Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir Al-Manar
DALAM TAFSIR AL-MANÂR
Disertasi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam
Oleh
Syukriadi Sambas
NIM: 97.3.00.1.09.03.0241
Promotor:
1. Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf
2. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Disertai segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji syukur ke hadhirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan disertasi yang berjudul PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD
ABDUH DALAM TAFSIR AL-MANÂR, sebagai tugas akhir untuk menempuh ujian-ujian dalam menyelesaikan Program Pendidikan Doktor (S-3) pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Masalah pokok yang dijawab dalam disertasi ini adalah pertanyaan: apa sajakah substansi hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur-unsur dakwah sebagai
proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u, bentuk dakwah dan pola
kaderisasi profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah dalam Tafsir Almanar.
Penulis menyadari sepenuhnya, tentunya hasil penelitian ini memiliki banyak kekurangan dalam berbagai hal, terutama dalam penelaahan teori-teori yang digunakan. Namun atas motivasi, ketekunan dan kearifan bimbingan yang diberikan oleh pembimbing serta staf pengajar pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi- tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA. selaku promotor, yang di tengah-tengah kesibukan sehari-hari masih menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan petunjuk yang sangat berharga selama penulisan disertasi ini dengan penuh kesabaran dan kearifan. Begitu juga Bapak-bapak dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan petunjuk dan masukan bidang pemikiran Islam yang sangat berguna bagi penulisan disertasi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pasacasarjana UIN Syarif Hidayatullah, yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk
(7)
Jabali Deputi Direktur Bidang Akademik dan Kerjasama, Dr. H. Ujang Thalib, MA Deputi Direktur Bidang Administrasi dan Kemahasiswaan, dan Bapak Prof. Dr. Suwito, MA Deputi Direktur Bidang Pengembangan Kelembagaan, seluruh staf pengajar, seluruh staf perpustakaan, dan seluruh staf tata usaha Program Pascasarjana UIN Syahid yang telah memberikan bantuan dan segala fasilitas kepada penulis, sehingga memperlancar penyelesaian studi bagi penulis.
3. Bapak Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si, pendahulu Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, MS. rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan Drs. H. Ahmad Subandi, dekan Fakultas Dakwah IAIN SGD (saat itu tahun 1997M) dan Prof. Dr. Asep Muhyidin, MA, dekan Fakultas Dakwah UIN SGD sekarang, yang telah memberikan izin dan tugas belajar kepada
penulis disertai pemberian dorongan moral dari awal mengikuti
pendidikan sampai dengan penyelesaian tugas akhir ini.
4. Para Penguji, Bapak Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf, Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, Prof. Dr. Sutjipto, Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA yang telah berkenan membahas, mengoreksi, dan memberikan saran-saran yang diperlukan untuk perbaikan disertasi ini. 5. Kepada ayahanda H. Abdullah (wafat 2007 dalam usia 91 tahun) dan
ibunda Hj. Zainab tercinta yang telah mengasuh, membesarkan dan mendidik penulis, dan yang terus menerus memberikan dorongan lahir dan batin serta sepanjang saat tetap mendo'akan penulis yang tidak dapat penulis balas. Penulis hanya dapat mempersembahkan terima kasih atas
jerih payah keduanya, dan semoga Allah memberikan maghfirah, rahmat,
dan hidayah-Nya kepada keduanya sepanjang masa di dunia dan di akhirat nanti.
6. Bapak H. Dada Rosyada, SH, M.Si., dan Drs. H. Tjetje Subrata, M.Si., yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril dan materil dalam penyelesaian akhir penyusunan disertasi dan ujian promosi. Semoga Allah
(8)
barokah dan selamat duniawi dan ukhrawi.
7. Sdr. Drs. Dindin Solahudin, MA. yang telah membantu teknis pengetikan penyelesaian disertasi ini dengan penuh kesabaran. Begitu pula Sdr. Dr. Busyrol Karim, Prof. Dr. H. T. Fuad Wahab, dan Prof. Dr. H. Mohammad Hatta sahabat seperjuangan peserta Program S-3 Bebas Terkendali angkatan 1997M yang telah memberikan semangat dan berdiskusi dalam menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
8. Akhirnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Hj. M. Mintarsih dan anak-anak tersayang Indira Sabet Rahmawaty S.IP, M.Ag, Alex Muhammad Musthafa S. Sos.I, Mela Mustika Amalia S.Pd.I, Arif Syamsul Alam, Ade Rahmat Sani'a Mandala, dan Ida Nur'arafah, yang dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan kasih sayang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
Dengan iringan do'a dan harap kepada Allah SWT, kiranya atas budi baik, bantuan, dan bimbingan yang telah penulis terima dari berbagai pihak dapatlah menjadi amal saleh bagi mereka dan mendapat ridha serta balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Bandung, 29 Mei 2009 Penulis,
Syukriadi Sambas
(9)
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, pemikiran dakwah Muhammad
Abduh dalam tafsir al-Manâr secara epistemologis bercorak rasional. Dakwah
yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah Rasul Allah adalah perilaku rasional (perpaduan antara ‘aql dan qalb) berupa proses internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam, sebagai upaya memeperbaiki dan mengatasi
problem psikologis dan sosiologis mad’u melalui implementasi al-Islâm dalam
melakukan hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan Allah, dan hubungan dengan sesama manusia untuk memperoleh kehidupan yang selamat- sejahtera lahir-batin di dunia dan di akhirat. Temuan ini memperkuat temuan
Ahmad Fuad al-Ahwâni (al-Madâris al-Falâsifah, 1965) bahwa, Muhammad
Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang autentik menurut sumber
utamanya, yaitu al-Qur’ân dan Sunnah Rasul Allah, berupa ishlâh (perbaikan,
reformasi) kehidupan beragama, akhlak, pemikiran, akal dan naluri kesucian. Penelitian yang sama dengan Ahmad Fuad al-Ahwâni, adalah penelitian A.
Mukti Ali (Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, 1995) antara lain
menurutnya bahwa, pemikiran dalam penafsiran al-Qur’ân, Abduh memadukan
antara rasional (sentuhan akal), dengan emosional (sentuhan qalb) dalam
kerangka dakwah.
Temuan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelum dan sesudah
Muhammad Abduh, yaitu adanya dua martabat level dakwah, yaitu: pertama,
tablîgh futûhât (difusi Islam kepada non muslim) dan martabat kedua menjadi dua
jalur: (1) al-da’wah al-‘âmmah al-kulliyyah dengan tiga macam bentuk: (a)
tablîgh ta’lîm; (b) irsyâd; dan (c) tathbîq hukum, dan (2) al-da’wah al-juziyyah al- khâshshah dengan tiga macam bentuk (a) nafsiyah; (b) fardiyah; dan (c) tadbîr- tamkin ummah. Menurut fungsinya, level dan bentuk dakwah ini sebagai proses
ishlâh dan tajdîd kehidupan umat. Hal ini merupakan kontribusi aspek ontologis kajian ilmu dakwah. Aspek ontologis dakwah mengenai transformasi Islam dalam bentuk amar ma’ruf nahy munkar terdapat persamaan dengan para pemikir sebelum dan sesudah Muhammad Abduh, seperti Ibn Taymiyah dan Abdul Karim
Zaidan, yang menyebutkannya sebagai al-hisbah dan al-ihtisâb.
Temuan penelitian ini membantah pemikiran internal umat Islam yang secara ontologis memandang dakwah secara sempit dan bukan objek kajian disiplin ilmu dalam Islam. Bantahan ini didukung oleh al-Bayanuni (2001), dan membantah pemikiran eksternal dari para orientalis non muslim yang menuduh bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan cara paksaan, peperangan, dan penjajahan. Tuduhan ini bertentangan dengan prinsip metodologis dakwah sebagai perilaku rasional berdasarkan al-Quran dan Sunah Rasul Allah.
Tipe penelitian ini merupakan kajian kepustakaan dengan menggunakan metode analisis isi dengan kategori substansi, yaitu menganalisis apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh mengenai pemikiran dakwah dan pola
kaderiasi dâ’i profesional dalam teks tafsir Almanar, yang disistemisasikan dalam
prinsip-prinsip struktur dakwah dari sumber data primer, yaitu Tafsir Almanar dan
(10)
pemikiran Abduh mengenai pemikiran dakwah dan pola kaderisasi dâ’i
profesional. Kemudian dianalisis dengan menggunakan logika deduktif, pemikiran dakwah, dan teori komunikasi. Sedangkan pemeriksaan keabsahan data menggunakan konfirmasi referensi dan konsistensi pemikiran logis.
(11)
The finding in this research indicates that Muhamad Abduh’s thought of the
mission in the interpretation of al-Manâr epistemologically is a kind of rational
thought. The mission that is based on al Qur’an and the Prophet of Allah’s Traditions is a rational manner (combination of ‘aql and qalb), that is a process of internalization, transmission, transformation, and diffusion of Islam. It is as an effort to correct and overcome the psychological as well as sociological problems
of mad’u by implementing al-Islâm in his relation with himself, his God, his
fellow beings to obtain the welfare physically as well as mentally, now in this world and in the hereafter. This finding strengthens what Ahmad Fuad al-Ahwani
found in al-Madâris al-Falâsifah (1965) stating that Muhamad Abduh is a thinker
missionizing the renewal of the religious idea by returning to Islam which is authentic based on its primary source, namely al-Quran and the Prophet Traditions
in the form of ishlâh (reformation) of the religious life, behavior, idea, mind, and
chastity instinct.
The similar research done by Ahmad Fuad al-Ahwani is Mukti Ali’s
research, Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah (1995), stating that in
interpreting al-Quran he combines rational (aql) and emotional (qalb) touch in the
framework of the mission.
The finding of this research is different from the finding of the research before and after Muhamad Abduh’s; there are two qualities of the mission level;
fisrt, tablîg futûhat (the defussion of Islam to non muslim), and the second quality
becomes two branches: (1) al-da’wah al-âmmah al-kuliyyah that consists of 3
forms: (a) tablîg ta’lîm, (b) irsyâd, and (c) tathbîq hukm, and (2) al-da’wah al-
juziyyah al-khâshshah that consists of 3 forms: (a) nafsiyah, (b) fardiyah, and (c)
tadbîr tamkîn ummah. According to their functions, the levels and the forms of the
mission as the process of ishlâh and tajdîd of the life of muslim. It is as a
contribution of the ontological aspect of the mission (da’wah) studies. The ontological aspect of the mission concerning the transformation of Islam in the
form of amar ma’rûf nahy munkar has the similarity with the thinkers before and
after Muhamad Abduh, such as Ibn Taymiah and Abdul Karim Zaidan, who were
called as al-hisbah and al-ihtisâb.
The finding of this research refuses the internal thinking of the Muslim, which is ontologically views the mission short-sightedly and not as the object of the study in Islam. The refusal is supported by al-Bayanuni (2001) and refuses the external non-Muslim orientalists that accused that the spreading of Islam was done by force, war, and colonization. The accusation is in contradicted with the principal of the method of the mission as the rational behavior/manner based on al-Qur’an and the Tradition of the prophet of Allah.
This type of research takes bibliography study by employing content analytical method of substance category, that is analyzing what is told by Muhamad Abduh concerning the idea of the mission and the pattern of the caderisation of the professional da’i in the text of Tafsir Al-manâr, being systematized in the principals of the mission structures taken from the primary sources of data, that is Tafsir Al-manâr and the secondary sources of data, that is
(12)
mission and the pattern of professional dâ’i caderisation. While the inspection of the authenticity of the data applies the reference conformation and logical idea consistency.
(13)
.
.
)
1965
(
.
!
)
1995
(
.
.
"#
$
:
"#
.
$
%
.
!
.
.
#
.)
2001
(
!
"
!
.
(14)
"
&
"
"
%
.
(15)
TRANSLITERASI DAN SINGKATAN
A. Transliterasi a. Konsonan
alif a
ba b
ta t
tsa ts
jim j
ha h
kha kh
dal d
dzal dz
ra r
zai z
sin s
syin sy
shad sh
dhad dh
tha th
zha zh
'ain '
ghain gh
fa f
qaf q
lam l
mim m
nun n
waw w
ha h
hamzah '
ya Y
b. Vokal Pendek c. Vokal Panjang d. Diftong e. Pembauran
= a = â = aw = al-
= i = î = ay = al-
syams
= u = û = wa al-
(16)
Contoh: = qâla = qîla = qûlû B. Singkatan
1. SWT = Subhânahu Wa Ta’âlâ
2. SAW = Shallâ al-Lâh ‘alaih wa sallam
3. w. = wafat 4. H. = Hijriyah 5. M. = Masehi 6. tt. = tanpa tahun 7. ed. = editor 8. terj. = terjemahan 9. dkk. = dan kawan-kawan 10. hlm. = halaman
11. jld. = jilid
12. KAW = Karrama la-Lâh wajhah
13. Peny. = penyunting 14. Pen. = penerjemah 15. l. = lahir
16. a.s. = ‘alaih al-salâm.
(17)
SURAT PERNYATAAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
KATA PENGANTAR ... x
ABSTRAK ... xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xvii
DAFTAR ISI ... xix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah ... 24
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 25
D. Penelitian Terdahulu ... 27
E. Metode Penelitian... 31
F. Sistematika Pembahasan ... 35
BAB II SEKILAS BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH DAN DAKWAH ISHLÂHIYAH A. Situasi Sosial Politik dan Budaya di Mesir ... 37
B. Identitas Diri, Riwayat Pendidikan, dan Karya... 41
C. Aktivitas Dakwah Ishlâhiyyah ... 50
BAB III HAKIKAT, DASAR HUKUM, TUJUAN DAN UNSUR DAKWAH A. Hakikat Dakwah... 69
B. Dasar Hukum Dakwah ... 80
C. Tujuan Dakwah ... 81
D. Unsur-unsur Dakwah ... 84
1. Mawdhu' Dakwah: Hakikat dan Karakteristik Islam ... 84
2. Da'i dan Mad'u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat 96 3. Media dan Prinsip Metode Dakwah ... 142
BAB IV BENTUK DAKWAH DAN KADERISASI DÂ’I PROFESIONAL A. Al Da’wah al- ’Âmmah al-Kulliyyah ... 162
B. Al Da’wah al-Juziyyah al-Khâshah ... 170 xxi
(18)
D. Kaderisasi Dâ’i Profesional... 206
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 223 B. Rekomendasi ... 227
DAFTAR PUSTAKA. ... 229
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Teks Ayat Alquran ... 244 Lampiran 2. Sebagian Teks Data Penelitian ... 261 Lampiran 3. Tabel ayat al-Quran yang memuat kata kerja akal dan al-Albab 267 Lampiran 4. Gambar Bagan ... 270 Lampiran 5. Riwayat Hidup ... 271
(19)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Muhammad Abduh1 (1849-1905) menurut Robert De. Lee, ia telah
melakukan reformasi doktrin Islam dengan menempatkan penalaran pada tempatnya, Islam dan panalaran yang benar sama-sama mencerminkan kebenaran,
dan diantara keduanya tidak mesti dipertentangkan.2 Pengakuan yang sama
dikemukakan oleh Ahmad Fuad Ahwani walaupun Muhammad Abduh terpengaruh oleh Ibu Sina dalam hal metafisika, tetapi ia memiliki pembaharuan pemikiran keagamaan yang mandiri, hal ini sebagaimana ditegaskannya bahwa Muhammad Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang otentik menurut sumber utamanya, yaitu Al-Qur‘an dan sunnah Rasul Allah SWT. Cara yang ditempuh untuk kembali kepada sumber utama Islam yang otentik itu,
Muhammad Abduh mengajukan upaya ishlâh (perbaikan): (1) kehidupan
beragama, (2) akhlak, (3) pemikiran, (4) keluar dari taklid dan kebekuan berpikir,
(5) penggunaan akal, dan (6) naluri kesucian. 3 Dengan demikian, Muhammad
Abduh adalah mujaddid (modernis)‖ dan mushlih (reformis)‖ pada zamannya di
Mesir.4
1Namanya Muhammad, ayahnya Abduh dan kakeknya Hasan Khoerullah, jadi nama
lengkap Abduh itu Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khoerullah. Kemudian kata Ibn yang menghubungkan nisbah anak dengan ayahnya dibuang; lihat Thahir al-Thanahi,ed. Muzakirat al- imam Muhammad Abduh, (Mesir: Dâr al-Hilal, tt, hlm. 21-22; lihat pula Rif‘at Syauqi Nawawi , Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002) hlm. 21. Mengenai aturan membuang (al-Hadzfu) mudhaf atau mudhaf ilaih dalam gramar arabiyah dibolehkan; lihat Jamâl al-Dîn bin Hisyam al-Anshari, Mughni al-Labîb, jld II, Maktabah Dâr al-Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tt), hlm. 164-165.
2Lihat Robert De Lee, Mencari Islam Autentik, trj. Overcoming Tradition and Modernity:
the Search for Islamic Authenticity, oleh Ahmad Baikuni, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 93-94.
3Ahmad Fuad Ahwani, Al-Madâris al-Falsafiyyah (Kairo: Maktabah Mishr, 1965), hlm.
148. Tajdîd (pembaharuan) dan ishlâh (perbaikan) pemikiran dan kehidupan umat manusia merupakan esensi dari dakwah para rasul Allah pada zamannya masing-masing. Selanjutnya lihat Muhammad Ahmad al-Adawy, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ (Mesir: Mushthafa al-Bab al- Halaby wa Aulâdih, 1935), hlm. 4-5.
4 Lihat Philip K. Hitti, History of the Arab, Cet. X (New York: St. Martin‘s Place, 1968),
(20)
Dalam pada itu, menurut Azyumardi Azra bahwa, pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh jelas bersifat multidimensi. Tokoh-tokoh dan gerakan pembaharuan yang dipengaruhinya di berbagai penjuru di dunia Muslim
sering mengambil hanya dimensi tertentu dari pemikirannya.‖5 Unsur-unsur dari
multidimensi dalam pendapat Azyumardi Azra itu antara lain, seperti yang diuangkapkan oleh Ahmad Fuad Ahwani. Mengacu kepada pendapat ini, pemikiran dalam bidang dakwah Islam termasuk salah satu dimensi pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh yang jarang mendapat perhatian para penulis
tentang Muhammad Abduh, sebab dalam pengantar Risâlah Tawhîd, salah satu
karya tulis Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menyatakan tentang posisi gurunya dalam hubungannya dengan dakwah Islam, Muhammad Abduh diakuinya sebagai pengarang yang sanggup mereformasi sistem dakwah Islam menurut metode yang memenuhi syarat ulama kalam, yaitu cara menarik orang secara rasional, mengajak orang membahas persoalan dengan berpikir. Oleh karena itu buku
Risâlah Tawhîd yang ditulisnya berisikan penjelasan hakikat agama Islam yang memenuhi syarat-syarat yang layak pada masa ini, yang belum pernah dilakukan
orang seperti itu di antara pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya.6
Dalam kaitannya dengan dakwah Islam ini, Muhammad Abduh mengakui posisi dirinya bahwa Saya bukan seorang imam yang diikuti, saya bukan seorang pemimpin yang ditunduki. Saya adalah jiwa dakwah, dan jiwa dakwah itu tetap ada pada saya. Saya tidak henti-hentinya mengajak kepada kepercayaan saya
dalam beragama.‖7 Berdasar atas pengakuannya sebagai jiwa dakwah (rûh
al-Dakwah) maka Muhammad Abduh tentunya memiliki pembaharuan pemikiran dalam bidang dakwah Islam, sebab menurutnya, bahwa Islam ditegakkan dan disebarluaskan melalui dakwah yang metodenya mengacu pada argumen rasional (hujjah) dan argumen demonstratif (burhân), bukan dengan pedang, kekuatan
militer, dan anak panah sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang jâhiliyyah dan
5Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga
Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. x.
6Rasyid Ridha dalam Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, cet. Ke 17 (Mesir: Maktabah
al-Qahirah, 1060), hlm. 13.
7Thahir Al-Thanâhi, ed Mudzakirât al-Imâm Muhammad Abduh, (Mesir, Dâr al-Hilal, tt)
(21)
musuh-musuh Islam. Hal ini ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa, apakah benar penilaian tentang mereka bahwa mereka (umat Islam) menegakkan
agamanya (al-Dîn) dengan pedang dan kekuatan militer bukan dengan bimbingan
(al-Irsyâd) dan dakwah? Tidak, sebab dalam Islam tidak ada pendapat seperti itu. Muhammad Abduh menilai mereka sebagai penipu yang tolol atau musuh yang
pura-pura tidak mengetahui.8
Kemudian, Muhammad Abduh juga menegaskan pemikirannya bahwa
dakwah semata-mata dilakukan melalui hujjah (argumen rasional) dan burhân
(argumen demonstratif), bukan dengan pedang dan golok.9
Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh
tersebut, terdapat term-term dakwah, yaitu dîn, al-irsyâd, al-da’wah, jâhil, al-
hujjah, dan al-burhân. Kemudian, apa makna term-term ini dan bagaimana Muhammad Abduh memposisikannya dalam struktur sistem dakwah. Hal ini menarik untuk dikaji melalui penelitian. Dan acuan teori untuk memahami makna
term-term tersebut dapat menggunakan teori dilâlah lafazh terhadap makna
menurut para pakar ilmu mantik.10 Sedangkan posisinya dalam rukun dakwah,
dengan menggunakan perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah tentang
unsur-unsur yang mesti ada dalam proses dakwah, yaitu da’i (pelaku dakwah),
maudhu’ (materi ajaran Islam), uslûb (metode), washîlah (media), dan mad’u
(sasaran penerima dakwah), unsur-unsur ini adalah substansi rukun dakwah.11
Muhammad Abduh juga membantah tuduhan musuh Islam yang menyatakan bahwa Islam mengajarkan perang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kasih-sayang Tuhan. Bahkan mereka mengklaim bahwa akidah Islam
8Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 191 surah al-Baqarah. Ayat ini
memuat ketentuan qital dan bahaya fitnah. Muhammad Abduh, Tafsîr al-Manâr, Jld. II (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 209, selanjutnya disebut Al-Manâr.
9 Al-Manâr, jld II, hlm. 215.
10Antara lain menurut Abidullah bin Fadhal al-Khabishy, Syarh al-Khabishy ‘ala Matn
Tahdzîb al-Manthiq wa al-Kalâm lî Sa’id al-Taftazany (Mesir: Maktabah Muhamad Ali Shabih, 1965), hlm. 10-12, Zainun Kamal, Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi (Jakarta: Fak. Pascasarjana IAIN Syahid, 1995), hlm. 22-44, dan Muhammad al-Sayyid al-Jalind dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt) hlm. 73-80.
11Unsur-unsur dakwah ini sebagaimana ditunjukkan dari pemahaman kandungan ayat 125
(22)
berbahaya bagi peradaban. Padahal, menurut Muhammad Abduh, perang diperbolehkan dalam ajaran Islam dalam rangka membela diri, membela hak, dan memelihara keberlangsungan dakwah Islam. Sebab, Islam mengajarkan cinta kasih yang luas berlaku bagi seluruh alam, lalu Muhammad Abduh mengemukakan beberapa pokok pemikirannya tentang prinsip-prinsip perang
dalam kerangka dakwah, bahwa, pertama, perang (al- Qitâl) disyariatkan untuk
mempertahankan kebenaran dan membela para pengusungnya, memelihara
dakwah dan menyebarkannya; kedua, Raja (al-Mulûk) atau pemerintah (al-
Umarâ) yang mengklaim dirinya berperang demi agama hendaknya ia menghidupkan dakwah Islam dan mempersiapkan berbagai perangkat dan sarana dakwah yang diperlukan berupa pengembangan ilmu, teknologi, dan pemikiran
sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan; ketiga, raja
mengupayakan persiapan yang matang guna menjaga dakwah Islam dari
rongrongan musuh; dan keempat, orang yang mengetahui kondisi dan peran para
dâ’i di tengah-tengah masyarakatnya dan cara-cara melindungi mereka hendaknya mengetahui apa yang mesti dilakukan berkenaan dengan dakwah Islam
sebagaimana mestinya pada zaman ini. 12
Prinsip-prinsip perang yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh diatas memuat argumen bantahannya terhadap pendapat ngawur para musuh Islam— termasuk orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya—yang mengira bahwa Islam ditegakkan dengan pedang, bantahan atas pendapat orang-orang pandir fanatik yang beranggapan bahwa Islam bukan agama ilahiyah lantaran Tuhan Yang Maha Pengasih tidak memerintahkan penumpahan darah dan bahwa sistem keyakinan Islam berbahaya bagi peradaban. Semua itu merupakan omong-kosong yang ngawur dan Islam sendiri merupakan kasih-sayang universal bagi sekalian
alam.13
Dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, terdapat beberapa hal yang
unik dan menarik untuk dikaji lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana posisi qitâl
12Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 195 surah al-Baqarah, ayat ini
memuat ketentuan infaq di jalan Allah, ihsan dan larangan membuat kerusakan. Al-Manâr, jld. II, hlm. 216.
(23)
(perang) itu dalam dakwah? Apa dan bagaimana peran al-mulûk (para raja) dan
al-umarâ (aparat pemerintah) dalam menyiapkan kader da’i profesional? Kemudian apa sajakah inti ajaran Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam? Dan bagaimana metode penyajiannya dalam proses dakwah? Analisis atas jawaban persoalan-persoalan ini secara proporsional dipahami dengan menggunakan pendekatan yang diajukan oleh Azyumardi Azra, yaitu pendekatan apologetik
(pembelaan diri), identifikatif (inventarisasi problem dan mencari solusinya), dan
affirmative (penegasan kembali kepercayaan kepada Islam dan menguatkan
kembali eksistensi masyarakat Muslim).14
Selanjutnya Muhammad Abduh meyakini bahwa mendakwahi manusia
kepada al-khair, memerintah perkara yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran
adalah perintah bagi semua muslim dan bagi muslim yang melaksanakannya
menjadi khairu ummah yang memiliki keimanan yang hakiki, yaitu keimanan
yang disertai kepatuhan jiwa dan dibuktikan dengan pengamalan ajaran Islam.15
Menurut Muhammad Abduh bahwa dakwah dapat digolongkan kepada
tiga martabat ( peringkat‖), yaitu: peringkat pertama (al-martabah al-ûla), berupa
dakwah kepada al-khayr yang dilakukan oleh umat Islam terhadap semua umat
agar mereka bersama-sama melaksanakan cahaya dan petunjuk al-khayr (al-
Islâm). Hal ini merupakan tahapan dakwah dalam peringkat pertama, yang diawali
dengan menyeru manusia kepada al-Islâm terlebih dahulu, jika mereka
menerimanya maka dilanjutkan dengan memerintah mereka agar melaksanakan
perkara yang ma’rûf dan mencegah mereka dari perkara yang mungkar; 16
Peringkat kedua (al-martabah al-tsâniyah), yaitu dakwah berupa amar ma’rûf dan nahy munkar di kalangan kaum muslimin, sebagian dari mereka
mendakwahi yang lainnya kepada al-khayr begitu pula amar ma’rûf dan nahy
munkar; bagi peringkat kedua ini terdapat dua jalur dakwah yaitu: (1) al-dakwah al-‘âmmah al-kulliyah ( dakwah universal‖) dengan menjelaskan (bayân), jalan-
jalan al-khayr, menerapkannya dalam kehidupan manusia, dan memberikan
14Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Posmodernisme, hlm. v-vi.
15Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 64. 16Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 27.
(24)
contoh-contoh yang berpengaruh pada kejiwaan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi mad‘unya. Dakwah ini menurut Muhammad Abduh mesti
dilakukan oleh khawwash al-ummah ( komunitas khusus‖) yang terdidik dan
terlatih yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang rahasia-rahasia hukum, hikmah agama dan pemahamannya. Berdasar kepada kualitas keilmuan
mereka khawwash al-ummah ini secara spesifik melakukan implementasi hukum-
hukum Allah untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan mad’u dimanapun dan
kapanpun; dan (2) al-dakwah al-juziyyah al-khâshshah ( dakwah parsial‖) yaitu
dakwah yang berlangsung antar individu yang sudah saling mengenal baik yang pandai maupun yang bodoh dengan menunjukkan kebaikan dan memotivasinya, mencegah kejelekan dan memperingatkannya. Didalam jalur kedua ini termasuk
taushiyah dengan yang haq dan taushiyah dengan shabar, sesuai dengan kualitas
kemampuannya dalam menjalankan kewajiban umum dakwah.17
Muhammad Abduh tidak menyebutkan hukum Islam dalam jalur pertama
dari al-dakwah al-‘âmmah al-kulliyah tersebut, tetapi hukum-hukum Allah SWT.
Hal ini mengandung arti bahwa materi dakwah bukan hanya hukum yang terkandung dalam syariat Islam yang diyakini mengatur tata kehidupan manusia,
tetapi juga hukum perilaku alam (sunan al-kawn) menjadi bagian yang menuntut
diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia baik sebagai dâ’i maupun
sebagai mad’u. Sedangkan implementasi syariat Islam dan hukum perilaku alam
sebagai proses dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan macam-macam
kemaslahatan manusia di sepanjang zaman dan di manapun manusia itu berada, dengan menjadikan dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi problem
psikologis dan sosiologis mad’u yang dihadapinya.
Dari sudut pandang sistem dakwah, penjelasan hakikat dakwah tersebut dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan tiga bentuk dakwah 17Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 28. Paparan Abduh mengenai dakwah ini merupakan
bagian dari penafsiran Q.S.. Ali Imran:104, ayat ini memuat bagian dri ketentuan dakwah. Secara metodologis Abduh memahami hakikat dakwah ini dengan pendekatan qishmah tafshiliyah” (taksonomis) tidak dengan al-ta’rîf bi al-hadd atau al-ta’rîf bi al-rasam, yaitu menjelaskan hakikat sesuatu dengan cara merinci dan membagi unsur-unsur dari sesuatu itu yang dalam konsep ta’rîf merupakan macam-macam unsur yang mesti ada didalamnya. Lihat Muhammad al-Sayyid al-Jalind dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt) hlm. 92-93.
(25)
menurut caranya, yaitu: (1) bentuk tathbîq, yaitu berupa implementasi ajaran
Islam dan hukum alam dalam kehidupan manusia, (2) bentuk bayân (penjelasan
lisan yang berkaitan dengan tablîgh bî ahsan al-qawl (menyiarkan Islam dalam
bentuk penjelasan bahasa lisan) kepada kelompok besar dan khalayak dengan
materi tablîgh al-khayr (al-islâm), dan (3) bentuk bayân (penjelasan lisan yang
berkaitan dengan irsyâd al-qawl (bimbingan mad‘u individu dan kelompok kecil
dengan bahasa lisan) dengan membuat contoh-contoh yang mempengaruhi
kondisi psikologis para pendengar sebagai mad’u. Muhammad Abduh juga
mengajukan bahwa situasi dan kondisi obyektif mad‘u menjadi pertimbangan
penting dalam proses dakwah dengan berbagai macam bentuknya.18
Pemahaman atas apa dan bagaimana penjelasan Muhammad Abduh lebih lanjut mengenai tiga bentuk dakwah menurut caranya tersebut dikaji dengan menggunakan analisis perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah yang lain, juga menggunakan teori komunikasi yang relevan.
Kemudian Muhammad Abduh menyebutkan al-Islâm dengan al-khayr
sebagai materi dakwah dalam penjelasan hakikat dakwah yang telah
dikemukakan. Menurutnya, al-khayr sebagai al-Islâm itu sebagaimana
ditegaskannya bahwa, yang dimaksud dengan al-khayr (kebajikan) adalah al-
Islâm sebagai agama Allah yang diturunkan melalui lisan seluruh nabi bagi
seluruh umat manusia. Ia tiada lain adalah al-ikhlâsh karena Allah SWT. dan
meninggalkan hawa nafsu menuju hukum-Nya.19
Al-Islâm yang berintikan mengesakan ke-Mahaesaan Allah, menaati hukum-Nya dan menjauhi dominasi hawa nafsu, yang diberikan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan universalitas ajaran Islam yang di bawa oleh
18Bandingkan dengan penafsiran Q.S. Fushilat: 33 mengenai bagian dari ketentuan
dakwah oleh Abd al-Rahman al-Sa‘di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001), hlm. 749, dan Abd al-Munshif Mahmûd al-Fatah, Manhâj al-Da’wah al-Islamiyah min Al-Qur’an wa al-sunnah al-Nabawiyah, (Mesir: Al-Azhar, 1419 H), hlm. 29-42.
19Pengertian ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 104 Surah Ali Imran, ayat ini
(26)
seluruh nabi Allah SWT., walaupun bentuk bahasa, hukum, dan amaliahnya dapat
berbeda-beda.20
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh, dakwah Islam yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai nabi Allah terakhir merupakan kelanjutan dan menyempurnakan syariat Islam dan tata susila
yang dibawa oleh para nabi Allah sebelumnya.21 Nabi Muhammad saw.
menghidupkan kembali ruh ajaran Islam berupa al-ishlâh yaitu memperbaiki dan
mencari solusi problem umat dengan mempertahankan yang baik dan memperbaiki yang jelek. Lalu Muhammad Abduh mengemukakan beberapa prinsip ajaran Islam sebagai materi dakwah yaitu: (1) ruh ajaran agama Islam
adalah tawhid dan ikhlas yang diungkapkan dengan istilah islâm; (2) tujuan setiap
kegiatan yang diperintahkan oleh agama tiada lain adalah perbaikan hati (ishlâh
al-Qalb) dan akal-(ishlâh al-‘Aql) melalui keselamatan keyakinan dan kebaikan tujuan; (3) memelihara seluruh kegiatan konkret tanpa tujuan yang benar tidak memberikan faidah apa-apa bahkan ia berbahaya tanpa itu, yang akan membuat manusia disibukkan oleh sesuatu yang tidak bermanfaat dan menghalanginya dari
hal-hal yang berguna.22
Dalam pada itu, untuk memahami prinsip-prinsip ajaran Islam diperlukan penggunaan potensi akal dan kalbu secara terpadu. Sebagaimana ditegaskannya
bahwa, pertama, apa yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. hanya dapat
diketahui oleh mereka yang memiliki hati nurani (kecerdasan spiritual), dan
kedua, fungsi segala apa yang dibawa oleh nabi adalah upaya menghidupkan ruh agama yang menjadi pijakan seluruh nabi dan rasul, menyempurnakan syariat dan
20Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 52 surah Ali Imran, ayat ini
memuat tentang bagian kisah al-hawâriyun penolong dakwah nabi Isa a.s. Al-Manâr, jld. III, hlm. 314.
21Syariat dan tata susila yang dibawa oleh para nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw.
disebut syar’u man qablanâ‖. Lihat Muhammad al-Hudhori Bek, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al- Fikr, 1981), hlm. 35-36.
22Penjelasan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah: 139, ayat ini memuat
bagian dari ketentuan dialog nabi Muhammad SAW dan mad‘u dengan mengedepankan hujah. Al- Manâr, jld. I, hlm. 488.
(27)
tata susilanya dengan etika yang maslahat bagi sekalian manusia pada setiap
ruang dan waktu. 23
Dari sudut pandang dakwah, dalam penegasan Muhammad Abduh mengenai ruh agama yang telah dikemukakan, ada beberapa Hal yang unik dan
menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana tawhîd dan ikhlâsh
sebagai rûh Islam? Apa dan bagaimana ishlâh al-qalb dan ishlâh al-‘aql sebagai
sasaran pengamalan Islam? Apa dan bagaimana sesuatu yang dihadirkan oleh
Nabi Muhammad saw. (sunnah) sebagai upaya menghidupkan rûh al-dîn yang
dibawa oleh para nabi dan rasul Allah untuk semua manusia (al-basyar)? Analisis
atas jawaban persoalan ini akan menggunakan pendekatan hikmah tasyrî’ (nilai
dan fungsi filosofis ajaran)24 dan pemikiran para pakar tentang konsep ishlâh.
Hasil analisis ini diharapkan untuk menguji apakah benar bahwa makna
fungsional dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain adalah ishlâh” 25
(perbaikan dan mencari solusi problem mad’u) dan ihyâ (menghidupkan ruh
agama yang dibawa para rasul Allah).
Term ishlâh (reformasi) memiliki muatan makna fungsional yang murâdif
dengan term da’wah. Demikian menurut pemahaman Abbas al-Aqqad ketika
mengomentari perjuangan Khalifah Ali bin Abu Thalib KAW. dalam buku Syarh
Nahj al-Balâghah karya Syaikh Muhammad Abduh, buku ini menghimpun pidato, surat-surat, dan kata-kata hikmat khalifah Ali KAW yang dihimpun oleh
Syarif Ridha.26
23Al-Manâr, jld. I, hlm. 489.
24Antara lain dari pemikiran Ali Ahmad al-Jurjawi dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa
Falsafatuh (Beirut: dâr al-Fikr, tt.).
25 Menurut Abd al-Rahman Al-Sa‘di, hakikat ishlâh adalah:
(Ishlâh (reformasi) adalah upaya dalam memperbaiki aqidah, akhlak dan semua keadaan manusia yang memungkinkan tercapainya kebaikan hidup manusia. Selain itu, ia juga memperbaiki segala urusan keagamaan, keduniawian, individu dan golongan. Sedangkan lawan dari perbaikan adalah perusakan). Lihat Abd al-Rahman al-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al- Mannân, Riyadh: Maktabah al-Rusydiyyah, 2001(, hlm. 749.
26Lihat Abbas al-Aqqad, Multaqi al-Nufus al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh,
(28)
Sebenarnya, upaya ishlâh (reformasi) dan tajdîd (pembaruan) merupakan ciri yang menyatu dalam diri Islam. Bahkan, menurut Moshe Sharon, sebagaimana dikutip Akh. Minhaji, bahwa kedatangan Islam itu dapat dipandang sebagai gerakan reformasi dan pembaruan pertama yang amat menakjubkan dan telah menyebabkan terjadinya perubahan fundamental di kalangan masyarakat
Arab ketika itu.27
Oleh karena itu, gagasan Muhammad Abduh tentang ishlâh al-qalb dan
ishlâh al-‘aql merupakan bagian metode irsyâd al-nafsî (internalisasi Islam)
dalam memperbaiki dan mencari solusi probelm psikologis mad’u pada level
intraindividu merupakan aktualisasi watak Islam yang reformis dan modernis.
Analisis atas irsyâd al- nafsî ini selain menggunakan pemikiran pakar muslim
tentang konsep nafs dalam Al-Qur‘an juga menggunakan pendekatan psikologis
dalam komunikasi, teori ini meyakini bahwa bagi pemikir yang memiliki konsep religius pada waktu yang sama memiliki perhatian atas kehidupan dan penghormatan terhadap rasio dan realitas problem kehidupan manusia dan berupaya menemukan solusi-solusi baru bukan melalui irasionalitas dan kebencian, melainkan melalui penguatan terhadap rasio dan menumbuhkan cinta
kehidupan.28
Mengingat di dalam Irsyâd al-nafsî‖ terdapat tehnik muhâsabah bi al-
nafs (mawas diri), maka teori interaksionisme dalam komunikasi digunakan dalam
memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang irsyâd al-nafsî ini, teori ini
meyakini bahwa proses mawas diri bersifat sosial, karena diri melaksanakannya bertindak atas dirinya, dan menggunakan tindakan perilaku yang sesuai dengan situasi tertentu. Diri juga mengevaluasi kesesuaian respon tersebut dan
menyimpannya untuk dipakai sebagai referensi di masa yang akan datang.29
27Akh. Minhaji, Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,‖ dalam Amin Rais
dkk., Muhammadiyah dan Reformasi (Yogyakarta: Majelis Pustaka PP. Muhammadiyah, 2000), hlm. 42.
28Lihat Eric Fromm, Revolusi Harapan, terj. The Revolution of Hope, oleh Kamdani
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. v.
29Lihat B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human
Communication, oleh Sujono Trimo, peny. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Remaja Karya, 1986), hlm. 233.
(29)
Muhammad Abduh meyakini bahwa dâ’i (pelaku dakwah Islam) digelari
sebagai khayr ummah (umat terbaik) oleh Allah SWT, yang mengerjakan bentuk
dakwah amr ma’rûf (memerintah yang baik) dan nahy munkar (mencegah yang
mungkar), selain para nabi Allah, mereka adalah semua orang beriman. Mengenai
hal ini, Muhammad Abduh mengemukakan perlunya kriteria dan peran dâ’i,
yaitu: (1) mereka merupakan orang-orang beriman kepada Allah dengan tingkat keimanan yang mengontrol akal, hati, dan perasaan mereka, menguasai kecenderungan hawa nafsu mereka yang dijelaskan oleh Allah SWT. mengenai keistimewaan dan ciri-cirinya dalam banyak ayat Alquran; dan (2) kualitas
keimanan dâ’i selain bermanfaat bagi dirinya sebagai penggerak (al-musayyir)
umat juga besar pengaruhnya dalam melakukan dalam perubahan (taghyîr
)
formasi kehidupan di muka bumi. 30
Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan selain kualitas
keimanan kepada Allah SWT. sebagai syarat seorang dâ’i, ada dua hal yang
menjadi fungsi dan peran utama dâ’i, yaitu al-musayyir (pengemudi, pengendali,
dan penggerak umat) dan taghyîr hay-ah al-ardh (pelaku perubahan kehidupan
sosial-ke arah yang lebih baik). Hal ini menjadi petunjuk bahwa bagian inti dari
gagasan Muhammad Abduh adalah da’i sebagai agen perubahan sosial (mushlih)
di tengah-tengah kehidupan umat, yang berupaya memperbaiki kehidupan agama umat dalam berbagai bidangnya yang paradoks dengan ajaran agama, upaya ini berfungsi sebagai ikhtiar dan gerakan merespons dan mencari solusi persoalan internal umat Islam berupa kemerosotan pengamalan ajaran Islam dan membentengi umat serta menolak pengaruh budaya negatif dari luar.
Muhammad Abduh mengakui bahwa dalam upaya memperbaiki
kehidupan beragama umat, perlu dilakukan gerakan amr ma’rûf dan nahy munkar
sebagai salah satu bentuk kegiatan dakwah Islam, sebab menurutnya, amr ma’rûf,
30Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran: 110, ayat ini memuat
(30)
nahy munkar dan kemestian untuk menunaikan ajaran Islam itu merupakan bagian
dari bentuk dakwah Islam.31
Persoalan dalam pendapat Muhammad Abduh tentang fungsi da’i dan
salah satu bentuk dakwah tersebut yang ditelusuri lebih lanjut, adalah apa dan
bagaimana al-musayyir dan al-mughayyir sebagai fungsi da’i? Dan apa serta
bagaimana amr ma’rûf nahy munkar sebagai bagian dari bentuk kegiatan dakwah?
Analisis atas jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menggunakan teori komunikasi yang diambil dari teori perubahan sosial, yaitu yang meyakini bahwa paling tidak
ada empat unsur utama yang menjadi sumber perubahan, yaitu gagasan (ideas),
tokoh-tokoh besar (heroes and heroes worship), gerakan-gerakan sosial, dan
revolusi.32
Hasil analisis tersebut diharapkan menjadi argumen bahwa bagian dari makna fungsional pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh adalah perubahan ke arah situasi kehidupan umat yang lebih baik melalui upaya perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat.
Selanjutnya, menurut pengamatan Muhammad Abduh, bahwa pemikiran dan aktivitas dakwah Islam pada zamannya menjadi bagian persoalan internal
umat Islam yang menuntut adanya upaya ishlâh al-da’wah (mereformasi dakwah).
Reformasi dakwah ini dipandang urgen oleh Muhammad Abduh, karena dakwah bukan mengatasi masalah tetapi menimbulkan masalah. Muhammad Abduh mengemukakan beberapa macam problem dakwah pada saat itu, yakni: (1)
menasihati individu-individu umat (nash
î
hah al-Afrâd), menegakkan perkarama‘ruf dan menjebol perkara munkar menjadi ajang menyebarkan perbedaan dan perpecahan; (2) tidak adanya upaya menyeru kepada kerukunan dan kesatuan umat; (3) saling menasihati menjadi penyebab terjadinya permusuhan dan perdebatan sehingga menjadi masalah krusial hubungan persaudaraan dan
31 Al-Manâr, jld. IV, hlm. 62.
32Lihat Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi (Bandung:
Rosdakarya, 1999), hlm. 81. Jika esensi dakwah adalah perubahan dan perbaikan kehidupan sosial , maka secara sosiologis dakwah berfungsi sebagai upaya reformasi, yakni proses perubahan tatanan sosial lama secara mendasar dan cepat kepada tatanan sosial baru yang lebih baik dengan cara damai. Lebih lanjut, lihat Salman Luthan, Agenda dan Strategi Reformasi Hukum,‖ dalam Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (ed.) Moh. Mahfud MD, dkk. (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 448.
(31)
persahabatan di kalangan umat. Oleh karena itu, solusinya dakwah dengan bahasa
lisan menyeru kepada kebaikan, memerintahkan ma’rûf dan menjebol
kemunkaran secara bersama-sama di kalangan muslim, harus didasarkan pada tambatan kasih sayang dalam hati mereka dan menyelamatkan mereka dari kehidupan siksa sehingga mereka merasakan kehadiran ajaran Islam sebagai
nikmat Allah SWT. 33
Dari bagian persoalan dakwah yang dinyatakan Muhammad Abduh
tersebut, yang dikaji lebih lanjut adalah apa dan bagaimana nashihah al-afrâd?
Apa dan bagaimana upaya ishlâh al-da’wah melalui kaderisasi da’i profesional?
Analisis atas jawaban pertanyaan ini menggunakan perbandingan dengan
pendapat pakar dakwah lain tentang konsep takwîn al-du’ât (kaderisasi da’i
profesional) dan pakar pendidikan. Da‘i profesional adalah ilmuwan muslim yang menjadikan dakwah sebagai pekerjaannya berdasarkan keahlian yang dimilikinya dan keahliannya itu berbasis penguasaan ilmu islam dan keterampilan
mempraktikannya.34
Adanya term al-hujjah (argumen rasional) dan al-burhân (argumen
demonstratif) dalam mendakwahkan Islam, yang diajukan oleh Muhammad Abduh, menunjukkan bahwa Hal ihwal yang berkaitan dengan dakwah Islam
adalah termasuk kandungan alquran, sebab al-hujjah (argumen rasional) dan
al-burhân (argumen demonstratif) adalah bagian dari makna fungsional Alquran.35
Selain itu, al-hujjah dan al-burhân merupakan dua istilah yang mengacu pada
aktivitas berpikir dalam pembentukan dan menghubungkan antara konsep berupa proposisi-proposisi tentang obyek yang dipikirkan yang menghasilkan kebenaran
ilmiah.36 Dengan demikian dapat dipahami, bahwa Muhammad Abduh
33 Al-Manâr, jld. IV., hlm. 29. Problem dakwah yang dikemukakan Abduh ini merupakan
bagian dari problem perkembangan sosial di Mesir pada zamannya, yang menjadi bagian dari tantangan perjuangan pembaruan yang dihadapinya.
Lihat Abd al-Badi al-Shaqâr, Kayfa Nad’u al-Nâs, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 108-109.
35Term al-hujjah antara lain disebutkan dalam Q.S. al-An‘âm (6): 149, ayat ini memuat
penjelasan bahwa adanya rasul dan al-kitab sebagai bagian dari hujjah Allah SWT. dan al-burhân antara lain disebutkan dalam Q.S. al-Nisâ (4): 174, ayat ini memuat penjelasan bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai burhân.
36Lihat Muhammad Sayid al-Jalind dan Sayid Rizq al-Hijr, Dirâsât fî al-Manthiq wa
(32)
berpandangan mengenai apa dan bagaimana hakikat dakwah Islam itu mesti
dipahami dari Al-Qur‘an dengan pendekatan rasional (’aqliyyah).
Oleh karena itu Al-Qur‘an sebagai sumber pemaknaan hakikat dakwah Islam ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa unsur esensi keberadaan Al- Qur‘an yang diyakininya, ialah (1) Al-Qur‘an adalah firman langit yang diturunkan kepada hati nabi yang paling sempurna oleh Maha Pencipta yang hakikat-Nya tidak dapat diketahui; (2) Al-Qur‘an di dalamnya terkandung banyak pengetahuan yang tinggi dan kebutuhan-kebutuhan yang urgen; dan (3) Al-Qur‘an
tidak dapat diserap maknanya kecuali oleh para pemilik jiwa yang bersih (al-nufûs
al-zâkiyah) dan para pemilik akal yang jernih (al-‘uqûl al-shâfiyah) 37
Penegasan Muhammad Abduh mengenai keberadaan Al-Qur‘an tersebut tampaknya lebih mengacu pada saat Al-Qur‘an belum dikodifikasikan dalam
mushhaf, sebab Muhammad Abduh juga mengungkapkan pemahamannya tentang
Al-Qur‘an menurut keyakinannya bahwa: (1) Al-Qur‘an itu adalah al-kitâb yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.; dan (2) Al-Qur‘an itu termaktub dalam mushaf-mushaf yang terpelihara di dalam dada orang-orang
Islam yang menghafalnya hingga hari ini.38
Mengacu pada dua pemahaman keberadaan Al-Qur‘anyang diajukan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan bahwa memahami Al-Qur‘an
hendaknya menggunakan dua instrumen metodis, yaitu kecerdasan intelektual‖
(al-‘uqûl al-shâfiyyah) dan kecerdasan spiritual‖ (al-nufûs al-zâkiyyah) secara terpadu. Proses pemahaman ini disebut penafsiran Al-Qur‘an. Dengan demikian, keterpaduan dua instrumen metodis ini menjadi basis epistemologis bagi Muhammad Abduh ketika merumuskan konsep-pemikiran dakwah dalam tafsir Almanar.
Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, tafsir Al-Qur‘an itu hendaknya
memuat unsur esensi penafsiran Alquran, yaitu berupa pemahaman al-kitâb yang
37Al-Manâr, Jld. I, hlm. 17. Penggunaan instrumen metodis al-nufûs al-zakiyyah dan
al-‘ûqûl al-shafiyyah dalam memahami Al-Qur‘an sebelum Abduh, antara lain sudah digunakan oleh Taqiy al-Dîn Abi al-Abbâs Ahmad bin Taymiyah (w.728H). Lebih lanjut, lihat karyanya Kitâb al- Nubuwwât (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 284.
(33)
dipandang sebagai ajaran dan petunjuk dari Allah bagi semua alam, yang menggabungkan antara penjelasan urusan kemaslahatan manusia dalam
kehidupan duniawi dan urusan keselamatan kehidupan ukhrawi.39
Kemudian Muhammad Abduh juga menegaskan karakteristik pemahaman sebagai proses penafsiran Al-Qur‘an yang unsur–unsurnya terdiri dari: (1) suatu upaya pemikiran yang berbasis rasa yang bersih, yang terbingkai oleh pola-pola Al-Qur‘an dengan segala kelebihannya dan terkendali oleh petuah-petuahnya sehingga ia mengabaikan yang lainnya; (2) pemahaman itu bukan pemahaman yang timbul dari kepasrahan buta terhadap kitab-kitab; dan (3) pemahaman itu bukan suatu ketundukan hampa yang tidak berpangkal pada rasa dan apa yang mengikutinya berupa kelembutan perasaan dan kehalusan nurani yang keduanya
merupakan sumber penalaran (al-ta’aqul), penyerapan (al-taatstsur), pemahaman
(al-fahm), dan perenungan (al-tadabbur). 40 Dengan demikian dapat dipahami bahwa diantara sasaran penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah untuk memberantas mental taklid di internal umat Islam.
Sedangkan tujuan utama penafsiran Alquran, bagi Muhammad Abduh,
adalah selain sebagai al-ihtidâ bî al-Qur’an (menjadikan Al-Qur‘an sebagai
petunjuk hidup), juga ditegaskan ketika menjelaskan peringkat tafsir, menurutnya bahwa peringkat minimal penafsiran Al-Qur‘an itu adalah penafsiran yang dilakukan secara global dengan tujuan agar hati menjadi; (1) mampu menyerap keagungan Allah dan menyucikan-Nya; dan (2) membuat jiwa berpaling dari
keburukan dan cenderung pada kebajikan. 41
Muhammad Abduh menulis tafsir Al-Manâr sebagai reaksi dan jawaban
atas persoalan adanya klaim sebagian umat pada zamannya bahwa penafsiran Al- Qur‘an itu adalah menelaah kitab-kitab tafsir karya sebagian ulama tafsir yang di
39 Al-Manâr, jld. I, hlm. 19.
40Al-Manâr, jld. I, hlm. 27. Dalam pernyataan Abduh ini memuat term epistemologis
yang dijadikan pegangan dalam menafsirkan Al-Qur‘an dengan menggabungkan fungsi nafs dan akal (rasa dan rasio), dan Hal ini dapat terjadi dalam mengkaji Islam, berupa penggabungan unsur subyektif dan obyektif, keberpihakan imani dan obyektivitas akademis. Lihat Komaruddin Hidayat, Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat‖ dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap terhadap Tradisi Barat, terj. Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istidrâk oleh Najib Bukhari (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. xx.
(34)
dalamnya banyak termuat aneka ragam perbedaan pendapat sehingga fungsi
hidâyah al-Qur’an terabaikan. Mereka menganggap cukup dengan kitab fiqih yang ada dalam menjawab tantangan zaman dan penafsiran ulang dipandang tidak
diperlukan lagi.42 Hal ini mengandung petunjuk bahwa termasuk sasaran
penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah untuk membangkitkan semangat ijtihad di kalangan umat Islam yang saat itu mengalami stagnasi dalam pengembangan pemikiran tafsir.
Kemudian Muhammad Abduh juga menyadari adanya problem umat Islam dalam menyikapi Al-Qur‘an dan ajaran Islam yang terkandung dalam Al- Qur‘an tidak lagi menjadi rujukan kehidupan. Begitu pula tradisi umat salaf dalam keimanan dan amal saleh tidak lagi dihiraukan. Oleh karena itu kondisi masyarakat yang demikian itu tidak bisa dijadikan sebagai argumen yang
melemahkan posisi Alquran. 43
Oleh karena itu, penafsiran yang berorientasi kepada ihtidâ bî al-Qur’an
(menjadikan Al-Qur‘an sebagai petunjuk) merupakan kebutuhan yang selalu masa kini mengingat universalitas ajaran yang dikandungnya berlaku dalam mengatasi problem keumatan di sepanjang zaman. Sebab, menurut Muhammad Abduh bahwa secara fungsional kehadiran Al-Qur‘an itu berfungsi: (1) Al-Qur‘an ini
merupakan petunjuk (hâdi) dan pembimbing (mursy
îd
) hingga hari kiamat; (2)makna-makna kandungan Al-Qur‘an berlaku umum dan bersifat komprehensif;
(3) Al-Qur‘an tidak memberikan janji (wa’d), ancaman (wa‘îd), nasihat (wa’azh)
dan arahan (irsyâd) hanya kepada segelintir orang tertentu; dan (4) muatan janji,
ancaman, berita gembira, dan peringatannya memuat akidah, akhlak, kebiasaan, dan kegiatan yang terdapat pada berbagai masyarakat dan bangsa. Oleh sebab itu, Muhammad Abduh mengingatkan bahwa, siapapun jangan terkecoh oleh pendapat sebagian penafsir bahwa ayat-ayat ini berkaitan dengan orang-orang
42Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 19 dan 25.
43Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 151 surah Ali Imran, ayat ini
memuat informasi tentang orang kafir dan musyrik yang qalbunya penuh dengan keraguan kepada Allah dan segala yang datang dari pada-Nya. Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 179.
(35)
munafik yang hidup pada zaman Nabi Muhammad saw. sehingga diduga bahwa
ayat-ayat itu tidak lagi relevan meski berkaitan dengannya. 44
Ternyata urgensi orientasi penafsiran Al-Qur‘an yang digagas oleh Muhammad Abduh tersebut didukung oleh murid Muhammad Abduh, Sayid Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) yang mengakui bahwa, terdapat kebutuhan mendesak atas suatu tafsir yang pusat perhatiannya pada petunjuk
(hidâyah) Al-Qur‘an melalui cara-cara yang karakternya sesuai dengan tujuan
diturunkannya Al-Qur‘an itu sendiri, yaitu untuk memberi peringatan (al-indzâr),
warta gembira (al-tabsyîr), memberi petunjuk (al-hidâyah), dan perbaikan (al-
ishlâh). 45
Mencermati urgensi pembaharuan sikap terhadap keberadaan Al-Qur‘an dan penafsirannya yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Ridha tersebut, di dalamnya juga ditemukan term-term yang berkaitan dengan sebagian
aktivitas dakwah, yaitu ishlâh (perbaikan), irsyâd (bimbingan), bayân
(penjelasan), wa’azh (nasihat), indzâr (peringatan), wa’ad dan wa’îd (reward dan
punishment), tabsyîr (kabar gembira), tanzîh al-nafs (pembersihan jiwa), dan
hujjah (argumen rasional). Dengan demikian, bahwa sebagian kandungan dalam
tafsir Al-Manâr adalah berhubungan dengan pemikiran dakwah Islam menurut
penulisnya. Asumsi ini juga didasarkan pada pendapat Muhammad Abduh sendiri,
menurutnya bahwa surat makiyyah merupakan surat-surat Al-Qur‘an yang
diturunkan pada masa awal Islam untuk kepentingan dakwah dan untuk menjelaskan dasar-dasar agama dan prinsip-prinsip umumnya berupa: (1) keimanan kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan para nabi, (2) meninggalkan berbagai keburukan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang dikenali oleh manusia melalui akal dan fitrahnya, dan (3) melakukan berbagai kebajikan dan kebaikan yang diketahui menurut kemampuan penalaran dan kesungguhan
44Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 20 surah al-Baqarah, ayat ini
berkaitan dengan perumpamaan kehidupan orang kafir yang menjalani jalan yang gelap. Lihat Al- Manâr, jld. I, hlm. 179.
(36)
berpikir yang menjadi fungsi hati dan nurani. 46 Dengan demikian dapat dipahami bahwa Al-Qur‘an sebagai kitab dakwah.
Term-term dakwah yang tercantum dalam urgensi penafsiran Al-Qur‘an
yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh tersebut, terdapat pula term al-wa’zhu
(ceramah peringatan), indzâr (peringatan), wa’ad (reward), wa’îd (punishment),
tabsyîr (kabar gembira), tanzîh al-nafs (pembersihan jiwa), peranan fitrah (potensi
dalam penciptaan), dan dhamir (nurani) dalam memahami kebajikan dan
kebijakan. Apa dan bagaimana posisi term-term ini dalam struktur sistem dakwah menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan menggunakan analisis perbandingan dengan pemikiran pakar dakwah selain Muhammad Abduh.
Sehubungan dengan pendapat Muhammad Abduh mengenai Al-Qur‘an sebagai kitab yang diturunkan untuk kepentingan dakwah, Sayid Kutub berpendapat bahwa Al-Qur‘an merupakan satu-satunya tempat kembali bagi para penyeru dakwah dalam melakukan kegiatan dakwah, dan dalam menyusun
gerakannya.47 Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu al-A‘la al-Maududi
juga berpendapat bahwa:
!
!"
#
(Al-Qur‘an adalah kitabdakwah dan metode pergerakan)48.
Kemudian Muhammad Abduh juga menjelaskan argumennya bahwa
tanâsub (hubungan) kandungan Q.S. al-Baqarah dengan Q.S. Ali Imran menggambarkan perihal dakwah Islam,yaitu: (1) masing-masing surat diawali
dengan menyebut al-kitâb dan perihal sikap manusia dalam meresponsnya, yaitu
ada yang menerima (mu’min), menolak (kâfir), dan oportunis (munâfiq). Hal ini
menunjukkan bahwa awal surah al-Baqarah merupakan informasi perjalanan episode awal dakwah Islam. Sedangkan dalam surah Ali Imran dijelaskan pula
respons manusia terhadap Alquran, ada yang ragu (zaygh) dan ada yang yakin
(râsikh). Hal ini menunjukkan bahwa sikap itu terjadi setelah menyebarnya dakwah Islam; (2) masing-masing surah menyebutkan klaim keyakinan Yahudi
46 Al-Manâr, jld. I, hlm. 32.
47Sayid Kutub, Fiqh Dakwah, terjemahan Fiqh al-Da’wah: Maudhû’ât fî al-Da’wah wa
al-Harakah, oleh Suwardi Effendi (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), hlm. 11.
48Abu al-A‘la al-Maududi, al-Mabâdi al-Asasiyyah li Fahm al-Qur’an (Lahor: Dâr al-
(37)
dan Nasrani sebagai keyakinan yang benar, dan bahwa dakwah Islam ditujukan kepada mereka; (3) dalam surah al-baqarah diinformasikan penciptaan Adam a.s. dan dalam surah Ali Imran diinformasikan penciptaan Isa a.s. yang di antara keduanya terdapat kesamaan penciptaan tanpa ayah keduanya sebagai da‘i pada zamannya; (4) masing-masing surah memuat penjelasan tentang hukum perang sebagai pembelaan diri, kebenaran, dan keberlangsungan dakwah Islam; (5) pesan moral dan etik dalam do‘a yang dimuat di akhir surah al-Baqarah berkaitan dengan permulaan dakwah yang diorientasikan pada tugas-tugas keagamaan dan memohon perlindungan dari para penentang dakwah. sedangkan do‘a di akhir surah Ali Imran berkaitan dengan penerimaan dakwah dan permohonan balasan amal di akhirat; dan (6) di awal surah al-Baqarah dijelaskan bahwa kemenangan dan keselamatan bagi orang-orang yang bertakwa. Sedangkan Hal yang sama dimuat dalam surah Ali Imran yang ditempatkan di akhir, sehingga awal dan akhir terdapat konsistensi yang sama tentang akibat pilihan positif terhadap pesan
dakwah Islam.49
Penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an yang dikerjakan oleh Muhammad Abduh dan dituliskan oleh muridnya Rasyid Ridha dalam tafsir Almanar hanya sampai
ayat 125 surah al-Nisa, yaitu: 50
"
"
"
$
(Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu).
Dalam pada itu, salah satu misi diterbitkannya Tafsir Almanar
sebagaimana ditegaskan oleh Rasyid Ridha:51
"
!"
% %
(Dan saya menerbitkan Almanar untuk dakwah ishlâh).
Sehubungan dengan Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh, menurut Abdullah Syahatah bahwa, menurut corak penafsirannya termasuk penafsiran Al- 49Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 153. Mengenai tanâsub surat dengan surat dalam struktur
mushaf al-Quran, antara lain telah dikaji secara khusus oleh al-Suyuthi mengenai tanâsub antara surat al-Baqarah dengan surat Ali-Imran ini. Lihat Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Tanâsuq al-Durar fi Tanâsub al-Suwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah , 1986), hlm. 63-74.
50Nomor ayat ini dalam mushaf Utsmani adalah ayat ke 126. Lihat Al-Manâr jld. V hlm.
440-445.
(38)
Qur‘an yang rasional yang ditujukan pada para pemikir modern, yang hanya dapat
menerima sesuatu yang rasional.52 Sementara itu Muhammad Quraish Shihab
mengomentari Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh sebagai salah satu kitab
Tafsir yang berorientasi sosial, budaya, dan kemasyarakatan.53
Sedangkan menurut komentar Mukti Ali tentang Tafsir Almanar, bahwa dalam ajaran tafsirnya, Muhammad Abduh berusaha menserasikan antara Islam dengan pandangan-pandangan kebudayaan modern dan mengikuti cara-cara pemikiran untuk mencari persesuaian antara agama dengan teori-teori ilmiah. Nilai yang paling besar dalam ajaran tafsirnya adalah bahwa ajaran itu menghidupkan perasaan dan menggerakkan emosi lebih banyak daripada kepada pembahasan masalah-masalah ilmu. ajaran tafsirnya itu lebih banyak ditujukan kepada hati daripada ditujukan kepada ilmu dan akal, sehingga kehidupan
beragama orang akan dapat terpengaruh.54
Dari beberapa komentar mengenai tafsir Almanar tersebut dapat dipahami bahwa penulisan tafsir Almanar terkandung maksud untuk kepentingan dakwah
dalam bentuk tulisan yang merupakan bagian dari macam kegiatan tablîgh Islâm.
Dengan demikian Tafsir Almanar merupakan sebuah teks tafsir yang lahir dalam sebuah wacana yang memiliki banyak variabel. Hal ini didasarkan atas pendapat Komaruddin Hidayat bahwa Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang memiliki banyak variabel, antara lain kondisi politis, ekonomis, psikologis, dan
sebagainya;‖55 dan pendapat Abdullah Ahmed al-Naim, menurutnya bahwa
penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam dipengaruhi oleh beberapa
kondisi, yaitu kondisi sosiologis dan ekonomis dari masyarakat tertentu.‖56
52 Lihat Abdullah Syahatah, Manhâj al-Imâm Muhammad Abduh fî Tafîir al-Quran al-
Karîm (Kairo: al-Majlis al-Alâ li Ri‘âyah al-Funûn wa al-Adab wa al-Ulûm al-Islamiyah, 1963), hlm. 84.
53M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran; Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 5. dan lihat Muhsin Abd al-hamid, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî (Herendon, al-Ma‘had al-Alamy li al-Fikr al-Islami, 1995), hlm. 106.
54Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 491.
55Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 19. 56Abdullah Ahmed al-Na‘im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law oleh Ahmad Suaedi dan Ahmad Anzai (Yogyakarta, 1977), hlm. xx).
(39)
Variabel-variabel yang menjadi wacana dan mempengaruhi penulis tafsir dan penafsirannya yang dikemukakan oleh dua ilmuwan tersebut tidak serta-merta
langsung terungkapkan dalam tafsir Al-Manâr secara utuh. Hal ini menuntut
penelusuran di luar teks tafsir Al-Manâr untuk mengetahui latar variabel yang
mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh, sehingga apa yang diungkapkan
dalam teks tafsir Al-Manâr yang berkaitan dengan hal ihwal dakwah Islam dapat
dipahami dengan pemahaman yang mendekati maksud Muhammad Abduh sebagai penulisnya. Maka pendekatan biografis sosial penulisnya dapat digunakan. Hal ini sejalan dengan apa yang ditempuh oleh Zainal Abidin Ahmad, terutama ketika mengkaji tentang Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina (980-
1037 M).57
Kemudian bagaimana memahami kandungan teks tafsir Almanar tentang pemikiran dakwah Islam, yang dipaparkan oleh Muhammad Abduh, hal ini dapat
menggunakan pendekatan dilâlah (teori pemaknaan), teori dakwah, psikologi
qurani dan teori komunikasi yang berkaitan dengan obyek material kajian dakwah, yakni perilaku manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, diri orang lain, dan lingkungan hidupnya sebagai proses implementasi al-Islam.
Kajian yang menghadirkan kembali pemikiran dakwah Islam menurut Muhammad Abduh yang menitikberatkan pada upaya perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat baik problem psikologis maupun problem sosiologis sebagai suatu hal yang baru pada zamannya dipandang perlu. Sebab masih relevan dengan kehidupan bergama umat Islam pada zaman sekarang.
Hal tersebut antara lain didasarkan atas pendapat tiga ilmuwan muslim,
yaitu: pertama, pendapat Azyumardi Azra, bahwa Islam tidak hanya memberikan
ukuran-ukuran moral, tetapi juga memberikan kesempatan kepada potensi yang dimiliki manusia untuk ikut menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber dari wahyu Allah itu
57Lihat H. Zainal-Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina (Jakarta:
(40)
termasuk akal dan qalbu (hati nurani)-nya; 58 kedua, pendapat Komaruddin Hidayat, bahwa tatkala prestasi di bidang iptek dijadikan satu-satunya acuan dan ukuran keberhasilan, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan kualitas hidup. Nilai-nilai kehidupan seperti kebersamaan, solidaritas sosial, kasih sayang antarsesama, mulai tergeser dari keprihatinan dan wacana keseharian ketika keserakahan pada materi yang disimbolkan oleh keberhasilan iptek menjadi acuan
yang dominan; 59 dan ketiga, pendapat M. Yunan Yusuf, bahwa gerakan dakwah
mestinya muncul sebagai solusi untuk membawa umat kepada sesuatu yang menghidupkan dan menyemangati, bukan mengancam dan menakut-nakuti. Upaya menghidupkan dan menyemangati dalam arti memberikan advokasi
material maupun sepiritual yang menyejahterakan kehidupan mereka sehari-hari.60
Dalam ketiga pendapat tersebut, bagi yang pertama terdapat kesejalanan dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai perlunya menggunakan akal dan qalbu dalam memahami teks Alquran. Pendapat yang kedua sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh tentang adanya problem keumatan yang memerlukan upaya perbaikan dan mencari solusi melalui dakwah. Sedangkan pendapat yang ketiga sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai urgensi adanya gerakan dakwah sebagai upaya mengatasi problem psikologis dan sosiologis keumatan.
Muhammad Abduh diyakini oleh Ibrahim Imam sebagai salah seorang ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan dakwah Islam, yang gerakannya
disebut dakwah salafiah.61Sedangkan pemikiran dakwah yang berintikan pendapat
dan gagasan dakwah sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Karim Bakar, adalah 58Azyumardi Azra, Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial ‖ dalam Nurcholis
Madjid dkk. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer (Jakarta: Media Cita, 2000), hlm. 391.
59Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern‖ dalam Nurcholis
Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, hlm. 98.
M. Yunan Yusuf, Tafsir Sosial atas Dakwah bi al-Hal‖ dalam Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, hlm. 438. Lihat Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat (Bandung: Humaniora Utama, 2006), hlm. 50.
Lihat Ibrahim Imam, Ushul al-‘Ilâm al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-arabi, 1985), hlm. 186-188.
(41)
aktivitas akal dalam memahami, mengkaji dan memecahkan persoalan dakwah
dengan menggunakan cara kerja akal.62
Selain itu, Muhammad Abduh adalah salah seorang da’i dan pemikir
dakwah, karena aktivitas dakwah bagi Muhammad Abduh merupakan bagian dari tekad dan sumpah atas nama Allah dalam perjuangan hidupnya, isi sumpah itu sebagaimana dijelaskan oleh Utsman Amin yang dikutip oleh Firdaus AN, bahwa Muhammad Abduh bersumpah atas nama Allah akan berpegang teguh kepada kitab Allah (Alquran) dalam segala amal bakti dan sikap moralnya tanpa penyimpangan dan penyesatan; Ia akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk perintah atau larangan-Nya dan akan berdakwah sepanjang hayatnya tanpa pamrih; Ia bersumpah akan rela mengorbankan apa
yang ada pada dirinya untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam (ukhuwwah
islâmiyyah) yang mendalam; tidak akan mendahulukan kecuali apa yang diprioritaskan oleh agama Allah, dan tidak akan menta‘khirkan kecuali apa yang dikemudiankan oleh agama; tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian bagi agama sedikit ataupun banyak; dan Ia berjanji kepada Allah akan selalu berdaya upaya mencari segala jalan atau peluang untuk
kekuatan Islam dan kaum muslimin.63
Dari substansi sumpah Muhammad Abduh di atas dapat dipahami, bahwa Muhammad Abduh bukan hanya memiliki pemikiran dakwah, akan tetapi juga merealisasikan pemikirannya itu. Sehubungan dengan hal ini Rif‘at Syauqi Nawawi mengakui bahwa Muhammad Abduh sesungguhnya mempunyai
komitmen yang tinggi terhadap dakwah Islam‖. Dakwahnya tidak hanya ditujukan
kepada kaum yang telah beriman, tetapi juga ditujukan untuk kaum penganut
materialisme agar mereka juga mengakui dan mengerti akan adanya malaikat.‖64
Pengakuannya ini dikemukakan ketika menganalisis pendapat Muhammad Abduh mengenai keberadaan malaikat.
Lihat Abdul Karim Bakar, Muqaddimât li al-Nuhudh bi al-‘Amal al-Da’awi, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2001), hlm. 13-18.
63Firdaus AN, Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya dalam Muhammad Abduh,
Risâlah Tawhîd, terj. Firdaus AN. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 19-20.
64Rif‘at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah
(42)
Oleh karena itu, fokus persoalan penelitian mengenai apa sajakah dan bagaimana substansi pemikiran dakwah Muhammad Abduh yang termuat dalam
Tafsir Al-Manâr adalah persoalan yang memiliki relevansi dan urgensi bagi
perbaikan dan mensolusi persoalan keumatan masa kini yang menarik untuk dikaji.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka masalah yang diteliti diidentifikasi, dibatasi, dan dirumuskan sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah
Substansi pemikiran dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh
dalam Tafsir Al Manâr, masalah yang menarik untuk dikaji meliputi:
1) Bagaimana gagasan mengenai konsep dakwah yang di dalamnya berkaitan dengan apakah hakikat, dasar hukum, dan tujuan dakwah;
2) Apa dan bagaimana hakikat Islam dan karakteristiknya sebagai maudhû’
al-da’wah;
3) Apa dan bagaimana karakteristik manusia dan umat sebagai da’i dan
mad’u;
4) Apa sajakah bentuk-bentuk dakwah dalam mencari solusi problem mad’u
yang di dalamnya melibatkan unsur metode, media, dan sasaran masing- masing bentuk dakwah;
5) Bagaimana pola kaderisasi da’i profesional (takwîn al-du’ât) dari aspek
urgensi, dasar, tujuan, materi, dan metodenya.
6) Bagaimana gagasan mengenai sunnah Allah yang berlaku bagi alam semesta (hukum alam sebagai bagian dari hukum Allah dijadikan acuan dalam merumuskan prinsip-prinsip dakwah;
7) Apasajakah substansi sunnah Allah yang berlaku bagi alam semesta sabagai bagian dari hukum Allah dan bagaimana implementasinya dalam proses dakwah;
(1)
(2)
Menjadi Pribadi Muslim Paripurna
(3)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1953 di Babakanraden Cariu Bogor, sebagai anak ke sembilan dari dua belas bersaudara, putera pasangan H. Abdullah (alm) dan Hj. Siti Zainab.
Tamat Madrasah Wajib Belajar (MWB) Babakanraden Cariu Bogor pada tahun 1968, Madrasah Tsanawiyah Al-Baqiyatus-Shalihat Cibogo Bekasi tahun 1971, Sekolah Persiapan Institut Agama Islam (SP-IAIN) Sunan Gunung Djati Bogor tahun 1974, Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 1977, Sarjana Lengkap Jurusan Dakwah Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 1981, pada tahun 1993 mendapat kesempatan mengikuti program S2 Bidang Kajian Utama Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu-ilmu Sosial Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung selesai tahun 1998, dan pada tahun 1997 diterima mengikuti Program Doktor Bebas Terkendali PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan II hingga sekarang.
Berbarengan dengan jenjang pendidikan formal sekolah, ia mengikuti pengajian di beberapa pesantren, yaitu pada tahun 1966-1968 di Pesantren Al- Baqiyatus-Shalihat Cibogo Bekasi, tahun 1969-1974 diPesantren Al-Barkah Bantarpete Bogor, dan tahun 1975-1979 di Pesantren Al-Jawami Sindangsari Cileunyi Bandung.
Pengalaman pekerjaan, pada tahun 1979-1981 sebagai Penyuluh Penerangan Agama Islam Kecamatan Ujungberung Kabupaten DT. II Bandung, tahun 1982-1985 Sekretaris Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1986-1989 Sekretaris Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1990-1992 Ketua Jurusan Tafsir-Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1993-1995 Pembantu Dekan III Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1996-1999 sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1999-2007 sebagai Dekan Fakultas Dakwah IAIN/UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan tahun 2008-sekarang sebagai ketua
(4)
272
LPM (Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat) UIN sunan Gunung Djati Bandung.
Sejak tahun 1992 sampai sekarang sebagai tenaga pengajar dalam mata kuliah Ilmu Dakwah, dan terakhir 1 April 1998 sebagai Lektor Kepala IV/c dalam mata kuliah Ilmu Dakwah.
Karya tulis yang penulis hasilkan berupa buku/diktat antara lain:
1. Pengantar Ilmu Dakwah: Perspektif Alquran (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1993);
2. Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW, terj. Karya Husain Muhammad Yusuf, Sabîl al-Da’wah (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1993);
3. Tehnik Khithâbah: Perspektif Alquran (Bandung: Fakultas Dakwah, 1996);
4. Metode Analisis Isi: Suatu Pengantar (Bandung: Fakultas Dakwah, 1996); 5. Mantik: Kaidah Berpikir Islami (Bandung: Rosdakarya, 1996);
6. Perkembangan dan Pengembangan Ilmu Komunikasi (Bandung: Fakultas Dakwah, 1996);
7. Matan Wilayah Kajian Ilmu Dakwah (Bandung: Fakultas Dakwah, 1998); 8. Dasar-dasar Bimbingan Islam (KP-Hadid, 1999);
9. Epistemologi Do’a (KP-Hadid, 2001);
10. Quantum Do’a (Bandung: al-Hikmah, 2006);
11. Fiqh Marîdh I (Bandung: Pemprov Jabar, 2003);
12. Fiqh Marîdh II (Bandung: Pemprov Jabar, 2003);
13. Metode Etnografi untuk Penelitian Dakwah (KP-Hadid, 1999);
14. Syarhil Quran tentang Kesalehan Sosial (Bandung: LPTQ Jabar, 2006);
15. Risalah Pohon Ilmu Dakwah (KP-Hadid, 2005);
16. Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah (KP-Hadid, 2005);
17. Kode Etik Kader Da’i Profesional (Bandung: KP-Hadid, 2004);
18. Dakwah Damai: Pengantar Dakwah Antarbudaya (Bandung: Rosdakarya,
2007).
19. Taxonomy Yes! Dichotomy, No! Epistimologi Ilmu Islam Menurut
(5)
273
Karya tulis yang berupa hasil penelitian antara lain:
1. Kritik terhadap Filsafat Atheisme Berdasarkan Alquran (Risalah Sarjana Muda, 1977);
2. Urgensi Praktikum Dakwah bagi Mahasiswa Jurusan Dakwah Fakultas
Ushuluddin: Suatu Evaluasi (Skripsi Sarjana Lengkap, 1981);
3. Tanggapan Imam Syafi’i terhadap Inkarussunnah sebagai Hujjah Hukum
Islam (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1994);
4. Relevansi antara Makna TIBMANRA dengan Substansi Pola Dasar
Pembangunan Provinsi DT. I Jawa Barat Memasuki PJP II (Bandung: PP.
IAIN, 1996);
5. Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu: Kajian tentang Kepemimpinan Adat dalam Komunikasi Intrabudaya di Kampung Naga Tasikmalaya
Jawa Barat (Tesis Magister Sains, Unpad, 1998).
Pengalaman di bidang kegiatan kemasyarakatan, antara lain: 1993-1997 Ketua Biro Pemuda MDI Jabar, 1992-1997 Ketua DPD Angkatan Muda Satuan Karya Ulama Indonesia (AMSI) Jawa Barat, 1994-1997 Komisi Organisasi MUI Jawa Barat, 2004-sekarang Ketua Bidang Dakwah dan Syiar Islam MUI Kota Bandung, 1998-sekarang anggota Dewan Pakar ICMI Orsat Bandung Timur, 1998-sekarang Ketua Umum Majelis KAHMI Kabupaten DT. II Bandung, 1998- sekarang Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat IKA-IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2003-2009 Ketua Umum MPN APDI (Majelis Pengurus Nasional Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia) Periode Perintisan dan pada Kongres II APDI tanggal 15-17 Mei 2009 di Surabaya diberi amanat sebagai ketua Dewan Pakar APDI Nasional periode 2009-2013. 2001-sekarang ketua Bidang Pembinaan dan Latihan LPTQ Jawa Barat. 2000-sekarang ketua Bidang Dakwah Masjid Raya Profinsi Jawa Barat, 2005-sekarang anggota Forum Silaturahim Dewan Kemakmuran Masjid ASEAN dan menjadi Dewan Hakim Nasional MSQ pada MTQ Nasional di Palangkaraya dan di Banten (17-24 Juni 2008).
Pada tahun 1979 menikah dengan Hj. Mimin Mintarsih dan telah dikaruniai lima anak: Indira Sabet Rahmawati, S.Ip, M.Ag (29 tahun), Alex
(6)
274
Muhammad Mustafa, S.Sos.I (27 tahun), Mela Mustika Amalia, S.Pd.I (24 tahun), Arif Syamsul Alam (22 tahun), dan Ida Ayu Nur’arafah (17 tahun), dan kini bertempat tinggal di Jl. Permai VI/IL 99 Kelurahan Cipadung, Kecamatan Cibiru, Kodya Bandung, telepon (022) 7809537.