10 bekerja dan terlibat melalui musrenbang yang akan menjadi bagian usulan dalam
pembiayaan program HIV dan AIDS. Dalam waktu dekat ini sedang ada proses untuk penyusunan RPJMD, sehingga ada momentum yang baik untuk melakukan advokasi
ke pemerintah daerah berdasarkan hasil-hasil penelitian ini. h.
Mekanisme pembayaran layanan kesehatan, termasuk untuk penanggulangan HIV dan AIDS sudah berjalan secara terbatas pada komponen pengobatan seperti IO dan
perawatan, tetapi untuk obat ARV masih dari pendanaan program. Terdapat pertanyaaan untuk komponen gaji memang tidak masuk dalam skema JKN. Dana
kapitasi di JKN sudah sebagian dimanfaatkan sebagai biaya operasional bagi jasa layanan kesehatan dari tenaga medis, sementara untuk kegiatan program seperti
alokasi untuk pencegahan HIV dan AIDS dalam kerangka promosi upaya kesehatan masyarakat belum terpenuhi.
2. Uji Coba Model Integrasi Kebijakan dan Program PMTS
Sesi ini terkait dengan pelaksanaan penelitian tahap 3 dari beberapa tahapan penelitian kebijakan dan program HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan di Indonesia. Tujuan utama
dari sesi ini adalah untuk mendapatkan konsensus dari para peserta sebagai perwakilan dari praktisi terkait dengan model integrasi kebijakan dan program PMTS. Konsensus atas
permodelan yang telah dikembangkan, dilakukan dengan metode delphi dalam dua putaran.
11 Putaran pertama untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan persepsi dari para
informan terhadap program PMTS selama ini dan putaran kedua dilakukan setelah model dipaparkan oleh peneliti. Hasil dari dua putaran delphi tersebut, dianalisis untuk melihat
sejauh mana dan kemungkinannya model yang dikembangkan tersebut dapat diimplementasikan pada tingkat layanan primer. Diskusi atas model ini dilakukan pada hari
kedua, namun hasil diskusi ini tidak memengaruhi konsensus yang telah tercapai pada hari pertama. Dalam kesempatan ini diawali dahulu dengan penyajian analisis hasil pengisian
kuesioner yang telah dilakukan pada hari sebelumnya. Hasil analisis ini yang menjadi materi pemantik diskusi bersama dengan para peserta yang hadir kembali pada hari kedua.
Beberapa poin pokok diskusi yang muncul merespon hasil deplhi 1 dan 2, antara lain : a.
Keyakinan informan tentang PMTS sebagai kunci keberhasilan dalam penanggulanggan HIV dan AIDS di Indonesia menunjukkan keyakinan yang tinggi
dengan persentase mencapai 94 . Keyakinan ini semakin diperkuat dengan tingkat keyakinan informan atas pernyataan bahwa layanan PMTS dapat diperluas
menjangkau kelompok WPSTL, kelompok LSL, kelompok waria, dan pria berisiko tinggi yang mencapai 100 . Hal ini tidak terlepas dari konsep PMTS selama ini yang
berbasis pada lokalisasi dan fokus menyasar pada kelompok WPS, padahal dalam konteks Medan tidak ada lokalisasi berbasis kewilayahan atau teritori tertentu.
Penjangkauan terhadap kelompok populasi kunci bersifat mobile pada kelompok- kelompok WPSTL di panti pijat, oukup, diskotik, dan karaoke.
b. Pada sisi lain, terkait keyakinan informan atas pernyataan bahwa PMTS masih sangat
tergantung dengan donor luar menunjukkan perubahan keyakinan dari hasil delphi 1 dan 2 dari 94 menjadi 88 setelah mendengarkan paparan dari peneliti terkait
mengenai logika permodelannya. Penurunan keyakinan ini karena ada beberapa alasan. Persentase tinggi yang yakin dengan ketergantungan pada donor dirasakan
oleh lembaga yang selama ini mendapatkan dukungan donor. Disamping itu, meski program PMTS sudah berjalan di tingkat layanan dasar seperti puskesmas akan
tetapi komitmen pemerintah daerah di Kota Medan meskipun sudah ada peraturan tetapi implementasinya belum berjalan, khususnya untuk penganggaran
penanggulangan HIV dan AIDS. Seperti penganggaran untuk KPA provinsi yang dalam beberapa waktu sejak 2012, 2013, dan 2015 tidak mendapatkan anggaran dari APBD.
12 Hal ini disebabkan oleh mekanisme perencanaan hingga disbursemen untuk program
waktunya sangat singkat, sehingga anggaran tidak diterima. c.
Keyakinan terhadap penyataan bahwa pendekatan layanan PMTS yang efektif di lokalisasi melalui pengembangan pokja lokasi mengacu pada Pedoman PTMS, juga
mengalami penurunan keyakinan dari 71 menjadi 59 . Hal ini karena Program PMTS di Medan agak berbeda dengan kota lain, karena tidak memiliki Pokja lokasi
tetapi Pokja Kota yang berfungsi sebagai monitoring dan evaluasi program PTMS yang berjalan untuk sasaran WPSTL, LSL, dan Waria. Juga karena alasan
perkembangan epidemi yang sudah meluas ke tingkat ibu rumah tangga sehingga pendekatan perlu diperluas.
d. Demikian halnya, keyakinan informan terhadap pernyataan bahwa pemberi layanan
kesehatan primer puskemas telah berperan optimal dalam pokja PMTS di lokalisasi mengalami penurunan dari 82 menjadi 76 . Penurunan menjadi sedikit kurang
yakin terkait pernyataan ini karena keterbatasan SDM di tingkat puskesmas. Pelayanan PMTS di Kota Medan sudah tersedia di 37 Puskesmas. Konsep PMTS yang
berbasis lokalisasi berbeda karena di Medan tidak memiliki lokalisasi. e.
Pernyataan terhadap pengadaan dan distribusi kondom oleh KPA tidak akan berkelanjutan menunjukkan ada peningkatan keyakinan sekitar 65 . Artinya tinggal
35 yang merasa yakin bahwa pendistribusian kondom akan berkelanjutan. Besarnya keyakinan terhadap tidak akan berkelanjutan pengadaan dan distribusi
kondom yang dilakukan oleh KPA dipengaruhi oleh kenyataan bahwa dana pengadaan kondom berasal dari dana program dan donor, meskipun Sumatera Utara
sudah menganggarkan dana pendistribusiannya. Sementara, informan yang masih yakin pendistribusian kondom oleh KPA akan berkelanjutan meskipun GF akan
berakhir, karena mekanisme yang berjalan selama ini yang ditempuh oleh KPA lebih berjalan.
f. Informan yang kurang yakin terhadap pernyataan bahwa distribusi kondom dapat
dilakukan di puskesmas mencapai 29 . Sementara sebagian besar yang lain merasakan bisa dilakukan di puskesmas, karena selama ini puskesmas di Kota Medan
juga membagikan kondom kepada pasien yang periksa IMS. Kondom juga dibagikan pada layanan Kesehatan Ibu dan Anak KIA.
13 g.
Sementara itu, diskusi terkait pernyataan kondom dapat dijadikan alat bukti untuk kriminalisasi yang menghambat pencegahan semakin menurun keyakinannya dari
65 menjadi 59 . Saat ini kondom sudah tidak lagi dijadikan alat bukti oleh polisi oleh karena kesepakatan yang diadvokasikan oleh Pokja Kota di Medan. Koordinasi
ini rutin diadakan oleh Pokja Kota dengan Kepolisian daerah Kota Medan melalui sosialisasi. Pemahaman tersebut perlu dikembangkan lebih lanjut untuk sosialisasi
pada polisi di tingkat bawah untuk mengatasi kesenjangan pemahaman, karena masih banyak petugas yang belum terpapar dengan kesepakatan bahwa kepemilikan
kondom tidak bisa dikriminalkan saat melalukan razia terhadap pekerja seks. h.
Masalah pengadaan kondom dari sumber pendanaan BOK keyakinannya informan rendah mencapai 59 karena dana BOK sudah ada mekanisme prosedur teknis
tertentu untuk mengaksesnya seperti untuk tranport kader, alokasi dana untuk bahan habis pakai. Sedangkan pengadaan melalui BLUD tidak relevan karena di
Medan belum ada Puskesmas BLUD. Pengadaan melalui JKN sebenarnya memungkinkan tergantung kebijakan prioritas dan tergantung ketersediaan data
yang mendukung pengadaan. Sementara pengadaan kondom melalui BKKBN diyakini oleh informan mencapai 71 karena memang BKKBN merupakan lembaga yang
memiliki kewenangan untuk pengadaan kondom. Masalahnya dari pengalaman kondom dari BKKBN kurang diminati karena dianggap mudah rusak, jadi diperlukan
pada saat insidental karena mengalami stock out kehabisan persediaan. i.
Pada pernyataan terkait dengan pemberian obat presumtif yang rutin setiap 3 bulan sekali yang diberikan kepada WPS yang mengakibatkan menurunnya penggunaan
kondom, dinilai kontradiktif dan salah memahami pernyataan karena di Medan sejak tahun 2010, sudah tidak ada lagi obat presumptif untuk WPS.
j. Keyakinan terhadap layanan IMS sudah optimal diberikan oleh PKM kepada LSL
semakin meningkat mencapai 59 karena di Kota medan sudah terdapat klinik Ramah LSL yang dapat memberikan layanan untuk melalukan pemeriksaan
anuscopy, pemeriksaan dan pengobatan sipilis, gonorhea, yang dilakukan dengan mekanisme one day services. Akan tetapi layanan ini jam bukanya tidak sesuai
karena bertabrakan dengan jam kerja. Akibatnya kelompok LSL lebih banyak mengakses layanan kesehatan di klinik swasta karena dipengaruhi oleh faktor
kenyamanan, dan faktor preferensi dokter yang jadi rujukan komunitas LSL.
14 k.
Upaya pendidikan kesehatan masyarakat terkait pencegahan IMS dan HIV yang dilakukan oleh LSM belum terkoordinasi dengan puskesmas diyakini oleh sebagian
besar informan mencapai 71 . Upaya penjangkauan yang dilakukan oleh PKM belum secara khusus ada koordinasi dengan PKM, meskipun sudah terdapat
kelompok tertentu yang mengoordinasikan kegiatannya dengan populasi kunci seperti yang dilakukan oleh GWL. Konsekuensinya karena tidak adanya koordinasi
dalam upaya pengembangan kesehatan masyarakat, maka pendidikan perubahan perilaku resiko untuk mengurangi penularan pada populasi kunci masih terabaikan
diyakini oleh sebagaian besar informan 76 .
F. Tindak Lanjut Diskusi