Luka Akibat Bahan Kimia. faktor – faktor yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada luka bakar

intravena ditingkatkan hingga urin bersih. Kelainan jantung adalah komplikasi umum lainnya dari cedera tegangan tinggi. Penyebab paling umum kematian di tempat kejadian adalah fibrilasi ventrikel. Kondisi pasien berikut memerlukan pemantauan jantung : - Henti jantung - Aritmia jantung - Kelainan 12 lead EKG selain bradikardia dan takikardia - Kehilangan kesadaran - Keparahan luka bakar usia butuh

b. Luka Akibat Bahan Kimia.

Derajat keparahan luka bakar kimia ditentukan oleh beberapa faktor yaitu kekuatan konsentrasi, kuantitas dari agen kimianya, durasi kontak kulit dengan bahan kimia progresifitas, dan mekanisme luka tersebut. Terdapat mekanisme agen kimia pada system biologis tubuh yaitu reduksi, oksidasi, agen korosif, keracunan protoplasmic, Vesicants dan Dessicants. Prinsip penanganan luka bakar kimia meliputi pembebasan dari pakaian, sepatu, perhiasan yang terkontaminasi. Irigasi dalam volume besar dengan air mengalir selama 30 menit. Substansi alkalin kurang solute dalam air sehingga butuh waktu irigasi yang lebih lama. Lavasi copious telah terbukti dapat menurunkan luas dan kedalaman dari full thickness injury.

2.6. faktor – faktor yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada luka bakar

Tingginya angka mortalitas dan morbiditas akibat luka bakar dilakukan pengamatan dengan permasalahan terletak pada beberapa faktor yang sangat kompleks, dapat dikelompokkan antara lain: Faktor Pasien Penyebab kematian pada luka bakar : a. Sepsis Jaringan yang mengalami koagulasi pada suhu tubuh merupakan media kultur yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Hal ini menyebabkan berkurangnya sirkulasi ke jaringan yang berfungsi membawa produk darah yang merupakan bagian dari Universitas Sumatera Utara mekanisme pertahanan humoral. b. Usia. Luka bakar yang bagaimanapun dalamnya luasnya menyebabkan kematian yang lebih tinggi pada anak dan orang dewasa diatas usia 60 tahun. Kematian pada anak-anak oleh karena daya kekebalan belum sempurna. Orang dewasa yang lebih tua sering kali menderita penyakit sampingan yang memperbesar kematian. Faktor Pelayanan, termasuk disini adalah petugas dan fasilitas pelayanan yang ada. a. Petugas Pengetahuan, khususnya mengenai patofisiologi luka bakar dan penatalaksanaan luka bakar baik pada penatalaksanaan awal maupun penatalaksanaan lanjut indikasi, kontraindikasi, timing, prosedur yang disiapkan dan yang penting mengetahui permasalahan yang ada. b. Fasilitas pelayanan yang kurang atau tidak memadai. Pada penatalaksanaan luka bakar yang berpengaruh pada Mortalitas dan Morbiditas dimana sering kali terjadi kondisi-kondisi dimana kasus luka bakar datang dengan kondisi syok dikirim oleh suatu fasilitas pelayanan kesehatan, tanpa tindakan pertolongan sebelumnya, khususnya tindakan resusitasi cairan pada fase syok yang sangat menentukan kondisi maupun tindak lanjut. Faktor Cedera a. Jenis-jenis luka bakar dan luasnya lokasi luka bakar. Penderita dengan luka bakar khusus harus selalu dilakukan penanganan khusus seperti luka yang disebabkan oleh listrik atau bahan kimia mungkin nampak tidak begitu berat, seakan- akan luka tersebut hanya ringan tetapi sering kali mengenai struktur yang dalam dan sulit ditangani. Luas dan lokasi luka bakar juga merupakan suatu penentu keparahan luka misalnya, luka bakar pada tangan, walaupun hanya derajat II dapat menunjukkan bekas atau kontraktur yang Menyebabkan tangan tidak dapat digunakan kecuali kalau pengobatan khusus diberikan sedini mungkin selanjutnya bahkan luka bakar yang tidak parahpun pada kedua tangan menyebabkan penderita tidak dapat merawat dirinya sendiri diluar rumah sakit. Penderita dengan luka bakar perineal harus dirawat di rumah sakit karena besarnya kemungkinan terjadi peradangan. b. Lama kontak dengan sumber panas Semakin lama kontak dengan sumber panas, kerusakan jaringan semakin dalam dan luas. Universitas Sumatera Utara anak-anak oleh karena daya kekebalan belum sempurna. Orang dewasa yang lebih tua sering kali menderita penyakit sampingan yang memperbesar kematian. Keadaan yang memperberat luka bakar 1. Syok hipovolemik Pada luka bakar yang berat akan mengakibatkan koagulasi disertai dengan nekrosis jaringan yang akan menimbulkan respon fisiologis pada setiap system organ, tergantung pada ukuran luka bakar yang terjadi. Destruksi jaringan akan disertai dengan peningkatan permebilitas kapiler sehingga cairan intravena akan keluar ke interstisial. Hal ini akan disertai dengan proses evaporasi pada bagian kulit yang rusak sehingga cairan tidak akan bertahan lama. Keadaan ini selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik. Pada kondisi ini perlu dilakukan resusitasi cairan segera. Selama ini digunakan cairan isotonik RL; dengan cara ini cukup efektif menangani syok hipovolemik dan juga dapat mengurangi kebutuhan terhadap transfuse darah. Cairan koloid lainnya sepert Asetat Ringer AR juga dapat digunakan. Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access vena seksi dan sebagainya. Jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang. Setelah syok teratasi pemberian cairan mengacu kepada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. Pada keadaan yang menyertai syok seperti sepsis, hipoksi jaringan, proses gluko-neogenesis dan oksidasi hepatik yang melemah merupakan faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya kenaikan laktat dalam plasma sd 600. Kadar laktat plasma yang meningkat ini berhubungan dengan kerja miokardial rang meningkatkan mortalitas. Dalam kondisi ini penggunaan RL seringkali tidak memperbaiki keadaan, bahkan membahayakan. Sebagai alternatif, Asetat Ringer merupakan cairan yang secara fisiologik sama dengan RL , tanpa kandungan laktat. Dengan pemberian Asetat ringer ini asetat segera di metabolisme dengan cepat sehingga akan diikuti dengan perbaikan keseimbangan asam- basa.

2. Infeksi, Sepsis, SIRS, dan MODS

Infeksi luka bakar Jarang terjadi pada partial-thickness burns kecuali jika terdapat kelalaian dalam penanganan luka bakar derajat II ini. infeksi jaringan invasive sering terjadi pada pasien dengan luka bakar derajat III yang meliputi lebih dari 30 permukaan tubuhnya. Resiko terjadinya infeksi pada luka bakar meningkat jika terdapat luka terbuka atau karena komorbiditas. Universitas Sumatera Utara SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun pasien trauma lainnya. Dalam penelitian dilaporkan bahwa SIRS dan MODS menyebabkan kematian sebesar 81 pasca trauma. SIRS SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll. Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi proinflamasi yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan mengalami eksagregasi dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS Multi-system Organ Disfunction Syndrome bahkan sampai kegagalan berbagai organ Multi-system Organ FailureMOF. SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81 kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS. Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu: - Hipertermia suhu 38°C atau hipotermia suhu 36°C - Takikardi frekuensi nadi 90xmenit - Takipneu frekuensi nafas 20xmenit atau tekanan parsial CO2 rendah PaCO 2 - Leukositosis jumlah lekosit 12.000 selmm 32 mmHg 3 , leukopeni 4000 selmm 3 Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab dari hasil kultur darahbakteremia, maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS. atau dijumpai 10 netrofil dalam bentuk imatur band. Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS. Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap. Patofisiologi Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro- inflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi. Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor TNFα, interleukin IL Tahap I 1 , IL 6 , interferon, Colony Stimulating Factor CSF, dan lain-lain. Efektor selular respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Sel-sel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor PAF, radikal bebas, oksida nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan walling off jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi. Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan Growth FactorGF. Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen antagonis reseptor IL Tahap II 1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL 4 , IL 10 , IL 11 , reseptor terlarut TNF Transforming Growth FactorTGF. Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga. Universitas Sumatera Utara Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III SIRS; terjadi reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskular, akselerasi trombosis mikrovaskular, aktivasi sel leukosit-endotel yang mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, Disseminated Intravascular Coagulation DIC, ARDS, MODS, dan kematian. Tahap III MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30 kasus mengalami MODS. Ada 3 teori yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya terjadi secara simultan. Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkuranghilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika. Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang kulit, mukosa, sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman endo atau enterotoksin. Pada kondisi disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan. Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik ensefelopati. Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis ATN yang berakhir dengan gagal ginjal Acute Renal FailureARF. Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric Oxide NO; NO ini berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit. Universitas Sumatera Utara Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex LPC yang sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik. Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme hipometabolik pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya yang menguras seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif. Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis. Tatalaksana Pemberian Nutrisi Enteral Dini NED melalui pipa nasogastrik dalam 8 jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan karena akan merubah pola habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora usus. Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan sedini mungkin eksisi dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat, bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera immediate skin grafting untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme, barrier terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme. Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat pemberian serta efek sampingnya. Universitas Sumatera Utara Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan menjinakkan leukotrien LTB4 yang bersifat maligna dengan cara mempengaruhi lypoxygenase pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna. Pemberian Omega-6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan ThromboxaneA 2 yang bersifat maligna. Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress Syndrome ARDS, dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam Deep Vein ThrombosisDVT, hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation DIC Komplikasi

3. Cedera Inhalasi

Konsekuensi klinis dapat berupa edema saluran nafas atas, bronospasm, oklusi saluran nafas, hilangnya klirens silier, peningkatan ruang rugi, intrapulmonary shunting. Menurunnya komplaiens dindng dada, tracheobronkitis, dan pneumonia. Tanda – tanda dari keracunan karbondioksida adalah sakit kepala, bingung, koma dan aritmia. a. indikasi trauma inhalasi : adanya riwayat trauma pada ruangan tertutup, luka bakar wajah, bulu hidungmata terbakar, jelaga pada lubang hidung atau rongga mulut, suara serak hoarseness, konjungtivitis, takipnea, sputum berjelaga, meningkatnya level CO dalam darah tampak darah lebih merah cerah b. Tersangka trauma inhalasi membutuhkan intubasi segera akibat edema jalan napas yang progresif. Kegagalan dalam mendiagnosis trauma inhalasi dapat berakibat obstruksi jalan nafas, jika tidak tertatalaksana dapat menyebabkan kematian. c. X-ray dada dan analisa gas darah dapat digunakan untuk mengeksklusikan trauma inhalasi. d. Direk bronchoscopi saat ini digunakan sebagai alat untuk diagnose Standar prosedur trauma inhalasi di unit luka bakar Anamnesis - Riwayat terbakar dalam ruang tertutup - Riwayat pingsan dalam ruang tertutup yang terbakar Universitas Sumatera Utara Pemeriksaan fisik - Luka bakar diwajah - Rambut alis bulu hidung terbakar - Jelaga pada rambut alis bulu hidung - Lidah dan mukosa intraoral bengkak - Suara serak - Sesak napas - Konfirmasi dengan pemeriksaan laringoskop : terdapat hiperemis edema Tindakan - pemasangan ETT disesuaikan dengan usia dewasaanak - bila ditemukan salah satu atau lebih dari pemeriksaan fisik poin 4,5,6,7 seperti tertera diatas lakukan intubasi segera. - Bila ditemukan salah satu atau lebih dari pemeriksaan fisik poin 1.2.3 seperti tertera diatas lakukan observasi ketat tanda klinis dan laboratorium , bila observasi ketat tidak dapat dilakukan maka lakukan intubasi - Bila usaha intubasi 1 kali gagal dilakukan harus dikonversi ke Trakeostomi - Bila ditemukan edema massif pada wajah dan leher disertai tanda klinis trauma inhalasi lakukan Trakeostomi segera. - Bila timbul keraguan sebaiknya dilakukan intubasi sebelum semuanya terlambat.

4. Stress Ulcer

Stres ulcer tercatat sebagai penyulit pada kasus luka bakar berat dan dikenal dengan sebutan Curling Ulcer. Enam puluh lima persen kasus luka bakar dengan luas lebih dari 35 mengalami erosi mukosa usus dan 74 kasus berkembang menjadi stress ulcer. Stress ulcer ini biasanya terjadi dalam 96 jam pasca cedera termis sedangkan lokasi anatomic tersering adalah gaster daerah fundus dan korpus dan dinding posterior duodenum. Stress ulcer ini memberikan gejala perdarahan gastrointestinal masif dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat cedera disertai adanya klinik hematemesis, cairan hitam pada pipa nasogastrik. Pada pemeriksaan Universitas Sumatera Utara endoskopik dijumpai keseluruhan mukosa pucat, erosi mukosa akut tanpa indurasi disekitarnya, dijumpai peteki eritematous dan makula disertai fokus hemoragik pada mukosa. Pemberian nutrisi parenteral dini ternyata merupakan cara yang efektif dalam mencegah terjadinya stress ulcer meskipun belum dapat menurunkan angka mortalitas luka bakar secara keseluruhan. Pemberian antasida sebagai upaya menetralisir asam lambung yang dicurigai terjadi pada kondisi stress. Pemberian H2 antagonis reseptor seperti ranitidin dan simetidin dilaporkan memiliki efektifitas yang sama dengan antasida. Pemberian inhibitor H- K ATP ase seperti omeperazol dan lozoperazol memiliki efektifitas yang baik pada kondisi terjadinya perdarahan. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODE PENELITIAN