FORMULASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

LAMPUNG by

Ludfiana Dwi Kosari

Children should receive the widest possible opportunity to grow and develop optimally, both physically, mentally and socially. The Women's Ministry together with relevant government sectors, community organizations and non-governmental organizations developed a model of the City Worth Child, the city in which the spirit has been concocted to provide protection to children as an activity or effort to guarantee and protect the child. This study aims to determine how the process of policy formulation KLA in the city of Bandar Lampung and KLA policy content in accordance with public issues.

This study used qualitative research methods. The data used are primary and secondary data. The data has been processed and then presented in the form of descriptions, then interpreted or construed to be discussed and analyzed qualitatively, then to proceed drawn a conclusion.

Based on the results of research and discussion in mind that the process policy formulation of KLA has been through stages in accordance with the process of formulating a policy. In the policy process looks different backgrounds and dynamics as well as the role of the actors involved in its formulation. In the process of formulating this policy, the main actor or actors most dominant is the Ministry of Women's Empowerment and Child Protection as the technical agency proposer draft local regulations and BKKB & PP Bandar Lampung who conduct discussions on policy. Public policy formulation process in line with the incremental model. Previously existing policy rules used by the Ministry of Women's Empowerment and Child Protection as a guide and reference in formulating the policy formulation process KLA. Implicit in the regulation instead of a statute or regulation to be done but is used as a guide in formulating government agencies as well as other elements related to the KLA policy.


(2)

FORMULASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

Ludfiana Dwi Kosari

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ADMINISTRASI NEGARA

Pada

Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(3)

BANDAR LAMPUNG Oleh

Ludfiana Dwi Kosari

Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan bersama sektor pemerintah terkait, organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat mengembangkan model Kota Layak Anak, yaitu kota yang di dalamnya telah meramu semangat untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai kegiatan atau upaya untuk menjamin dan melindungi anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah proses perumusan kebijakan KLA di Kota Bandar Lampung dan isi kebijakan KLA sesuai dengan masalah publik.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu diintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk dilanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa proses perumusaan kebijakan KLA telah melalui tahap-tahap yang telah sesuai dengan proses formulasi sebuah kebijakan. Dalam proses kebijakan tersebut tampak berbagai latar belakang dan dinamika serta peran aktor yang terlibat dalam perumusannya. Dalam proses perumusan kebijakan ini, aktor utama atau aktor yang paling dominan adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selaku instansi teknis pengusul raperda dan BKKB dan PP Kota Bandar Lampung yang melakukan pembahasan terhadap kebijakan. Proses formulasi kebijakan publik yang sejalan dengan model inkremental. Aturan kebijakan sudah ada sebelumnya digunakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai pedoman dan acuan dalam menyusun proses perumusan kebijakan KLA. Secara implisitnya peraturan tersebut bukan menjadi ketetapan atau ketentuan yang harus dilakukan namun digunakan sebagai panduan lembaga pemerintah dalam menyusun serta unsur lainnya yang berkaitan dengan kebijakan KLA.


(4)

FORMULASI KEBIJAKAN KOTA LAYAK ANAK (KLA) DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh :

LUDFIANA DWI KOSARI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

(6)

(7)

(8)

Penulis bernama lengkap Ludfiana Dwi Kosari lahir di Jambi tanggal 16 Maret 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kosasih dan Ibu Siti Napsiah.

Pendidikan yang telah penulis tempuh adalah Taman Kanak-Kanak Sari Putera Jambi pada tahun 1998-1999, Sekolah Dasar Kartika II-5 Bandar Lampung pada tahun 1999-2005, SMPN 4 Bandar Lampung pada tahun 2005-2008 dan aktif di kegiatan Pramuka dan Basket, SMAN 10 Bandar Lampung pada tahun 2008-2011 dan aktif di kegiatan OSIS dan Basket. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswi Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2011-2012 penulis sempat menempuh program pendidikan D1 Bahasa Inggris di Lembaga Bahasa Inggris (LBI) Bandar Lampung.

Penulis pada tahun 2011 tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara (Himagara). Pada tahun 2014 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Desa Sidoluhur Kecamatan Bangunrejo Kabupaten Lampung Tengah.


(9)

PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah SWT

Dengan segala kerendahan hati kuucapkan syukur

atas karunia Mu kepadaku

Penulis dedikasikan karya kecil ini untuk :

Kedua Orang Tua serta kakakku tercinta yang selalu

memberikan yang terbaik untukku, terimakasih atas

segala cinta, pengorbanan, kesabaran, motivasi,

keikhlasan dan do’a yang tiada henti

nya dalam

menanti keberhasilanku.

Seluruh keluarga besarku, sahabat, teman-temanku,

kakak tingkat dan adik tingkat yang selalu

mendukungku.


(10)

MOTO

Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil. Kita baru

yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik.

( Evelyn Underhill )

Do your best, so you can’t blame yourself for anything.


(11)

SANWACANA

Alhamdulillahirrabil’alamin segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Atas segala kehendak dan kuasa Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Formulasi Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Administrasi Negara (SAN) pada Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang peneliti miliki. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain :

1. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.Sos, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara.

2. Ibu Dr. Novita Tresiana, S.Sos., M.Si. selaku dosen pembimbing utama. Terimakasih bu atas saran, masukan, waktu, motivasi dan bimbingannya yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Dewie Brima Atika, S.IP., M.Si. selaku dosen pembimbing kedua


(12)

4. Bapak Drs. Ikram, M.Si. selaku dosen pembahas. Terima kasih bapak atas arahan, saran, masukan, waktu, kesabaran dan dukungan yang diberikan sehingga telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Nana Mulyana, S.IP., M.Si. selaku dosen Pembimbing Akademik.

Terimakasih pak atas waktu, motivasi dan masukannya yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Nur selaku Staf Administrasi yang banyak membantu kelancaran adminstrasi skripsi ini

7. Seluruh dosen Ilmu Administrasi Negara, terimakasih atas segala ilmu yang telah peneliti peroleh selama proses perkuliahan semoga dapat menjadi bekal yang berharga dalam kehidupan peneliti ke depannya. 8. Kantor BKKB dan PP Kota Bandar Lampung yang telah memberikan izin

penelitian, khususnya kepada ibu Ruth Dora dan ibu Tuti yang telah membantu penulis demi kelancaran penelitian.

9. Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung dan Dinas Sosial Kota Bandar Lampung terimakasih atas kerjasamanya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10.Kepada Asosiasi Anak Yayasan Bina Harapan Bangsa Lampung terimakasih atas keramahan dan waktu yang diberikan kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya penelitian ini.

11.Keluargaku tercinta yang selalu mendoakan dan mendukungku baik secara moril maupun materil. Kepada Bapak dan Ibu yang tak pernah lelah


(13)

yang selalu jadi penyemangat dan inspirasi dalam hidup ku dan selalu mengingatkan untuk selalu dekat dengan Allah SWT dengan rajin shalat, mengaji dan berdoa. Doakan selalu anakmu, insya Allah anakmu dapat meraih sukses dan dapat dibanggakan. Mas Wawan kakak ku satu-satunya yang telah memberikanku semangat dan hiburan canda tawa dengan berbagai cara disaat aku dilanda kebosanan dan keputusasaan sehingga aku dapat tersenyum dan semangat lagi untuk menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih ibu dan bapak sudah menjadi orangtua yang baik dan menyayangiku dengan tulus serta mendoakan ku untuk selalu lebih baik. Aku sangat beruntung memiliki keluarga seperti kalian.

12.M. Iqbal Rinaldi terimakasih atas kritik, saran, dukungan dan semangatnya yang telah diberikan kepada penulis.

13.Terimakasih untuk sahabatku (RumpiCyin). Cita, Mimi, Nissa, Arnest, Sarah, Mirta, Hein, Andin, dan Chaca atas dukungan, canda tawa dan bantuannya selama ini kepada ku.

14.Teman terbaik ku selama di bangku kuliah (Gengges). Eky, Ratu, Novia, Silvia, Ayuk Farah, Pebie, Feby, dan Tami. Terimakasih atas bantuan dan semangat yang diberikan selama ini. Semoga pertemanan kita tidak hanya di bangku kuliah saja, namun dapat bertahan sampai tua kelak. Aamiin. 15.Seluruh angkatan ANE 011 Alisa Rizky, Faizal, Ria Eridanita, Riza, Lisa

Sagita, Sylvia, Okta, Octa , Ahmed, Akbar, Andi, Astri, Kartika, Hesty, Seza, Eka, Deo, Ibnu, Kristi, Tiwi, Rendy, Ciko, Rinanda, Iid, Ade, Laras,


(14)

Kiyo, Leli, Juzna, Ayu, Fatma, Mut, Fitri, Manda, Popo, Panggo, Rosyid, Wahyu, Sigit, Novi Nurkholis, Toto, Esa, Rano, Yori, Novilia, Dayat, Ellse, Doni, Filardis makasih atas motivasi dan dukungannya.

16.Serta pihak-pihak dan teman-teman lainnya yang sulit disebutkan satu per satu karena keterbatasan. Sekali lagi terimakasih atas dukungan, bantuan, kerjasama, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kebijakan Publik ... 10

1. Pengertian Kebijakan Publik ... 10

2. Elemen-elemen dalam Kebijakan Publik ... 13

3. Tahap-Tahap Kebijakan Publik ... 17

B. Formulasi Kebijakan Publik ... 19

1. Pengertian Formulasi Kebijakan Publik ... 19

2. Model-Model Formulasi Kebijakan Publik... 21

3. Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan Publik ... 26

C. Kebijakan dan Program Kota Layak Anak ... 32

D. Penelitian Terdahulu ... 36

E. Kerangka Pikir ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ... 40

B. Fokus Penelitian ... 41

C. Lokasi Penelitian ... 41

D. Jenis dan Sumber Data ... 42

E. Teknik Pengumpulan Data ... 43

F. Analisis Data ... 45

G. Teknik Keabsahan Data ... 46

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKKB & PP) ... 49


(16)

Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung ... 61 B. Analisis Formulasi Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) Di

Bandar Lampung ... 84

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 92 B. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA


(17)

Halaman Tabel 1. Kondisi Pendidikan di Kota Bandar Lampung Tahun 2011-2013 .. 6 Tabel 2. Jumlah Kelompok, Jumlah Peserta dan Jumlah Guru PAUD di

Kota Bandar Lampung 2012 s/d 2014 ... 69 Tabel 3. Jumlah Kekerasan Terhadap Anak di Kota Bandar Lampung

Tahun 2007-2014 ... 70 Tabel 4. Anak Bermasalah Dengan Hukum di Kota Bandar Lampung

Tahun 2013 s/d 2014 ... 71 Tabel 5. Klasifikasi Masalah Anak di Kota Bandar Lampung ... 73 Tabel 6. Ragam Permasalahan Anak di Kota Bandar Lampung ... 79 Tabel 7. Alokasi Dana APBD Kota Bandar Lampung Untuk Program


(18)

Halaman

Gambar 1. Bagan Alur Perumusan Kebijakan Publik ... 30

Gambar 2. Kerangka Pikir ... 39

Gambar 3. Struktur Organisasi BKKB & PP Kota Bandar Lampung ... 53

Gambar 4. Persentase (%) Jumlah Akta Kelahiran Tahun 2014 ... 66


(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa, yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun Negara dan Bangsa Indonesia. Anak merupakan subjek dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi Bangsa Indonesia, masyarakat yang adil dan makmur baik secara spiritual maupun materil. Anak adalah modal pembangunan, yang akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan hasil pembangunan fisik, mental dan sosial Indonesia.

Setiap anak memerlukan perlindungan dan dalam hal ini kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan Undang-Undang tersebut maka Negara menjamin hak-hak anak yaitu memiliki tingkat kebebasan yang optimal, memperoleh pendidikan, mendapatkan perlindungan dan kesempatan berpartisipasi. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.


(20)

Selanjutnya ditetapkan pula Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 19 Januari 2005. Dalam Bab 12 Lampiran Perpres tersebut tercantum tentang peningkatan Kualitas Kehidupan dan Peran Perempuan serta Kesejahteraan dan Perlindungan Anak. Melalui Perpres ini, pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan anak dan mewujudkan anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia; serta melindungi anak terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

Setiap kali kita menelaah masalah sosial anak selalu timbul keprihatinan yang mendalam, seperti banyak anak-anak yang terpaksa menanggung resiko akibat dari kelalaian atau ketidakmampuan orang dewasa dalam melindungi mereka. Secara individu, jutaan anak menghadapi resiko busung lapar dan ketidakcukupan nutrisi yang mengancam pertumbuhan dan masa depannya. Mereka menghadapi ketidakpastian untuk hal-hal mendasar yang seharusnya menjadi hak mereka seperti kepemilikan akta kelahiran, akses terhadap pendidikan yang terjangkau, terbebas dari perlakuan salah, kekerasan ekonomi, seksual dan psikis.1

Sejak tahun 2006 hingga saat ini rata-rata terdapat 2 sampai 4 anak mengalami tindak kekerasan setiap hari. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan. Jumlah anak yang berkonflik dengan hukum mencapai 4.277 anak, hal ini berarti setiap hari terdapat 11 sampai dengan 12 anak berkonflik dengan hukum (Bareskrim POLRI), sementara itu anak yang hidup di penjara hingga saat

1

http://kemenpppa.go.id/, Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), diakses 2 September 2014 23.02 WIB


(21)

ini mencapai 13.242 anak. Di sektor pendidikanpun anak-anak masih banyak yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan. Angka Partisipasi Murni Sekolah Menengah Pertama sebesar 65,37% tahun 2005. Padahal seharusnya dengan program Wajib Belajar 9 tahun, diharapkan semua anak Indonesia dapat menikmati pendidikan dasar.2

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai Pelaksanaan Konvensi PBB tentang Hak Anak; Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT); undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan; dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang memuat upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan anak dan mewujudkan anak Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia; serta melindungi anak terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.

Kemudian, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) bersama sektor pemerintah terkait, organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat mengembangkan model Kota Layak Anak, yaitu kota yang di dalamnya telah meramu semangat untuk memberikan perlindungan terhadap anak sebagai kegiatan atau upaya untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya dalam proses pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kota/Kabupaten Layak anak (KLA). KLA dimaksudkan sebagai suatu upaya

2

http://www.kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=74:unicef, diakses 2 September 2014 23.17 WIB


(22)

nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota.3

KLA bertujuan untuk membangun inisiatif pemerintah kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak-hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, dan intervensi pembangunan, dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pembangunan, dalam upaya pemenuhan hak-hak anak pada suatu dimensi wilayah kabupaten/kota. Pemenuhan hak anak berdasarkan KHA mencakup 5 (lima) klaster, yaitu: (a) hak sipil dan kebebasan; (b) lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (c) kesehatan dasar dan kesejahteraan; (d) pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni dan budaya; dan (e) perlindungan khusus.

Sejak KLA diadakan, Indonesia telah membuat undang-undang maupun dasar hukum untuk mengatur kebijakan program ini agar berhasil di masyarakat, salah satunya adalah Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PERMEN PP/PA) No. 2 Tahun 2009 tentang Kota Layak Anak yang kemudian mengalami revisi menjadi PERMEN PP/PA No. 11 tahun 2011 tentang kebijakan pengembangan kota layak anak.

Atas dasar tersebut Kota Bandar Lampung dalam rangka penyadaran semua pihak akan hak-hak anak serta pembangunan yang responsif anak khususnya terkait dengan norma standar, prosedur kriteria, maka Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung menetapkan kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan kondisi otonomi daerahnya

3

Tim Penyusun, Panduan Kebijakan pengembangan Kota Layak Anak, Kementrian


(23)

yang kemudian kebijakan tersebut disebut kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak.

KLA adalah strategi pembangunan Kabupaten/Kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dengan program dan kegiatan pemenuhan hak anak. Di Kota Bandar Lampung sendiri kebijakan tentang Kota Layak Anak telah dimulai sejak awal tahun 2013. Dengan mencanangkan kebijakan ini, diharapkan menjadi motivasi agar memberikan masa depan yang terbaik bagi anak, sehingga yang menjadi tujuan ini bisa membuahkan hasil yang positif terhadap tumbuh kembang anak-anak di Lampung.4

Pemerintah Kota Bandar Lampung melalui Badan Koordinasi Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKKB dan PP) banyak melakukan sosialisasi menyangkut ditunjuknya Kota Bandar Lampung sebagai Kota Layak Anak. Dalam pembentukan tim pelaksana didasarkan pada SK Walikota No.344/111.21/HK/2012 tentang Pembentukan Tim Gugus Tugas Kota Layak Anak (KLA) Kota Bandar Lampung dalam Pengembangan KLA oleh Tim Pelaksana Pengembangan KLA. Mulai tahun 2013 sampai dengan 2018 Bandar Lampung menjadi kota pengembangan KLA dan tahun 2019 diharapkan Bandar Lampung menjadi Kota Layak Anak.

Indikator keberhasilan KLA dapat dilihat dari indikator umum dan khusus. Untuk indikator umum yakni tersedianya pemenuhan atas hak-hak anak di segala bidang sebagai warga Kota. Program pengembangan KLA di Kota Bandar Lampung

4

http://lampost.co/berita/lampung-canangkan-kota-layak-anak, 21 Juni 2012, diakses 2 September 2014 23.17 WIB.


(24)

dibagi menjadi 4 bidang besar, yaitu: kesehatan, pendidikan, perlindungan, dan partisipasi anak; dengan ukuran keberhasilan (indikator) yang meliputi: kesehatan, pendidikan, sosial, hak sipil dan partisipasi, perlindungan hukum, perlindungan ketenagakerjaan, dan infrastruktur.

Berdasarkan 4 indikator program pengembangan KLA tersebut, kesehatan dan pendidikan kebutuhan terpenting dalam pemenuhan hak-hak anak. Sampai tahun 2013 kondisi pendidikan Kota Bandar Lampung masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari Angka Partisipasi Kasar, Angka Partisipasi Murni, Angka Putus Sekolah, Angka Melanjutkan dan Angka Kelulusan pada semua jenjang pendidikan. Bahwa terget kinerja yang terdapat dalam Program Aksi Kota Layak Anak yakni pada tahun 2013 APK dan APM baik SD, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA harus mencapai 100%. Kondisi pendidikan selengkapnya terlihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Kondisi Pendidikan di Kota Bandar Lampung Tahun 2011-2013

No. Indikator 2011 2012 2013

1. APK PAUD dan TK (%) 78,02 80,48 88,37 2. APK SD (%) 95,16 96,83 96,86 3. APK SMP (%) 90,93 96,42 95,53 4. APK SMA/SMK/MA (%)

42,76 50,79 66,76

Sumber: Dokumen Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung2013

Sedangkan untuk kondisi tingkat kesehatan penduduk Kota Bandar Lampung terutama kesehatan anak dan balita juga belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Target kinerja yang terdapat dalam Program Aksi Kabupaten Layak Anak bahwa mulai dari tahun 2010 persentase bayi yang medapatkan ASI eksklusif harus mencapai ≥80%, sedangkan untuk keluarga yang memiliki saluran


(25)

pembuangan air limbah (SPAL) harus mencapai ≥88%. Kemudian untuk keluarga yang memiliki akses air bersih harus mencapai ≥75%. Dalam perkembangan kondisi kesehatan penduduk Kota Bandar Lampung belum mencapai terget yang diharapkan.5

Berdasarkan data sebagaimana di atas, maka menjadi kewajiban pemerintah Kota Bandar Lampung untuk melindungi anak, dengan cara memberikan tempat yang layak bagi anak. Pemerintah Kota Bandar Lampung berkewajiban menjamin kualitas tumbuh kembang dan memberikan perlindungan kepada mereka dan hak-haknya sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pelaksanaan Konvensi Hak Anak. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, diperlukan responsivitas pemerintah agar memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Lahirnya kebijakan KLA, diharapkan dapat menciptakan keluarga yang sayang anak, rukun tetangga dan rukun warga atau lingkungan yang peduli anak, kelurahan dan desa layak anak dan kecamatan atau kabupaten/kota yang layak bagi anak sebagai prasyarat untuk memastikan bahwa anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik, terlindungi haknya dan terpenuhi kebutuhan pisik dan psikologisnya.

Pembuatan kebijakan KLA ini merupakan salah satu langkah pemerintah untuk menetapkan kebijakan perlindungan anak. Sebelum memasuki tahap penerapan kebijakan, pemerintah melewati proses perumusannnya terlebih dahulu. Formulasi kebijakan merupakan lanjutan terhadapan tindakan permasalahan yang terjadi dalam menangani permasalahan publik. Suatu kebijakan tidak akan berjalan

5

Hasil wawancara Penulis dengan narasumber Dra. Saibah Hanis D. Kepala Bidang Pelayanan Anak di Dinas Sosial Kota Bandar Lampung, 1 September 2014.


(26)

apabila dalam prosesnya tidak ada pengkajian dengan matang. Pada tahap perumusan kebijakan akan muncul berbagai alternatif dalam mengatasi permasalahan publik yang ada. Dengan adanya proses perumusan ini akan muncul sebuah kebijakan yang akan diputuskan oleh pemerintah sehingga keputusan tersebut dapat diberlakukan pada masyarakat.

Beberapa hal yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini adalah para pihak yang terlibat dalam proses merumuskan kebijakan dan latar belakang dari ditetapkannnya kebijakan KLA. Selanjutnya adalah memahami proses perumusan kebijakan Kota Layak Anak di Kota Bandar Lampung serta kesesuaian antara kebijakan yang sudah dibuat dengan masalah kesenjangan dalam pemenuhan hak anak, dimana penelitian ini belum pernah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. sehingga Penulis memilih judul penelitian: “Formulasi Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung”.

B. Rumusan Masalah

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan rumusan masalah agar penulis tidak membahas terlalu luas mengenai masalah. Berdasarkan uraian pada latar belakang dan ruang lingkup masalah sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah pokoknya adalah :

1. Bagaimanakah proses perumusan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung?

2. Apakah isi program/kebijakan Kota Layak Anak (KLA) sesuai dengan masalah publik?


(27)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mendapatkan kesesuaian antara alternatif/program yang diteliti dari proses perumusan dengan masalah riil anak di Kota Bandar Lampung.

2. Untuk mengetahui jumlah anggaran kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung.

3. Untuk mendapatkan model yang dipergunakan dalam proses perumusan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini mencapai beberapa manfaat diantaranya adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Administrasi Negara dan menjadi referensi bagi penelitian mahasiswa lainnya yang ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan proses perumusan kebijakan daerah, khususnya mengenai formulasi Kebijakan Kota Layak Anak (KLA).

2. Secara praktis, penelitian ini menjadi bahan masukan atau referensi bagi aparat Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung dalam hal proses perumusan kebijakan Kota Layak Anak (KLA).


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kebijakan Publik 1. Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publik harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan.

Kebijakan menurut James E. Anderson, yaitu : serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau kelompokpelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Istilah kebijakan publik lebih sering dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatanpemerintah.8

Pendapat Thomas Dye menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan, definisi tersebut mengandung

8


(29)

makna bahwa (1) kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.9

Sedangkan menurut Suharno istilah kebijakan akan disepadankan dengan kata

policy. Istilah ini berbeda maknanya dengan kata kebijaksanaan (wisdom) maupun

kebijakan (virtues). Demikian Budi Winarno dan Solichin A. Wahab sepakat bahwa istilah kebijakan penggunaannya sering dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goal) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal dan Grand design.10

Berdasarkan beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa kebijakan publik merupakan suatu tindakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran untuk kepentingan seluruh masyarakat, yang mampu mengakomodasi nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat, baik dilakukan atau tidak dilakukan, pemahaman tersebut sejalan dengan pendapat Islamy menyatakan “Kebijakan negara adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan demi kepentingan seluruh masyarakat.” Kebijakan Negara tersebut dapat berupa peraturan perundangundangan yang dipergunakan untuk tujuan, sasaran dari program program dan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.

9

Subarsono, Analisa Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2005, hlm. 2.

10


(30)

Nugroho mengatakan bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan.11 Sehingga kebijakan publik mudah untuk dipahami dan mudah diukur, bahwa terdapat beberapa hal yang terkandung dalam kebijakan yaitu :12

a. Tujuan tertentu yang ingin dicapai. Tujuan tertentu adalah tujuan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat (interest public).

b. Serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan. Serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan adalah strategi yang disusun untuk mencapai tujuan dengan lebih mudah yang acapkali dijabarkan ke dalam bentuk program dan proyek. c. Usulan tindakan dapat berasal dari perseorangan atau kelompok dari dalam

ataupun luar pemerintahan,

d. Penyediaan input untuk melaksanakan strategi. Input berupa sumber daya baik manusia maupun bukan manusia.

e. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Berdasarkan pengertian-pengertian kebijakan publik di atas, maka disimpulkan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan pemerintah yang bersifat mengatur dalam rangka merespon permasalahan yang dihadapi masyarakat dan mempunyai tujuan tertentu, berorientasi kepada kepentingan publik (masyarakat) dan bertujuan untuk mengatasi masalah, memenuhi keinginan dan tuntutan seluruh anggota masyarakat. Kebijakan juga memuat semua tindakan pemerintah baik yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah yang dalam

11

Nugroho. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi danKebijakan. Gramedia. Jakarta 2003,

hlm. 51

12


(31)

pelaksanaannya terdapat unsur pemaksaan kepada pelaksana atau pengguna kebijakan agar dipatuhi, hal ini sejalan dengan pendapat Easton bahwa kebijakan mengandung nilai paksaan yang secara sah dapat dilakukan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.13

2. Elemen-Elemen dalam Kebijakan Publik

Tidaklah mudah membuat kebijakan publik yang baik dan benar, namun bukannya tidak mungkin suatu kebijakan publik akan dapat mengatasi permasalahan yang ada, untuk itu harus memperhatikan berbagai faktor, sebagaimana dikatakan Amara Raksasataya mengemukakan bahwa suatu kebijakan harus memuat elemen-elemen yaitu :14

b. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

c. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

d. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Mengidentifikasi dari tujuan yang ingin dicapai haruslah memahami isu atau masalah publik, dimana masalahnya bersifat mendasar, strategis, menyangkut banyak orang, berjangka panjang dan tidak bisa diselesaikan secara perorangan, dengan taktik dan strategi maupun berbagai input untuk pelaksanaan yang dituangkan dalam rumusan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah yang ada, rumusan kebijakan merupakan bentuk perundang-undangan,

13

Ismail Nawawi, Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek. PMN, Surabaya.

2009. hlm. 19

14

Bintoro Tjokroamidjojo, Analisa Kebijaksanaan Dalam Proses Perencanaan Pembangunan


(32)

setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik di implementasikan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun pemerintah bersama-sama masyarakat.

Anderson mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut dikatakan Anderson ada elemen-elemen penting yang terkandung dalam kebijakan publik antara lain mencakup:15

a. Solusi untuk masalah publik

Kebijakan bertujuan untuk menyelesaikan masalah sosial yang secara politis diakui sebagai publik dan mengharuskan pembentukan kembali komunikasi antara pelaku sosial beberapa yang rusak atau berada di bawah ancaman. b. Adanya kelompok sasaran yang menjadi akar masalah publik

Kelompok sasaran kebijakan (target group) yaitu orang atau sekelompok orang, atau organisasi dalam masyarakat yang perilaku atau keadaannya ingin dipengaruhi oleh kebijakan yang bersangkutan. Kebijakan publik berawal dari adanya tuntutan atau dukungan dari sekelompok orang dalam upaya mengatasi suatu permasalahan publik, maka dari itu mereka termasuk kedalam elemen penting dari sebuah kebijakan publik.

c. Koherensi yang disengaja

Kebijakan publik dibuat dengan arah tertentu. Ini mengandaikan teori perubahan sosial atau “model kausalitas”, di mana kebijakan akan berusaha untuk diterapkan dalam upaya untuk menyelesaikan masalah publik yang bersangkutan. Dengan kata lain terjadi adanya keterhubungan antara

15


(33)

permasalahan yang hendak diselesaikan oleh kebijakan tersebut dengan aksi atau keputusan yang terbentuk untuk menyelesaikan permasalahan tersebut (kebijakan publik yang dikeluarkannya)

d. Keberadaan beberapa keputusan dan kegiatan

Kebijakan publik ditandai oleh sekelompok tindakan yang melampaui tingkat keputusan tunggal maupun khusus, namun tetap dari gerakan sosial umum. Poin ini berarti bahwa suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa tindakan-tindakan riil yang dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek.

e. Program Intervensi

Dalam kebijakan publik, adanya suatu intervensi dari pihak – pihak tertentu merupakan hal yang biasa asalkan intervensi yang dilakukan tersebut tidak spesifik atau tidak terlalu berpihak pada kepentingan dari pihak yang mengintervensi tersebut. Artinya bahwa kebijakan publik tersebut masih harus lebih besar berpihak pada kelompok sasaran.

f. Peran kunci dari para aktor publik

Dalam kebijakan publik diperlukan adanya para aktor publik yang memang diberi legitimasi / berkapasitas untuk menetapkan kebijakan tersebut. Jika suatu kebijakan tidak ditetapkan oleh pihak yang diberi wewenang dalam hukum untuk menetapkan kebijakan publik maka kebijakan yang dikeluarkan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kebijakan publik, namun bisa disebut sebagai suatu kebijakan korporasi atau kebijakan individu saja.


(34)

g. Adanya langkah-langkah formal

Kebijakan publik mengasumsikan produksi atau output dimaksudkan untuk menyalurkan perilaku kelompok atau individu. Dalam hal ini, definisi tentang sebuah kebijakan publik adalah adanya fase implementasi konkret untuk ukuran memutuskan. Namun, dalam kasus tertentu, analisis kebijakan menunjukkan kegagalan aktor politik-administratif untuk campur tangan atau kurangnya jalan lain untuk instrumen intervensi tertentu.

h. Keputusan dan kegiatan yang menyebabkan hambatan

Banyak diantara kebijakan publik yang dikeluarkan aktor politik-administratif sering koersif. Dengan demikian, intervensi publik banyak yang saat ini diimplementasikan melalui prosedur antara negara dan otoritas publik (pengelolaan sampah, pemeliharaan jalan, pembangunan daerah), antara, misalnya, yayasan negara dan perusahaan swasta atau publik atau koperasi (layanan kontrak untuk perusahaan yang memenuhi fungsi publik seperti rumah sakit; perusahaan waralaba transportasi, pendidikan perusahaan dll).

Elemen-elemen diatas memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yakni pertama-tama adanya aduan-aduan yang diaspirasikan oleh suatu kelompok sasaran atau permasalahan yang dilihat langsung oleh pemerintah kemudian permasalahan tersebut ditampung oleh aktor publik yang berkapasitas membuat kebijakan publik. Aduan-aduan tersebut dicarikan solusinya, dengan mempertimbangkan adanya intervensi dalam pembuatannya (misalnya adanya kerjasama dengan pihak swasta) dalam rangka melancarkan implementasinya kelak. Kemudian solusi-solusi tersebut disusun menjadi terpadu dan kemudian diimplementasikan. Pengimplementasian kebijakan ini kemudian diterapkan oleh


(35)

kelompok sasaran yakni untuk membentuk perilaku kelompok sasaran dalam rangka mengatasi persoalan yang muncul di awal tadi. Berdasarkan elemen yang terkandung dalam kebijakan tersebut, maka kebijakan publik dibuat adalah dalam kerangka untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu yang diinginkan.

3. Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan. William Dunn menyebutkan bahwa dalam kebijakan publik tahap-tahap yang dilaluinya adalah sebagai berikut:16

a. Tahap penyusunan agenda.

Masalah-masalah akan berkompetisi dahulu sebelum dimasukkan ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada saat itu, suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama. Tahap penyusunan agenda merupakan tahap yang akan menentukan apakah suatu masalah akan dibahas menjadi kebijakan atau sebaliknya.

16

William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadja Mada University Press,


(36)

b. Tahap formulasi kebijakan.

Masalah yang masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefinisikan untuk kemudian dicari alternatif pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Dalam tahap perumusan kebijakan ini, masing-masing alternatif akan bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

c. Tahap implementasi kebijakan.

Suatu program hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Pada tahap ini, berbagai kepentingan akan saling bersaing, beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan dari para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. d. Tahap penilaian kebijakan.

Pada tahap ini, kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Oleh karena itu, maka ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.


(37)

Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah kebijakan memiliki proses dan tahapan dalam menjadi sebuah kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan pemerintah pada kenyataannya bersumber pada orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik yang pada akhirnya membawa implikasi tertentu terhadap konsep kebijakan pemerintah. Berbagai hal mungkin saja dilakukan oleh pemerintah, artinya pemerintah dapat saja menempuh usaha kebijakan yang sangat liberal dalam hal campur tangan atau cuci tangan sama sekali, baik terhadap seluruh atau sebagian sektor kehidupan. Kebijakan pemerintah dalam bentuknya yang positif pada umumnya dibuat berlandaskan hukum dan kewenangan tertentu.

B. Formulasi Kebijakan Publik

1. Pengertian Formulasi Kebijakan Publik

Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan. Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat dan memadai. Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimilikinya. Hal ini terkait dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan oleh Gerston (2002) bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya.


(38)

Dijelaskan oleh Anderson tahapan Proses Kebijakan dimulai dengan agenda kebijakan dimana dari sejumlah permasalahan, ada permasalahan yang akan mendapat perhatian secara serius dari pejabat publik dan pemerintah akan mempertimbangkan tindakan atau langkah apa yang akan dilakukan terhadap permasalahan tersebut dengan mengidentifikasi dan menspesifikasi permasalahan dan menetapkannya sebagai agenda kebijakan pemerintah. kemudian tahap perumusan kebijakan, dimana dikembangkan usulan tindakan yang akan dilakukan dan dapat diterima dalam menangani permasalahan, pada tahap ini akan dihasilkan sejumlah usulan kebijakan yang akan diputuskan untuk diambil oleh pemerintah dan aktor aktor kebijakan. selanjutnya tahap adopsi kebijakan, tahap ini dilakukan pengembangan dukungan terhadap usulan tertentu sehingga menjadi sebuah kebjakan yang dilegitimasi dan disahkan oleh permerintah. Kemudian tahap implementasi kebijakan dimana kebijakan yang sudah dibuat dan disahkan tersebut diterapkan oleh mesin adiminstrasi pemerintah. Tahap terakhir yaitu evaluasi kebijakan dimana pemerintah menentukan apakah kebijakan tersebut berjalan efektif atau tidak.17

Perumusan kebijakan menurut Anderson merupakan suatu aktivitas yang meliputi pembuatan, identifikasi, dan mengambil program untuk dilakukan tindakan terhadap suatu masalah atau sering disebut juga alternatif atau pilihan-pilihan. Untuk menyelesaikan atau memperbaiki masalah publik. Siapa yang terlibat dalam merumuskan kebijakan, bagaimana alternatif-alternatif yang ada untuk menangani permasalahan yang berkembang, dan apakah ada kesulitan dan ketidakjelasan dalam merumuskan usulan kebijakan. Hal ini juga diperkuat dalam

17

Anderson, Public Policy Making: An Introduction Fifth Edition, Houghton Mifflin Company.


(39)

pandangan Sidney, tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik diantara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi.18

Disamping itu Anderson, juga menyampaikan bahwa perumus kebijakan perlu mempertimbangkan beberapa faktor agar usulan alternatif-alternatif kebijakan yang dirumuskan dapat berhasil menyelesaikan permasalahan. Sejumlah faktor tersebut adalah: (1) apakah proposal memadai secara teknis? Apakah proposal diarahkan kepada penyebab permasalahan? Sejauhmana proposal akan menyelesaikan atau mengurangi permasalahan? (2) apakah anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan masuk akal atau dapat diterima? Hal ini penting untuk diperhatikan khususnya apabila terkait dengan program kesejahteraan sosial. (3) apakah secara politik proposal dapat diterima? Dapatkah proposal mendapatkan dukungan dari anggota parlemen atau pejabat publik lainnya? (4) jika proposal telah menjadi peraturan perundang-undangan, apakah akan disetujui oleh publik? Keempat hal tersebut menurut Anderson sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perumusan sebuah kebijakan Publik.

2. Model-Model Formulasi Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang rumit. Oleh karena itu, beberapa ahli mengembangkan model-model perumusan kebijakan publik untuk

18

Ismail Nawawi, Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek. PMN, Surabaya,


(40)

mengkaji proses perumusan kebijakan agar lebih mudah dipahami. Dengan demikian, pembuatan model-model perumusan kebijakan digunakan untuk lebih menyederhanakan proses perumusan kebijakan yang berlangsung secara rumit tersebut. Pada dasarnya ada empat belas macam model perumusan kebijakan, dan keempat belas model tersebut dikelompokkan kedalam dua model yaitu model elite dan model pluralis.19 Adapun model perumusan kebijakan tersebut antara lain:

a. Model Sistem

Paine dan Naumes menawarkan suatu model proses pembuatan kebijakan merujuk pada model sistem yang dikembangkan oleh David Easton. Model ini menurut Paine dan Naumes merupakan model deskripitif karena lebih berusaha menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembuatan kebijakan. Menurut Paine dan Naumes, model ini disusun hanya dari sudut pandang para pembuat kebijakan.20 Dalam hal ini para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang akan (1) menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan eksternal, (2) memuaskan permintaan lingkungan, dan (3) secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.

19

Wayne Parson, Public Policy : Pengantar Teori Dan Praktis Analisis Kebijakan. Kencana,

Jakarta. 2011. hlm. 544

20

Winarno. Kebijakan Publik Teori, Proses dan Studi Kasus, Cetakan Kedua, CAPS, Yogyakarta.


(41)

b. Model Rasional Komprehensif

Model ini merupakan model perumusan kebijakan yang paling terkenal dan juga paling luas diterima para kalangan pengkaji kebijakan publik. Pada dasarnya model ini terdiri dari beberapa elemen, yakni :21

1) Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah-masalah lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah-masalah yang lain.

2) Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurur arti pentingnya.

3) Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.

4) Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan alternatif diteliti.

5) Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain. Pembuat keputusan memiliki alternatif beserta konsekuensi-konsekuensinya yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai- atau sasaran-sasaran yang hendak dicapai.

Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.

c. Model Penambahan

Kritik terhadap model rasional komprehensif akhirnya melahirkan model penambahan atau inkrementalisme. Oleh karena itu berangkat dari kritik terhadap

21


(42)

model rasional komprehensif, maka model ini berusaha menutupi kekurangan yang ada dalam model tersebut dengan jalan menghindari banyak masalah yang ditemui dalam model rasional komprehensif. Model ini lebih bersifat deskriptif dalam pengertian, model ini menggambarkan secara aktual cara-cara yang dipakai para pejabat dalam membuat keputusan.22

d. Model Penyelidikan Campuran

Ketiga model yang telah dipaparkan sebelumnya, yakni model sistem, model rasional komprehensif dan model inkremental pada dasarnya mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Oleh karena itu, dalam rangka mencari model yang lebih komprehensif, Amitai Etzioni mencoba membuat gabungan antara keduanya dengan menyarankan penggunaan mixedscanning. Pada dasarnya ia menyetujui model rasional, namun dalam beberapa hal ia juga mengkritiknya. Demikian juga, ia melihat pula kelemahan-kelemahan model pembuatan keputusan inkremental. Penyelidikan campuran merupakan suatu

bentuk pendekatan ”kompromi” yang menggabungkan penggunaan

inkrementalisme dan rasionalisme sekaligus.23

e. Model Elit

Model ini menggambarkan pembuatan kebijakan publik dalam bentuk piramida, dimana masyarakat berada pada tingkat paling bawah, elit pada ujung piramida dan aktor internal birokrasi pembuat kebijakan publik (dalam hal ini adalah pemerintah) berada ditengah-tengah antara masyarakat dan elit. Menurut R. Dye (1970) teori elit mengatakan bahwa rakyat mempunyai perilaku apatis dan tidak

22

Solly Lubis, Kebijakan Publik. Mandar Maju. Bandung, 2007. hlm. 63

23


(43)

memiliki informasi yang baik tentang kebijakan publik. Oleh karena itu sebenarnya para elit membentuk opini masyarakat luas mengenai persoalan-persoalan kebijakan bukan masyarakat luas membentuk opini elit.24

f. Model Kelompok

Model ini pemerintah membuat kebijakan karena adanya tekanan dari berbagai kelompok. Kebijakan publik merupakan hasil perimbangan (equilibrium) dari berbagai tekanan kepada pemerintah dari berbagai kelompok kepentingan. Besar kecil tingkat pengaruh dari suatu kelompok kepentingan ditentukan oleh jumlah anggotanya, harta kekayaannya, kekuatan, dan kebaikan organisasi, kepemimpinan, hubungannya yang erat dengan para pembuat keputusan, kohesi intern para anggotanya. Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan yang terdapat beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. Sehingga pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negoisasi dan kompromi. Dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing pihak membentuk koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati politik kebijakan bahwa koalisi-koalisi besar dapat digunakan untuk menundukkan koalisi kecil.25

g. Model Demokrasi

Proses pembuatan kebijakan model ini banyak diterapkan oleh negara-negara berkembang, terutama Indonesia juga banyak menggunakan model ini. Fokus

24

Ibid, hlm. 80

25

Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group. Jakarta


(44)

model ini terletak pada mengelaborasi sebuah model yang berintikan bahwa pengambilan keputusan sebanyak mungkin harus melibatkan stakeholders yang terlibat di dalam perumusan kebijakan tersebut. Model ini biasanya dikaitkan dengan implementasi good governanace dalam pemerintahan yang mengamanatkan agar dapat melibatkan para stakeholders dalam membuat kebijakan.26

Formulasi kebijakan publik adalah untuk di analisis kebijakan serta mengenal masalah-masalah publik yang dibedakan dengan masalah-masalah privat serta menyelesaikan permasalahan publik tertentu dan usulan diantara alternatif yang ada guna di formulasikan. Terdapat sejumlah model perumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli sebagaimana diuraikan di atas. Untuk keperluan penelitian ini akan digunakan Model Inkremental. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya.

3. Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan Publik

Untuk lebih memahami mengenai proses perumusan kebijakan, Nugroho mengemukakan Model Proses Ideal Perumusan Kebijakan yang diambil dari Pedoman Umum Kebijakan Publik yang dikembangkan untuk Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Tahun 2006 yang secara umum dapat digambarkan secara sederhana dalam urutan proses sebagai berikut : 27

26

A R. Mustopadidjaja, Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan

Evaluasi Kinerja. LAN RI, Jakarta, 2003. hlm. 411

27


(45)

a. Munculnya isu kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah dan atau kebutuhan masyarakat dan atau negara, yang bersifat mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar, dan memerlukan pengaturan pemerintah.

b. Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. Tim kemudian secara paralel merumuskan naskah akademik dan atau langsung merumuskan draf nol kebijakan.

c. Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik, dalam jenjang sebagai berikut :

1) Forum publik yang pertama, yaitu para pakar kebijakan dan pakar yang berkenaaan dengan masalah terkait.

2) Forum publik kedua, yaitu dengan instansi pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut.

3) Forum publik yang ketiga dengan para pihak yang terkait atau yang terkena impact langsung kebijakan, disebut juga benificiaries.

4) Forum publik yang keempat adalah dengan seluruh pihak terkait secara luas, menghadirkan tokoh masyarakat, termasuk didalamnnya lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu terkait.

Hasil diskusi publik ini kemudian dijadikan materi penyusunan pasal-pasal kebijakan yang akan dikerjakan oleh tim perumus. Draf ini disebut Draf 1.

a. Draf 1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focused group discussion yang melibatkan dinas/instansi terkait, pakar kebijakan, dan pakar dari permasalahan yang akan diatur.


(46)

c. Draf final kemudian disahkan oleh pejabat berwenang, atau, untuk kebijakan undang-undang, dibawa ke proses legislasi yang secara perundang-undangan telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan, Abidin mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan publik dapat didekati melalui model yang dinamakan dengan Kerangka Proses dan Lingkungan Kebijaksanaan (KPLK). Kerangka proses tersebut menggambarkan proses kebijakan dalam tiga dimensi, antara lain dimensi luar, dimensi dalam dan tujuan. Diantara dimensi luar dan dimensi dalam terdapat jaringan keterkaitan (linkages).28

Elemen luar adalah bagian luar dari suatu organisasi yang mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap rumusan kebijakan. Dimensi dalam adalah bagian dalam dari dalam suatu organisasi, elemen-elemen yang berada di dalam sistem ini terdiri atas struktur organisasi, sumber daya manusia, dan sarana organisasi, termasuk peralatan dan teknologi yang dikuasainya. Keterkaitan atau linkages, yaitu pertamaketerkaitan yang ditujukan untuk memperoleh dukungan keabsahan atau legitimasi (enabling linkages), kedua adalah keterkaitan sumber daya yang diperlukan dalam perumusan kebijakan. Terkait dengan sumber daya yang diperlukan dalam proses kebijakan, Nugroho mengemukakan terdapat keterbatasan sumber daya dalam proses kebijakan publik, adapun keterbatasan tersebut antara lain keterbatasan sumber daya waktu, kemampuan sumber daya manusia, keterbatasan kelembagaan, keterbatasan dana atau anggaran, dan

28


(47)

keterbatasan yang bersifat teknis yaitu kemampuan menyusun kebijakan itu sendiri.

Dalam membicarakan perumusan kebijakan publik, adalah penting untuk melihat siapakah aktor-aktor yang terlibat di dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Winarno membagi aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan pemeran serta tidak resmi.29

Proses perumusan kebijakan merupakan inti dari kebijakan publik, karena dari sinilah akan dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri. Tidak semua isu yang dianggap masalah bagi masyarakat perlu dipecahkan oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan, yang akan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah melalui berbagai tahapan. Winarno menyimpulkan dari pendapat beberapa ahli bahwa dalam perumusan kebijakan meliputi empat tahapan yang dilaksanakan secara sistematis, yaitu :30

29

Winarno, Op, Cit., hlm. 126

30


(48)

Gambar 1. Bagan Alur Perumusan Kebijakan Publik

Winarno, 2006: 46-57

a. Tahap pertama, perumusan masalah.

Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik. Kebijakan publik pada dasarnya merupakan upaya untuk memecahkan masalah dalam masyarakat. Menurut Mitroff dan Kliman, perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga tahap yang berbeda namun saling bergantung, yaitu 1) konseptualisasi masalah (2) spesifikasi masalah (3) pengenalan masalah.31 Proses perumusan masalah dapat dimulai dari tahap manapun di antara ketiga tahap tersebut, namun suatu prasyarat dalam perumusan masalah adalah pengenalan atau menyadari keberadaan situasi problematis Untuk bergerak dari situasi problematis ke masalah substantif, analis kebijakan perlu mengkonsepsikan

31

Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadja Mada University Press, Yogyakarta. 2003,


(49)

masalah, yaitu mendefinisikan menurut peristilahan dasar atau umum. Setelah masalah substantif dikonseptualisasikan, maka masalah formal yang lebih terperinci dan spesifik dapat dirumuskan. Proses memindahkan dari masalah substantif ke masalah formal diselenggarakan melalui spesifikasi masalah

(problem spesification).

b. Tahap kedua, agenda kebijakan.

Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut akan berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah publik yang masuk ke dalam agenda kebijakan kemudian akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif, kalangan eksekutif, agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk diselesaikan. Menurut Abidin, agenda kebijakan adalah sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak-pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional dan lebih sering bersifat politis. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyusunan agenda adalah (1) perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis; (2) sikap pemerintah dalam proses penyusunan agenda; (3) bentuk pemerintahan atau realisasi otonomi daerah; dan (4) partisipasi masyarakat.32

32


(50)

c. Tahap ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan berhadapan dengan berbagai alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil untuk memecahkan masalah. Para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.

d. Tahap keempat, penetapan kebijakan.

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan untuk diambil sebagai cara pemecahan masalah, maka tahap terakhir dalam pembuatan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam permbuatan kebijakan tersebut.

C. Kebijakan dan Program Kota Layak Anak

Menurut Nirwono Joga, Kota Layak Anak adalah suatu kota yang di dalamnya telah diramu semangat untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam proses pembangunan kota yang berkelanjutan. Kota yang menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat


(51)

kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan (fisik dan nonfisik) serta diskriminasi.33

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mendefinisikan Kota Layak Anak sebagai kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Berdasarkan Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), anak sebagai warga kota berarti :34

a. Memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara pribadi maupun terwakilkan, terkait dengan kebijakan pengembangan kota, fasilitas kota, dan pelayanan kota.

b. Mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti sosial lainnya.

c. Menerima pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan.

d. Memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan sarana kota yang berkualitas (sarana air bersih, ruang bermain, jalur sekolah). Persyaratan keselamatan, persyaratan kesehatan, persyaratan kemudahan, dan persyaratan kenyamanan. e. Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa

memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun Kota Layak Anak adalah:

a. Non-diskriminasi: Kota Layak anak adalah kabupaten/kota yang layak dan inklusif untuk semua anak. Kabupaten/Kota yang memenuhi kebutuhan dan

33

Nirwono Joga, Program Pengembangan Kota Layak Anak Di 26 Kabupaten/Kota,

http://bincang2cupleez.multiply.com/journal/item/Kota_Layak_Anak, diakses 2 September 2014 22.52 WIB.

34

http://kemenpppa.go.id/, Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), diakses 2 September 2014 23.02 WIB.


(52)

memberikan perhatian khusus pada anak yang mengalami diskriminasi dalam mengakses hak-hak mereka dalam beberapa cara berbeda.

b. Kepentingan terbaik untuk anak: Kota Layak anak menjamin kepentingan terbaik untuk anak dan menjadikan anak sebagai pertimbangan utama dalam semua tindakan yang terkait dengan urusan anak.

c. Setiap anak mempunyai hak hidup, kelangsungan hidup, dan berkembang maksimal: Kota Layak Anak berusaha memberikan jaminan untuk hidup dan kelangsungan hidup kepada anak untuk berkembang optimal dengan menciptakan

d. kondisi-kondisi yang mendukung pada masa anak-anak, perkembangan dalam konteks Konvensi Hak-hak Anak berarti perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan psikologi dan sosial anak.

e. Mendengar dan menghormati pandangan anak: Anak-anak dilibatkan dan didengar fikiran dan pendapatnya di dalam Kota Layak Anak. Mereka aktif berperan serta sebagai warga kota dan pemegang hak untuk mempromosikan dan mendorong kebebasan mengekspresikan pendapat pada semua persoalan yang mempengaruhi mereka.

Upaya mewujudkan KLA tidak bisa dilakukan sendiri atau hanya oleh pemerintah saja. Kementerian dengan berbagai pihak merupakan pilihan utama yang harus dilakukan. Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Peran dari masing-masing harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian


(53)

yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Menurut YKAI, peran dari pemerintah dan pihak terkait dalam upaya mewujudkan KLA meliputi:35

a. Pemerintah : Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA. b. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia : APKSI/APEKSI

sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota.

c. Pemerintah Kabupaten/Kota : Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan KLA.

d. Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan : Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.

e. Sektor Swasta dan Dunia Usaha : Sektor swasta dan dunia usaha merupakan kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung terwujudnya KLA.

f. Lembaga Internasional : Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA.

35

http://www.ykai.net/index.php?view=article&id=620:kla-wadah-percepat-implementasi-hak-hak-anak, diakses 2 September 2014 22.02 WIB


(54)

g. Komuniti (Masyarakat) : Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan berupa informasi yang objektif dalam proses monitoring dan evaluasi.

h. Keluarga : Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.

i. Anak : anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah.

Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung. UU Perlindungan Anak pada Pasal 15 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

D. Penelitian Terdahulu

Bahwa penulisan skripsi yang berjudul Formulasi Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) Di Kota Bandar Lampung adalah asli hasil karya penulis dan dapat dipertanggung jawabkan materi penulisan yang ada di dalamnya. Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian skripsi yang ada, ditemukan sedikitnya dua judul skripsi terkait tentang kebijakan KLA yakni:


(55)

1. Niken Irmawati, Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan Judul “Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)”.

2. A. Azmi Shofix S.R., Universitas Sriwijaya, dengn Judul “Implementasi Kebijakan Kabupaten Layak Anak (Analisis Tentang Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan Kabupaten Layak Anak di Kabupaten Rembang)”.

Skripsi ini berbeda dengan skripsi tersebut di atas. Skripsi ini fokus pada proses perumusan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung dan isi program/kebijakan Kota Layak Anak (KLA) sesuai dengan masalah publik. Oleh karena itu, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritisi yang sifatnya konstruktif (membangun).

E. Kerangka Pemikiran

Berbagai penyebab munculnya permasalahan anak seperti anak diperdagangkan, eksploitasi sosial anak, kekerasan terhadap anak, anak putus sekolah dsebabkan karena belum adanya kebijakan dari pemerintah untuk mengintegrasikan sumber daya pembangunan untuk memenuhi hak anak. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjelaskan tentang hak-hak anak yang secara garis besar diklasifikasikan ke dalam empat bidang yaitu: bidang perlindungan


(56)

anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak. Oleh sebab itu, pemerintah memandang perlu adanya kebijakan baru yang bertujuan ntuk memenuhi hak-hak anak.

Melalui SK Walikota No.344/111.21/HK/2012 kota Bandar Lampung ditunjuk sebagai kota yang mengembangkan Kota Layak Anak. Terkait hal tersebut, Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam pelaksanaan perlindungan anak harus tanggap apabila ingin tercipta perlindungan anak yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk:

1) Mengenali kebutuhan anak

2) Menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak 3) Mengembangkan program perlindungan anak

Upaya untuk mewujudkan Kota Layak Anak bukanlah pekerjaan yang mudah. Pemerintah dalam memberikan perlindungan anak menghadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah. Apabila pemerintah mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka upaya mewujudkan Kota Layak Anak akan dapat terwujud. Sebaliknya, jika pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka tidak akan terwujud Kota Layak Anak. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:


(57)

Gambar 2. Kerangka Pikir

Pemenuhan Hak-hak Anak

Kebijakan Kota Layak

Anak Permasalahan

Anak

Proses Perumusan

Kebijakan

Kesesuaian Muatan Kebijakan Dengan Masalah Strategis dan

Tujuan Kebijakan Konvensi Hak Anak

UU Perlindungan Anak

Permen No. 2 Tahun 2009 tentang Kota Layak Anak

Anggaran Kebijakan

Model Perumusan Kebijakan


(58)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti memilih penelitian ini karena penelitian kualitatif bersifat menyeluruh (holistic), dinamis dan tidak mengeneralisasi.36 Hal ini sejalan dengan tujuan penelitian dalam melihat bagaimana proses perumusan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung.

Bogdan dan Taylor mengatakan metodelogi kualitatif sebagai prosedur-prosedur penelitian yang digunakan untuk menghasilkan data deskriptif, yang ditulis atau yang diucapkan orang dan perilaku-perilaku yang dapat diamati.37 Studi deskriptif kualitatif adalah suatu metode untuk menggambarkan suatu gejala-gejala sosial atau berusaha mendiskripsikan fenomena sosial tertentu secara terperinci. Dalam proses perumusan kebijakan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) ini peneliti melihat bagaimana model yang digunakan dalam sebuah pembuatan kebijakan.

36

Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ketujuhbelas. Remaja Rosdakarya,

Bandung. 2002, hlm 3

37


(59)

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini, yaitu:

1. Proses perumusan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung.

a. Perumusan masalah. b. Agenda kebijakan.

c. Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah. d. Penetapan kebijakan.

2. Jumlah anggaran kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung.

3. Isi/Muatan Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung. a. Kesesuaian muatan kebijakan dengan masalah.

b. Kesesuaian masalah dengan masalah/isu strategis.

c. Kesesuaian muatan dengan tujuan kebijakan yang hendak dicapai/muatan.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Administrasi Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung dipilih menjadi lokasi penelitian dengan alasan Kota Bandar Lampung merupakan salah satu kota yang sejak tahun 2013 telah ditunjuk oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengimplementasikan kebijakan Kota Layak Anak (KLA). Untuk itu penelitian ini dilakukan di dalam lingkup lembaga-lembaga yang terkait dengan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Bandar Lampung, yaitu:


(60)

1) Bidang Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Badan Koordinasi Keluarga Berencana Dan Pemberdayaan Perempuan (BKKB dan PP) Kota Bandar Lampung

2) Dinas Sosial Kota Bandar Lampung yang berwenang secara teknis mengurusi masalah anak

3) Asosiasi Anak Yayasan Bina Harapan Bangsa Lampung.

D. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, yaitu:

1. Data Primer

Data primer yang digunakan adalah berasal dari hasil wawancara. Sumber data ditulis atau direkam. Wawancara dilakukan kepada informan yang telah ditentukan dengan menggunakan panduan wawancara mengenai formulasi kebijakan Kota Layak Anak (KLA) di Kota Bandar Lampung. Teknik pemilihan orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive. Alasan pemakaian teknik purposive dikarenakan oleh bentuk dan ciri penelitian ini yaitu untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan dari pelaksanaan penelitian ini. Penentuan orang yang diwawancaraai atau responden dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dikarenakan orang tersebut menduduki posisi terbaik yang dapat memberikan informasi-informasi yang akurat terkait dengan topik penelitian ini.


(61)

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada. Data sekunder ini digunakan sebagai pendukung guna mencari fakta yang sebenarnya. Data sekunder juga diperlukan untuk melengkapi informasi dalam rangka mencocokkan data yang diperoleh. Sumber data sekunder yang digunakan antara lain berupa berita surat kabar, website, artikel, dan referensi-referensi yang menjadi panduan penyusunan kebijakan Kota Bandar Lampung.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang benar dan akurat sehingga mampu menjawab permasalahan penelitian. Maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Wawancara Mendalam (in-depth interview)

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi dan ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Seperti diungkap Esterberg dalam Sugiyono yaitu wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.38 Peneliti harus dapat mengetahui tahap-tahap yang akan dilalui sebelum melakukan wawancara agar data yang diinginkan bisa tercapai dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Narasumber dalam penelitian ini antara lain :

38

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. 2001, hlm.


(1)

59

4) Perlindungan terhadap anak dari praktek-praktek adopsidan anak asuh yang ilegal, eksploitatif atau yang tidak demi kepentingan terbaik untuk anak;

5) Pendirian lembaga pelayanan pencegahan kekerasan, perdagangan anak dan penculikan anak-anak yang rentan menjadi korban serta pemulihan dan rehabilitasinya;

e. Ekonomi kerakyatan dan penghapusan penggunaan tenaga kerja anak

1) Pengembangan program pemberdayaan keluarga miskin, untuk mencegah anak dari eksploitasi secara ekonomi;

a) Pemberdayaan keluarga anak jalanan; b) Pemberdayaan keluarga pemulung; c) Pemberdayaan keluarga gelandangan; d) Pemberdayaan keluarga di pemukiman liar;

2) Pemberian beasisiwa/pendidikan gratis, bagi anak yang terpaksa bekerja; 3) Pembentukan Serikat Pekerja Rumah Tangga untuk mencegah perekrutan


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Proses perumusaan kebijakan KLA telah melalui tahap-tahap yang telah sesuai dengan proses formulasi sebuah kebijakan untuk menjawab masalah anak yang ada di Kota Bandar Lampung. Kemampuan Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam mengenali kebutuhan anak begitu kompleksnya dengan tujuan perlindungan anak. Pemerintah Kota Bandar Lampung mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait lainnya yaitu BKKB dan PP Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan BKKB dan PP Kota Bandar Lampung untuk mengenali kebutuhan anak. Muatan Kebijakan KLA sudah sesuai dengan masalah strategis yang ada di Kota Bandar Lampung, hal ini dapat dilihat dari proses perumusan Kebijakan yang dilakukan melalui pengarusutamaan hak anak ke dalam pembangunan yang difokuskan pada upaya pemenuhan hak anak di bidang-bidang prioritas bagi anak.

2. Anggaran kebijakan KLA berasal dari pemerintah yang diperoleh melalui APBD baik APBD tingkat propinsi maupun APBD kota Bandar Lampung


(3)

93

sendiri. Anggaran tersebut diperoleh dengan cara beragumentasi dan memberikan penjelasan pada Dewan anggaran dan DPR untuk bisa mengabulkan program-program yang sudah disepakati bersama. Walaupun setiap tahun anggaran meningkat tetapi jumlah kasus lebih tinggi peningkatannya sehingga alokasi dana tetap tidak terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan anggaran pemerintah kota Bandar Lampung di bidang anak belum menjadi prioritas dan masih terbatas

3. Formulasi kebijakan KLA di Bandar Lampung melibatkan aktor internal dan eksternal dari suatu institusi, serta pengaruh dan keterlibatan perangkat sistem politik, dapat dilihat pada PERMEN PP/PA No. 11 tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak. Dalam peraturan tersebut diatur proses formulasi kebijakan publik yang sejalan dengan model inkremental. Aturan kebijakan sudah ada sebelumnya digunakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai pedoman dan acuan dalam menyusun proses perumusan kebijakan KLA. Secara implisitnya peraturan tersebut bukan menjadi ketetapan atau ketentuan yang harus dilakukan namun digunakan sebagai panduan lembaga pemerintah dalam menyusun serta unsur lainnya yang berkaitan dengan kebijakan KLA.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan diatas maka saran yang dapat peneliti ambil adalah:

1. Kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diharapkan dalam merumuskan isi dan muatan kebijakan seharusnya memperhatikan kecenderungan isu dan masalah yang muncul dari masyarakat


(4)

94

dan mencari data pendukung atau informasi yang lebih akurat terkait masalah anak. Dengan membentuk tim perumus kebijakan seharusnya tidak hanya berasal dari internal SKPD tetapi seharusnya dilakukan melalui proses publik dengan melibatkan masyarakat.

2. Kepada Pemerintah Kota Bandar Lampung lebih memperhatikan masalah anggaran kebijakan yang masih sangat terbatas. Karena masih banyaknya masalah anak yang belum terselesaikan akibat kurangnya anggaran dari tahun ketahun. Untuk itu, pemerintah Kota Bandar Lampung dituntut untuk menyiapkan anggaran khusus dengan dibarengi dengan tekad untuk memprioritaskan alokasi anggaran pada sektor kebijakan untuk anak, agar konsep Kota Layak Anak atau Kota Ramah Anak di Bandar Lampung yang dapat terwujud dengan terpenuhinya hak-hak anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dan berparisipasi secara maksimal.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abidin, S.Z. 2000. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah. Jakarta.

Anderson, J.E., 2003, Public Policy Making: An Introduction Fifth Edition,. Houghton Mifflin Company. Boston.

Dunn, William N. 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Islamy, M.Irfan, 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Sinar Grafika. Jakarta.

Kismartini, dkk, 2005, Analisis Kebijakan Publik,Universitas Terbuka, Jakarta. Lubis, Solly. 2007. Kebijakan Publik. Mandar Maju. Bandung.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitaif. Rosda Karya. Bandung. Mustopadidjaja, A R. 2003. Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi,

Implementasi dan Evaluasi Kinerja. LAN RI, Duta Pertiwi F. Jakarta. Nawawi, Ismail. 2009. Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan

Praktek. PMN, Surabaya.

Nugroho. Riant, 2003. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Kebijakan. Gramedia. Jakarta.

Parson, Wayne. 2011. Public Policy : Pengantar Teori Dan Praktis Analisis Kebijakan. Kencana, Jakarta.

Pawito, 2007, Penelitian Komunikasi Kualitatif. LKIS, Pelangi Aksara, Yogyakarta.

Sugiyono. 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Subarsono, 2005, Analisa Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Suharno, Edi. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.


(6)

Tim Penyusun, 2006, Panduan Kebijakan pengembangan Kota Layak Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Jakarta.

Tjokroamidjojo, Bintoro, 1976. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES. Jakarta.

Thoha, Miftah, 2010, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Winarno, Budi, 2014, Kebijakan Publik Teori, Proses dan Studi Kasus, Cetakan Kedua, CAPS, Yogyakarta.

Wahab, Solichin Abdul, 1997, Analisis Kebijakan dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.

Widodo, Joko, 2001, Implementasi Kebijakan. Pustaka Pelajar, Bandung. B. Media Cetak dan Elektronik

http://kemenpppa.go.id/, Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), diakses 2 September 2014 23.02 WIB

http://www.kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=74:unicef, diakses 2 September 2014 23.17 WIB

http://lampost.co/berita/lampung-canangkan-kota-layak-anak, 21 Juni 2012, diakses 2 September 2014 23.17 WIB.