Pertanggungjawaban Yuridis BPJS Kesehatan Tentang Penolakan Rumah Sakit Terhadap Peserta ProgramBPJS Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Bachsan, Mustafa. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung: Alumni, 1982.

Black, Henry Champbell.Black Law Dictionary with Pronounciations, Edisi VI USA: West Publishing, 1990.

Daeng, Salamuddin. Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945. Free Trade Watch Edisi Desember 2011.

Koeswadji, Hermien Hadiati.Hukum untuk Perumah Sakitan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Komariah.Edisi Revisi Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2001.

Kurnia, Titon Slamet.Hak atas Derajat Kesehatan Optimal HAM di Indonesia. Bandung: Alumni, 2007.

Narayan, Ambar dan Carolina Sanchez Paramo.Knowing When You Do Not Know Simulationg The Poverty And Distributional Impacts Of An Economic Crisis. World Bank, June 2012.

Purbacaraka.Perihal Kaedah HukumBandung: Citra Aditya, 2010.

Rahman, Hafiz Habibur. Political Science and Government, Eighth Enlarged edition. Dacca Lutfor Rahman Jatia Mudran 109, Hrishikesh Das Road, 1971.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009.

Soekanto, Soejano.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.

_________, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008.

Sumitro, Ronny Hanitijo.Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.


(2)

Wiratraman, R. Herlambang Perdana.Jurnal Ilmu Hukum. YURIDIKA Vol. 20, No. I Januari 2005.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Tahun 1945 Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013.

C. Website

Penggolongan Badan Hukum

Definisi BPJS Kesehatan

(diakses tanggal 11

September 2015).

September 2015).

(diakses tanggal 11 September 2015).


(3)

2015).

2015).

September 2015).

Paramesti, Tri Tata Ayu, Sanksi Bagi Rumah Sakit yang Menolak Memberikan TindakaMedis


(4)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROGRAM PESERTA BPJS KESAHATAN TERKAIT PENOLAKAN UNTUK MEMBERIKAN

PELAYANANKESEHATAN

A. Bentuk Kewajiban Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan didalam Prosedur Jaminan Sosial

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang menjadi misi negara untuk melaksanakannnya. Pengembangan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat merupakan amanat konstitusi dalam rangka memenuhi hak rakyat atas jaminan sosial yang dijamin dalam Pasal 28 H ayat (3) UUD 1945. Penyelenggaraaan jaminan sosial nasional yang kuat merupakan salah satu pilar untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN menentukan 5 jenis program jaminan sosial, yaitu program jaminan kesehatan (JK), jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP) dan jaminan kematian (JKM), yang diselenggarakan oleh


(5)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan transformasi dari BUMN penyelenggara jaminan sosial yang sekarang telah berjalan.

Undang-Undang BPJS memberikan hak dan kewajiban kepada BPJS Kesehatan dalam melaksanakan kewenangan dan tugas yang ditentukan dalam UU BPJS. UU BPJS menentukan dalam melaksanakan kewenangannya, BPJS Kesehatan berhak:

1. Memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dari DJSN.

Penjelasan Pasal 12 huruf a UU BPJS dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan dana operasional adalah bagian dari akumulasi iuran jaminan sosial dan hasil pengembangannya yang dapat digunakan BPJS untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial.UU BPJS tidak memberikan pengaturan mengenai berapa besaran dana operasional yang dapat diambil dari akumulasi iuran jaminan sosial dan hasil pengembangannnya. UU BPJS tidak juga mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai hal tersebut kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang. Dana operasional yang digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial tentunya harus cukup pantas jumlahnya agar BPJS Kesehatan dapat bekerja secara optimal, tetapi tidak boleh berlebihan apalagi menjadi seperti kata pepatah “lebih besar pasak daripada tiang”.


(6)

Besaran dana operasional harus dihitung dengan cermat, mengunakan ratio yang wajar sesuai dengan best practice penyelenggaraan program jaminan sosial.Mengenai hak memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program jaminan sosial dari DJSN setiap 6 bulan, dimaksudkan agar BPJS Kesehatan memperoleh umpan balik sebagai bahan untuk melakukan tindakan korektif memperbaiki penyelenggaraan program jaminan sosial. Perbaikan penyelenggaraan program akan memberikan dampak pada pelayanan yang semakin baik kepada peserta.Tentunya DJSN sendiri dituntut untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara objektif dan profesional untuk menjamin terselenggaranya program jaminan sosial yang optimal dan berkelanjutan, termasuk tingkat kesehatan keuangan BPJS.

Undang-undang BPJS menentukan bahwa untuk melaksanakan tugasnya, BPJS Kesehatan berkewajiban untuk:

1. memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta”nomor identitas tunggal” adalah nomor yang diberikan secara khusus oleh BPJS kepada setiap peserta untuk menjamin tertib administrasi atas hak dan kewajiban setiap peserta. Nomor identitas tunggal berlaku untuk semua program jaminan sosial;

2. mengembangkan asset Dana Jaminan Sosial dan asset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta;

3. memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya; Informasi mengenai kinerja dan kondisi keuangan BPJS mencakup informasi


(7)

mengenai jumlah asset dan liabilitas, penerimaan, dan pengeluaran untuk setiap Dana Jaminan Sosial, dan/atau jumlah asset dan liabilitas, penerimaan dan pengeluaran BPJS;

4. memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai dengan UU SJSN;

5. memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;

6. memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban;

7. memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo jht dan pengembangannya 1 kali dalam 1 tahun;

8. memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hak pensiun 1 kali dalam 1 tahun;

9. membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum;

10. melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntasi yang berlaku dalam penyelenggaraan jaminan sosial; dan

11. melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 bulan sekali kepada presiden dengan tembusan kepada djsn.

Kewajiban BPJS Kesehatan tersebut berkaitan dengan governance BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik. BPJS Kesehatanharus dikelolan sesuai dengan prinsip-prinsip transparency, accountability and responsibility, responsiveness, independency, dan fairness. Dari 11 kewajiban yang diatur dalam UU BPJS, 5 diantaranya menyangkut kewajiban BPJSKesehatan memberikan


(8)

informasi. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memang mewajibkan badan publik untuk mengumumkan informasi publik yang meliputi informasi yang berkaitan dengan badan publik, informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik, informasi mengenai laporan keuangan, dan informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Keterbukaan informasi tersebut diharapkan ke depan BPJS Kesehatan dikelola lebih transparan dan fair, sehingga publik dapat turut mengawasi kinerja BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan.

Peserta BPJS Kesehatan mempunyai hak, adapun yang menjadi hak peserta antara lain:

1. Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

2. Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

4. Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke Kantor BPJS Kesehatan.

Peserta BPJS Kesehatan mempunyai kewajibn yang harus dipenuhi, adapun yang menjadi kewajiban peserta antara lain:


(9)

1. Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan, perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas kesehatan tingkat I. 3. Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang

yang tidak berhak.

4. Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan

B. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang Mengalami Penolakan Pelayanan Kesehatan

Jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah dalam kenyataannya dinilai kurang sempurna karena rawan akan pelanggaran hak-hak pasien sebagai konsumen dalam mencapai kepuasan, sehingga peserta BPJS Kesehatan harus mendapatkan perlindungan hukum. Masih banyak peserta BPJS Kesehatan tentang pelayanan rumah sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan seperti penolakan pasien oleh pihak rumah sakit, rumitnya prosedur berobat di Rumah Sakit sehingga harus ada upaya yang harus dilakukan.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subyek hukum yang dapat berupa perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Fungsi perlindungan hukum adalah memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum kepada subyek hukum. Pada dasarnya perlindungan hukum wajib diberikan kepada setiap konsumen atau pengguna jasa pelayanan kesehatan, yaitu pasien. Perlindungan hukum diberikan


(10)

untuk melindungi hak-hak yang dimiliki oleh para konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa suatu produk yang diproduksi oleh pelaku usaha. Tetapi dalam suatu pemberian jasa pelayanan kesehatan yang hasilnya tidak dapat dipastikan akan banyak terjadi komplain atau kerugian yang diderita oleh pasien sebagai pengguna jasa pelayanan kesehatan.

Perlindungan hukum dapat diberikan kepada subjek hukum apabila hukum yang dibuat oleh pemerintah telah dapat berlaku secara efektif. Sehingga untuk menilai suatu hukum telah berlaku efektif atau belum maka dapat menggunakan teori efektivitas yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto adalah efektifnya hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:39

1. faktor hukumnya sendiri; 2. faktor penegak hukum;

3. faktor sarana dan prasaran yang mendukung penegakan hukum; 4. faktor masyarakat itu sendiri; dan

5. faktor kebudayaan masyarakat.

Apabila kelima faktor tersebut dipenuhi maka dapat disimpulkan bahwa hukum yang dibuat telah berlaku secara efektif sesuai dengan tujuan dan keinginan dibuatnya peraturan-peraturan yang mengatur tentang perlindungan hukum pasien BPJS Kesehatan dalam pelayanan kesehatan. Hak-hak yang diberikan kepada pasien BPJS Kesehatan tidak sepenuhnya dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Sehingga bentuk perlindungan hukum bagi peserta BPJS Kesehatan adalah dengan diwujudkannya aturan serta kebijakan yang dapat melindungi

hak-39

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum(Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008), hlm 8.


(11)

hak keperdataan peserta BPJS Kesehatan. Pemenuhan hak wajib diberikan oleh pihak rumah sakit sebagai instansi kesehatan.

Bentuk perlindungan hukum hak keperdataan peserta BPJS Kesehatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan dapat berupa perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Letak perlindungan hukum preventif peserta BPJSKesehatan adalah negara yang diwakili oleh pemerintah daerah memberikan dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik, aman, dan bermutu bagi peserta BPJS Kesehatan.

Pihak rumah sakit sebagai instansi yang bertanggungjawab memberikan pelayanan kesehatan kepada peserta BPJS Kesehatan berkewajiban untuk menyediakan tenaga-tenaga medis yang professional dan tanggungjawab, menerima kritik dan saran yang diberikan oleh pasien atau keluarga peserta BPJS Kesehatan terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan, serta memberikan perlindungan atas keselamatan pasien sesuai dengan penjelasan Pasal 3 huruf b dan Penjelasan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan melaporkan tentang jaminan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Pasal 43 ayat (2), (3), dan (4).

Letak perlindungan hukum represif adalah menerima keluhan peserta BPJS Kesehatan atas pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit, memberikan kebebasan kepada peserta BPJS Kesehatan untuk meminta ganti rugi apabila merasa dan terbukti pihak RSUD Gambiran melakukan kesalahan atau kelalaian dalam memberikan pelayanan kesehatan, melakukan penyembuhan atas


(12)

tindakan medis yang dilakukan pihak rumah sakit sebagai bentuk ganti rugi, menerima dan mengkoreksi kesalahan yang terjadi yang diakibatkan oleh kinerja instansi kesehatan, dan bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan karena adanya kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tim medis.

Perlindungan hukum pasien pengguna JKN adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada pasien pengguna JKN tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya pelaksanaan hak dan kewajiban pasien, pertanggung jawaban rumah sakit sebagai penyedia jasa dalam program JKN dalam pelayanan kesehatan bagi pasien serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien pengguna JKN.

Pasien secara umum dilindungi UU Kesehatan. Pasien pengguna JKN, selain diberikan perlindungan hukum berdasarkan UU Kesehatan pasien JKN juga dilindungi dalam penyelenggaraannya yang diatur dalam Pedoman Pelaksanaan JKN yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Peserta BPJS Kesehatan juga dilindungi dalam UU Kesehatan yang mengacu pada UU SJSN. Ketika peserta pengguna BPJS merasa dirugikan mengenai administrasi yang panjang maupun pelayanan yang kurang memuaskan atau merasa di diskriminasikan dengan peserta lainnya maka peserta pengguna BPJS tersebut dapat meminta hak-hak yang telah diatur secara hukum.Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berlaku umum termasuk pasien, sehingga perlu pula mendapat perhatian para pihak terkait dengan pelayanan kesehatan. Konsumen (pasien) dalam penyelenggaran


(13)

pelayanan kesehatan adalah stakeholder kunci, sehingga harus ditempatkan dengan tepat dalam manajemen pelayanan baik pada pasien umum maupun pasien program jaminan kesehtan BPJS.

C. Upaya Hukum Terhadap Penolakan Rumah Sakit kepada Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

Peserta BPJS Kesehatan yang mengalami ketidakpuasan dapat mengajukan keluhan ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Dapat dilihat disini bahwa peserta BPJS telah mendapat perlindungan hukum dengan adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku serta adanya sarana untuk mengajukan keluhan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada para Peserta BPJS Kesehatan, pihak Rumah sakit hanya dapat mengupayakan untuk bisa mencover semua masyarakat kurang mampu yang tidak terdaftar dan tidak terdata ke dalam catatan sensus dari Biro Pusat statistik.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya, wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada SJSN paling lambat 30 tahun berikutnya. Laporan tersebut dipubllikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui


(14)

paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tangga 31 Juli tahun berikutnya.40

Daerah yang belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang dapat berupa penggantian uang tunai, pengiriman tenaga kesehatan, atau penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan kesehatan dan transportasi.

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua fasilitas kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses kredensialing dan rekredensialing.Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum publik milik Negara yang bersifat non-profit dan bertanggung jawab kepada Presiden. BPJS terdiri atas Dewan Pengawaas dan Direksi.41

Dewan Pengawas terdiri dari 7 (tujuh) orang anggota : 2 (dua) orang unsur pemerintah, 2 (dua) orang unsur pekerja, 2 (dua) orang unsur pemberi kerja, 1 (satu) orang unsur Tokoh Masyarakat. Dewan Pengawas tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Direksi terdiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsru profesional. Direksi sebagaimana dimaksud diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pelaksanaan tugas BPJS dengan uraian sebagai berikut :

2014.

41 Ibid.


(15)

1. Fungsi Dewan Pengawas adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS.

2. Dewan Pengawas bertugas untuk.

a. melakukan pengawasan atas kebijakan pengelolaan BPJS dan kinerja Direksi;

b. melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial oleh Direksi;

c. memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan kepada Direksi mengenai kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan BPJS; dan

d. menyampaikan laporan pengawasan penyelenggaraan Jaminan Sosial sebagai bagian dari laporan BPJS kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memang baru saja bergulir awal 2014. Badan ini merupakan sebuah transformasi dari PT Askes (Persero) yang diamanatkan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.


(16)

BAB IV

PERTANGGUNGJAWABAN YURIDIS BPJS KESEHATAN TENTANG PENOLAKAN RUMAH SAKIT TERHADAP MASYARAKAT

PESERTA PROGRAM BPJS MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS

A. Alasan Penolakan Rumah Sakit Terhadap Pasien Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Rumah sakit memang menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pada dasarnya, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 ayat (2)

Hal yang sama juga diatur dalam

UU Kesehatan. Pasal 85 UU Kesehatan

1. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.

yang berbunyi:

.

2. Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.

Tidak spesifik menjelaskan bagaimana bentuk penolakan pasien oleh rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan itu, apakah saat itu pasien dalam keadaan darurat atau dalam hal terjadi bencana. Namun, dari kedua pasal di atas jelas kiranya diketahui bahwa fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dalam keadaan darurat dan dalam hal bencana. Mengenai keterbatasan alat medis sebagai alasan sebuah rumah sakit menolak pasiennya tidak diatur dalam UU Kesehatan.


(17)

Mengenai ketersediaan alat medis, pada dasarnya, rumah sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan, demikian yang disebut dalam Pasal 7 ayat (1) ayat (1) UU Rumah Sakit meliputi peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai Pasal 16 ayat (1) UU Rumah Sakit.

Peralatan medis berdasarkan penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU Rumah Sakit adalah peralatan yang digunakan untuk keperluan diagnosa, terapi, rehabilitasi dan penelitian medis baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud dengan peralatan nonmedis adalah peralatan yang digunakan untuk mendukung keperluan tindakan medis. Yang dimaksud dengan

Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan (termasuk persyaratan tersedianya peralatan medis) yang dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 16, maka berdasarkan

standar peralatan medis disesuaikan dengan standar yang mengikuti standar industri peralatan medik.

Pasal 7 ayat (1) UU Rumah Sakit, rumah sakit tersebut tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operasionalnya. Jika rumah sakit harus terpaksa menolak pasien karena tidak tersedianya peralatan medis, hal ini berkaitan dengan jejaring dan sistem rujukan yang diatur dalam Bagian Keempat Bab IX UU Rumah Sakit tentang Penyelenggaraan. Yang dimaksud jejaring termasuk juga penyediaan alat sebagaimana disebut dalam Pasal 41 UU Rumah Sakit berbunyi:


(18)

(1) Pemerintah dan asosiasi Rumah Sakit membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan.

(2) Jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan,

Sistem rujukan adalah penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal, maupun struktural dan fungsional terhadap kasus penyakit atau masalah penyakit atau permasalahan kesehatan Pasal 42 ayat (1) UU Rumah Sakit.

penyediaan alat, dan pendidikan tenaga.

Pasal 42 ayat (2) UU Rumah Sakit bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit.

Pengaturan hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam

Ini artinya, jika memang suatu rumah sakit terpaksa menolak pasien karena tidak tersedianya peralatan medis, maka rumah sakit yang bersangkutan wajib merujuk rumah sakit lain yang tergabung dalam sistem rujukannya dan memiliki peralatan medis lebih lengkap, agar pasien tersebut memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukannya. Dengan kata lain, menjawab pertanyaan Anda, rumah sakit yang karena di luar kemampuannya tidak memiliki peralatan medis boleh saja menolak pasien dan hal ini tidak dilarang oleh undang-undang. Adapun bentuk tanggung jawabnya adalah dengan memberikan rujukan pelayanan kesehatan ke rumah sakit lain.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan (selanjutnya disebut Permenkes 1/2012”).


(19)

Rujukan dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal berdasarkan Pasal 7 Permenkes 1/2012. Rujukan vertikal merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, sedangkan rujukan horizontal merupakan rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan Pasal 7 ayat (2) dan (3) Permenkes 1/2012.Rujukan horizontal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Permenkes 1/2012 dilakukan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan

Menurut

dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap (Pasal 8 Permenkes 1/2012).

1. Pasienmembutuhkan pelayanan kesehatanspesialistik atau sub spesialistik; Pasal 9 Permenkes 1/2012, rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:

2. Perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan

Rujukan vertikal juga dapat dilakukan dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatan pelayanan yang lebih rendah, salah satunya adalah apabila

dan/atau ketenagaan.

perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan sarana, prasarana,peralatan dan/atau ketenagaan (Pasal 10 huruf d Permenkes 1/2012).

Selama setahun program BPJS berjalan, banyak masalah pelayanan kesehatan yang sering dikeluhkan oleh masyarakat. Seperti, penolakan pasien rujukan dan penipuan dari penyedia layanan kesehatan. Bahwa penolakan pasien


(20)

peserta BPJS umumnya terjadi pada pasien yang membutuhkan perawatan kesehatan yang lama.42

Pelaksanaan program JKN yang diwujudkan melalui keanggotaan BPJS Kesehatan berkali-kali menyisakan cerita menyedihkan dari para pesertanya. Banyak dari pasien yang ditolak berobat rawat inap terutama oleh rumah sakit swasta.43

Rumah sakit swasta kemungkinan menerapkan cara penolakan halus terhadap pasien BPJS agar biaya operasional yang dikelurkannya tidak membangkak. Cara lain yang dilakukan yaitu merujukkan pasien BPJS ke rumah sakit setempat yang notabene operasionalnya dibiayai pemerintah

Diantara persoalan yang dihadapi oleh rumah sakit adalah rendahnya iuran BPJS yang berdampak pada rendahnya biaya cover untuk pasien. Jumlah biaya yang dikeluarkan rumah sakit seringkali tidak sebanding dengan biaya cover tersebut. Inilah yang menimbulkan ketidakpuasan dari pihak rumah sakit.

Problem BPJS Kesehatan tidak hanya soal administrasi yang rumit dan berbelit-belit, layanan rumah sakit yang kacau balau, banyaknya kasus penolakan terhadap pasien miskin, tetapi sebenarnya berpangkal pada fondasi hukum sistem ini, yakni SJSN dan BPJS. Dalam tata laksana kedua undang-undang tersebut yang secara langsung diberlakukan dalam program JKN, sangat terlihat bahwa UU BPJS dan UU SJSN hanyalah diperuntukan bagi pesertanya saja, tentu ini


(21)

menyalahi UUD 1945 yang mengharuskan kesejahteraan sosial dan pelayanan kesehatan adalah hak seluruh warga Indonesia.44

Sistem Jaminan Sosial Nasional dan BPJS yang sejatinya merupakan jaminan sosial bagi masyarakat, namun dalam pelaksanaan keduanya bukanlah jaminan sosial yang semestinya, melainkan asuransi sosial. Hal ini dapat dicermati padaPasal 1 ayat (8) UU SJSN dimana peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran dan juga pada Pasal 17 ayat (1) UU SJSN dimana setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya telah ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Padahal sesuai dengan amanat konstitusi, bahwa negara memiliki tanggung jawab perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu bagi seluruh rakyat.

Salah satu jenis kasus karena length of stay, di mana kondisi pasien yang harus dirawat lama sering kali ditolak oleh biaya perawatan yang didapat rumah sakit dari iuran BPJS tidak berbeda antara yang dirawat empat hari dengan yang sepuluh hari.45

Iuran BPJS yang terbatas, dengan nominal tertentu bergantung kelas, sering membuat rumah sakit merugi akibat biaya yang harus ditanggung rumah sakit setelah iuran BPJS tidak lagi dapat menutup biaya yang dibutuhkan pasien. Misalnya, pasien dengan penyakit tertentu efektifnya dirawat selama empat hari. Iuran BPJS pasien tersebut hanya dapat mengakomodasi perawatan selama empat hari, namun kondisi pasien

(diakses tanggal 12 November 2015).


(22)

mengharuskan mereka dirawat lebih lama, maka rumah sakit yang harus menanggung biaya pasien,"

Clinical pathway adalah sebuah alur yang menggambarkan proses mulai saat penerimaan pasien hingga pemulangan pasien.Clinical pathway

Alasan rumah sakit menolak penggunaan kartu BPJS Kesehatan, tidak seharusnya sebagai pemberi pelayanan kesehatan membatasi tempat tidur yang tersedia untuk peserta JKN. Bahkan hal tersebut tercantum pada bab 5 Permenkes RI Nomor 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs). Penolakan secara sengaja atau dengan modus ruangan telah melanggar MoU dengan BPJS sekaligus UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS pelaksana JKN dan Permenkes No 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Apalagi penolakan tersebut tanpa didasari alasan kuat. Semua pasien harus diterima dan dilayani dengan baik, tak boleh ada penolakan. Pelayanan harus diprioritaskan. Apalagi pasien tersebut peserta program jaminan kesehatan.

menyediakan standar pelayanan minimal dan memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat waktu

B. Pertanggungjawaban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kepada Peserta Kelas 3 Yang Mendapat Penolakan Dari Rumah Sakit Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Tanggung jawab hukum adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Purbacaraka


(23)

berpendapat bahwa tanggung jawab hukum bersumberatau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak atau/dan melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.46

Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.47

Pasca amandemen UUD 1945, tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, tetap tidak mengalami pengubahan dalam amandemen I-IV yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Artinya, meskipun pasal-pasal atau dulu disebut batang tubuh UUD 1945 mengalami banyak perubahan, konsepsi tujuan negara tersebut tetap dipergunakan sebagai landasan setiap penyelenggaran

46

Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum (Bandung: Citra Aditya, 2010), hlm. 37

47


(24)

kehidupan negara dan bangsa Indonesia.48 Tetapi, dalam pasal-pasalnya, pengaturan hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen mengalami banyak sekali perubahan dan tambahan, yang tampak mencolok dan sangat berkeinginan untuk memasukkan segala hak-hak yang diakui secara universal dalam Universal Declaration of Human Rights 1948.49

Undang-Undang Dasar 1945 terselip konsepsi tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia (state responsibilities), sebagaimana terlihat dalam pasal 28I (4) dan (5), yang menyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah dan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Keduanya, merupakan kunci dalam melihat tanggung jawab konstitutional yang harus dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah, untuk melaksanakan upaya-upaya pemajuan hak asasi manusia.50

Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan social bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Selain itu, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001, Presiden ditugaskan untuk membentuk sistem jaminan sosial

48

R.Herlambang Wiratman, Perdana, Jurnal Ilmu Hukum YURIDIKA Vol. 20, No.I Januari 2005, hlm. 9.

49 Ibid. 50


(25)

nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat yang lebih menyeluruh dan terpadu.51Badan Penyelenggara Jaminan Sosial merupakan bentuk tanggung jawab perintah terhadap pelayanan kesehatanmasyarakat. Semua paserta BPJS harus mendapatkan layanan yang baik dari rumah sakit.

C. Bentuk Sanksi yang diberikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kepada Rumah Sakit Yang Melakukan Penolakan Kepada Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Pemerintah dalam menopang operasional BPJS terutama dalam rangka bagi rumah sakit yang melakukan penolakan kepada peserta BPJS, pemerintah menerbitkan setidaknya dua Peraturan Pemerintah (PP) khusus.52 Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Sanksi administratif itu sebenarnya sudah disinggung sekilas dalam

tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Adminstratif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

51

Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

UUBPJS. Tetapi kedua PP ini semakin memperjelas sanksi administratif baik kepada pengelola BPJS maupun kepada pengusaha pemberi kerja. Pasal 5 PP No. 86 Tahun 2013, misalnya, menjatuhkan sanksi tidak mendapat pelayanan


(26)

publik tertentu kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara, orang atau penerima bantuan iuran (PBI) yang melanggar aturan.

Sanksi tidak mendapat pelayanan publik itu, meliputi perizinan terkait usaha, izin untuk ikut tender proyek, izin mempekerjakan penyedia jasa pekerja, dan bahkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Perauran Pemerintah No. 86 Tahun 2013 menegaskan pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik dilakukan oleh unit pelayanan publik pada instansi pemerintah. Dengan kata lain, BPJS Kesehatan tak mungkin menjalankan sendiri penjatuhan dan pengawasan sanksi administratif tersebut. .

Pentingnya penegakan hukum seperti penjatuhan sanksi seperti disebut dalam PP 86 dan 88. Jika tak dilaksanakan, di lapangan bisa terjadi kecurangan atau

Rumah sakit memang menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pada dasarnya, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta,

fraud. Masalahnya, sumber daya manusia (SDM) BPJS masih perlu dipersiapkan untuk menjalankan. Termasuk menyiapkan aturan internal untuk menjaga SDM yang ada agar tidak mengakali penjatuhan sanksi.Kepala Biro SDM BPJS Ketenagakerjaan.

wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasiendan/atau meminta uang muka. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 UU Kesehatan. Ini artinya, rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan


(27)

kesehatan dilarang menolak pasien yang dalam keadaan darurat serta wajib memberikan pelayanan untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Hal yang sama juga dipertegas dalam Pasal 85 UU Kesehatan

(1) Dalam keadaan darurat,

terkait dalam hal keadaan darurat pada bencana,yang berbunyi:

fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.

(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.

Mengacu pada pasal di atas, dalam keadaan darurat yang butuh tindakan medis secepatnya. Oleh karena itu, fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk tindakan medis tanpa memandang ada atau tidaknya keluarga pasien yang mendampingi saat itu.

Sanksi pidana bagi rumah sakit yang tidak segera menolong pasien yang sedang dalam keadaan gawat darurat,berdasarkanPasal 19 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan


(28)

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

juga dikenal

istilah gawat darurat. Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 UU Rumah Sakit. Berdasarkan

Apabila rumah sakit melanggar kewajiban yang disebut dalam Pasal 29 UU Rumah Sakit, maka rumah sakit tersebut dikenakan sanksi admisnistratif berupa (Pasal 29 ayat (2) UU Rumah Sakit):

Pasal 29 ayat (1) huruf c UU Rumah Sakit, rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Jadi, seharusnya korban kecelakaan yang mengalami keadaan gawat darurat tersebut harus langsung ditangani oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan nyawanya.

1. teguran;

2. teguran tertulis; atau

3. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.

Senada dengan pengaturan dalam UU Rumah Sakit, perlu diketahui, saat ini juga telah lahir UU baru yang mengatur tentang kewajiban tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan darurat, yakni Dalam Pasal 59 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib


(29)

memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat

Alasan tidak adanya keluarga pasien yang mendampingi, memang pada dasarnya setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di rumah sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Hal ini diatur dalam

dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.

Pasal 37 ayat (1) UU Rumah Sakit. Namun, dalamPenjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Rumah Sakit, dijelaskan lebih lanjut bahwa setiap tindakan kedokteran harus memperoleh persetujuan dari pasien kecuali pasien tidak cakap atau pada keadaan darurat.Poin ini juga dipertegas dalam Penjelasan Pasal 68 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan

“Dalam

yang berbunyi:

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi yang kami akses dari laman resmi

keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan nyawa Penerima Pelayanan Kesehatan, tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah Penerima Pelayanan Kesehatan sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan segera diberi penjelasan.”

medis terhadap pasien dalam keadaan darurat merupakan salah satu bentuk Pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi yang disebut dalam Pasal 3 ayat (2) huruf o Peraturan KKI 4/2011 yang antara lain mengatakan bahwa pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi salah satunya adalah tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak


(30)

membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa:

a. Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah kewajiban yang mendasar bagi setiap manusia, utamanya bagi profesi Dokter dan Dokter Gigi di sarana pelayanan kesehatan.

b. Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan dirinya atau apabila telah ada individu lain yang mau dan mampu melakukannya atau karena ada ketentuan lain yang telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan tertentu.”

Pasal 17 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang antara lain juga menegaskan bahwa setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. Menurut penjelasan pasal ini, pertolongan darurat yang dimaksud pada pasal di atas adalah

Walau tidak saat bertugas, seorang dokter wajib memberikan pertolongan darurat kepada siapapun yang sakit mendadak,

pertolongan yang secara ilmu kedokteran harus segera dilakukan untuk mencegah kematian, kecacatan, atau penderitaan yang berat pada seseorang. Seorang dokter wajib memberikan pertolongan keadaan gawat darurat atas dasar kemanusiaan ketika keadaan memungkinkan.

kecelakaan atau keadaan bencana. Rasa yakin dokter akan ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu melakukan pertolongan darurat seyogyanya dilakukan secara cermat sesuai dengan keutamaan profesi, yakni untuk menjunjung sikap dan rasa ingin berkorban profesi untuk kepentingan pertolongan darurat termaksud.53

53

Tri Tata Ayu Paramesti,Sanksi Bagi Rumah Sakit yang Menolak Memberikan Tindakan

Medis,


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan:

1. Pengaturan tentang Badan Penyelengggara Jaminan Sosial Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 telah cukup memberikan kepastian hukum dalam keberadaan dan penyelenggaraannya. Adapun hal-hal yang diaturantara lain adalah mengenai ruang lingkupnya dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan; statusnya sebagai badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan berkedudukan di ibukota bisa memiliki kantor perwakilan di tingkat provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten/kota fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajibannya; organ BPJS Kesehatan yang terdiri atas dewan pengawas dan direksi. Pelaksanaan BPJS merupakan wujud tanggung jawab negara yang berlandaskan UU SJSN sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Tingkat Pertama Dan Fasilitas Tingkat Selanjutnya.

2. Perlindungan hukum terhadap program peserta BPJS terkait penolakan untuk memberikan pelayanan kesehatan yaitu suatu perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum yang dapat berupa perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Bentuk perlindungan hukum hak keperdataan peserta BPJS Kesehatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan


(32)

dapat berupa perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Letak perlindungan hukum preventif peserta BPJS Kesehatan adalah negara yang diwakili oleh pemerintah daerah memberikan dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik, aman, dan bermutu bagi peserta BPJS Kesehatan

3. Pertanggungjawaban yuridis BPJS kesehatan tentang penolakan rumah sakit terhadap masyarakat peserta program BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yaitu rumah sakit swasta maupun pemerintah dilarang menolak pasien atau meminta uang muka seperti yang diatur dalam Pasal 85 UU Kesehatan, Pasal 7 ayat (1) bahwa persyaratan rumah sakit meliputi peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan. Persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) rumah sakit yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak diberikan izin mendirikan dicabut atau tidak diperpanjang izin operasi sehingga tidak ada alasan bagi rumah sakit untuk menolak pasien peserta BPJS, apabila rumah sakit tersebut ternyata tidak memiliki peralatan yang lengkap atau memadai untuk merawat pasien tersebut.

B. Saran

Ada bebberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan penulisan skripsi ini adalah :

1. Hendaknya dilakukannya sosialisasi lebih terhdap masyarakat agar dapat menggunkan BPJS Kesehatan secara benar. Dengan memperhatikan aspek


(33)

likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.

2. Hendaknya dilakukannya penyempurnaan jaminan kesehatan masyarakat dengan tidak adanya hak-hak pasien yang dilanggar dan adanya perlindungan hukum terhadap peserta BPJS.

3. Hendaknya adanya sanksi yang tegas terhadap penolakan rumah sakit yang menjadi mitra BPJS Kesehatan dan penambahan rumah sakit yang menjadi mitra BPJS.


(34)

BAB II

PENGATURAN TENTANG BADAN PENYELENGGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 24 TAHUN 2011

A. Dasar Dibentuknya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Pemerintah

Filosofi jaminan sosial sebagaimana dimaksud dalam UU SJSN dan UU BPJS berakar pada sistem kapitalisme karena jaminan sosial diterjemahkan sebagai strategi penyediaan cadangan dana mengatasi resiko ekonomi yang timbul secara sistemik dalam siklus ekonomi kapitalisme (krisis).21

21

Salamuddin Daeng, “Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945,” Free Trade Watch Edisi Desember 2011.

Sejarah pembentukan sistem jaminan sosial mengacu pada kaidah internasional dimasukkan dalam hukum nasional melalui amandemen terhadap UUD 1945, dengan memasukkan kata jaminan sosial sebagai metode yang harus dikembangkan oleh negara pasca krisis ekonomi Indonesia. Dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”, kemudian Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pelaksanaan kedua pasal tersebut dapat memenuhi amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 34 ayat (1) berbunyi


(35)

“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”. Pasal-pasal inilah yang secara material menjadi alasan konstitusional di bidang jaminan sosial, yang menegaskan bahwa jaminan sosial (social security) merupakan “hak” (right) bukan merupakan “hak istimewa” (privilege).22

Konsep ini diakomodasi dengan disahkannya UU SJSN dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Sosial). Pasal 14 ayat (1) UU SJSN menyatakan “Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”. Kemudian Pasal 14 ayat (2) berbunyi “Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.” Kemudian Pasal 17 ayat (4) menyebutkan bahwa “Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah”.

Pasal 10 ayat (1) UU Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa “Asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga Negara yang tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya.” Ayat selanjutnya menyatakan “Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh Pemerintah.” Dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa urusan sosial masuk dalam urusan Pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945.

22


(36)

Pasal 17 ayat (4) UU SJSN ini justru mendasari pemikirannya berdasarkan Pasal 34 ayat (3) hasil amandemen yang ditambahkan (fasilitas) “sosial” dan “lainnya” untuk lebih menegaskan unsur-unsur yang menjadi tanggung jawab negara, bukan pada Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

Perubahan ini didasarkan kepada kebutuhan meningkatkan jaminan konstitusional yang mengatur kewajiban negara di bidang kesejahteraan sosial. Adanya ketentuan mengenai kesejahteraan sosial yang jauh lebih lengkap dibanding sebelum perubahan, merupakan bagian upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Di dalam rumusan tersebut terkandung maksud untuk lebih mendekatkan gagasan negara kesejahteraan dalam UUD 1945 ke dalam realita.

Negara Indonesia menganut paham sebagai negara kesejahteraan, berarti terdapat tanggung jawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.23

Konsep jaminan sosial dalam arti luas meliputi setiap usaha di bidang kesejahteraan sosial untuk meningkatkan taraf hidup manusia dalam mengatasi keterbelakangan, ketergantungan, ketelantaran, dan kemiskinan. Konsep ini belum dapat diterapkan secara optimal di Indonesia, karena keterbatasan pemerintah di bidang pembiayaan dan sifat ego sektoral dari beberapa pihak yang

23

Hafiz Habibur Rahman, Political Science and Government, Eighth Enlarged edition


(37)

berkepentingan dalam jaminan sosial. Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services), melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.

Saat ini SJSN belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Permasalahan yang mengemuka selama ini adalah tidak adanya validitas data masyarakat di Indonesia, contohnya terdapat perbedaan data masyarakat miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Pemerintah Daerah (Pemda) sehingga berdampak pada ketidakakuratan data kepesertaan penerima jaminan sosial itu sendiri dan berpotensi melanggar hak-hak setiap warga negara untuk mendapatkan jaminan sosial yang diamanatkan dalam konstitusi.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28 huruf (h) dicantumkan bahwa : “setiap orang hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dalam Pasal 34 UUD 1945 ayat (3) juga dicantumkan bahwa : “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa : “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.”

Jadi kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin, dalam


(38)

implementasinya dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan pemerintah dan pemerintah daerah. Dapat diketahui bahwa pemerintah harus bertanggung jawab untuk memberikan kehidupan khususnya dalam bidang kesehatan terhadap masyarakat yang kurang mampu.

Pasal 19 ayat (2) UU SJSN nasional juga menyatakan bahwa :“Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.24

Jelas bahwa kesehatan masyarakat benar-benar dilindungi oleh pemerintah dengan cara membayarkan biaya kesehatan dengan uang anggaran dari pemerintah yang diberikan kepada masing-masing rumah sakit maupun puskesmas yang di tunjuk oleh pemerintah provinsi di daerah masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan adanya Pasal 20 ayat (1) UU SJSN yang berbunyi bahwa : “Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah”25Setelah itu, terdapat Pasal 22 ayat (1) UU SJSN yang menjelaskan bahwa : “Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan26

Dasar yuridis jaminan sosial ialah UU SJSN, dalam Pasal 1 angka (1) menyatakan:“Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk

24

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan sosial Nasional.Pasal 19 ayat 2.

25

Ibid., Pasal 20 ayat (1).

26


(39)

menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak”.

Beberapa peraturan pemerintah yang mengatur penyelenggaraan asuransi kesehatan antara lain :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2013 tentang Pencabutan PP 28/2003 tentang subsidi dan iuran pemerintah dalam penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi PNS dan penerima pensiun.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2013 tentang Hubungan Antara Setiap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggaraan jaminan sosial.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Tatacara Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.

5. Peraturan PresidenNomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perpres No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

6. Peraturan Presiden Nomor109 Tahun 2013 tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial.

7. Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2013 tentang Bentuk Dan Isi Laporan Pengelolaan Program Jaminan Sosial.


(40)

8. Peraturan Presiden Nomor107 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Tertentu Berkaitan Dengan Kegiatan Operasional Kementerian Pertahanan, TNI, dan Kepolisian NRI.

9. Peraturan PresidenNomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

Pengaturan pedoman pemberian pelayanan kesehatan oleh BPJSKesehatan didasarkan pada SJSNdalam rangka menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa:“Pengaturan pedoman pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional bertujuan untuk memberikan acuan bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, Pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota) dan Pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan SosialKesehatan (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan), Peserta program jaminan kesehatan nasional dan pihak terkait dalam penyelenggaraanJaminan Kesehatan Nasional”

B. Jaminan Kesehatan Sosial sebagai Bentuk Pelaksanaan Tanggung Jawab Negara pada Masyarakat Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Kesehatan merupakan sesuatu hal yang sangat penting bagi manusia dimana kita ketahui bahwa kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga. Dibuktikan dengan banyaknya jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit setiap harinya dan masih banyak masyarakat yang memilih mempertahankan penyakit yang berada dalam tubuhnya dari pada berobat ke rumah sakit. Hal tersebut


(41)

dikarenakan berbagai faktor, seperti tidak adanya kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan yang mahal.

Masalah utama sehubungan pemerataan layanan kesehatan di Indonesia ialah isu kemiskinan. Biaya kesehatan yang mahal menyebabkan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menikmati hak-haknya di bidang kesehatan sulit di wujudkan dengan menjadikan masalah kesehatan sebagai isu Hak Asasi Manusia (HAM) maka setiap orang berhak memperoleh manfaat yang sama tanpa memandang statusnya dan negara bertanggungjawab merealisasikannya.27

Kesadaran tentang pentingya Jaminan kesehatan perlindungan sosial terus berkembang sesuai amanat pada Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, yaitu menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Masuknya Sistem Jaminan sosial dalam perubahan UUD 1945, dan terbitnya SJSN menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan terkait memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial, pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.28

Negara hukum adalah negara yang di dalam penyelenggaraannya berdasarkan pada hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa, sedangkan dalam arti material adalah negara juga turut serta secara aktif untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare state), atau dikenal dengan nama negara

27

Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal HAM di Indonesia


(42)

kesejahteraan yang kemudian dikenal dengan nama verzorgingsstaat, atau disebutnya sociale rechtsstaat (negara hukum sosial).29

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian SJSN yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib berdasarkan UU SJSN dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak untuk setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Dua titik berat Pemerintah mengimplementasikan sistem jaminan sosial kesehatan adalah kepesertaan yang wajib sehingga dapat diakses semua masyarakat dan manfaat komprehensif. Namun jika dikaji lebih lanjut, apakah benar kedua poin tersebut dipenuhi oleh JKN, ditengah kondisi Indonesia yang memiliki keanekaragaman wilayah beserta sistem kesehatan (fasilitas dan tenaga) yang belum memadai.

Implementasinya, JKN membawa pemenuhan kebutuhan akan pelayanan medis komprehensif, meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif UU SJSNPasal 22 ayat (1). Salah satu hal yang menjadi kendala pemenuhan benefit package tersebut adalah akses terhadap pelayanan kesehatan.

Pelaksanaan BPJS merupakan wujud tanggung jawab negara yang berlandaskan UU SJSN. Program ini dilakukan secara bertahap di mana harapan dari Pemerintah awal tahun 2019 semua masyarakat sudah terdaftar menjadi anggota BPJS (Universal Coverage

29

Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 22-23.

). Didalam undang-undang tersebut mencakup 3 asas, 5 program dan 9 prinsip sebagai penyempurnaan program Askes/Jamkesmas yang sudah berjalan. Seperti asas gotongroyong, perusahaan


(43)

yang berbentuk nir laba (tidak mencari untung), dengan mengedepankan kepuasaan pelanggan, portablilitas (tidak terbatas domisili), juga keterbukaan dan siap di audit dalam hal keuangan30

Landasan pelaksanaan BPJS sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 tentang tentang Standar Tarif Pelayananan Kesehatan pada Fasilitas Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan dan Permenkes Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.

.

Jaminan kesehatan adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk menjamin agar peserta dan anggota keluarganya memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.31

Jaminan sosial merupakan sistem proteksi yang diberikan kepada setiap warga negara untuk mencegah hal-hal yang tidak dapat diprediksikan karena adanya risiko-risiko sosial ekonomi yang dapat menimbulkan hilangnya pekerjaan maupun mengancam kesehatan. Oleh karena itu, jaminan sosial hadir sebagai salah satu pilar kesejahteraan yang bersifat operasional. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia,


(44)

serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.32

Pelayanan publik dibidang kesehatan merupakan fungsi pemerintah dalam menjalankan dan menberikan hak dasar yang dipahami seluruh komponen masyarakat sebagai hak untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan, dalam peranannya pemerintah selaku penyedia layanan publik harus secara profesional dalam menjalankan aktivitas pelayanannya ,tidak hanya menjalankan begitu saja tetapi dituntut harus berdasarkan prinsip-prinsip Good Governance. .Hal yang paling penting dalam proses pemenuhan hak dasar rakyat adalah masalah hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan pelayanan pemerintah. Akses terhadap hak-hak dasar rakyat seperti ini harus terakomodasi dalam pembangunan. UU BPJS mempunyai berbagai kendala dalam pelaksanaannya dilapangan sebagai berikut sosialisasi yang kurang, dimana pihak yang berkewajiban melakukan sosialisasi ini adalah pihak BPJS dan pemerintah. Sosialisasi yang kurang terhadap masyarakat mengakibatkan masyarakat kebingungan di dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Masyarakat masih banyak yang belum mengerti akan syarat-syarat yang harus dibawa pada saat berobat ke rumah sakit sehingga mereka harus pulang untuk melengkapi berkas mereka. Di samping itu apabila mereka tidak

32


(45)

membawa surat rujukan dari puskesmas, mereka harus ke puskesmas untuk mendapatkan surat rujukan, ia kalau tidak mengantri tetapi kalau juga harus mengantre betapa rumitnya masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Barulah mereka bisa kembali ke rumah sakit, jadi mereka harus bolak balik ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit mereka pun harus mengantri lagi sehingga semakin lama waktu mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Disamping itu dalam UU BPJS terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya ditinjau dari perlindungan pasien antara lain pertama, bayi yang baru lahir dari peserta PBI tidak dijamin, seharusnya pasien PBI ditanggung oleh Negara tetapi telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK/MENKES/32/1/2014 tertanggal 16 Januari 2014 yang berisi Penjaminan terhadap bayi baru lahir dilakukan dengan ketentuan bayi baru lahir dari peserta PBI secara otomatis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Bayi tersebut dicatat dan dilaporkan kepada BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan untuk kepentingan rekonsiliasi data Penerima Bantuan Iuran.

Kedua, pelayanan rujukan peserta harus membawa surat rujukan berulang dengan kasus yang sama, telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kesehatan No. HK/MENKES/32/1/2014 tertanggal 16 Januari 2014 yang berisi tentang Kedaruratan medik tidak membutuhkan surat rujukan dan Surat rujukan dibutuhkan untuk pertama kali pengobatan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan, dan selanjutnya selamamasih dalam perawatan dan belum dirujuk balik ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama tidak dibutuhkan lagi surat rujukan. Dokter yang menangani memberi surat keterangan masih dalam perawatan, jadi


(46)

pasien tidak perlu membawa surat rujukan yang berulang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik. Ketiga, keluhan Rumah Sakit tetang belum adanya kejelasan tarif dasar ambulan, telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kesehatan No. HK/MENKES/31/1/2014 tertanggal 16 Januari 2014 telah dijelaskan tentang pelayanan ambulan yang berisi diberikan pada transportasi darat dan air bagi pasien dengan kondisi tertentu antar fasilitas kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, Penggantian biaya pelayanan ambulan sesuai dengan standar biaya ambulan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, dalam hal belum terdapat tarif dasar ambulan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, tarif ditetapkan dengan mengacu pada standar biaya yang berlaku pada daerah dengan karakteristik geografis yang relatif sama pada satu wilayah.

C. Ruang Lingkup Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menurut Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 menetapkan Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS kesehatan yang implementasinya dimulai 1 Januari 2014. Jenis kepesertaan BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI).


(47)

a. Kriteria Peserta PBI Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu.Kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu ditetapkan oleh menteri di bidang sosial setelah berkoordinasi dengan menteri dan /atau pimpinan lembaga terkait kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik untuk melakukan pendataan data fakir miskin dan orang tidak mampu yang telah diverifikasi dan divalidasi sebagaimana dimaksud, sebelum ditetapkan sebagai data terpadu oleh Menteri di bidang sosial, dikoordinasikan terlebih dahulu dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.Data terpadu yang ditetapkan oleh Menteri dirinci menurut provinsi dan kabupaten/kota. Data terpadu sebagaimana dimaksud menjadi dasar bagi penentuan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan. Data terpadu sebagaimana dimaksud, disampaikan oleh Menteri di bidang sosial kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan DJSN menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kesehatan mendaftarkan jumlah nasional PBI Jaminan Kesehatan yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud sebagai peserta program Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan Penetapan jumlah PBI Jaminan Kesehatan pada tahun 2014 dilakukan dengan menggunakan hasil Pendataaan Program Perlindungan Sosial tahun 2011.Jumlah peserta PBI


(48)

Jaminan Kesehatan yang didaftarkan ke BPJS Kesehatan sejumlah 86,4 juta jiwa.

b. Perubahan data peserta PBI penghapusan data fakir miskin dan orang tidak mampu yang tercantum sebagai PBI jaminan kesehatan karena tidak lagi memenuhi kriteria penambahan data fakir miskin dan orang tidak mampu untuk dicantumkan sebagai PBI jaminan kesehatan karena memenuhi kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu.Perubahan data PBI Jaminan Kesehatansebagaimana dimaksud diverifikasi dan divalidasi oleh Menteri di bidang sosial Perubahan data ditetapkan oleh Menteri di bidang sosial setelah berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan Menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait. Verifikasi dan validasi terhadap perubahan data PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dilakukan setiap 6 (enam) bulan dalam tahun anggaran berjalan. Penduduk yang sudah tidak menjadi fakir miskin dan sudah mampu, wajib menjadi peserta Jaminan Kesehatan dengan membayar Iuran.

2. Peserta bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI) Peserta bukan PBI jaminan kesehatan sebagaimana yang dimaksud merupakan peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas (sesuai Perpres No 12 Tahun 2013):

a. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya, terdiri atas: 1) Pegawai Negeri Sipil;


(49)

3) anggota Polri; 4) pejabat negara;

5) pegawai pemerintah non pegawai negeri; 6) pegawai swasta; dan

7) pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima Upah.

b. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya, terdiri atas pekerja di luar hubungan kerja dan pekerja mandiri.

c. Bukan Pekerja dan anggota keluarganya, terdiri atas : 1) investor;

2) pemberi kerja; 3) penerima pensiun; 4) veteran;

5) perintis kemerdekaan; dan

6) bukanpekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu membayar iuran.

Penerima Pensiun sebagaimana yang dimaksud terdiriϖ atas: 1) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun,

2) anggota TNI dan anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun, 3) pejabat negara yang berhenti dengan hak pensiun,

4) penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c, dan

5) janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun sebagaimana yang dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d


(50)

yang mendapat hak pensiun Pekerja sebagaimana yang dimaksud termasuk warganegara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan Jamingan Kesehatan bagi Pekerja warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tersendiri.

Anggota keluarga sebagaimana dimaksud meliputi: a. istri atau suami yang sah dari peserta; dan

b. anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria:

1) tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan

2) belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yag masih melanjutkan pendidikan formal Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain.

Ruang lingkup verifikasi klaim BPJS Kesehatan terdiri dari verifikasi administrasi klaim dan verifikasi pelayanan kesehatan, yaitu :33

1. Verifikasi administrasi klaim

Verifikasi administrasi klaim mencakup 2 hal pokok yaitu Berkas klaim yang akan diverifikasi dan Tahap verifikasi administrasi klaim. Berkas klaim yang akan diverifikasi untuk rawat jalan meliputi Surat Eligibilitas Peserta (SEP), bukti pelayanan yang mencantumkan diagnose dan prosedur serta

tanggal 11 September 2015).


(51)

ditandatangani oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), protokol terapi dan regimen (jadwal pemberian) obatkhusus, resep alat kesehatan (diluar prosedur operasi), tanda terima alat kesehatan (kacamata, alat bantudengar, alat bantu gerak, dan lain-lain), berkas pendukung lain yang diperlukan.

Berkas klaim yang akan diverifikasi untuk rawat inap adalah surat perintah rawat inap, surat eligibilitas peserta (SEP), resume medis yang ditandatangani oleh DPJP. Bukti pelayanan yang mencantumkan diagnosadan prosedur serta ditandatangani oleh DokterPenanggung Jawab Pasien (DPJP), laporan operasi (jika diperlukan),protocol terapi dan regimen (jadwal pemberian) obatkhusus, resep alat kesehatan (diluar prosedur operasi), tanda terima alat kesehatan (alat bantu gerak, collarneck, corset), berkas pendukung lain yang diperlukan.Tahap verifikasi administrasi klaim yaitu :

a. Verifikasi administrasi kepesertaan : Verifikasi administrasi kepesertaan adalah meneliti kesesuaian berkas klaim yaitu antara Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dengan data yang diinput dalam aplikasi

b. Verifikasi administrasi pelayanan : Hal-hal yang harus diperhatikan dalam deteksi dini administrasi pelayanan adalah :

dengan berkas pendukung lainnya.

1) Untuk kode INA CBGs severity level III pastikan adapengesahan dari Komite Medik.

2) Kesesuaian Spesialisasi Dokter Penanggung JawabPasien (DPJP) dengan diagnosa. Misalnya, pasien dengan diagnosa jantung namun


(52)

DPJP-nya adalah spesialis mata, lakukan cross check ke resume medis atau poli.

3) Kesesuaian antara tindakan operasi dengan spesialisasi operator. Misalnya, dalam laporan tindakan Apendiktomi oleh operator spesialis jantung, perlu dilakukan cross check lebih lanjut.

4) Kesesuaian antara tipe rumah sakit dan kompetensi dokter di rumah sakit tersebut. Misalnya : Tindakan Kraniotomi yang dilakukan di rumah sakit tipe D, tindakan CABG yang dilakukan di rumah sakit yangperlu dilakukan cross check lebih lanjut.

5) Koding yang ditentukan koder tidak unbundling. Contoh : Diabetes Melitus with Nephrophaty menjadi Diabetes Melitus (diagnosa primer) dan Nephrophaty (diagnosa sekunder).

6) Perhatikan Readmisi untuk diagnosa penyakit yang sama, jika pasien masuk dengan diagnosa yang sama dilakukan cross check dengan riwayat pulang rawat pada episode yang lalu, apakah pada episode rawat yang lalu pasien pulang dalam keadaan sembuh atau pulang dalam keadaan pulang paksa, ataupun dirujuk. Jika pasien telah dipulangkan dalam keadaan pulang paksa maka episode rawat pada read misi merupakan kelanjutan dari pembiayaan penyakit yang sama.


(53)

7) Pada kasus spesial CMGs :

a) Alat kesehatan dengan prosedur operasi :pastikan kesesuaian tagihan dengan resume medis, billing rumah sakit dan laporan operasi.

b) Diluar prosedur operasi : pastikan kesesuaian tagihan dengan resume medis, billing RS, resepalat kesehatan, bukti tanda terima alat kesehatan.

c) Pada kasus special drug, pastikan kesesuaian antara tagihan dengan resume medis, billing danregimen (jadwal dan rencana pemberian obat).

2. Verifikasi pelayanan kesehatan

Hal-hal yang harus menjadi perhatian adalah :

a. Tingkat keparahan (severity level) sesuai dengan tipe dan kompetensi rumah sakit.

b. Verifikator wajib memastikan kesesuaian diagnose dan prosedur pada tagihan dengan kode ICD 10 dan ICD 9 CM (dengan melihat buku ICD 10 dan ICD 9 CM atau soft copynya).

c. Perhatikan kasus dengan special CMGs yaitu :

1) Special drugs : Steptokinase, Deferiprone, Deferoksamin, Deferasirox, Human albumin.

2) Special procedures, contoh : Tumor pineal-Endoscopy, Pancreatectomy. Diperlukan surat keterangan dokter sebagai keterangan/laporan operasi untuk special prosedur yang dilakukan.


(54)

3) Special investigations : other CT Scan, Nuclear Medicine,MRI, Diagnostic and procedure imaging on eye. Kasus yang mendapatkan special investigation telah dilengkapi bukti pelayanan penunjang sebelumnya, seperti : MRI dilakukan setelah ada hasil X-ray dan CT Scan, dsb.

4) Special prosthesis : subdural grid electrode, cote graft,TMJ prosthesis, Liquid Embolic (for AVM), Hip Implant/knee implant. Perhatikan kesesuaian diagnosa utama dan prosedur yang dilakukan, misal : TMJ Prosthesis dilakukan pada kasus fraktur os temporomandibular/temporomandibular joint, ditangani spesialis THTkraniofasial/Bedah Mulut.

5) Sub-acute group : hari rawat 43 s/d 103 hari dan ChronicGroup : hari rawat 104 s/d 180 sesuaikan masa rawat pasien dengan rekomendasi pulang dari DPJP pada visite terkahir di rekam medis. Untuk kasus-kasus dengan diagnosa berbiaya tinggi lakukan kunjungan ke bangsal perawatan/Customer visite. Pastikan assessment ADL sudah dilakukan dan dikuatkan dengan customer visit.

d. Ambulatory package, contoh : hemodialisa, radioterapi.

Kasus-kasus bayi baru lahir dengan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), memastikan berat badan bayi kurang dari 2500 gram dengan resume medis dan apabila diperlukan melihat surat keterangan lahir.


(55)

e. Memastikan bayi baru lahir yang tidak memiliki masalah medis dari persalinan normal maupun section menjadi satu bagian tagihan persalinan.

f. Memastikan bayi baru lahir tidak sehat dari persalinan normal maupun dari seksio sesaria menjadi tagihan terpisah daripersalinan ibu.

g. Pada kasus-kasus yang sudah ditegakkan diagnosa pastikan pada kunjungan berikutnya harus menggunakan kode diagnose Z (kontrol). h. Perhatikan pasien yang menjalani rawat jalan dan dilanjutkan dengan

rawat inap pada hari yang sama hanya bisa ditagihkan sebagai satu episode rawat inap.

D. Penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosisal Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan34untuk menjamin hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat,35dan sebagai pelaksanaan tugas konstitusional negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.36

34

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 6 Ayat 1

35


(56)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dibentuk berdasarkan UU BPJS mempunyai tujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan sosial kesehatan guna terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, BPJS Kesehatan menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Sesuai pengaturan dalam UU BPJS, PT Askes (Persero) pada tanggal 1 Januari 2014 telah bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. Perubahan bentuk badan hukum dari Persero menjadi badan hukum publik (wali amanat) secara langsung juga membawa konsekuensi perubahan paradigma dalam pengelolaan aset dan liabilitasnya.

Dalam rangka mendukung operasionalisasi BPJS Kesehatan agar mampu melaksanakan fungsi, tugas, wewenang, hak, dan kewajiban dengan berlandaskan pada prinsip tata kelola yang baik, diperlukan adanya suatu pedoman bagi BPJS Kesehatan dalam pengelolaan dan pengembangan aset dengan memperhatikan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Sebagai pelaksanaan amanat dariPasal 47 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2) UU SJSN dan Pasal 41 ayat (3), Pasal 43 ayat (3), dan Pasal 45 ayat (2). Undang-UU BPJS, maka perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai pengelolaan dan pengembangan aset BPJS Kesehatan dan aset Dana


(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN YURIDIS BPJS KESEHATAN TENTANG PENOLAKAN RUMAH SAKIT TERHADAP PESERTA PROGRAM BPJS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL * M. Wahyu Ravicky

** T. Keizerina Devi Azwar *** Windha

BPJS dalam memberikan pelayanan kesehatan membuat Perjanjian Kerjasama dengan rumah sakit-rumah sakit di Indonesia, baik rumah sakit milik pemerintah maupun rumah sakit milik swasta. Perjanjian kerjasama yang dibuat antara BPJS Kesehatan dengan rumah sakit tentu mengatur mengenai hak dan kewajiban BPJS Kesehatan, rumah sakit, dan pasien yang yang menggunakan BPJS di rumah sakit tersebut. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah pengaturan tentang Badan Penyelengggara Jaminan Sosial Kesehatan Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dan perlindungan hukum terhadap program peserta BPJS terkait penolakan untuk memberikan pelayanan kesehatan serta pertanggungjawaban yuridis BPJS kesehatan tentang penolakan rumah sakit terhadap masyarakat peserta program BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif merupakan pendekatan yang melakukan analisis hukum atas peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan judul skripsi. Data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, tersier. Metode pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode penelitian dari berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, majalah-majalah, pendapat para sarjana dan juga bahan-bahan kuliah lainnya.

Pengaturan tentang Badan Penyelengggara Jaminan Sosial Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 telah cukup memberikan kepastian hukum dalam keberadaan dan penyelenggaraannya. Ruang lingkup dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan, statusnya sebagai badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan berkedudukan di ibukota bisa memiliki kantor perwakilan di tingkat provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten kota, fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajibannya, organ BPJS Kesehatan yang terdiri atas dewan pengawas dan direksi. Perlindungan hukum terhadap program peserta BPJS terkait penolakan untuk memberikan pelayanan kesehatan yaitu suatu perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum yang dapat berupa perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Bentuk perlindungan hukum hak keperdataan peserta BPJS Kesehatan dalam memperoleh pelayanan kesehatan dapat berupa perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Pertanggungjawaban yuridis BPJS kesehatan tentang penolakan rumah sakit terhadap masyarakat peserta program BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yaitu rumah sakit swasta maupun pemerintah dilarang menolak pasien atau meminta uang muka seperti yang diatur dalam Pasal 85 UU Kesehatan, Pasal 7 ayat (1) bahwa persyaratan rumah sakit meliputi peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan. Persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai.


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas segala rahmat dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah Pertanggungjawaban Yuridis BPJS Kesehatan Tentang Penolakan Rumah Sakit Terhadap Peserta Program BPJS Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Windha, SH., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Ekonomi sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, CN, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Alm Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum, selaku dosen Pembimbing Akademik, terima kasih telah membimbing saya selama masa perkuliahan.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Yulizar dan Ibunda Defliwati serta buat adinda M. Arif Yuranda, M. Akhirul Ramadhan yang telah banyak memberikan dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus sampai sekarang dan selamanya.

10.Buat teman-teman SMA, Cemed, Tanti, Tika, Fina, Oliv, Maya, Pikih, Ojek, Ivan, Zefanya, terima kasih atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

11.Buat teman-teman stambuk 011 Group F, yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikan


(4)

12.Buat temen-teman seperjuangan di kampus, Nanda, Dendi, Fadel, Daniel, Lia, Inal, Haris, Adi, Rara, Igan, Upay, Dian, Wahyu, Daniel Clinton, Albert, Boteng, terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.

13.Buat teman-teman STAF AHLI, Sani, Dita, Nopi, Mei, Ceceb, Lalak, Feby, terima kasih atas dukung dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini. 14.Buat teman-teman CIA, Dhimas, Faisal, Pudja, Noviliana, Stephanie, Meirani,

Mutiara, terima kasih atas dukungan dan motivasinya sehingga terselesaikan skripsi ini.

15.Buat abang dan kakak tersayang di Sahabat Super, Eby Marbun SH, Eci Marbun SE, Muhammad Azizi SP, Fatmah Harahap SH, Sony Siregar, Tika, Teuku Musliadi, Imenk, Agustina Sitompul, terima kasih atas dukungan dan semangatnya sehingga terselesaikan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis memohon maaf kepada Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.

Medan, Januari 2016 Penulis,

NIM. 110200534 M. Wahyu Ravicky


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGATURAN TENTANG BPJS KESEHATAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011... 21

A. Dasar Dibentuknya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) oleh Pemerintah ... 21

B. Jaminan Kesehatan Sosial sebagai Bentuk Pelaksanaan Tanggungjawab Negara pada Masyarakat Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ... 27

C. Ruang Lingkup Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ... 33

D. Penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ... 42


(6)

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROGRAM PESERTA BPJS TERKAIT PENOLAKAN UNTUK

MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN ... 55

A. Bentuk Kewajiban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) didalam Prosedur Jaminan Sosial ... 55

B. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang Mengalami Penolakan Pelayanan Kesehatan ... 60

C. Upaya Hukum terhadap Penolakan Rumah Sakit kepada Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan 64 BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN YURIDIS BPJS KESEHATAN TENTANG PENOLAKAN RUMAH SAKIT TERHADAP MASYARAKAT PESERTA PROGRAM BPJS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BPJS ... 67

A. Alasan Penolakan Pihak Rumah Sakit terhadap Pasien Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ... 67

B. Pertanggungjawaban Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kepada Peserta Kelas 3 yang Mendapat Penolakan dari Rumah Sakit Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ... 73

C. Bentuk Sanksi yang Diberikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Rumah Sakit yang melakukan Penolakan Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83


Dokumen yang terkait

Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

6 127 174

IMPLEMENTASI JAMINAN SOSIAL KESEHATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

1 10 60

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial - [ PERATURAN ]

0 3 68

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

0 0 68

Pertanggungjawaban Yuridis BPJS Kesehatan Tentang Penolakan Rumah Sakit Terhadap Peserta ProgramBPJS Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 1 8

Pertanggungjawaban Yuridis BPJS Kesehatan Tentang Penolakan Rumah Sakit Terhadap Peserta ProgramBPJS Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 0 1

Pertanggungjawaban Yuridis BPJS Kesehatan Tentang Penolakan Rumah Sakit Terhadap Peserta ProgramBPJS Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 0 20

Pertanggungjawaban Yuridis BPJS Kesehatan Tentang Penolakan Rumah Sakit Terhadap Peserta ProgramBPJS Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 1 34

Pertanggungjawaban Yuridis BPJS Kesehatan Tentang Penolakan Rumah Sakit Terhadap Peserta ProgramBPJS Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 0 3

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

0 0 68