PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MELAKSANAKAN PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih)

(1)

PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MELAKSANAKAN PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA

(Studi di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih)

Oleh

ANDRA SEPTIAN SUGENG

Kejaksaan merupakan salah satu komponen aparat penegak hukum yang melaksanakan upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika? (2) Apakah faktor-faktor penghambat peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis nonnatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan: Peran jaksa penuntut umum dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dan pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Dan juga harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) serta harus berdasarkan kenyataan secara kongkrit dilapangan yang terjadi secara nyata. (2) Faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah: a) Faktor aparat penegak hukum, yaitu masih kurangnya optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana


(2)

kelengkapan berkas dari pihak kepolisian. b) Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu belum tersedianya program jaringan komputer antar Kejaksaaan Tinggi yang berisi database tindak pidana narkotika c) Faktor Masyarakat, yaitu adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Institusi kejaksaan disarankan untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai lembaga penegak hukum lainnya dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Dengan adanya koordinasi dan kerjasama tersebut maka diharapkan tindak pidana narkotika ini akan dapat diantisipasi dan diminimalisasi di masa yang akan datang. (2) Kejaksaan disarankan untuk meningkatkan profesionalisme kerja secara lebih optimal dalam upaya penggulangan tindak pidana narkotika, baik pada tahap penuntutan maupun pelaksanaan putusan pengadilan. (3) Masyarakat disarankan untuk membantu tugas-tugas kejaksaan di lapangan, khususnya dalam hal memberikan infonnasi apabila terdapat hal-hal yang berpotensi terjadinya tindak pidana narkotika


(3)

(Studi di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih)

Oleh

Andra Septian Sugeng

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(Studi di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih) (Skripsi)

Oleh

ANDRA SEPTIAN SUGENG

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(5)

ABSTRAK

HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN PENGESAHAN PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP PERSEMBAHAN MOTTO

SANWACANA DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 9

E. Sistematika Penulisan... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jaksa Penuntut Umum ... 15

B. Peran Kejakasaan dalam Sistem Peradilan Pidana... 22

C. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana Narkotika ... 25

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

C. Penentuan Narasumber... 32

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 32

E. Analisis Data ... 34

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 35 B. Peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih


(6)

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika... 61 V. PENUTUP

A. Simpulan ... 64 B. Saran... 65


(7)

Penulis dilahirkan di Gunung Madu , pada tanggal pada tanggal 21 September 1988, merupakan anak pertama dari 2 bersaudara pasangan ayahanda Sugeng dan Ibunda Lilis S.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada Taman Kanak-Kanak (TK) Satya Dharma Sujana Lampung Tengah selesai tahun 1994, Sekolah Dasar Negeri 2 Gunung Madu Lampung Tengah selesai pada tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama Satya Dharma Sujana Gunung Madu selesai pada tahun 2003,Sekolah Menengah Akhir Negeri 1 Terbanggi Besar Lampung Tengah diselesaikan pada tahun 2006.

Pada Tahun 2006, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) program pendidikan Strata 1 (S1) dan mengambil bagian Hukum Pidana.


(8)

(9)

(10)

(11)

A. Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan, perdagangan gelap narkotika merupakan permasalahan nasional, regional dan intemasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan narkotika terus terjadi, bahkan di negara-negara maju yang telah memiliki segala kemampuan sarana dan prasarana, berupa teknologi canggih dan sumber daya manusia yang profesional, penyalahgunaan narkotika makin hari makin meningkat sejalan dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi.

Narkotika pada satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesebatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.1

1

Erwin Mappaseng, Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya,Buana Ilmu, Surakarta, 2009, hlm.2.


(12)

Permasalahan narkotika secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi narkotika secara gelap (illkit drug production), adanya perdagangan gelap narkotika (illkit traffkking) dan adanya penyalahgunaan narkotika (drug abuse). Ketiga hal itulah sesungguhnya menjadi target sasaran yang ingin diperangi oleh masyarakat intemasional dengan Gerakan Anti Madat Sedunia.2

Kecenderungan kejahatan atau penya]ahgunaan narkotika mengalami peningkatan karena pengaruh kemajuan teknologi, globalisasi dan derasnya arus infonnasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonoiniyang memburuk seperti sekarang ini, diprediksikan akan mendorong perdagangan gelap narkotika akan semakin marak.

Menurut Dharana Lastarya3 kondisi penyalahgunaan narkotika tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, LSM dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik guna mengatasi permasalahan narkotika ini sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemberantasan perdagangan gelap narkotika merupakan masalah nasional, karena berdampak negatif yang dapat merusak serta mengancam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara serta dapat mengbambat proses pembangunan nasional. Maraknya penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja,

2

ibidhlm.2. 3


(13)

tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi bawah sampai tingkat sosial ekonoimi atas.

Pasal I angka (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Selanjutnya disingkat IJU Narkotika) yang dimaksud dengan penyalahguna narkotika adalah setiap aktivitas menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Selanjutnya Pasal 35 UU Narkotika, menyatakan bahwa peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penanggulangan perdagangan gelap narkotika harus dilaksanakan secara menyeluruh (holistik) untuk mencapai hasil yang dibarapkan., agar penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat diperlukan adanya peningkatan kualitas aparat penegak hukum dalam mengungkapkan kasus penyalahgunaan narkotika.4

Penyalahgunaan narkotika ini memiliki kesamaan dengan penyakit masyarakat lainnya, seperti perjudian, pelacuran, pencurian dan pembunuhan yang sulit diberantas atàu bahkan dikatakan tidak bisa dihapuskan sama sekali dari muka bumi, maka apa yang dapat dilakukan secara realistik hanyalah bagaimana cara menekan dan mengendalikan sampai seminimal mungkin angka penyalahgunaan

4


(14)

narkotika serta bagaimana kita melakukan upaya untuk mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh penyalahgunaan narkotika ini.

Perangkat pelaksana penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Indonesia menurut Dharana Lastarya pada dasamya telah dikoordinasikan oleh Bakolak Inpres 6/1971 sebagai focal point.Seiring dengan masa refonnasi maka dibentuk lembaga yang berada langsung di bawah Presiden dan dipimpin oleh Kapoiri yang bemama Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) ini mulai bekerja sejak Tahun 2000.5

Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) memiliki fungsi koordinatif, dari susunan komposisi personelnya terlihat dengan jelas bahwa badan ini bersifat lintas sektoral. Walaupun tidak memiliki wewenang yang luas seperti penangkapan, penyitaan dan penuntutan yang dilakukan DEA (Drug Enforcement Admmistration)dan badan badan sejenis di beberapa negara ASEAN lain, namun BKNN dapat bertindak sebagai lokomotif pemberantasan narkotika di Indonesia. Setelah berjalan kurang lebih 2 tahun, BKNN masih dirasakan kurang representatif dan kurang melaksanakan kmerja secara maksimal, maka Presiden merubah keputusannya yang dituangkan dalam Keppres RI Nomor 17 Tahun 2002, Tanggal 22 Maret 2002 menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN)6

Salah satu komponen aparat penegak hukum yang melaksanakan upaya penanggulangan tindak pidana narkotika adalah Kejaksaan. Dasar hukum mengenai keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (Undang-Undang

5

Dharana Lastarya,Op. Cit,hlm.17. 6


(15)

Kejaksaan). Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.7

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain.

Hal ini sesuai dengan tugas dan wewenang jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan:

1) Dalam bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

7

Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dan Perspektif Hukum.


(16)

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2) Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Sesuai dengan ketentuan di atas maka dapat diketahui bahwa salah satu tugas dan wewenang Jaksa dalam bidang pidana adalah melakukan penuntutan. Peran Jaksa Penuntut Umum dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika ini memiliki dasar hukum yaitu Pasal 1 butir I IJU Kejaksaan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih melaksanakan peran penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, di antaranya dalam Surat Tuntutan No. Reg. Perkara: PDM-115/GNSG/2014 terhadap terdakwa Endriono yang dituntut pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan penjara karena melanggar Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan uraian di atas penulis melakukan penelitian dalam Skripsi yang berjudul: “Peran Jaksa Penuntut Umum dalam Melaksanakan Penuntutan


(17)

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika” (Studi di Kejaksaan Negeri

Gunung Sugih)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan: a. Bagaimanakah peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung

Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika?

b. Apakah faktor-faktor penghambat peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup subjek penelitian adalah hukum pidana, dengan objek kajian mengenai peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika serta dampak peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika. Ruang Iingkup lokasi penelitian adalah di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dengan waktu penelitian Tahun 2015.


(18)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui peran Jaksa Penuntut Umuin di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian inidiharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan peran Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih dalam melaksanakan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika.


(19)

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Peran

Peran adalah aspek dinamis kedudukan (status), yang memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

1) Peran meliputi nonna-nonna yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.

2) Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.

3) Peran juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.8

Secara umum peran adalah suatu keadaan di mana seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya dalam suatu sistem atau organisasi. Selanjutnya peran terbagi menjadi:

1) Peran nonnatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat nonna yang berlaku dalam kehidupan masyarakat

8


(20)

2) Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem.

3) Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata.9

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara nonnatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dan keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dan penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

9 Ibid.


(21)

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peran semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dan masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak

hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. 5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dan berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudah menegakannya.10

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian11. Berdasarkan defmisi tersebut, maka batasan

10

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Nneka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.8-10

11


(22)

pengertian dan istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Peran adalah aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran.12

b. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan).

c. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan).

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran nonna atau gangguan terhadap tertib hukum,, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang peiaku.13 e. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

undang-12

Soerjono Soekanto.Op Cit.2002. hlm.243 13

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertangungjawaban Dalam Hukum Pidana Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46.


(23)

undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.14

f. Narkotika menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

g. Pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan semua jenis narkotika atau prekursor narkotika dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan atau mendapatkan halusinasi ketenangan dalam penggunaan tersebut.15

h. Penyalahguna narkotika menurut Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

i. Pecandu narkotika menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi disusun dalam lima bab yang saling berhubungan antara satu bab dengan bab lainnya, yaitu sebagai berikut:

14

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25

15


(24)

I PENDAHULUAN

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dan berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian dan jenis tindak pidana, tindak pidana narkotika dan kejaksaan.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, yaitu peran jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika dan faktor-faktor yang menghambat peran jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(25)

A. Tinjauan Umum Jaksa Penuntut Umum

1. Pengertian Kejaksaan

Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.16

Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara,

16

Marwan Effendy,Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum.


(26)

Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambrenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

2. Tugas Pokok Kejaksaan

Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut.17

17


(27)

Sehubungan dengan itu, maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan tiga kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan antara tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa undang-undang, dalam hal ini diambil contohnya dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, yaitu:

(1) Dalam bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan

b. Melaksanakan penetapan hakum dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat,

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Satu hal yang hanya diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindakan pidana tertentu berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d ini bahwa kewenangan dalam


(28)

ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagiana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

junto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pasal 33 menyatakan bahwa Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Pasal 34 menyatakan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

3. Kedudukan dan Fungsi Kejaksaan

Kejaksaan merupakan bagian dan lembaga pemerintah dengan melaksanakan tugas kekuasaan negara di bidang penuntutan dan merupakan instansi vertikal dari Kejaksaan Tinggi Lampung dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Kedudukan Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan


(29)

kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum, pada saat ini semakin dituntut kapabilitasnya dalam mewujucikan supremasi hukum, termasuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Jaksa adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa setiap warga negara bersama kedudukan di depan hukum.

Kejaksaan dalam hal ini menjadi salah satu bagian penting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI no: INS-002/A/JAJI/201 0 tentang Perencanaan Stratejik dan Rencana Kmerja Kejaksaan Ri Tahun 2010-2015, Fungsi Kejaksaan adalah sebagai berikut:

(1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;

(2) Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan manajemen, admmistrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik negara menjadi tanggung jawabnya;


(30)

(3) Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan di bidang pidana.

(4) Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang interjen yustisial, dibidang ketertiban dan ketentraman umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegaakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;

(5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;

(6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan peraturan perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

(7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Kejaksaan merupakan komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan hukum dan langsung di bawah presiden. Tugas dan fungsi Kejaksaan Tinggi dilaksanakan oleh pejabat yang ada di lingkungan Kejaksaan Tinggi dan telah ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung yang mengatur tiap-tiap pejabat yang


(31)

ada di KejaksaanTinggi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum dan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, beberapa penyempumaan terhadap institusi Kejaksaan adalah sebagai berikut:

(1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut di-laksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, kejaksaan dalam melak-sanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dan pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.

(2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi kejaksaan, di-tentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua) tahun.

(3) Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan,misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang


(32)

Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

negara di bidang penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.

B. Peran Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.18

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana

18

Mardjono Reksodiputro,Sistem Peradilan Pidana Indonesia Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batos Toleransi.Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994. him. 12-13


(33)

materil, hukum pidana fonnil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial.

Sifatnya yang terlalu fonnal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justke, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam penegakan hukum.19

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut model kemudi (stuur model). Jadi ka]au polisi misalnya hanya memarahi orang yang melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenamya merupakan suatu keputusan penetapan hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut seseorang di muka pengadilan. ini semua adalah bagian-bagian dari kegiatan dalam rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime

19


(34)

control suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.20

Selanjutnya tampak pula, bahwa sistem peradilan pidana melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana fonnil maupun hukum pelaksanaan pidana, dalam bentuk yang bersifat prefentif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar subsistem peradilan pidana yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu due process of law yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dan proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu negara pada seorang tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law in ilebih luas dari sekedar penerapan hukum atau perundang-uridangan secara fonnil.21

Pernahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin penghonnatan terhadap hak-hak warga masyarakat meski ia menjadi pelaku kejahatan, namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan hakh aknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum

20

Sudarto.Kapita Selekta Hukum Pidana.Alumi.Bandung. 1986. hlm. 7 21

Muladi. Hak Asasi Manusia Politik dan Sistem Peradilan Pidana Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 1997. hlm. 62.


(35)

dalam setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak.

Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghonnati hak-hak warga masyarakat. Kebangkitan hukum nasional mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.

C. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana Narkotika

Menurut Pasal I Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalaru tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan


(36)

gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi).22

Narkotika adalah bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif yaitu zat yang bekezja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.23

Beberapa jenis narkotika yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut: a. Narkotika Golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta meinpunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, (Contoh:heroin/putauw, kokain, ganja)

b. Narkotika Golongan II

Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh: morfin. petidin).

c. Narkotika Golongan III

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Contoh:kodein)24

Berdasarkan pasal Undang-Undang Narkotika diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok

22

Dharana Lastarya.Op. Cit.hlm.15. 23

Erwin Mappaseng.Op. Cit.hlm.2. 24 Ibid.


(37)

sekaligus,misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilibat dan segi masyarakat menunjukan pandangan nonnatifmengenai kesalahan yang telah dilakukannya.25

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa pemberlakuan Undang-Undang Narkotika bertujuan:

a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika

c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum melawan, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) beratnya melebihi I (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

25

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 14.


(38)

Pasal 112 Undang-Undang Nomor35Tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapaniniliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidanan denda maksimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 113 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (Lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp l .000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi I (satu) kilogram atau melebihi 5

(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5

(lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana peajara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Selanjutnya dalam ketentuan pidana Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa:

(1) Setiap Penyalahguna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama I (satu) tahun.

(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.


(39)

(3) Dalam hal Penyalahguna sebagaimana dimaksud Ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Selain itu terhadap penyalahguna narkotika (bukan pengedar), Undang-Undang Narkotika mengamanatkan untuk dilaksanakan rehabilitasi, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial sebagai bentuk treatment terhadap pengguna tersebut.

Pada perkembangannya di Indonesia telah beredar narkotika jenis baru, di antaranya tiga jenis tersebut adalah 25B-NBOMe, 25C-NBOMe, dan 251-NBOMe. Ketiganya turunan dan phenethylamme yang bersifat menimbulkan halusinasi. Obat misangat keras, karena pada kadar 250-500 pikogram telah membangkitkan efek halusinasi sekitar 12-16 jam. Satu pikogram setara dengan 1/1 trilyun gram. Ketigajenis obat itu benar-benar baru. Pemerintah Swedia baru melarang narkotika itu pada 1 Agustus 2013. Menyusul Amerika yang melarang pada 15 November 2013, atau Jumat dua pekan lalu. Narkoba baru itu didapat ketika Direktorat Tindak Pidana Narotika Bareskrim Poiri menggerebek satu rumah di Perumahan Mahkota Mas, Cikokol, Tangerang. Hasil pengujian di laboratorium menunjukkan bahwa barang bukti berbentuk kertas mengandung 25B-NBOMe. Tim BNNmemastikan narkotika tersebut merupakanjenis baru.26

26


(40)

BNN juga menemukan narkoba jenis baru setelah mendapat laporan masyarakat yang keluarganya pingsan akibat mengemut lembaran kertas berukuran 1 x 1 sentimeter. Di tempat kejadian perkara tim BNN menemukan lembaran 20 x 20 sentimeter yang jika diedarkan diiris menjadi 400 potongan. Pemeriksaan di laboratonium kertas itu mengandung senyawa 251-NBOMe.

Bekerja sama dengan bea dan cukai, BNN juga berhasil mengungkap upaya penyelundupan narkoba baru lainnya, 25C-NBOMe. Narkotika kertas itu seolah menyerupai LSD --lysergk acid diethylamid, yang lazim dibaca baca “elsid” atau smile. Padabal, kandungan zat narkotikanya berbeda. Elsid yang telah lama beredar mengandung zat lysergide dan bersifat menimbulkan halusinasi. Penggunaannya populer pada 1960 hingga 1980-an, dan sekarang sudah tidak umum. Sedangkan pengonsumsi ketiga zat baru, secara kasat mata akan bertingkah berbeda dari orang nonnal. Melihat seorang nenek misalnya, seolah-olah melihat wanita muda, kucing disangka harimau. Pengaruh yang lain, terjadi disorientasi pada ruang dan waktu, sehingga sulit membedakan malam ataupun siang, berada di dalam atau di luar ruangan. Dan secara langsung juga berperilaku emosional yang meledak mendadak, dan tidak lagi berpikir nonnal.27

27


(41)

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis nonnatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis nonnatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pernahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus.28

B. Sumber dan Jenis Data

Data merupakan sekumpulan infonnasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Data terdiri dari data langsung yang diperoleh dari lapangan dan data tidak langsung yang diperoleh dari studi pustaka. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder.29

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitianini, yang terdim dan bahan hukum primer dan sekunder sebagai berikut:

28

Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum.Nneka Cipta. Jakarta. 1983. hlm. 14 29 Ibid.


(42)

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini bersumber dari:

a. Undang-Undang Nomor I Tahun 1946 J0. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b. Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

d. Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

2. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer, di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pernahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, seperti literatur hukum, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.


(43)

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber yang berfungsi sebagai pemberi infonnasi dan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih = 2 orang 2. Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian tethadap ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:


(44)

a. Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti. b. Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian.


(45)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Peran jaksa penuntut umum dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dan pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Dan juga harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) serta harus berdasarkan kenyataan secara kongkrit dilapangan yang terjadi secara nyata.

2. Faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah:

a. Faktor aparat penegak hukum, yaitu masih kurangnya optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana narkotika dari pihak kepolisian yang belum lengkap sehingga harus menunggu kelengkapan berkas dari pihak kepolisian.


(46)

b. Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu belum tersedianya program jaringan komputer antar Kejaksaaan Tinggi yang berisi database tindak pidana narkotika

c. Faktor Masyarakat, yaitu adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Institusi kejaksaan disarankan untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai lembaga penegak hukum lainnya dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Dengan adanya koordinasi dan kerjasama tersebut maka diharapkan tindak pidana narkotika iniakan dapat diantisipasi dan diminimalisasi di masa yang akan datang.

2. Kejaksaan disarankan untuk meningkatkan profesionalisme kerja secara lebih optimal dalam upaya penggulangan tindak pidana narkotika, baik pada tahap penuntutan maupun pelaksanaan putusan pengadilan.

3. Masyarakat disarankan untuk membantu tugas-tugas kejaksaan di lapangan, khususnya dalam hal memberikan informasi apabila terdapat hal-hal yang berpotensi terjadinya tindak pidana narkotika.


(47)

A. BUKU

Boediono.Ekonomi Moneter.BPFE. Yogyakarta. 1990.

Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001.

………..Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.Ghalia Indonesia. Jakarta.

2001.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996.

………..Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Pusat Pelayanan Keadilan dan

Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1996.

Marpaung, Leden.Proses Penanganan Perkara Pidana.Sinar Grafika. Jakarta. 1992. Moeljatno.Asas-Asas Hukum Pidana.Rineka Cipta. Jakarta. 1993.

---Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

Nawawi Arief, Barda. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.

………..Kebijakan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001 ………..Sistem Peradilan Pidana.PT. Citra Aditya Bakti.Bandung. 2001

Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum UT. Jakarta. 1994.

……….Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan


(48)

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor I Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(1)

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber yang berfungsi sebagai pemberi infonnasi dan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih = 2 orang 2. Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka (library research). Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan melakukan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian tethadap ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan dan dilakukan pula studi dokumentasi untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:


(2)

34

a. Seleksi Data

Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti. b. Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian.


(3)

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Peran jaksa penuntut umum dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dan pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Dan juga harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) serta harus berdasarkan kenyataan secara kongkrit dilapangan yang terjadi secara nyata.

2. Faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika adalah:

a. Faktor aparat penegak hukum, yaitu masih kurangnya optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana narkotika dari pihak kepolisian yang belum lengkap sehingga harus menunggu kelengkapan berkas dari pihak kepolisian.


(4)

65

b. Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu belum tersedianya program jaringan komputer antar Kejaksaaan Tinggi yang berisi database tindak pidana narkotika

c. Faktor Masyarakat, yaitu adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Institusi kejaksaan disarankan untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai lembaga penegak hukum lainnya dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Dengan adanya koordinasi dan kerjasama tersebut maka diharapkan tindak pidana narkotika iniakan dapat diantisipasi dan diminimalisasi di masa yang akan datang.

2. Kejaksaan disarankan untuk meningkatkan profesionalisme kerja secara lebih optimal dalam upaya penggulangan tindak pidana narkotika, baik pada tahap penuntutan maupun pelaksanaan putusan pengadilan.

3. Masyarakat disarankan untuk membantu tugas-tugas kejaksaan di lapangan, khususnya dalam hal memberikan informasi apabila terdapat hal-hal yang berpotensi terjadinya tindak pidana narkotika.


(5)

A. BUKU

Boediono.Ekonomi Moneter.BPFE. Yogyakarta. 1990.

Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001.

………..Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung. 1996.

………..Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1996.

Marpaung, Leden.Proses Penanganan Perkara Pidana.Sinar Grafika. Jakarta. 1992. Moeljatno.Asas-Asas Hukum Pidana.Rineka Cipta. Jakarta. 1993.

---Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

Nawawi Arief, Barda. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.

………..Kebijakan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001 ………..Sistem Peradilan Pidana.PT. Citra Aditya Bakti.Bandung. 2001

Reksodiputro, Mardjono. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum UT. Jakarta. 1994.

……….Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. 1994.


(6)

Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum.Universitas Indonesia Press. Jakarta. 1983.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor I Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


Dokumen yang terkait

PERANAN JAKSA PENUNTUT UMUM KPK DALAM PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

1 15 88

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN KOMISI KEJAKSAAN TERHADAP KINERJA JAKSA SEBAGAI PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 3 13

PENDAHULUAN PERAN KOMISI KEJAKSAAN TERHADAP KINERJA JAKSA SEBAGAI PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI.

0 3 17

NASKAH PUBLIKASI Peran Jaksa Penuntut Umum Dalam Menangani Tindak Pidana Korupsi Sebagai Tindak Pidana Khusus (Study Kasus di Kejaksaan Negeri Wonosobo).

0 1 17

SKRIPSI Peran Jaksa Penuntut Umum Dalam Menangani Tindak Pidana Korupsi Sebagai Tindak Pidana Khusus (Study Kasus di Kejaksaan Negeri Wonosobo).

0 2 14

PENDAHULUAN Peran Jaksa Penuntut Umum Dalam Menangani Tindak Pidana Korupsi Sebagai Tindak Pidana Khusus (Study Kasus di Kejaksaan Negeri Wonosobo).

0 3 17

PERAN KEJAKSAAN DALAM TAHAP PENUNTUTAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA Peran Kejaksaan Dalam Tahap Penuntutan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Boyolali dan Kejaksaan Negeri Surakarta).

0 2 19

PROSES PENUNTUTAN PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Pekanbaru ).

0 0 10

TUNTUTAN PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM KEJAKSAAN NEGERI BUKITTINGGI.

0 1 6

PERAN JAKSA DALAM PENANGANAN PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Kasus Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Yang Ditangani Oleh Kejaksaan Negeri Kota Semarang) - Unissula Repository

1 37 29