e Tingkatan kelima: mengingkari kemungkaran dengan menggunakan pedang
senjata Tingkatan ini merupakan akhir dari tingkatan amar ma‟ruf nahi munkar.
Tidak boleh bersandar padanya kecuali setelah mencurahkan segala kemampuan dan kesanggupan dengan tingkatan-tingkatan terdahulu dalam
mengubah kemungkaran. Jika tingkatan-tingkatan sebelumnya tidak lagi bermanfaat, maka tingkatan ini dijadikan acuan arena kondisi terpaksa.
31
E. Syarat-syarat Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1. Syari’at adalah pokok dalam menetapkan amar ma’ruf nahi munkar
Sesungguhnya yang menjadi tolak ukur dalam menentukan sesuatu dapat dikatakan ma‟ruf atau munkar adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW
dan apa yang menjadi kesepakatan Salafus Shalih dan bukan yang dianggap baik oleh manusia dari perkara-
perkara yang menyelisihi syari‟at.
32
2. Memiliki ilmu dan bashirah tentang hakikat amar ma’ruf nahi munkar
Perbuatan amar ma‟ruf nahi munkar tidak dapat dikatakan baik apabila tidak didasari dengan ilmu dan pemahaman yang benar, sebagaimana yang
dikatakan Umar bin Abdul Aziz bahwa orang yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya lebih besar daripada maslahatnya. Ilmu adalah
imamnya amal dan amal mengikuti ilmu. Ini sangat jelas, karena niat dan perbuatan tanpa ilmu adalah kebodohan, kesesatan, mengikuti hawa nafsu dan
inilah perbedaan antara orang-orang Jahiliyah dan kaum Muslim. Dengan
31
Jawas, Amar Ma’ruf, 201.
32
Ibid.,207.
demikian, wajib mengetahui perbuatan ma‟ruf dan perbuatan munkar serta mampu membedakan keduanya sebagaimana diharuskan pula mengetahui
keadaan orang yang disuruh dan orang yang dilarang.
33
3. Mendahulukan yang paling penting sebelum yang penting
Sesungguhnya memulai dengan perkara yang paling penting kemudian yang penting merupakan kaidah yang harus ada dalam melaksanakan
kewaj iban amar ma‟ruf nahi munkar, yaitu hendaklah pelaku amar ma‟ruf nahi
munkar memulai dengan memperbaiki ushul pokok-pokok akidah. Maka pertama kali ia menyuruh untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah
SWT semata dan melarang dari perbuatan syirik, b i‟ah dan khurafat, kemudian
ia menyuruh untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, kemudian menyuruh untuk melakukan kewajiban lainnya dan meninggalkan perbuatan
haram, kemudian menyuruh untuk melaksanakan sunnah-sunnah dan meninggalkan perkara-perkara yang dimakruhkan.
34
4. Memikirkan dan menimbang antara maslahat dan mafsadat
Di antara hal yang sangat perlu diperhatikan dalam melakukan amar ma‟ruf nahi munkar ialah melihat dan menimbang antara maslahat kebaikan
dan mafsadat kerusakan karena syari‟at ditegakkan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan mafsadat. Kaidah ini dapat diperinci sebagai
berikut: a
Pertama, jika kemaslahatan lebih besar daripada mafsadatnya maka
disyari‟atkan melakukan amar ma‟ruf nahi munkar.
33
Jawas, Amar Ma’ruf, 208.
34
Ibid., 211.
b Kedua, jika mafsadat lebih besar dariada maslahatnya maka diharamkan
melakukan amar ma‟ruf nahi munkar.
c Ketiga, jika mafsadat dan maslahat tampak seimbang, maka amar ma‟ruf
nahi munkar tidak disyari‟atkan.
d Keempat, jika menimbulkan mafsadat yang lebih banyak ketika pelaksanaan
amar ma‟ruf nahi munkar.
35
5. Tathabbut mencari kepastian dan kebenaran dalam setiap perkara dan
tidak tergesa-gesa mengambil keputusan.
Ini merupakan sifat yang harus dimiliki orang yang melakukan amar ma‟ruf nahi munkar. Allah SWT telah memerintahkan kaum mukmin agar ber-
tabayyun mencari kejelasan dan bersikap hati-hati sebelum melakukan pengingkaran. Menghukumi sesuatu sebagai kemungkaran dengan tathabbut
meneliti kebenarannya dan tidak menghukuminya dengan dugaan semata adalah manhaj yang lurus yang sudah seharusnya diperhatikan oleh pelaku
amar ma‟ruf nahi munkar sehingga ia selamat dalam agama dan dirinya serta hubungannya dengan orang lain.
36
35
Jawas, Amar Ma’ruf, 214-223.
36
Ibid., 226-227.
33
BAB III
BIOGRAFI MUFASIR DAN PENAFSIRAN SURAT ALI
‘IMRAN AYAT 104, 110 DAN 114
A. Biografi Mufasir
1. Biografi Bisri Mustofa
a Biografi dan riwayat pendidikan
Nama Bisri Mustofa tidak bisa dilupakan oleh generasi enam puluhan. Bisri Mustofa, orang mengenalnya dengan sebutan Mbah Bisri
Rembang, bukan Mbah Bisri Syansuri Jombang atau pendiri NU. Serpihan-serpihan cerita yang masih lekat mengatakan bahwa Bisri
Mustofa terkenal sebagai singa podium. Pada pemilu tahun 1977, kedahsyatan orasinya dapat menguras air mata massa dan sekejap
kemudian membuka mulut mereka untuk terpingkal-pingkal bersama di depan panggung tempat ia menyampaikan pidato kampanye.
1
Bisri Mustofa lahir pada tahun 1915 M di Kampung Sawahan Gg. Palen Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah anak dari pasangan H. Zainal
Mustofa dan Chodijah. Mashadi adalah nama asli Bisri Mustofa yang kemudian diganti menjadi Bisri setelah menunaikan haji. Bisri Mustofa
1
Maslukhin, “Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa”, Mutawatir, Vol. 5 No. 1 Juni: 2015, 76.
adalah anak pertama dari empat bersaudara.
2
Sejak kecil ia sudah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan dari orang tuanya, ia
memperoleh dasar-dasar pendidikan agama Islam.
3
Pada tahun 1923 M, Bisri Mustofa diajak oleh ayahnya untuk menunaikan ibadah haji bersama keluarga. Dalam ibadah haji tersebut,
ayahnya sakit keras dan akhirnya meninggal di Jeddah dalam usia 63 tahun. Peristiwa ini membuat kehidupan Bisri Mustofa berbeda jauh dari
sebelumnya. Setelah ayahnya wafat, Zuhdi, kakak Bisri Mustofa menjadi kepala keluarga. Dan oleh Zuhdi, Bisri Mustofa didaftarkan di sekolah HIS
Hollands Inlands School di Rembang. Tetapi oleh KH. Cholil, Bisri dipaksa keluar dari sekolah tersebut dengan alasan sekolah tersebut adalah
sekolah milik Belanda.
4
KH. Cholil khawatir jika Bisri nantinya akan memiliki watak seperti penjajah Belanda. Akhirnya Bisri dipindahkan ke
sekolah Angka Loro dan menyelesaikan sekolahnya di sini selama 3 tahun hingga mendapatkan sertifikat.
5
Setelah lulus dari Angka Loro pada tahun 1926 M, Bisri Mustofa dipindahkan ke pesentren yang diasuh oleh KH. Cholil di Kasingan. Minat
belajar Bisri Mustofa saat itu tergolong rendah. Bahkan Bisri Mustofa dikenal sebagai sosok yang malas belajar dan mengaji di pesantren. Ia
lebih menyukai bekerja untuk mencari uang daripada belajar. Setelah tidak
2
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011, 8.
3
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir al- Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer
Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013, 168.
4
Huda, Mutiara Pesantren, 11.
5
Ibid., 12.