Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

(1)

commit to user

Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan

Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

DISUSUN OLEH : Niken Irmawati

D0105016

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Jurusan Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

ABSTRAK

Niken Irmawati. D0105016. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta Terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA). Skripsi Program Studi Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2009.

Penelitian ini bertujuan mengkaji bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) dan mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

Penelitian ini dilaksanakan pada institusi pemerintah di Surakarta yaitu DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER&TRANS. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data didapat dengan cara wawancara dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling dan snowball sampling. Validitas data dilakukan dengan triangulasi data. Analisis data dilakukan dengan analisis interaktif.

Hasil penelitian menunjukkan responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak cukup responsif, namun demikian responsivitas tersebut belum optimal. Hal ini bisa dilihat dari: a) kemampuan mengenali kebutuhan anak masih terbatas, dimana Pemerintah Kota Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan permasalahan anak secara lengkap dan up to date. Tetapi, pemerintah baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain untuk mengenali kebutuhan anak. b) Kemampuan pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah sesuai dengan kebutuhan anak, namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan penting yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan untuk anak jalanan/terlantar. c) Pemerintah masih banyak bertumpu pada lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak. Kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam hal perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak adalah kurangnya pemahaman dari aparat pemerintah tentang hak dan perlindungan anak, keterbatasan dana, ego sektoral, pengaruh lingkungan, rendahnya kesadaran orang tua dan anak, serta culture of silence. Upaya yang dilakukan sehubungan dengan kendala tersebut adalah meningkatkan pemahaman perlindungan anak dari aparat pemerintah, meningkatkan kerjasama dengan pihak lain dan optimalisasi sosialisasi kegiatan. Rekomendasi yang diberikan untuk pemerintah adalah meningkatkan sosialisasi tentang perlindungan anak dengan cara mensosialisasikan di rapat pimpinan mengenai pentingnya perlindungan anak, pemerintah harus selalu memperbaharui data base tentang perlindungan anak, pemerintah harus membuat program pendidikan yang bisa menyentuh anak jalanan/terlantar, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perlindungan anak.


(3)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia maka perlu dikembangkan penyelenggaraan pelayanan publik yang mencirikan karakteristik yang selama ini melekat dalam good governance. Karakteristik tersebut seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dan responsivitas dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Agus Dwiyanto, 2005:147).

Responsivitas sebagai salah satu karakteristik good governance sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio dalam Agus Dwiyanto, 2002:62). Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai responsivitas yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Melalui penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah, warga sipil, dan para stakeholder melakukan interaksi secara intensif sehingga apabila pemerintah dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para stakeholder. Tujuan pelayanan publik adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang diinginkan dan memuaskan. Oleh karena itu, penyedia layanan harus bersikap responsif


(4)

sehingga mampu memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa, yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun Negara dan Bangsa Indonesia. Anak merupakan subjek dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi Bangsa Indonesia, masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan materiil. Anak adalah modal pembangunan, yang akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan hasil pembangunan fisik mental dan sosial Indonesia.

Oleh sebab itu, setiap anak memerlukan perlindungan dan dalam hal ini kita telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan Undang-Undang tersebut maka Negara menjamin hak-hak anak yaitu memiliki tingkat kebebasan yang optimal, memperoleh pendidikan, mendapatkan perlindungan dan kesempatan berpartisipasi. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.

Salah satu bentuk nyata upaya pemerintah dalam perlindungan anak adalah diwujudkan melalui pengembangan Kota Layak Anak yaitu kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Indikator Kota Layak Anak menurut Nirwono Joga (2007) adalah tersedianya pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai dengan kemampuan


(5)

commit to user

dan kebutuhan anak. Di Indonesia target jumlah KLA pada tahun 2015 adalah 15 Kota, termasuk Kota Solo.

Menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu kebanggaan bagi Kota Solo, sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Solo. Hal ini karena permasalahan anak di Kota Solo masih cukup tinggi dan beragam. Dari berbagai informasi yang disarikan dari berbagai sumber, permasalahan anak di Kota Solo meliputi anak putus sekolah, Anak yang dilacurkan/trafficking dan ESKA, Kekerasan Anak (perkosaan, pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian), anak terlantar, anak terkena gizi buruk, pekerja terburuk anak, anak jalanan, pekerja anak. Secara lebih terperinci ragam permasalahan anak tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini :

Tabel 1.1

Ragam Permasalahan Anak di Kota Solo

Kasus Jumlah Keterangan

1 2 3

Anak putus sekolah 547 anak Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007

Anak yang

dilacurkan/traficking dan ESKA

164 anak Radar Solo (Data PPK LPPM UNS Tahun 2008)

Kekerasan Anak (perkosaan, pencabulan, penganiayaan, persetubuhan, pelarian)

49 anak Profil Anak Kota Surakarta (Data PTPAS Tahun 2007) Anak Terlantar 682 anak Profil Anak Kota Surakarta

(Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Tahun 2006) Anak yang terkena gizi buruk 98 anak Dinas Kesehatan Surakarta


(6)

Tahun 2008

Pekerja terburuk anak 109 anak Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta Tahun 2005, 2006, dan 2007

Anak jalanan 1.168 anak Sumber : Surakarta belum butuh peraturan anak jalanan, www.korantempo.com 2007 Sumber : Disarikan dari berbagai data

Pemerintah dapat dikatakan bertanggung jawab jika mereka dinilai mempunyai responsivitas (daya tanggap) yang tinggi terhadap apa yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan, dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya; mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha semaksimal mungkin memenuhinya; ia dapat menangkap masalah yang dihadapi publik dan berusaha untuk mencari solusinya; mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan subtansi (Widodo, 2001 : 152).

Untuk mentransformasikan hak anak ke dalam proses pembangunan, pemerintah mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak (KLA). KLA merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan KLA. Tahun 2006 konsep KLA diujicobakan di lima kabupaten/kota, yaitu Jambi, Surakarta, Sidoarjo, Kutai Kartanegara, dan Gorontalo. Sedangkan pada tahun 2007 ditunjuk sepuluh kabupaten/kota lagi. Menurut Hamid Patilima (dalam www.ykai.net) untuk mewujudkan KLA, bukanlah hal yang mudah dan bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, ada semacam suatu prasyarat untuk mencapainya. Prasyarat yang dimaksud adalah: (1) adanya kemauan dan komitmen pimpinan daerah, (2)tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan program, pemantauan, dan evaluasi, (3) sosialisasi hak anak, (4)produk hukum yang ramah anak, (5) partisipasi


(7)

commit to user

anak, (6) pemberdayaan keluarga, (7) adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak, (8) instititusi perlindungan anak.

KLA menjamin setiap hak anak sebagai warga kota. Menurut Nirmono Joga dalam Membangun Kota Layak Anak (www.kompas.com), indikator KLA adalah tersedianya pemenuhan atas hak anak di segala bidang sebagai warga kota, berperan dan berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemeberdayaan Perempun dan Keluarga Berencana (DKRPP&KB) banyak melakukan sosialisasi menyangkut ditunjukkannya Kota Solo sebagai proyek percontohan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan, sebagai Kota Layak Anak (KLA). Pertimbangan Kota Solo sebagai KLA oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan tersebut didasarkan pada: (1) Pertimbangan adanya beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Solo, seperti kebijakan pembebasan biaya untuk pencatatan akta kelahiran. (2) Peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan eksploitasi seksual komersial (Perda No. 3 tahun 2006). (3) Peraturan Gubernur Jawa Tengah tentang pembentukan organisasi tata kerja komite aksi Provinsi Jawa Tengah penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 94 tahun 2006).

Mengingat anak sebagai aset bangsa, maka Pemerintah Kota Surakarta berkewajiban menjamin kualitas tumbuh kembang dan memberikan perlindungan kepada mereka dan hak-haknya sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pelaksanaan Konvensi PBB Hak Anak. Untuk mewujudkan


(8)

kondisi tersebut, diperlukan responsivitas pemerintah agar memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?

2. Kendala dan upaya apa yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

2. Mengetahui kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

D. Manfaat Penelitian


(9)

commit to user

1. Masukan bagi Pemerintah Kota Surakarta terhadap upaya perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

2. Peningkatan wawasan dan pengetahuan terhadap permasalahan dan upaya perlindungan anak menuju Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA).

3. Sebagai referensi bagi peneliti lain. E. Tinjauan Pustaka

1. Responsivitas

UNDP (1997) dalam Sedarmayanti (2004:247) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, meliputi participation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Atas dasar uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan Negara yang bertanggung jawab serta efisien dan efektif.

Menurut Joni Rahman (n.d) yang mengutip karakteristik good governance dari jurnal internasional (Pubic Administration Journal): Good governance has 8 major characteristics. It is parcipatory, consensus oriented, accountable, transparent, responsive, effective and efficient, equitable and inclusive and follows the rule of law. Karakteristik good governance tersebut digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1


(10)

Dengan demikian, responsivitas merupakan salah satu karakteristik good governance. Lenvine dalam Agus Dwiyanto (2005:147), produk dari pelayanan publik di dalam Negara demokratis paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni responsiveness, responsibility, dan accountability.

Responsivitas yang merupakan salah satu karakteristik good governance adalah kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan, dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan. Responsivitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi, serta tuntutan warga pengguna layanan. Tujuan utama pelayanan publik adalah memenuhi kebutuhan warga pengguna agar dapat memperoleh pelayanan yang diinginkan dan memuaskan. (Agus Dwiyanto, 2005:152)

Pengertian responsivitas dapat dipahami dari beberapa pendapat para ahli berikut ini: Dilulio dalam Agus Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Agus Dwiyanto


(11)

commit to user

mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Wyer PC (2007)menyatakan bahwa:

“Responsiveness can be defined as the ability of research, education, quality improvement, and electronic system to adapt to and incorporate the changes in knowledge that produce changes in practice”

Smith dalam Joko Widodo (2001:152) mengartikan responsivitas (responsiveness) adalah “ability to provide what people demand. In this sense it is an efficient way of managing local affairs and providing local services”. Dapat dipahami bahwa responsivitas merupakan kemampuan untuk menyediakan apa yang menjadi tuntutan rakyat.

Indikator responsivitas pelayanan publik adalah keluhan pengguna jasa, sikap aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku (Agus Dwiyanto, 2002:60-61). Mengacu pada pendapat tersebut di atas, dalam penelitian ini pengukuran responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) ditentukan dari indikator 1) kemampuan mengenali kebutuhan anak, 2) kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak, 3) kemampuan mengembangkan program perlindungan anak.

Di Indonesia, responsivitas pemerintah terhadap permasalahan anak sebagai dasar atas upaya pemenuhan hak anak telah dilakukan melalui :


(12)

1) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Implementasi program melalui penanganan permasalahan anak merupakan upaya pemerintah untuk melindungi hak anak. Konvensi Hak-Hak Anak menjadi dasar membangun Kota Layak Anak.

Keberhasilan program pengembangan Kota Layak Anak akan sangat ditentukan oleh adanya saling pengertian dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan di setiap tingkatan pembangunan dengan kepemimpinan pemerintah kabupaten/kota.

Atas kerjasama lintas sektor dan pemangku kepentingan telah berhasil menyusun sebuah kerangka kebijakan yang bersifat umum sebagai acuan pemerintah kabupaten/kota, organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, sektor swasta, masyarakat, dan anak-anak sebagai subjek dari hak-haknya untuk bersama-sama mengembangkan Kota Layak Anak.

Khususnya di Kota Surakarta, Pemerintah berusaha responsif terhadap permasalahan anak, yaitu dengan pengembangan Kota Layak Anak (KLA). Program Kota Layak Anak dibagi dalam 4 bidang yaitu bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak. Akan tetapi, masih banyak permasalahan yang masih belum terselesaikan seperti anak putus sekolah, eksploitasi anak, anak jalanan, dan sebagainya.

Melalui DKRPP&KB Kota Surakarta yang menangani masalah perlindungan anak di Surakarta harus mempunyai strategi dan perencanaan yang baik dalam rangka


(13)

commit to user

mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak. Hal ini dikarenakan masih banyaknya persoalan yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk segera diselesaikan, menyangkut permasalahan anak-anak. Seperti kasus anak-anak yang dipekerjakan pada sektor industri, anak jalanan, pemulung anak, anak yang dilacurkan, anak putus sekolah, anak berkonflik dengan hukum, dan anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, serta permasalahan anak-anak lainnya.

Dalam menghadapi dan menanggulangi masalah anak secara kompleksitas, berbagai perbuatan perlu ditangani secara lebih serius, sebagai proses untuk mengantisipasi perkembangan fisik, jiwa dan mental maupun kehidupan sosiologis yang lebih baik. UU Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak mengatur mengenai hak-hak anak yang dijumpai pada pasal 2 sebagai berikut: 1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan

kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan kembang dengan wajar.

2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan negara yang baik dan berguna.

3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Jelas dalam pasal tersebut mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil dalam rangka


(14)

mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap mereka. Hal ini penting demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diharapkan dalam upaya perlindungan anak. Dengan demikian, dituntut adanya suatu rasa tanggung jawab dalam pelaksanaan perlindungan anak dan juga rasa keadilan yang dapat mempengaruhi kelangsungan kegiatan dalam upaya pelaksanaan perlindungan anak tersebut.

2. Perlindungan Anak

Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan, tetapi harus secara bersama-sama dan penyelesaiannya menjadi tanggungjawab bersama. Untuk mengetahui terjadinya perlindungan yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus memperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita (1985:3) mengatakan bahwa perlindungan anak/remaja adalah suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan pengamanan pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak/remaja itu dilindungi dan yang bertanggung jawab terhadap adanya dan pelaksanaan perlindungan tersebut. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan:

“Perlindungan anak adalah serangkaian kegiatan untuk melindungi anak sejak dalam kandungan, agar anak dapat terjamin kelangsungan hidupnya, tumbuh dan berkembang serta terbebas dari perlakuan delinkuensi dan tindak kekerasan fisik, mental, rohani maupun sosial secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya”.


(15)

commit to user

Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi. Perlindungan anak juga merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada pasal 2 ayat (2) dan (3) menyatakan :

“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.

Undang-undang di atas dengan jelas menyatakan perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak yang efektif, rasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat adalah sebagai berikut (Sumber: www.kotalayakanak.org):

a. Para partisipan harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat. b. Harus dilakukan secara bersama, kerjasama dan koordinasi.

c. Perlu diteliti terlebih dahulu masalah yang merupakan faktor kriminogen atau faktor viktimogen.

d. Mengutamakan perspektif yang dilindungi dan bukan yang melindungi.

e. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan atau dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.


(16)

f. Pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri.

g. Tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi.

h. Harus didasarkan atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.

Perlindungan anak merupakan tanggungjawab secara individu, kolektif, dan pemerintah demi tercapainya kepentingan bersama dan nasional. Dalam rangka membuat kebijakan mengenai perlindungan anak, perlu diusahakan inventarisasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum sangat dibutuhkan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan untuk mencegah akibat-akibat negatif yang tidak diinginkan.

Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 15 menyatakan :

Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

Ayat (3) : Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Ayat (4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.


(17)

commit to user

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk umum.

Dengan demikian responsivitas pemerintah sebagai salah satu perwujudan good governance harus mencakup seluruh kepentingan publik termasuk perlindungan anak. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan, sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam bab III Undang-Undang Perlindungan pasal 4 sampai 19 menjelaskan hak-hak anak sebagai berikut: hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, berhak atas suatu nama sebagai identitas diri, berhak untuk beribadah, berhak mengetahui orang tuanya, berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, berhak memperoleh pendidikan, berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, berhak beristirahat, berhak mendapatkan perlindungan hukum. Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada empat kategori hak anak, yaitu bidang perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak.

3. Kota Layak Anak

Menurut Nirwono Joga (2007) Kota Layak Anak adalah suatu kota yang di dalamnya telah diramu semangat untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam proses pembangunan kota yang berkelanjutan. Kota yang


(18)

menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan (fisik dan nonfisik) serta diskriminasi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia mendefinisikan Kota Layak Anak sebagai kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Berdasarkan Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (2007), anak sebagai warga kota berarti :

a. Memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat baik secara pribadi maupun terwakilkan, terkait dengan kebijakan pengembangan kota, fasilitas kota, dan pelayanan kota.

b. Mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti sosial lainnya.

c. Menerima pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan.

d. Memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan sarana kota yang berkualitas (sarana air bersih, ruang bermain, jalur sekolah). Persyaratan keselamatan, persyaratan kesehatan, persyaratan kemudahan, dan persyaratan kenyamanan. e. Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa

memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

Empat prinsip kunci Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar membangun Kota Layak Anak adalah: (Kebijakan Pengembangan KLA, 2007)

a. Non-diskriminasi: Kota Layak anak adalah kabupaten/kota yang layak dan inklusif untuk semua anak. Kabupaten/Kota yang memenuhi kebutuhan dan


(19)

commit to user

memberikan perhatian khusus pada anak yang mengalami diskriminasi dalam mengakses hak-hak mereka dalam beberapa cara berbeda.

b. Kepentingan terbaik untuk anak: Kota Layak anak menjamin kepentingan terbaik untuk anak dan menjadikan anak sebagai pertimbangan utama dalam semua tindakan yang terkait dengan urusan anak.

c. Setiap anak mempunyai hak hidup, kelangsungan hidup, dan berkembang maksimal: Kota Layak Anak berusaha memberikan jaminan untuk hidup dan kelangsungan hidup kepada anak untuk berkembang optimal dengan menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung pada masa anak-anak, perkembangan dalam konteks Konvensi Hak-hak Anak berarti perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan perkembangan psikologi dan sosial anak.

d. Mendengar dan menghormati pandangan anak: Anak-anak dilibatkan dan didengar fikiran dan pendapatnya di dalam Kota Layak Anak. Mereka aktif berperan serta sebagai warga kota dan pemegang hak untuk mempromosikan dan mendorong kebebasan mengekspresikan pendapat pada semua persoalan yang mempengaruhi mereka.

Upaya mewujudkan KLA tidak bisa dilakukan sendiri atau hanya oleh pemerintah saja. Kementerian dengan berbagai pihak merupakan pilihan utama yang harus dilakukan. Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya.

Peran dari masing-masing harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Menurut YKAI, peran dari pemerintah dan pihak terkait dalam upaya mewujudkan KLA meliputi: (www.ykai.net)


(20)

1) Pemerintah : Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain itu pemerintah juga melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan KLA.

2) Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia : APKSI/APEKSI sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah bertukar pengalaman dan informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota.

3) Pemerintah Kabupaten/Kota : Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi sumber daya untuk pengembangan KLA.

4) Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan : Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.

5) Sektor Swasta dan Dunia Usaha : Sektor swasta dan dunia usaha merupakan kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility untuk mendukung terwujudnya KLA.

6) Lembaga Internasional : Lembaga internasional sebagai lembaga memfasilitasi dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA.


(21)

commit to user

7) Komuniti (Masyarakat) : Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan berupa informasi yang objektif dalam proses monitoring dan evaluasi. 8) Keluarga : Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan

pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.

9) Anak : anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah.

Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dalam rangka melaksanakan perlindungan anak, setiap anggota masyarakat bekerja sama dengan pemerintah, ikut serta menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan dikembangkannya perlindungan anak secara langsung atau tidak langsung. UU Perlindungan Anak pada pasal 15 menyatakan : Ayat (1) : Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

Ayat (3) : Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Ayat(4) : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara fiktif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.


(22)

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak serta dalam sidang tertutup untuk umum.

F. Kerangka Pemikiran

Salah satu karakteristik good governance adalah responsivitas, yaitu kemampuan organisasi untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, menyusun prioritas kebutuhan, dan mengembangkan ke dalam berbagai program pelayanan. Responsivitas mengukur daya tanggap organisasi terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi, serta tuntutan warga pengguna layanan (Agus Dwiyanto, 2005:152).

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjelaskan tentang hak-hak anak yang secara garis besar diklasifikasikan ke dalam empat bidang yaitu: bidang perlindungan anak, bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan bidang partisipasi anak. Terkait hal tersebut, Pemerintah Surakarta dalam pelaksanaan perlindungan anak harus responsif apabila ingin tercipta perlindungan anak yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Pemerintah harus mempunyai kemampuan untuk:

1) Mengenali kebutuhan anak

2) Menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak 3) Mengembangkan program perlindungan anak

Namun, upaya untuk mewujudkan Kota Layak Anak bukanlah pekerjaan yang mudah. Pemerintah dalam memberikan perlindungan anak menghadapi berbagai kendala. Kendala tersebut berasal dari internal pemerintah dan eksternal pemerintah. Kendala internal pemerintah yaitu sumber daya manusia, sumber dana, dan ego sektoral. Kendala


(23)

commit to user

eksternal pemerintah yaitu culture of silence, pengaruh lingkungan, dan rendahnya kesadaran orang tua dan anak.

Apabila pemerintah mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka upaya mewujudkan Kota Layak Anak akan dapat terwujud. Sebaliknya, jika pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali kebutuhan anak, menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak, mengembangkan program perlindungan anak, serta mampu mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, maka tidak akan terwujud Kota Layak Anak. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.2

Bagan Kerangka Pemikiran

Responsivitas terhadap perlindungan anak. a. Kemampuan mengenali

kebutuhan anak

b.Kemampuan menyusun agenda & proritas pelayanan terhadap perlindungan anak c. Kemampuan mengembangkan

program perlindungan anak

Kota Layak Anak a. Jaminan hak-hak

bidang perlindungan anak b.Jaminan hak-hak bidang kesehatan c. Jaminan hak-hak

bidang pendidikan d.Jaminan hak-hak bidang partisipasi anak Good Governance UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak


(24)

G. Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan data bersifat kualitatif dengan tujuan mengetahui responsivitas pemerintah Surakarta dalam memberikan perlindungan terhadap anak di Surakarta. Data yang dikumpulkan pada penelitian kualitatif yaitu data berupa kata, kalimat, gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka atau frekuensi (H. B. Sutopo, 2002 : 35). Selain data kualitatif, juga

Kendala –kendala : a. Internal:

· Kapasitas sumber daya manusia

· Kapasitas sumber dana

· Ego sektoral b.Eksternal:

· Culture of silence

· Pengaruh lingkungan

· Rendahnya kesadaran orang tua dan anak


(25)

commit to user

dikumpulkan data kuantitatif, khususnya dalam upaya mempertegas temuan penelitian kualitatif.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta khususnya pada beberapa Dinas yang terkait yaitu:

a. Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DKRPP&KB) Kota Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara teknis mengurusi tentang perlindungan anak di Kota Surakarta.

b. Dinas Kesehatan (DINKES) Surakarta sebagai dinas yang berwenang secara teknis mengurusi perlindungan anak di bidang kesehatan.

c. Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (DISDIKPORA) Surakarta sebagai Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah pendidikan anak.

d. Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Surat (DINSONAKER & TRANS) Surakarta sebagai Dinas yang berwenang secara teknis mengurusi masalah anak. 3. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan purposive sampling di mana peneliti memilih informan yang dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi dan dianggap mengetahui permasalahan perlindungan anak secara mendetail. Selain itu peneliti juga menggunakan teknik snowball sampling di mana pemilihan informasi pada waktu di lokasi penelitian berdasarkan petunjuk dari informan sebelumnya, dan seterusnya bergulir sehingga didapatkan data yang lengkap dan akurat. Pada tahap penelitian awal, peneliti melakukan penelitian di DKRPP&KB. Selanjutnya DKRPP&KB merekomendasikan penelitian ke instansi/dinas yang terkait antara lain


(26)

DINKES, DISDIKPORA, DINSONAKER&TRANS. Setelah mendapat informasi dari masing-masing instansi/dinas yang terkait, maka didapat titik jenuh dari informasi ini dan bisa ditarik kesimpulan dari penelitian.

4. Jenis Data

Data adalah suatu fakta atau keterangan dari objek yang diteliti. Data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara secara langsung dari informan yang dianggap tepat dan mengetahui tentang permasalahan perlindungan anak. Informan penelitian berasal dari unsur Pemerintah Kota Surakarta dan unsur di luar Pemerintah Kota Surakarta. Informan dari unsur Pemerintah Kota Surakarta berasal dari: DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER & TRANS. Informan dari luar Pemerintah Kota Surakarta adalah dari Perguruan Tinggi yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS, LSM di Surakarta yaitu PPAP Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas, dan LSM Sari. Data yang dikumpulkan adalah data-data terkait dengan kemampuan mengenali kebutuhan anak, kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak, dan kemampuan mengembangkan program perlindungan anak. Selain itu ditanyakan pula kendala dan upaya yang dihadapi Pemerintah Kota Surakarta dalam perlindungan anak.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui penelaahan kepustakaan mengenai permasalahan perlindungan anak. Data sekunder diperoleh dari arsip-arsip, dokumentasi, catatan-catatan, maupun laporan hasil pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan anak.


(27)

commit to user

Data Sekunder yang dimaksud adalah data dan analisis permasalahan anak Di Kota Surakarta, Keputusan Walikota Surakarta Nomor 130.05/08/1/2008 Tentang Tim Pelaksana Pengembangan KLA Kota Surakarta, Profil Anak Kota Surakarta Tahun 2007 (DKRPP&KB Surakarta), dan informasi dari internet tentang permasalahan anak di Surakarta.

5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data atau informasi dengan bertanya langsung kepada informan. Menurut Moleong (1998:135), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Hasil wawancara disajikan dan dianalisis sesuai dengan fokus kajian dan digunakan sebagai acuan penarikan kesimpulan. Untuk menjamin kerahasiaan informan, pada laporan penelitian ini tidak disebutkan nama informan, tetapi diberi kode N1, N2, N3, dan seterusnya. Pada penulisan laporan ini, ada kemungkinan penyebutan N dari halaman ke halaman tidak berurutan. Hal ini terjadi karena di bab sebelumnya sudah disebutkan.

b. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui proses mengadakan atau melihat kembali dokumen yang telah ada dengan mempelajari


(28)

kembali informasi yang telah tersimpan, misalnya buku-buku, arsip, tabel-tabel, dan bahan-bahan dokumentasi lainnya yang bermanfaat sebagai sumber data. Menurut W. Gulo (2004:123) dokumentasi adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau peristiwa pada waktu yang lalu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dokumen-dokumen, catatan-catatan dan arsip-arsip yang ada pada lembaga yang peduli terhadap perlindungan anak antara lain: DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, DAN DINSONAKER&TRANS, Yayasan Kakak, PPAP Seroja, LSM Kapas,LSM Sari, dan P3G UNS. Di samping dokumen tertulis yang berupa data-data, juga dilakukan pencarian informasi melalui internet.

6. Validitas Data

Validitas data merupakan pembuktian bahwa data yang diperoleh peneliti sesuai dengan apa yang benar-benar terjadi di lapangan. Untuk menguji validitas data, peneliti menggunakan metode triangulasi sumber yaitu mendapatkan data tidak hanya dari satu sumber melainkan dari beberapa sumber untuk mengumpulkan data yang sama dan kemudian melakukan kroscek dengan beberapa sumber yang berkaitan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini data mengenai responsivitas diperoleh dari berbagai sumber yaitu informasi dan data dari pemerintah Surakarta melalui DKRPP&KB, DINKES, DISDIKPORA, dan DINSONAKER & TRANS dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu : Ketua LSM Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas, LSM Sari, dan Lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS.


(29)

commit to user 7. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis). Menurut Miles dan Huberman dalam H. B. Sutopo (2002 : 94-96), dalam model ini terdapat tiga komponen pokok, yaitu: a. Reduksi Data (Data Reduction). Merupakan proses seleksi, pemfokusan,

penyederhanaan, dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung terus sampai laporan akhir Penelitian selesai disusun.

b. Sajian Data (Data Display). Merupakan suatu rakitan informasi yang memungkinkan kesimpulan. Riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data, Penulis akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan Penulis untuk berbuat sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut.

c. Penarikan Simpulan (Conclusion Drawing). Dalam awal pengumpulan data Penulis sudah harus mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proporsi sehingga memudahkan dalam pengambilan data kesimpulan.

Proses analisis data dengan menggunakan model interaktif ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.3


(30)

Sumber: H.B Sutopo (2002:96)

Secara keseluruhan, aspek yang akan dianalisis, fokus kajian, sumber data, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data disajikan pada tabel 1.3 berikut ini:

Tabel 1.2

Matriks Aspek Analisis, Fokus Kajian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

No Aspek yang dianalisis

Fokus Kajian Sumber Data dan Teknik

Pengumpulan Data

Teknik Analisis Data

2 3 4 5

Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

Kendala Pemerintah Kota

a. Kemampuan mengenali kebutuhan anak

b. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak

c. Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak

a. Kendala internal

· Kapasitas sumber daya manusia

1. Sumber Data:

a. Data Primer berasal dari dalam Pemerintah Surakarta seperti : DKRPP&KB Surakarta, Dinas Kesehatan Surakarta, DIKPORA Surakarta, dan DINSONAKER & TRANS Surakarta. Dan dari luar Pemerintah Surakarta seperti: Yayasan Kakak, PPAP Seroja, LSM Kapas,

1. Analisa interaktif, yang terdiri dari tiga komponen: a.Reduksi Data b.Penyajian Data

(gambar atau skema, tabel, dan matriks) c.Penarikan kesimpulan Pengumpulan Data Penarikan Kesimpulan


(31)

commit to user

perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA) Upaya Pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak (KLA)

b. Kendala eksternal

· Culture of silence

· Pengaruh lingkungan

· Rendahnya kesadaran orang tua dan anak

a. Meningkatkan pemahaman tentang perlindungan anak dari aparat pemerintah

b. Meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak lain

c. Optimalisasi sosialisasi kegiatan

peraturan perundang-undangan, dokumen, literatur, bacaan yang terkait dengan penelitian ini, serta sumber dari internet.

2. Teknik Pengumpulan Data:

a. Wawancara kepada informan:

DKRPP&KB Surakarta, Dinas Kesehatan Surakarta, DIKPORA Surakarta, dan DINSONAKER & TRANS Surakarta. Serta wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu : Ketua LSM PPAP Seroja, Yayasan Kakak, LSM Kapas, LSM Sari dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) UNS.

b. Dokumentasi: Dokumen-dokumen, laporan, dan data-data tentang perlindungan anak.

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA SURAKARTA DAN PERMASALAHAN ANAK

A. Gambaran Umum

Masyarakat seringkali menyebut Kota Surakarta dengan sebutan Kota Solo, Kota Surakarta disebut Solo karena ditemukan oleh Kiai Sala. Solo adalah rumah bagi dua keluarga kerajaan yang telah berpengaruh selama beberapa abad dan keberadaannya masih mewarnai kota ini. Sedangkan Surakarta merupakan keraton Kasunanan Surakarta, pecahan


(32)

dari Kerajaan Mataram. Jadi tidak mengherankan jika masyarakat menyebut Kota Surakarta sama dengan Kota Solo.

Berdasarkan data dari Kota Surakarta dalam Angka tahun 2005, Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di provinsi Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang dan yogyakarta. Wilayah Kota Surakarta dikenal dengan nama ‘KOTA SOLO’ merupakan dataran rendah dan berada antara pertemuan sungai Pepe, Jenes dengan bengawan Solo, dengan ketinggian ± 92 m dari permukaan air laut dan terletak antara 110˚45'35" bujur timur dan antara 7˚36' dan 7˚56' lintang selatan. Kota Surakarta merupakan kota yang terletak di tengah, antara kabupaten-kabupaten se-eks Karesidenan Surakarta, yang berbatasan:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali, 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karangannyar dan Kabupaten Sukoharjo, 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo,

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Keadaan iklim Kota Surakarta ditandai dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 25,9˚ C sampai dengan 27,9˚ C. Kelembapan udara berkisar antara 69% sampai dengan 86%. Hari hujan terbanyak jatuh pada bulan Desember dengan jumlah 27 hari. Curah hujan terbanyak sebesar 1025,8 mm jatuh pada bulan Desember. Rata-rata curah hukan saat hari hujan terbesar juga jatuh pada bulan Desember sebesar 37,59 mm per hari hujan. Arah angin rata-rata 5,08 knot. Tekanan udara rata-rata 1010,2 Mbs.

Kota Surakarta terdiri dari 5 Kecamatan yang terbagi menjadi 51 Kelurahan, dengan luas wilayah 4.404,06 Ha. (BPS Surakarta Tahun 2006)


(33)

commit to user

Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, pada tahun 2006 10,8 % penduduk Kota Surakarta termasuk kedalam kelompok umur 25-29 tahun dengan jumlah laki-laki sebanyak 30.441 orang dan perempuan sebanyak 25.185 orang. Adapun penggolangan penduduk Kota Surakarta menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1

Penduduk Kota Surakarta

Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006 No Tahun Jenis Kelamin Jumlah Persentase

(%) Laki-laki Perempuan

1 2 3 4 5 6

1 0-4 18.177 9.053 27.230 5,3 2 5-9 21.243 16.425 37.668 7,3 3 0-14 20.367 21.024 41.391 8,1 4 15-19 20.805 21.681 42.486 8,3 5 20-24 26.061 24.747 50.808 9,9 6 25-29 30.441 25.185 55.626 10,8 7 30-34 23.433 22.557 45.990 9 8 35-39 15.330 17.520 32.850 6,4 9 40-44 18.834 22.338 41.172 8 10 45-49 14.454 18.177 32.631 6,4 11 50-54 16.863 15.111 31.974 6,2 12 55-59 9.855 10.512 20.367 4 13 60-64 6.570 8.541 15.111 2,9 14 65+ 11.826 15.768 27.594 5,4 Jumlah 254.259 258.639 512.898 100

Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta Tahun 2006

Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia, jumlah anak di Surakarta umur 0-19 tahun dari tahun 2004 sampai ke tahun 2006 mengalami jumlah yang terus menurun


(34)

meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, yaitu dari tahun 2004 sejumlah 173.103 jiwa dan tahun 2005 sebanyak 170.628 jiwa serta tahun 2006 sebanyak 158.775 jiwa. Hal ini berarti bahwa populasi anak Kota Surakarta masih harus diperhatikan dan juga harus diperjuangkan peningkatan kesejahteraannya. Beban untuk menanggulangi masalah kesehatan anak juga terus meningkat.

Tabel 2.2

Jumlah penduduk menurut jenis kelamin pada usia Anak 0-19 tahun Kota Surakarta Tahun 2004/2005/2006

No Tahun Usia 0-4 tahun Usia 5-9 tahun Usia 10-14 tahun Usia 15-19 tahun

L P Jml L P Jml L P Jml L P Jml

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

1. 2004 14.839 15.884 30.723 19.228 17.974 37.303 19.437 18.810 38.247 24.871 25.498 50.369 2. 2005 18.880 16.284 35.164 17.936 23.128 41.054 23.476 24.780 46.256 24.072 24.072 48.144 3. 2006 18.177 19.053 37.230 21.243 16.425 37.658 20.367 21.024 41.391 20.805 21.681 42.486 Sumber: Kota Surakarta dalam Angka Tahun 2004/2005/2006

Berdasarkan tingkat pendidikan, rata-rata penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun keatas adalah tamat SD (22, 1%), tamat SLTP (21, 7%), dan tamat SLTA (20, 8 %). Sedangkan yang merupakan tamatan akademi (PT) hanya 7,2 % dan selebihnya tidak tamat SD (9,2%), belum tamat SD (5,2%) dan tidak sekolah (5,2%). Tabel 2.3 berikut ini memperlihatkan penggolongan penduduk Kota Surakarta usia 5 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan pada tahun 2006.

Tabel 2.3

Penduduk Kota Surakarta Usia 5 Tahun Ke Atas Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2006 No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)


(35)

commit to user

2 Tamat SLTA 98.186 20,8 3 Tamat SLTP 102.494 21,7 4 Tamat SD 104.270 22,1 5 Tidak Tamat SD 43.302 9,2 6 Belum Tamat SD 66.223 14 7 Tidak Sekolah 24.389 5,2

Jumlah 472.687 100

Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta

Berdasarkan tingkat kesejahteraan penduduknya, rata-rata penduduk Kota Surakarta tergolong dalam kelompok Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera I (KS I) ekonomi dan non ekonomi. Tabel 2.4 berikut ini memperlihatkan banyaknya keluarga sejahtera menurut tahapan di Kota Surakarta pada tahun 2006.

Tabel 2.4

Banyaknya Keluarga Sejahtera Menurut Tahapan di Kota Surakarta Tahun 2006

No Tahapan Keluarga Sejahtera Jumlah Persentase (%)

1 2 3 4

1 Pra KS (ekonomi dan non ekonomi) 12.622 10,7 2 KS I (ekonomi dan non ekonomi) 29.038 24,7

3 KS II 30.268 25,7

4 KS III 30.072 25,5

5 KS II Plus 15.745 13,4

Jumlah 117.745 100

Sumber: Kota Surakarta Dalam Angka, BPS Kota Surakarta

1. Visi dan Misi

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 10 Tahun 2001 tentang Visi dan Misi Kota Surakarta, menyebutkan bahwa:


(36)

Terwujudnya Kota Sala sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga.

b. Misi Kota Surakarta

1) Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai “Sala Kota Budaya”.

2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam penguasaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni guna mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat madani yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3) Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi serta mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang ramah lingkungan.

4) Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat utamanya para penyelenggara pemerintahan.

Misi Kota Surakarta tersebut juga memuat tentang pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang termasuk di dalamya adalah perlindungan terhadap anak di Surakarta. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mewujudkan Solo sebagai Kota Layak Anak (KLA) melalui Tim Pelaksana Pengembangan KLA yang melibatkan beberapa institusi internal, LSM, dan


(37)

commit to user

Perguruan Tinggi. Adapun institusi internal pemerintah yang menangani bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak yang dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut ini.

Tabel 2.5

Institusi Internal Pemerintah dalam Program Kota Layak Anak

VISI-MISI TUJUAN PERANAN DALAM

KLA

1 2 3

1. DKRPP&KB VISI:

Terwujudnya sumber daya manusia dalam keluarga dan masyarakat yang mampu mandiri dan sejahtera.

MISI:

a) Tersusunnya data yang akurat di bidang kemasyarakatan guna memberikan informasi yang lengkap dalam upaya mewujudkan pelayanan yang prima kepada masyarakat. b) Mendorong peningkatan peran

masyarakat untuk ikut serta bertanggung jawab dalam melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

c) Menjalin kemitraan secara sinergis dengan pemerintah dan seluruh elemen masyarakat yang bergerak di bidang

kemasyarakatan.

a) Untuk lebih

memberdayakan peranan organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, organisasi keagamaan, LSM dan organisasi lainnya di dalam melaksanakan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat bersama-sama dengan pemerintah.

b) Untuk lebih meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan masyarakat khususnya bagi masyarakat marginal yang mengalami berbagai permasalah sosial. c) Untuk lebih

memberdayakan keluarga dalam rangka

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.

Melaksanakan pelayanan di bidang sosial Melaksanakan Monitoring dan evaluasi 2. DINKES VISI:

Terwujudnya budaya hidup bersih dan sehat serta mutu pelayanan menuju Solo Sehat 2010

MISI:

a) Memberdayakan kemandirian masyarakat untuk hidup bersih dan sehat.

b) Melaksanakan penanggulangan masalah kesehatan individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan.

c) Meningkatkan kinerja dan upaya kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau.

d) Memantapkan manajemen

a) Menumbuhkan pola hidup sehat dengan menciptakan lingkungan hidup yang kondusif bagi upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. b) Meningkatnya perilaku

hidup sehat dengan memberdayakan individu, keluarga dan masyarakat. c) Tersedianya layanan

informasi yang terjangkau, rasional dan berkesinambungan. Melaksanakan pelayanan bidang kesehatan dan pengendalian penyakit Monitoring dan evaluasi


(38)

kesehatan yang dinamis dan akuntabel.

3. DINSONAKER & TRANS VISI:

Terwujudnya tenaga kerja yang profesional. Berdaya saing tinggi dan hubungan industrial yang harmonis serta perlindungan tenaga kerja.

MISI:

a) Menciptakan kualitas profesinalisme aparatur. b) Perluasan kesempatan kerja dan

penempatan tenaga kerja. c) Menciptakan tenaga kerja yang

terampil, mandiri serta profesinal. d) Menciptakan hubungan industrial yang harmonis guna mewujudkan ketenangan kerja dan usaha agar tercipta kesejahteraan pekerja dan keluarga.

e) Meningkatkan pengawasan norma kerja serta keselamatan kesehatan kerja untuk perlindungan pekerja.

Untuk lebih memberdayakan keluarga dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.

Melaksanakan pelayanan di bidang pelayanan umum Monitoring dan evaluasi

4. DISDIKPORA VISI:

Terwujudnya masyarakat Surakarta yang beriman dan bertaqwa, cerdas, sehat, berprestasi dan berbudaya. MISI:

a) Mewujudkan masyarakat

Surakarta yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia.

b) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang cerdas, kreatif, inovatif serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. c) Mewujudkan masyarakat yang

gemar olahraga, memiliki kesegaran jasmani dan

menghasilkan bibit olahragawan yang berprestasi.

d) Mewujudkan generasi muda yang tangguh, terampil dan produktif. e) Mewujudkan kehidupan sosial

budaya yang berkepribadian, berdaya tahan dan mampu memfilter budaya asing.

Meningkatkan sumber daya manusia agar mempunyai kecerdasan yang tinggi, mampu berkreasi dan

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lewat proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan sehingga mampu menjuarai lomba– lomba kreatifitas, memiliki nilai akademis tinggi, serta mampu menciptakan teknologi tepat guna.

Melaksanakan pelayanan di bidang pendidikan dasar dan menengah

Monitoring dan evaluasi

Dari tabel 2.5 dapat diketahui peranan masing-masing institusi internal pemerintah. DKRPP&KB berperan Melaksanakan pelayanan di bidang sosial dan


(39)

commit to user

pelayanan bidang kesehatan dan pengendalian penyakit dan monitoring & evaluasi, DINSONAKER&TRANS berperan melaksanakan pelayanan di bidang pelayanan umum dan monitoring & evaluasi, dan DISDIKPORA berperan Melaksanakan pelayanan di bidang pendidikan dasar dan menengah dan monitoring & evaluasi.

Bagan organisasi pada masing-masing institusi internal (lihat lampiran 1-4). B. Gambaran Permasalahan Anak di Surakarta

Permasalahan anak di Surakarta mencakup masalah anak putus sekolah, masalah kekerasan anak, masalah anak terlantar, dan masalah pekerja anak. Tabel 2.6 berikut ini menggambarkan berbagai persoalan tentang pendidikan anak di Kota Surakarta.

Tabel 2.6

Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang, dan Putus Sekolah di Kota Surakarta Tahun 2006/2007

Tingkat Pendidikan

Lulusan 2006/2007

Siswa 2005/2006

Mengulang 2006/2007

Putus Sekolah

Siswa Tk VI 2005/2006

1 2 3 4 5 6

SD 9.940 64.340 1.650 23 10.773

MI 76 259 14 0 45

SMP 9.347 34.445 327 169 10.825

MTs 700 2.587 21 13 790

SMA 6.583 20.442 157 100 6.876

MA 667 2.243 9 0 741

SMK 6.590 20.897 142 242 7.095

JUMLAH 33.903 145.213 2.320 547 37.145

Sumber : Profil Pendidikan DKRPPKB Surakarta Tahun 2006/2007

Berdasarkan tabel 2.6 dapat dilihat kondisi pendidikan dasar dan menengah di Kota Surakarta di mana masih banyak jumlah anak putus sekolah di Kota Surakarta termasuk dalam usia wajar 9 tahun. Angka putus sekolah di jenjang SMK sebesar 242 anak, SMP sebesar 169 anak, dam SD sebesar 23 anak.


(40)

Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah kekerasan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan adalah anak yang mengalami penderitaan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Ada beberapa faktor penyebab anak terjebak dalam ESKA, yaitu (1) pengalaman seksual dini terutama pengalaman menjadi korban kekerasan seksual. Akibatnya, anak merasa tidak berharga lagi dan tidak memiliki masa depan. Situasi ini sering dimanfaatkan oleh orang lain untuk membujuk anak masuk dunia prostitusi. (2) Keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak. Di banyak kasus dijumpai anak dilacurkan memiliki latar belakang keluarga yang tidak harmonis. Ini menyebabkan anak mencari sosok tempat perlindungan alternatif dari teman maupun lingkungan yang mau menerima mereka. Dua faktor tersebut merupakan faktor utama yang menyebabkan anak terjebak dalam ESKA. Anak korban ESKA sangat rentan memperoleh kekerasan fisik seperti dipukul, ditendang, dan ditampar. Tabel 2.7 berikut ini menggambarkan kekerasan anak yang dibagi ke dalam beberapa kategori.

Tabel 2.7

Kategori Kekerasan yang Dialami Anak

No

Kategori

Kekerasan Jumlah

Persentase (%)

1 2 3 4

1

Kekerasan

Seksual 26 53,06

2 Penganiayaan 4 8,16

3 Pelarian 2 4,08

4 ESKA 17 34,69

Jumlah 49 100

Sumber Data : PTPAS Tahun 2007

Berdasarkan tabel 2.7 dapat diketahui bahwa kategori kekerasan yang paling banyak dialami anak yaitu kekerasan seksual dengan persentase 53,06%. Sedangkan persentase kekerasan anak yang terendah yaitu pelarian pada anak dengan persentase 4,08%.


(41)

commit to user

Selain masalah anak putus sekolah dan masalah kekerasan anak, masalah anak terlantar juga terjadi di Surakarta. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. (UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Berdasarkan data Kota Surakarta pada tahun 2006 tercatat jumlah anak terlantar sebanyak 1.048 anak. Adapun gambaran banyaknya anak terlantar di Surakarta dapat dilihat pada tabel 2.8 berikut ini:

Tabel 2.8

Jumlah Anak Terlantar di Kota Surakarta Tahun 2006

Kategori

Jenis Kelamin

Jumlah L P

1 2 3 4

Usia <5 tahun 199 167 366 Usia - 18 tahun 378 304 682

Jumlah 577 471 1.048

Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta tahun 2006

Masalah anak yang juga terjadi di Surakarta yaitu masalah anak terlantar. Faktor utama yang menyebabkan anak menjadi pekerja anak yakni persoalan ekonomi, sehingga anak-anak dengan sukarela atau terpaksa harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Permasalahannya adalah semakin banyak anak yang bekerja di sektor pekerjaan terburuk anak. Sebetulnya anak tidak boleh bekerja. Kalaupun anak menjadi pekerja anak, maka mereka harus mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan haknya. Tabel 2.9 menunjukkan jenis pekerjaan dan jumlah anak yang bekerja menurut jenis kelamin tahun 2005, 2006, dan 2007.

Tabel 2.9

Pekerja Terburuk Anak Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005, 2006, dan 2007

No Jenis Pekerjaan L P Jumlah

1 2 3 4 5

1 Pedagang asongan - - -

2 Pemulung 5 3 8


(42)

4 Tetap 1 1 2 5 Sektor industri kecil/RT 25 20 45

6 Besar/sedang - - -

7 Sektor Pertanian - - -

8 Sektor Angkutan - - -

9 Sektor Jasa 16 38 54

10 Pengamen - - -

47 62 109

Sumber : Data LSM Kapas, LSM PPAP Seroja, LSM SARI Surakarta, Disnakertrans Kota Surakarta

Tabel 2.9 diketahui dari tahun 2005-2007 jumlah anak yang bekerja sebesar 109 anak. Anak yang bekerja di sektor jasa menunjukkan angka tertinggi sebesar 54 anak sedangkan anak yang bekerja tetap menunjukkan angka terendah sebesar 2 anak. Hal ini menjadi keprihatinan kita bersama karena hak-hak anak kurang terpenuhi karena dia dituntut untuk bekerja.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian dan pembahasan tentang responsivitas pemerintah Kota Surakarta terhadap perlindungan anak mencakup 1) kemampuan mengenali kebutuhan anak, 2) kemampuan menyusun agenda dan prioritas


(43)

commit to user

anak. Selain itu, akan dibahas kendala dan upaya pemerintah dalam melaksanakan perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak.

1. Kemampuan mengenali kebutuhan anak

Mengemban predikat Kota Layak Anak menjadi kebanggaan sekaligus tantangan bagi Kota Solo. Pada kenyataannya mewujudkan perlindungan anak bukan merupakan hal yang mudah. Dalam hal kemampuan mengenali kebutuhan anak, Pemerintah Kota Surakarta belum memiliki data dasar tentang jumlah kasus maupun penanganan permasalahan anak. Tetapi, pemerintah berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk memperoleh data. Di bidang perlindungan anak, situasi kasus ESKA di Surakarta diketahui melalui pemetaan PPK UNS pada tahun 2004. PPK UNS memetakan ada 117 korban, sedangkan pada tahun 2008 memetakan ada 164 anak korban prostitusi dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Selain itu, Yayasan Kakak pada periode 2005-2008 menjangkau 110 anak korban ESKA. Anak korban ESKA disebabkab beberapa faktor, yaitu sifat anak yang labil sehingga mencoba segala hal, pergaulan, permasalahan keluarga, permasalahan ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh staf Yayasan Kakak (N9):

“...kami sering bertanya pada anak-anak korban ESKA yang kami tangani, kebanyakan mereka menjadi korban ESKA karena masih labil, pergaulan, masalah keluarga, dan masalah ekonomi...” (Wawancara tanggal 18 Maret 2009) Permasalahan yang sering dialami anak korban ESKA ini adalah sering mengalami kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual. Untuk anak korban ESKA yang mangkal di pinggir jalan, mereka sering mengalami garukan bahkan bisa enam kali dalam seminggu. Dalam garukan ini antara anak dan dewasa ditempatkan dan diberlakukan sama. Selain itu, mereka juga sering mengalami kesehatan reproduksinya.


(44)

Mereka tidak tahu harus kemana bercerita dan periksa. Bahkan kebanyakan anak-anak ini tidak tahu informasi berkaitan dengan HIV/AIDS, mereka hanya tahu kalau dia harus disuntik KB agar tidak hamil. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ketua PPAP Seroja (N10):

“...anak-anak yang digaruk diperlakukan sama, selain itu anak-anak yang menjadi korban ESKA tidak tahu bahayanya HIV/AIDS, taunya cuma suntik KB...” (Wawancata tanggal 17 Maret 2009)

Berdasarkan wawancara dengan staf Yayasan Kakak dan Ketua PPAP Seroja, anak-anak korban ESKA membutuhkan perlindungan khusus dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli akan permasalahan anak, antara lain :

· Perlu adanya tempat rehabilitasi untuk anak korban ESKA.

· Tersedianya lapangan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.

· Perlu adanya sosialisasi tentang kesehatan reproduksi karena anak-anak yang berada di lingkungan prostitusi tidak tahu tentang HIV/AIDS.

Di bidang kesehatan, permasalahan anak gizi buruk juga harus mendapat perhatian. Pada tahun 2005 anak gizi buruk sebesar 496 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 659. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak (N8) :

“Anak gizi buruk pada tahun 2005 496 dan meningkat 659 di tahun 2006. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah Surakarta.” (Wawancara tanggal 6 April 2009)

Masalah gizi dijumpai akibat kekurangan berbagai jenis zat makanan. Kasus gizi buruk banyak dijumpai pada anak-anak, khususnya anak balita. Karena pada masa ini adalah masa yang paling rawan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Rendahnya status gizi masyarakat dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. Status gizi


(45)

commit to user

balita dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu kurangnya wawasan dan pengetahuan ibu tentang gizi, sehingga keaktifan ibu untuk datang ke Posyandu rendah. Orang tua yang kurang kooperatif beralasan tidak bisa menunggui anaknya ke rumah sakit juga bisa menjadi penyebab gizi buruk.

Berdasarkan adanya kasus anak gizi buruk, menurut Yayasan Kakak anak-anak membutuhkan adanya makanan tambahan untuk anak gizi buruk serta adanya program-program yang menunjang untuk mengatasi anak gizi buruk.

Bidang pendidikan. Pendidikan merupakan adalah salah satu hak dasar yang mesti diperoleh anak dan merupakan kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Konvensi Hak Anak memberikan hak kepada setiap anak untuk memperoleh pendidikan dan mewajibkan Negara untuk menyediakan pendidikan dasar yang wajib gratis bagi semua anak (Pasal 28). Dengan demikian asumsinya adalah tidak ada lagi anak putus sekolah serta peningkatan sumber daya manusia. Namun, permasalahan mengenai anak putus sekolah merupakan keluhan yang tiada henti dihadapi oleh Kota Solo. Khususnya Kecamatan Jebres dimana wilayah ini memiliki angka putus sekolah tertinggi dari lima kecamatan yang ada di Kota Solo. Jumlah putus sekolah usia antara 7-12 tahun sebanyak 1546 terdiri laki-laki 5516 anak dan perempuan 6030 anak.

Jumlah tersebut cukup besar untuk satu kecamatan. Salah satu alasan yang dikemukakan, terutama bagi anak putus sekolah adalah karena dipaksa memasuki dunia kerja guna membantu orang tua. (www.kr.com). Hal ini juga dikemukakan oleh Ketua PPAP Seroja, sebagai berikut (N10) :


(46)

“…anak putus sekolah di Surakarta masih tergolong tinggi. Hal ini menjadi PR bagi pemerintah karena agar tercipta Kota yang Layak Anak…” (Wawancara tanggal 6 Mei 2009)

Berdasarkan kasus anak putus sekolah, PPAP Seroja mengatakan bahwa anak-anak sangat membutuhkan fasilitas dari pemerintah dan pihak-pihak yang peduli terhadap permasalahan anak, antara lain :

· Adanya sekolah gratis/terjangkau untuk anak-anak kurang mampu agar orang tua mereka tidak merasa terbebani.

· Perlu adanya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak agar orang tua, anak, dan masyarakat menyadari pentingnya pendidikan.

Bidang partisipasi anak. Melibatan dan mendengarkan suara anak dalam proses pengambilan keputusan disegala tingkatan pada dasarnya adalah indikasi pemberian penghargaan orang dewasa, masyarakat, maupun negara terhadap anak. Ketersediaan dan aksesbilitas fasilitas pada anak juga merupakan permasalahan yang menjadi agenda bagi pemerintah Kota Solo. Memang dalam upaya pengebangan kota sudah ada berbagai fasilitas misalnya Taman Cerdas yang dibangun di beberapa kecamatan. Namun, fasilitas tersebut kurang bisa diakses khususnya oleh anak kurang mampu dan difabel. Hal ini dikarenakan susahnya memberikan sosialisasi kepada anak-anak tersebut. Mereka lebih suka turun ke jalan daripada mendengarkan sosialisasi dari pemerintah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekretaris Lembaga P3G UNS (N11) :

“…fasilitas anak untuk anak yang marginal/anak kurang mampu itu belum bisa menyentuh. Yang ada taman cerdas yang megah, tetapi belum menyentuh anak-anak marginal dan difabel. (Wawancara tanggal 7 April 2009)


(47)

commit to user

· Perlu ada wadah untuk menampung aspirasi anak.

· Perlu ada dana untuk memfasilitasi partisipasi anak.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Surakarta baru mengandalkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya untuk mengenali kebutuhan anak. Berdasarkan wawancara kepada Kepala P3G UNS, dinyatakan bahwa upaya mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) dilakukan Pemerintah Kota Surakarta melalui penandatanganan MOU tentang KLA antara Pemerintah Kota Surakarta dengan lembaga di luar pemerintah seperti lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Lebih lanjut dikemukakan oleh Kepala P3G UNS bahwa penandatanganan MOU tersebut merupakan tonggak kemitraan bersama untuk mendukung terwujudnya KLA sesuai tugas pokok dan fungsi dari lembaga-lembaga yang memiliki kemitraan terhadap perlindungan anak. (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)

2. Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan terhadap perlindungan anak

Dalam menangani permasalahan anak di Surakarta, pemerintah menyusun agenda dan prioritas pelayanan yang dibagi ke dalam beberapa bidang, yaitu: perlindungan, kesehatan, pendidikan, dan partisipasi anak.

Tabel 3.1

Agenda dan Prioritas Pelayanan

Bidang Perlindungan Anak

Permasalahan Agenda dan Prioritas Pelayanan

1 2 3

Perlindungan anak ESKA · Penyelenggaraan rehabilitasi sosial, dengan adanya Rumah Rehabilitasi


(48)

Graha Yoga Pertiwi

· Adanya PTPAS

Kesehatan Gizi buruk · Program Makanan Tambahan (PMT)

· Pondok Kasih Ibu (POKASI) Pendidikan Anak putus

sekolah ·

Pendidikan wajib belajar 9 tahun

· Kejar paket untuk anak putus sekolah Partisipasi anak Rendahnya

partisipasi anak

· Dibentuknya FAS (Forum Anak Surakarta)

Sumber: DKRPP&KB

Di bidang perlindungan anak, khususnya kasus ESKA pemerintah melakukan prioritas pelayanan melalui penyelenggaraan rehabilitasi sosial dengan adanya Rumah Rehabilitasi Graha Yoga Pertiwi. Graha Yoga pertiwi adalah tempat yang berfungsi memberikan perlindungan dan pelatihan ketrampilan bagi perempuan dan anak korban ESKA dan perdagangan anak. Diharapkan korban tersebut dapat pulih secara psikologis atau mental maupun kesehatan dan mampu bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat. Melalui penyelenggaraan rehabilitasi sosial ini, diharapkan anak korban ESKA mendapat ketrampilan yang bermanfaat bagi dirinya. Selain itu, pemerintah membentuk PTPAS. PTPAS merupakan gabungan dari beberapa institusi/lembaga/organisasi yang mempunyai kepedulian terhadap persoalan perempuan dan anak, serta melakukan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh staf Yayasan Kakak (N9) :

“…sudah ada jaring bersama/kerjasama pemerintah terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan stakeholder-stakeholder yang lain, sehingga bisa terbentuk PTPAS…” (Wawancara tanggal 16 Maret 2009)

Di bidang kesehatan, masalah anak gizi buruk juga perlu mendapat perhatian. Untuk mengatasi anak gizi buruk, pemerintah membuat Program Makanan Tambahan (PMT). Fungsi PMT adalah sebagai makanan tamabahan menjadi makanan utama yaitu


(49)

commit to user

memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, POKASI juga berfungsi sebagai Posyandu anak balita setiap bulan. Di samping itu, POKASI juga berfungsi sebagai Posyandu Lansia.

Di bidang pendidikan, masalah anak putus sekolah menjadi permasalahan yang sulit untuk diselesaikan. Untuk mengatasi anak putus sekolah, pemerintah membuat program wajib belajar 9 tahun. Untuk mensukseskan wajib belajar 9 tahun pemerintah membuat kebijakan yang responsif terhadap persoalan tersebut yakni berupa pemberian beasiswa pendidikan. Wajib belajar 9 tahun merupakan dasar operasional bagi Pemerintah Surakarta untuk menyelenggarakan berbagai pelayanan pendidikan bagi anak dalam hal ini pelayanan beasiswa. Asumsinya semua warga Surakarta harus mengenyam pendidikan paling tidak 9 tahun. Selain itu, pemerintah membuat program Kejar paket untuk anak putus sekolah. Program ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta untuk menjamin terpenuhinya hak anak akan pendidikan terutama bagi mereka yang tidak lulus dalam sekolah. Kesempatan pendidikan juga diberikan kepada anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal misalnya bagi anak putus sekolah, anak jalanan, anak kasus ESKA, dan anak yang bekerja. Kejar paket A adalah untuk kategori SD, kejar paket B untuk kategori SMP dan kejar paket C untuk kategori SMA. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Bidang Pendidikan Non Formal DISDIKPORA (N6):

“Anak putus sekolah diarahkan pada pendidikan kesetaraan yaitu Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C. Paket A setara dengan SD, Paket B setara dengan SMP, Paket C setara dengan SMA.” (Wawancara tanggal 5 Maret 2009) Di bidang partisipasi anak, khususnya dalam pemenuhan hak partisipasi anak, Pemerintah Kota Surakarta dalam Program Pengembangan Kota Layak Anak


(1)

Sosialisasi juga dilakukan pada kasus anak putus sekolah dan partisipasi

anak. Sosialisasi dilakukan di setiap kecamatan dan kelurahan, agar masyarakat

kooperatif dan tumbuh kesadaran akan pentingnya perlindungan anak.

Khususnya dalam program Solo Kota Layak Anak pemerintah melakukan

sosialisasi di setiap kelurahan. Sosialisasi juga dilakukan ke Sekolah TK kota

Surakarta untuk melihat pengembangan sekolah yang ramah anak. Dalam hal ini

orang tua harus bekerja sama dengan guru, antara lain dengan diterapkan surat

menyurat antar guru dan orang tua. Rasa aman pada anak diciptakan antara lain

dengan penyambutan guru-guru di depan sekolah ketika anak-anak tiba. Demikian

pula pada waktu jam pulang sekolah; guru-guru mengantar ke gerbang sekolah dan

selanjutnya diterima orang tua. Manajemen sekolah juga menerapkan peraturan

tanpa kekerasan bagi para guru dan diterapkannya sanksi bagi yang melanggar.

Dalam acara sosialisasi KLA di Kelurahan, beberapa hal yang didiskusikan

dengan masyarakat langsung adalah sebagai berikut (DKRPP&KB):

1)

Pelajaran budi pekerti di sekolah yang hilang

2)

Sistem evaluasi dan pendataan masalah pekerja anak, pemerintah kota Solo

sedang menyusun mekanisme penanganan pekerja anak

3)

Dalam masalah pekerja anak, permasalahan utamanya adalah bukan anak, tetapi

orang dewasa yang mengeksploitasi anak-anak tersebut. Sehingga perlu

dilakukan pendekatan terhadap orang tua.

4)

Seringnya dibangun prasarana, seperti taman, namun tanpa dilengkapi toilet,

sehingga anak kesulitan untuk buang air.


(2)

commit to user

5)

Untuk pembuatan akte kelahiran, diusulkan kerjasama dengan RS/tempat

bersalin untuk langsung memberikan akte kelahiran bagi anak yang lahir di

tempat-tempat tersebut.

6)

Tindak lanjut dari sosialisasi KLA diharapkan agar dilanjutkan dengan

pelatihan-pelatihan.

7)

Untuk keberlanjutan forum anak, pendampingan bagi anak-anak di forum anak

dianggap perlu.

Dalam rangka mewujudkan Kota Surakarta yang layak anak tersebut,

Pemerintah Kota juga telah mulai melakukan upaya terciptanya Lapas yang ramah

anak sehingga permasalahan anak yang bersinggungan dengan hukum mendapat

tempat penanganan yang layak.


(3)

BAB IV

PENUTUP

A.

Kesimpulan

Dari hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:

1.

Pemerintah Kota Surakarta sudah cukup responsif terhadap perlindungan anak menuju

Solo Kota Layak Anak, namun responsivitas tersebut belum optimal . Hal ini bisa

dilihat dari:

a.

Kemampuan mengenali kebutuhan anak. Begitu kompleksnya kebutuhan anak

terkait dengan perlindungan anak. Pemerintah Kota Surakarta tidak mempunyai

kapasitas yang memadai dalam mengumpulkan data dasar mengenai permasalahan

anak di Surakarta. Pemerintah baru mengandalkan koordinasi dengan

lembaga-lembaga lainnya untuk mengenali kebutuhan anak.

b.

Kemampuan menyusun agenda dan prioritas pelayanan perlindungan anak sudah

sesuai dengan kebutuhan anak. Namun sesungguhnya kebutuhan-kebutuhan anak di

Kota Surakarta tidak hanya mencakup kebutuhan perlindungan atas ESKA, gizi

buruk, anak putus sekolah, dan partisipasi anak. Masih ada persoalan-persoalan

penting yang belum tertangani oleh Pemerintah Kota Surakarta seperti pendidikan

untuk anak jalanan/terlantar.

c.

Kemampuan mengembangkan program perlindungan anak. Pemerintah melibatkan

Lembaga pusat studi wanita/pusat studi gender, LSM, Organisasi masyarakat,

Perguruan Tinggi, dan pihak-pihak yang peduli dengan masalah anak untuk

bersama-sama mengatasi permasalahan anak. Namun, dalam mengembangkan


(4)

commit to user

program perlindungan anak, Pemerintah masih banyak bertumpu pada

lembaga-lembaga lain yang peduli terhadap perlindungan anak.

2.

Kendala dalam melaksanakan perlindungan anak menuji Solo Kota Layak Anak.

Beberapa kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam hal

perlindungan anak menuju Solo Kota Layak Anak adalah kurangnya pemahaman dari

aparat pemerintah tentang hak dan perlindungan anak, keterbatasan dana, ego sektoral,

pengaruh lingkungan, rendahnya kesadaran orang tua dan anak, serta

culture of silence

.

Dalam penanganan permasalahan anak di Surakarta, aparat pemerintah tidak mengerti

sepenuhnya hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikologis anak sehingga hal ini

menjadi kendala dalam mengatasi permasalahan anak. Walaupun setiap tahun anggaran

meningkat tetapi jumlah kasus lebih tinggi peningkatannya sehingga alokasi dana tetap

tidak terpenuhi. Lingkungan anak menjadi kendala pemerintah dalam menangani

permasalahan anak, karena lingkungan yang memberi efek negatif mudah

mempengaruhi anak. Rendahnya kesadaran anak dan orang tua untuk memikirkan masa

depan menjadi kendala bagi pemerintah dalam menangani permasalahan anak.

Masyarakat sering menganggap bahwa permasalahan anak terutama kasus ESKA

adalah hal yang tabu dan merupakan aib keluarga sehingga berkembang

culture of

silence

(budaya menyembunyikan).

3.

Upaya yang dilakukan sehubungan dengan kendala tersebut adalah meningkatkan

pemahaman perlindungan anak dari aparat pemerintah, meningkatkan kerjasama

dengan pihak lain dan optimalisasi sosialisasi kegiatan. Sebagai upaya peningkatan

pelayanan dengan kendala keterbatasan dana, pemerintah Kota Surakarta melakukan

kerjasama dengan pihak-pihak terkait. Sosialisasi juga dilakukan untuk mengatasi


(5)

permasalahan anak, baik di bidang perlindungan anak, kesehatan, pendidikan, serta

partisipasi anak.

B.

Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa saran yang peneliti

ajukan agar dapat dijadikan sabagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah.

Beberapa saran tersebut antara lain sebagai berikut:

1.

Meningkatkan sosialisasi tentang perlindungan anak dengan cara mensosialisasikan di

rapat pimpinan mengenai pentingnya perlindungan anak.

2.

Pemerintah harus selalu memperbaharui data base tentang perlindungan anak dengan

cara mengoptimalkan kemitraan/kerjasama dengan pihak-pihak yang peduli dengan

perlindungan anak.

3.

Belum tersentuhnya pendidikan untuk anak jalanan/terlantar, maka pemerintah harus

membuat program yang bisa mengatasi hal tersebut. Pemerintah juga harus

memfasilitasi lembaga-lembaga non pemerintah yang peduli akan perlindungan anak,

sehingga terwujud pendidikan untuk anak jalanan/terlantar.


(6)