STUDI DESKRIPTIF FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN (Studi di Kecamatan Metro)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perilaku manusia dalam kehidupannya sehari-hari selalu dihadapkan dengan berbagai masalah. Masalah yang ada tersebut beranekaragam,mulai dari masalah yang sukar sampai kemasalah yang mudah untuk dipecahkan oleh pribadi yang bersangkutan. Namun adakalanya manusia selalu menganggap masalah yang prinsip dengan sikap yang tidak peduli, sehingga dapat berakibat fatal serta merugikan dirinya sendiri.
Masalah yang dapat dianggap prinsip tersebut salah satunya adalah yang menyangkut kehidupan manusia untuk melanjutkan keturunannya. Dalam hal ini tentunya dapat dilakukan sesuai dengan norma dan aturan yang dianut oleh Bangsa Indonesia dimana untuk melanjutkan keturunannya dapat ditemput dengan melakukan suatu perkawinan, yaitu suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sah baik menurut adat,agama,maupun undang-undang yang belaku dinegara kita. Dengan demikian,perkawinan tersebut dapat menciptakan rumah tangga yang rukun,damai,bahagia dan sejahtera, serta diberkahi suatu kesehatan baik jasmani maupun rohani Oleh sebab itu,maka dalam sebuah perkawinan kita akan
(2)
membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal,dalam arti baik lahir maupun batin.
Dalam masyarakat,keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang terdiri dari ayah,ibu dan anak yang sangat berpengaruh terhadap gerak langkah pembangunan di Negara kita. Dewasa ini, pemerintah Indonesia sangat membutuhkan manusia-manusia yang memiliki potensi untuk kemajuan pembangunan dimana hal ini akan tumbuh dari keluarga yang disiplin dan harmonis.
Keluarga terbentuk dari hasil perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita,dimana keluarga merupakan tempat suami istri untuk melakukan fungsi sisial dan ekonomi. Oleh sebab itu,perkawinan merupakan langkah awal dari suatu kehidupan bersama dari seorang suami dan istri, sehingga bahagia atau tidaknya suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya jiwa anak yang kelak akan menjadi dewasa.
Menurut Subekti dan Tjirosudibio, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. (Subekti dan Tjirosudibio, 1978 ; 471)
Berdasarkan pengertian perkawinan diatas,maka jelas terlihat bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang agung,sebab tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, Oleh karena itu,perkawinan bukanlah suatu permainan yang dapat dilakukan setiap saat dan kapan saja,melainkan merupakan suatu tanggung jawab moral dari pasangan suami
(3)
istri,serta merupakan suatu tantangan yang harus ditempuh untuk mewujudkan keluarga yang kekal abadi.
Untuk mencapai keluarga yang kekal dan abadi, diperlukan suatu bekal yang cukup baik secara lahir maupun batin, karena perkawinan yang apabila dilakukan dengan tidak mempertimbangkan kedua hal tersebut, maka akan berakibat pada mudahnya terjadi keretakan yang akhirnya akan mengarah ke perceraian. Untuk itu maka perkawinan hendaknya dilakukan pada usia yang ideal, dimana seorang pria 25 tahun dan untuk seorang wanita 20 tahun, karena pada usia tersebut baik laki-laki maupun perempuan sudah benear-benar siap dan matang secara fisik maupun secara kedewasaan. (Lucas, 1982 ; 133).
Didalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7,dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak yang beranggapan bahwa batas umur minimum untuk memasuki perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 7 terlalu rendah dan sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, maka pemerintah mengeluarkan suatu kebijaksanaan baru yang dituangkan dalam Instruksi Mentri Dalam Negeri nomor 27 tanggal 24 Juli 1983 tentang usia perkawinan, di mana perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 25 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 20 tahun. (BKKBN, 1986).
Tidak seperti perkawinan yang merupakan upacara penting dalam kehidupan, perceraian merupakan suatu hal yang tidak diinginkan terjadi oleh suku manapun
(4)
yang ada di Indonesia, tetapi bagaimanapun juga hal tersebut tetap saja terjadi. Menurut Lili Rasjidi, perceraian adalah terhentinya atau pembubaran suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri didalam kehidupan berumah tangga. (Rasjidi, 1977 ; 176)
Salah satu pihak berbuat serong sering dijadikan alas an yang kuat untuk terjadinya suatu perceraian, karena hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang dilarang baik oleh agama maupun adat. Faktor ekonomi yang memprihatinkan menyebabkan seorang istri merasa terlalu berat untuk melaksanakan tugas-tugasnya selaku ibu rumah tangga, sehingga melahirkan ketegangan dan sikap yang kaku antara suami dengan istrinya yang akhirnya akan mengarah pada perceraian.
Faktor keturunan merupakan hal yang penting dalam sebuah perkawinan, karena menurut anggapan masyarakat hanya doa yang dikirimkan oleh anak kandungnya yang dapat diterima Tuhan untuk keselamatan roh orang tua dialam baqa.
Dalam kehidupan sehari-hari mudah ditemukan adanya tanda-tanda disintegrasi dalam suatu keluarga, misalnya percekcokan atau pertentang antara suami dan istri yang berlarut-larut pertentangan antara masing-masing anggota keluarga, misalnya antara suami dengan istri, menurut Hariono yang dikutip oleh Abdullah Kelib (1990 : 140), bila terjadi pertentangan yang berkepanjangan dalam keluarga, terutama antara suami dan istri, biasanya terdapat tiga pilihan jalan yang akan ditempuh oleh pasangan tersebut: Pertama, meneruskan perkawinan tersebut, berarti membiarkan kehidupan rumah tangga sebagai neraka; Kedua, mengadakan
(5)
perpisahan secara jasmaniah, sementara itu masih tetap dalam status sebagai suami isteri. Hal ini akan merupakan penyiksaan lahir batin, terutama bagi pihak istri; Ketiga, melakukan perceraian, dimana masing-masing pihak menjadi bebas dan leluasa untuk merenungkan dan mempertimbangkan kembali rumah tangga, mereka bebas untuk meneruskan perceraian dan bebas untuk rukun kembali.Bila ketegangan-ketegangan antar pribadi diakhiri dengan perceraian, maka hancurlah harapan-harapan dan penantian-penantian, juga ikatan-ikatan keluarga yang Sah.Perpisahan,penyelewengan dan perceraian adalah tingkat terakhir dari proses disintegrasi keluarga, dan perceraian merupakan pengakuan sah dari adanya kehancuran.
Belum lagi jika perceraian dipandang dari sisi kepentingan anak. Bila pasangan tersebut memiliki anak yang masih kecil, maka anak akan kehilangan tempat perlindungan hidup yang aman dan kasih saying secara utuh dari orang tuanya, Menurut Sheldon dan Eleanor yang dikutip oleh William J, Goode(1991 : 206) masalah kenakalan remaja terjadi pada keluarga yang tidak utuh lagi,sebagai berikut; “Remaja yang nakal relative lebih mungkin berasal dari rumah tangga yang berantakan daripada rumah tangga yang utuh, tetapi anak-anak dari seorang janda atau duda hampir 50% kemungkinan menjadi nakal daripada rumah tangga yang utuh. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas,terlihat bahwa perceraian disamping merugikan suami isteri juga merugikan anak-anak karena kurang mendapat perhatian atau kasih sayang dan pengawasan dari kedua orang tua yang telah bercerai.
(6)
Menurut William J, Goode (1991 : 199) dengan adanya perceraian maka keluarga akan mengalami masalah-maslah yang menyangkut kebutuhan dalam keluaga sebagai berikut :
1. Penghentian kepuasan seksual
2. Hilangnya persahabatan, rasa aman dan kasih saying, 3. Hilangnya peran model orang tua untuk ditakuti anak-anak,
4. Penambahan beban dalam rumah tangga bagi pasangan yang ditinggalkan,terutama dalam menangani anak-anak,
5. Penambahan dalam persoalan ekonomi, terutama jika suami mati atau meninggalkan rumah,
6. Pembagian kembali tugas-tugas rumah tangga dan tanggung jawab.
Menurut William J. Goode (1991 : 1991) kecenderungan pasangan untuk bercerai berasal dari status sosial ekonomi rendah terutama pada masyarakat pedesaan, karena perceraian bagi mereka bukan merupakan tragedy besar,tetapi merupakan hal yang biasa, Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suami isteri bercerai a. Faktor status, yaitu tingkat pendidikan
b. Faktor ekonomi, yaitu tingkat pendapatan
c. Faktor social, yaitu kondisi lingkungan (lingkungan tetangga dan lingkungan keluarga).
(7)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian di kalangan Masyarakat Kecamatan Metro”.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perceraian pada Masyarakat Kecamatan Metro?
2. Untuk mengetahui Faktor apa yang paling mempengaruhi penyebab terjadinya perceraian di Masyarakat Kecamatan metro?
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :
1, Secara praktis, diharapakan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah, khususnya Departemen Agama, dalam mencegah terjadinya perceraian.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
a. Obyek Penelitian : Studi Deskriptif Faktor-Faktor Penyebab Perceraian b. Tempat Penelitian : Kecamatan Metro
c. Waktu Penelitian : Taun 2012 d. bidang Ilmu : Sosiologi
(8)
(9)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Keluarga
Keluarga adalah satu–satunya lembaga sosial yang secara resmi tela berkembang disemua masyarakat (William J. Goode, 1991:7), dan merupakan kelompok sosial terkecil dalam masyarakat (YB suparlan,1990:62), sedangkan dalam keidupan sehari–hari, keluarga adala suatu kelompok yang terdiri dari suami, istri dan anak – anaknya sebagai hasil dari perkawinan, memiliki hubungan darah, tali perkawinan, atau adopsi yang hidup bersama dalam suatu periode tak tertentu (Dwi L. Yanny,2001:39).
Seperti halnya suatu bangsa, keluargapun dapat mengalami disentegrasi, menurut Soejono Soekanto (1995:411), disentegrasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit. Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan disentegrasi keluarga antara lain :
1. Kegagalan suami sebagai kepala rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan primer keluarganya
2. Suami mengambil seorang istri lagi
3. Keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial – ekonomi yang baru, hal ini biasanya terjadi pada keluarga yang berada dalam masyarakat
(10)
transisi menuju masyrakat modern dan kompleks (Soejono Soekanto, 1995;413).
Adapun bentuk–bentuk dari disentegrasikeluarga adalah :
a. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan diluar perkawinan
b. Disentegrasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan meja, dan tempat tidur, dan seterusnya.
c. Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut
d. Krisis keluarga karena salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga diluar kemampuanya sendiri meninggalkan rumah tangga, mungkin karena meninggal dunia, dihukum atau karena perpecahan
e. Krisis keluarga yang disebabkan oleh faktor – faktor intern (Soejoono Soekanto, 1995:411).
Sedangkan YB. Suparlan, menjelaskan bahwa keluarga adalah bagian yang terkecil dari masyarakat yang terdiri dari sekelompok manusia yang hidup bersama dengan adanya ikatan perkawinan hubungan darah atau adopsi. Hubungan tersebut terdiri dari suami, istri atau ayah ibu, anak–anak dan saudara (YB. Suparlan, 1990:12). Dan keluarga adalah satu–satunya lembaga sosial yang secara resmi telah berkembang disemua masyarakat (William J. Goode,1991:17).
Adapun ciri–ciri keluarga adalah sebagai tersebut :
(11)
1. Keluarga adalah susunan orang – orang yang disatukan oleh ikatan –ikatan perkawinan yaitu pertalian antara suami dan istri, darah atau adopsi yang merupakan pertalian antara orang tua dan anak.
2. Anggota– anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga atau jika mereka bertempat tinggal, rumah tangga tersebut menjadi rumah mereka.
3. Keluarga merupakan kesatuan dari orang – orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan–peranan sosial.
4. Perkawinan sebenarnya merupakan penyatuan dari dua orang yang masing – masing mempunyai sejarahnya sendiri – sendiri. Dan juga merupakan gabungan dari pola – pola kebudayaan yang disalurkan melalui dua sisi keluarga yang dalam interaksinya dengan kebudayaan – kebudayaan luar menimbulkan pola – pola kebudayaan yang berbeda dari setiap keluarga baru (YB. Suparlan,1990:12-13)
(b)Ciri–ciri Khusus
1. Kebersamaan: keluarga merupakan bentuk yang hampir paling universal 2. Dasar–dasar emosional : hal ini didasarkan pada suatu kompleks dorongan –
dorongan yang sangat mendalam dari sifat organis manusia.
3. Pengaruh perkembangan : al ini merupakan lingkungan kemasyarakatan yang paling awal dari semua bentuk kehidupan yang lebih tinggi, termasuk manusia dan pengaruh perkembangan yang paling besar dalam kesadaran hidup yang mana merupakan sumbernya.
(12)
4. Ukuran yang terbatas : keluarga merupakan kelompok yang terbatas ukuranya, yang dibatasi oleh kondisi – kondisii biologis yang tidak dapat lebih tanpa kehilangan identitasnya.
5. Posisi inti dalam struktur sosial : keluarga merupakan inti dari organisasi sosial lainya.
6. Tanggung jawab para anggota : keluarga merupakan tuntutan– tuntutan yang lebih besar dan kontinyu daripada yang biasa dilakukan oleh asosiasi–asosiasi lainya.
7. Aturan kemasyarakatan : hal ini kususnya terjaga dengan adanya hal–hal yang tabu dalam masyarakat dan aturan – aturan yang sah yang dengan kaku menentukan kondisi–kondisinya.
8. Sifat kekalan dan kesementaraan : sebagai institusi keluarga merupakan sesuatu yang demikian permanen,universal dan sebagai asosiasi merupakan organisasi yang paling bersifat sementara serta ang paling mudah berubah dari seluruh organisasi–organisasi penting lainya dalam masyarakat.
Menurut Soejono Soekanto (1990:22), unit pergaulan hidup dalam masyarakat terbagi menjadi tiga yaitu komunitas, keluarga luas dan keluarga batin. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa keluarga batin yang merupakan unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat terdiri dari suami/ayah, istri/ibu dan anak– anak yang belum menikah.
Adapun perannan keluarga batin adalah :
1. Sebagai pelindung bagi pribadi – pribadi yang menjadi anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.
(13)
2. Sebagai unit sosial ekonomis yang secara materil memenui kebutuhan anggota –anggotanya.
3. Sebagai tempat menumbuhkan dasar – dasar bagi kaidah – kaidah pergaulan hidup.
4. Sebagai wadah dimana manusia mengalami proses asosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan memenuhi kaidah– kaidah dan nilai–nilai yang berlaku dalam masyarakat (Soejono Soekanto,1990:23). Berdasarkan penjelasan – penjelasan tersebut diatas, maka keluarga yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah keluarga batin, yaitu keluarga yang terdiri dari suami/ayah, istri/ibu dan anak–anak yang belum menikah.
1.1.2 Disentegrasi Keluarga
Disorganisasi atau disentegrasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota – anggotanya gagal memenuhi kewajiban – kewajibanya yang sesuai dengan peranan sosialnya (Soejono Soekanto,1995:411), selanjutnya Soejono Soekanto (1995:412) mengatakan bahwa bentuk – bentuk disentegrasi keluarga adalah :
a. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan diluar perkawinan walaupun dal hal ini secara yuridis dan sosial belum terbentuk suatu keluarga, tetapi bentuk ini dapat digolongkan sebagai diisentegrasi keluarga sebab ayah (biologis) gagal dalam mengisi peranan sosialnya dan demikian juga halnya dengan keluarga pihak ayah maupun pihak ibu.
(14)
b. Karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahhan meja dan tempat tidur dan sebgainya.
c. Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi antara anggota–anggotanya.
d. Krisis keluarga karena salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga diluar kemampuanya sendiri meninggalkan rumah tangga, mungkin karena meninggal dunia, diukum atau karena perpecahan.
e. Krisis keluarga yang disebabkan oleh karena faktor – faktor intern , misalnya karena terganggu keseimbangan jiwa salah seorang anggota keluarga
Disentegrasi keluarga mungkin terjadi pada masyarakat – masyarakat sederhana,karena suami sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kebutuhan – kebutuhan primer keluarganya atau mungkin karena dia mengambil seorang istri lagi. Pada umumnya masalah tersebut disebabkan karena kesulitan – kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan – tuntutan kebudayaan (Soejono Soekanto,1995 :412).
Selengkapnya Soejono Soekanto (1995:412) mengatakan :
Disorganisasi keluarga mungkin terjadi karena konflik peranan sosial atas dasar perbedaan ras, agama atau faktor sosial ekonomis ada juga yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan dari perubahan – perubahan unsur – unsur warisan sosial (social heritage). Keluarga, menurut pola masyarakat yang agraris, menghadapi persoalan – persoalan dalam menyongsong modernisasi, khusunya industrialisasi ikatan keluarga dalam masyarakat agraris adalah atas dasar faktor
(15)
kasih sayang dan faktor ekonomis di dalam arti keluarga tersebut merupakan suatu unit yang memproduksi sendiri kebutuhan – kebutuhan primernya dengan dimulainya industrialisasi pada suatu masyarakat agraris, peranan keluarga berubah. Biasanya adalah ayah yang wajib mencari penghasilan, tetapi bila tidak mencukupi, seorang ibu turut pula mencari penghasilan tambahan, yang jelas adalah bahwa pola pendidikan anak – anak mengalami perubahan. Sebagian dari pendidikan anak – anak benar – benar diserahkan kepada lembaga – lembaga pendidikan diluar rumah seperti disekolah pada hakikatnya, disorganisasi keluarga pada masyarakat yang sedang mengalami transisi menuju masyarakat yang modern dan kompleks, disebabkan keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial ekonomis yang baru.
1.1.3 Konsep Perceraian
Secara umum pengertian perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri. Menurut Lili Rasjidi (1979:1976), perceraian itu adalah suatu perbuatan hukum yang menyebabkan putusnya perkawinan menurut R. Subekti ddan R. Tjitrosudibio (1985:42), percerian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim , atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Zahri hamid (1978:103), didalam hukum islam istilah perceraian oleh para ahli fikih disebut dengan thalaq atau furqoh, adapun arti dari thalaq adalah membuka ikatan, membatalkan perjanjian. Adapun furqoh artinya bercerai , yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata tersebut dipakai oleh para ahli fikih sebagai suatu istilah , yang berarti perceraian antara suami istri.
(16)
Perceraian dapat ditafsirkan sebagai pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau bebrapa anggota gagal menjalankan kewajiban peran secukupnya (William J. Goode, 1991;184).
Berdasrkan pengertian – pengertian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa perceraian merupakan bubarnya suatu unit keluarga karena antara suami istri tidak lagi tinggal bersama dalam satu ikatan perkawinan. Dengan kata lain pisahnya suami istri karena tidak lagi terikat dalam jalinan perkawinan.
(a)Macam–macam Perceraian
Didalam pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena :
1. Kematian 2. Perceraian
3. Putusan pengadilan
Meninggalnya salah satu pihak merupakan takdir ilahi, hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, lain halnya dengan putusnya perkawinan karena perceraian dan putusan pengadilan, undang–undang mengatur hal ini secara ketat. Karena hal ini tujuanya diberlakukannya undang – undang perkawinan tersebut adalah untuk kekalnya suatu perkawinan sesuai dengan prinsip yang terkandung didalam undang – undang perkawinan yaitu mempersukar terjadinya perceraian (Zahri hamid,1978:59).
(17)
Putusnya perkawinan karena perceraian adalah putusnya perkawinan karena dijatuhkanya talak oleh suami kepada istrinya pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama islam, sedangkan putusnya perkawinan karena putusan pengadilan adalaah putusnya perkawinan berdasarkan suatu keputusan pengadilan dikarenakan adanya suatu gugatan dari suami atau istri.
Berdasarkan ketentuan – ketentuan tentang perceraian didalam undang– undang perkawinan (pasal 38 sampai dengan pasal 41) dan tentang tatacara perceraiann di dalam peraturan pelaksanaan undang – undang perkawinan (PP No. 9 Tahun 1975) pasal 14 sampai dengan pasal 36 maka dapat diketahui ada dua macam perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat (K. Wantjik Saleh, 1980:37).
Cerai talak
Istilah cerai talak diambil dari penjelasan pasal 14 sampai denngan pasal 18 tahun 1975 yang merupakan penegasan dari pasal 39 UU no. 1 tahun 1974, cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan /diucapkan oleh suami kepada istrinya didepan sidang pengadilan. Ceria talak ini khususnya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinanya menurut agama islam. Sebagaimana dirumuskan didalam pasal 14 PP No. 9 taun 1975 yaitu :
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam, yang akan menceraikan istri – istrinya mengajukan surat kepada pengadilan tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan– alasanya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keprluan itu.
(18)
1. Talak Raj’i
Talak raji adalah talak yang masih memberi hak kepada suami untuk merujuk istrinya didalam masa iddah, dengan tidak memerlukan mahr dan saksi untuk terjadinya talak Raj;i diperlukan syarat –syarat yaitu bahwa istri yang ditalak itu telah dikumpuli secara rill bukan karena suami memperoleh ganti harta dari istri, talak itu pertama kali dijatuhkan atau yang keduakalinya.
2. Talak Ba’in
Talak Ba’in adalah talak yang jika suami hendak mengembalikan bekas istrinya kedalam ikatan perkawinan denganya haruslah melalui akad nikah baru lengkap dengan saksi dan mahar, talak Ba’in ini ada dua macam yaitu
a. Talak Ba’in kecil (Shugra) adalah talak yang tidak membolehkan suami rujuk kembali kepada bekas istrinya dalam masa iddah bila suami hendak mengambil bekas istrinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad nikah.
b. Talak Ba’in besar (Kubra) yaitu talak yang ketiga kalinya antara seorang suami dengan istrinya, pada talak ini suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali bekas istrinya baik didalam masa iddah maupun sesudah masa iddah habis.
3. Talak Bid’i
Talak Bid’i adalah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan alquran dan sunnah rasul. Hukumnya talak Bid’i ini adalah haram . yang termasuk talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan pada istri yang sedang haid atau datang
(19)
bulan, dan talak yang dijatuhkan pada istri yang dalam keadaan sucu tetapi tela dicampuri , sedang hamil atau tidaknya istri belum diketahui.
Cerai gugat
Yang dimaksud cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak kepengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan.
Cerai gugat ini berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinanya menurut agama dan kepercayaan selain agama islam, dan juga berlaku bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinanya menurut agama islam, sebagaimana dirumuskan didalam penjelasan pasal 20 PP no. 9 tahun 1975 yaitu “gugatan perceraian dimaksudkan dapat dilakukan seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau istri yang melangsungkan perkawinanya menurut agama dan kepercayaanya itu selain agama islam.’
(b). Alasan–alasan perceraian
Pasal 39 undang – undang perkawinan no. 9 tahun 1974 mensyaratkan bahwa untuk melakukan perceraian harus terdapat cukup alasan, bahwa antar suami istri tersebut tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri . alasan–alasan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
(20)
b. Salah satu piak meninggalkan yang lain selam 2 tahun berturut – turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuanya.
c. Salah satu piak mendaptkan hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahhayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalakan kewajiban sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapn akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Lebih lanjut lagi dituliskan oleh Hilman hadikusuma (1990:172) dalam hukum perkawinan adat, sebab–sebab terjadinya perceraian sebagai berikut :
a. Perzinahan
Yang dimaksud perzinahan menurut agama islam ialah bercampurnya pria dengan wanita yang bersetubuh tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, baik itu dilakukan antara pria dan wanita yang sudah atau sedang dalam ikatan perkawinan, maupun antara pria dan wanita yang tidak/belum ada ikatan perkawinan, ataupun diantara yang sudah kawin dan yang belum kawin barang siapa yang melakukan zina, sedangkan yang melakukan itu belum pernah kawin, maka menurut hukum islam dapatt dijatuhi hukuman “seratus kali cambuk” dan dibuang keluar negeri selama satu tahun lamanya. Apabila yang melakukan zina itu adalah orang yang pernah kawin dijatuhi hukuman rajam, yaitu dilontar
(21)
dengan batu sampai mati, dimasyarakat adat masih berlaku hukuman ‘buang’ atau ‘pengusiran’ dari kampung.
b. Penganiayaan
Menurut hukum islam (surat annisa 34) apabila melihat istri durhaka terhadapnya, ia dapat menghukum istrinya dengan jalan memberi nasihat. Berpisah tidur atau memukulnya. Berdasarkan ayat ini, maka sebagai akibat durhaka istri terhadap suami, si istri dapat kehilangan haknya menerima belanja sehari – hari, pakaian dan pembagian waktu. Dikalangan masyarakat adat yang menganut agama islam, ketentuan hukum agama itu merupakan pedoman hidup berumah tangga suami istri, oleh karena itu memukul istri yang durhaka (melawan suami) adalah hak suami dalam batas – batas kemanusiaan yang tidak sampai membahayakan bagi tubuh dan kesehatan istri, apabila tindakan suami melampaui batas, sehingga membahayakan bagi kehidupan istri maka dengan kemufakatan bersama diantara anggota kerabat berkewajiban mendamaikan dan merukunkan kembali rumah tangga yang berselisih itu, apabila kerabat tidak mammpu mendamaikan maka jalan yang harus ditempuh adalah perceraian.
c. Tidak memberi nafkah
Apabila suami tidak memberi nafkah lahir batin kepada istrinya dalam waktu yang lama, artinya suami tidak menggauli istrinya sebagai istri sedang istri sudah cukup sabar menanti, maka keadaan demikian dapat dijadikan alasan untuk meminta cerai.
(22)
Perselisihan antara suami istri atau antara kerabat yang bersangkutan dengan perkawinan, jika tidak mungkin perselisiihan itu didamaikan oleh kerabat atau pemuka adat dapat menjdai sebab terjadinya perceraian. Perselisihan itu antara lain penyakit cemburu yang berlebihan, tidak ada yang mengurus rumah tangga, bbertolak belakang dalam berfikir, perselisihan yang menyangkut kedudukan martabat, atau masala keormatan pribadi.
e. Cacat tubuh/kesehatan
Termasuk pengertian cacat tubuh atau terganggu kesehatan suami istri adalah istrinya mandul, suami lemah syahwat, berpenyakit berat yang sukar disembuhkan, kurang akal (gila), cacat tubuh (bisu,tuli,buta) dan penyakit yang mengakibatkan tidak dapat mendapatkan keturunan sehingga rumah tangga menjadi terganggu, maka semua ini merupakan hal yang dapat menyebabkkan perceraian.
(c). Dampak perceraian pada anak
Martina Rini S. Tasmin (2002) mengatakan bahwa anak yang orang tuanya bercerai akan merasakan hal–hal sebagai berikut :
1. Tidak aman (inscurity)
2. Tidak diinginkan atau ditolak orang tuanya yang pergi 3. Sedih dan kesepian
4. Marah 5. Kehilangan
(23)
6. Merasa bersala, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orang tuanya bercerai.
Lebih lanjut beliau mengatakan berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri, pandanganya terhadap perceraian, cara orang tua menghadapi peceraian, pola asuh dari siorang tua tunggal dan terjalinya hubungan baik dengan kedua orang tuanya. Bagi orang tua yang bercerai mungkin sulit untuk melakukan intervensi pada daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi masing – masing anak, tetapi sebagai orang tua mereka dapat membantu anak untuk membuatnya memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian ang terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orang tuanya (Martini Rini S Tasmin, 2002).
Sedangkan Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu (2001:140) menulis bahwa dampak prceraian terhadap anak sangat tergantung pada kondisi tertentu, yakni kondisi perkawinan kedua orang tuanya bagi anak yang berasal dari keluarga yang tidak bahagia, menganggap perceraian sebagai pilihan terbaik, sedangkan bagi anak yang berasal dari keluarga yang tidak bahagia, perceraian adalah mimpi buruk.
Lebih lanjut Hendi Suhendi dan ramdani Wahyu (2001:140) mengatakan hasil penelitian menunjukan bahwa dampak perceraian terhadap anak selalu buruk, anak yang orang tuanya bercerai akan hidup menderita. Secara mental, dia kehilangan rasa aman. Perasaan iri dan sedi selalu menyelimuti jiwanya apabila
(24)
menghadapi teman sebayanya bersama orang tua mereka. Ia akan menjadi pendiam, tidak bergairah, dan kehilangan masa depan. Apabila Ia tinggal bersama paman atau bibinya bahwa ia akan berpikir bahwa orang tuanya tidak lagi menyayanginya, namun adakalanya ia sering berkhayal agar orang tuanya rujuk lagi.
2.1.4 Status Sosial Ekonomi sebagai Faktor Penyebab Perceraian
Menurut Soejono Soekanto (1995:216) mengatakan status sosial ekonomi adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestisenya, dan hak–ak serta kewajibany. Sedangkan untuk menggambarkan status sosial ekonomi dengan melihat ekonomi kluarga berdasarkan pendapatan keluarga, yaitu jumlah seluruh pendapatan dan kekayaan keluarga (termasuk barang dan hewan peliharaan).
FS Chaplin (1928) yang dikutip oleh Karee Svalastoga (1989:26) meberikan pengertian status sosial ekonomi sebagai posisi yang diempati individu dan keluarga berkenaan dengan ukuran rata – rata yang berlaku tentang pemilikan kultural, pendekatan efektif pemilikan barang – barang dan partisipasi Dalam aktivitas kelompok dan komunitasnya. Berikutnya Manase Malo (1986:26) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi adalah kedudukan keluarga dalam strukutur sosial masyarakat, dilihat dari tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan,sebagian besar pasangan yang mengalami perceraian berpendidikan rendah, yakni tidak sekolah sampai tamat SD. Mereka yang lebih mengedepankan emosi dalam menyelesaikan maslah
(25)
rumah tangga mereka. Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu (2001:135) dengan mengutip pernyataan Goode, mengatakan bahwa da kolerasi antara tingkat pendidikan dan pendapatan pada pasangan yang bercerai, maksudnya perceraian seringkali ditemukan pada pasangan yang tingkat pendidikanya rendah karena tingkat pendidikanya rendah, biasanya tingkat pendapatanya pun rendah, sehingga dapat memicu pertengkaran yang tidak terselesaikan dan berakhir dengan perceraian.
Menurut Hilman (1962) yang dikutip oleh Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu (2001:135) mengatakan tingkat perceraian tertinggi berada pada kategori pekerja kasar, seperti buruh, pembantu rumah tangga dan pelayan disektor jasa tingkat perceraian semakin menurun pada pasangan suami istri yang bekerja sebagai kerah putih yang berada pada lapisan menengah. Adapun pada tingkat orang – orang profesional, direktur dan manager perusahaan tingkat perceraianya sangat rendah.
Dengan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa status sosial ekonomi adalah kedudukan atau tempat seseorang atau keluarga dalam masyarakat dengan mendasarkan pada jumlah pendapatan atau kekayaan yang mereka miliki dengan demikian faktor status dalam penelitian ini adalah status pasangan suami istri dalam masyarakat. Adapun faktor ekonomi yang dimaksudkan adalah penghasilan keluarga dalam kehidupan sehari – hari, dan sebbagai faktor sosial dimaksud adalah kondisi sosial dimana keluarga tersebut berada. Kondisi sosial dimaksud adalah pemaknaan masyarakat terhadap perceraian itu sendiri, perceraian sebagai sesuatu yang tabu atau justru salah satu alternatif dalam memecahkan
(26)
permasalahan keluarga. Dan juga kepedulian masyarakat terhadap keluarga yang sedang diambang perceraian jika memang tidak peduli maka tak ada usaha untuk mencegah terjadinya perceraian.
2. 2 Kerangka pikir
Perceraian sebagai salah satu wujud dari disentegrasi keluarga tidak hanya dapat terjadi diperkotaan tapi juga dapat terjadi dipedesaan, seperti yang terjadi di kecamatan metro, banyak faktor yang dapat menyebabkan perceraian tersebut terjadi, yang dapat dikelompokan dalam tiga faktor yaitu faktor status, ekonomi dan sosial.
Menurut William J Goode (1991:1991), pasangan yang bercerai didaerah pedesaan cenderung berasal dari status sosial ekonomi rendah. Hal ini mungkin saja terjadi di kecamatan metro , karena dikecamatan metro ini mayoritas penduduknya adalah petani yang memiliki pendapatan yang tidak terlalu besar, untuk itu perlu diteliti faktor – faktor yang menjadi penyebab disentegrasi keluarga yang berwujud pada perceraian. Berrdasarkan uraian diatas maka dapat digambarkan faktor – faktor status, ekonomi dan ssosial sebagai penyebab perceraian, secara skematis dapat digambarkan sebagaai berikut :
Perselingkuhan Ekonomi rendah KDRT
(27)
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskritif kualitatif. Menurut Hadari Nawawi (2001:24) bahwa penelitian ini adalah cara yang digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan dan menjawab permasalahan dilapangan dengan teori – teori, konsep – konsep dari data lapangan.
Menurut Sudipan Sadi Hutomo dalam bungin (2003:56) deskritif kualitatif artinya mencatat secara teliti segala gejala atau fenomena yang dilihat dan didengar serta dibacanya dengan wawancara atau bukan, catatan lapngan, foto, video, tape, dokumen pribadi, catatan atau demo, dokumen resmi atau bukan yang lain– lain. Penelitian harus membandingkan, mengkombinasikan, mengabtraksikan, dan menarik kesimpulan.
Dari defenisi diatas, maka penelitian ini bermaksud mengetahui secara detail faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya suatu perceraian guna mendapat informasi yang memadai mengenai penyebab terjadinya perceraian dan dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif, karena dengan pendekatan ini dimaksudkan peneliti dapat menjajaki secara lebih mendalam objek yang akan diteliti yaitu pada Masyarakat Kecamatan Metro.
(28)
3.2 fokus Penelitian
Dalam suatu penelitian sangat penting adanya fokus penelitian karena fokus penelitian akan dapat membatasi studi yang akan diteliti. Tanpa adanya fokus penelitian, peneliti akan terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh dilapangan.
3.3 Lokasi penelitian
Penentuan lokasi penelitian cara terbaik yang ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori subtantif dan menjajaki lapangan untuk mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada dilapangan, sementara itu kebebasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya dan tenaga perlu juga menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian (Lexy J Moleong,2000:86).
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini perlu dibatasi lokasi penelitianya. Adapun lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kecamatan Metro Pusat Kotamadya Metro.
1.4 Teknik Penentuan Informan
Menurut Sanafiah Faisal (1990:45) dalam Sugiyono (2008:221) dengan mengutip pendapat dari Spradley mengemukakan bahwa informan sebaiknya memenuhi kriteria sebagai berikut :
(29)
1. Subjek yang menguasai atau memahami medan aktifitas yang menjadi sasaran penelitian. Dalam hal ini biasanya ditandai oleh kemampuan memberikan informasi diluar kepala tentang sesuatu yang ditanyakan.
2. Subjek tergolong masih sedang berkecimpung pada lingkungan dan kegiatan yang menjadi sasaran penelitian.
3. Subjek mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi.
4. Subjek dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dikemas terlebih dahulu.
Penentuan informan pada penelitian ini dilakukan secara snowball sampling, dimana masih terdapatnya kemungkinan jumlah informan akan bertambah atau berubah, dikarenakan dari sumber data yang telah ada sejak awal penelitian, masih belum memberikan data yang memuaskan dan selain itu juga dikarenakan terdapatnya sedikit perubahan data selama penelitian berlangsung. (Sugiyono, 2008:219).
Pemilihan informan yang akan diwawancarai disamping ditentukan oleh peneliti, juga terdapat beberapa kriteria-kriteria. Diantaranya sebagai berikut :
1. Suami atau istri yang sedang mengurus perceraian dipengadilan agama di Kec. Metro.
2. Seorang suami/duda yang telah resmi bercerai. 3. Seorang istri/janda yang telah resmi bercerai.
(30)
Untuk mengumpulkan data dan informasi pada penelitian ini digunakan beberapa teknik antara lain :
1. Observasi berpartisipasi (Participant Observation)
Observasi berpartisipasi ialah suatu proses pengumpulan data mengenai segala sesuatu yang terjadi di lapangan dengan mengamati individu atau kelompok secara langsung. Ini merupakan proses dimana pengamat melakukan dua peranan sekaligus,yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota penuh dari individu atau kelompok yang diamatinya. Dengan demikian, pengamat dapat memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya, termasuk yang dirahasiakan sekalipun. Observasi berpartisipasi terdiri atas tiga komponen yaitu place (tempat),actor(pelaku), danactivities(aktifitas).
2. Wawancara mendalam (Depth Interview)
Wawancara mendalam adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu persoalan tertentu. Ini merupakan proses tanya jawab lisan dimana dua orang atau lebih dapat berhadap-hadapan secara fisik. Metode wawancara mendalam ini digunakan untuk mendapat keterangan-keterangan secara mendalam dari permasalahan yang dikemukakan. Wawancara mendalam ini dilakukan dengan percakapan langsung, bertatap muka dengan informan yang diwawancarai. Dengan menggunakan metode wawancara mendalam ini diharapkan akan memperoleh data primer yang berkaitan dengan penelitian ini dan mendapat gambaran yang lebih jelas guna mempermudah dan menganalisis data selanjutnya. Wawancara mendalam akan dilakukan dengan pedoman wawancara. Hal ini
(31)
dimaksudkan agar pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dapat terarah tanpa mengurangi kebebasan dalam mengembangkan pertanyaan serta suasana tetap terjaga agar kesan dialogis informan nampak.
3. Studi pustaka
Teknik ini dilakukan dengan mencari literatur atau buku-buku bacaan yang mengandung teori, keterangan atau laporan yang berhubungan dengan penelitian. . Hal ini memungkinkan sekali untuk dapat digunakan guna mengakses data–data penting yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.6 Teknik Pengolahan Data
Setelah data – data yang diperlukan diperoleh, maka selanjutnya diadakan pengolahan data. Menurut Soemadi Suryabrata pengolahan data merupakan suatu langkah yang sangat penting dalam suatu penelitian, data yang terkumpul baru diolah untuk disajikan (Soemadi Suryabrata, 1983:93). Dalam hal ini penulis mengumpulkan data yang bersifat kualitatif, yaitu data yang berbentuk kalimat. Sehingga pengolahan data yang dilakukan adalah non statistik, yaitu pengolahan data yang tidak menggunakan statistik melainkan dengan analisa kualitatif.
3.7 Teknik Analisa Data
Teknik analisia data yang digunakan yaitu : 1. Reduksi data
(32)
Data yang diperoleh dilapangan dituangkan kedalam laporan / uraian yang lengkap dan terperinci. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisasikannya sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulannya dan kemudian di verifikasikan. Dalam penelitian ini reduksi data dilakukan pada data primer yaitu hasil wawancara. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data-data “kasar” yang didapat dari lapangan.
2. Penyajian Data
Penyajian data ini dimaksudkan untuk memudahkan peneliti melihat data secara keseluruhan dan bagian-bagian penting. Bentuk penyajian data yang digunakan. Pada data kualitatif adalah bentuk teks normatif, oleh karena itu informasi yang kompleks akan disederhanakan kedalam bentuk tabulasi yang selektif dan mudah dipahami.
3. Verifikasi Data
Proses ini merupakan kegiatan yang sudah dilakukan sejak mengumpulkan data melalui wawancara, observasi langsung maupun tidak langsung dan mengambil/mengutip informasi terkait. Penarikan kesimpulan merupakan bagian dari proses keseluruhan. Kesimpulan-kesimpulan juga di verifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi merupakan tinjauan ulang terhadap catatan-catatan dari lapangan dengan cara peninjauan data-data yang didapat.
(33)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Profil Informan
Dari 6 informan perempuan bercerai sebagai informan kunci atau subjek (yang selanjutnya disingkat S) serta 6 informan sekunder dalam penelitian ini (yang selanjutnya disingkat I) memiliki tingkat pendidikan dan pekerjaan yang bervariasi. Profil informan kunci dapat dilihat pada tabel 1.
Profil Informan Kunci (Subjek)
No Usia Pendidikan Pekerjaan Lama
Pernikahan
Lama status duda/janda 1. 25 Tahun SMU Karyawan
pabrik
3 Bulan 1 tahun 7 Bl
2. 37 Tahun S1 Tidak bekerja 2 tahun 1 Tahun 3. 41 Tahun SD Tidak bekerja 14 tahun 1 Th 7 Bl 4. 38 Tahun SMU Penjahit 12 tahun 10 Bulan 5. 37 Tahun SMU Wiraswasta 12 Tahun 1 Th 2 Bl 6. 25 Tahun SMU Tidak bekerja 4 Tahun 7 Bulan
(34)
Adapun profil informan sekunder adalah : Tabel 2.
Profil Informan Sekunder
No Usia Pendidikan Jenis kelamin
Pekerjaan Relevansi dengan Informan
1. 23 SMU L Mahsiswa Keponakan
2. 22 S1 P Guru Keponakan
3. 45 SD P IRT Teman dekat
4. 42 S1 P IRT Tetangga
5. 57 SR P IRT Tante
6. 25 SMU L Wiraswasta Teman
5.1.2 Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap enam informan kunci atau subjek, penyebab terjadinya perceraian yang dialami informan cukup kompleks, diantaranya adalah karena pihak ketiga/berselingkuh, suami tidak bekerja, krisis akhlak suami/suka judi, dan adanya campur tangan keluarga.
Untuk mengetahui faktor - faktor penyebab perceraian pada pasangan usia muda di Metro, maka diadakan wawancara terhadap enam informan yang didapat oleh Peneliti dilokasi penelitian. Dari hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor penyebab terjadinya perceraian pada pasangan usia muda,
(35)
yaitu faktor laki – laki atau suami yang berbuat serong, faktor perempuan atau istri yang menyeleweng, dan faktor kebutuhan ekonomi.
a. Faktor laki–laki atau suami yang berbuat serong
Bertindak serong didalam persoalan ini adalah seorang suami yang menjalin ubungan dengan perempuan lain yang bukan istrinya. Perbuatan seorang suami yang bergaul dengan perempuan lain yang bukan istrinya itu sering tidak diketahui oleh si istri itu sendiri.Seorang istri mengetahui perbuatan suaminya tersebut biasanya hanya dari berita yang disampaikan oleh orang lain. Jika terjadi hal seperti ini biasanya seorang istri langsung menanyakan hal tersebut kepada suaminya, dan dari sinilah mulai terjadi keretakan didalam sebuah rumah tangga, karena diantara keduanya sudah tidak ada lagi rasa saling mengargai yang akhirnya akan mengarah keperceraian karena seorang istri tidak menghendaki dirinya dimadu atau diwayuh. Untuk lebih jelasnya, maka dibawah ini akan diberikan sebuah kasus perceraian pasangan usia muda karena faktor seorang suami yang berbuat serong.
Putusnya perkawinan antara DY Bin S dan Binti H menurut keterangan informan karena suaminya, DY menyeleweng dengan wanita lain. Selama membina rumah tangga, memang selalu terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak pernah bisa mereka selesaikan sendiri. Mereka telah membina rumah tangga selama lebih kurang tujuh bulan, terhitung sejak dilangsungkannya perkawinan mereka pada bulan Juli 2010 sampai terjadinya perceraian pada bulan Februari 2010. Usia DY pada saat itu baru 20 tahun dan istrinya M berusia 18 tahun. Setelah menikah,
(36)
mereka tinggal di rumah orang tua DY atas persetujuan dari kedua belah pihak. DY yang pendidikannya sampai tingkat SLTA, pada waktu menikah dengan M belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Pekerjaan sehari– hari ialah membantu orang tuanya kekebun untuk mengurus tanaman kopi. Mulai retaknya hubungan perkawina mereka dirasakan oleh M sejak bulan Desember 2010. Dimana DY yang anak ke-2 dari lima saudara kandungnya itu.
M tidak mengetahui kemana perginya suaminya, karena kalau ditanyakan hendak pergi kemana DY selalu marah - marah dan akhirnya mereka bertengkar untuk menghindari pertengkaran, maka setiap DY keluar malam, M tidak pernah mananyakan lagihendak kemana dan pulang jam berapa. Menurut pengakuan M, suaminya bahkan tidak jarang pulang kerumah sudah larut malam bahkan pagi, dan kadang–kadang juga tidak pulang kerumah. Ketika M sudah tidak kuat lagi untuk menanggung perlakuan suaminya terhadap dirinya, dengan memberanikan diri M mencoba menanyakan secara baik – baik keapda suaminya kenapa selalu pulang larut malam dan bahkan pernah tidak pulang kerumah semalaman. Tetapi DY malah menjawab pertanyaan istrinya itu dengan nad marah – marah dan mengeluarkan kata– kata kotor dan caci maki yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang suami.
Bahkan tidak jarang DY berlaku kasar terhadap M sehingga istrinya hanya dapat meneteskan air mata untuk mengurangi rasa sakit baik lahir maupun bathinakibat perlakuan suaminya tersebut. Setelah kurang dari tiga bulan DY berlaku seperti itu, akhirnya M mengetahui juga kalau suaminya apabila keluar malam sering
(37)
datang kerumah Mar, yang merupakan anak aparatur desa yang tinggal tidak jauh dari rumah orang tua DY yang memang bekas pacarnya DY sewaktu masih di SMA, kabar tersebut didapat dari tetangga M sendiri. Dan keterangan tetangganya itulah m dapat mengambil kesimpulan bahwa DY menyukai wanita lain yaitu Mar. Untuk itu M mencoba untuk membicarakanya dengan orang tua DY atau mertuanya, tetapi M tidak mendapat jawaban yang diharapkanya. Bahkan M dituduh oleh mertuanya sebagai penyebab DY tidak betah dirumah, karena menurut mertuanya “ M tidak bisa merawat rumah, tidak bisa mengambil hati DY, dan kerena M juga tidak bisabersolek dan berdandan seperti wanita lainya”.
Jadi dengan kata lain mertuanya m tidak menyalahkan anaknya DY apabila sering keluar malam. Bahkan mertuanya juga menganggap bahwa M sebagai penyebabnya seingga mertuanya tidak menyalahkan DY apabila dia tidak melaksanakan tugasnya sebagai seorang suamidan selalu meninggalkan tugasnya seperti memenuhi kebutuhan baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani istrinya. Sedangkan istrinya sendiri saja tidak mampu untuk menyenangkan suaminya.
Begitulah yang diucapkan mertua M kepadanya, setelah tidak dapat menemukan jalan keluar yang diharapkan dari orang tua DY, maka M dengan mata berkaca– kaca pulang kerumah orang tuanya didusun satu untuk memberitahukan permasalahan yang sebenarnya kini sedang Ia hadapi. Selama ini memang M tidak pernah memberitahukan permasalahan yang sebenarnya terjadi kepada orang tuanya karena takut menyakiti hati orang tuanya. Setelah bertukar fikiran dengan
(38)
orang tuanya, maka didapat kepastian bahwa orang tua m menghendaki anaknya untuk bercerai dengan DY dari pada anaknya menanggung derita.Memang sejak perkawinan mereka dilangsungkan, orang tua m kurang setuju apabila anaknya menikah dengan DY. Tetapi karena mereka sudah larian, orang tua M tidak bisa berbuat apa – apa lagi, mereka terpaksa menuruti kemauan anaknya untuk menikah dengan DY. Menurut orang tua M “ adat jawa sendiri memandang bahwa kawin lari merupakan suatu hal yang sangat dilarang dan merupakan perbuatan yang telah melanggar adat. Tetapi mau apaalagi nasi sudah menjadi bubur.” Begitu juga dengan orang tua DY, Mereka tidak setuju apabila anaknya menikah dengan M, dengan alasan karena keluarga M ada yang mempunyai penyakin ayan (epilepsi), sehingga dikhawatirkan akan menular keanaknya dan keturunanya nanti. Tetapi karena mereka sudah larian, tidak ada jalan lain kecuali memberikan restu kepada anaknya. Menuurut mereka DY dan M saling mencintai, tetapi karena orang tua DY sangat tidak mengharapkan DY menikah dengan M, maka setelah menikah nanti DY harus menceraikan M karena alasan takut tertular penyakin ayan. Akibatnya, perkawinan mereka tidak berlangsung lama, karena setelah M bertukar fikiran dengan orang tuanya, maka orang tua M menyarankan agar M memimnta cerai kepada DY. Hal itu memang sudah ditunggu – tunggu oleh keluarga DY dan akhirnya DY menyetujui untuk menceraikan istrinya. Setelah mereka bercerai, DY semakin akrab saja dengan Mar dan memang hal itu sengaja dilakukan oleh DY karena Dia memang menyukai Mar sejak SMA dan jauh sebelum menikahi M. Menurut pengakuan DY kepada Penulis beberapa waktu lalu bahwa “Saya menikahi M pada waktu itu karena dia tidak mengetahui
(39)
bahwa keluarga M ada yang menderita penyakit ayan, sehingga atas desakan orang tua, maka Saya harus menceraikan M setelah menikah nanti.” Setelah lima bulan bercerai dengan M, DY akhinya menikahi Mar, pacarnya pada waktu di SMA dahulu. Sampai sekarang ini perkawinan mereka bertahan, bahkan istrinya yang sekarang ini sedang mengandung anak dari DY.
b. Faktor perempuan atau istri yang menyeleweng
Menyeleweng dalam persoalan ini adalah seorang istri yang menjalin hubungan dengan laki–laki lain yang bukan suaminya. Perbuatan seperti ini dilakukan oleh sorang istri biasanya karena seorang suami tidak mau menghentikan hubunganya dengan wanita lain, walaupun telah diperingatkan oleh istrinya. Sehingga tidak dapat disalahkan apabila seorang istri berlaku serupa terhadap laki – laki lain untuk membalas sakit hatinya terhadap perbuatan suaminya. Untuk itu, benar juga apa kata pepatah dimana pepatah mengatakan bahwa buka mata lebar – lebar sebelum menikah dan tutup mata rapat–rapat setelah menikah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah satu pihak yang berbuat serong atau menyeleweng. Selain itu, kurangnya kedewasaan antara kedua belah pihak sering menyebakan salah satu pasangan berbuat serong, khususnya perkawinan yang dilakukan pada usia yang masih muda. Tetapi bagaimanapun alasan yang diajukan sehingga istri berbuat serong dengan laki – laki lain yang bukan suaminya sering dijadikan alasan yang kuat bagi suami untuk menceraikan istrinya. Untuk lebih jelasnya, maka dibawah ini akan diberikan sebuah kasus perceraian pasangan usia muda karena faktor istri yang menyeleweng.
(40)
Pasangan SH Bin S dan Sal Binti SW telah membina rumah tangga selama kurang lebih 10 bulan perkawinan tersebut dilangsungkan pada bulan Maret 2010 sampai dilakukanya perceraian pada bulan januari 2011. Usia SH pada saat bercerai dengan Sal baru 21 tahun, sedangkan Sal baru berusia 18 tahun. Menurut pengakuan SH yang pendidikanya tidak sampai tamat SMA, karena alasan ekonomilah yang menyebakan mereka bercerai. Menurut SH “pada awal mula mebina rumah tangga , kami selalu hidup rukun, damai dan tentram serta penuh kasih sayang, tetapi lama kelamaan rumah tangga kami tidak stabil karena Sal menyeleweng dengan laki – laki lain yang status sosial ekonominya lebih baik dari saya”.
Mereka yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil kebun tanaman sperti kopi, merasakan bahwa, “hidup kami tercukupi dengan baik, kami tidak pernah merasakan kekurangan , tetapi mulai Oktober 2010 , dimana saat itu masa paceklik mulai tiba, barulah kami merasakan bahwa penghasilan dari berkebun tanaman kopi sudah tidak mencukupi lagi untuk kebutuhan hidup kami sehari – hari. Pda bulan itu dan seterusnya kami harus hidup pas–pasan dan hidup secara prihatin. Untuk mengatasi hal tersebut , maka istri saya berinisiatif untuk membantu saya didalam mencari nafkah tambahan, dengan cara berjualan hasil bumi dipasar pagi Metro. Akhirnya inisiatif tersebut Saya setujui, walaupun sebenarnya berat rasanya untuk melepas istri saya berdagang sendirian dipasar. Tetapi apa boleh buat demi kebaikan rumah tangga kami, maka Saya menyetujui Sal berdagang dipasar.
(41)
Selain itu alasan belum dibayarnya uang kontrakan rumah, karena memang selama ini kami tinggal dirumah kontrakan didusun 4. Kami merasakan bahwa tidak cukup kalau hanya mengandalkan penghasilan dari kebun untuk membayar uang kontrakan rumah, sedangkan apabila kami tidak membayar kontrakan rumah, kami tidak tau harus tinggal dimana. Karena memang rumah orang tua kami tidak cukup untuk dihuni dari lima orang. Sedangkan rumah tersebut sudah dihuni oleh orang tua saya dan ketiga adik saya yang masih kecil – kecil. Jadi jalan satu – satunya adalah dengan cara mengontrak rumah. Begitu juga halnya dengan rumah mertua saya tidak jauh berbeda, bahkan lebih buruk lagi. Karena rumah mertua saya lebih kecil dari dari rumah kedua orang tua saya. Dimana rumah tersebut dihuni lebih dari tujuh orang, dan istri saya merupakan anak tertua dari tujuh bersaudara, sehingga adik – adiknya dan kedua orang tuanya tinggal semua dalam satu rumah yang kecil dan sempit. Bisa dibayangkan betapa padatnya rumah tersebut apabila kami ikut tinggal bersama orang tua Sal”. Begitulah penuturan SH kepada penulis.
Pada awal Sal bekerja membantu suaminya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dengan berdagang dipasar , keidupan perekonomian keluarga mereka sedikit banyak mulai meningkat dan mulai membaik. Karena setia Sal pulang kerumah selalu membawa uang yang cukup untuk hidup mereka besok, dimana setiap harinya dagangan Sal selalu habis terjual, bahkan selalu kurang barang yang dibawanya, sampai sejauh ini SH menganggapnya sebagai sesuatu hal yang wajar. Tetapi hari demi hari Sal selalu pulang dengan membawa uang tidak seperti biasanya, dan tidak mungkin uang tersebut berasal dari hasil dagangan istrinya
(42)
karena memang uang tersebut terlalu banyak untuk hasil dari berdagang hasil bumi dipasar. Sebualan stelah Sal berdagang dipasar SH mulai curiga kepada istrinya dan kecurigaan Sh terhadap Sal semakin bertambah manakal Sal tidak bisa menjawab pertanyaan SH tentang bagaimana cara Sal mendapatkan uang sebanyak itu kerumah. Sal anya bisa diam apabila suaminya menanyakan hal itu. ” Karena sangatlah tidak mungkin membawa uang sebanyak seratus ribu setiap harinya kalau hanya mengandalkan penjualan dari hasil bumi dipasar, pasti karna berjualan yang lainnya”. Begitu kata SH kepada istrinya.
Mendengar kata- kata suaminya yang menuduh dirinya menjual dirinya kepada laki-laki lain untuk meningkatkan kehidupan ekonomi keluarga, Sal marah dituduh demikian, tetapi SH tidak kalah marahnya kepada Sal. Sehingga setiap hari kehidupan rumah tangga mereka sudah mulai idak stabil lagi dan nampaknya bertamba parah tatkala Sal sudah mulai pulang tidak tepat waktu lagi, yang biasanya jam 3 sore Sal sampai dirumah, saat itu Sal sampai jam 9 malam belum juga pulang kerumah.
Akhirnya Sal pulang jam setengah sepuluh. Melihat istrinya pulang larut malam SH langsung menampar wajah istri didepan pintu rumah, karena memang belum sempat Sal masuk rumah langsung diberi pelajaran oleh suaminya.Sal pun tidak tinggal diam, begitu dipukul suaminya Sal melawan dan melempar benda benda yang ada didalam rumah ke arah SH, sehingga membuat heningnya malam menjadi ramai dan mau tidak mau tetangga pun datang untuk melerai pertengkaran yang terjadi. Keduanya akhirnya dinasihati oleh kepala desa dan tokoh agama, serta tokoh masyarakat yang ada disana untuk lebih bisa menahan
(43)
emosinya masing- masing. Akhirnya Sal malam itu tidak tidur serumah dengan SH. Sal tidur dirumah tetangganya.
Keesokan harinya , Sal tetap pergi berjualan kepasar tetapi kali ini lain.sal berpakaian sangat rapi sekali seperti ingin pergi kepesta perkawinan dan bukan untuk berdagang kepasar. Melihat penampilan istrinya sudah tidak seperti biasanya, SH semakin benci kepada SAL, tetapi rasa bencinya tidak diperlihatkannya. Sal kembali pulang larut malam bahkan sal pulang lebih malam lagi sekitar jam setengah sebelas malam. Betapa terkejutnya SH ketika membukakan pintu buat istrinya, karena Sal pada malam itu tidak pulang sendirian tetapi diantar oleh seorang laki-laki yang berpakain rapi, bersepatu dan membawa mobil kijang berwarna putih keabu-abuan.
Betapa marahnya SH melihat hal itu sepertinya SH sudah tidak ada arga diri lagi melihat istrinya diantar pulang oleh seorang laki-laki pada malam hari. Dengan nada marah akhirnya SH mengusir sal dan laki-laki itu pergi dari rumahnya. Tetapi J, begitu laki laki itu biasa dipanggil, mencoba menenangkan hati SH untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. Tetapi karena SH sudah sangat marah maka sia-sialah usaha J untuk bisa menenangkan usaha SH, bahkan J kalau tidak segera pergi diancam akan dibunuh oleh SH.demi keselamatan dirinyamaka J pergi juga bersama Sal meninggalkan rumah SH. Para tetangga SH pun sebenarnya telah mengetahui hubungan Sal dengan J, tetapi mereka tidak berani untuk memberitahukan hal tersebut kepada SH, takut kalau nanti SH tersinggung.
(44)
Tetepi kali ini SH telah melihat langsunng didepan mata dan kepalanya sendiri bahwa istrinya telah menyeleweng dengan laki-laki lain.
Keesokan harinya SH mencoba untuk mencari Sal dipasar, tetapi tidak bertemu. SH baru bertemu dengan Salpada malam harinya karena memeng Sal sendiri yang menemui SH dirumahnnya.tujuan Sal menemui SH adalah untukmenyelesaikan permasalahan mereka yang selama ini menjadi masalah dikehidupan keluarga mereka. Sambil menangis Sal meminta maaf kepada SH karena telah menyeleweng dengan laki-laki lain. Untuk itu apabila SH menceraikannya, Sal menerima dengan lapang dada.tetapi SH nampaknya sudah sakit hati kepada sal sehingga SH sudah tidah bisa lagi membuka pintu maafnya kepada Sal. Sehingga pada malam itu juga SH menceraikan istrinya. Setelah kejadian itu, SH pergi kerumah orang tuanya didusun 7 untuk memberitahukan kejadian yang sebenarnya,karena memang selama ini SH sangat tertutup untuk membuka permasalahan yang menimpa keluarganya, walaupun itu pada orangtuanya sendiri. Mendengar penuturan SH, maka orang tuanya tidak bisa menyalahkan anaknya untuk menceraikan Sal, karena memang Sal telah keterlaluan. Untuk itu orang tua SH berencana akan datang keruma orang tua Sal untuk membicarakan perceraian kedua anaknya, mereka ingin jika SH dan Sal bercerai, baiknya perceraian mereka dilakukan secara baik– baik. Dan akhirnya orang tua Sal juga ikut menyalahkan anaknya sendiri, karena memang anaknyalah yang bersalah. Sehingga pada januari 2011 SH resmi menceraikan istrinya didepan sidang pengadilan agama. Setelah berceri SH tidak tahu bagaimana keadan Sal saat ini. Tetapi menurut tetangganya , Sal saat ini sudah tidak berada lagi didesa tanjung baru, karena
(45)
sudah pergi kebatu raja dengan kedua orang tuanya. Sedangkan keadaan SH setelah bercerai, SH masih tetap mengurus kebun kopinya yang sebentar lagi akan dinikmati hasilnya.
c. Faktor kekurangan kebutuhan ekonomi
Ekonomi yang rendah dapat menyebabkan seseorang melakukan perceraian, dan menyebabkan seseorang merasa tidak tenang dan tidak tentram karena tuntutan yang diinginkanya tidak terpenuhi. Keadaan ekonomi yang rendah tersebut disebabkan pada umumnya informan hanya bermata pencaharian sebagai petani kecil atau buruh tani, sedangkan mereka tidak mempunyai pekerjaan sampingan yang dapat menambah pendapatan keluarga.
Kekurangan kebutuhan ekonomi seringkali menyebabkan si istri merasa terlalu berat untuk dapat melaksanakan tugas–tugasnya selaku ibu rumah tangga. Hal ini dapat menyebabkan lahirnya ketegangan dan sikap yang kaku serta permusuhan terhadap suami. Kekurangan kebutuhan ekonomi dapat bersumber pada ketidakmampuan suami, tetapi dapat juga karena seorang suami hanyamementingkan kesenanganya sendiri. Kekurangan yang disebabkan karena alasan yang kedua inilah yang seringkali menyebabkan lahirnya suatu perceraian. Untuk lebih jelasnya, maka dibawah ini akan diberikan kasus perceraian pasangan usia muda karena faktor kekurangan kebut han ekonomi.
Pasangan suami istri, W umur 21 tahun dan AE umur 19 tahun melangsungkan perkawinan pada bulan januari 2010. Menurut pengakuan W, yang tingkat pendidikannya tidak tamat SMA, selama ia menikah dengan AE mereka selalu
(46)
hidup tidak rukun, karena diantara mereka selalu terjadi perselisihan dan pertengkaran yang tidak pernah ada jalan keluarnya. W yang bekerja sebagai buruh tani tidak mampu untuk memenuhi kebutuan ekonomi keluarganya, karena memang pendapatan W setiap harinya hanya mencapai Rp. 5.000,- sedangkan istrinya adalah seorang pembantu rumah tangga yang pendapatanya Rp. 25.000,-setiap bulannya. Sebagian besar kebutuhn hidup yang mereka butuhkan masih mengandalkan pemberian dari orangtuanya, karena memang selama ini masih tinggal dirumah orang tua W didusun 2. Akibat kebutuhan ekonomi yang memprihatinkan tersebut, maka diantara mereka sesalu terjadi perbedaan pendpat dan pandangan yang selalu mengarah kepada perselisihandan pertengkaran yang tidak pernah ada habisnya.
Setiap pertengkaran W selalu mengeluarkan perkataan yang menyakitkan hati istinya, ditambahkan pula oleh AE bahwa suaminya itu maunya sealu enak dan tidak pernah mengalah, tidak pernah mengakui kesalahannya dan W selalu tidak mengerti akan kebutuan istrinya. Selama ini W sering pulang larut malam, W selalu dalm keadaan mabuk. Akibat W selalu main judi, maka menurut pengakuan AE barang-barang perabotan yang selalu dipakai W selalu habisdipergunakan W, dirinya tidak salah, yang salah adalah sebenanya adalah Ae karena mereka tidak pernah tahu keadaan dan kondisi suaminya.
AE tidak pernah memperlihatkan raut wajah manis apabila suaminya baru saja pulang bekerja, selain itu AE tidak bisa membesarkan hati suaminya ddan tidak bisa mangambil hati suaminya. AE hanya bisa marah- marah apabila suaminya
(47)
pulang hanya membawa sedikit uang dan hanya cukup untuk membeli beras sehari. Oleh karena itu W selalu tidak betah dirumah karena memeng istrinya tidak bisa membuat suaminya untuk betah dirumah.sehingga keadan rumah tangganya berantakan, mka AE merasa selau tidak betah menunggu suaminya yang selalalu pulang larut malam dalam setiap harinya. Oleh sebab itu AE selalu ingin pulang kerumag ornag tuanya didusun enam dengan alasansuaminya mau merubah sifat dan prilakunya yang sudah sngat menyimpang sebagai seorang suami. Setelah AB sebulan pulang kerumah orng tuanya dan menceritakan keadan ru,ah tangganya yang sebenarnya, maka orang tuanyamenyarankan agar AE kembali kerumh suaminya kerena tidak enak dilihat oleh tetangganya dan bersikap dewasa dalam berkeluarga.
Begitulah nasehat orang tua AE.seperti apa yang diceritakan AE kepada penulis. Akhirnya AE menuruti juga nasehat orang tuanya dan megalah demi kebutuhan keluarganya. Tetapi apa yang diharapkan oleh AE tidaklah menjadi kenyataan, begitu sampai dirumah suaminya, dia langsung mendapatkan caci maki dan ibu mertuanya yang mengatakan “buat apa kamu kembali lagi kemari, kalau memang sudah tidak betah tinggal dirumah sini lagi silahkan pergi dan jangan kembali lagi” . mendengan perkataan orang tuanya AE berkata “ maaf kan AE yang salah dan ijinkan saya untuk bisa memulai kembali rumah tangga ini”mendengar perkataan AE maka ibu W memaafkan kesalahan AE dan mengijinkan AE untuk tinggal dirumahnya kembali.
(48)
Setelah kurang lebih seminggu AE tinggal dirumah orng tuanya W, selama itu diantara mereka tidak pernah terdengar sebuah pertangkaran lagi. Setiap W pulang dari bekerja, AE selalu menyambutnya dengan rasa kasih sayang.W juga tidah pernah lagi keluar malam dan W menjadi betah dirumah.hal ini yang menjadi kedua orang tua menjadi bahagia. Tetapi kebahagiaan AE nampaknya tidak bisa berlangsung lama, karena setelah itu W meminta ijin kepadaAE untuk pergi ke Tangerang kawan-kawannya yang juga mencoba untuk mencari pekerjaan. Diantara kawan kawan W ada yang mengajak berkerja disebuah pabrik sepatu di Tangerang.
Dari hatinya yang paling dalam, sebenarnya AE tidak menngijinkan suaminya untuk bekerja di Tangerang. Tetapi atas desakan dan penjelasan dari orng tuanya, akhirnya AE mengijinkan suaminya untuk bekerja. Setelah sekian lama AE menanti kabar dari W selalu tidak pernah memberi kabarberitanya, bagaimana keadaan sekarang ataukah sudah mendapatkan pekerjaan ataupun belum.setiap ditanyakan kepada orng tua W beliau menjawab mungkin sedang sibuk dipekerjaannya, sehingga W tidak pernah memberi kabar berita kepada kita.
Perasaan AE semakin tidak enak, karena sampai tibanya hari raya idul fitri suaminya juga tidak memberikan kabar, apalagi memberikan kabar kepada istrinya dan kedua orang tuanya didesa. Sampai pada akhitnya bulan Februari 2010. Datanglah surat dari W yang ditujukan kepada orang tuanya.inti dari suratnya menyatakan bahwa W sudah mendapatkan pekerjaan di Tangerang. Dan tidak disebutka apa pekerjaannya. W menyatakan ingin menikah dengan wanita
(49)
yng bekerja di Tangerang. Untuk itu W memohon doa restu kepada orng tuanya dan tentu saja istrinya untuk merestui perkawinan istrinya.betapa kagetnya AE mendengar berita dari suaminyabahwa ia ingin menikah lagi.hal ini berarti ingin diwayuh oleh suaminya. Didalam suratnya telah disebutkan bahwa apabila AE tidak bersedia untuk diwayuh , maka W siap ntuk menceraikan AE sebagai istrinya. Betapa hancurnya perasaan hatinya dia tidah tahu harus berbuat apa, tetapi hal itu telah menjadi suratan takdirnya. Setelah beberapa hari AE merenungi nasibnya dan mencoba untuk berkonsultasi dengan mertuanya, maka diambil kesimpulan bahwa AE tidak bersedia untuk di Wayuh dan lebih baik menjadi jandadari pada harus menanggung derita, karena menurutnya mana ada wanita didunia ini yang Mau dimadu oleh suaminya. Untuk itu, AE menginginkan agar W dapat kembali datang kedesa untuk menemui dan berbicara langsung dengan AE bahwa W benar – benar akan menikah lagi dan AE akan meminta cerai kepadanya. Atas keinginan AE, maka akhirnya W datang ke tangerang untuk melanjutkan pekerjaannya dan untuk mengawini gadis yang bernama Y. Sedangkan AE setelah bercerai dengan W mengambil keputusan untuk berhenti sebagai pembantu rumah tangga.
Bertalian erat dengan masalah terjadinya perceraian, khususnya yang terjadi pada pasangan usia muda, adalah persoalan mengenai harta perkawinan. Didalam pembagian harta perkawinan, biasanya pembagian itu berjalan secra rukun, artinya merupakan hasil musyawarah dan mufakat dari kedua belah pihak dan adanya saling pengertian diantara mereka. Didalam rangka pembicaraan pembagian harta perkawinan krena perceraian, makaperlu dibicarakan pandangan
(50)
masyarakat jawa tentang harta perkawinan. Menuurut masyarakat jawa yang tinggal didesa tanjung baru, pembagian harta perkawinan yang disebabkan oleh terjadinya perceraian dpat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu harta warisan yang didapat oleh salah seorang pasangan tersebut sebelum kawin, harta yang diperoleh selama perkawinan, dan yang terakhir harta yang dihadiahkan kepada suami istri bersama.
Pada umumnya orang – orang yang menjadi informan peneliti hanya mengenal dua macam harta perkawinan, yaitu barang gawan atau kadang– kadang disebut garia yaitu barang yang dibawa oleh masing – masing pasangan sebelum perkawinan, dan yang kedua yaitu barang gono– gini yaitu barang yang diperoleh didalam masa perkawinan mereka.apabila terjadi perceraian khusunya pada pasangan usia muda barang gawan akan kembali kepada pemilik masing – masing. Yang dibagi hanyalah barang gono– gini. Pembagian barang gono–gini biasanya dengan pertimbangan siapa diantara mereka yang mempunyai andil lebih besar didalam mengumpulkan harta, akan mendapatkan harta yang lebih besar daripada mereka yang kurang besar didalam memberikan andilnya.
5.1.3 . Perasaan setelah bercerai
Perasaan senang dirasakan oleh informan 1 setelah bercerai, karena pada awalnya memang informan tidak pernah ada rasa cinta ke suaminya, dia menikahnya karena dijodohkan oleh kakaknya. Informan 2 merasa ada yang kurang, lega, bingung setelah bercerai dengan suaminya. Perasaan informan 3 setelah bercerai, lega dan bahagia. Merasa beban yang menghimpit sudah terlepas sebagian, karena
(51)
informan merasa selama menikah merasa terpaksa dan terbebani dengan kondisi suaminya yang tidak pernah mau bekerja.Perasaan informan 4 setelah bercerai, berat berpisah karena informan masih ada rasa cinta ke suaminya, tidak ada teman curhat. Informan tidak mau mempertahankan perkawinannya karena suami tidak bisa berubah perilakunya yang masih suka judi serta tidak ada alasan untuk mempertahankan perkawinannya karena tidak punya anak. Perasaan informan 5 setelah bercerai dan menjadi janda, awalnya sedih, sakit hati tapi lama kelamaan informan merasa santai. Perasaan informan 6 setelah bercerai dan menjadi janda, minder, malu tapi sekarang informan merasa lega karena sudah tidak ada orang yang ’reseh’kepadanya.
5.2 Pembahasan
5.2.1 Penyebab terjadinya perceraian secara umum
Penyebab terjadinya perceraian itu sangat beragam. Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat dilihat ragam sebab tersebut, yaitu :
adanya pihak ketiga, alasan menikah, tidak ada keharmonisan, krisis akhlak suami, campur tangan keluarga dan ekonomi. Hal ini sesuaivdengan pendapat Hurlock (1994) yaitu : jumlah anak, kelas sosial, kemiripan latar belakang, saat menikah, alasan menikah, saat pasangan menjadi orang tua, status ekonomi, model pasangan sebagai orang tua, posisi umum masa kecil keluarga, dan mempertahankan identitas. Sebab perceraian yang terjadi pada kenyataannya dipengaruhi oleh alasan saat menikah. Seperti pada informan 1 dan 3 yang pada saat menikah mereka tidak ada rasa cinta. Mereka menikah karena perjodohan.
(52)
Dimana informan 3 berusaha menyesuaikan diri dengan suami namun ternyata tidak bisa menahan. Adanya pihak ketiga juga menjadi sebab utama terjadinya perceraian. Karena seperti dalam penelitian Khairunniswati (2004) yang menyatakan bahwa adanya pihak ketiga menimbulkan perasaan kecewa dan tidak dihargai, yang kemudian menjadikan terjadinya cerai gugat . Ini yang dialami informan 4 dan 5, dimana mereka bercerai karena ditinggal berselingkuh oleh suaminya dengan perempuan lain. Alasan ekonomi juga merupakan faktor utama yang memicu perceraian. Pada informan 2, 3 dan 5 alasan mereka menggugat cerai adalah karena suami tidak bekerja dan tidak memberi nafkah. Masalah turut campurnya pihak keluarga atau mertua juga merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam keharmonisan rumah tangga. Seperti pada informan 6 dimana hal tersebut menyebabkan ketidaknyamanan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
5.2.2 Perasaan setelah bercerai
Menurut Mitchell (1992) setelah bercerai dan menjadi janda akan merasakan trauma, penyesalan, kecewa, sakit hati, kesepian, marah, sedih, kehilangan dan berbagai perasaan buruk lainnya. Kemudiantergantung bagaimana strategi yang diambil untuk mengatasi perasaan tersebut. Seperti pada informan 1, 4, 5 dan 6 yang mengatasi perasaannya dengan melakukan banyak kesibukan agar pikiran tidak kosong dan melamun. Seperti dalam penelitian Sudarto & Wirawan (2000) yang menyatakan bahwa sebelum perceraian, individu memandang kehidupannya sebagai masa yang menyenangkan. Namun ketika ketegangan hadir dalam
(53)
pernikahan dan mulai membahayakan pernikahan, kehidupan dipandang sebagai suatu kepahitan yang mendalam dan penuh penderitaan serta perjuangan. Namun dalam penelitian ini muncul perasaan bahagia, lega, tenang karena merasa terlepas dari belenggu kehidupan rumah tangganya yang dirasa sangat menyakitkan hati seperti yang dialami oleh informan 1, 2, dan 3.
(54)
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Masyarakat Kecamatan Metro memandang nilai – nilai yang terkandung dalam sebuah perkawinan pasangan usia muda didasarkan pada suatu tradisi yaitu kebiasaan masyarakat yang tinggal Kecamatan Metro. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan orang tua untuk mengawinkan anaknya pada usia 20 tahun untuk seorang pria dan 17 tahun untuk seorang wanita. Selain itu adanya semacam pandangan dari orang tua yang ingin secepatnya ingin mempunyai menantu dan cucu, sehingga hal ini menjadi alasan untuk menikakan anaknya pada usia muda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perceraian yang dialami informan adalah karena pihak ketiga/berselingkuh, ekonomi/suami tidak bekerja, krisis akhlak suami/suka judi, campur tangan keluarga. Perempuan yang bercerai dan berubah status menjadi janda mengalami perasaan senang, lega, bingung, bahagia, berat berpisah, tidak ada teman curhat, sedih, sakit hati, minder dan malu.
(55)
6.2 Saran
Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis disini akan mencoba memberikan beberapa saran yaitu sebaiknya calon suami istri yang akan melangsungkan perkawinan, diharapkan tidak hanya dewasa secara fisik saja, tetapi juga harus diimbangi dengan kedewasaan emosional dan mental, karena perkawinan itu adalah suatu yang sakral dan suci sifatnya. Untuk mempersiapkan kematangan emosional dan mental, maka hendaknya diisi dengan menambah pengetahuan dan pengaalaman serta memperluas cakrawala berfikir.
Dengan demikian, ketika memasuki ikatan perkawinan pasangan suami istri dapat menghadapi masalah–masalah perkawinan dengan sikap dewasa. Sehingga dapat terwujud suatu perkawinan yang bahagia dan diharapkan dapat terciptanya suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera.
Dan Informan disarankan untuk tetap introspeksi diri, tetap tegar dan semangat dalam mencari nafkah bagi yang sudah bekerja serta jangan menutup diri untuk menerima orang lain yang mencintai dan ingin menikahinya walaupun tetap selektif agar kejadian/perceraian tidak terulang lagi.
Bagi pemerintah daerah, terutama instansi yang berkaitan dengan masalah perkawinan, diharapkan untuk lebih sering memberikan penyuluan tentang arti pentingnya menunda usia perkawinan, yang bertujuan agar perkawinan diusia muda dapat ditekan seminimal mungkin. Sedangkan untuk instansi yang berkaitan
(56)
dengan masalah perceraian, diharapkan agar dapat lebih menyeleksi dan memperketat tata cara perceraian yang telah ada dan berlaku selama ini.
(57)
STUDI DESKRIPTIF FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
PERCERAIAN
(Studi di Kecamatan Metro)
Oleh
INDAH NURNILA SARI
Jurnal
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA SOSIOLOGI
Pada Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAK ULTAS ILMU SO SI AL DAN ILMU POLITIK UNI VE RSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2013
(58)
STUDI DESKRIPTIF FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN (Studi di Kecamatan Metro)
(Abstrak) Oleh
INDAH NURNILA SARI
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan suatu hal yang agung,sebab tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, Oleh karena itu,perkawinan bukanlah suatu permainan yang dapat dilakukan setiap saat dan kapan saja,melainkan merupakan suatu tanggung jawab moral dari pasangan suami dan istri,serta merupakan suatu tantangan yang harus ditempuh untuk mewujudkan keluarga yang kekal abadi. Untuk mencapai keluarga yang kekal dan abadi, diperlukan suatu bekal yang cukup baik secara lahir maupun batin, karena perkawinan yang apabila dilakukan dengan tidak mempertimbangkan kedua hal tersebut, maka akan berakibat pada mudahnya terjadi keretakan yang akhirnya akan mengarah ke perceraian. Untuk itu maka perkawinan hendaknya dilakukan pada usia yang ideal, dimana seorang pria 25 tahun dan untuk seorang wanita 20 tahun, karena pada usia tersebut baik laki-laki maupun perempuan sudah benar-benar siap dan matang secara fisik maupun secara kedewasaan.
Tidak seperti perkawinan yang merupakan upacara penting dalam kehidupan, perceraian merupakan suatu hal yang tidak diinginkan terjadi oleh suku manapun yang ada di Indonesia, tetapi bagaimanapun juga hal tersebut tetap saja terjadi. Berdasarkan uraian tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perceraian di kalangan Masyarakat Kecamatan Metro”.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya perceraian dikalangan Masyarakat Kecamatan Metro. Metode yang dialakukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan langkah – langkah wawancara, observasi lapangan. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah dengan metode pendekatan kualitatif dan hasilnya akan disajikan secara deskritif dengan harapan para pembaca mendapatkan gambaran dan informasi yang jelas mengenai faktor yang paling dominan yang menyebabkan terjadinya perceraian dikalangan Masyarakat Kecamatan Metro.
Hasil dan pembahasan dari penelitian ini adalah bahwa perceraian dikalangan Masyarakat Kecamatan Metro disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu perselingkuhan, kebutuhan ekonomi, dan adanya kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga hal tersebut yang sering kali muncul sebagai penyebab terjadinya perceraian.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dari berbagai faktor penyebab perceraian tersebut, faktor yang paling dominan yang menyebabkan
(59)
terjadinya perceraian dikalangan Masyarakat Kecamatan Metro adalah adanya perselingkuhan baik dari pihak suami ataupun istri yang melakukan. Dimana dalam rumah tangga tersebut tidak adanya kepercayaan antara suami dan istri serta tidak adanya tanggung jawab ekonomi suami sebagai kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.dan antara suami istri sudah tidak ada rasa saling menghargai dalam rumah tangga.
(60)
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah... 6
1.3 Tujuan Penelitian... 6
1.4 Kegunaan Penelitian... 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian...7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka... 8
2.1.1 Konsep Keluarga... 8
2.1.2 Disentegrasi keluarga...12
2.1.3 Konsep Perceraian... 14
2.1.4 Status Sosial Ekonomi sebagai Faktor Penyebab Perceraian.22 2.2 Kerangka Pikir... 25
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian... 26
3.2 Fokus Penelitian... 27
3.3 Lokasi Penelitian... 27
3.4 Teknik Penentuan informan... 27
3.5 Teknik Pengumpulan data... 28
3.6 Teknik Pengolahan Data... 30
3.7 Teknik Analisa Data... 30
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kota Metro... 31
(61)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil... 45
5.1.1 Profil Informan... 45
5.1.2 Faktor–faktor penyebab terjadinya perceraian... 46
5.1.3 Perasaan setelah bercerai... 62
5.2 Pembahasan 5.2.1 Penyebab terjadinya perceraian secara umum... 63
5.2.2 Perasaan setelah bercerai... 64
VI. KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan... 65
6.2 Saran... 66
DAFTAR PUST AK A DAFTAR LAMPI RAN
(1)
Motto
Dimana ada kemauan disitu ada jalan
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”
(Al-Baqarah : 153)
“Dalam melakukan suatu hal, kita harus ‘stres’ agarhal itu mempunyai nilai yang lebih berharga”
(2)
PEDOMAN WAWANCARA
Bagian I. Karakteristik Sosio Demografi
1.1 Nama 1.2 Alamat
1.3 Tempat/Tanggal lahir 1.4 Usia
1.5 Agama 1.6 Suku 1.7 Pendidikan 1.8 Pekerjaan 1.9 Pendapatan 1.10 Status perkawinan
Bagian II. Latar belakang Kehidupan Keluarga
2.1 Pendidikan Orang Tua 2.2 pekerjaan Orang Tua 2.3 Pendapatan Orang Tua 2.4 Jumlah Saudara kandung
2.5 Peran Orang Tua dalam Perkawinan 2.6 Peran Orang Tua dalam Perceraian
(3)
Bagian III. Riwayat Perkawinan
3.1 Usia pada saat melangsungkan perkawinan
3.2 Dengan siapa mengambil keputusan untuk melangsungkan perkawinan 3.3 latar belakang dilangsungkannya perkawinan diusia muda
3.4 masalah–masalah yang pernah dihadapi selama hidupberumah tangga 3.5 langkah–langkah yang diambil untuk mengatasi masalah tersebut 3. 6 Pandangan adat mengenai nilai–nilai sebuah perkawinan
Bagian IV. Riwayat Perceraian
4.1 Usia saat melangsungkan perceraian/usiaperkawinan
4.2 Dengan siapa mengambil keputusan untuk melangsungkan perceraian 4.3 Latar belakang dilangsungkan perceraian
4.4 Kondisi keidupan setelah melangsungkan perceraian 4.5 Pandangan adat mengenai nilai–nilai perceraian
(4)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, Skripsi/Laporan Akhir ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Sarjana/Ahli Madya), baik di Universitas Lampung maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.
Bandar Lampung, 26 November 2012 Yang membuat pernyataan,
Indah Nurnila Sari NPM. 0516011041
(5)
PERSEMBAHAN
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasi lagi Maha Penyayang Ku persembahkan karya sederhana ini kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku
Kepada bapak dan Alm. Ibu tersayang,
terimakasih atas semua do’a, cinta kasih sertapengorbanan yang telah kalian lakukan demi
keberhasilan anak-anakmu,serta cinta dan kasih sayang yang kalian berikan tak akan tergantikan oleh apapun yang ada di dunia ini.
Abang-abangku Arif Budiman, Rahman Hakim, Indra Gunawan, Ilham Robi, Yusran Efendi dan Adikku Ceria Fitrah semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik untuk kalian. Semua
yang telah mengukir namanya alam cerita dan perjalanan hidupku.
Almamater tercinta UNIVERSITAS LAMPUNG
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dayamurni, Kabupaten Tulang Bawang Lampung Utara pada tanggal 15 Mei 1985, sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara, dari Bapak Asnawir Djalil dan Ibu Khasmawati (Alm).
Pendidikan Taman kanak-Kanak (TK) Aisyah Dayamurni Lampung Utara diselesaikan tahun 1990, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 4 Metro pada tahun 1997, Sekolah lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 3 Metro pada tahun 2000 dan Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMU Muammadiyah I Metro pada tahun 2003.
Tahun 2003, penulis terdaftar sebagai maasiswa Jurusan Sosial Ekonomi, Program studi penyuluhan Komunikasi Pertanian FP Unila melalui jalur SPMB. Tahun 2005, penulis terdaftar kembali sebagai mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Unila melalui jalur SPMB. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi eksternal kampus Front Mahasiswa Nasional (FMN). Pada tahun 2009, penulis mengikuti Praktek kerja lapangan (PKL) yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial politik Universitas Lampung pada Kantor bantuan Hukum di Bandar Lampung