Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN

2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (STUDI PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)

KETENAGAKERJAAN KANTOR CABANG BINJAI)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

UMI SRI WAHYUNINGSIH NIM 130921044

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN

2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL STUDI PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)

KETENAGAKERJAAN KANTOR CABANG BINJAI

Nama : Umi Sri Wahyuningsih Nim : 130921044

Departemen : Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Pembimbing : Drs. Kariono, M.Si

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dapat diimplementasikan dengan baik oleh implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai), untuk mengetahui kendala dalam implementasian kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dan untuk mengetahui upaya yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai dalam menyelesaikan kendala yang ada.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data primer dengan wawancara mendalam dan observasi serta pengumpulan data skunder dengan studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dengan analisa kualitatif.

Implementasi kebijakan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh pelaksanan kebijakan untuk tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Pelaksana kebijakan tersebut merupakan suatu badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) di bidang ketenagakerjaan yang dalam hal ini tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.

Berdasarkan data dan hasil analisa yang telah dilakukan diketahui bahwa mplementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan hasil observasi serta didukung dengan data indikator kinerja dari BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai.

Kata Kunci : Implementasi Kebijakan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Ketenagakerjaaan


(3)

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai” yang disusun gunan memenuhi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Sosial di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan membentu dalam penulis menyelesaikan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. M. Husni Thamrin, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Elita Dewi, M.Sp selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Drs. Kariono, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat selesai dengan baik.

5. Seluruh Dosen Ekstensi Ilmu Administrasi Negara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan selama perkulian yang berguna menjadi bekal penulis dalam penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh staf administrasi Departemen Ilmu Administrasi Negara yang telah membantu kelancaran proses administrasi yang penulis butuhkan.

7. BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai, khususnya kepada Bapak Jemi Karter, Bapak Rizki Aditama, Ibu Meylan Arthasasta Samosir, dan Ibu Adriani Sinaga yang bersedia menjawab setiap pertanyaan penulis dan memberikan informasi mengenai hal-hal yang penulis tidak tahu serta berbaik hati untuk memberikan data-data yang penulis butuhkan.

8. Kak tya, kak ola, kak kiki, kak yuni, kak astri, nadra, tika, aini, ayu dan teman-teman angkatan 2013 lainnya yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.

9. Kepada yang teristimewa, kedua orang tua penulis ayahnda (Alm) H. Mujiono dan Ibunda Leli Rosita yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan masih banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna penyemburnaan skripsi ini. Mohon maaf jika terdapat kesalahan kata dan penulisan. Akhir kata penulis


(5)

mengucapkan terimakasih dan berharap penelitian ini dapat berguna untuk memperluas wawasan berfikir dan bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Medan, 16 Mei 2015


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Kerangka Teori ... 10

1.5.1 Implementasi Kebijakan ... 11

1.5.2 Model Implementasi Kebijakan (George Edward III) ... 13

a. Komunikasi ... 15

b. Sumber Daya ... 20

c. Disposisi ... 23

d. Struktur Birokrasi ... 25

1.5.3 Kebijakan Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial... 27

a. Sistem Jaminan Sosisal Nasional (SJSN) ... 29

b. Program Jaminan Sosisal Nasional ... 30

c. Tenaga kerja (Pekerja) ... 32

1.6 Definisi Konsep ... 33

1.7 Sistematika Penulisan ... 36

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Bentuk Penelitian ... 39

2.2 Lokasi Penelitian ... 40

2.3 Informan Penelitian ... 40

2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 41


(7)

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

3.1 Lokasi Peneliti. ... 46

3.2 Sejarah Umum Lokasi Penelitian a. Sejarah BPJS Ketenagakerjaan ... 46

b. Transformasi PT Jamsostek Menjadi BPJS Ketenagakerjaan ... 49

3.3 Filosofi BPJS Ketenagakerjaan ... 53

3.4 Visi Dan Misi BPJS Ketenagakerjaan ... 54

3.5 Struktur Organisasi BPJS Ketenagakerjaan ... 55

3.6 Fungsi, Tugas, Dan Wewenang BPJS Ketenagakerjaan ... 55

BAB IV PENYAJIAN DATA 4.1 Hasil Wawancara ... 60

4.2 Standart Operating Procedure (SOP) ... 91

BAB IV ANALISIS DATA 5.1 Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 a. Komunikasi ... 109

b. Sumber Daya ... 115

c. Disposisi ... 126

d. Struktur Birokrasi ... 129

5.2 Kendala Dalam Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ... 137

5.3 Upaya Untuk Mengatasi Kendala Dalam Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ... 144

BAB IV PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 148

6.2 Saran ... 156

DAFTAR LAMPIRAN ... vii DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Indikator Kinerja Bpjs Ketenagakerjaan Kancab Binjai Tahun 2011-2014

Lampiran Ii : Formulir BPJS Ketenagakerjaan 1,1a,1b; 2,2a; 3,3a,3b; 4, dan 5

Lampiran Iii : Pedoman Wawancara Lampiran IV : Surat Permohonan Judul

Lampiran V : Surat Penunjukan Dosen Pembimbing

Lampiran VI : Undangan Seminar Proposal Untuk Dosen Pembimbing Lampiran VIII : Undangan Seminar Proposal Untuk Dosen Penguji Lampiran IX : Jadwal Seminar Proposal

Lampiran X : Daftar Hadir Peserta Seminar Proposal Lampiran XI : Surat Izin Penelitian

Lampiran XII : Lembar Disposisi Kakacab Binjai Mengenai Pemberian Izin Penelitian


(9)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN

2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL STUDI PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS)

KETENAGAKERJAAN KANTOR CABANG BINJAI

Nama : Umi Sri Wahyuningsih Nim : 130921044

Departemen : Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Pembimbing : Drs. Kariono, M.Si

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dapat diimplementasikan dengan baik oleh implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai), untuk mengetahui kendala dalam implementasian kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dan untuk mengetahui upaya yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai dalam menyelesaikan kendala yang ada.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data primer dengan wawancara mendalam dan observasi serta pengumpulan data skunder dengan studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dengan analisa kualitatif.

Implementasi kebijakan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh pelaksanan kebijakan untuk tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Pelaksana kebijakan tersebut merupakan suatu badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) di bidang ketenagakerjaan yang dalam hal ini tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.

Berdasarkan data dan hasil analisa yang telah dilakukan diketahui bahwa mplementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan hasil observasi serta didukung dengan data indikator kinerja dari BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai.

Kata Kunci : Implementasi Kebijakan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan Ketenagakerjaaan


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan pembangunan nasional bertujuan untuk menciptakan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya serta mewujudkan suatu masyarakat yang adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia khususnya masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan perkembangan global.

Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukannya, diperlukan adanya pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat manusia yang tertera dalam pembukaan UUD 45 alinea ke 4 “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.” Pembangunan ketenagakerjaan dilandasi oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.


(11)

Kegiatan pembangunan ketenagakerjaan melibatkan berbagai faktor, seperti pekerja dan pengusaha yang dalamnya terdapat hubungan kerja. Dalam hubungan kerja tersebut, seringkali diperoleh kenyataan bahwa pekerja berada pada posisi yang penuh dengan risiko. Risiko sosial yang sering dialami tenaga kerja adalah : kecelakaan kerja, sakit akibat kerja, kematian, dan datangnya hari tua. Hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan tenaga kerja dan keluarganya sehingga pekerja terpaksa tidak dapat bekerja untuk sementara waktu, bahkan untuk selamanya, dan penghasilannya akan berkurang atau mungkin juga terhenti. Untuk menanggulangi masalah tersebut pemerintah telah mengambil kebijaksanaan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, setiap pekerja/buruh mempunyai hak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

Sistem jaminan sosial sangat penting bagi masyarakat khususnya tenaga kerja untuk melindungi hak-hak mereka. Jaminan sosial tenaga kerja merupakan upaya pelaksanaan perlindungan tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang pada dasarnya menggantikan dan menyempurnakan Peraturan Perundang-undangan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 tentang Kecelakan Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja. Asuransi sosial tenaga kerja hanya memiliki 3 (tiga) program jaminan sosial yaitu: asuransi kecelakaan kerja,


(12)

asuransi kematian dan tunjangan hari tua sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 memiliki program jaminan sosial yang lebih memadai dan sesuai dengan perkembangan teknologi yang meliputi: jaminan kecelakan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 dinyatakan bahwa jaminan sosial tenaga kerja tidak hanya memberikan santunan atau pelayanan setelah risiko-risiko itu terjadi, melainkan juga ikut membantu secara efektif dalam usaha-usaha pencegahan dan rehabilitasi akibat risiko tersebut.

Jaminan sosial ketenagakerjaan mempunyai tujuan ganda yaitu, tujuan sosial dan tujuan ekonomi. Tujuan sosial untuk menanggulangi berbagai peristiwa yang merugikan tenaga kerja baik berupa pencegahan maupun penyantunan. Sedangkan tujuan ekonomi dimaksudkan untuk menanggulangi ketidakpastian masa depan karyawan sehingga dapat menciptakan ketenangan kerja yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat bekerja dan produktivitas tenaga kerja. Program jaminan sosial tenaga kerja yang diatur Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 adalah :

a. Jaminan Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kecelakan kerja merupakan risiko yang dihadapi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilan yang diakibatkan oleh kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental diperlukan adanya jaminan kecelakaan kerja. Timbulnya kecelakaan kerja tidak selalu hanya karena kelalaian pekerja, akan tetapi mungkin juga karena


(13)

penggunaan teknologi dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu, setiap pekerja perlu dipertanggungkan terhadap timbulnya bahaya atau kecelakaan kerja yang mungkin terjadi.

b. Jaminan Kematian

Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasillan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang.

c. Jaminan Hari Tua

Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak mampu bekerja. Oleh karena itu, diperlukan jaminan hari tua yang memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan secara sekaligus atau berkala kepada tenaga kerja yang telah mencapai umur 55 tahun atau memenuhi persyaratan tertentu.

Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Disamping itu, program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, yaitu :

1) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.

2) Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja.


(14)

Meningkatnya peranan tenaga kerja dalam perkembangan pembangunan nasional di tanah air dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan usaha dapat pula mengakibatkan semakin tinggi risiko yang mengancam keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan tenaga kerja sehingga perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja. Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam rangka memberikan jaminan sosial kepada rakyat, pemerintah perlu mengambil kebijakan berupa memobilisasi dana jangka panjang dalam jumlah yang cukup besar secara bertahap kepada Badan Penyelenggara Jaminan Nasional yang dalam hal ini diambil alih oleh BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Ketenagakerjaan adalah badan yang ditunjuk sebagai penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS Kantor Cabang Binjai Jl. Soekarno Hatta No. 469, Km 18 Binjai Timur merupakan badan yang mengurus dan menjamin hak-hak tenaga kerja khususnya di kota Binjai.

Sesuai undang-undang nomor 24 tahun 2011 pada pasal 6 ayat 2 melalui lembaga BPJS Ketenagakerjaan, para tenaga kerja mendapatkan program jaminan sosial tenaga kerja berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan kematian dan jaminan pensiun (mulai Juli 2015). Di samping sangat bermanfaat bagi tenaga kerja, pemupukan modal untuk program jaminan sosial juga terbukti efektif mendukung program pembangunan infrastruktur, memperluas lapangan kerja, menekan angka kemiskinan dan meningkatkan daya tahan negara


(15)

menghadapi badai krisis ekonomi keuangan global.

Dalam menjalankan pekerjaan, ada banyak risiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan para pekerja tersebut. Oleh karena itu untuk menciptakan ketenangan kerja dan meningkatkan produktivitas kerja para pekerja, maka BPJS Ketenagakerjaan melakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan pemerintah maupun swasta untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan para pekerja dengan program-program jaminan sosial ketenagakerjaan. Sesuai dengan kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 dijelaskan bahwa semua tenaga kerja harus diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja maka setiap badan usaha yang mempekerjakan 10 (sepuluh) orang atau lebih atau membayar total upah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per bulan, wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja karena program jaminan sosial tenaga kerja adalah perlindungan dasar bagi pekerja yang sifatnya saling membantu.

Namun dalam pelaksanaannya, masih ada perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta program BPJS Ketenagakerjaan dan/atau melaporkan upah karyawan yang tidak sesuai UMK (Upah Minimum Kerja) provinsi sehingga menyebabkan tenaga kerja mendapatkan hak pertanggungan yang kecil karena premi yang dibayarkan mengacu pada upah yang dilaporkan. Kondisi tersebut tentu sangat merugikan pekerja, karena jika terjadi kecelakaan saat melakukan pekerjaan ataupun pekerja yang meninggal dunia maka pekerja tersebut tidak bisa mendapatkan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan dan keluarga korban tidak mendapatkan kompensasi apa pun.


(16)

Perihal kewajiban untuk mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya sudah disosialisasikan oleh pemerintah karena dalam paradigma bisnis modern, jaminan sosial bagi pekerja adalah bentuk hak asasi manusia. Dengan demikian, perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/karyawannya dalam program BPJS Ketenagakerjaan sama artinya mengabaikan aturan hukum sekaligus melanggar hak asasi manusia. Maka perusahaan seperti itu harus ditindak tegas dan disinilah tugas BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan kinerjanya dengan menyadarkan perusahaan-perusahaan akan pentingnya jaminan sosial bagi tenaga kerjanya sehingga jumlah peserta penerima program jaminan dapat terus bertambah.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, maka hal yang selanjutnya harus diperhatikan ialah implementasi/pelaksanaan kebijakan dari undang-undang tersebut. Menurut George C Edward III:1980 keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu komunikasi (communication), sumber daya (resources), disposisi (disposition), dan struktur birokrasi (bureucratic structure).

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dijelaskan diatas, menurut penulis model implementasi kebijakan George C Edward III dapat menjadi dasar untuk untuk melihat keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh BPJS ketenagakerjaan karena model ini dianggap sesuai untuk membahas permasalahan yang ada dalam penelitian, maka penulis memilih judul :


(17)

”IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 (STUDI PADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN KANTOR CABANG BINJAI)”.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengemukakan permasalahan yaitu

a. Apakah kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dapat diimplementasikan dengan baik oleh implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai) ?

b. Apakah ada kendala dalam implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 ?

c. Apa yang dilakukan implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai) untuk menyelesaikan kendala tersebut ?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui apakah kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dapat diimplementasikan dengan baik oleh implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai.

b. Untuk mengetahui kendala dalam implementasian kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

c. Untuk mengetahui cara implementor (BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai) dalam menyelesaikan kendala yang ada.


(18)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Praktis

Dengan diadakannya penelitian ini, maka diharapkan dapat menjadi suatu alat penilaian kinerja BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai dalam rangka pelaksanaan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

1.4.2 Teoritis

a. Diharapkan dapat mengerti dan memahami pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan berdasarkan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

b. Diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memperkaya bahan pustaka yang berkaitan dengan Ilmu Administrasi Negara khususnya tentang penyelenggaraan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

1.4.3 Akademis A. Bagi Mahasiswa

1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki.

2. Untuk memperdalam dan memperluas wawasan penelitian dalam teori dan praktek dilapangan tentang implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.

3. Dapat menerapkan/mengaplikasikan teori-teori dan ilmu yang didapat selama perkuliahan.


(19)

4. Untuk meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan kemampuan berfikir dalam membuat karya ilmiah.

B. Bagi Jurusan Administrasi Negara FISIP USU

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau referensi maupun perbandingan untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya yang sejenis.

1.5 Kerangka Teori

Singarimbun, 2008:37 menyebutkan teori adalah serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, definisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Teori adalah konsep-konsep dan generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk pelaksanaan peneitian (Sugiyono:2008).

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori yang merupakan kesimpulan dari tinjauan puskata yang berisi tentang konsep-konsep teori yang dipergunakan/berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan dengan berbagai faktorfaktor yang didefinisikan sebagai masalah yang penting.

Menurut Nawawi (1991:39) mengatakan bahwa setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Suatu penelitian dengan dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan peneliti dalam upaya menjelaskan fenomena yang diteliti. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun suatu


(20)

kerangka teori sebagai landasan berfikir yang menggambarkan dari sudut mana penulis menyoroti masalah yang ditelitinya. Kerangka teori adalah bagian dari penelitian tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel, atau masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2002:92).

Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang memberikan pemahaman yang jelas bagi peneliti dalam memahami permasalahan yang diteliti. Berbagai teori yang dikemukakan dalam kerangka teori merupakan sarana untuk menjawab rumusan masalah dan sebagai landasan teoritis dan menjadi pedoman untuk melakukan analisis dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi kerangka teori pada penelitian ini adalah sebagi berikut:

1.5.1 Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik mengandung tiga komponen dasar, yaitu: (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) sasaran yang spesifik, dan (3) cara mencapai tujuan. Cara mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya diterjemahkan ke dalam program, aksi, dan aktivitas/kegiatan. Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses kebijakan karena kebijakan publik yang dibuat akan bermanfaat bila diimplementasikan. Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebiajakan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara Etimologi, implementasi menurut kamus Webster adalah “Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan


(21)

to give proctical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab (2006:64)).

Pengertian implementasi dijelaskan juga menurut Van Meter dan Van Horn bahwa Implementasi adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan” (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2006:65).

Definisi lain juga diutarakan oleh Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa “Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat-akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian kejadian”. Mazmanian dan Sabatier juga memberikan gambaran bagaimana melakukan implementasi kebijakan dengan langkah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi, 2) Menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan

3) Merancang struktur proses implementasi, dengan demikian program harus disusun secara jelas, jika masih bersifat umum maka program harus diterjemahkan secara lebih operasional menjadi proyek.


(22)

Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri. Implementasi melibatkan usaha dari policy makers (pembuat kebijakan) untuk mempengaruhi street level bureaucracy (pelaksana kebijakan) untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku target group (sasaran kebijakan). Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan menjadi sia-sia. Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan rantai tindakan/kegiatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan dan didalamnya aktor/pelaksana, organisasi, prosedur, dan teknik dipakai secara bersamaan dan simultan.

1.5.2 Model Implementasi Kebijakan (George Edward III)

Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk menganalisis sebuah implementasi kebijakan, namun kali ini yang penulis gunakan adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.

Menurut Edward implementasi merupakan aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output bagi masyarakat. Edward melihat


(23)

implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu:

1) Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?

2) Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam implementasi suatu kebijakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor communication, resources, disposition, dan bureucratic structure (Edward dalam Widodo, 2011:96-110).

Gambar 1.5.2


(24)

a) Komunikasi (Communication)

Menurut Harorl D. Lasswell 1960, komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa? Dengan akibat apa atau hasil apa? (Mulyana, 2005:69). Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2011:97).

Widodo kemudian menambahkan bahwa suatu keberhasilan dari implementasi kebijakan mensyaratkan agar pelaku kebijakan/implementator dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan/arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan dikomunikasikan kepada kelompok sasaran serta dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, dengan demikian proses implementasi kebijakan bisa berjalan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri.

Komunikasi merupakan tolak ukur seberapa jauh kebijakan dalam bentuk suatu peraturan telah disampaikan secara jelas dengan interpretasi yang sama dan dapat dilakukan secara konsisten oleh aparat pelaksananya. Menurut Edward III ada tiga hal penting yang menjadi dimensi dalam proses komunikasi kebijakan yaitu tranformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi (consistency). Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada


(25)

kelompok sasaran dan pihak yang terkait. Tujuan dan sasaran kebijakan juga harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan sasaran kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran yang bersangkutan. Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang disampaikan jelas dan mudah dipahami sehingga tidak terjadi kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsisten/tidak berubah-ubah sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.

1. Komponen Komunikasi

Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut komponen komunikasi adalah:

1.1 Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain.

1.2 Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain.


(26)

1.3 Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara.

1.4 Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain

1.5 Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya.

1.6 Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana komunikasi itu akan dijalankan ("Protokol")

2. Proses Komunikasi

Secara ringkas, proses berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti berikut (Mulyana:2007).

2.1Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak.

2.2Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui


(27)

Media (channel) alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri lalu memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.

3. Model-Model Komunikasi

Dari berbagai model komunikasi yang sudah ada, di sini akan dibahas tiga model paling utama, yaitu: (Wiryanto:2004)

3.1 Model Komunikasi Linear

Model komunikasi ini dikemukakan oleh The Mathematical of Communication. Yang ingin mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan bagaimana informasi melewati berbagai saluran. Hasilnya adalah konseptualisasi dari komunikasi linear. Pendekatan ini terdiri atas beberapa elemen kunci: sumber, pesan, dan penerima. Model linear berasumsi bahwa seseorang hanyalah pengirim atau penerima. Suatu konsep penting dalam model ini adalah gangguan (noise), yakni setiap rangsangan tambahan dan tidak dikehendaki yang dapat mengganggu kecermatan pesan yang disampaikan. Gangguan ini selalu ada dalam saluran bersama sebuah pesan yang diterima oleh penerima.


(28)

3.1Model Komunikasi Interaksional

Model interaksional dikembangkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954 yang menekankan pada proses komunikasi dua arah di antara para komunikator. Dengan kata lain, komunikasi berlangsung dua arah: dari pengirim dan kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim. Proses melingkar ini menunjukkan bahwa komunikasi selalu berlangsung. Para peserta komunikasi menurut model interaksional adalah orang-orang yang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi sosial, tepatnya melalui pengambilan peran orang lain. Model ini menempatkan sumber dan penerima mempunyai kedudukan yang sederajat. Satu elemen yang penting bagi model interkasional adalah umpan balik (feedback), atau tanggapan terhadap suatu pesan.

3.2Model Komunikasi Transaksional

Model komunikasi transaksional dikembangkan oleh Barnlund pada tahun 1970. Model ini menggaris bawahi pengiriman dan penerimaan pesan yang berlangsung secara terus-menerus dalam sebuah episode komunikasi. Komunikasi bersifat transaksional adalah proses kooperatif: pengirim dan penerima sama-sama bertanggungjawab terhadap dampak dan efektivitas komunikasi yang terjadi. Model transaksional berasumsi bahwa saat kita terus-menerus mengirimkan dan menerima pesan, kita berurusan baik dengan elemen verbal dan nonverbal. Dengan kata lain, peserta komunikasi (komunikator) melalukan proses negosiasi makna.


(29)

b) Sumber Daya (Resources)

Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan “Bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif.” Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan seperti sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan.

1) Sumber Daya Manusia (Staff)

Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan/keahlian, dedikasi, profesionalitas, dan kemampuan/kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, sedangkan kuatitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang handal implementasi kebijakan akan berjalan lambat.


(30)

2) Anggaran (Budgetary)

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadai, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran. 3) Fasilitas (facility)

Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah, peralatan perkantoran serta fasilitas pendukung lainnya yang tersedia untuk oprasionalisasi pelaksanaan suatu kegiatan/program dan dipergunakan untuk mendukung secara langsung dan terkait dengan tugas-tugas yang ditetapkan sehingga dapat menunjang keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan.

4) Informasi dan Kewenangan (Information and Authority)

Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan, terutama informasi yang relevan dan berkaitan dengan bagaimana cara pelaksanaan suatu kebijakan. Informasi untuk melaksanakan kebijakan adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan, pesan, pedoman, petunjuk, dan tata cara pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Ada dua bentuk informasi yaitu (1) informasi yang berhubungan dengan cara pelaksanaan kebijakan/program (pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan) dan (2) informasi mengenai data dalam bentuk peraturan pemerintah dan undang-undang yang telah ditetapkan. Kekurangan informasi/pengetahuan


(31)

bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab sehingga menimbulkan inefisien. Dalam implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi serta individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.

Sementara kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan yang diamanatkan dalam suatu kebijakan yang telah ditetapkan. Wewenang berperan penting untuk meyakinkan dan menjamin bahwa program yang dilaksanakan dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan. Ketika wewenang tidak ada, maka kekuatan para implementor di mata publik tidak dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan implementasi kebijakan publik. kewenangan berguna untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/ mengatur keuangan, pengadaan staf, maupun pengadaan sunber daya lainnya. Dengan kewenangan yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Kewenangan ini menjadi penting ketika dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan. Oleh karena itu, Edward III dalam Widodo (2011:103), menyatakan bahwa pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang yang cukup untuk membuat keputusan sendiri untuk melaksanakan kebijakan yang menjadi kewenangannya.


(32)

c) Disposisi (Disposition)

Menurut Edward III dalam Wianarno (2005:142-143) Disposisi adalah kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan dalam mendukung suatu implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya komunikatif, cerdik, inisiatif, sifat demokratis, kejujuran, dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap/disposisi yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan sunguh-sungguh seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka proses implementasi kebijakan/program yang ditetapkan tidak akan terlaksana dengan baik. Bentuk penolakan dapat bermacam-macam seperti yang dikemukakan Edward III tentang ”zona ketidakacuhan” dimana para pelaksana kebijakan melalui keleluasaanya (diskresi) dengan cara yang halus menghambat implementasi kebijakan dengan cara mengacuhkan, menunda dan tindakan penghambatan lainnya. Edward III dalam Widodo (2011:104-105) mengatakan bahwa “Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan


(33)

mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.”

Disposisi implementor mencakup tiga hal penting, yaitu: (Edwards III:1980) 1) Respons implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana,

petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan;

2) Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan;

3) Intensitas disposisi implementor yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat.

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustino (2006:159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri dari:

1. Pengangkatan birokrasi, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat. Penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain.

2. Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para pelaksana agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program tersebut. Mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan dengan cara menambah keuntungan atau


(34)

biaya tertentu akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa dalam mendukung dispositions untuk kesuksesan implementasi kebijakan harus adanya kesepakatan antara pembuat kebijakan dengan pelaku yang akan menjalankan kebijakan itu sendiri dan bagaimana mempengaruhi pelaku kebijakan agar menjalakan sebuah kebijakan tanpa keluar dari tujuan yang telah ditetapkan demi terciptanya pelayanan publik yang baik.

d) Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)

Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab, 2006:69). Birokrasi merupakan salah satu institusi yang secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan, bahkan dalam beberapa kasus birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan/program tertentu. Struktur birokrasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) Aspek struktur birokrasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan fragmentasi. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat Standard Operation Procedure (SOP). SOP merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian


(35)

waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas. Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan dan juga digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta (Winarno, 2005:150). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.

Aspek kedua adalah fragmentasi, peyebaran tanggung jawab kegiatan atau aktivitas diantara beberapa unit kerja dalam pelaksanaan tugas yang dilaksanakan tanpa adanya tumpang tindih dengan tetap mencangkup pembagian tugas secara menyeluruh dalam melaksanakan suatu kebijakan. Umumnya organisasi menyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatan dan hierarki struktur organisasi. Garis antara berbagai posisi dibingkai untuk menunjukkan interaksi formal yang diterapkan. Kebanyakan peta organisasi bersifat hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan secara diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar, yaitu; (1) jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat “Siapa yang bertanggungjawab kepada siapa?”; (2) pelembagaan berbagai jenis kegiatan oprasional sehingga terlihat jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang melakukan apa?”; (3) Berbagai saluran komunikasi yaitu jaringan kerja


(36)

komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas yang terdapat dalam organisasi sebagai jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang berhubungan dengan siapa dan untuk kepentingan apa?”; (4) jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang sifatnya institusional maupun individual; (5) koordinasi, hubungan antara satuan organisasi dengan organisasi lainnya.

Struktur organisasi yang terlalu panjang dan hierarki birokrasi yang berlapis-lapis akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel oleh karena itu diperlukan mekanisme dan fragmentasi yang jelas dalam pelaksanaan suatu kebijakan agar berjalan dengan baik.

1.5.3 Kebijakan Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Menimbang bahwa bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Maka untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan


(37)

Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Atas persetujuan bersama Dewan Perwalilan Rakyat (DPR) dan Presiden menetapkan Undang-Undang nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang merupakan bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.

BPJS terdiri dari dua bentuk yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS akan menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT ASKES, dana tabungan dan asuransi pegawai negeri PT TASPEN, Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia PT ASABRI dan lembaga jaminan sosial ketenagakerjaan PT JAMSOSTEK. Transformasi PT Askes serta PT JAMSOSTEK menjadi BPJS yang akan dilakukan pada tanggal 1 Januari 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, dan PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu dan


(38)

penyelenggaraannya menggunakan mekanisme Negara yang bergerak dalam bidang asuransi sosial BPJS Ketenagakerjaan merupakan pelaksana sistem jaminan sosial nasional dibidang ketenagakerjaan. A. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Sistem Jaminan Sosial Nasional (National Social Security System) adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warga negaranya dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Guy Standing (2000) Jaminan sosial adalah suatu sistem untuk memberikan jaminan pendapatan untuk menghadapi risiko kontingensi kehidupan seperti sakit, bersalin, kecelakaan kerja, pengangguran, cacat, hari tua dan kematian; penyediaan perawatan medis, dan pemberian subsidi untuk keluarga dengan anak-anak. Jaminan sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya. Sistem Jaminan Sosial Nasional disusun dengan mengacu pada penyelenggaraan jaminan sosial yang berlaku universal dan telah diselenggarakan oleh negara-negara maju dan berkembang sejak lama (Arifianto:2004).

Landasan Yuridis SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) adalah (Putri:2014):

1. Dasar Hukum pertama dari Jaminan Sosial Nasional ini adalah UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002, pasal 5, pasal 20, pasal 28, pasal 34.


(39)

2. Deklarasi HAM PBB ata

dan konvensi

3. TAP MPR RI no X/MPR/2001 yang menugaskan kepada presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.

4. UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Keterangan:

UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN menggantikan program-program jaminan sosial yang ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, karena jumlah pesertanya kurang, jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen program tersebut. Manfaat program Jamsosnas tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi jaminan hari tua, asuransi kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Program ini akan mencakup seluruh warga negara Indonesia, tidak peduli apakah mereka termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau wiraswastawan.

B. Program Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas)

Sesuai dengan pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, program jamsosnas dibidang ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

1) Jaminan Kecelakaan Kerja

Program jaminan kecelakaan kerja adalah suatu program pemerintah dan pemberi kerja dengan tujuan memberikan kepastian jaminan pelayanan dan santunan apabila tenaga kerja mengalami kecelakaan saat menuju, melaksanakan, dan selesai melaksanakan tugas


(40)

perkerjannya dan berbagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut (Naskah akademik SJSN (Putri:2014))

2) Jaminan Hari Tua

Program jaminan hari tua (JHT) adalah sebuah program manfaat pasti (defined benefit) yang beroperasi berdasarkan asas “membayar sambil jalan” (pay-as-you-go). Manfaat pasti program ini adalah suatu persentasi rata-rata pendapatan tahun sebelumnya, yaitu antara 60% hingga 80% dari Upah Minimum Regional (UMR) daerah di mana penduduk tersebut bekerja. Setiap pekerja akan memperoleh pensiun minimum pasti sejumlah 70% dari UMR setempat (Naskah Akademik UU N0 40 tahun 2004 (Putri:2014)).

3) Jaminan Kematian

Santunan kematian adalah program jangka pendek sebagai pelengkap program jaminan hari tua yang dibiayai dari iuran dan hasil pengelolaan dana santunan kematian dan manfaatnya diberikan kepada keluarga atau ahli waris yang sah pada saat peserta meninggal dunia (Naskah Akademik UU N0 40 tahun 2004 (Putri:2014)).

4) Jaminan Pensiun

Program jaminan pensiun adalah pembayaran berkala jangka panjang sebagai substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan karena peserta mencapai usia tua (pensiun), mengalami cact total permanan, atau meninggal dunia (Naskah Akademik SJSN (Putri:2014)).


(41)

C. Tenaga Kerja (Pekerja)

Tenaga kerja secara umum dapat diartikan sebagai bagian dari penduduk suatu negara yang sanggup menghasilkan pekerjaan yang mempunyai nilai ekonomis, baik pekerjaan itu berupa mengerjakan tanah, tambang, dalam pabrik, dalam pengangkutan atau perdagangan maupun pekerjaan administrasi atau kegiatan ilmiah. Dr Edgar C. McVoy mengatakan bahwa: “angkatan kerja adalah bagian dari populasi negara yang terlibat dalam aktivitas nilai ekonomi. Tenaga kerja potensial terdiri dari orang-orang dalam populasi yang saat ini tidak terlibat dalam aktivitas nilai ekonomi, tetapi yang mungkin ditarik ke dalam kegiatan tersebut melalui bujukan motivasi, program pelatihan, dan lainnya. Tenaga kerja itu, termasuk kedua kelompok ini, tenaga kerja dan angkatan kerja potensial.” (Benggolo:1981).

Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di setiap orang yang mampu bekerja disebut sebagai tenaga kerja. Ada banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja


(42)

Menurut MT Rionga dan Yoga Firdaus, 2007:2 tenaga kerja (man power) adalah penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan antara lain mereka yang sudah atau sedang bekerja, mereka yang sedang mencari pekerjaan, serta yang sedang melaksanakan pekerjaan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga.

1.6 Definisi Konsep

Pada tingkat kongkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya dan pada tingkat abstak, konsep merupakan sintetis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu (Suyanto:2005).

Konsep merupakan istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Masri Singarimbun, 2008:33). Definisi konsep bertujuan untuk memudahkan pemahaman unsur-unsur yang ada dalam penelitian dan menghindarkan interpretasi ganda atas variabel-variabel yang diteliti.

Dengan melakukan penyederhanaan pemikiran atas masalah-masalah yang dikemukakan dalam penelitian sehingga dapat menentukan batasan yang lebih jelas dari setiap konsep yang diteliti, maka yang menjadi definisi konsep dalam penelitian ini adalah :


(43)

1. Implementasi Kebijakan

Implementasi adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri. Implementasi kebijakan merupakan rantai tindakan/kegiatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan yang didalamnya aktor/pelaksana, organisasi, prosedur, dan teknik dipakai secara bersamaan dan simultan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model implementasi kebijakan George Edward III dengan indikator yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan sebagai berikut:

a. Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementers) yang kemudian diteruskan kepada sasaran kebijakan (target group).

b. Sumber Daya adalah suatu nilai potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber daya diposisikan sebagai input dalam organisasi sebagai suatu sistem yang mempunyai implikasi yang bersifat ekonomis dan teknologis. Secara ekonomis, sumber daya bertalian dengan biaya/pengorbanan langsung yang dikeluarkan oleh


(44)

organisasi yang merefleksikan nilai atau kegunaan potensial dalam transformasinya ke dalam output. Sedang secara teknologis, sumber daya bertalian dengan kemampuan transformasi dari organisasi. Sumber daya di sini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan seperti sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi, dan kewenangan.

c. Disposisi adalah kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan dalam mendukung suatu implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk

melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

d. Struktur Birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan fragmentasi.

2. Kebijakan Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini merupakan landasan hukum bagi BPJS Ketenagakerjaan untuk menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional dibidang Ketenagakerjaan


(45)

a. Sistem Jaminan Sosial Nasional

Sistem jaminan sosial nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian dan perlindungan untuk menjamin kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya dengan layak.

b. Tenaga kerja (Pekerja)

Tenaga kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang siap melakukan pekerjaan antara lain mereka yang sudah bekerja dan mempunyai nilai ekomis.

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis yang terdiri dari 6 (enam) bab yang dilengkapi dengan sub-sub bab yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini membahas tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, dan sistematika penulisan yang merupakan gambaran singkat dari skripsi ini.


(46)

BAB II : METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisi metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini yang terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Dalam bab ini penulis memuat gambaran umum lokasi penelitian, sejarah umum lokasi penelitian, filosofi, visi&misi, struktur organisasi, dan fungsi, tugas, serta wewenang.

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Pada bab ini disajikan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian di lapangan berupa dokumen-dokumen yang akan dianalisis dan hasil wawancara dari informan yang dianggap kredibel.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini memuat analisis/pembahasan hasil penelitian dengan menghubungkan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan maupun studi pustaka mengenai implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang diteliti.


(47)

BAB VI : PENUTUP

Pada Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang merupakan jawaban hasil penelitian atas rumusan masalahan yang dikemukakan dan menjadi landasan untuk mengemukakan saran yang diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini.


(48)

BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian deskriptif dangan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut zuriah (2006:47) penilitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta, atau kejadian secara sistematis dan akurat mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Ciri pokok dari penelitian deskriptif adalah memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada saat penelitian dilakukan atau masalah-masalah-masalah-masalah yang bersifat aktual dan menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi rasional.

Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian (McMillan & Schumacher, 2003). Peneliti dalam hal ini mengumpulkan data berupa cerita rinci dari para informan dan mengungkapkannya sesuai dengan pandangan informan (Hamidi, 2005:14).


(49)

2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kantor Cabang Binjai JL. Soekarno Hatta No. 469, Km 18

Binjai Timur Telp. (061) 8820465. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

(purposive) dengan pertimbangan kesediaan BPJS Kantor Cabang Binjai untuk memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian.

2.3 Informan Penelitian

Informan adalah seseorang yang benar-benar mengetahui suatu persoalan tertentu yang darinya dapat diperoleh informasi yang jelas, akurat, dan terpercaya baik berupa pernyataan, keterangan, dan/atau data-data yang dapat membantu memahami permasalahan dalam penelitian (Suyanto, 2005:171).

Dalam penelitian ini informan dipilih secara Sequential, yaitu tidak adanya penentuan batasan untuk informan yang dipilih. Informan inilah yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Jumlah informan bisa terus bertambah seiiring dengan hasil rekomendasi dari informan sebelumnya dan sampai peneliti menilai data yang dikumpulkan dari sejumlah informan tersebut telah mencapai titik jenuh, maksudnya tidak ada hal baru lagi yang dapat dikembangkan. Informan penelitian meliputi beberapa macam yaitu: (Sutopo, 2002:22)

a. Informan kunci yaitu seseorang yang secara lengkap dan mendalam mengetahui serta memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini informan kunci berjumlah 1 (satu) orang


(50)

yaitu Kepala Bagian Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai.

b. Informan utama yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial penelitian dan mengetahui permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini informan utama berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari :

1) 2 (dua) orang dari Bidang Pemasaran yaitu 1(satu) orang Relation Officer dan 1 (satu) orang Marketing Officer

2) 1 (satu) orang dari Bidang Pelayanan yaitu Costumer Service

c. Informan biasa atau tambahan yaitu mereka dapat memberikan informasi baik yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam interaksi sosial. Dalam penelitian ini informan biasa berjumlah 1 (satu) orang yang merupakan peserta bukan penerima upah (BPU) program jaminan sosial ketenagakerjaan yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai.

2.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan dua cara, yaitu :

A. Teknik Pengumpulan Data Primer

Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung dari informan pada lokasi penelitian (field research) untuk memperoleh data, informasi, dan keterangan lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini pengumpulan data primer tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut :


(51)

1. Wawancara mendalam, yaitu teknik pengumpulan data utama yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan secara langsung kepada informan penelitian untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan (Bungin, 2007:108). Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai langsung informan satu persatu secara mendalam menganai implementasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dengan menggunakan pedoman wawancara yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan (wawancara tersruktur).

2. Observasi, yaitu teknik memperoleh informasi yang dilakukan dengan mengamati secara langsung objek penelitian dengan mencatat gejala-gejala yang ditemukan dilapangan untuk melengkapi data-data yang diperlukan sebagai panduan yang berkenaan dengan topik penelitian. Observasi memberikan kesempatan pada peneliti untuk mengalami secara langsung bagaimana objek dalam penelitian sehingga memberikan gambaran penelitian yang objektif dalam mengumpulkan fakta-fakta dilapangan (Bungin, 2007:115). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi langsung di BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai untuk melihat bagaimana implementor (pegawai BPJS Ketenagakerjaan) mengimplementasikan kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. B. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Merupakan teknik pengumpulan data yang diperoleh dari sumber kedua (sekunder) untuk mendukung data primer. Pengumpulan data skunder tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: (Sugiyono, 2012:231)


(52)

1. Studi Kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan menggunakan berbagai literatur seperti buku-buku yang menjadi bahan referensi, jurnal/karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian, serta pendapat para ahli yang kompeten.

2. Studi Dokumentasi yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui catatan-catatan tertulis mengenai permasalahan dalam penelitian, dokumen/arsip, foto, vidio, dan rekaman wawancara serta sumber-sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian.

2.5 Teknik Analisis Data

Menurut Moloeng (2007:247), teknik analisis data dilakukan dengan menyajikan data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul, menyusunnya dalam suatu satuan dan kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya serta memeriksa keabsahan serta menafsirkan dengan analisis dan kemampuan daya nalar peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian.

Teknik analisa data pada penelitian ini, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung (selama proses penelitian) serta setelah selesai pengumpulan data yang berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Penelitian ini menggunakan model analisis interaktif, yaitu data yang diperoleh akan dianalisa melalui tiga tahap yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Dalam model ini dilakukan suatu proses siklus antar tahap-tahap sehingga data yang terkumpul akan berhubungan satu sama lain dan mendukung penyusunan laporan penelitian (Miles dan Huberman, 2009:25).


(53)

Bagan 2.5 Analisis Data Kualitatif Menurut Miles dan Huberman A. Reduksi Data

Data/informasi yang diperoleh perlu dianalisis melaui reduksi data. Mereduksi data merupakan proses pemfokusan, penyederhanaan, dan abstaksi data (kasar) yang diperoleh dari penelitian di lapangan dengan cara merangkum, memilih hal-hal pokok, memusatkan tema dan polanya, dan membuat batasan-batasan permasalahan. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah pada temuan oleh karena itu apabila peneliti menemukan segala sesuatu yang dipandang asing dan belum memiliki pola harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan reduksi data.

Pada saat melaksanakaan wawancara (depth interview) dilakukan analisis terhadap jawaban informan secara komprehensif dan apabila ada jawaban yang kurang kredibel, maka peneliti mencari jawaban yang jelas dan dapat dipercaya dengan melanjutkan/mengajukan pertanyaan lagi sampai datanya jenuh dan dianggap kredibel. Interprestasi penelitian atas hasil wawancara yaitu data yang telah dikumpulkan direduksi sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti.

Koleksi Data/ Catatan Lapangan

Penyajian Data

Reduksi Data


(54)

B. Penyajian Data

Dimaksudkan agar mempermudah peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian. Hal ini merupakan pengorganisasian data ke dalam suatu bentuk tertentu sehingga kelihatan lebih jelas untuk ditampilkan dan selaras dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian kualitatif penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat yang bersifat naratif, bagan, dan hubungan antarkategori. Dengan adanya penyajian data tersebut peneliti dapat merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahaminya.

C. Penarikan Kesimpulan

Pada penelitian kualitatif, penarikan kesimpulan dilakukan sepanjang proses penelitian. Selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang telah dikumpulkan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk kesimpulan yang masih bersifat tentatif (sementara) karena melalui wawancara, observasi, studi pustaka serta studi dokumentasi yang dilakukan memungkinkan munculnya penemuan-penemuan baru yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehinga menyebabkan data dan informasi yang diperoleh terus berkembang dan berkembang (snowball reaction). Selama proses penelitian kesimpulan tersebut akan terus mengalami perubahan hingga selesainya proses pengumpulan data. Kesimpulan akhir yang merupakan hasil penelitian harus didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten sehingga kesimpulan yang dikemukakan dianggap kredibel.


(55)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

3.1Lokasi Penelitian

BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai Jl. Soekarno Hatta No. 469, Km 18 Binjai Timur Telp. (061) 8820465, 8820466 Fax. (061) 8829766

3.2Sejarah Umum Lokasi Penelitian A. Sejarah BPJS Ketenagakerjaan

Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi


(56)

kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara. Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.

Sejarah terbentuknya Sejarah terbentuknya BPJS Ketenagakerjaan yang dahulu bernama PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan.

Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.

Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga


(57)

Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.

Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal 34 ayat 2, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi maupun produktivitas kerja.

Kiprah Perusahaan yang mengedepankan kepentingan dan hak normatif Tenaga Kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.

Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah nama menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi


(58)

JKK, JKM, JHT dengan penambahan Jaminan Pensiun mulai 1 Juli 2015.

Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS Ketenagakerjaan harus meningkatkan kompetensi di seluruh lini pelayanan sambil mengembangkan berbagai program dan manfaat yang langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya. Kini dengan sistem penyelenggaraan yang semakin maju, program BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya memberikan manfaat kepada pekerja dan pengusaha saja, tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

B. Transformasi PT. Jamsostek Menjadi BPJS Ketenagakerjaan

Undang-Undang BPJS mengatur seluruh ketentuan pembubaran dan pengalihan PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero). Ketentuan pembubaran BUMN Persero tidak berlaku bagi pembubaran PT ASKES (Persero) dan PT JAMSOSTEK (Persero). Pembubaran kedua Persero tersebut tidak perlu diikuti dengan likuidasi, dan tidak perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Ada tiga derajat transformasi dalam Undang-Undang BPJS, tingkat

tertinggi adalah transformasi tegas. UU BPJS dengan tegas mengubah PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan, membubarkan PT Jamsostek (Persero) dan mencabut UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.

Di samping terdapat tingkatan transformasi, Undang-Undang BPJS menetapkan dua kriteria proses transformasi BPJS. Kriteria pertama, Undang-Undang BPJS


(59)

memberi tenggat 2 (dua) tahun sejak pengundangan Undang-Undang BPJS pada 25 November 2011 kepada PT ASKES (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) untuk beralih dari Perseroan menjadi badan hukum publik BPJS. Kriteria kedua adalah transformasi bertahap, transformasi PT Jamsostek (Persero) dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pertama adalah masa peralihan PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan berlangsung selama 2 (dua) tahun, mulai 25 November 2011 sampai dengan 31 Desember 2013. Tahap pertama diakhiri dengan pendirian BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014. Tahap kedua, adalah tahap penyiapan operasionalisasi BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Persiapan tahap kedua berlangsung selambat-lambatnya hingga 30 Juni 2015 dan diakhiri dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan untuk penyelenggaraan keempat program tersebut sesuai dengan ketentuan UU SJSN selambatnya pada 1 Juli 2015.

Pada 1 Januari 2014 PT Jamsostek (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi dan berubah nama menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1995 tentang Penetapan Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku lagi. Semua asset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Jamsostek (Persero) menjadi asset dan liabilitas serta hak dan kewajiban

hukum BPJS Ketenagakerjaan. Semua pegawai PT Jamsostek (Persero) menjadi pegawai BPJS Ketenagakerjaan. Perubahan ini diatur dalam undang-undang


(60)

nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial (BPJS) dengan ketentuan PT Jamsostek diharuskan bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Sesuai perundangan tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN) tersebut, mengamanahkan agar negara memenuhi hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dan untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh bagi rakyat Indonesia. Tujuan SJSN guna memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup layak bagi setiap peserta dan anggota keluarganya.

Dalam mentransformasi PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan dilakukan melalui berapa tahap. Pertama, tahap rekonsolidasi yakni membangun kepercayaan dari seluruh stake holder. Dalam tahap ini yang dilakukan adalah mengawal regulasi, mereview teknis operasional dan sosialisasi masive. Dan ini semua sudah dilakukan selama tahun 2012. Kedua, pada tahun 2013 dilaksanakan, tahap fit-in Infrastructure yakni bagaimana membangun landasan yang kokoh sebagai BPJS Ketenagakerjaan. Dalam tahap ini dilakukan peningkatkan kepesertaan, pelayanan, penguatan data base dan TI, peningkatan investasi, keuangan dan peningkatan kualitas SDM.

Sejak 1 Januari 2014 hingga selambat-lambatnya 30 Juni 2015, BPJS Ketenagakerjaan melanjutkan penyelenggaraan tiga program yang selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian, termasuk menerima peserta baru. Penyelenggaraan ketiga program tersebut oleh BPJS Ketenagakerjaan masih berpedoman pada ketentuan Pasal 8 sampai dengan Pasal 15 UU No. 3 Tahun


(61)

1992 tentang Jamsostek. BPJS Ketenagakerjaan diberi waktu 1,5 tahun untuk menyesuaikan penyelenggaraan ketiga program tersebut dengan ketentuan UU SJSN dan menambahkan program jaminan pensiun ke dalam pengelolaannya. Selambat-lambatnya pada 1 Juli 2015. Seluruh pasal UU Jamsostek dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan UU SJSN untuk seluruh pekerja kecuali Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI dan POLRI.

Dalam transformasi PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan, ada 5 (lima) perubahan yang mendasar. Yaitu, perubahan badan hukum organisasi BUMN menjadi badan hukum publik, perubahan perlakuan keuangan pada badan penyelenggara baik dalam hal pemisahan aset, badan penyelenggara dan peserta maupun ssstem pelaporan keuangan. Kemudian, perubahan cakupan kepesertaan wajib dari tenagakerja formal menjadi perlindungan untuk seluruh tenagakerja. Selanjutnya, perubahan pengalihan wewenang pelaksanaan inspeksi kepatuhan kepesertaan dalam sistem penegakan hukum dari Kementerian Tenaga Kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan serta perubahan manfaat dan JHT, JK, JKK, JPK menjadi JHT, JK, JKK, pensiun. Transformasi PT Jamsostek merupakan satu entitas bisnis yang dibangun dengan semangat profesionalitas yang dimiliki bersama. Sehingga mengalami perkembangan yang signifikant dari segi manfaat dan pelayanan serta kinerja investasi yang memegang prinsip dengan tetap berpegang pada tata kelola perusahan yang baik.


(62)

3.3Filosofi Badan Penyelenggara Jamian Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan dilandasi filosofi kemandirian dan harga diri untuk mengatasi resiko sosial ekonomi. Kemandirian berarti tidak tergantung orang lain dalam membiayai perawatan pada waktu sakit, kehidupan dihari tua maupun keluarganya bila meninggal dunia. Harga diri berarti jaminan tersebut diperoleh sebagai hak dan bukan dari belas kasihan.

Agar pembiayaan dan manfaatnya optimal, pelaksanaan program BPJS Ketenagakerjaan dilakukan secara gotong royong, dimana yang muda membantu yang tua, yang sehat membantu yang sakit dan yang berpenghasilan tinggi membantu yang berpenghasilan rendah.

3.3.1 Nilai-Nilai Perusahaan

Iman : Taqwa, berfikir positif, tanggung jawab, pelayanan tulus ikhlas.

Profesional : Berprestasi, bermental unggul, proaktif dan bersikap positif

terhadap perubahan dan pembaharuan

Teladan : Berpandangan jauh kedepan, penghargaan dan pembimbingan

(reward and encouragement) serta pemberdayaan.

Integritas : Berani, komitmen, keterbukaan


(1)

Singarimbun, Masri Dan Sofian Effendi. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Pustaka

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Dasar Teori Dan Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret

Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagi Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media

Wahab, Abdul Solihin. 2006. Impementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung

West, Richard & Lynn H Turner. 2007. Introducing Communication Theory Third Edition. Singapore: The Mcgrow Jill Companies

Winarno, Budi. 2005. Teori & Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo

Wiryanto, Dr. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia

Widodo, Joko. 2011. Analisis Kebijakan Publik (Konsep Dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik). Malang: Bayu Media

Yustisia, Tim Visi. 2014. Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Sosial dari BPJS Ketenagakerjaan. Jakarta: Visi Media Pustaka

Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara


(2)

Sumber Undang-Undang:

Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya Tahun 2002, Pasal 5, 20, 28, dan 34

Deklarasi Ham PBB (Universal Declaration Of Human Rights) Tahun 1948 Dan Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952

Tap MPR RI Nomor X/Mpr/2001 Yang Menugaskan Kepada Presiden RI Untuk Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Diundangkan Di Jakarta Pada Tanggal 19 Oktober 2004)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kesembilan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 Tentang Penahapan Kepesertaan

Program Jaminan Sosial

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor Per-12/Men/VI/2007 Tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Sumber Internet:

11.00 WIB

http://www.Jamsosnas.wordpress.com diakses tanggal 6 Desember 2014 Pukul 11.00 WIB


(3)

http://www.wikipedia.org/wiki/Sistem_Jaminan-Sosial_Nasional diakses tanggal 7 Desember 2014 Pukul 10.00 WIB

2014 Pukul 10.00 WIB


(4)

Pedoman Wawancara

A. Pertanyaan Untuk Informan Kunci dan Informan Utama

76.Berapa jumlah pegawai BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai? 77.Bagaimana ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di BPJS

Ketenagakerjaan Kancab Binjai ini?

78.Bagaimana komunikasi yang dilakukan antara sesama implementor di BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai?

79.Apakah ada kendala yang terjadi dalam komunikasi internal implementor di BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai? Dan bagaimana penyelesaian kendala tersebut?

80.Bagaimana dan seperti apa komunikasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai dengan target group (pekerja)?

81.Apakah ada kendala dalam sosialisasi yang dilakukan? Bagaimana cara mengatasi kendala tersebut?

82.Apa yang menjadi tugas implementor dalam implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 khususnya pasal 6 ayat 2 mengenai program jaminan sosial dibidang Ketenakerjaan?

83.Apakah implementor dibekali SOP tentang tata cara pelaksanaan kebijakan tersebut?

84.Apakah semua tahapan pelaksanaan kebijakan ini sudah dilaksanakan sesuai dengan yang tertera di SOP ?


(5)

85.Bagaimana sikap implementor dalam melayani pertanyaan dan menyikapi keluhan peserta ataupun permasalahan terkait kebijakan ini?

86.Apakah ada pandangan sempit implementor dalam melaksanakan kebijakan tersebut?

87.Bagaimana komitmen implementor dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya?

88.Bagaimana perkembangan implementasi kebijakan ini? Apakah sudah berjalan dengan baik?

89.Apakah ada kendala yang terjadi dalam implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014?

90.Apa yang dilakukan implementor untuk mengatasi kendala tersebut?

91. Fasilitas apa saja yang disediakan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai?

92. Siapa saja yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan tersebut? 93. Apakah yang didapat setelah menjadi peserta program jaminan sosial di

BPJS ketenagakerjan, dan apa manfaat atau dampak kebijakan tersebut terhadap penerimanya?


(6)

B. Pertanyaan Untuk Informan Tambahan

1. Darimana peserta mengetahui tentang BPJS Ketenagakerjaan?

2. Bagaimana pendapat tentang sosialisasi yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai?

3. Apakah informasi yang dapatkan dari sosialisasi tersebut jelas?

4. Apakah informasi yang dapatkan dari sosialisasi sama dengan penjelasan yang diberikan oleh costumer service?

5. Program jaminan apa saja yang diikuti?

6. Apakah peserta mengetahui tentang tata cara pembayaran iuran dan pengajuan klaim manfaat?

7. Bagaimana pelayanan yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai?

8. Apakah saja fasilitas/kemudahan apa saja yang ditawarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kancab Binjai?