PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI

PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN
KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK
MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI

SKRIPSI

Oleh :
Dewi Juliani
201110230311175

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN
KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK
MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI

SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi

Oleh :
Dewi Juliani
201110230311175

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Skipsi

: Perbedaan Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus
Ditinjau Dari yang Mengikuti Pelatihan dan Tidak Mengikuti
Pelatihan
2. Nama Peneliti
: Dewi Juliani
3. NIM
: 201110230311175

4. Fakultas
: Psikologi
5. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
6. Waktu Penelitian : 10 Agustus – 18 September 2015
Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 19 Januari 2016
DewanPenguji
Ketua Penguji

: Ni’matuzahroh S.Psi., M.Si

(

)

AnggotaPenguji

: 1. Diana Savitri Hidayati, M.Psi

(


)

2. Zainul Anwar, M.Psi

(

)

3. M. Shohib, M.Si

(

)

Pembimbing I

Pembimbing II

Ni’matuzahroh S.Psi., M.Si


Diana Savitri Hidayati, M.Psi

Malang, 7 April 2016
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Dra. Tri Dayaksini, M.Si
i

SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Dewi Juliani
NIM
: 201110230311175
Fakultas/ Jurusan
: Psikologi/ Psikologi
Perguruan Tinggi
: Universitas Muhammadiyah Malang
Menyatakan bahwa skripsi / karya ilmiah yang berjudul : Perbedaan Sikap Guru Terhadap

Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari yang Mengikuti Pelatihan Dan Tidak Mengikuti
Pelatihan Guru Inklusi.
1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam
bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan karya ilmiah / skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak
bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber bebaspustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya apabila pernyataan ini
tidak benarmaka, saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.

Malang, 7 April 2016
Mengetahui
Ketua Program Studi

Yang menyatakan

Yuni Nurhamida, S.Psi. M.Si

Dewi Juliani


ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
Dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan
Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau Dari yang Mengikuti Pelatihan
dan yang Tidak Mengikuti Pelatihan Guru Inklusi”, sebagai sala satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Yudi Suharsono, S.Psi, M.si selaku dosen wali yang telah mendukung dan memberi
pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.
2. Ni’matuzahroh, S.Psi, M.si dan Diana Savitri H, M.Psi selaku pembimbing I dan
Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan,
arahan, dan motivasi yang sangat berguna, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
3. Bapak ( Syahroni ) dan Umi ( Sahunah ), Ayah ( Sumarwan Wirya ) dan Ibu ( Yeyet

Nuryeti ) dan seluruh keluarga ( Yayan Nuryanah, Ahmad, Agung Agustriyadi, dan
Imas ) yang selalu memberikan cinta dan kasih, dukungan, dan doa sehingga penulis
memiliki motivasi dalan menyelesaikan skripsi ini.
4. Dedy Rahamad Nurdiansyah, S.Pd yang selalu membantu selama penelitian,
memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang sehingga penulis memiliki motivasi
dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepala sekolah dan Guru TK ( TK Anak Saleh, TK Lab UM, TK Harapan Bintang, dan
TK Smart Kids WLC ) SD ( SDN Sumbersari I, SDN Sumbersari II, SDN Sumbersari
III, SD Dinoyo 2, dan SD Brawijaya Smart School), SMP (SMP Sriwedari, SMPN I
Atap Merjosari, SMP Negeri 18, SMP Muhammadiyah 2) dan SMA/SMK ( SMA
Muhammadiyah 1 dan SMKN 2) yang telah memberikan izin dan bersedia menjadi
subyek penelitian.
6. Shahnaz Zashinta L, S.Psi, Sterya Wahyu Putri, S.Kom, Eka Sari Oktavia, Azlina Ayu,
S.Pd, Mashita N.A.T Gemilang, S.Pd dan seluruh penghuni Kost 67 selaku sahabat
yang senantiasa mendukung dan memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
7. Keluarga besar Bunchbead ( Ade Meryintan, Sita Nensia, Ferda Agisyanto, Galang,
Rizki, Adel, Endrip, Hilmi, Dharma Surya, Niken, Kiki, Gita, Eca, Ariakso, Bima, dan
kardon ) yang selalu memberikan dukungan dan doa sehingga penulis memiliki
motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

iii

8. Teman-teman angkatan 2011 Fakultas Psikologi khususnya kelas C yang selalu
memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikam skripsi ini
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan
banyak bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran
demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Malang, 7 April 2016
Penulis

Dewi Juliani

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................... i

SURAT PERNYATAAN ....................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .................................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................... vii

ABSTRAK ............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 2
LANDASAN TEORI
A.
B.
C.
D.
E.

Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ...................................................
Pelatihan Guru Inklusi ................................................................................................
Pendidikan Inklusif .....................................................................................................
Siswa Berkebutuhan Khusus .......................................................................................
Hipotesa ......................................................................................................................


5
6
7
8
9

METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian .................................................................................................. 9
B. Subjek Penelitian ........................................................................................................ 9
C. Variabel dan Instrument Penelitian ............................................................................. 9
D. Validitas dan Realibilitas Instrumen ........................................................................... 10
E. Prosedur Penelitian ...................................................................................................... 10
HASIL PENELITIAN ........................................................................................................... 11
DISKUSI ................................................................................................................................ 14
SIMPULAN DAN IMPLIKASI ........................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 18

v


DAFTAR TABEL
Tabel 1
Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian ............................................................ 10
Tabel 2
Deskripsi Subyek Penelitian ................................................................................................ 11
Tabel 3
Deskripsi Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ............................................ 11
Tabel 4
Hasil Analisa Uji Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus
Ditinjau Independent Sample T-test Perberdaan Sikap Guru yang Mengikuti Pelatihan dan
Tidak Mengikuti Pelatihan Guru Inklusi ............................................................................. 12
Tabel 5
Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari Jenis
Kelamin dari Aspek-aspek Sikap ......................................................................................... 13
Tabel 6
Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari Jenis
Kelamin ............................................................................................................................... 13
Tabel 7
Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari Usia ........ 14
Tabel 8
Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus Ditinjau dari Tempat
Mengajar .............................................................................................................................. 14

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1
Blue Print Skala Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus .................................... 20
Lampiran 2
Skala Penelitian ....................................................................................................................... 27
Lampiran 3
Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ......................................................................................... 33
Lampiran 4
Uji Hipotesa ............................................................................................................................ 39
Lampiran 5
Input Data ................................................................................................................................ 41
Lampiran 6
Surat Perizinan ........................................................................................................................ 42

vii

PERBEDAAN SIKAP GURU TERHADAP SISWA BERKEBUTUHAN
KHUSUS DITINJAU DARI MENGIKUTI PELATIHAN DAN TIDAK
MENGIKUTI PELATIHAN GURU INKLUSI
Dewi Juliani
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
julianidede@gmail.com
Sikap Guru terhadap siswa berkebutuhan khusus merupakan salah satu faktor utama
dalam menentukan keberhasilan sekolah inklusi, dan pelatihan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi sikap guru terhadap kesiapan dalam menerima siswa
berkebutuhan khusus di kelas inklusi. Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk
mengetahui secara mendalam mengenai perbedaan sikap guru terhadap siswa
berkebutuhan khusus yang ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti
pelatihan guru inklusi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif komperatif noneksperimen dengan menggunakan skala sikap guru terhadap siswa berkebutuhan
khusus. Jumlah subyek sebanyak 100 orang dengan menggunakan teknik non
probability samplingdalam pengambilan sampelnya. Hasil penelitian menunjukan
terdapat perbedaan yang signifikan antara sikap guru yang mengikuti pelatihan dan
tidak mengikuti pelatihan guru inklusidengan nilai thitung sebesar 6,885 > ttabel (1,962)
dengan nilai signifikansi 0,000. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa pelatihan
memberikan pengaruh yang positif terhadap sikap guru yang mengikuti pelatihan.
Kata kunci: Sikap Guru, Pelatihan, Guru Inklusif
Teacher attitude toward the student who has special needs one of the main factor in
determine the successful of inclusion school, and training is one of the factor which
influence teacher attitude toward the readiness in accepting the students with special
needs into inclusion class. The purpose of this research is to know about the different
teacher attitude towards students with special needs who are pointed from their
inclusion teacher training participation and no inclusion teacher participation. This
research used quantitative comparative non-experiment methodology by using scale
teacher attitude towards the student with special needs. The total subject is 100 people
by using non probability sampling technique in choosing the sample. The result of the
research showed that there was a significant differentiation between teacher attitude
who participated inclussion teacher training and did not participate inclusion teacher
training with score thitung 6,885 > ttabel (1,962) with significance score 0,000. It could
prove that training could give good influence to the teacher who participated in
training.
Keyword: Attitudes Teachers, Training, Teacher Inclusive

1

Saat ini sekolah merupakan unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai
keanekaragaman potensi anak didik yang juga memerlukan layanan pendidikan yang
beragam. Pendidikan inklusi merupakan salah satu program baru di dunia pendidikan,
dimana merupakan sistem pendidikan yang mengatur peserta dengan berkebutuhan khusus
yang memiliki kecacatan fisik dan mental, maupun yang memiliki bakat istimewa dapat
mengikuti pembelajaran yang sama dalam satu lingkup (Praptono, Budiyanto, Sujarwanto,
Yusuf, Supena, Hartono, & Sayekti, 2013).
Sebagaimana sesuai dengan undang-undang anak berkebutuhan khusus yang dikenal
dengan IDEA (Individual with Disabilities Education Act) yang menyatakan bahwa semua
siswa yang mengalami kecacatan berhak mengikuti program pendidikan khusus yang
dirancang untuk memenuhi kebutuhan mereka serta siswa dengan berkebutuhan khusus
sedapat mungkin dilibatkan dalam lingkungan akademik, aktivitas ekstrakurikuler, dan
interaksi sosial yang sama dengan teman-temannya yang normal (Ormrod, 2009). Adanya
sekolah inklusi tidak terlepas pula dari berbagai permasalahan di dalamnya. Permasalahan
yang terjadi di sekolah inklusi antara lain (1) ketidaksiapan sekolah melakukan
penyesuaian, (2) kurangnya pemberdayaan melalui peningkatan profesionalitas dan
pembelajaran guru umum, (3) keterbatasan guru pembimbing khusus (GPK) yang
memberikan program pendampingan pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus, (4)
keterbatasan aksesbilitas bagi anak berkebutuhan khusus, dan (5) rendahnya dukungan
warga sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan siswa berkebutuhan khusus (Mudjito,
Harizal, & Elfindri, 2012).
Sikap guru terhadap pendidikan inklusi adalah faktor utama dalam mendukung
keberhasilan sekolah inklusi dan guru juga ikut bertanggung jawab dalam berjalannya
sekolah inklusi. Tiwari (2014) mengungkapkan bahwa guru akan membentuk tutor sebaya
yang bertujuan untuk menjadikan siswa reguler lebih peka terhadap teman sebayanya yang
berkebutuhan khusus, sehingga siswa reguler dapat terbiasa dengan siswa berkebutuhan
khusus. Selain itu guru merupakan bapak rohani bagi anak didiknya, dimana kebaikan
rohani anak didiknya tergantung pada pembinaan dan bimbingan guru. Tugas dan
tanggung jawab guru adalah meluruskan tingkah laku dan perbuatan anak didik yang
kurang baik, yang dibawanya dari lingkungan keluarga dan masyarakat (Djamarah, 2000).
Sikap guru terhadap anak berkebutuhan khusus di kelas inklusi dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti dalam penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Elisa dan
Wrastari (2013) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi sikap guru
terhadap anak berkebutuhan khusus adalah pengetahuan yang mencakup level pendidikan
guru, pelatihan, dan kebutuhan belajar guru. Kemudian penelitian lain yang dilakukan oleh
Samir (2013) yang menemukan bahwa jenis kelamin juga dapat mempengaruhi sikap
seorang guru terhadap anak berkebutuhan khusus, disebutkan didalam hasil penelitiannya
bahwa guru laki-laki cenderung memiliki sikap positif lebih besar dibanding dengan guru
perempuan. Selain itu sikapguru dapat dipengaruhi pula oleh jenis kecacatan siswa
berkebutuhan khusus dimana guru akan lebih positif ketika melihat penempatan
pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus dalam bidang intelektual dan emosi di sekolah
reguler, dan sikap guru menjadi negatif ketika melihat penempatan pendidikan bagi siswa
berkebutuhan khusus dengan gangguan fisik yaitu tunanetra untuk berada di dalam sekolah
reguler.
Zyoudi (dalam Zyoudi et al, 2011) menemukan bahwa sikap guru di kelas inklusi
dipengaruhi oleh lamanya pengalaman mengajar dan pelatihan. Selain itu sikap positif
guru di kelas mempengaruhi terciptanya kelas yang kondusif. Kemudian hasil lain dari
2

penelitian Zyoudi, Sartwai, dan Dodin (2011) lainnya yang menemukan bahwa sikap
positif dan negatif siswa dalam menerima adanya kelas inklusi dipengaruhi oleh sikap
positif guru terhadap inklusi yang berkaitan dengan pengetahuan mereka mengenai
keterbatasan siswa dan penggunaan metode belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar
khusus.
Saat ini yang menjadi permasalahan dari program inklusi adalah ketidaksiapan sekolah
melakukan penyesuaian terutama yang menyangkut pada ketersediaan sumber daya
manusia yang belum memadai. Selain pemberdayaan guru umum, keterbatasan guru
pembimbing khusus (GPK) dalam memberi pendampingan terhadap siswa berkebutuhan
khusus masih sangatlah kurang. Disisi lain kenyataan di lapangan, seperti kasus di DKI
Jakarta misalnya yang menunjukkan bahwa kinerja guru di sekolah inklusif masih belum
sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Direktorat
Pembinaan Pendidikan khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar Kementerian
Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 ditemukan bahwa kinerja
guru inklusif pada sekolah masih rendah. Kinerja guru itu sendiri merupakan kemampuan
yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi (Mudjito, Harizal, &
Elfindri, 2012). Oleh karena itu pelatihan guru mengenai pendidikan inklusi sangatlah
dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja guru.
Menurut pengawas sekolah inklusi Dinas Pendidikan Kota Malang tahun 2015 mencatat
jumlah pelajar difable mencapai lebih dari 1000 orang dari 93 lembaga pendidikan mulai
jenjang TK hingga SMA baik itu sekolah swasta maupun negeri, sementara jumlah guru
reguler yang mengikuti pelatihan hingga tahun 2015 baru mencapai 130 orang dari
berbagai sekolah ( Diknas Malang Kota, 2015). Berdasarkan data tersebut dengan jumlah
siswa berkebutuhan khusus yang semakin bertambah dan jumlah guru reguler yang
mengikuti pelatihan tidak sebanding dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus sehingga
pelatihan masih menjadi kebutuhan utama keberhasilan sekolah inklusi terutama di Kota
Malang.
Pelatihan guru mengenai siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi merupakan salah
satu kebutuhan yang dapat mendukung berjalannya sekolah inklusi, adanya pelatihan
tentulah dapat meningkatkan kinerja guru di kelas inklusi. Penelitian yang dilakukan oleh
Woodcock(2013) dengan adanya pelatihan terhadap guru secara komprehensif, kebutuhan
siswa dengan kesulitan belajar spesifik dapat terpenuhi, karena padapenelitian ini
menunjukan bahwa pelatihan cenderung mempengaruhi sikap guru terhadap siswa
berkebutuhan khusus. Guru yang mengikuti pelatihan cenderung lebih memahami
kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dan bagaimana cara membimbing serta penanganan
siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Sehingga adanya pelatihan juga dapat
mempersiapkan guru inklusi dimasa depan.
Selain itu pelatihan tidak hanyalah mempengaruhi kinerja guru, menurut penelitian Cipkin
dan Rizza (2000) menemukan bahwa sikap positif cenderung dimiliki oleh guru yang
sering mendapatkan pelatihan dan guru sudah tersertifikasi. Disebutkan dalam
penelitiannya bahwa sikap positif ini ditunjukan dengan mensukseskan program inklusi
dan memberikan pendidikan yang ekslusif terhadap anak berkebutuhan khusus sedangkan
sikap negatifnya adalah guru cenderung menolak dan mencegah perlakuan khusus
terhadap anak berkebutuhan khusus dikarenakan masih kurangnya pengetahuan akan anak
berkebutuhan khusus tersebut. Namun di dalam penelitian Cipkin dan Rizza mengukur
sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus dengan mengunakan sampel yang tidak
spesifikasi, sehingga disarankan untuk penelitian selanjutnya mereka menganjurkan agar
3

sampel yang diambil lebih banyak lagi, dan di generalisasikan berdasarkan daerah agar
dapat melakukan perbandingan hasil antara umum dan khusus. Jadi sampel yang akan
digunakan dalam penelitian ini sebaiknya di bedakan antara guru pendidikan umum dan
guru pendidikan khusus agar dapat melakukan perbandingan. Kemudian hasil penelitian
yang sama yang dilakukan oleh Peebles dan Mendaglio (2014) dalam penelitiannya
menemukan bahwa pelatihan inklusi memberikan efek yang menguntungkan pada sikap
guru. Pelatihan juga memiliki sedikit efek pada persepsi guru tentang kesiapan mereka
untuk mengajar dikelas inklusi, guru memiliki tanggung jawab untuk melihat segala
sesuatu yang terjadi di dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa.
Penelitian yang dilakukan Peebles dan Mendalgio hanyalah berdasarkan studi kasus
dengan wawancara dan observasi terhadap guru mengenai pendapat akan kesiapan mereka
dalam mengajar di kelas inklusi.
Berdasarkan hasil pada penelitian sebelumnya dan saran dari dua penelitian tersebut, hal
itulah yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam yaitu
dengan mengukur perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus yang ditinjau
dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan dengan menggunakan skala dengan
sampel guru yang mengajar di kelas inklusi. Dan untuk di Indonesia sendiri, penelitian
mengenai bagaimana pelatihan dapat mempengaruhi sikap guru terhadap siswa
berkebutuhan khusus masih sangat kurang terutama dalam mengukur secara langsung
terhadap perbedaan sikap mereka menggunakan alat ukur berupa skala. Dengan adanya
penelitian ini, peneliti berharap dapat berkontribusi dalam memberikan informasi kepada
pemerintah khususnya mengenai mengukur sejauh apa usaha pemerintah untuk
meningkatkan kualitas guru dengan di adakannya pelatihan terhadap guru yang mengajar
di kelas inklusi yang telah dilaksanakan selama berjalannya penerapan program inklusi di
Indonesia.
Selain itu di Kota Malang masih tidak banyak guru yang mahami penerapan pendidikan
inklusi, bahkan fakta dilapangan beberapa guru masih memandang kemampuan siswa
berkebutuhan khusus rendah tanpa mencari tahu alasan mengapa siswa gagal dalam
pemahaman materi. Hal tersebut terjadi dikarenakan masih kurangnya kemampuan dan
kepekaan guru dalam mengidentifikasi gangguan pada anak dan kebutuhannya
(MalangTimes,2015). Oleh karena itu pelatihan masih sangatlah dibutuhkan untuk
membantu guru reguler terutama dalam menerima dan memenuhi kebutuhan siswa
berkebutuhan khusus. Hal tersebutlah yang menarik peneliti untuk mengetahui dan
mengukur sejauh apa pelatihan dapat mempengaruhi sikap guru terhadap siswa
berkebutuhan khusus dengan menggunakan skala sikap guru terhadap siswa berkebutuhan
khusus.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya pelatihan mengenai guru
inklusi dapat memberikan dampak yang efekif terhadap berjalannya program inklusi.
Pelatihan tidak hanyalah mempengaruhi kemampuan dan keterampilan guru dalam
mengajar siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler, tetapi pelatihan yang diikuti oleh
guru di sekolah inklusi mengenai siswa berkebutuhan khusus juga mempengaruhi
pengetahuan guru mengenai siswa berkebutuhan khusus. Bertambahnya pengetahuan
tersebutlah yang dapat mempengaruhi adanya sikap positif guru terhadap siswa
berkebutuhan khusus. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa semakin seringnya
seorang guru mengikuti pelatihan dan memiliki pengalaman dalam mengajar, maka sikap
guru terhadap siswanya yang berkebutuhan khusus akan semakin positif. Sikap guru
terhadap anak berkebutuhan khusus di kelas inklusi sangatlah penting, dimana guru
menjadi acuan dan sebagai modeling, ketika guru menunjukkan sikap positif ia dapat
4

mendorong siswanya yang normal untuk lebih peduli dan memahami teman-teman mereka
yang memiliki kecacatan, dengan demikian guru dapat melatih siswa-siswanya untuk
membangun hubungan antarpribadi dengan baik dengan cara mengembangkan kesadaran
anak didiknya akan kebergaman, serta membangun hubungan emosional yang baik.
Sehingga sikap positif guru di dalam pendidikan inklusi terutama di kelas reguler
sangatlah berperan penting terhadap berjalannya keefektifan lingkungan belajar siswa
reguler dan siswa berkebutuhan khusus. Fenomena tersebutlah yang menarik peneliti untuk
lebih menggali bagaimana perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus
ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi.
Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya dapat ditarik rumusan masalah adakah
perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari guru yang sudah
mengikuti pelatihan dan yang belum mengikuti pelatihan guru inklusi ?. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam mengenai perbedaan sikap guru
terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan siswa berkebutuhan
khusus dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi. Manfaat dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi berupa informasi–informasi terbaru dalam ranah psikologi
pendidikan masa kini mengenai wawasan perbedaan sikap guru terhadap siswa
berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru
inklusi.
Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan khusus
Sikap dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk bertindak bereaksi terhadap
rangsangan. Sikap seseorang terhadap suatu perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa
perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan.
Sikap juga dipandang sebagai suatu tingkatan afeksi positif maupun negatif, yang dapat
berupa pandangan ataupun perasaan seseorang terhadap objek yang kemudian
menyebabkan kecenderungan untuk bertindak. Sikap dibentuk oleh tiga komponen yang
saling mempengaruhi yaitu (1) komponen kognitif yang tersusun atas dasar pengetahuan
atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Pengetahuan inilah yang
kemudian akan membentuk suatu keyakinan tertentu terhadap obyek sikap tersebut, (2)
komponen afektif yaitu yang menyangkut kepada proses emosional subjektif seseorang
terhadap obyek yang berhubungan dengan rasa senang (afek positif) dan tidak senang
(afek negatif), (2) komponen konatif yang merupakan kecenderungan seseorang untuk
bertingkah laku dengan obyek sikapnya. Dengan demikian sikap seseorang terhadap obyek
merupakan manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi
untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap objek sikap dengan saling
berinterelasi dan konsisten satu dengan lainnya. Selain itu sikap juga dapat terbentuk dari
beberapa faktor yaitu (1) pengalaman pribadi, (2) pengaruh oranglain yang dianggap
penting, (3) kebudayaan, (4) media massa, (5) lembaga pendidikan, (6) faktor emosional
(Azwar, 1998; Dayaksini & Hudaniah, 2009; Walgito, 1991).
Faktor penentu keberhasilan program inklusi salah satunya adalah guru terutama yang
profesional dalam bidangnya masing-masing untuk membina dan mengayomi anak
berkebutuhan khusus. Sikap adalah salah satu faktor yang mendasari kinerja (performance)
guru di kelas inklusi. Sikap guru terhadap kehadiran siswa berkebutuhan khusus dikelas
inklusi dapat diartikan sebagai manifestasi dari ketiga komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap
siswa berkebutuhan khusus. Sikap guru sangat diperlukan karena akan melandasi
hubungan interpersonal guru dengan murid yang lebih fair, konfidensial, dan permisif.
5

Sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
pengetahuan guru yang mencangkup level pendidikan guru, pelatihan, jenis kelamin,
pengalaman mengajar. Sikap merupakan sebuah proses antara positif atau negatif yang
disebabkan oleh suatu stimulus. Sikap positif dan negatif guru terhadap siswa
berkebutuhan khusus juga dapat dipengaruhi oleh pengetahuan guru mengenai
keterbatasan siswanya dan penggunaan metode belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar
siswa berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013; Mudjito, Harizal, & Efendi, 2012; Elisa dan
Wartasari, 2013; Samir, 2013; Zyoudi, Sartwai, & Dodin, 2009).
Seorang guru senantiasa dituntut untuk mengembangkan pribadi dan profesinya secara
terus menerus. Ada empat aspek kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang guru
yang profesional yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi professional. Kompetensi pedagogik yang merupakan kemampuan guru
dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan sebagaimana potensi yang dimilikinya.
Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan kepribadian guru yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan beribawa, dapat menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Kompeteni sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama guru, tenaga
kependidikan, orangtua/walimurid, dan masyarakat sekitar. Kompetensi profesional adalah
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkan dan mampu membimbing peserta didik dalam memenuhi standar
kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Lebih lanjut berdasarkan
Pedoman Umum sekolah Inklusif, Dit. PPL-LK bahwa kompetensi guru inklusif selain
dilandasi oleh empat kompetensi utama sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya dua
kemampuan utama lainnya yang secara khusus harus dimiliki oleh guru inklusif yaitu: (1)
kemampuan umum (general ability) adalah kemampuan yang di perlukan untuk mendidik
peserta didik pada umumnya (anak normal), (2) kemampuan dasar (basic ability) adalah
kemampuan tambahan untuk guru di sekolah regular dalam mendidik peserta didik yang
berkebutuhan khusus, yaitu : menciptakan inklim belajar yang kondusif, menyususn dan
melaksanakan asesmen, dan menyusun pembelajaran dengan kurikulum modifikasi,
melakukan penilaian, dan memberikan program remedi pengajaran. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek profesionalisme guru inklusif adalah kemampuan
guru untuk mendidik peserta didik yang berkebutuhan khusus dengan dilandaskan empat
kompetensi utama dan dua kompetensi khusus dengan bentuk (1) menyusun instrument
asesmen pendidikan khusus (2) melaksanakan pendampingan untuk pendidikan kebutuhan
khusus (3) memberikan bantuan layanan khusus (4) memberikan bimbingan secara
berkesinambungan untuk anak berkebutuhan khusus (5) memberikan bantuan kepada
siswa berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013; Mudjito, Harizal, & Elfindri, 2012).
Pelatihan Guru Inklusi
Guru-guru yang ditempatkan pada pendidikan inklusi haruslah memiliki penguasaan akan
fungsi dan tugas yang lebih dibandingkan dengan guru pendidikan biasa. Adanya
tambahan pelatihan sangat diperlukan karena anak berkebutuhan khusus membutuhan
pelayanan khusus yang sesuai dengan kebutuhan mereka.Pelatihan adalah proses
pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan teroganisir,
sehingga tenaga kerja nonmanajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis
untuk tujuan tertentu. Pelatihan pada dasarnya adalah peran tertentu untuk membantu
6

mereka yang sedang atau akan melakukan pekerjaan tertentu untuk mencapai perilaku
peran yang berhasil. Pelatihan guru mengenai siswa berkebutuhan khusus di sekolah
inklusi merupakan salah satu kebutuhan yang dapat mendukung berjalannya sekolah
inklusi, adanya pelatihan tentulah dapat meningkatkan kinerja guru di kelas inklusi,
dengan adanya pelatihan terhadap guru secara komprehensif, kebutuhan siswa dengan
kesulitan belajar spesifik dapat terpenuhi dan pelatihan juga cenderung mempengaruhi
sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus. Guru yang mengikuti pelatihan cenderung
lebih memahami kebutuhan siswa berkebutuhan khusus dan bagaimana cara membimbing
serta penanganan siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi (Woodcock, 2013;
Mudjito, Harizal, & Elfrindri, 2012; Woodcock, 2013; Miner, 1992; Sikula (dalam
Munandar, 2001)).
Pelatihan (training) dapat disebut juga suatu proses memperbaiki keterampilan kerja
karyawan untuk membantu pencapaian tujuan perusahaan. Pelatihan digunakan digunakan
sebagai dasar peningkatan dan perpindahan pekerjaan. Manfaat dari pelatihan adalah dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan atas bertambahnya pengetahuan mereka. Pelatihan guru
inklusi adalah proses pembelajaran yang berfungsi sebagai cara memperbaiki dan
meningkatkan kinerja guru. Kinerja guru meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan
guru dalam mengajar dan menerima siswa dengan kecacatan khusus dalam satu ruang
lingkup bersama siswa reguler. Pelatihan guru inklusi yang diselenggarakan berupa diklat
yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kompetensi
guru secara khusus yang meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi terhadap
program inklusi dan siswa berkebutuhan khusus di dalamnya. Diklat yang dilaksanakan
tidak hanya berupa sosialisasi yang memiliki batasan waktu pertemuan relatif singkat yaitu
satu hari yang berupa seminar mengenai program inklusi dan siswa berkebutuhan khusus
yang ada di dalamnya tetapi berupa pelatihan yang bertujuan meningkatkan kompetensi
utama yang harus dimiliki oleh seorang guru inklusi, tidak hanya mengenai cara
bagaimana (1) menyusun instrumen asesmen pendidikan khusus, (2) memberikan bantuan
kepada siswa yang berkebutuhan khusus, (3) menciptakan iklim belajar yang kondusif, (4)
menyusun pembelajaran dengan kurikulum modifikasi, (5) melakukan penilaian, dan (6)
memberikan program remedi pengajaran (Mudjito, Harizal, & Elfrindri, 2012; Bangun,
2012).
Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif adalah salah satu amanat yang ada di dalam UU No. 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang dalam penjelasan pasal 15 yang menyatakan bahwa
“pendidikan khusus bagi peserta didik yang mengalami hambatan belajar karena kelainan
fisik, mental, intelektual, emosi, dan sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa, dapat diselenggarakan secara inklusif dan/atau berupa satuan pendidikan
khusus.” Berdasarkan amanat undang-undang tersebut, pengertian pendidikan inklusif
ditegaskan pada Pemendiknas Nomor 70 tahun 2009.Pendidikan inklusif dapat diartikan
sebagai sistem penyelenggara pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Implementasi pendidikan inklusi
didasari dengan implementasi sekolah model inklusif dengan sistem gugus satelit,
kampanye nasioanal mengenai pentingnya pendidikan inklusif, peningkatan kemampuan
guru, kepala sekolah dan pengawas dengan penerapan pre-inservice training, dan
penyediaan peraturan dan pedoman teknis pendidkan pendidikn inklusif yang
7

implementasi.Tujuan dari adanya konsep pendidikan inklusif itu sendiri yaitu (1)
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa untuk memperoleh pendidikan ysng bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya dan (2) mewujudkan penyelengaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Konsep pendidikan
inklusif itu sendiri adalah konsep pendidikan yang merepsentasikan keseluruhan aspek
yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk
memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara (Praptono, Budiyanto, Sujarwanto,
Yusuf, Supena, Hartono, & Sayekti, 2013; Ilahi, 2013).
Siswa Berkebutuhan Khusus
Siswa berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara
atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens.
Kebutuhan tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan atau memang bawaan dari lahir
dan kerena adanya masalah tekanan ekonomi, politik, sosial, emosi, dan perilaku yang
menyimpang. Konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan dalam dua kelompok
besar, yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak
yang memiliki hambatab belajar dan hambatan perkembangan yang disebabkan oleh
faktor-faktor eksternal, yang masih dapat dilakukan penyembuhan dan anak berkebutuhan
khusus yang bersifat menetap (permanen) adalah anak yang memiliki hambatan belajar
dan perkembangan yang diakibatkan karena kecacatan atau bawaan sejak lahir. Yang
termasuk dalam kategori siswa yang membutuhkan layanan khusus adalah (1) tunanetra
adalah anak yang memiliki hambatan dalam penglihatan yang dapat diklasifikasikan
kedalam dua golongan yaitu buta total (blind) dan low vision, (2) tunarungu adalah anak
yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen, (3)
tungrahita adalah anak yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata
dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam
perkembangan yang diklasifikasikan menurut tingkatan IQ, (4) tunadaksa adalah anak
yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh neuro-muskular dan strukutur tulang
yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, (5) tunalaras adalah anak yang
mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial yang dapat
disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal, (6) kesulitan belajar adalah anak yang
mengalami gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencangkup
pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara, dan menulis yang dapat mempengaruhi
kemapuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan oleh gangguan
persepso, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia (Ilahi, 2013; Mudjito,
Harizal, & Elfindri, 2012).
Berdasarkan pemaparan teori diatas mengenai hubungan pelatihan dan sikap guru
terhadap siswa berkebutuhan khusus adalah adanya pelatihan guru inklusi dapat
memberikan dampak yang efekif terhadap berjalannya program inklusi. Pelatihan tidak
hanyalah mempengaruhi kemampuan dan keterampilan guru dalam mengajar siswa
berkebutuhan khusus di kelas reguler, tetapi pelatihan yang diikuti oleh guru di sekolah
inklusi mengenai siswa berkebutuhan khusus juga mempengaruhi pengetahuan guru
mengenai siswa berkebutuhan khusus. Bertambahnya pengetahuan tersebutlah yang dapat
mempengaruhi adanya sikap positif guru terhadap siswa berkebutuhan khusus.

8

Hipotesa
Ada perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti
pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif komperatif dimana peneliti akan
menganalisa suatu permasalahan yang bersifat membandingkan yaitu perbedaan sikap guru
terhadap siswa berkebutuhan khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti
pelatihan guru inklusi.
Subjek Penelitian
Penelitian ini akan menyelidiki tentang perbedaan sikap guru terhadap siswa berkebutuhan
khusus ditinjau dari mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh guru TK, SD, SMP, dan SMA/SMK di kota
Malang yang mengajar di kelas inklusi . Adapun karakteristik subyek adalah guru yang
mengajar di kelas inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non
probability sampling, yaitu purposive sampling dengan menetapkan karakteristik sampel
yaitu guru reguler yang mengajar di kelas inklusi yang mengikuti pelatihan dan tidak
mengikuti pelatihan.Berdasarkan tekhnik ini didapatkan subyek penelitian sebanyak 100
guru yang terdiri dari 46 guru yang mengikuti pelatihan dan 54 guru yang tidak mengikuti
pelatihan.
Variabel dan Instrumen Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti
pelatihan guru inklusi. Pelatihan guru inklusi adalah proses pembelajaran yang berguna
untuk memperbaiki kinerja guru yang meliputi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan
motivasi dalam menghasilkan suatu pembaruan. Pelatihan guru inklusi yang
diselenggarakan berupa diklat yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan
untuk meningkatkan kompetensi guru secara khusus yang meliputi pengetahuan, sikap,
keterampilan, dan motivasi terhadap program inklusi dan siswa berkebutuhan khusus di
dalamnya.Sedangkan guru yang tidak mengikuti pelatihan siswa berkebutuhan khusus
adalah mereka yang belum berkesempatan untuk mengikuti perbaikan akan kinerja
mereka. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sikap guru terhadap siswa
berkebutuhan khusus. Sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus adalah sikap positif
dan sikap negatif guru terhadap siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler, yang akan
diungkap melalui skala sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus.
Pada penelitian ini untuk mengetahui guru yang sudah mengikuti pelatihan dan belum
mengikuti pelatihan, peneliti menggunakan kuisioner. Sedangkan untuk sikap guru
terhadap siswa berkebutuhan khusus menggunakan skala sikap guru terhadap anak
berkebutuhan khusus yang berguna untuk mengukur perbedaan sikap guru yang sudah
mengikuti pelatihan dan yang tidak mengikuti pelatihan guru inklusi. Skala sikap guru
9

terhadap siswa berkebutuhan khusus terdiri dari 6 aspek berdasarkan Pedoman Umum
Sekolah Inklusif Dit. PPK-LK 2010(dalamMudjito, Harizal, & Elfindri, 2012) yaitu (1)
Kompetensi Pedagogik, (2) Kompetensi kepribadian, (3) Kompetensi profesional, (4)
Kompetensi Sosial, (5) Kemampuan Umum, dan (6) Kemampuan Dasar.Skala ini terdiri
dari 60 item dengan tipe klasifikasi skala likert 5 point dengan rentang 1 (sangat setuju)
hingga 5 (sangat tidak setuju).
Tabel 1. Indeks Validitas dan Realibilitas Instrumen
Skala

Indeks Validitas

Indeks Realibilitas

Skala Sikap Guru

0,599-0,785

0,976

Berdasarkan tabel 1 di atas maka dapat dijelaskan bahwa hasil uji validitas skala sikap
guru terhadap siswa berkebutuhan khusus memiliki indeks validitas 0,599-0,785
Sedangkan hasil uji realibilitas 0,976.Hal ini dapat disimpulkan bahwa instrumen
penelitian ini realiabel jika dibandingkan dengan syarat cronbach alpha yaitu 0,6.
Prosedur Analisa Data
Prosedur penelitian diawali dengan menyusun dan mengadaptasi instrumen penelitian
berupa skala dan menguji validitas skala. Kemudian selanjutnya dilakukan penyebaran
skala dengan metode tryout terpakai dikarenakan populasi subjek terbatas. Penelitian ini
dilakukan kepada guru yang pernah mengikuti pelatihan maupun yang belum pernah
mengikuti pelatihan guru inklusi di yang terdapat di sekolah tersebut antara lain TK ( TK
Anak Saleh, TK Lab UM, TK Harapan Bintang,dan TK Smart Kids WLC ) SD( SDN
Sumbersari I, SDN Sumbersari II, SDN Sumbersari III, SD Dinoyo 2, dan SD Brawijaya
Smart School), SMP (SMP Sriwedari, SMPN I Atap Merjosari, SMP Negeri 18, SMP
Muhammadiyah 2) dan SMA/SMK ( SMA Muhammadiyah 1 dan SMKN 2). Kemudian
dari hasil penyebaran skala terdapat 46 guru yang mengikuti pelatihan dan 54 guru yang
belum mengikuti pelatihan. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
independent sampel t-test yaitu untuk mengetahui perbedaan antara variabel x1 (sikap
gurumengikuti pelatihan) dan x2 (sikap guru yang tidak mengikuti pelatihan).

10

HASIL PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah guru TK, SD, SMP, dan SMA/SMK yang mengajar
dikelas inklusi yang mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan guru inklusi.
Dalam proses pengambilan data yang dilakukan pada guru yang mengajar di kelas inklusi
tersebut didapatkan karakteristik sebagai berikut:
Tabel 2. Deskripsi Subyek Penelitian
Kategori
Mengikuti Pelatihan
Jenis Kelamin
Laki – laki
17
Perempuan
29
Usia
45
9
Tempat Mengajar
TK
6
SD
15
SMP
14
SMA
13

Tidak Mengikuti Pelatihan
22
32
1
25
18
10
6
17
15
14

Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa subjek penelitian baik yang mengikuti
pelatihan maupun yang tidak mengikuti pelatihan sebagian besar berjenis kelamin
perempuan yaitu untuk perempuan yang mengikuti pelatihan sebanyak 29 orang dan yang
tidak mengikuti pelatihan sebanyak 32 orang. Sedangkan untuk laki –laki yang mengikuti
pelatihan sebanyak 17 orang dan yang tidak mengikuti pelatihan sebanyak 22 orang. Untuk
usia guru yang mengikuti pelatihan maupun yang mengikuti pelatihan pelatihan sebagian
besar berusia 25-35 tahun. Sedangkan yang paling sedikit berusia t-tabel dengan nilai
Sig.(alpha) < 0,05 maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan demikian juga sebaliknya.
Adapun hasil uji beda tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah 2 di bawah ini:
Tabel 4. Hasil Analisa Uji Independen Sample t-Test Perbedaan Sikap Guru yang
Mengikuti Pelatihan dan Tidak Mengikuti Pelatihan Guru Inklusi
Sikap

N

Mean

Std

t-hitung

t-tabel

Sig. (2tailed)

Mengikuti
pelatihan

46

208,56

56,73

6,885

1,962

0,000

Tidak
Mengikuti
Pelatihan

54

173,14

53,76

Berdasarkan pada tabel di atas menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara sikap guru yang mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan tentang inklusi.
Hal tersebut dapat dilihat dari nilai t-hitung 6,885 >t-tabel (1,962) dengan tingkat
siginfikansi 0,000, karena jauh dibawah 0,05 maka perbedaan signifikan antara sikap guru
yang mengikuti pelatihan dan tidak mengikuti pelatihan tentang siswa berkutuhan khusus
dikatakan signifikan yang berarti bahwa pelatihan memberikan pengaruh positif terhadap
sikap guru yang mengikuti pelatihan. Selanjutnya jika dilihat dari mean sikap guru yang
mengikuti pelatihan memiliki kecendrungan sikap yang lebih positif terhadap siswa
berkebutuhan khusus dibandingkan guru yang tidak mengikuti pelatihan.

12

Tabel 5. Hasil Analisa Sikap Guru Terhadap Siswa Berkebutuhan Khusus ditinjau
dari Aspek-Aspek Sikap
Aspek
Kompetensi Pedagogik
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi Profesional
Kompetensi Sosial
Kompetensi Umum
Kompetensi Dasar

Mean
Mengikuti Pelatihan
Tidak Mengikuti Pelatihan
35,06
27,79
29,17
23,70
29,26
23,55
29,02
23,68
28,97
23,79
36,45
29,83

Berdasarkan hasil analisa sikap guru terhadap siswa berkebutuhan khusus yang ditinjau
dari aspek-aspek sikap. Jika dilihat dari mean sikap guru yang mengikuti pelatihan dapat
digambarkan bahwa guru yang mengikuti pelatihan memiliki sikap yang positif terhadap
siswa berkebutuhan khusus, hal tersebut didasari oleh tingkat aspek sikap guru yang
mengikuti pelatihan untuk keseluruhan memiliki nilai mean yang lebih tinggi
dibandingkan guru yang tidak mengikuti pelatihan. Sikap guru yang mengikuti pelatihan
memiliki sikap yang yang positif terhadap siswa berkebutuhan khusus didasari oleh
besarnya mean kompetensi dasar yaitu 36,45, kemudian kompetensi pedagogik sebesar
35,06, kompetensi profesional sebesar 29,26, kompetensi kepribadian sebesar 29,17, lalu
kompetensi sosial sebesar 29,02 dan jika dibandingkan aspek-aspek sebelumnya untuk
guru yang mengikuti pelatiha