan 1 untuk pendanaan ekuitas dan pilihan 0 untuk pendanaan hutang. Sesuai dengan studi Pangeran 2004, variabel penjelas POT yang signifikan adalah profitabilitas; harga saham dan kondisi pasar modal dengan arah pengaruh positif. Kemudian variabel penjelas STT tidak ada yang signifikan, sehingga klaim Pangeran 2004 POT lebih relevan di Indonesia dibandingkan STT. Dugaan penulis ini terkait dengan periode data 1991-1996 yang lagi bullish. Yang menarik lagi Pangeran 2004 mengadopsi variabel penjelas POT STT dari Bayless Diltz 1994 lihat cetak italic bergaris dalam tabel 1. Kalau demikian halnya berarti memang ada irisan atau pertautan antara STT dan POT. Deviasi target leverage bisa terjadi karena ukuran penawaran saham dan harga saham. Bila makin tinggi ukuran penawaran saham, target leverage akan makin minimum. Sedangkan bila harga saham makin tinggi, memang bisa jadi target leverage akan minimum atau maksimum tergantung faktor fundamental non keuangan perusahaan juga. C. Market Timing Theory MTT Sesuai studi Kusumawati Danny 2006, penulis akhirnya bisa mendefinisikan MTT dengan mudah secara operasional. Hal ini penting Sebab Baker Wurgler 2002 hanya membuat sedikit justifikasi tentang MTT tersebut, belum lagi kelompok-kelompok peneliti yang pro dan kontra terhadap MTT hanya sibuk juga dengan urusan persistensi MTT secara ekonometrik semata. Dari Kusumawati Danny 2006, MTT menunjukkan lebih pentingnya implikasi dari pilihan hutang atau ekuitas pada berbagai titik waktu dibandingkan dengan mencari rasio leverage yang optimal. Maka pendekatan MTT berkenaan dengan juga aktivitas pelepasan saham baik itu IPO ataupun SEO. Baker Wurgler 2002 kemudian diikuti pula oleh Huang Ritter 2005 memberikan argumentasi sebagai berikut: 1. Perusahaan cenderung akan melepas saham sebagai pengganti hutang ketika nilai pasar relatif tinggi terhadap nilai buku dan nilai pasar masa lalu adalah tinggi; dan cenderung akan membeli kembali saham ketika nilai pasar adalah rendah. 2. Melalui analisis perkiraan prospek earning dan perkiraan realisasi harga saham sekitar pelepasan saham, perusahaan cenderung untuk melepas saham pada waktu investor memiliki sikap optimisime dan antusias yang tinggi. Kedua hal tersebut mengindikasikan pentingnya over-valued atau under-valued dari suatu saham, saat perusahaan akan melepas saham di bursa. Dan yang menarik aktivitas pelepasan saham akan mempengaruhi struktur modal. Hal inilah yang memunculkan MTT versi Baker Wurgler 2002. Kalau benar aktivitas pelepasan saham ini lebih prospektif; maka sudah seharusnya ada pengaruh negatif antara rasio market to book equity dengan leverage. 7 Studi Baker Wurgler 2002 memperkuat temuan studi Fama French 2002 tentang hubungan negatif tersebut; dan bahkan memberikan rekomendasi bagaimana perusahaan mengatur leverage secara optimum terkait dengan rasio market to book equity MB. Jadi kalau rasio MB rendah, perusahaan dengan leverage tinggi boleh melepas saham. Hal yang kontras akan berlaku untuk rasio MB tinggi. Terakhir penulis ingin mendiskusikan hubungan antara rasio MB dengan leverage yang cenderung resiprokal. Kalau secara fundamental memang leverage dan ekuitas berlawanan. Terlihat dalam susunan pos pasiva; bila hutang naik maka leverage naik dan akibatnya ekuitas akan turun. Yang membuat hutang naik, adalah perusahaan mengurangi pendanaan internal atau menambah debt financing. Logikanya perusahaan dengan rating debt bagus, berharap harga saham akan naik. Tetapi sesuai asumsi MTT yang terjadi sebaliknya leverage tinggi akan menurunkan harga saham melalui turunnya nilai pasar ekuitas. Hal ini karena perilaku pesimistis investor terhadap perusahaan ber-leverage tinggi meski rating debt-nya bagus. D. Riset Akademisi Pro Kontra Terhadap Market Timing Theory 7 Karena argumentasi ini amat penting bagi eksistensi MTT, penulis akan kupas habis di bagian rekonsiliasi akademik pro-kontra MTT. Disamping ada kritik penulis juga terhadap definisi persistensi Kusumawati Danny 2006 yang terlalu berat ke ekonometrik semata. Pro-kontra terhadap MTT berkisar soal persistensi struktur modal bisa long term atau tidak. Hasil studi Baker Wurgler 2002 berhasil menunjukkan efek persistensi yakni efek net equity issuance masih ada. Kalau memang efek persistensi masih ada maka perusahaan tidak perlu tergesa-gesa melakukan adjustment terhadap leverage. Dalam Huang Ritter 2005 terungkap dua kelompok yang masing-masing pro kontra terhadap MTT. Kelompok yang pro antara lain Welsch 2004; Kayhan Titman 2005 serta Lemmon, et.al. 2005. Mereka mengklaim bahwa dengan sampel perusahaan yang ber-IPO, efek persistensi masih begitu kuat bahkan hingga 10-20 tahun. Tetapi dengan sampel yang hampir sama itu pula Leary Robert 2005, Alti 2005 serta Hovakimian 2005 menemukan efek persistensi hilang beberapa tahun pasca perusahaan IPO. Apa yang terjadi ini? Penulis memiliki dugaan persoalan metode analisis; kerangka panel data dan variabel baru sebagai faktor pemicu. Leary Robert 2005 memakai model GLS maximum likelihood yang tentu lebih robust dari OLS Baker Wurgler 2002. Sedangkan Alti 2005 sudah memasukkan unsur hot dan cold markets saat IPO pada kerangka panel data, meski model sama yakni OLS. Terakhir Hovakimian 2005 sudah memasukkan variabel-variabel baru seperti size, tangibility dan profitabilitas di samping rasio MB; rasio PPEAsset dan rasio EBITDAAsset di studi Baker Wurgler 2002. Kalau memang demikian akar persoalan pada definisi persistensi yang “sarat” dengan bidang ekonometrik, penulis sepakat dengan Huang Ritter 2005 bahwa perlu model analisis yang tepat. Nampaknya regresi data panel menjadi alternatif untuk menjelaskan fenomena persistensi tersebut. Huang Ritter 2005 berhasil menunjukkan masih adanya efek persistensi walaupun cukup lemah. E. Pandangan Penulis tentang Market Timing Theory Seperti halnya tabel 1, penulis juga bermaksud membuat desain MTT dengan menggunakan empat pilar utama seperti asumsi, inti, variabel penjelas dan model riset. Berbicara tentang asumsi, menurut penulis ada tiga yakni target leverage memang penting tetapi kapan mencapai the optimal leverage itu jauh lebih penting. Hal ini sepenuhnya akan tergantung pada equity issuance. Asumsi lain adalah perusahaan akan mengalami financing deficit, sebab tidak cukup hanya mengandalkan internal financing. Terakhir proxy lain selain cost of capital seperti karakteristik perusahaan dan kondisi pasar juga penting studi Huang Ritter 2005 membuktikan. Inti MTT menurut penulis adalah perusahaan hendaknya memakai ekuitas manakala biaya modal ekuitas itu murah. Dan sebaliknya memakai hutang manakala biaya modal hutang itu juga murah. Tetapi terlepas itu perusahaan dapat memakai kombinasi keduanya bila biaya modal ekuitas sebesar biaya modal hutang. Artinya ini tercipta optimalitas struktur modal yang sempurna. Hal lain adalah keputusan pendanaan juga dipengaruhi oleh situasi terkini perusahaan baik itu IPO ataupun SEO. Teorinya IPO dan SEO akan mempengaruhi struktur modal perusahaan. Kalau variabel penjelas maka rasio MB, EFWA MB, intensitas aktiva tetap dari Baker Wurgler 2002 semuanya dapat teraplikasi. Asalkan dengan catatan variabel rasio MB dan EFWA MB memiliki pengaruh negatif terhadap leverage. Studi Huang Ritter 2005 berhasil menambahkan variabel Equity Risk Premium, profitabilitas, ukuran perusahaan, tingkat penjualan dan modal kerja netto serta variabel makro seperti pajak GDP. Penambahan variabel ini sekaligus memperluas dan memperkaya temuan Baker Wurgler 2002. Model riset tetap mengacu pada OLS Baker Wurgler 2002, kalaupun mau bisa dengan model regresi data panel ataupun multinomial logit dari Huang Ritter 2005. F. Riset MTT di BEJ versi Indonesia Ada dua yakni studi Kusumawati Danny 2006 dan Dahlan 2004. Kusumawati Danny 2006 berhasil melakukan observasi MTT di Indonesia dengan sampel data 400 observasi selama 1991-2001 untuk perusahaan non keuangan. Dalam bentuk model GMM tersaji sebagai berikut tanda hitam untuk variabel yang signifikan: BL = 0.0197 MB t-1 – 0.0473 EFWA MB t-1 + 0.0048 PPEA t-1 – 0.1274 EBITDAA t-1 + 0.0631 ln A t-1 – 0.0019 SA t-1 - 0.4537 NWCA t-1 + 0.0698 DUM k ML = 0.0306 MB t-1 – 0.2946 EFWA MB t-1 + 0.108 PPEA t-1 – 0.0836 EBITDAA t-1 + 0.0844 ln A t-1 – 0.0061 SA t-1 - 0.2291 NWCA t-1 + 0.0265 DUM k Di samping pada model efek random, sekali lagi kedua penulis berhasil membuktikan efek persistensi MTT walaupun hanya untuk jangka pendek 1991-1995 1997-2001. Sedangkan studi Dahlan 2004 berhasil mengintrodusir efek MTT di BEJ untuk perusahaan juga non keuangan tahun 1990-2000. Sama halnya dengan Kusumawati Danny 2006, maka ada variabel dummy krisis; dan model GLS yang dipakai. Hanya perbedaan yang penting Dahlan 2004 langsung menekankan pada variabel market leverage dan besaran dibuat dalam selisih difference. Hasil persamaan- nya nampak sebagai berikut tanda hitam untuk variabel yang signifikan: ΔLEV t = - 0.533 MB t-1 – 0.098 PPE t-1 – 0.418 EBIT t-1 + 9.503 SIZE t-1 – 0.294 ΔLEV t-1 ΔLEV t = -0.51 MB t-1 – 0.11 PPE t-1 – 0.418 EBIT t-1 + 10.414 SIZE t-1 – 0.283 ΔLEV t- 1 – 1.192 DCris t-1 Berdasarkan kedua studi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa MTT cukup applicable untuk kasus BEJ. Tantangan yang timbul dalam riset selanjutnya adalah mencari efek interaksi antara dummy krisis dengan variabel bebas dan mencoba uji MTT dalam model yang lebih sederhana bila ternyata jumlah sampel peneliti sedikit. METODOLOGI PENELITIAN

A. Prosedur Penelitian