PERANAN ORANG TUA DALAM PENGEMBANGAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK PADA KELUARGA AKTIVIS ISLAM DI HARGOBINANGUN YOGYAKARTA

(1)

SKRIPSI

Oleh: Hermansyah NPM: 20120720218

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I) strata satu pada Program Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)

Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Oleh:

Hermansyah NPM: 20120720218

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

Nomor Mahasiswa : 20120720218

Program Studi : Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 31 November 2016 Yang membuat pernyataan

Hermansyah NPM: 20120720218


(4)

iii

menyakiti itu hanya dari orang tua, cinta yang tiada akhir yang

berkorban untuk kebaikan anaknya itu hanya dari orang tua.


(5)

iv

Ayahanda Ramli Ahmad dan Ibunda Nur Baya

Kepada kakak saya Herman dan Herlina dan adek saya Herman Ikhsan Kepada Almamater ku Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Kepada teman-teman Angkatan XII Amalia, Aulia, Dewi, Dzaqia, Hilda, Mardziyah, Inayah, Lilis, Naili, Maisyaroh, Afif, Riska, Intan, Muti, Ismaya, Ikhwan, Beta, Izzu, Fajar, Miftahul Qur’an, Kasdi, Ilham, Syamsul, Nabhan,


(6)

v

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan ... 8

D. Kegunaan ... 9

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 10

B. Kerangka Teori ... 11

BAB III: METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 23


(7)

vi

E. Sumber Data Penelitian ... 25

F. Teknik Pengumpulan Data ... 26 G. Teknik Analisis Data ... 27

BAB IV: DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

A. Deskripsi Data... 29 B. Peran Orang Tua Dalam Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak

Pada Keluarga Aktivis Islam Kaliurang Yogyakarta ... . 31

BA B V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 64 B. Saran ... 66 C. Kata Penutup ... 68 DAFTAR PUSTAKA


(8)

(9)

xii ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendalami dan menjelaskan peranan orang tua dalam mengembangkan kecerdasan spiritual anak serta untuk mendalami sejauh mana perkembangan kecerdasan spiritual anak.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Dari segi tujuan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Sementara dari segi pendekatannya, penelitian ini berjenis kualitatif. Lokasi penelitian ini adalah di Kaliurang, desa Hargobinangun, kecamatan Pakem, kabupaten Sleman. Subjek penelitian ini adalah orang tua di desa tersebut yang memiliki anak usia 6-22 tahun dengan kondisi normal. Data dikumpulkan dengan metode dokumentasi, observasi, serta wawancara, kemudian data dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan anak yang dididik oleh orang tua aktivis islam adalah 1) kesadaran anak untuk berpikir positif sudah muncul. 2) sebagian anak sudah ada yang sadar untuk mengambil hikmah terhadap suatu kejadian yang menimpanya. 3) kesadaran anak untuk berbuat baik terhadap orang lain sudah muncul. 4) sudah muncul kesadaran bagi setiap anak untuk menolong orang lain ketika mendapat musibah. 5) anak sudah sadar untuk mensyukuri setiap sesuatu yang dia miliki dan tidak pernah mengeluh bila ada yang kurang. 6) sifat sabar yang ada pada anak-anak sudah muncul. 7) anak sudah bisa melakukan pergerakan solat dan menghafal bacaan solat. 8) anak-anak sudah bisa membaca al-Qur`an meskipun ada sebagian anak yang masih kurang dalam ilmu tajwid. 9) kesadaran untuk berpuasa muncul bahkan tanpa orang tua menyuruh, mereka melakukannya.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa peran-peran orang tua adalah 1) melatih anak berpikir positif. 2) membiasakan anak mengambil hikmah di setiap kejadian. 3) membiasakan anak senang berbuat baik. 4) melatih anak untuk menolong orang lain. 5) melatih anak bersyukur. 6) membiasakan anak bersabar. 7) mengajarkan dan melatih anak untuk solat. 8) mengajarkan mengaji. 9) melatih berpuasa sejak dini.


(10)

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya anak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur`an:

اًفيِنَح ِنيِّدلِل َكَهْجَو ْمِقَأَف

َ

ْ يَلَع َساهنلا َرَطَف ِِهلا ِهَا َتَرْطِف

اَه

َ

ِقْلَِِ َليِدْبَ ت ََ

ِهَا

َ

َنوُمَلْعَ ي ََ ِساهنلا َرَ ثْكَأ هنِكَٰلَو ُمِّيَقْلا ُنيِّدلا َكِلَٰذ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) tetapkanlah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Dan dalam hadis disebutkan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.

ُلْوُقَ ي َناَك ُههنَأ ؛َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع

:

ٍدْوُلْوَم ْنِم اَم : ملسو هيلع ه ىلص ِه ُلْوُسَر َلاَق

ِهِناَسِّجََُُو ِهِناَرِّصَنُ يَو ِهِناَدِّوَهُ ي ُاَوَ بَأَف .ِةَرْطِفْلا ىَلَع ُدَلْوُ ي هَِإ

.

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak dilahirkan seorang anak melainkan dengan fitrah, maka orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan

Majusi”.(HR. Al-Bukhori)

berdasarkan kedua sumber tersebut, jelas bahwa yang mempengaruhi perilaku anak itu dan menjadi salah satu faktor yang paling kuat adalah lingkungan, terutama keluarganya. Keluarga merupakan pranata sosial yang di dalamnya terdapat anggota-anggota yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga memiliki fungsi yang strategis bagi pembentukan


(11)

pribadi anak. Keluarga dalam kenyataannya bukan hanya sekedar pertemuan antar komponen yang ada di dalamnya, tetapi lebih dari itu keluarga juga mempunyai fungsi reproduktif, religius, rekreatif, edukatif, sosial dan protektif (Fuaduddin, 1999: 6).

Dalam kaitannya dengan fungsi edukatif ini, lingkungan keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar dan menentukan dalam pendidikan anak. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Maka dari itu, setiap perbuatan ataupun perilaku yang diterapkan dalam keluarga baik disadari ataupun tidak, akan berpengaruh terhadap pendidikan anak. Menurut Khatib Santhut, kedua orang tua merupakan figur yang paling berpengaruh terhadap anak (Sujanto, 1982: 222).

Karena anak dibesarkan dalam lingkungan keluarga, maka layaklah jika kemungkinan tumbuhnya pelanggaran itu sebagian besar dari keluarga. Oleh karena itu, keluarga harus menciptakan situasi yang baik dalam arti situasi yang terdidik dan dalam hal ini memerlukan kesadaran dari kedua orang tua sebagai pendidik kodrati untuk mendidik anak-anak mereka dengan baik. Karena anak-anak merupakan amanah Allah yang dimintai pertanggung jawabannya.

Meskipun sudah banyak orang tua yang menyadari akan kewajiban terhadap anak-anaknya namun dalam prakteknya mereka sudah merasa puas ketika anaknya sekolah, berprestasi, dan menjadi anak yang cerdas. Namun sayang sekali, orang tua kurang memberikan respon yang bersahabat kepada anak-anaknya dan terkesan otoriter. Orang tua hanya memperhatikan pada


(12)

aspek jiwa yang langsung teramati pada saat itu juga. Mereka tidak menyadari bahwa anak akan mempunyai masalah-masalah di masa depannya yang penyelesaiannya tidak hanya ditentukan oleh aspek kognis atau kecerdasan kognitif (IQ) saja, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan spiritual. Hal ini disebabkan karena adanya asumsi bahwa suskes dan gagalnya hidup seseorang tergantung seberapa tinggi nilai IQ yang dimilikinya tanpa memperhatikan nilai spiritual yang menjadi kesuksesan bagi tiap orang untuk menuju surga.

Dari hadis di atas juga dapat dipahami bahwa pentingnya peran orang tua dalam membentuk kepribadian anak dimasa yang akan datang. Dalam al-qur`an surat luqman ayat 16:

هسلا ِِ ْوَأ ٍةَرْخَص ِِ نُكَتَ ف ٍلَدْرَخ ْنِّم ٍةهبَح َلاَقْ ثِم ُكَت نِإ اَهَِإ هََُب ََ

ِِ ْوَأ ِتاَواَم

ُهَا اَِِ ِتََْ ِضْرَْْا

ۚ

ٌرِبَخ ٌفيِطَل َهَا هنِإ

(luqman berkata): hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha mengetahui. (QS. Luqman: 16)

Orang tua hendaknya memperhatikan anak dari segi muroqobah

Allah yakni dengan menjadikan anak merasa bahwa Allah selamanya mendengar bisikan dan pembicaraannya, melihat setiap gerak-geriknya serta mengetahui apa yang dirahasiakan dan disembunyikan. Terutama masalah kecerdasan spiritual anak (SQ). SQ merupakan landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia (sukidi, 2002: 37).


(13)

Pada saat ini kita telah mengenal tiga kecerdasan. Ketiga kecerdasan itu adalah kecerdasan otak (IQ), kecerdasan hati (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ), bahkan kecerdasan spiritual yang justru merupakan penyempurnaan atas kualitas kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan-kecerdasan tersebut memiliki fungsi masing-masing yang kita butuhkan dalam hidup di dunia ini (sukidi, 2002: 37).

Nilai-nilai spiritual sudah terkandung atau ada dalam diri manusia sejak manusia dilahirkan, dan semakin terasa setelah orang menginjak dewasa. Setiap manusia memiliki nilai spiritual dan tergantung pada usaha untuk mengembangkan potensi yang telah ada dalam diri manusia. Nilai spiritual ini dapat berupa rasa kasih sayang, kejujuran dan kreativitas (Agustian, 2003: 85-86)

Kecerdasan spiritual tersebut akan sangat mempengaruhi kepribadian, bahkan mungkin kegagalan atau kesuksesannya. Namun bukan berarti proses itu semuanya telah usai, tidak dapat diubah dan tidak dapat dipengaruhi. Karena kepribadian seseorang bersumber dari bentukan keluarga, sekolah dan lingkungan.

Orang tua, pendidik dan lingkungan memiliki peran yang sangat penting dalam mengarahkan dan mengembangkan potensi yang telah diberikan oleh Allah pada diri anak tersebut. Kunci pertama dalam pengembangan kecerdasan anak terletak pada lingkungan, terutama orang tua. Ada pepatah mengatakan bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, baik buruknya anak tergantung didikan orang tuanya, karena orang tua


(14)

adalah madrasah pertama anaknya.

Pendidikan dalam keluarga merupakan dasar yang tidak boleh dilupakan. Anak selain bagian dari keluarga, juga merupakan bagian dari masyarakat, yang dipundaknya terpikul beban pembangunan di masa mendatang dan juga sebagai generasi penerus dari sebelumnya. Oleh karena itu, orang tua harus lebih memperhatikan dan selalu membimbing serta mendidik anaknya dengan baik, sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan kebahagian akhirat. Sebagaimana dalam Al-Qur`an surat An-Nisa ayat 9, Allah mengingatkan kepada orang tua agar memperhatikan keturunannya.

ْلَخ ْنِم اوُكَرَ ت ْوَل َنيِذهلا َشْخَيْلَو

ِهْيَلَع اوُفاَخ اًفاَعِض ًةهيِّرُذ ْمِهِف

اوُلوُقَ يْلَو َهَا اوُقه تَ يْلَ ف ْم

ًَْوَ ق

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9).

Ayat di atas mengisyaratkan kepada orang tua agar tidak meninggalkan anak mereka dalam keadaan lemah. Lemah yang dimaksud adalah lemah dalam segala aspek kehidupan, seperti: lemah mental, psikis, pendidikan, ekonomi, terutama lemah iman (spiritual).

Fenomena yang terjadi dalam pendidikan saat ini yang masih menganggap bahwa seseorang yang cerdas adalah yang mendapat nilai tertinggi, IQ-nya berada di atas rata-rata. Siswa yang cerdas adalah siswa yang nilai rapotnya tinggi. Sementara sikap, kepribadian dan spiritualitasnya belum mendapat penilaian yang proporsional. Sehingga


(15)

keyakinan umum di masyarakat bahwa jika anak mereka mendapat nilai A, maka mereka akan meraih gelar yang baik dan mendapat pekerjaan yang layak, dengan gaji yang memuaskan yang akan menjamin keberhasilan dan kebahagiaan sepanjang hidupnya.

Paradigma tersebut masih dapat ditemukan saat ini, dan itu bukan karena kebanyakan orang masih berpikir dengan cara lama, tapi juga karena memang paradigma dan sistem evaluasi pendidikan belum beranjak dari paradigma lama dan cara berpikir positivistik (Effendi, 2005: 180). Jika paradigma dan hal ini terus terjadi di dalam pendidikan indonesia, apa yang terjadi di kemudian hari?. Orang tua tentu menginginkan anaknya dapat menjadi pribadi yang unggul, tidak hanya cerdas secara intelektualnya saja, melainkan cerdas secara spiritual. Cerdas secara intelektual tidak bisa dijadikan parameter untuk menentukan tinggi-rendahnya kecerdasan manusia dan intelektual bukanlah satu-satunya penentu sebuah keberhasilan.

Danah Johar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah kecerdasan jiwa, yaitu kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh (Zohar, dan Marshall, 2001: 135). SQ adalah landasan yang diperlukan untuk


(16)

memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi seorang manusia.

Kecerdasan spiritual juga memungkinkan diri menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta mejembatani kesenjangan antara diri dan orang lain. SQ juga membantu menjalani hidup pada makna yang lebih dalam, menghadapi baik dan jahat, hidup dan mati, serta asal-usul sejati dari penderitaan dan keputus-asaan manusia (Effendi, 2005: 209).

Ketiadaan kecerdasan spiritual bisa sangat berbahaya. Karena, bisa saja ketika seseorang memiliki IQ tinggi dan EQ tetapi tidak diimbangi dengan SQ maka bisa terjadi ketimpangan dalam pribadi seseorang dan bisa saja akibat dari ketimpangan tersebut akan berdampak pada lingkungan sosial. Misalnya orang yang pandai membuat bom atau senjata, ketika IQ-nya tidak diimbangi dengan SQ maka bom atau senjata tersebut disalahgunakan untuk tindak kejahatan (kriminalitas), seperti fenomena yang bisa dilihat sekarang ini banyak sekali aksi terorisme yang meresahkan masyarakat, perilaku bunuh diri dan korupsi yang sudah merajalela kini sudah mewarnainya dan menjadi masalah serius bangsa ini.

Dalam hal ini peneliti akan meneliti peranan orang tua dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak pada keluarga aktivis islam di Kaliurang tepatnya di Desa Hargobinangun. Aktivis islam yang dimaksud tidak hanya orang yang aktif di jalanan untuk demo saja tapi orang yang senantiasa memakmurkan masjid dan meningkatkan kualitas iman


(17)

masyarakat islam sehingga terwujudnya masyarakat islam yang senantiasa beramal sesuai dengan tuntunan al-Qur`an dan hadis Nabi saw. Peneliti mengambil daerah tersebut sebagai tempat penelitian karena di daerah tersebut khususnya dalam kegiatan islami seperti pengajian tiap hari ahad, TPA, kajian ibu-ibu serta perlombaan antar anak TPA begitu aktif begitu pula dengan kegiatan sosial seperti kerja bakti tiap hari ahad dijalankan dengan tidak ada rasa mengeluh, sehingga peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian di daerah tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalahnya adalah : 1. Bagaimana perkembangan kecerdasan spiritual anak?

2. Bagaimanakah peran orang tua dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak?

C. Tujuan

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis tuliskan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mendalami sejauh mana perkembangan kecerdasan spiritual anak.

2. Untuk mendalami dan menjelaskan peranan orang tua dalam mengembangkan kecerdasan spiritual anak.


(18)

D. Kegunaan

Sedangkan kegunaannya adalah sebagai berikut:

1. Dengan adanya penelitian ini bisa memperkaya khazanah ilmu dan pengetahuan yang akan dijadikan modal untuk kelak ikut serta berkontribusi dalam mengembangkan kecerdasan spiritual anak. 2. Orang tua, melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan

membantu orang tua dalam mendidik kecerdasan spiritual anak mereka menjadi lebih optimal.

3. Anak, melalui penelitian ini bisa mencerdaskan spiritual anak. E. Sistematika Pembahasan

Adapun gambaran dari masing-masing bab adalah sebagai berikut: Bab I berfungsi sebagai pendahuluan atau pengantar. Oleh karena itu bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika penulisan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pembaca dalam memahami penelitian ini.

Bab II berisikan tinjauan pustka dan kerangka teori yang akan diuraikan dengan tema ini.

Bab III memuat secara rinci metode penelitian yang digunakan, baik jenis penelitian, lokasi, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, definisi konsep dan variabel, serta analisis yang digunakan.

Bab IV merupakan hasil dan pembahasan mengenai tentang peranan orang tua dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak pada keluarga


(19)

aktivis Kaliurang Yogyakarta.

Bab V penutup yang meliputi kesimpulan dan saran dari penulis. Kemudian dilengkapi daftar pustaka.


(20)

Sinta herawati, (2012) meneliti tentang “peran orang tua dalam

membentuk karakter islami anak di desa karangasem ponjong gunung

kidul”. Kesimpulannya yaitu orang tua mempunyai peran besar dalam membentuk karakter islami anak yang dilakukan dengan memberikan pendidikan melalui contoh yang riil dalam kehidupan sehari-hari, juga memberikan pengertian agar anak mampu meneriman apa yang disampaikan orang tuanya.

Riset Fachrudin (2011) yang berjudul ”Peran Pendidikan Agama dalam Keluarga terhadap pembentukan kepribadian Anak-anak”. Dari

jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan keluarga sangat besar pernannya dalam pembentukan kepribadian bagi anak-anak karena di lingkungan keluargalah anak-anak pertama kali menerima pendidikan yang dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Proses pembinaan nilai-nilai agama dalam membentuk kepribadian anak-anak dapat dimulai sejak anak lahir sampai ia dewasa.

Hidayah Setiyanti (2016) yang berjudul “Peran Orang Tua Berdasar Profesi dalam Pembinaan Akhlak dan Praktek Ibadah Anak”. Kesimpulannya yaitu orang tua memiliki peranan penting dalam pembinaan akhlak dan ibadah anak, karena orang tua merupakan lingkungan pertama


(21)

dan utama bagi anak. Oleh karena itu tingkah laku akan sangat berpengaruh kepada anak. Kenyataan bahwa peran orang tua dalam membina akhlak dan ibadah anak berdasar profesi sangat beragam. Dalam proses pembinaan juga ada faktor-faktor yang mendukung dan menghambat.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas, memang telah ada penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang akan penulis lakukan, akan tetapi ada perbedaan mendasar, yaitu penelitian terdahulu hanya mengaitkan antara orang tua dengan anak yang hanya sampai kepada praktek ibadah belum kepada tingkat kecerdasan spiritual yang mencakup keseluruhan. Untuk itu penulis akan mengangkat penelitian mengenai ”Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak Pada Keluarga Aktivis Islam di Kaliurang Yogyakarta”. Sehingga dengan

adanya penelitian ini dapat meningkatkan kecerdasan spiritual. B. Kerangka Teori

1. Peranan Orang Tua a. Pengertian Peranan

Peranan adalah kata dasar dari “peran” yang ditambahkan akhiran “an”, peran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat (Poerwadaminta, 1985: 333).

Peranan menurut Levinson sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sebagai berikut:


(22)

“peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, dan peranan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.” (Soekanto, 1990: 269)

Kata peran setelah mendapatkan akhiran “an”, kata peranan memiliki arti yang berbeda, diantaranya:

1). peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2007: 854).

2). peranan adalah konsekuensi atau akibat kedudukan atau status seseorang (Nasution, 1995: 73).

Menurut Biddle dan Tomas, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, penilaian, sangsi dan lain-lain. Kalau peran ibu digabungkan dengan peran ayah maka menjadi peran orang tua dan menjadi lebih luas sehingga perilaku-perilaku yang diharapkan juga menjadi lebih beraneka ragam (Sarwono, 2000: 224).

Peranan adalah seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu (Berry, 2003: 106). Harapan-harapan akan menjadi pertimbangan dari


(23)

norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan itu ditentukan oleh norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Peranan ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam keluarga.

Peranan diartikan sebagai suatu pola tingkah laku tertentu yang merupakan ciri khas semua petugas dari semua pekerjaan atau jabatan tertentu (Djumhur dan Surya, 1975: 12). Pribadi manusia beserta aktifitas-aktifitasnya tidak semata-mata ditentukan oleh pengaruh-pengaruh dan proses-proses yang berlangsungg tetapi juga dipengaruhi oleh sejauhmana peranan manusia dalam mempengaruhi proses itu.

Berdasarkan definisi di atas, dapat dilihat bahwa peranan merupakan aspek yang dinamis. Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Bila dihubungkan dengan kata “orang tua” memiliki arti bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan oleh orang tua, baik ayah maupun ibu. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan adalah sesuatu yang menjadi bagian atau seseorang yang mempunyai wewenang dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya untuk mencapai tujuan. Peranan alangkah lebih baiknya dilaksanakan oleh individu-individu yang dianggap mampu melaksanakan perannya. Misalnya orang yang berkedudukan di dalam masyarakat, seperti peran guru dalam


(24)

mengatasi kebodohan, peran orang tua dalam mendidik anak, dan jika suatu peran itu dilaksanakan dengan baik maka dapat mewujudkan kehidupan manusia yang aman dan damai.

b. Pengertian Orang Tua

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah orang tua diartikan dengan: ayah dan ibu kandung, orang-orang tua atau orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli dan sebagainya), atau orang yang dihormati (disegani) dikampung (masyarakat) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1988: 627).

Dalam bahasa Arab istilah orang tua dikenal dengan sebutan “Al-Walid”. (Munawwi, 1997: 1580) Pengertian tersebut dapat dilihat dalam Al-Qur‟an surat Lukman ayat 14:

و

ُهُلاَصِفَو ٍنَْو ٰىَلَع اًنَْو ُهمُأ ُهْتَلَََ ِهْيَدِلاَوِب َناَسنِْْا اَنْ يهصَوََ

ِنَأ َِْْماَع ِِ

ُرِصَمْلا هَِِإ َكْيَدِلاَوِلَو ِِ ْرُكْشا

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.

Dalam bahasa Inggris istilah orang tua dikenal dengan sebutan “parent” yang artinya “orang tua laki-laki atau ayah, orang tua perampuan atau ibu”. (Ali, 2003: 593) Orang tua memiliki arti sebagai orang yang dituakan, dikatakan tua karena berdasarkan kematangan dan pengalaman hidupnya. Menurut para ulama, orang tua adalah pria dan wanita yang berjanj dihadapan Sang Khalik


(25)

dalam perkawinan untuk hidup sebagai suami istri dan siap sedia memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya. Ini berarti bahwa pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan siap sedia untuk menjadi orang tua. (Kartono, 2003: 37) Menurut M. Nashir Ali menjadi orang tua adalah dua orang yang membentuk keluarga, segera bersiap mengemban (memperkembangkan) fungsinya sebagai “orang tua”. Menjadi orang tua dalam arti menjadi bapak atau ibu dari anak-anaknya, menjadi penanggung jawab dari lembaga kekeluargaannya sebagai satu sel anggota keluarga, dan di dalam keluarga cinta dari ayah ibu dan sanak saudaranya sangat penting untuk membesarkan seorang anak lahir batin. Tanpa cinta dalam keluarga itu, seorang menjadi kerdil lahir batin, atau rusak dan timpang perkembangannya. (Ali, 1987: 77)

Dari pengertian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa orang tua adalah ayah dan ibu yang merawat dan mendidik anaknya, mereka pemimpin bagi anak dan keluarganya, juga orang tua adalah panutan dan cerminan bagi anaknya yang pertama kali ia kenal, ia lihat dan ia tiru, sebelum anak mengenali lingkungan sekitarnya.


(26)

Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. (Daradjat, 2006: 35)

Orang tua adalah pendidik utama dan pertama, dikatakan utama karena pendidikan dari tempat ini mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan anak kelak dikemudian hari, dikatakan pertama karena di tempat inilah anak mendapatkan bimbingan dan kasih sayang untuk yang pertama kalinya, dari orang tuanyalah anak pertama kali mengenal dunia, mengenal dasar-dasar pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Karena perannya yang sangat penting maka orang tua harus benar-benar menyadarinya sehingga mereka dapat memperankannya sebagaimana mestinya. 2. Kecerdasan spiritual

a. Pengertian kecerdasan spiritual

Spiritual yaitu berkaitan dengan roh, semangat atau jiwa. Religius yang berhubungan dengan agama, keimanan, kesalehan dan menyangkut nilai-nilai transcendental (Chaplin, 2008: 488).

Adapun tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik mencakup hal-hal berikut:

1) Kesadaran untuk berpikir positif.

2) Kesadaran untuk mengambil hikmah terhadap suatu kejadian yang menimpanya.


(27)

4) Kesadaran untuk menolong orang lain ketika mendapat musibah.

5) Mensyukuri setiap sesuatu yang dimiliki dan tidak pernah mengeluh bila ada yang kurang.

6) Sifat sabar yang sudah muncul.

7) Kesadaran untuk beribadah yang baik dan benar.

Akar kata spiritual adalah spirit yang berasal dari bahasa latin

Spiritus yang berarti nafas. Dalam dunia modern, kata ini merujuk kepada energi hidup dan sesuatu di dalam diri manusia yang bukan fisik termasuk emosi dan karakter. Ini mencakup kualitas-kualitas vital seperti energi, semangat, keberanian dan tekad. Istilah spiritual berasal dari bahasa Arab ruhaniyah, atau maknawiyah dalam bahasa persia (Kartono, 2008: 480). mengurai arti dari kedua kata ini, kiranya sudah cukup sebagai kunci untuk memahami makna spiritualitas.

Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak manusia untuk cerdas memilih salah satu agama, ia merupakan sebuah konsep yang berhubungan bagaimana seseorang mempunyai kecerdasan dalam mengelola makna-makna. Kehidupan spiritual ini meliputi: hasrat untuk hidup bermakna; memotivasi mencari makna hidup; mendambakan hidup bermakna (Ramayulis, 2002: 65).

Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau


(28)

value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam makna yang lebih luas dan kaya kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia (Zohar dan Marshall, 2001: 8).

Lebih lanjut Danah Zohar dan Ian Marshall mengemukakan SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya; menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan ini dapat membedakan sesuatu hal, baik dan buruk. Kecerdasan ini pula memberikan rasa moral, kemampuan menyesuaikan yang berlaku dan kemampuan memahami cinta sampai pada batasannya.

Menurut Ary Ginanjar Agustian, salah seorang pakar Intelegensia kontemporer Indonesia, pengarang buku ESQ, menyatakan bahwa SQ versi Barat sebagaimana diuraikan para tokoh, belum atau bahkan tidak menjangkau aspek ketuhanan. Pembahasannya baru pada tataran biologis atau psikologis semata, tidak bersifat transcendental. (Agustian, 2001: 39) Karena itu, ia berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk


(29)

memberi makna ibadah terhadap prilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (insan kamil) dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah” (Agustian, 2001: 57).

Apabila prinsip manusia hanya mengorbit kepada Allah, maka dalam kondisi apapun emosi akan tetap tenang dan stabil. Keadaan yang stabil ini akan memberi peluang yang besar bagi suara hati spiritual yang muncul, seperti sabar (patient), tawakal (consistent), istiqomah (persistent), terpercaya (accountable), dan ikhlas (sincerity).73 Jadi, bila dengan EQ, seseorang dapat mengatasi kesulitan hidup dengan mengelola emosi, maka dengan SQ, ia akan mampu menyelesaikan problematika kehidupan dengan pemahaman akan makna dan nilai hidup yang dilengkapi dengan aspek ketuhanan.

SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar. SQ menjadikan manusia yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh (Zohar dan Marshall, 2001: 135).


(30)

dari dimensi non material seorang ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah, semua manusia memilikinya. Manusia harus mengenali seperti apa adanya. Menggosoknya hingga berkilau dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk kebahagiaan yang abadi. Seperti dua bentuk lainnya, kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga dapat menurun. Akan tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas (Ngermanto, 2001: 40).

Muhammad Zuhri memberikan pengertian tentang kecerdasan spiritual yaitu kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan diri untuk mengelola alam. Jika IQ setiap orang dipengaruhi oleh materi otaknya dan ditentukan oleh faktor genetika, seperti adat istiadat dan tradisi, maka SQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan yang tidak dibatasi oleh faktor keturunan, lingkungan atau materi lainnya (Ngermanto, 2001: 117).

Sedangkan kecerdasan spiritual menurut Marsha Sinetar, ialah pemikiran yang terilhami. Kecerdasan ini diilhami oleh dorongan dan efektifitas, keberadaan hidup atau keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagiannya. (Tebba: 2004: 24)

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menata hati, kata, sikap, dan prilaku agar senantiasa berada


(31)

dalam jalur kebenaran yang menguntungkan semua pihak yang terkait. Jalur kebenaran disini adalah peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah baik dalam Al-Qur‟an maupun Hadits. Kecerdasan spiritual juga dapat diart ikan sebagai kemampuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai ilahiyah (Asmaul Husna) kedalam dirinya sehingga menjadi aktivitas kesehariannya sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Uraian di atas, menunjukkan bahwa betapa pentingnya seseorang memiliki kematangan dan kecerdasan emosi dan intelektual, terlebih kecerdasan spiritual (SQ), yang merupakan azas yang melandasi semua kecerdasan, yakni IQ dan EQ. hal penting yang perlu diperhatikan terutama oleh para orang tua adalah bagaimana kiat atau cara agar dapat melahirkan generasi baru yang kreatif, cerdas serta religious. Generasi baru yang bukan hanya matang kecerdasan intelektualnya, tetapi juga matang kecerdasan emosi dan spiritualnya.

3. Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Spiritual

Perubahan SQ dari yang rendah ke yang lebih tinggi melalui beberapa langkah utama seperti menyadari situasi, ingin berubah mengenali diri, menyingkirkan hambatan, disiplin, makna terus menerus, dan hormat. Untuk memperjelas penulis akan menguraikannya sebagai berikut (Ngermanto, 2001: 143-147) :


(32)

menggali kesadaran diri, yang pada gilirannya menuntut menggali kebiasaan merenungkan pengalama. Banyak diantara kita tidak pernah merenung. Kita hanya hidup dari hari ke hari, dari aktivitas ke aktivitas, dan seterusnya. SQ yang lebih tinggi berarti sampai pada kedalaman dari segala hal, memikirkan segala hal, menilai diri sendiri dan perilaku dari waktu ke waktu. Paling baik dilakukan setiap hari. Ini dapat dilakukan dengan menyisihkan beberapa saat untuk berdiam diri, bermeditasi setiap hari, bekerja dengan penasehat atau ahli terapi, atau sekedar megevaluasi setiap hari sebelum jatuh tidur di malam hari.

b. Ingin Berubah. Jika renungan mendorong untuk merasa bahwa perilaku, hubungan, kehidupan atau hasil kerja dapat lebih baik, kita harus ingin berubah ini akan menuntut memikirkan secara jujur apa yang harus kita tanggung demi perubahan itu dalam bentuk energi dan pengorbanan. Apakah siap berhenti dari semua perilaku yang buruk? Memberikan perhatian lebih besar untuk mendengarkan diri sendiri dan orang lain? Menjalankan disiplin sehari-hari, seperti membaca atau olah raga atau merawat seekor hewan?. c. Mengenali Diri. dibutuhkan tingkat perenungan yang lebih


(33)

motivasi yang paling dalam. Jika kita akan mati minggu depan, apa yang bisa dikatakan mengenai apa yang telah dicapai atau sumbangkan dalam kehidupan? Jika diberi waktu setahun lagi, apa yang akan dilakukan dengan waktu tersebut?. Menyingkirkan hambatan. Apakah penghalang yang merintangi? Apa yang mencegah kita sehingga menjalani kehidupan di luar pusat kita? Kemarahan? Kerakusan? Rasa bersalah? Sekedar kemalasan? Kebodohan? Pemanjaan diri?. Buatlah daftar hal yang menghambat, dan mengembangkan pemahaman tentang bagaimana dapat menyingkirkan penghalang-penghalang ini. Mungkin ini merupakan tindakan sederhana, seperti kesadaran atau ketetapan hati, atau perasaan memuncak dari apa yang disebut kaum Buddhis “perubahan perasaan” perasaan muak terhadap diri sendiri. Akan tetapi, mungkin itu juga suatu proses panjang dan lambat, dan akan membutuhkan “pembimbing”-ahli terapi, sahabat atau penasehat spiritual. Langkah ini sering diabaikan, namun sangat penting, dan membutuhkan perhatian terus-menerus. d. Disiplin. Praktik atau disiplin apa yang seharunya diambil?

Jalan apa yang seharusnya diikuti? Komitmen apa yang akan bermanfaat? Pada tahap ini, kita perlu menyadari berbagai kemungkinan untuk bergerak maju. Curahkan semua mental


(34)

dan spiritual untuk menggali sebagian kemungkinan ini, biarkan mereka bermain dalam imajinasi, temukan tuntutan praktis yang dibutuhkan dan putuskan kelayakan setiap tuntutan tersebut bagi kita.

e. Makna terus-menerus. Kinin kita harus menetapkan hati pada satu jalan dalam kehidupan dan berusaha menuju pusat sementara kita melangkah di jalan itu. Sekali lagi, renungkan setiap hari apakah kita berusaha sebaik-baiknya demi diri kita sendiri dan orang lain, apakah kita telah merasa damai dan puas dengan keadaan sekarang apakah ada makna bagi kita disini. Menjalani hidup di jalan menuju pusat berarti mengubah pikiran dan aktivitas sehari-hari menjadi ibadah terus-menerus, memunculkan kesucian alamiah yang ada dalam setiap situasi yang bermakna.

f. Hormati Mereka. Sementara melangkah di jalam yang kita pilih sendiri, tetaplah sadar bahwa masih ada jalan-jalan yang lain. Hormatilah mereka yang melangkah di jalan-jalan tersebut, dan apa yang ada di dalam diri kita sendiri yang di masa mendatang mungkin perlu mengambil jalan lain. Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, dan moral, sumber keceriaan dan makna hidup. Spiritualitas memberi arah dan arti pada kehidupan. Hidup menjadi indah dan menggairahkan karena diri manusia tidak hanya dikurung oleh batas-batas fisik. Karena


(35)

jiwa anak intuitif dan terbuka secara alami, maka orang dan guru hendaknya bekerjasama untuk selalu memupuk spiritualitas anak.


(36)

Dari segi tempat, penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan. Yaitu suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau lokasi penelitian, suatu tempat yang dipilih sebagai lokasi untuk menyelidiki gejala objektif yang terjadi di lokasi tersebut (Sugiyono, 2010: 3).

Sementara dari segi tujuan, penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive researh) ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau fenomena-fenomena apa adanya. Dalam studi ini peneliti tidak melakukan manipulasi atau memberikan perlakuan-perlakuan tertentu terhadap objek penelitian, semua kegiatan atau peristiwa berjalan seperti apa adanya (Sukmadinata, 2010: 18).

Sementara dari segi pendekatannya, penelitian ini berjenis kualitatif. Riset kualitatif mengandung pengertian adanya upaya penggalian dan pemahaman pemaknaan terhadap apa yang terjadi pada berbagai individu atau kelompok, yang berasal dari sosial atau kemanusiaan. Proses risetnya melibatkan berbagai pertanyaan dan prosedur yang harus dilakukan. Data terkumpul dari “setingan” partisipan. Penganalisaan data dibangun secara bagian perbagian menuju tema-tema umum. Peneliti lalu membuat interpretasinya dari pemaknaan mereka terhadap berbagai data. Penulisannya disusun secara fleksibel struktur laporannya. Penulisnya membuat laporan berdasar cara pandang penelitian yang menekankan gaya


(37)

induktif, yang memfokuskan amatan pada pemaknaan individual, dan kompleksitasi situasi yang terjadi dan teramati (Santana, tt: 1)

Dengan demikian jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif lapangan pada peranan orang tua dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak pada keluarga aktivis islam.

B. Tempat Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian, tempat atau lokasi yang menjadi objek penelitian adalah desa Hargobinangun, kecamatan Pakem, kabupaten Sleman lebih dikhususkan tempat penelitiannya di dusun ngipiksari.

C. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada 6 Agustus – 11 Agustus 2016. Dalam waktu hampir seminggu dirasa cukup bagi peneliti untuk mendapatkan data-data yang diperlukan. Data-data tersebut mulai dari dokumentasi, wawancara, dan observasi dari sumber data.

D. Fokus Penelitian

Batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum (sugiyono, 2010: 285). Dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan pada ruang lingkup penelitian tentang peranan orang tua dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak dalam membangun kesadaran kepada anak menjadi pribadi muslim di Kaliurang, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.

1. Populasi


(38)

keseluruhan obyek yang dijadikan sebagai sumber informasi. Dengan demikian terlebih dahulu ditetapkan populasi.

Menurut Drs. S. Margono populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam waktu yang telah ditentukan (Margono, 2007: 18). Maka dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah orang tua yang berada di kaliurang sebanyak 8 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi (Margono, 2007: 121). Jadi yang dimaksud dengan sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diteliti. Karena dalam pengambilan sampel harus mewakili populasi yang ada sehingga dalam pengambilannya tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa sebuah pertimbangan yang matang terhadap karakteristik populasi.

Dalam penelitian ini sampelnya adalah orang tua di Kaliurang Desa Hargobinangun kec. Pakem Kab. Sleman yang bergerak sebagai aktivis islam.

E. Sumber Data Penelitian

Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana data diperoleh (Arikunto, 2010: 172). Adapun subyek penelitian ini adalah orang tua di desa Hargobinangun, kecamatan Pakem, kabupaten Sleman sebagai aktivis Islam yang memiliki anak berusia antara 6-23 tahun.


(39)

F. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk mengumpulkan data yang diperlukan sebagai berikut: 1. Wawancara atau Inerview

Wawancara atau Inerview adalah suatu komunikasi pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data, komunikasi tersebut dengan dialog (Tanya jawab) secara lisan, baik langsung maupun tidak langsung. Wawancara adalah Tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung (Sugiyono, 2010: 55). Adapun jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur.

Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Dengan wawancara terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama dan pengumpul data mencatatnya. Dalam melakukan wawancara selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka pengumpul data dapat menggunakan alat bantu lain yang dapat membantu pelaksanaan wawancara menjadi lancar (Sugiyono, 2010: 319).

Obyek yang diwawancarai adalah sebagai berikut: a. Orang tua anak


(40)

b. Anak. 2. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. (Usman dan Setiadi, 2009: 52) Dalam penelitian ini, observasi yang digunakan adalah observasi langsung (direct observation), yaitu peneliti langsung terjun kelapangan sebagai sasaran penelitian untuk melihat keadaan atau fenomena yang terjadi di lingkungan tersebut. Penulis akan mengamati yang berkaitan tentang peran orang tua dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak di Kaliurang Yogyakarta. 3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan mempelajari catatan-catatan atau dokumen (Fathoni, 2006: 112). Dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai profil tempat yang menjadi lokasi penelitian yaitu Kaliurang Desa Hargobinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.

1. Analisis sebelum di lapangan

Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil


(41)

studi pendahuluan, atau data sekunder, yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan.

2. Analisis selama di lapangan

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan Huberman. Sebagaimana dikutip oleh Sugiyono, mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (sugiyono, 2010: 336). 3. Analisis setelah selesai di lapangan

Setelah selesai melakukan penelitian di lapangan, maka tahapan terakhir adalah melakukan analisis akhir. Analisis akhir dilakukan dengan memberikan kesimpulan akhir atas penelitian yang dilakukan.


(42)

A. Deskripsi Data

Sebelum mengemukakan hasil penelitian Di Kaliurang Desa Hargobinangun. Berikut ada beberapa data dari Desa Hargobinangun sebagai berikut:

1. letak geografis

Secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 1070 15’ 03” dan 1070 29’ 30” Bujur timur, 70 34’ 51’ dan 70 47’ 30” Lintang Selatan merupakan sebuah Kabupaten di Provinsi DIY yang letaknya diapit oleh beberapa kabupaten dan kota, antara lain kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan kota Yogyakarta. Secara administratif, Kabupaten Sleman dibagi menjadi 17 wilayah kecamatan, 86 Desa/Kelurahan dan 1.212 Dusun. Luas Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2 atau sekitar 18% dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3.185,80 Km2.

Desa Hargobinangun secara administratif terletak di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Desa Hargobinangun merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 700-1.325 M dari permukaan laut. Adapun jarah tempuh dari Desa Hargobinangun ke pusat pemerintahan kecamatan adalah 3


(43)

km dan ke Ibu kota Kabupaten/Kotamadya adalah 14 km sedangkan jarak dari Desa Hargobinangun ke Ibu kota Provinsi adalah 21 km dan ke Ibu kota negara adalah 565 km.

Desa Hargobinangun berbatasan dengan beberapa wilayah, diantaranya adalah:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Gunung Merapi, Jawa Tengah.

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Umbulharjo Kecamatan Cangkringan.

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Harjobinangun dan pakembinangun.

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Purwobinangun dan Candibinangun.

Luas wilayah Desa Hargobinangun mencapai 1.430 Ha. Dengan mayoritas luas tanah sebagai tanah dan ditunjang dengan keadaan yang subur karena keadaan tanah berupa tanah liat dan bercampur pasir maka keadaan demikian sangat menunjang terhadap keadaan pertanian terutama untuk tanaman padi, jagung serta buah-buahan dengan hasil yang baik.

2. Jumlah Penduduk Desa Hargobinangun

Dengan melihat luas wilayah dari Desa Hargobinangun, berikut adalah data terkait jumlah penduduk yang diperoleh pada tahun 2016.


(44)

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk Desa Hargobinangun

3. Keadaan Sosial dan Ekonomi

Keadaan masyarakat Desa Hargobinangun tergolong masih mempertahankan kebersamaan yang telah terjalin sejak zaman dahulu, salah satunya adalah gotong royong, tolong menolong antar warga masih erat.

Keadaan ekonomi Desa Hargobinangun kebanyakan bekerja sebagai pedagang, namun ada juga yang bekerja sebagai pegawai, petani, pengusaha jeep, usaha ternak, bahkan tempat penginapan. B. Peran Orang Tua Dalam Pengembangan Kecerdasan Spiritual Anak

Pada Keluarga Aktivis Islam Kaliurang Yogyakarta

Masa anak-anak dimulai setelah masa bayi yang penuh ketergantungan kepada orang tuanya, dan para sejumlah ahli membagi masa kanak-kanak menjadi dua, yaitu masa anak-anak awal `dan masa anak-anak akhir. Masa anak-anak awal berlangsung dari umur 2 tahun sampai 6 tahun dan masa anak-anak akhir dari usia 6 tahun sampai saat anak matang secara seksual (Desmita, 2007: 127). Yang menjadi informan dalam penelitian ini

No Keterangan Jumlah

1 Jumlah KK 3.200

2 Laki-laki 4.475

3 perempuan 4.497


(45)

adalah anak usia 6 tahun sampai 12 tahun ke atas yang anak itu masih tinggal di rumah orang tuanya dan masih menjadi anak asuh dikeluarganya. Jadi peran orang tua dalam menumbuhkankembangkan kecerdasan spiritual anak sangat penting sekali, karena anak merupakan anggota masyarakat yang mengalami perubahan dari masa bayi menjadi anak-anak.

Posisi orang tua sebagaimana penjelasan di atas dengan sendirinya memaksa mereka (orang tua) untuk berusaha dengan sepenuh hati menjadi ayah dan ibu yang pertama bagi anak-anaknya. Mereka pun harus menjaga diri dari perbuatan dosa dan terhindar dari segala bentuk kejahatan. Keberadaan orang tua yang memiliki kekuatan integritas moral dan spiritual, kebajikan dan perhatian yang baik akan sangat membantu dalam membesarrkan anaknya (kurniawan, 1993: 28).

Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan maka anak akan tumbuh dengan baik pula. Jika tidak, tentu akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Keluarga juga merupakan institusi pendidikan utama dan pertama bagi anak. Karena anak untuk pertama kalinya mengenal pendidikan di dalam lingkungan keluarga sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas.

Disamping itu keluarga dikatakan sebagai peletak pondasi pendidikan selanjutnya. Pendidikan yang diterima anak dalam keluarga


(46)

inilah yang akan digunakan oleh anak sebagai dasar untuk mengikuti pendidikan selanjutnya disekolah. Orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak merupakan penanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Tugas dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga terhadap pendidikan anak-anaknya lebih bersifat pembentukan watak, agama, dan spiritualnya.

Seorang bapak atau ayah dan ibu dari anak-anak mereka tentunya memiliki kewajiban yang penuh terhadapi keberlangsungan hidup bagi anak-anaknya, karena anak memiliki hak untuk diurus dan dibina oleh orang tuanya hingga beranjak dewasa. Orang tua memiliki tanggung jawab dalam membentuk serta membina anak-anaknya baik dari segi psikologis. Kedua orang tua dituntut untuk dapat mengarahkan dan mendidik anaknya agar dapat menjadi generasi-generasi yang sesuai dengan tujuan hidup manusia. Peran orang tua adalah sebagai penyelamat anak dunia dan akhirat, khususnya dalam menumbuhkan akhlak mulia bukanlah tugas yang ringan. Pertumbuhan fisik, intelektual, emosi, dan sikap sosial anak harus diukur dengan kesesuaian nilai-nilai agama melalui jalan yang diridhai Allah SWT. Oleh karena itu perlu adanya pembagian peran dan tugas antara seluruh anggota keluarga, masyarakat, dan lembaga yang bertanggung jawab atas terbentuknya akhlak mulia seorang anak (Mushoffa, 2009: 37).

Tugas-tugas serta peran yang harus dilakukan orang tua tidaklah mudah, salah satu tugas dan peran orang tua yang tidak dapat dipindahkan


(47)

adalah mendidika anak-anaknya . sebab orang tua memberi hidup anak, maka mereka mempunya kewajiban yang teramat penting untuk mendidik anak mereka. Jadi, tugas sebagai orang tua tidak hanya sekedar menjadi perantara makhluk baru dengan kelahiran, tetapi juga memelihara dan mendidiknya, agar dapat melaksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya, maka diperlukan adanya beberapa pengetahuan tentang pendidikan.

Hal semacam itu pula yang nampak pada peran orang tua yang satu dengan yang lainnya terhadap anaknya sudah tentu berbeda-beda. Hal ini dilatar belakangi masalah pendidikan orang tua yang berbeda-beda maupun pekerjaannya. Dan dalam hal ini akan penulis paparkan bentuk-bentuk peran orang terhadap anak di Kaliurang Desa Hargobingangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman. Dalam penelitian ini penulis akan menguraikan hasi dari observasi maupun wawancara terkait peran orang tua dalam pengembangan kecerdasan spiritual anak di Kaliurang Desa Hargobinangun Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman adalah sebagai berikut:

1. Orang tua menjadi pembimbing spiritual anak

Orang tua yang bermaksud mengembangkan SQ anak haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah “mengakses” sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Yakni ciri orang yang cerdas secara spiritual, ia harus dapat merasakan kehadiran dan peran Tuhan dalam hidupnya.


(48)

Oleh karena itu, merupakan tugas dan tanggung jawab yang mulia dari orang tua untuk membimbing anak-anaknya agar menemukan makna dalam kehidupannya. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilatihkan oleh orang tua kepada anak-anaknya agar cerdas spiritualnya seperti :

a. Melatih anak berfikir positif

Cara berfikir positif akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seseorang. Contoh yang paling seing di angkat ketika membahas masalah berfikir positif ini adalah sebuah gelas yang berisi separu air. Orang yang berfikir positif memandang bahwa gelas tersebut telah berisi separo air, sedangkan orang yang berfikir secara negatif berpandangan bahwa separo gelas tersebut masih kosong.

Dengan memandang bahwa gelas tersebut telah berisi separo air, berarti ia telah mempunyai modal yang sangat penting agar jiwanya lebih semangat untuk mengisi separonya lagi. Orang yang seperti ini berpandangan bahwa dirinya telah mempunyai potensi dan tinggal memanfaatkannya untuk meraih hal yang diinginkannya. Cara pandang yang seperti ini akan memudahkan anak dalam memnemukan makna dalam kehidupan bahkan membantunya untuk lebih mudah merasakan kebahagiaan karena bisa mensyukuri karunia yang sudah ada.


(49)

Seperti yang dikatakan oleh bapak Sutikno berfikir positif yang paling mendasar kepada anak-anak adalah berpikir positif kepada Allah yang telah menetapkan takdir manusia. Sungguh ini sangat penting sekali, di samping agar hubungan dengan Allah akan semakin dekat, juga memudahkan seseorang menemukan makna dalam kehidupan seperti ujar kepada bapak Sutikno kepada anaknya seperti keterangan berikut

“lah itu mas anak-anak terkadang mempunyai cita-cita atau keinginan saya suruh usaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan cita-citanya namun apabila itu tidak terwujud maka saya suruh bersabar” (wawancara dengan bapak Sutikno jamaah Masjid al-Amin desa Hargobinangun, hari kamis, pada tanggal 11.08.2016). Seperti yang peneliti tanyakan kepada anak yang dilakukan oleh orang tua agar anak dapat berfikir positif seperti keterangan berikut ini:

“bagaimana orang tua anda melatih berfikir positif? Jawab: disuruh agar selalu berusaha mewujudkan apa yang ingin dicapai tapi kalau saya tidak bisa mencapainya, saya disuruh bersabar mungkin kedepannya bisa diwujudkan ”wawancara dengan Dinar Wahyudiati desa Hargobinangun, hari kamis, pada tanggal 11.08.2016). Disinilah dibutuhkan peran orang tua untuk selalu memberikan motivasi kepada anak untuk bergerak dan bertindak. Berfikir positif juga bisa dilatih kepada anak-anak dengan cara terus menerus membangun rasa dan rasa optimis dalam menghadapi sesuatu, apabila ada suatu dorongan dari orang lain, apalagi dari orang tuanya sendiri. Hal ini sangat diperlukan terhadap anak yang


(50)

masih memerlukan dorongan supaya prasangka yang bersifat pesimis bisa terminimalisir agar anak dapat berfikir positif dan bisa cerdas bukan hanya intelektualnya saja akan tetapi cerdas spiritualnya.

b. Membiasakan anak mengambil hikmah disetiap kejadian

“sudah jatuh tertimpa tangga” adalah ungkapan kesialan seseorang yang bertubi. Kadang cobaan demi cobaan dirasakan oleh seseorang seakan datang silih berganti. Sama sekali tidak ada baginya untuk merasakan sebuah kebahagiaan. Setelah jatuh karena persoalan yang satu, masalah yang lain segera menyusul dan melilitnya. Demikian seterusnya betapa hidup selalu dalam kesusahan.

Akan tetapi, hidup yang tampak penuh dengan tumpukan nahas sebagaimana tersebut tidak akan dialami oleh orang mempunyai kecerdasan spiritual. Kegagalan boleh saja terjadi, namun orang yang mempunyai kecerdasan spiritual akan bisa menggali hikmah sehingga dapat menemukan kebaikan dan masih bisa merasakan kebahagiaan. Mengambil hikmah di setiap kejadian ini mesti dilatihkan oleh orang tua kepada anak-anaknya seperti keterangan berikut:


(51)

“kalau anak saya tertimpa cobaan mesti saya katakan jangan marah de’, karena ada kebaikan dibalik cobaan yang menimpa ade”. (wawancara dengan bapak ahmad)

“Bila saya tertimpa cobaan, saya selalu teringat dengan perkataan bapak saya, meskipun sakit tapi saya yakin Allah pasti akan membalas dengan sesuatu yang baika” (wawancara dengan akbar)

c. Membiasakan anak senang berbuat baik

Orang tua dapat melatih anak-anaknya untuk senang dalam berbuat baik sejak anak-anak masih kecil. Perbuatan baik disini bisa jadi menurut agama dan keyakinan yang dianut oleh orang tua dan keluarganya, baik menurut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat maupun ukuran baik menurut nilai-nilai kemanusiaan yang universal (azzet, 2010: 56).

Dalam melakukan perbuatan baik, kadang seseorang tidak melakukannya dengan senang hati. Hal ini bisa terjadi karena ia melakukan perbuatan baik dari hati yang terpaksa karena perintah dari orang tua (observasi di dusun ngipiksari desa hargobinangun). Oleh karena itu hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam melatih anak-anaknya agar senang berbuat baik adalah memberikan pengertian tentang pentingnya berbuat baik adalah memberikan pengertian tentang pentingnya uat tersebut.


(52)

Pengertian yang baik yang didapatkan oleh anak akan memunculkan kesadaran senang dalam melakukan perbuatan baik yang kita latihkan. Seperti peneliti tanyakan kepada pak Budi Wardoyo seperti keterangan berikut:

“untuk melatih anak-anak senantiasa berbuat baik kepada Allah dan sesalam manusia, serta memberikan pengertian bahwa orang yang melakukan kebaikan pasti akan dibalas kebaikan juga oleh Allah dan dapat kebaikan dari manusia” (wawancara dengan bapak Budi Wardoyo desa Hargobinangun, hari jum`at, pada tanggal 12.08.2016). Dari keterangan di atas kita melatih anak-anak agar senantiasa berbuat baik kepada Allah. Salah satu perbuatan baik yang dapat kita lakukan kepada Allah adalah taat kepada-Nya. Hal yang paling penting adalah bagaimana kita membangun kesadaran agar anak taat kepada Allah itu dilakukan dengan senang hati. Kita bisa menyampaikan tentang betapa Allah itu sangat sayang kepada kita dengan memberikan kita kaki untuk berjalan, tangan untuk memegang, hidung untuk bernafas, mulut untuk berbicara dan masih banyak lagi pemberian yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang sangat Dia sayang. Demikian pula berbuat baik kepada sesama manusia. Bagaimana orang tua dapat terus menerus membangun kesadaran diri bagi anak-anak agar dapat berbuat baik dengan senang hati seperti: tidak sombong, sopan santun dalam berbicara dan berbuat, tidak suka mencuri, jujur, pemaaf dan lain sebagainya seperti peneliti tanyakan dengan hasil keterangan berikut ini:


(53)

Bagaimana bapak mengajari anak untuk selalu berbuat baik? Jawab: dengan cara memberikan contoh teladan kepada anak setiap hari karena anak pasti menirukan perbuatan orang tua dan pasti akan menjadi terbiasa. Contohnya ketika saya selalu memberikan minuman kepada tamu yang berkunjung, tiba-tiba anak saya juga menirukan dan menjadi kebiasaan dalam memberikan minuman kepada tamu. (wawancara dengan bapak Sutikno jamaah Masjid al-Amin desa Hargobinangun, hari kamis, pada tanggal 11.08.2016).

Seperti yang peneliti tanyakan kepada anak-anak yang dilakukan orang tua kepada anaknya seperti keterangan berikut ini: Bagaimana bapak mengajarkan anda untuk berbuat baik? Jawab: kalau bapak mengajarkan saya untuk berbuat baik tidak pernah menggunakan omongan atau ajakan sekalipun, bapak tuh hanya memberikan contoh kepada saya sehingga otomatis saya mengikuti apa yang orang tua lakukan, jadi apa yang saya lakukan itu semua tidak pernah ada rasa berat hati atau ada keterpaksaan, saya melakukannya senang karena sudah menjadi kebiasaan. (wawancara dengan Dinar Wahyudiati desa Hargobinangun, hari jum`at, pada tanggal 11.08.2016).

Senang berbuat baik ini harus secara terus menerus dilakukan termasuk melatihkan kepada anak-anak. Disamping hal ini. Sangat penting sekali dalam mengembangkan kecerdasan spiritual yang pada ujungnya agar bersama-sama lebih mudah merasakan kebahagiaan, yakinlah bahwa perbuatan baik yang kita lakukan itu tidak akan sia-sia. Ada hukum yang pasti berlaku bahwa barang siapa yang melakukan kebaikan, pasti akan menerima anugrah kebaikan pula.


(54)

Senang menolong orang lain ini perlu kita latih kepada anak-anak. Apalagi, hidup di zaman modern seperti ini, yang cenderung orang-orangnya individualis dan sibuk dengan urusan masing-masing, senang menolong orang lain seakan-akan menjadi perbuatan yang mahal harganya. Tidak jarang kita melihat ada seseorang yang jelas-jelas membutuhkan pertolongan namun orang-orang yang berada di sekitarnya tampak cuek. Seperti yang orang tua ajarkan kepada anaknya untuk menolong orang lain sebagai berikut:

“kalau ada seseorang yang terkena musibah dan membutuhkan bantuan, saya mengajak anak untuk memberikan pertolongan berupa materi. ” (wawancara dengan Pak Mujiyono desa Hargobinangun, Desa Hargobinangun, hari sabtu, pada tanggal 17.08.2016). Seperti yang peneliti tanyakan kepada anak tentang ajaran dari orang tuanya sebagai berikut:

“saya kalau melihat ada orang miskin yang meminta-minta dipinggir jalan, saya mengasih uang kepada mereka” (wawancara dengan Roif desa Hargobinangun, Desa Hargobinangun, hari sabtu, pada tanggal 17.08.2016).

e. Membiasakan anak bersyukur

Syukur dapat diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah karena telah diberikan kenikmatan yang melimpah ruah. Mengajar dan mengajak anak untuk selalu mengucap syukur sangatlah penting. Namun, bentuknya tidak harus dengan uang. Banyak cara sederhana dari mengucap syukur yang bisa diajarkan


(55)

kepada anak, dan itu bisa dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari seperti yang peneliti tanyakan kepada orang tua seperti keterangan berikut ini:

“bagaimana cara bapak apabila anak bapak merasa kurang puas atas pemberian bapak atau tidak bersyukur khususnya uang jajan? Jawab: kalau saya memberikan uang jajan kepada anak dan anak saya merasa mengeluh karena kurang, saya langsung memberikan pengertian dan mengatakan kepada anak saya kalau mencari uang itu sulit sehingga anak saya paham dengan kondisinya yang sekarang dan bersyukur dengan apa yang dia punya” (wawancara dengan Pak Budiyono desa Hargobinangun, hari jum`at, pada tanggal 11.08.2016).

Dengan demikian, betapa pentingnya mempunyai sifat bersyukur bagi seorang anak agar mudah dan bisa merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Maka, hendaknya orang tua membimbing anaknya agar mempunyai sifat syukur. Meskipun bersyukur itu pada hakikatnya kepada Allah, tetapi orang tua dapat mengajarkan syukur juga bisa dengan mengucap terima kasih kepada sesama seperti keterangan berikut ini:

“mengapa bapak mengajarkan anak anda untuk bersyukur? Jawab: biar terbiasa mas” (wawancara dengan Sutikno desa Hargobinangun, hari kamis, pada tanggal 10.08.2016). Seperti yang peneliti tanyakan kepada anak tentang bagaimana orang tuanya mengajarkan syukur kepada anak-anaknya seperti keterangan berikut ini:

“kalau saya diberi sama siapa saja saya diajarkan untuk mengucapkan terima kasih dan alhamdulillah” (wawancara dengan Dinar Wahyudiati desa Hargobinangun, hari kamis, pada tanggal 10.08.2016).


(56)

Agar terbiasa mengucap syukur dan terimakasih kepada sesama ini orang tua harus melatih dan membimbing anak-anaknya sejak dini agar bisa bersyukur kepada Allah dalam setiap waktu dan kondisi apapun. Bersyukur adalah hal yang sangat penting untuk dilatihkan kepada anak-anak sejak usia dini agar kecerdasan spiritualnya dapat berkembang dengan baik.

f. Melatih anak bersabar

Seorang anak harus belajar bahwa kesabaran adalah mendapatkan sesuatu yang tidak disenangi dengan jiwa yang lapang dan bukan dengan kemarahan atau keluhan. Sikap sabar dapat termanifestasi melalui sikap, baik dalam melaksanakan ibadah maupun muamalah, serta menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.

Pepatah jawa mengatakan, “manungsa Mung bisa nata sedya nanging Gusti kang gawe pesthi”. Artinya sesuatu yang

terjadi pada tiap-tiap manusia memang ditentukan Tuhan. Itu mutlak atas kekuasaann-Nya. Manusia bisa berdoa minta macam-maca tetapi Tuhanlah pengambil keputusan. Oleh karena itu timbul suatu kewajiban bagi manusia untuk berikhtiar. Setelah berikhtiar disertai doa memohon kepada Allah selanjutnya menunggu ketentuan dari-Nya. Manusia harus insyaf bahwa apa yang diminta mungkin dikabulkan tetapi ditunda, dikabulkan langsung bahkan


(57)

mungkin tidak dikabulkan. Untuk menyikapi kemungkinan-kemungkinan itu harus memahami arti bersyukur dan sabar.

Sabar artinya menerima takdir atau nasib yang diberikan oleh Allah dengan senang hati dan luas dada atau tahan menghadapi cobaan, tidak menyalahkan siapa pun terlebih Allah. Sifat sabar inilah yang harus kita tanamkan pada anak sedini mungkin. Apabila anak terlanjur tidak mempunyai rasa sabar, tidak mudah untuk mengubahnya menjadi penyabar. Sulit sekali adanya. Langkah awal agar anak terbiasa sabar adalah tidak memanjakan anak. Selaku orang tua harus tahu makna tidak memanjakan anak. Tidak setiap permintaan anak dituruti. Langkah ini bukan menyiksa anak akan tetapi membelajarkan sifat kesabaran. Tentu, permintaan sesuatu yang kurang bermanfaat tidak perlu dituruti. Orang tua harus tegas, tidak perlu ragu-ragu. Yakinlah, anak tidak akan minta sesuatu dengan semena-mena terhadap orang tua yang bersifat tegas. Alhasil, pada anak akan tertanam sifat sabar dan tahu diri.

Langkah berikutnya, berikan pengertian dan contoh kisah teladan dan kebaikan sifat sabar. Langkah ini memang menuntut orang tua untuk banyak pengetahuan tentang kisah-kisah yang bisa digunakan untuk pendidikan kesabaran pada anak. Kisah-kisah teladan bisa diambil dari kisah hewan, raja-raja, kisah Nabi dan


(58)

sahabatnya serta tetangga atau tokoh yang dikenal anak. Kembangkan pemahaman sifat sabar pada anak agar lebih mantap dalam jiwanya. Katakan bahwa sifat sabar sangat disayang oleh Allah. Kesabaran sangat dianjurkan oleh agama, karena dengan bersabar Allah senantiasa bersama dia dan pasti mendapatkan ganjaran yang besar dari Allah SWT.

Dalam hal ini sebenarnya anak telah belajar menterjemahkan dalam sikap hidup tentang makna kesabaran. Tentu saja ini bagi anak yang telah terdidik dalam nuansa agama yang kuat. Seperti keterangan berikut ini:

“Kalau saya memberitahu anak saya untuk bersabar bila ada cobaan” (wawancara dengan bapak Farlan, Desa Hargobinangun, hari selasa, pada tanggal 16.08.2016). Lantaran sifat sabar inilah diperoleh keuntungan bagi anak itu sendiri dan keluarganya, yaitu:

1) Tidak mudah putus asa. Anak tidak suka ngambek apabila permintaanya tidak dituruti orang tuanya. 2) Tidak iri hati. Dengan melihat temannya yang

permintaannya tidak juga dituruti orang tuanya akan menyadarkan anak bahwa tidak hanya dirinya sendiri yang keinginannya tidak tercapai/dituruti.

3) Menerima (tidak mengeluh). Dalam pikirannya, anak pun akan mencatat permintaan apa saja yang dikabulkan dan yang tidak dikabulkan. Ia akan menyadari bahwa


(59)

tidak selamanya permintaannya ditolak dan tidak setiap permintaannya dituruti. Inilah yang akan membuat anak tidak mengeluh ketika perimintaan seorang anak tidak dituruti.

4) Mendewasakan anak. Artinya anak tidak bermental cengeng dan akan berpikir luas. Anak akan menyadari bahwa pemberian orang tua merupakan hasil pertimbangan yang matang. Anak akan mengerti bahwa keluarga mempunyai banyak kebutuhan di samping kebutuhan dirinya. Ia pun memahami akan kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi lebih dahulu.

Dalam hal ini, orang tua sangatlah penting dalam memberikan nasehat. Jika tidak dengan memberikan secara langsung, maka berilah contoh budi pekerti yang baik. Berilah anak contoh yang baik dengan bersabar terhadap apapun yang terjadi dalam kehidupan keluarganya, misalkan ketika anak meminta uang untuk membayar buku:

“Sabar yah nak, nanti kalau bapak ada uang, pasti bapak belikan buku pelajaran sekolah” (wawancara dengan bapak Nanto, Desa Hargobinangun, hari sabtu, pada tanggal 13.08.2016).

Apa pun kondisi keluarga ceritakan kepada anak, supaya anak itu terlatih untuk memahami kondisi orang tuanya, dan bisa sabar akan kondisinya yang mungkin kurang baik dari


(60)

teman-temannya. Penanaman rasa empati terhadap anak itu akan otomatis menjadi control pada diri anak itu sendiri. Akan tetapi tetap dalam koridor orang tua yang selalu memberikan nasehat dan bimbingan serta memotivasinya terhadap anak.

2. Orang tua menjadi pelatih dan teladan anak dalam kegiatan ibadah seperti:

a. Mengajarkan dan melatih solat

kecerdasan spiritual sangat erat kaitannya dengan kejiwaan, demikian pula dengan ritual keagamaan atau ibadah. Keduanya bersinggungan erat dengan jiwa atau batin seseorang. Apabila jiwa atau batin seseorang mengalami pencerahan, sangat mudah baginya mendapatkan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, agar anak-anak mempunyai kecerdasan spiritual yang baik, perlu untuk dilibatkan agar dalam beribadah semenjak usia dini (azzet, 2010: 65).

Solat merupakan sesuatu yang sangat penting bagi perkembangan dan kehidupan setiap anak. Karena setiap orang tua dituntut untuk dapat mengajarkan solat kepada anak-anaknya supaya kejiwaannya terjaga dan bisa terkontrol. Peran orang tua sangat besar dalam perkembangan setiap anak, apalagi anak yang sudah berumur baligh (mukallaf).


(61)

Meskipun anak-anak cenderung sulit diatur, orang tua tetap harus bersabar dalam memberikan pembelajaran tentang solat. Seperti yang peneliti tanyakan kepada pak Budi, kata beliau:

“anak-anak itu harus diajari solat sejak kecil dan harus selalu diajak ke masjid agar anak itu terbiasa, meskipun susah tapi saya tetap bersabar karena itu sudah merupakan kewajiban orang tua untuk mengajarkan kepada anak agar bisa solat. Dan juga saya sudah membuat kesepakatan buat anak-anak saya untuk dibangunkan solat subuh apakah diperciki air atau diguyur. Akhirnya setelah perjanjian dengan anak-anak, anak saya sudah terbiasa melakukan solat subuh meskipun terkadang susah” (wawancara dengan bapak Budi, Desa Hargobinangun, hari jum`at, pada tanggal 12.08.2016).

Begitulah pentingnya dalam mengajarkan solat kepada anak-anak mereka. Memang orang tua dahulu mengajaknya terlihat sepele, akan tetapi makna yang terkandung didalamnya itu menjadikan sesuatu itu sangat penting. Tidak ada orang tua yang mempunyai keinginan anaknya menjadi pribadi yang buruk, pasti mereka berkeinginan anaknya bisa mempunyai budi pekerti yang luhur. Solat lah yang menjadi tolak ukur kehidupan manusia. Jika solatnya baik maka kehidupannya akan baik pula.

Memberikan bimbingan kepada anak terutama pada hal-hal yang baru yang belum pernah anak ketahui. Dalam memberikan bimbingan kepada anak akan lebih baik jika diberikan saat anak masih kecil. Orang tua hendaknya membimbing anak sejak lahir ke arah hidup sesuai ajaran agama, sehingga anak terbiasa hidup sesuai dengan nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh agama. Selain


(62)

membimbing, orang tua harus memberikan pengarahan kepada anak. Biasanya pada usia anak-anak lebih suka bermain sampai lupa waktu untuk melakukan solat. Apalagi pada saat hari libur sekolah dan itu perlu bimbingan dan pengarahan dari kedua orang tuanya supaya anaknya untuk melaksanakan solat serta dibimbing oleh orang tuanya:

“Ayo nak kita solat dulu setelah itu mau ngapain silahkan” (wawancara dengan bapak Farlan, Desa Hargobinangun, hari selasa, pada tanggal 16.08.2016).

Menjelang waktu maghrib biasanya yang sangat berperan penting adalah bapaknya seperti mengajak anaknya ke musholla dan mendampinginya dan itu dimulai sejak kecil seperti yang peniliti tanyakan sebagai berikut:

“bagaimana bapak mengajak anak bapak untuk solat? Jawab: dengan cara mengajak anak saya ke masjid tiap hari agar terbiasa mas, kalau anak selalu diajak sejak kecil, secara tidak langsung anak pasti akan terbiasa dan akan sendirinya anak akan ke masjid untuk melakukan solat meskipun awalnya susah karena anak sukanya main tapi lama kelamaan anak akan terbiasa” (wawancara dengan bapak Budi, Desa Hargobinangun, hari jum`at, pada tanggal 12.08.2016).

Jadi, pengarahan, bimbingan dan pengawasan dari orang tua itu sangatlah penpting sekali supaya nantinya si anak terbiasa melakukannya sendiri tanpa harus didampingi oleh kedua orang tuanya apalagi tentang masalah solat, yang notabene menjadi ibadah yang harus dilakukan setiap hari. Selain itu sebagian besar orang tua di desa Hargobinangun juga menyekolahkan atau


(63)

menitipkan anak-anaknya di lembaga non formal seperti TPA pada sore harinya (observasi di Dusun Ngipikasari pada tanggal 12.08.2016). di malam hari, orang tuanya selalu membimbing dan memberikan pengawasan agar anak selalu mendapatkan curahankasih sayang dan berkomunikasi dengan anaknya serta memberi perhatian agar si anak tidak hanya cerdas intelektualnya saja akan tetapi juga cerdas spiritualnya supaya merasa damai hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Pembinaan dalam hal solat kepada anak yang dilakukan oleh anak yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di desa Hargobinangun sangat mempengaruhi karena berdampak ketika dewasanya nanti seperti hasil wawancara berikut:

“anak itu harus dibina dan diajak solat sejak kecil, sehingga ketika besar nanti akan muncul kebiasaan dan orang tua tidak perlu lagi atau bersusah payah lagi untuk mengajak anak solat” (wawancara dengan bapak Budi, Desa Hargobinangun, hari jum`at, pada tanggal 12.08.2016). Cara mengajarkan anak untuk beribadah solat sejak kecil memang gampang-gampang susah. Apalagi jika orang tua adalah keluarga yang baru memiliki anak pertama. Selain faktor tersebut, fakta bahwa anak-anak tidak bisa dikreasi dan juga anak-anak memang lebih suka bermain akan membuat proses mengajarkan tentang ibadah menjadi sedikit lebih sulit.

Sebagaimana pribahasa, buah jatuh memang tidak akan jauh dari pohonnya. Jadi jika orang tua mengajarkan yang


(64)

baik-baik serta memberikan contoh untuk beribadah dengan rajin dan taat. Maka tentulah hal tersebut akan dicontoh oleh sang anak sehingga anak kita juga akan mulai belajar untuk beribadah sejak dini.

Namun, meskipun para orang tua sudah mengerti bagaimana cara mengajarkan anak untuk ibadah solat sejak kecil. Terkadang hal ini tetap saja menjadi masalah dan kita akan mendapati fakta bahwa anak kita akan tetapi susah diajak untuk beribadah, baik itu solat maupun membaca al-Qur`an. Pengawasan dalam solat juga perlu dilaksanakan oleh para orang tua. Dari wawancara didapatkan data sebagai berikut:

“kalau saya hanya bisa mengawasi kalau sempat saja karena saya juga sibuk bekerja” (wawancara dengan bapak Farlan, Desa Hargobinangun, hari selasa, pada tanggal 16.08.2016).

Dari keterangan di atas para orang tua juga mengawasi anak-anak mereka dalam urusan solat. Pengawasan ini mereka lakukan kalau mereka ada waktu atau ketika mereka tidak bekerja dengan cara melakukan jama’ah solat dengan anak mereka.

Ketika orang tua sedang solat, seharusnya kita mengajak anak kita untuk ikut solat. Jangan malah membiarkan anak asyik menonton televisi maupun asyik bermain game di gadget. Hal ini bertujuan agar anak kita sesegera mungkin mengenal ibadah solat, baik itu dari waktunya solat yang jumalhnya lima kali selama satu


(1)

66

serta pengawasan terhadap apa-apa yang dilakukan oleh anak dalam perilakunya sehari-hari. Sebaliknya kurangnya perhatian orang tua akan dapat menghambat kecerdasan spiritual pada anak.

B. Saran

Setelah melihat kondisi yang ada, serta berdasarkan hasil penelitian yang penulis laksanakan, tidak ada salahnya apabila penulis memberikan saran kepada masyarakat baik yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Dalam rangka menanamkan dan mengembangkan kecerdasan spiritual anak, maka penulis menyarankan:

1. Untuk orang tua

a. Mengingat pentingnya pengembangan kecerdasan spiritual bagi anak, maka orang tua hendaknya memperioritaskan sikap-sikap tersebut untuk dikembangkan dan diajarkan pada anak-anak. b. Para orang tua hendaknya mampu dan mau menjadikan diri

mereka menjadi model pembelajaran spiritual bagi anak-anak mereka. Sehingga dengan demikian anak akan memiliki figur yang akan ditiru dan dicontoh bagi mereka setiap saat.

c. Pendidikan yang diberikan orang tua sangat menentukan perkembangan dan pembentukan kepribadian anak. Untuk itu orang tua harus berupaya mengoptimalisasikan perannya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak.


(2)

67

d. Pembicaraan tentang kecerdasan spiritual sudah sering kita dengarkan, namun sejauh ini pembicaraan tersebut masih terlalu umum dan sedikit yang memfokusnya dan meninjaunya. Oleh karena itu penulis sarankan kepada mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam yang lain agar dapat kiranya mengembangkan penelitian yang mengkaji kecerdasan spiritual. e. Orang tua harus bisa mengawasi di mana pun anak-anak berada terutama dalam bergaul, baik dengan teman-temannya maupun dengan teknologi.

f. Orang tua harus memberikan kebebasan kepada anak-anaknya, artinya kebebasan masih dalam pengawasan. Agar anak-anak dapat menyalurkan bakatnya untuk kelangsungan hidup di masa yang akan datang.

2. Untuk anak

a. Patuhi perintah atau pun nasehat dari orang tua selama mendatangkan kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

b. Selalu mendoakan orang tua dengan kebaikan. c. Selalu mengerjakan hal-hal yang positif d. Tidak meninggalkan solat lima waktu. 3. Untuk Pemerintah

Baik pemerintah tingkat pusat maupun daerah, perlu diusahakan adanya subsidi atau bantuan. Karena subsidi sangat


(3)

68

dibutuhkan guna pemenuhan fasilitas pendukung pembelajaran lainnya. Sehingga anak-anak tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialis religius.

C. Kata Penutup

Alhamdulillah senantiasa kita bersyukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada hamba sehingga dengan segala daya dan upaya, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Apa yang penulis sampaikan di dalamnya hanyalah merupakan sebagian kecil dari ilmu Allah yang tertuang dari samudra ilmu, yang itu pun tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini sangat penulis harapkan. Namun, tidak kurang dari harapan penulis mudah-mudahan melalui skripsi ini sedikit banyak dapat diambil manfaatnya oleh para pembaca, sehingga dapat menjadikan penggugah hati ke arah yang lebih jauh dan luas dalam rangka kita melangkah ke arah yang positif dan dapat menjadi suatu kontribusi bagi model pendidikan spiritual yang relevan dengan kondisi pendidikan agama islam di Indonesia.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan petunjuk serta bimbingan-Nya kepada kita, sehingga kita semua dapat menggapai ketentraman lahir dan batin untuk mengabdi kepada-Nya. Amin.


(4)

Daftar Pustaka

___________ , Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung, Cet. XXIII, 2001. Adriana, Elga. 2006. Tanya Jawab Problem Anak Usia Dini Berbasis

Gender.Yogyakarta: Kanisius, Cet. V.

Azet, Akhmad Muhaimin. 2010. Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Bagi Anak. Yogyakarta: Kata Hati.

Agustian, Ary Ginanjar. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ, The ESQ Way 165). Jakarta: Arga.

Agustina. 2006. IQ, Prestasi Belajar di Sekolah, dan Kecerdasan Emosional Siswa Remaja. Jurnal Provitae. Vol. 2, No. 2.

Ali, Atabih. 2003. Kamus Inggris Indonesia Arab. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, cet. I.

Ali, M. Nashir. 1987. Dasar-dasar Ilmu Mendidik. Jakarta: Balai Pustaka.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 2012. Al-Lu`Lu Wal Marjan (Mutiara Hadis Shohih Bukhori Dan Muslim. Jakarta: Umul Quro.

Berry, Davit. 2003. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. XVII, 2005. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, cet. I, 1988.

Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Djumhur dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung:

CV. Pedoman Ilmu Jaya.

Effendi, Agus. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Alfabeta. Cet. I,. Fathoni, Abdurrahman. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan

Skripsi, Jakarta: Rineka Cipta.

Fuaduddin T. 1995. Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender.

Kurniawan, Yedi. 1993. Pendidikan Anak Sejak Dini Hingga Masa Depan; Tinjauan Islam dan Permasalahannya. Jakarta: Firdaus.

Margono. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.

Munawwi, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, cet. XIV.


(5)

Mushoffa, Aziz. 2009. Aku anak hebat bukan anak nakal. Yogyakarta: DIVA press. Nasution. 1995. S. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, cet. I, ed. 1. Ngermanto, Agus. 2001. Quantum Quotient (Keceradasan Quantum): Cara Praktis

Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang Harmonis. Bandung: Nuansa.

Poerwadarminta, WJS. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Santana, Septiawan. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2000. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. V.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, cet. IV.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sujanto, Agus. 1982. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Aksara Baru.

Sukidi. 2002. Rahasia Sukses Hidup Bahagia Kecerdasan Spiritual Mengapa SS Lebih Penting daripada IQ dan EQ, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Tebba, Sudirman. 2004. Kecerdasan Sufistik: Jembatan Menuju Makrifat. Jakarta: Kencana, Cet. II.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, ed. 3.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.

Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2001. SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan, cet. V.


(6)

PERANAN ORANG TUA DALAM PENGEMBANGAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK PADA KELUARGA AKTIVIS ISLAM DI KALIURANG

YOGYAKARTA

Proposal Skripsi

Diajukan sebagai syarat melakukan penelitian untuk menyusun skripsi Pada Fakultas Agama Islam

Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun

Oleh :

Hermansyah

20120720218

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA