IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN 4.1.1. Analisis Kandungan Senyawa Kimia
Pada tahap ini dilakukan analisis proksimat terhadap kandungan kimia yang terdapat dalam temulawak kering yang akan menjadi sampel ekstraksi kurkumin. Analisis proksimat
yang dilakukan meliputi kandungan kadar air, kadar pati, kadar lemak, kadar minyak atsiri, kadar protein, kadar serat kasar serta kadar abu. Tabel 4. menunjukkan hasil analisis proksimat
terhadap rimpang temulawak yang digunakan dalam penelitian. Tabel 4. Kadar proksimat rimpang temulawak kering
Komposisi Kadar
Air Pati
Lemak Minyak atsiri
Protein Serat kasar
Abu 14.97
58.56 7.45
Tidak terukur 7.07
7.63 5.07
Keterangan: Nilai relatif sangat kecil Rimpang temulawak merupakan tanaman herbal yang mengandung air, pati, lemak,
protein, abu serat, minyak atsiri dan kurkuminoid. Kandungan kimia tersebut menjadi alasan kuat penggunaan temulawak sebagai sumber bahan pangan, bahan baku obat, dan bahan baku
industri. Dalam rimpang temulawak terdapat senyawa minyak atsiri yang merupakan pemberi aroma pada temulawak. Menurut Herman 1995 kadar minyak atsiri yang terdapat dalam
temulawak bernilai 3-12, tetapi pada penelitian ini kadar minyak atsiri rimpang temulawak tidak dapat dihitung. Tidak terukurnya kadar minyak atsiri pada rimpang temulawak dapat
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain proses pengeringan yang terlalu lama, suhu pengeringan yang terlalu tinggi, ukuran bahan, serta proses penyimpanan.
Proses pengeringan yang terlalu lama berakibat pada hilangnya minyak atsiri yang terkandung dalam bahan. Minyak atsiri memiliki sifat mudah menguap dan suhu pengeringan
yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada minyak atsiri. Pada penelitian ini lama waktu pengeringan tidak ditentukan, sedangkan suhu pengeringan ditetapkan sebesar 50
o
C. Pengeringan dihentikan pada saat temulawak dirasa sudah cukup kering. Setelah proses
pengeringan, bahan dihaluskan dengan menggunakan hammer mill 20 mesh. Semakin halus ukuran bahan maka kemungkinan hilangnya minyak atsiri akan semakin tinggi. Namun
demikian, pengecilan ukuran sampel berpengaruh terhadap peningkatan luas permukaan contoh sehingga ekstraksi akan menjadi lebih optimal.
Setelah rimpang menjadi serbuk maka dilakukan penentuan kadar air. Nilai kadar air diperoleh sebesar 14.97. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan kadar air yang dianjurkan
yaitu sekitar 10, pengurangan kadar air mencapai 10 ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan akibat altivitas mikroorganisme.
Abu berasal dari mineral-mineral yang terkandung dalam temulawak seperti Kalium K, Natrium Na, Magnesium Mg, Besi F, Mangan Mn, dan Kadmium Cd. Kadar abu
total dari bahan yang digunakan adalah sebesar 5.07. Syarat abu total yang ditetapkan FDA adalah 3-7. Nilai abu total merupakan acuan untuk mengetahui kemurnian bahan yang
digunakan, dalam hal ini berarti bahwa kandungan mineral yang terdapat dalam bahan telah memenuhi standar yang ditetapkan. Perbedaan nilai kandungan kimia yang terdapat pada
rimpang temulawak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur rimpang, tempat tumbuh, alat serta metode analisis yang digunakan. Rimpang temulawak memiliki kandungan
kurkuminoid terbesar pada saat berumur sembilan bulan sejak masa tanam. Untuk mendapatkan kualitas produk yang lebih stabil diperlukan alternatif pengolahan.
Pembuatan ekstrak temulawak yang berasal dari temulawak segar merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kualitas aroma, memperpanjang umur simpan serta mempermudah
proses pengemasan dan penyimpanan. Nilai tambah lain dari ekstrak temulawak adalah nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan bentuk segarnya. Selain itu, teknologi proses yang
diperlukan untuk memperoleh ekstrak temulawak relatif sederhana sehingga dapat dilakukan oleh pengusaha kecil.
4.1.2.
Penentuan Washing Time
Washing time merupakan waktu yang dibutuhkan oleh pelarut untuk mengeluarkan senyawa yang terdapat di luar sel. Penentuan washing time dalam penelitian ini dimulai dari 5,
10, 20, 30, 40, hingga 120 menit. Berdasarkan hasil washing time Gambar 9, diketahui bahwa waktu dua jam telah mencukupi untuk pencucian sampel. Oleh karena itu dalam proses
ekstraksi, waktu yang digunakan adalah kelipatan dari waktu washing time yang bernilai dua jam. Mengacu pada hasil tersebut maka waktu ekstraksi yang digunakan adalah 4 jam, 6 jam, 8
jam hingga 24 jam.
Gambar 9. Persentase rendemen washing time Terdapat dua proses utama pada ekstraksi temulawak yaitu washing out dan difusi List,
1989. Pada proses washing out terjadi penarikan senyawa-senyawa yang terdapat diluar sel, dimana saat dilakukan pengecilan ukuran, sebagian sel akan pecah dan senyawa yang keluar
akibat kerusakan sel tersebut akan ditarik oleh pelarut selama proses washing out. Setelah mengalami washing out, ekstraksi akan memasuki proses difusi. Pada proses ini pelarut harus
menembus dinding sel terlebih dahulu sehingga senyawa lebih susah ditarik. Pelarut dapat 9
9.5 10
10.5 11
5 10
29 40
60 80
100 120
ren d
em en
waktu menit
persentase rendemen washing time
rendemen bb
melewati dinding sel karena adanya gradient konsentrasi, sehingga senyawa yang memiliki kelarutan yang sama akan larut dan ditarik oleh pelarut. Pelarut akan membawa senyawa
tersebut keluar dari sel hingga senyawa yang terdapat dalam sel ditarik sempurna. Pelarut akan berhenti menarik senyawa jika keadaan pelarut sudah jenuh dan tidak lagi memiliki gradient
konsentrasi.
Gambar 10. Mekanisme penarikan senyawa List, 1989
4.2.
EKSTRAKSI RIMPANG TEMULAWAK
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen aktif dari suatu campuran padatan danatau cairan dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ini merupakan langkah awal yang penting dalam
penelitian tanaman obat, karena preparasi ekstrak kasar tanaman merupakan titik awal untuk isolasi dan pemurnian komponen kimia yang terdapat dalam tanaman Mandal et al, 2007. Ekstraksi
senyawa aktif dari tanaman obat merupakan pemisahan secara fisik atau kimiawi dengan menggunakan cairan atau padatan dari bahan padat.
Pada ekstraksi kurkuminoid temulawak untuk bahan baku obat-obatan, pemilihan jenis pelarut merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keamanan serta tinggi rendahnya hasil ekstraksi
kurkuminoid. Penelitian ini menggunakan etanol sebagai pelarut. Pertimbangan yang mendasari pengambilan keputusan tersebut adalah adanya pendapat Purseglove et al. 1981 yang menyatakan
bahwa ekstraksi rimpang temulawak untuk memperoleh oleoresin dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut polar. Di antara banyak pelarut organik, pelarut etanol adalah salah satu pelarut
yang cocok untuk memisahkan kurkuminoid secara optimal. Kadar etanol yang digunakan adalah sebesar 70 sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan.
Harborne 1996 menegaskan bahwa metode ekstraksi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana meliputi maserasi, perkolasi,
reperkolasi, evakolasi, dan dialokasi, sedangkan ekstraksi khusus meliputi sokletasi, arus balik dan ultrasonik. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi sederhana, mengingat
bahwa metode ekstraksi sederhana merupakan metode yang lebih banyak digunakan serta lebih murah dan praktis untuk diaplikasikan pada industri. Mengacu pada hal tersebut, maka metode ekstraksi yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi maserasi, remaserasi, perkolasi, dan reperkolasi. Keseluruhan metode tersebut merupakan ekstraksi dingin sehingga tidak menggunakan panas dalam prosesnya.
Tidak digunakannya pemanasan dalam keempat metode tersebut diharapkan dapat meminimalkan kemungkinan rusaknya kurkuminoid yang terkandung dalam temulawak. Selanjutnya proses ekstraksi
dalam penelitian ini dilakukan melalui penggunaan suhu ruang dengan tekanan 1 atm dan pengadukan 200 rpm.
4.2.1. Metode Maserasi
Maserasi yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dengan larutan penyari dengan atau tanpa pengadukan. Maserasi dibedakan menjadi tiga jenis yaitu maserasi
sederhana, kinetika maserasi, dan maserasi dengan pengguanan tekanan. Maserasi sederhana didefinisikan sebagai metode ekstraksi dimana sampel direndam menggunakan pelarut dalam
kurun waktu tertentu dengan atau tanpa pengadukan pada suhu ruang. Kinetika maserasi dan maserasi dengan tekanan tidak jauh berbeda dengan maserasi sederhana. Titik perbedaan
kinetika maserasi terletak pada dilakukannya pengadukan berkecepatan konstan, sedangkan perbedaan pada maserasi dengan tekanan terletak pada kondisi tekanan yang digunakan dalam
ekstraksi bukan tekanan ruang, sehingga proses tersebut lebih efektif. Metode maserasi yang digunakan dalam penelitian ini cenderung mengarah pada
kinetika maserasi karena menggunakan pengadukan yang konstan, yakni 200 rpm. Berdasarkan hasil penelitian untuk metode maserasi, diperoleh nilai rendemen pada interval 12.20 hingga
12.60 Lampiran 3, dimana rendemen tertinggi diperoleh pada lama waktu maserasi 24 jam yaitu sebesar 12.59. Nilai rendemen terendah diperoleh pada lama waktu maserasi 8 jam
yaitu sebesar 12.22. Hasil ekstraksi dengan metode maserasi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 3.
Gambar 11. Rendemen metode maserasi. Pada perbandingan terhadap masing-masing lama waktu yang digunakan tidak terlihat
perbedaan yang begitu nyata. Perbedaan waktu yang cukup jauh hanya menghasilkan selang rendemen sebesar 0.4 . Oleh karena itu penentuan lama waktu ekstraksi pada metode
maserasi cukup dilakukan pada waktu 4 jam dengan hasil rendemen sekitar 12.2.
4.2.2. Metode Remaserasi
Secara umum metode remaserasi tidak jauh berbeda dengan metode maserasi. Perbedaan metode remaserasi terletak pada digunakannya sebagian pelarut untuk maserasi,
dimana setelah penyaringan akan dilakukan pengunaan kembali terhadap komponen residu untuk kedua kalinya dengan sisa pelarut yang ada untuk kemudian disaring kembali. Setelah itu
kedua filtrat digabungkan pada tahap akhir. Metode remaserasi ini menggunakan jumlah pelarut dua kali lebih banyak dibanding metode maserasi, karena pelarut yang digunakan
bukan sebagian dari perbandingan yang telah ditetapkan. Metode remaserasi merupakan hasil modifikasi dari literatur, dimana untuk melakukan metode remaserasi digunakan perbandingan
tetap sebesar 1:10, baik pada maserasi pertama maupun maserasi kedua. 12.00
12.20 12.40
12.60 12.80
4 6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
ren d
em en
waktu menit
rendemen
Metode remaserasi yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan rendemen ekstrak antara 15.60 - 16.70. Perbandingan nilai tertinggi dan nilai terendah dalam metode
remaserasi adalah sebesar 1.10, sedangkan perbandingan rendemen metode maserasi dan remaserasi adalah sebesar 4. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan jumlah pelarut
yang digunakan, total pelarut yang digunakan pada proses maserasi adalah 100 ml sedangkan pada proses remaserasi adalah 200 ml. Meskipun demikian, pada dasarnya perbedaan pelarut
tersebut tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perolehan rendemen. Rendemen tertinggi pada metode remaserasi diperoleh pada lama ekstraksi 24 jam 16.69, sedangkan
rendemen terendah diperoleh pada lama ekstraksi 4 jam 15.66. Hasil perolehan rendemen keseluruhan pada metode remaserasi dapat dilihat pada Gambar 12 dan Lampiran 4.
Gambar 12. Rendemen metode remaserasi Grafik perolehan rendemen memperlihatkan bahwa jumlah rendemen dari 12 jam
hingga 24 jam tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Dengan perbandingan waktu yang cukup lama, perolehan nilai rendemen tertinggi dan terendah hanya berselang 1
sehingga dengan ekstraksi selama 4 jam pada metode remaserasi telah dapat mencukupi dan menarik bahan secara keseluruhan.
4.2.3. Metode Perkolasi
Metode perkolasi menggunakan pelarut segar untuk mengekstrak sampel. Pelarut tersebut dialirkan melalui alat yang disebut perkolator. Pelarut bersentuhan dengan sampel
secara kontinu sehingga metode ini membutuhkan pelarut yang sangat banyak. Namun, kecepatan alir bahan pada perlakuan ini diatur sedemikian rupa agar pelarut sebanyak 100 ml
habis digunakan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Semakin lama waktu ekstraksi maka kecepatan alir pelarut semakin kecil dan kontak dengan bahan menjadi lebih lama. Oleh karena
itu, semakin lama waktu perkolasi maka rendemen yang diperoleh akan semakin tinggi. Kecepatan alir yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan tercucinya pelarut sebelum sampai ke
dalam sel bahan. Jumlah rendemen yang diperoleh pada metode perkolasi dapat dilihat pada Gambar 13 dan Lampiran 5.
15.00 15.50
16.00 16.50
17.00
4 6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
ren d
em en
waktu menit
rendemen
Gambar 13. Rendemen metode perkolasi. Rendemen metode perkolasi bernilai antara 12.50 - 15.00, dengan selang rendemen
sebesar 2.5. Angka tersebut menunjukkan selang rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan selang rendemen pada metode maserasi dan remaserasi. Rendemen tertinggi 14.90
diperoleh pada waktu perkolasi 24 jam dan rendemen terendah 12.60 diperoleh pada waktu perkolasi 4 jam. Sama halnya dengan metode remaserasi, peningkatan rendemen setelah 12 jam
terlihat tidak signifikan. Perbedaan sebesar 2.5 antara rendemen terendah dan rendemen tertinggi relatif cukup tinggi dalam skala industri, tetapi jika dilihat berdasarkan waktu
pengerjaannya maka ekstraksi selama 4 jam telah cukup untuk mengekstrak keseluruhan bahan.
4.2.4. Metode Reperkolasi
Pada metode reperkolasi, pelarut yang digunakan tidak selalu segar seperti metode perkolasi. Pelarut disirkulasikan terus-menerus menggunakan pompa yang terhubung dengan
perkolator. Sirkulasi secara kontinu dilakukan agar pelarut yang belum jenuh masih dapat menarik senyawa yang terdapat dalam bahan. Pompa akan membantu pelarut naik lagi ke atas
sehingga penyaringan dapat dilakukan berulang. Pada metode ini kecepatan alir pelarut tidak bisa ditentukan. Kecepatan alir pelarut disesuaikan dengan kekuatan pompa dan lebar pipa
perkolator. Gambar 14 dan Lampiran 6. menunjukkan rendemen yang diperoleh untuk masing- masing waktu ekstraksi dengan metode reperkolasi.
Gambar 14. Rendemen metode reperkolasi 12.00
12.50 13.00
13.50 14.00
14.50 15.00
15.50
4 6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
re n
d e
m e
n
waktu menit
rata-rata
14.50 15.00
15.50 16.00
4 6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
re n
d e
m e
n
waktu menit
rendemen
Pada gambar di atas terlihat bahwa rendemen reperkolasi memiliki nilai antara 15 - 16. Rendemen tertinggi diperoleh pada waktu ekstraksi 14 jam dan rendemen terendah
diperoleh pada waktu ekstraksi empat jam. Dalam hal ini waktu reperkolasi terlama tidak memberikan hasil rendemen terbesar. Terdapat beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya
kondisi tersebut seperti kehilangan bahan saat proses penyaringan, proses penguapan yang terlalu lama dan beberapa hal lainnya. Selang rendemen pada metode reperkolasi tidak pula
terlihat signifikan karena tidak mencapai 1. Sama halnya dengan metode sebelumnya, waktu ekstraksi 4 jam telah cukup untuk mengekstrak seluruh senyawa yang terdapat dalam bahan.
Rendemen yang diperoleh dengan metode ini lebih tinggi dibandingkan metode perkolasi karena kontak bahan dengan pelarut pada metode ini lebih tinggi dibandingkan pada metode
perkolasi. Besarnya kontak antara pelarut dengan bahan pada metode ini menyababkan pelarut dapat berdifusi lebih baik dibandingkan pada metode perkolasi.
4.2.5 Perbandingan Rendemen Seluruh Metode Ekstraksi
Rendemen ekstrak temulawak dari keempat metode tersebut di atas berselang antara 12 hingga 17, dimana rendemen terendah diperoleh pada ekstraksi dengan metode
maserasi. Dihasilkannya rendemen terndah pada metode maserasi disebabkan oleh minimnya jumlah pelarut. Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada selang rendemen antara nilai
tertinggi dan terendah pada metode maserasi tidak terlalu jauh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelarut telah mencapai titik jenuh. Sedikitnya jumlah pelarut yang digunakan
pada metode maserasi berakibat semakin cepatnya pelarut tersebut mencapi titik jenuh. Metode maserasi hanya menggunakan pelarut sebanyak 100 ml. Jumlah tersebut hanya setengah dari
jumlah pelarut yang digunakan pada metode remaserasi. Metode remaserasi yang memiliki jumlah pelarut lebih banyak memperoleh nilai
rendemen yang lebih tinggi dibandingkan metode maserasi. Pada ekstraksi dengan metode remaserasi, residu pelarut yang digunakan merupakan pelarut baru sehingga pelarut belum
mengalami kejenuhan dan memiliki kemampuan mengekstrak lebih tinggi. Larutan jenuh adalah larutan yang mengandung jumlah terlarut berlebihan sedemikian rupa, pada suhu
tertentu, sehingga kelebihan itu tidak dapat lagi melarut. Jenuh berarti pelarut telah seimbang dengan zat terlarutnya, atau jika larutan tidak dapat lagi melarutkan zat terlarut yang
ditambahkan. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa konsentrasi telah mencapai titik maksimal. Berdasarkan perbandingan antar metode dapat disimpulkan bahwa nisbah pelarut
dengan bahan dan pengadukan dapat mempengaruhi jumlah rendemen. Metode maserasi menggunakan perbandingan 1:10 dengan pengadukan. Metode remaserasi turut pula dilakukan
dengan perbandingan 1:10, tetapi proses ekstraksi pada remaserasi dilakukan dua kali dengan dua kali pengadukan dan jumlah pelarut dua kali lebih banyak 200 ml. Metode
perkolasi dilakukan dengan jumlah pelarut keseluruhan sebesar 200 ml, namun pengadukan hanya
dilakukan sekali pada waktu maserasi. Ekstraksi dengan perkolator tidak mengalami pengadukan, sehingga pelarut hanya sekali melewati bahan dan tidak dapat bekerja maksimal
untuk menarik senyawa yang terdapat dalam residu bahan. Metode reperkolasi dilakukan dengan jumlah pelarut dan pengadukan yang sama
seperti metode perkolasi. Pengadukan pada metode reperkolasi juga hanya terjadi sekali pada saat maserasi. Perbedaan metode reperkolasi terletak pada terjadinya sirkulasi berulang.
Sirkulasi berulang berdampak terhadap dihasilkannya lebih banyak rendemen. Sirkulasi tersebut memberi efek seperti pengadukan kecil terhadap bahan yang terdapat dalam
perkolator, sehingga pelarut dapat menarik senyawa aktif lebih baik dibandingkan metode
perkolasi. Meskipun menghasilkan rendemen lebih banyak dibandingkan metode perkolasi, metode reperkolasi tidak dapat menghasilkan rendemen lebih banyak dibandingkan metode
remaserasi. Melalui penggunaan jumlah pelarut yang sama dengan metode perkolasi dan reperkolasi, aktivitas pengadukan dua kali lipat pada metode remaserasi dapat menarik
senyawa lebih banyak dibandingkan ketiga metode lainnya.
Gambar 15. Perbandingan rendemen metode ekstraksi Perhitungan analisis varian menggunakan SAS 9.1 Lampiran 7 menunjukkan nilai p-
value uji kurang dari alpha 5. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa pemberian perlakuan metode ekstraksi dan waktu berpengaruh terhadap jumlah rendemen. Kendati berpengaruh,
interaksi antara metode dengan waktu tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan karena p- value yang bernilai lebih besar dari alpha 5.
Perhitungan analisis
varian dilanjutkan
oleh uji
Duncan, yakni
dengan mengelompokkan metode berdasarkan perbedaan signifikan. Melalui uji Duncan diketahui
bahwa metode maserasi, remaserasi, perkolasi dan reperkolasi memiliki perbedaan yang signifikan terhadap jumlah rendemen yang dihasilkan. Hasil uji Duncan mengindikasikan
bahwa peringkat jumlah rendemen secara berurutan dari tingkat tertinggi hingga tingkat terkecil ditempati oleh metode remaserasi, reperkolasi, perkolasi, dan maserasi. Uji Duncan
menghasilkan huruf Duncan yang berbeda untuk setiap metode yaitu A untuk remaserasi, B untuk reperkolasi, C untuk perkolasi, dan D untuk maserasi. Huruf A merepresentasikan nilai
tertinggi, sebaliknya nilai D merepresentasikan nilai terendah. Uji Duncan turut pula menyatakan bahwa komponen lama waktu ekstraksi antara 12
jam hingga 24 jam tidak berbeda signifikan karena uji. Uji Duncan memberi nilai A pada kelompok selang waktu tersebut. Senada dengan kelompok selang waktu sebelumnya,
kelompok selang waktu ekstraksi antara 10 jam hingga 20 jam tidak pula menunjukkan perbedaan yang nyata dan memberi nilai B bagi kelompok selang waktu tersebut. Berdasarkan
uji Duncan, kelompok selang waktu ekstraksi 6 jam hingga 10 jam juga tidak berbeda nyata antara satu dengan yang lain. Uji Duncan mengelompokkannya dengan huruf Duncan C. Pada
selang tersebut terdapat pengecualian terhadap waktu ekstraksi 4 jam hingga 8 jam dimana selang waktu tersebut memperoleh huruf Duncan D.
Hasil analisis uni Duncan memberi kesimpulan bahwa ekstraksi 4 jam berbeda dengan ekstraksi 10 jam dan ekstraksi 10 jam berbeda dengan ekstraksi 22 jam. Tetapi jika dilihat
berdasarkan nilai tengah keseluruhan data maka akan terlihat bahwa perbedaan antara nilai tertinggi 14.93 dengan nilai terendah 13.90 hanya berselisih satu angka. Oleh karena itu
10.00 11.00
12.00 13.00
14.00 15.00
16.00 17.00
18.00
4 6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
re n
d e
m e
n
waktu menit
Remaserasi maserasi
perkolasi reperkolasi
untuk efisiensi waktu dan tenaga, ekstraksi selama 4 jam sudah cukup untuk diterapkan dalam industri yang membutuhkan ekstraksi sebagai salah satu prosesnya.
4.3. ANALISIS KUANTITATIF KURKUMINOID MENGGUNAKAN HPLC
Kadar kurkumin yang teresktraksi ditentukan dengan membandingkan luas area antara peak kurkumin standar dengan luas area peak kurkumin sampel. Oleh karena itu data luas area peak
kurkumin standar hasil analisis HPLC dirubah terlebih dahulu kedalam bentuk regresi linear, Perhitungan tersebut terdapat pada Lampiran 8. Penentuan senyawa kurkumin pada kromatogram
sampel ditentukan berdasarkan kemiripan waktu retensi antara peak kurkumin standar dengan peak senyawa yang terdapat pada kromatogram sampel. Waktu retensi peak senyawa pada sampel yang
sama dengan waktu retensi peak kurkumin standar atau yang hampir sama dengan waktu retensi peak kurkumin standar, diperkirakan berasal senyawa yang sama yaitu kurkumin. Contoh kromatogram
sampel dan standar kurkumin hasil analisis HPLC seperti terlihat pada Gambar 16. Sedangkan luas area peak kurkumin keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 9 hingga Lampiran 13.
Gambar 16. Kromatogram standar kurkuminoid atas dan sampel bawah Kromatogram hasil hasil HPLC memperlihatkan bahwa standar dan sampel yang dianalisis
memiliki 1 peak, hal ini berarti standar dan sampel memiliki senyawa yang sama. Jika dilihat dari waktu retensinya, standar memiliki waktu retensi 6.010 menit, sedangkan sampel memiliki waktu
kurkumin 20 ppm
Minutes 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 50000
100000 150000
200000 250000
300000 350000
400000
uAU
50000 100000
150000 200000
250000 300000
350000 400000
1 .6
6 8
.1 8
.0 4
.5 8
2 .4
1 .0
5 .0
2 .3
9 .0
5 .3
8 8
.3 7
.0 5
.6 2
.2 9
.0
6 .0
1 1
.2 7
.0 7
.0 5
.1 9
.0
K-2501 Kurkuminoid dan ekstrak Temulawa
Retention Time Width
Width at 50 height
P 20 10.1
Minutes 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 100000
200000 300000
400000 500000
600000
uAU 100000
200000 300000
400000 500000
600000
1 .3
6 3
.7 .0
1 .6
7 7
.2 4
.0 4
.3 6
3 .5
1 .0
4 .7
3 3
.3 .0
5 .1
2 .4
2 .0
5 .5
3 3
.3 4
.0 5
.7 9
3 .3
4 .0
6 .2
5 1
.2 3
.0 7
.4 1
2 .8
8 .0
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time Width
Width at 50 height
standar
sampel
retensi 6.205. Hal ini semakin memperjelas bahwa sampel mengandung senyawa yang sama dengan standar.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa kurkuminoid pada temulawak terdiri dari kurkumin dan desmetoksikurkumin. Desmetoksikurkumin memiliki komposisi yang lebih rendah
dibandingkan kurkumin, tetapi dalam hasil HPLC hanya terbentuk 1 peak. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam sampel hanya terdapat kurkumin, sedangkan desmetosikurkumin
berjumlah sangat sedikit sehingga hanya terbentuk 1 peak. Selain waktu retensi, panjang spektrum sinar UV juga dapat menentukan kemiripan suatu
senyawa. Pada senyawa standar, kurkumin terlihat pada panjang gelombang 428 nm sedangkan pada sampel temulawak yang digunakan juga terlihat senyawa pada panjang gelombang 428 nm, hal berarti
senyawa yang yang terdapat pada sampel juga merupakan senyawa yang sama seperti pada standar yaitu kurkumin. Berdasarkan waktu retensi dan panjang spektrum sinar UV diketahui bahwa sampel
yang digunakan mengandung kurkuminoid. Contoh spektrum sinar UV sampel dan standar kurkumin hasil analisis HPLC seperti terlihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik analisis spektrum sinar UV standar dan sampel Perbandingan kadar kurkuminoid yang diperoleh dari hasil analisis ekstrak berdasarkan metode
dan waktu ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 18. Pada gambar terlihat bahwa kadar kurkumin tertinggi diperoleh dengan metode maserasi selama 12 jam, dimana kadar kurkuminoid tersebut
adalah sebesar 6.7 . Kadar terendah dimiliki oleh maserasi selama 16 jam dengan nilai sebesar 0.6 . Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan maserasi selama 12 jam yang memiliki kadar kurkuminoid
Spektrum UV-Vis Kurkumin
nm 200
220 240
260 280
300 320
340 360
380 400
420 440
460 480
500 0.0
2.5 5.0
7.5 10.0
12.5 15.0
17.5 20.0
22.5
m AU
0.0 2.5
5.0 7.5
10.0 12.5
15.0 17.5
20.0 22.5
428
211 258
Spektrum UV-Vis Sampel Temulawak M12
nm 200
220 240
260 280
300 320
340 360
380 400
420 440
460 480
500 100
200 300
400 500
600 700
800 900
m AU
100 200
300 400
500 600
700 800
900
428 259
314 250
standar
sampel
tertinggi. Perbedaan ini tidak berarti bahwa ekstrak yang diperoleh dari hasil maserasi 16 jam tidak memiliki kurkuminoid. Pada maserasi selama 16 jam terdapat pula kurkuminoid, tetapi kadar
kurkuminoid yang diperoleh berada dibawah kadar kurkuminoid yang digunakan sebagai standar.
Gambar 18. Grafik perbandingan kadar kurkumin Hasil analisis HPLC pada Gambar 18 memperlihatkan bahwa metode maserasi dengan lama
ekstraksi 16 jam memiliki peak yang sama dengan peak senyawa standar. Selain itu peak tertinggi juga terbentuk pada menit ke 6.100. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa maserasi 16 jam
mengandung kurkumin, tetapi dengan nilai yang berada di bawah standar. Pada menit ke 1.362 terdapat peak lain yang cukup tinggi. Hal ini memberikan indikasi adanya
senyawa lain dalam sampel. Senyawa tersebut tidak diketahui dan diduga bukan merupakan senyawa desmetoksikurkumin. Analisis tersebut mengacu pada penelitian Aan 2003 yang menyebutkan
bahwa peak kurkumin dan peak desmetoksikurkumin memiliki waktu retensi yang tidak jauh berbeda serta letak yang berdekatan. Oleh karena itu peak yang terbentuk pada menit awal tersebut diduga
mengandung senyawa pengganggu yang dapat menurunkan kadar kurkumin. Kondisi serupa juga terlihat pada beberapa metode Lampiran 10, dimana hasil HPLC yang memiliki peak pada menit
pertama memiliki kadar kurkumin yang rendah pula.
Gambar 19. Grafik kromatogram maserasi 16 jam -1.00
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00
4 6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
k ad
ar k
u rk
u m
in o
id
waktu jam
maserasi remaserasi
perkolasi reperkolasi
M 16 10.0
Minutes 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 10000
20000 30000
40000 50000
uAU 10000
20000 30000
40000 50000
1 .3
6 2
.6 4
.0
1 .5
8 7
.2 5
.0 4
.2 7
2 .4
6 .0
4 .6
2 2
.3 .0
5 .0
3 3
.5 1
.0 5
.6 4
7 .6
5 .0
6 .1
.8 2
.0 7
.2 1
8 .6
7 .0
K-2501 Ekstrak Temulawak 260810
Retention Time Width
Width at 50 height
Penambahan waktu ekstraksi yang digunakan seharusnya mampu meningkatkan kadar ekstrak kurkumin. Kondisi ini tidak sesuai dengan perolehan hasil yang bersifat fluktuatif sehingga kadar
kurkumin tidak bertambah seiring dengan bertambahnya waktu ekstraksi. Hasil pengolahan data dengan metode Kruskal Wallis juga menyatakan bahwa metode dan waktu tidak memberi pengaruh
signifikan terhadap kadar kurkumin karena p-value lebih besar dari alpha 5, sehingga tidak ada perbedaan terhadap kadar kurkumin. Situasi demikian kemungkinan terjadi akibat adanya degradasi
kurkumin oleh cahaya selama proses ekstraksi berlangsung. Semakin lama waktu ekstraksi yang digunakan, maka kemungkinan terjadinya degradasi pada proses ekstraksi akan semakin besar.
Degradasi kurkumin dengan cahaya terjadi dikarenakan reaksi siklikasi yang mengkasilkan senyawa asam ferulat Tonessen Karlsen, 1985. Oleh karena itu hasil HPLC ekstrak yang
menggunakan metode maserasi 16 jam memiliki kadar yang rendah akibat reaksi siklikasi selama prosesnya. Hal ini didukung dengan munculnya peak baru yang kemungkinan adalah asam ferulat atau
senyawa lain yang masih erat hubungannya dengan senyawa kurkumin.
V. KESIMPULAN DAN SARAN