ANALISIS CELAH FISKAL (FISCAL GAP) KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

(1)

ANALISIS CELAH FISKAL (FISCAL GAP) KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN (2002-2011)

Di susun Oleh Novia Ani Tiara

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA EKONOMI

Pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

ANALISIS CELAH FISKAL (FISCAL GAP) KABUPATEN LAMPUNG TENGAH Oleh

NOVIA ANI TIARA

Dalam proses desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, sedangkan otonomi berarti adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu bagian wilayah/daerah Dari sisi pemerintah ada 2 hal utama yang menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi daerah yakni kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity)

yang keduanya dapat dikaitkan dalam upaya mengoptimalkan Pendapataan Asli Daerah (PAD). Kesenjangan fiskal (fiscal gap) merupakan selisih negative antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiskal adalah memperbanyak kapasitas fiskal. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan celah fiskal kabupaten lampung tengah pada periode tahun 2002 hingga tahun 2011. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif yakni metode yang didasarkan pada analisis variabel-variabel yang mendukung analisis tersebut yangtidak dapat diukur secara nyata, tapi menggunakan analisa yang sifatnya menjelaskan secara uraian.

Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertama; Selama periode tahun 2002 hingga 2011, kapasitas fiskal yang dimiliki Kabupaten Lampung Tengah hampir setiap tahunnya mengalami penurunan, kedua ; Nilai celah fiskal (fiscal gap) yang dimiliki Kabupaten Lampung Tengah relatif tinggi hal itu menunjukan bahwa tingkat kesenjangan antara kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal tidak berjalan seimbang, ketiga ; Dengan tingginya nilai celah fiskal yang dimiliki oleh Kabupaten Lampung Tengah juga menunjukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah belum bisa menciptakan kemandirian daerah dalam hal keuangan


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Kerangka Pemikiran ... 15

F. Hipotesis ... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah ... 19

B. Desentralisasi Fiskal ... 22

C. Kebutuhan fiscal ... 24

D. Kapasitas Fiskal ... 25

E. Dana Perimbangan ... 28

F. Dana Alokasi Umum ... 30

G. Dana Alokasi Khusus ... 31

H. Dana Bagi Hasil ... 32

I. Celah fiskal (fiscal gap) ... 33

J. Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah ... 36

K. Kajian Penelitian Sebelumnya ... 39

III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data ... 42

B. Metode Pengumpulan Data ... 42

C. Variabel Penelitian ... 42

D. Analisis ... 45

E. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Tengah ... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pendapatan Asli Daerah ... 51

B. Bagi Hasil Pajak/SDA ... 54


(7)

D. Lain-lain pendapatan sah ... 59

E. Belanja Pegawai ... 61

F. Jumlah Penduduk Miskin ... 64

G. Menghitung Kapasitas Fiskal ... 65

H. Indeks Pembangunan Manusia ... 69

I. Indeks Kemahalan Konstruksi ... 70

J. Luas Wilayah ... 72

K. Jumlah Penduduk ... 74

L. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 76

M. Menghitung Kebutuhan Fiskal ... 78

N. Menghitung Celah Fiskal ... 81

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN


(8)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang positif bagi perekonomian Indonesia, dimana dengan adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia memiliki kesempatan untuk mengelola, mengembangkan dan membuat daerah tersebut untuk lebih berkembang dari sebelumnya sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki pada masing-masing daerah. Salah satu kegiatan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah tersebut adalah desentralisasi di bidang keuangan atau yang biasanya disebut dengan desentralisasi fiskal. Dalam proses desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, sedangkan otonomi berarti adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu bagian wilayah/daerah. Dengan kata lain, desentralisasi adalah berkurangnya atau diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintah dari pusat ke daerah-daerah. Sehingga daerah yang menerima kewenangan bersifat otonom, yakni dapat menentukan cara pengelolaan daerahnya sendiri secara bebas. Pada proses desentralisasi ini terdapat proses pendistribusian


(9)

tanggungjawab , dan pembagian kekuasaan serta wewenang dalam bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan maupun pengeluaran.

Secara singkat yang dimaksud dengan desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan public sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Seragih, 2003)

Dari sisi pemerintah ada 2 hal utama yang menjadi bahasan sehubungan dengan adanya otonomi daerah yakni kebutuhan fiskal (fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang keduanya dapat dikaitkan dalam upaya mengoptimalkan Pendapataan Asli Daerah (PAD). Selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal disebut dengan kesenjangan fiskal (fiscal gap) ini yang menjadi penentu atau patokan dalam menentukan besarnya transfer dari pusat. Optimalisasi potensi PAD disini sehubungan dengan perannya terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan pelaksanaan UU No. 34/2000 sebagai penguatan PAD. Kesenjangan fiskal (fiscal gap) merupakan selisih negative antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiskal adalah memperbanyak kapasitas fiskal.

Ide dasarnya adalah untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan seyogyanya tidak terlalu besar, namun sebaliknya apabila suatu daerah memiliki kebutuhan fiskal yang relatif lebih besar dibandingkan dengan


(10)

kapasitas fiskalnya maka membutuhkan alokasi DAU yang relatif besar pula. Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai acuan atau mewakili kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya. Desentralisasi fiskal yang dilaksanakan pemerintah Provinsi Lampung belum dapat terlaksana dengan baik.

Penerimaan Provinsi Lampung masih bergantung pada dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Setiap tahun dana perimbangan menyumbang lebih besar dari PAD, yaitu sebesar tak kurang dari 60% dari total penerimaan dan juga Kapasitas Fiskal Provinsi Lampung masih tergolong dalam kategori indeks kapasitas yang masuk dalam kategori rendah yaitu sebesar 0,2060 (Fatchurrochman, 2012).Hal ini menunjukan bahwa kemandirian Provinsi Lampung dalam hal fiskal masih kurang.

Berdasarkan indeks Kapasitas Fiskal, daerah dikelompokkan dalam empat kategori yaitu sangat tinggi (memiliki indeks 2,0 atau lebih), tinggi (1,0 hingga kurang dari 2,0), sedang (0,5 hingga kurang dari 1,0), dan rendah (kurang dari 0,5). Berikut disajikan tabel indeks kapasitas fiskal berdasarkan kategori yang telah ditetapkan

Tabel 1 Kategori Indeks Kapasitas Fiskal

Kategori indeks

Sangat Tinggi 2 >

Tinggi 1 - 2

Sedang 0,5 – 1

Rendah 0 - 0,5


(11)

Dimaksudkan dengan keterangan tabel diatas bahwa apabila indeks kapasitas fiskal di suatu daerah tergolong rendah berarti suatu daerah tersebut dalam hal pendanaan keuangan masih perlu bantuan pendanaan dari pusat, sedangkan indeks kapasitas fiskal yang tergolong sedang hal itu berarti kemampuan keuangan daerah mengalami peningkatan yang cukup baik, sehingga dalam bantuan pendanaan tidak terlalu besar, kemudian yang dimaksudkan dengan indeks kapasitas fiskal yang tergolong tinggi dan sangat tinggi hal itu menunjukan bahwa daerah tersebut memiliki tingkat kemandirian daerah yang sangat baik.


(12)

5 Tabel 2 Peta Kapasitas Fiskal Provinsi Lampung Tahun 2009-2012

No Daerah

Indeks Kapasitas

Fiskal Kategori

Indeks Kapasitas

Fiskal Kategori

Indeks Kapasitas

Fiskal Kategori

2009 2010 2011

Kabupaten Lampung Barat 0,3128 Rendah 0,321 Rendah 0,215 Rendah

Kabupaten Lampung Selatan 0,0989 Rendah 0,0978 Rendah 0,1097 Rendah

Kabupaten Lampung Tengah 0,1583 Rendah 0,089 Rendah 0,0675 Rendah

Kabupaten Lampung Utara 0,1257 Rendah 0,101 Rendah 0,1106 Rendah

Kabupaten Lampung Timur 0,1807 Rendah 0,1279 Rendah 0,1537 Rendah

Kabupaten Tanggamus 0,1367 Rendah 0,1133 Rendah 0,1765 Rendah

Kabupaten Tulang Bawang 0,4547 Rendah 0,325 Rendah 0,3633 Rendah

Kabupaten Way Kanan 0,2871 Rendah 0,3607 Rendah 0,3427 Rendah

Kota Bandar Lampung 0,2213 Rendah 0,2257 Rendah 0,1989 Rendah

0 Kota Metro 0,6164 Sedang 0,8038 Sedang 0,6671 Sedang

1 Kabupaten Pesawaran 0,1159 Rendah 0,1198 Rendah

2 Kabupaten Pringsewu 0,1133 Rendah 0,1596 Rendah

3 Kabupaten Mesuji 0,325 Rendah 0,6574 Sedang

4 Kabupaten Tulang Bawang Barat 0,325 Rendah 0,5876 Sedang


(13)

6

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa Kabupaten Lampung Tengah memiliki indeks kapasitas fiskal yang tergolong paling rendah di Provinsi Lampung dimana disetiap tahun nya mengalami penurunan indeks kapasitas fiskal yang pada tahun 2009 0,1583 hingga tahun 2011 hanya 0,0675. Dengan berdasarkan indeks kapasitas fiskal tersebut dapat diindikasikan bahwa Kapasitas Fiskal Kabupaten Lampung Tengah pun tergolong rendah. Hal tersebut menunjukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah memiliki tingkat kemandirian daerah yang kurang baik serta memiliki kemampuan yang kurang dalam hal menggali sumber-sumber pendapatan daerah nya sendiri.

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa kapasitas fiskal daerah kabupaten Lampung Tengah tergolong rendah sehingga masih sangat bergantung pada transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat. Berikut disajikan data perkembangan penerimaan serta pengeluaran pemerintah daerah kabupaten Lampung Tengah Tahun 2009-20011.


(14)

Tabel 3 Perkembangan Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2002-2011 (ribu rupiah)

Rincian 2009 2010 2011

Pertumbuhan (%)

PENERIMAAN DAERAH 922.221.009 1.107.611.964 1.284.646.860 18,04 Pendapatan Daerah 887.672.366 1.072.881.274 1.206.784.083 16,67 Pendapatan Asli Daerah 20.289.640 37.086.491 37.681.698 42,19 Pajak Daerah 8.302.270 20.510.342 20.408.468 93,76 Retribisi Daerah 8.611.695 6.980.795 3.640.544 33,38 Hasil perusahaan milik daerah 2.500.000 3.387.525 3.253.037 19,73 lain-lain PAD yang sah 875.675 6.207.829 10.179.849 35,03 Dana Perimbangan 798.756.698 698.563.612 955.388.703 24,65 Bagi Hasil Pajak 46.612.028 76.422.646 41.270.733 54,97 Bagi hasil bukan pajak/Sumber

Daya Alam 9.458.886 26.136.991 24.543.064 91,20

Dana Alokasi Umum 669.111.784 706.661.775 785.179.586 8,36 Dana Alokasi Khusus 73.574.000 87.142.200 104.395.300 19,11 lain-lain pendapatan yang sah 68.626.028 139.231.144 213.713.482 48,18 pembiayaan daerah 34.548.643 34.730.717 77.862.777 62,35 PENGELUARAN DAERAH 922.221.009 1.107.611.964 1.284.646.860 18,04 Belanja tdk langsung 628.619.525 796.190.026 851.425.345 16,75 belanja langsung 141.670.609 190.734.560 413.221.919 26,63 pembiayaan daerah 97.930.875 120.687.378 20.000.000 30,09 Sumber :BPS Provinsi Lampung (data diolah)

Berdasarkan Tabel 3 dapat terlihat bahwa Dana Perimbangan menyumbang lebih besar di setiap tahun nya dari PAD, yaitu sebesar Rp. 798.756.698 pada tahun 2009 kemudian terjadi penurunan yaitu pada tahun 2010 sebesar Rp. 698.563.612 selanjutnya mengalami peningkatan yang amat signifikan yaitu terjadi pada tahun 2011 sebesar Rp. 955.388.703. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2009 Rp. 20.289.640 sampai pada tahun 2011 sebesar Rp. 37.681.698. Hal ini menunjukan bahwa masih besarnya ketergantungan akan Dana Perimbangan dari pemerintah pusat. Hal tersebut pula mengindikasikan masih kurangnya upaya pemerintah daerah Kabupaten Lampung Tengah dalam menggali dan mengelola sumber keuangan daerahnya sehingga tidak mampu menopang perekonomian daerahnya sendiri.


(15)

Variasi pemilikan sumber daya alam dikatakan akan membuat ketimpangan antar daerah, dikatakan pula bahwa daerah yang miskin tentu memiliki PAD dan PDRB yang rendah. Sebagai konsekuensi negara kesatuan, maka pemerintah memainkan peran distribusi dari daerah yang kaya kepada daerah yang miskin agar tidak terjadi ketimpangan yang tajam. Kebijakan yang diambil adalah dengan dana perimbangan terutama melalui DAU, dan masing-masing daerah akan menerima DAU berbeda-beda tergantung pada kapasitas fiskal (PAD, PDRB) dan kebutuhan fiskal (jumlah penduduk, luas wilayah dan sebagainya). Jika kapasitas fiskal suatu daerah rendah sedangkan kebutuhan fiskalnya tinggi maka porsi DAU yang diterima akan besar pula. Transfer DAU kesetiap daerah harus mempertimbangakan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal (potensi daerah) atau yang disebut dengan celah fiskal. DAU dialokasikan dengan tujuan sebagai jaminan keseimbangan vertikal dan jaminan keseimbangan horizontal (Siti Sriningsih dan Muadi Yasin, 2009).

Dalam ketentuan Umum UU Nomor 25 Tahun 1991 dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka Negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata acara penyelenggaraan kewenagngan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Sedangkan Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada


(16)

daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disebut bahwa Dana Perimbangan merupakan inti dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagaian wewenang pemerintahan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa hubungan keuangan merupakan sebuah sistem pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah. Pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sangat perlu dilakukan karena tidak semua wewenang pemerintahan diberikan atau diserahkan kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, kepentingan dan kebutuhan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan pusat atau negara juga harus tersedia secara memadai. Dana perimbangan berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konteks otonomi daerah atau desentralisasi. Dalam arti sederhana, dana perimbangan adalah pembagian penerimaan antartingkatan pemerintah guna menjalankan fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi (Seragih, 2003).

Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan komponen terbesar dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi dana pusat ke daerah dalam bentuk DAU ini merupakan transfer yang bersifat block grants. Di samping itu, kebijakan DAU merupakan instrumen penyeimbang fiskal antar daerah, sebab


(17)

tidak semua daerah mempunyai struktur dan kemampuan fiskal yang sama itulah mengapa terjadi ketidakseimbangan fiskal antar daerah di karenakan masing-masing daerah memiliki perbedaan luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, potensi sumber daya, kondisi dan kekayaan alam, dan lain-lain. Oleh sebab itu, DAU sebagai bagian dari pusat ke daerah yang berfungsi sebagai faktor pemerataan fiskal antara daerah-daerah serta memperkacil kesenjangan kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah. Kesenjangan fiskal (fiscal gap) hingga saat ini masih tergolong relatif besar, hal ini juga disebabkan oleh kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) relatif lebih besar dibandingkan dengan kemampuan atau kapasitas fiskal daerah, seperti kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan kata lain, besarnya DAU suatu daerah adalah total kebutuhan daerah dikurangi dengan total potensi atau kapasitas ekonomi daerah yang bersangkutan.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang ini merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983


(18)

tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH.

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah. DAU suatu Daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu Daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong


(19)

percepatan pembangunan Daerah. Dalam melaksanakan pembangunan daerah dibutuhkan pula dana yang mencukupi untuk melaksanakan pembangunan daerah tersebut, tingkat kemahalan konstruksi/harga bangunan merupakan cerminan nilai bangunan/biaya yang dibutuhkan untuk pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan tersebut.

Yang dimaksud dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) adalah angka indeks yang menggambarkan perbandingan harga bahan bangunan/konstruksi antarlokasi yang berbeda pada periode yang sama. Sedangkan Tingkat kemahalan harga bangunan kabupaten/kota merupakan cerminan dari suatu nilai bangunan /biaya yang dibutuhkan untuk membangun 1 (satu) unit bangunan. Berikut disajikan tabel perkembangan indeks kemahalan konstruksi (IKK) Kabupaten Lampung Tengah pada periode 2002-2011

Tabel 4 Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2002-2011

No tahun Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

1 2002 62,21

2 2003 65,41

3 2004 68,81

4 2005 72,01

5 2006 75,41

6 2007 75,41

7 2008 78,61

8 2009 81,54

9 2010 84,15

10 2011 87,43


(20)

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa indeks kemahalan konstruksi Kabupaten

Lampung Tengah naik pada setiap tahunnya. Nilai terendah terjadi pada tahun

2002 yaitu sebesar 62,21 sedangkan nilai tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu

sebesar 87,43. Dengan pengukuran indeks kemahalan konstruksi tersebut

menggambarkan bahwa kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan daerah

juga meningkat setiap tahunnya. Sedangkan indeks kapasitas fiskal Kabupaten

Lampung Tengah tergolong rendah sehingga tidak mampu untuk membiayai

sendiri kebutuhan daerah nya dan masih mengandalkan bantuan dana dari pusat.

Tingginya nilai kebutuhan fiskal yang dimiliki Kabupaten Lampung Tengah menunjukan masih tingginya kebutuhan dan ketergantungan akan bantuan dana dari pemerintah pusat. Dengan tingginya kebutuhan fiskal Kabupaten Lampung Tengah yang tidak diikuti dengan kapasitas fiskal yang memadai hal tersebut menunjukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah belum memiliki kemandirian dalam hal keuangan dalam rangka membiayai kegiatan pemerintahannya. Dengan demikian, secara tidak langsung daerah yang memiliki indeks kapasitas fiskal tergolong rendah sedangkan kebutuhan fiskal relatif tinggi akan membebani anggaran pemerintah pusat.

Sejalan dengan amanat UU Nomor 33 tahun 2004 Pasal 27 data daerah yang digunakan untuk mengukur Kebutuhan Fiskal daerah mengalami perubahan menjadi jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan Kapasitas Fiskal diukur dengan data bagi hasil pajak dan bukan pajak serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) realisasi. Selanjutnya data jumlah kebutuhan


(21)

belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah yang sebelumnya digunakan sebagai acuan untuk memperhitungkan faktor penyeimbang dalam formula DAU, berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 data tersebut digunakan sebagai dasar penghitungan Alokasi Dasar dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Variabel Kebutuhan Fiskal ( jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, PDRB per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia) yang merupakan cerminan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Sedangkan Variabel Kapasitas Fiskal mencerminkan potensi ekonomi daerah yang dipresentasikan dengan potensi Industri, SDA, SDM, dan PDRB. Potensi ekonomi ini dapat dicerminkan oleh penerimaan daerah dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, serta potensi PAD yang dimiliki daerah.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas yang menunjukan bahwa indeks kapasitas Kabupaten Lampung Tengah tergolong paling rendah di Provinsi Lampung, sedangkan kebutuhan fiskal Kabupaten Lampung Tengah lebih besar dari kapasitas fiskal. Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang rumusan masalahnya menganalisis perkembangan celah fiskal Kabupaten Lampung Tengah pada tahun 2002-2011 ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas tujuan dari penelitian ini yang ingin dicapai oleh penulis adalah untuk menganalisis perkembangan celah fiskal Kabupaten Lampung Tengah tahun 2002-2011


(22)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penulis lainnya yang akan melakukan penelitian dengan masalah yang serupa, serta dapat memberikan kontribusi bagi Pemerintah Daerah yang bersangkutan dalam melaksanakan Otonomi Daerah, serta dalam mengelola potensi sumber-sumber daya yang terdapat pada daerah tersebut untuk lebih berkembang lagi. Dengan adanya perhitungan dan analisis dalam penelitian ini, semua pihak yang menjadi otonomi daerah Provinsi Lampung khususnya pada Kabupaten Lampung Tengah akan lebih mudah mengukur kinerja Pemerintahan Daerah, serta tingkat partisipasi dan responbilitas masyarakat. Dalam konteks keilmuan, penelitian ini akan mempertegas implementasi teori Ekonomi Publik (pemerintah daerah), keterkaitan antara konsep teori dan kondisi rill akan tergambar dengan jelas.

E. Kerangka Pemikiran

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Agar pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Sesuai dengan UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 bahwa perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan


(23)

keuangan antara pusat dan daerah. Kebijakan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan (money follows function).

Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

“Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah pembagian dari sebagiankekuasaan pemerintah oleh elompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K. bahwa mengandung empat pengertian:

pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga,

desentralisasi juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat;

keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok

masyarakat dalam wilayah tertentu.”

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dimulai sejak 1 Januari 2001, maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Dalam


(24)

menjalankan tugasnya sebagai daerah otonom, Pemerintah Daerah sangat bergantung pada dana perimbangan dari Pemerintah Pusat berupa bagi hasil pajak, bagai hasil SDA, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga utama pembiayaan APBD sebagian besar terserap untuk belanja pegawai, sehingga belanja untuk proyek-proyek pembangunan menjadi sangat berkurang. Sehubungan dengan adanya otonomi daerah ada dua hal yang menjadi bahasan utama, yakni kebutuhan fiskal

(fiscal needs) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang keduanya dapat dikaitkan dalam upaya mengoptimalkan Pendapataan Asli Daerah (PAD). Selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal disebut dengan kesenjangan fiskal (fiscal gap) ini yang menjadi penentu atau patokan dalam menentukan besarnya transfer dari pusat. Kesenjangan fiskal (fiscal gap) merupakan selisih negative antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiskal adalah memperbanyak kapasitas fiskal.

Mengenai kapasitas fiskal ini, satu dampak yang perlu diingat dengan penggunaan pendapatan aktual daerah sebagai ukuran kapasitas fiskal akan berdampak kurang baik, karena akan menyebabkan transfer dari pusat ke daerah banyak dipengaruhi oleh upaya perpajakan (tax effort) daerah. Hal ini akan menimbulkan opini negatif bahwa daerah tidak perlu bersusah payah menghimpun pendapatan ( under-collect), agar bisa memperoleh transfer yang banyak dari pusat. Semakin gencar daerah menghimpun penerimaan pajak, maka akan semakin tinggi ukuran kapasitas fiskalnya dan semakin kecil transfer yang akan diterimanya. Untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) tidak hanya menyangkut


(25)

peningkatan PAD. Peningkatan kapasitas fiskal pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Oleh karena itu tidak perlu dibuat dikotomi antara PAD dengan dana perimbangan. Namun juga perlu dipahami bahwa peningkatan kapasitas fiskal bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang besar namun tidak dikelola dengan baik (tidak memenuhi prinsip

value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya dengan terjadinya kebocoran anggaran. Yang terpenting adalah optimalisasi anggaran karena peran pemerintah daerah nantinya bersifat sebagai fasilitator dan motivator dalam menggerakkan pembangunan di daerah (Rusdianto, 2010)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Hipotesis

1. Diduga perkembangan celah fiskal (fiscal gap) kabupaten lampung tengah pada periode tahun 2002 hingga tahun 2011 mengalami

Desentralisasi Fiskal

Otonomi Daerah

Keuangan Daerah (DAU)

1. Kebutuhan fiskal (fiscal needs) 2. Kapasitas fiskal (fiscal capacity)


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah

Kebijakan otonomi daerah di Indonesia telah dilaksanakan sejak 1 Januari 2000 dengan mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundan-undangan. Kewenangan yang dimaksud dalam pasal 1 ini mencakup dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali wewenang dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama, serta kewenangan lainnya. Pengertian otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Suparmoko, 2002).

Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber


(27)

pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001).

Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya

terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:

 Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.  Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.

 Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi

dalam proses pembangunan.

Pemberian otonomi daerah dimaksudkan agar dapat terjadinya kemandirian daerah dalam mengatur apa yang menjadi kebutuhan daerahnya sendiri tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat. Otonomi daerah sendiri bertujuan agar daerah dapat mempercepat

pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerahnya, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsive terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing. Hal ini di tempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri (Bastian, 2006).


(28)

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya dibiayai oleh APBN, tetapi juga berasal dari sumber-sumber pendapatan sendiri yang digali dari potensi daerah yang dimiliki, ini artinya bahwa pendapatan yang digali dalam APBD juga dapat mendukung pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tersebut. Selama ini, sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), bagian daerah dari bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP), dana alokasi berupa sumbangan dan bantuan pembangunan pusat kepada daerah, pinjaman daerah, dan sisa lebih APBD tahun sebelumnya. Semua jenis penerimaan ini dimasukan ke dalam APBD propinsi, kabupaten dan kota (Seragih, 2003).

Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi masyarakat, karena pada dasarnya terkandung 3 misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut yaitu (Mardiasmo, 2002) :

1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah.

2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.

3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.


(29)

B. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Agar pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk

surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Sesuai dengan UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 bahwa perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal mengandung

pengertian bahwa kepada daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kebijakan

perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan (money follows function). Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

Keuntungan sistem pemerintahan terdesentralisasi ditinjau dari berbagai aspek menurut para ahli adalah sebagai berikut (Khusaini, 2006):

1. Sisi ekonomi, program-program pembangunan pemerintah dalam bidang ekonomi lebih diarahkan pada kepentingan lokal dan disesuaikan dengan lingkungan daerah setempat, hal ini akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi fungsi alokasi oleh pemerintah daerah sehingga akan meningkatkan willingness to pay masyarakat yang pada akhirnya dapat meningkatkan


(30)

2. Sisi administratif, desentralisasi dapat meningkatkan sistem administrasi di daerah, karena pemerintah daerah dapat mengumpulkan informasi dan mendistribusikan kepada masyarakat secara efektif sehingga pelayanan akan menjadi lebih efisien dan dapat diterima oleh masyarakat;

3. Sisi politik, desentralisasi dapat meningkatkan demokrasi melalui partisipasi masyarakat secara langsung, mendidik masyarakat tetang proses pengambilan keputusan, dan meningkatkan persatuan dalam negara yang multikultural.

Pembiayaan penyelenggaraan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan asas

dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan. Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, kepada daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal dengan Dana Perimbangan.

Di samping itu daerah juga diberi kewenangan untuk melakukan pinjaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman tersebut dapat berupa pinjaman jangka pendek untuk membiayai kesulitan arus kas daerah, dan pinjaman jangka panjang untuk membiayai kebutuhan pengeluaran penyediaan sarana dan prasarana daerah. Sumber-sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah:

a) Pendapatan Asli Daerah (PAD) b) Dana Perimbangan


(31)

− Dana Alokasi Umum

− Dana Alokasi Khusus a) Pinjaman daerah

Berkenaan dengan desentralisasi fiskal tersebut ada 3 pilihan. Pertama, memberikan seluruh basis pajak kepada daerah kemudian mewajibkannya untuk menyetor sebagian dari hasil pajak tersebut kepada tingkat pemerintah yang lebih tinggi untuk membiayai pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. Kedua, merupakan kebalikan dari pilihan pertama, yaitu seluruh kewenangan perpajakan berada pada pemerintah pusat, kemudian membiayai pemerintah daerah dengan sistem hibah atau transfer, baik melalui bagi hasil seluruh penerima maupun melalui bagi hasil penerimaan pajak-pajak tertentu. Ketiga, merupakan kombinasi dari pilihan satu atau dua, yaitu member beberapa kewenangan pemungutan pajak kepada daerah. Apabila terjadi

ketimpangan akibat pemberian wewenang ini maka untuk melengkapi eksistensi pajak daerah tersebut diberikan pula bagi hasil atau transfer pemerintah pusat.

C. Kebutuhan Fiskal

Kebutuhan Fiskal adalah kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi dasar umum, dengan komponen pengukuran jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto Perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Setiap daerah (subnation) mesti menyediakan pelayanan public minimum (vital) kepada masyarakat yang berada di wilayahnya, tanpa memandang apakah mereka itu penduduk tetap atau pendatang. Banyak daerah yang menanggung banyak beban tanggung jawab fiskal, seperti misalnya daerah yang memiliki banyak penduduk miskin, ataupun daerah dengan proporsi penduduk usia sekolah (6-18 tahun) tinggi. Lalu daerah-daerah dengan wilayah amat luas dan penduduk tersebar


(32)

misalnya, mesti menanggung beban pengeluaran per kapita yang amat tinggi untuk konstruksi dan pemeliharaan jalan. Ini semua mencerminkan besarnya kebutuhan fiskal karena biaya dalam penyediaan jasa pelayanan publik menjadi tinggi ataupun cakupan dari program-program yang mesti dilaksanakan oleh daerah melebar. Pada dasarnya Kebutuhan Fiskal adalah kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluarannya dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan daerah menyediakan pelayanan publik (Simanjuntak, 2003)

Mulai TA 2006 berdasarkan UU No. 33/2004 formula kebutuhan fiskal tersebut disesuaikan menjadi :

Kbf = total pengeluaran daerah rata-rata x (indeks jumlah penduduk) + (indeks luas wilayah) + (indeks kemahalan konstruksi) + (indeks pembangunan manusia) + (indeks PDRB perkapita)

D. Kapasitas Fiskal

Kapasitas Fiskal adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil (DBH). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.02/2006 tantang peta kapasitas fiskal dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada daerah dalam rangka hibah, yang dimaksud dengan kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai serta dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Untuk meningkatkan Kapasitas Fiskal daerah tidak hanya menyangkut peningkatan PAD, namun pada dasarnya adalah


(33)

optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Berdasarkan undang-undang nomor 33 tahun 2004, yang merupakan kapasitas fiskal daerah yaitu sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil (Dirjen Perimbangan Keuangan,2004) dalam undang-undang tersebut disebutkan pula bahwa daerah dengan kapasitas fiskal yang besar, akan tetapi kebutuhan

fiskalnya kecil akan memperoleh transfer dana dari pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), dengan jumlah yang relatif kecil.

Langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah mengutip (Nurida, 2012) adalah: a. Mengoptimalisasi Pendapatan Asli Daerah.

b. Mengoptimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah.

Oleh karena itu tidak perlu dibuat dikotomi antara PAD dengan dana perimbangan. c. Mengoptimalisasi anggaran.

Oleh karena itu bukan berarti anggaran yang besar jumlahnya. Anggaran yang besar namun tidak dikelola dengan baik (tidak memenuhi prinsip value for money) justru akan menimbulkan masalah, misalnya dengan terjadinya kebocoran anggaran.

d. Reformasi Birokrasi

Bagaimana cara pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar terjadi reformasi yaitu perubahan agar menjadi lebih baik lagi. Pelayanan publik yang

dilaksanakan oleh birokrasi Pemerintah seharusnya digerakkan oleh visi dan misi pelayanan.

e. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia

Penyebaran SDM yang berkualitas diberbagai daerah harus segera dilaksanakan. Peningkatan mutu SDM juga menjadi penting disini. Hal ini bisa dilakukan dengan


(34)

berbagai cara seperti pelatihan, pemenuhan standart kualitas aparatur daerah, seminar, peningkatan soft skill, dsb.

Menurut peraturan menteri keuangan nomor 153/PMK.07/2007 tentang peta kapasitas fiskal dalam rangka meneruskan pinjaman lar negeri pemerintah kepada daerah dalam bentuk hibah, penetapan kapasitas fiskal dilakukan dengan menghitung pendapatan asli daerah (PAD) ditambah dengan dana bagi hasil (DBH), dana alokasi mum (DAU), dan pendapatan lain-lain, kemudian dikurangi dengan beban anggaran belanja gaji pegawai lalu dibagi dengan jumlah penduduk miskin, dengan formula sebagai berikut :

KF =(PAD+BH+DAU+PL)-BP Jumlah penduduk miskin

Dimana :

KF = Kapasitas Fiskal

PAD = Pendapatan Asli Daerah

BH = Bagi Hail Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak DAU = Dana Alokasi Umum

PL = Penerimaan lain-lain yang sah BP = Belanja Pegawai

 Alokasi dasar adalah:

Alokasi dasar = gaji PNSD termasuk kenaikan gaji pokok dan gaji ke-13 dan gaji CPNSD

 Ketentuan:


(35)

Jika celah fiskal = 0, maka: DAU = Alokasi dasar

Jika celah fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya negatif lebih kecil dari alokasi dasar, maka: DAU = Alokasi dasar

Jika celah fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya sama atau lebih besar dari alokasi dasar, maka: DAU = 0

E. Dana Perimbangan

Seperti halnya daerah-daerah lainnya, setiap daerah otonom baru hasil pemekaran akan mendapatkan dana perimbangan dari pemerintah. Dana perimbangan pada dasarnya juga bagian dari praktik otonomi daerah dalam konteks desentralisasi di bidang fiskal. Berdasarkan UU No.33 Tahun 2004, perimbangan keuangan diartikan sebagai suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan

mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah tersebut dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa,

sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggungjawab Daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas maka pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan azas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN, dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas


(36)

beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan.Selanjutnya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, kepada Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/ retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah.Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara Pemerintahan Daerah.Sesuai dengan ketentuan UU No.33 Tahun 2004, dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Dana perumbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan

pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah.

F. Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU, adalah dana perimbangan dan bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DAU sebagai salah satu elemen desentralisasi fiskal menjadi elemen penting bagi pemerintah daerah untuk menutup pembiayaaan daerah mplikasinya, DAU dialokasikan kepada setiap daerah dalam


(37)

rangka menjalankan kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. DAU yang merupakan transfer pemerintah pusat kepada daerah bersifat

“block grant”, yang berarti daerah diberi keleluasaan dalam penggunaannya sesuai dengan

prioritas dan kebutuhan daerah dengan tujuan untuk menyeimbangkan kemampuan keuangan antardaerah.

Landasan hukum pelaksanaan DAU adalah UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah. Sebagai amanat UU No.33 Tahun 2004, alokasi yang dibagikan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat minimal 26 persen dari total penerimaan dalam negri netto. DAU diberikan berdasarkan celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan daerah yang dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan undang-undang sedangkan perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil yang diterima daerah. Sementara Alokasi Dasar dihitung berdasarkan gaji PNS daerah.

Dana Aloasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah yang harus ditetapkan pemerintah sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri Netto.

Pengalokasian DAU kepada daerah menggunakan dasar alokasi dasar dan celah fiskal. Cara perhitungan DAU atas dasar Alokasi Dasar berdasarkan jumlah gaji pegawai daerah yang bersangkutan meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil termasuk di dalamnya tunjangan beras dan tunjangan


(38)

Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21). Sementara celah fiskal (fiscal gap) dihitung dengan cara kebutuhan daerah (fiscal need) dikurangi potensi daerah (fiscal capacity). Kebutuhan Fiskal merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum yang diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan

Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Sementara Kapasitas Fiskal adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan DBH. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

G. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus (DAK) dimaksudkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Oleh karena itu DAK setiap tahun selalu dialokasikan dalam APBN yang disesuaikan dengan program yang menjadi prioritas nasional. Untuk menetapkan daerah tertentu yang akan mendapatkan alokasi DAK, maka pemerintah menetapkan kriteria meliputi kriteria umum, khusus dan teknis. Kriteria umum ditetapkan dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari

penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah. Sementara kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekhususan suatu daerah dan karakteristik daerah dan untuk kriteria teknis meliputi


(39)

standar kualitas/kuantitas konstruksi, serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang menjadi indikator dalam perhitungan teknis.

H. Dana Bagi Hasil

1. Pengertian Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasian kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU 33 Tahun 2004/PP Nomor 55 Tahun 2005). Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil (PP Nomor 55 Tahun 2005).

2. Sumber Dana Bagi Hasil 1. Pajak, terdiri dari:

a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

c) Pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21

2. Sumber daya alam, berasal dari: a) Kehutanan

b) Pertambangan umum c) Perikanan

d) Pertambangan Minyak Bumi e) Pertambangan Gas Bumi f) Pertambangan Panas Bumi


(40)

I. Celah Fiskal (fiscal gap)

Celah fiskal atau yang bias disebut dengan kesenjangan fiskal merupakan suatu komponen yang masuk di dalam formula penghitungan Dana Alokasi Umum (DAU). Sedangkan DAU itu sendiri adalah salah satu komponen yang terdapat di dalam Dana Perimbangan di APBN yang

pengalokasiannya didasarkan atas formula dengan konsep kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih negatif antara Kebutuhan Fiskal (fiscal need) dengan Kapasitas Fiskal (fiscal capacity). Konsep dasar formulasi DAU secara implicit merupakan penjabaran dari teori governmental transfer yang berbasis pada konsepsi fiscal gap, dengan konsep ini nantinya kesenjangan fiskal yang dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer dari Pemerintah Pusat. Fiscal gap inilah yang seyogyanya ditutup oleh DAU, karena dengan demikian pemerataan (dalam arti setiap daerah bisa membiayai setiap kebutuhan dasar di wilayahnya) dapat terpenuhi (Simanjutak, 2003)

Jadi kesenjangan fiskal (fiscal gap) merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal yang dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat. Sehingga solusi untuk kesenjangan fiskal adalah dengan meningkatkan kapasitas fiskal. Apabila di suatu daerah memiliki kapasitas fiskal yang relatif besar dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya maka DAU yang dialokasikan juga tidak terlalu besar, namun apabila yang terjadi sebaliknya yaitu daerah yang memiliki tingkat kapasitas fiskal yang relatif lebih rendah sedangkan kebutuhan fiskal yang lebih tinggi, maka daerah tersebut membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Berdasarkan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang penghitungan DAU, maka celah fiskal dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut :


(41)

Celah fiskal = KbF (Kebutuhan Fiskal) – KpF (Kapasitas Fiskal)

Kebutuhan Fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai semua

pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam perhitungan DAU, kebutuhan daerah tersebut dicerminkan dari variabel-variabel kebutuhan fiskal sebagai berikut :

a.Jumlah Penduduk

b.Luas Wilayah

c.Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

d.PDRB per Kapita

e. Indeks Pembangunan Manusia

yang merupakan cerminan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap daerah harus menyediakan pelayanan publik minimum (vital) kepada masyarakat yang berada di wilayahnya, tanpa memandang apakah mereka itu penduduk tetap atau pendatang. Banyak daerah yang menanggung banyak beban tanggung jawab fiskal, seperti misalnya daerah yang memiliki banyak penduduk miskin, ataupun daerah dengan proporsi penduduk usia sekolah yang tinggi. Lalu daerah-daerah yang dengan wilayah amat luas dan penduduk tersebar misalnya, harus menanggung beban pengeluaran per kapita yang amat tinggi untuk konstruksi dan pemeliharaan jalan. Ini semua mencerminkan besarnya kebutuhan fiskal karena biaya dalam penyediaan jasa pelayanan publik menjadi tinggi ataupun cakupan dari program-program yang mesti dilaksanakan oleh daerah melebar. Jadi pada dasarnya kebutuhan


(42)

fiskal adalah kebutuhan daerah untuk membiayai semua pengeluarannya dalam rangka menjalankan fungsi dan wewenang daerah menyediakan pelayanan publik.

Menurut Undang-Undang Tahun 2004 Pasal 28 ayat 3, yang dimaksud dengan kapasitas fiskal adalah sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil. Sedangkan kapasitas fiskal adalah (potensi) sumber pendapatan yang dimiliki oleh daerah, termasuk pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak, dan sumber daya alam. Untuk

mengukur suatu kemampuan fiskal daerah juga harus diperhitungkan potensi pendapatan asli daerah dan penerimaan daerah lainnya (Seragih, 2003).

Kapasitas fiskal menunjukan tingkat kemandirian keuangan suatu daerah. Hal ini dikarenakan besarnya tingkat kapasitas fiskal yang dimiliki suatu daerah menentukan jumlah dana

perimbangan yang diberikan pemerintah pusat terhadap daerah tersebut. Semakin tinggi tingkat kapasitas fiskal suatu daerah, maka dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat akan semakin kecil, dan begitu juga sebaliknya jika kapasitas fiskalnya rendah, maka dana

perimbangan yang diberikan pemerintah pusat akan cukup besar. Selama ini sebagian daerah masih banyak yang menggantungkan diri pada dana perimbangan dari pemerintah pusat.

Hal itu menunjukan proses desentralisasi fiskal yang tidak berhasil, karena proses desentralisasi fiskal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemandirian daerah. Pada era desentralisasi fiskal ini pemerintah daerah harus mampu berinovasi dalam mencari sumber pendapatan baru ataupun mengolah sumber pendapatan yang telah ada guna meningkatkan kapasitas fiskal daerahnya.


(43)

J. Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah

Keuangan daerah, sebagai alat fiskal pemerinta daerah merupakan bagian integral dari keuangan Negara dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, memeratakan hasil pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi selain stabilitas social politik. Peranan keuangan daerah makin penting, selain karena keterbatasan dana yang dapat dialihkan ke daerah berupa subsidi dan bantuan, tetapi juga karena makin kompleknya persoalan yang dihadapi daerah dan pemecahnya membutuhkan partisipasi aktif masyarakat daerah. Selain itu, peranan keuangan daerah yang makin meningkat akan mendorong terwujudnya otonomi daerah yang lebih nyata dan

bertanggungjawab. (Radianto, 1997)

Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa hubungan antara ketergantungan daerah atas dana pusat dan kekeluasan daerah akan pengeluaran-pengeluarannya adalah tidak langsung.

Berdasarkan pandangan ini, yang penting bagi otonomi daerah adalah daerah mempunyai sumber pendapatan yang elastis, tidak tergantung kepada dana asal tersebut, dan mempunyai kekeluasan terutama dalam menggunakan dana bagi kepentingan masyarakat daerah di dalam batas-batas yang ditentukan perundang-undangan (Davey, 1989)

1. Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah

Menurut Davey (1982 dalam Basri dan Subri, 2005), tujuan hubungan antara pusat dan daerah adalah:

1. Adanya pembagian wewenang yang rasional antara tingkat-tingkat pemerintahan mengenai peningkatan sumber-sumber pendapatan dan penggunaannya,


(44)

2. Pemerintah daerah memiliki sumber-sumber dana yang cukup, sehingga dapat menjalankan tugas atau fungsi dengan baik (penyediaan dana untuk menutup kebutuhan rutin dan pembangunan),

3. Pembagian yang adil antara pembelanjaan daerah yang satu dan daerah lainnya, 4. Pemerintah daerah dalam mengusahakan pendapatan (pajak dan retribusi) sesuai

dengan pembagian yang adil terhadap keseluruhan beban pengeluaran pemerintah. 2. Pendekatan Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Hubungan keuangan antara pusat dan daerah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan (Basri dan Subri, 2005), yaitu:

1. Pendekatan Kapitalisasi (Permodalan)

Dalam pendekatan ini pemerintah daerah memperoleh modal permulaan yang diharapkan untuk diinvestasikan menurut cara-cara yang dapat menghasilkan pendapatan untuk menutup pengeluaran rutin. Pemerintah pusat mengadakan

investasi didaerah dan “berpatungan” dengan pemerintah daerah. Kemudian

pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelolanya. Keuntungan yang diperolehnya sebagian menjadi hak pusat dan sebagian menjadi hak daerah, sesuai dengan besarnya modal yang ditanam dan perimbangan manajemennya. Di luar kesempatan itu, apabila dipandang perlu dengan melihat situasi dan kondisinya, bagian keuangan yang menjadi hak pusat dapat saja disumbangkan kepada daerah untuk pembangunan.

2. Pendekatan Sumber Pendapatan (income source approach) Pendekatan ini didasarkan pada pemberian sebagian pendapatan dari sumber-sumber pendapatan oleh pusat ke daerah. Pemberian ini dapat berupa wewenang mengelola sumber-sumber pendapatan


(45)

tertentu sepenuhnya yang diserahkan kepada daerah atau wewenang untuk menikmati sebagian (persentase) dari pungutan yang dilakukan oleh daerah atas nama pusat. 3. Pendekatan Belanja (expenditure approach) Pendekatan ini didasarkan pada

kebutuhan pengeluaran biaya-biaya untuk proyek atau untuk membiayai kegiatan rutin pemerintah daerah. Di sini pemerintah pusat membiayai kekurangan dari biaya suatu proyek. Subsidi pemerintah pusat ini diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan dan alokasi bantuan pada masing-masing daerah, dan kebutuhan-kebutuhan pembangunan tidak boleh ada perbedaan yang mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya.

4. Pendekatan Komprehensif (comprehensive approach) Pendekatan ini didasarkan pada pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola sumber-sumber

pendapatannya sendiri guna membiayai pengeluaranpengeluaran daerah dan mencoba untuk mempertemukan antara sumber-sumber pendapatan dan target belanja.

Sumber-sumber pendapatan yang boleh dikelola sepenuhnya oleh daerah merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD). Apabila untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah itu masih kurang (dan biasanya memang sangat kurang), maka kekurangannya itu akan disubsidi pusat. Karena umumnya pemerintah daerah dalam membiayai kebutuhan itu tidak cukup, maka pendekatan ini juga dinamakan

pendekatan defisit (deficit approach).

K. KAJIAN PENELITIAN SEBELUMNYA

1. Nama Peneliti : Aris Fatchurochman (2012)


(46)

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk data sekunder, alat analisis yang Digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui perkembangan Kapasitas Fiskal Provinsi Lampung serta dapat memberikan manfaat bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki Kapasitas Fiskal Provinsi Lampung. Hasil dari penelitian tersebut adalah selama periode 2001 hingga 2009, kapasitas fiskal yang dimiliki provinsi lampung termasuk yang terendah diantara provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Nilai kapasitas fiskal yang rendah menunjukan bahwa setiap tahunnya Provinsi Lampung

mendapatkan bantuan dana perimbangan yang besar dari pusat. Kemudian dengan kecilnya kapasitas fiskal yang dimiliki provinsi lampung juga menunjukan bahwa provinsi lampung belum memiliki kemandirian dalam hal pengelolaan keuangan daerah nya.

2. Nama Peneliti : Ahmad Fadillah (2011)

Judul Penelitian : Analisis Peranan Dana Transfer Daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Ketimpangan Kemampuan Keuangan Pada Provinsi Sulawesi Selatan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan metode analisis data metode analisis regresi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola sebaran Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan celah fiskalnya dan untuk mengetahui apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap pemerataan kemampuan keuangan di Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil dari penelitian ini adalah dana transfer pemerintah pusat yang berupa DAU,


(47)

berpengaruh tidak signifikan terhadap celah fiskal untuk Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Hal ini karena banyak pemerintah daerah mendapatkan DAU kemudian digunakan sebagian besar untuk belanja rutin seperti gaji pegawai negeri sipil di daerahnya masing-masing. Hal ini yang membuat ketidakefektifan dalam penggunaan belanja daerah sehingga dana untuk pengelolaan dan perbaikan infrastruktur menjadi sedikit. Variabel DAK berpengaruh signifikan dalam mempengaruhi perubahan celah fiskal Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Karena setiap daerah Kabupaten/Kota harus menyediakan dana pendamping sebagai prasayarat jika menerima DAK dari pemerintah pusat. Dana pendamping juga merupakan komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan yang di danai oleh DAK dari pemerintah pusat. Dana pendamping yang disediakan oleh daerah adalah sebesar 10 % (sepuluh persen) dari alokasi DAK yang diberikan kepada daerah.

3. Nama Peneliti : Sulistyowati (2006)

Judul Penelitian : Analisis Ketimpangan Fiskal Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah Sebelum dan Sesudah Otonomi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data runtun waktu dari periode Tahun 1997 sampai Tahun 2003, untuk semua Kabupaten/Kota Se-Jawa Tengah. Data dalam penelitian ini adalah data sekunder, penelitian ini menggunakan analisis yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan adanya tingkat ketimpangan fiskal antara kabupaten/kota di Jawa Tengah sebelum dan sesudah otonomi dan mengidentifikasi penyebab ketimpangan fiskal sebelum dan sesudah otonomi di jawa tengah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah Baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah adanya tranfer dana dari pemerintah pusat ke daerah tetap besar, tidak ada bedanya, seolah-olah hanya berganti namasaja dari SDO dan


(48)

Bantuan Pembangunan menjadi DAU dan DAK, Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata dan Standar Deviasi, Kabupaten yang berada pada posisi ketimpangan fiskal dibawah rata-rata sebelumotonomi daearah adalah Wonosobo, Rembang, Kudus, Demak, Temanggung dan

Batang, artinya kabupaten-kabupaten tersebut menerimaSDO dan Sumbangan Pembangunannya kurang dari rata tingkat Jateng. Adapun yang berada pada posisi ketimpangan di atas rata-rata meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Kebumen dan Wonogiri yang berarti SDO dan sumbangan pembangunan besar atau di atas rata-rata di Jateng.


(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam data ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang telah diolah dan diterbitkan oleh lembaga yang berkaitan. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung, serta instansi lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Ruang waktu yang digunakan dalam penelitian ini yakni tahun 2002-2011.

B. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini selain menggunakan data dari beberapa instansi, penelitian ini juga menggunakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, dan memahami malalui buku-buku, literatur, jurnal penelitian, serta hasil-hasil penelitian lainnya yang

berhubungan dengan permasalah yang akan dibahas pada penelitian ini.

C. Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Kapasitas Fiskal:


(50)

Dalam penelitian ini. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayah itu sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

o Bagi hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak

Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Deddi dkk, 2007).

Menurut Deddi dkk,2007 Dana bagi hasil terdiri dari :

1. Bagi hasil pajak, yang meliputi bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

2. Bagi hasil sumber daya alam, yang meliputi sector kehutanan, pertambangan umum, perikanan, tambang minyak bumi, gas alam dan panas bumi.

o Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antar daerah dalam rangka membantu kemandirian pemerintah daerah menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat.


(51)

o Pendapatan Lain yang Sah

Menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 164 ayat 1, Lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain (PAD) dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah.

o Belanja Pegawai

Belanja pegawai adalah pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk membiayai jalannya roda pemerintahan. Belanja pegawai dalam hal ini meliputi belanja sektor aparatur daerah serta belanja sektor pelayanan publik.

o Jumlah Penduduk miskin

Jumlah penduduk miskin yang diambil sesuai dengan data yang diperoleh pada sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung.

2. Variabel Kebutuhan Fiskal :

o Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua Negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah Negara adalah Negara maju, berkembang, atau terbelakang dan juga untuk men gukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.


(52)

o Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

Indeks Kemahalan Konstruksi adalah angka indeks yang menggambarkan perbandingan Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK) suatu kabupaten/kota yang menggambarkan perbandingan harga untuk wilayah yang berbeda pada periode waktu tertentu.IKK dapat dikategorikan sebagai indeks spasial, yaitu indeks yang menggambarkan perbandingan harga untuk wilayah yang berbeda pada periode waktu tertentu.

o Luas Wilayah

Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah.

o Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap Daerah.

o Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto merupakan cerminan potensi dan aktivitas

perekonomian suatu Daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produksi kotor dalam suatu wilayah.

D. Analisis

Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis deskriptif kualitatif. Metode analisis data kualitatif deskriptif didasarkan pada analisis variabel-variabel yang mendukung analisis tersebut yang tidak dapat di ukur secara nyata, tetapi dengan menggunakan analisa yang


(53)

sifatnya menjelaskan secara uraian. Dalam penelitian ini, data yang tersedia dianalisis dengan menghitung variabel-variabel yang digunakan sesuai dengan formula penghitungan sebagai berikut :

Celah fiskal = KbF (Kebutuhan Fiskal) – KpF (Kapasitas Fiskal)

Setelah didapat hasilnya, maka nilai yang ada dapat dihitung dengan cara menjumlahkan seluruh variabel kebutuhan fiskal kemudian dikurangi dengan seluruh variabel kapasitas fiskal.

Kemudian setelah mendapatkan hasilnya, disesuaikan dengan ketentuan menurut UU No. 33 Tahun 2004 jika celah fiskal > 0, maka: DAU = Alokasi dasar + celah fiskal

Jika celah fiskal = 0, maka: DAU = Alokasi dasar

Jika celah fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya negatif lebih kecil dari alokasi dasar, maka: DAU = Alokasi dasar

Jika celah fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya sama atau lebih besar dari alokasi dasar, maka: DAU = 0

E. Gambaran Umum Kabupaten Lampung Tengah

Kabupaten Lampung Tengah meliputi areal daratan seluas 4789,82 Km², terletak pada bagian tengah Propinsi Lampung, yang berbatasan dengan sebelah utara dengan Kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Utara. Kabupaten Lampung tengah memiliki 28 kecamatan. Sebelah selatan dengan Kabupaten Pesawaran. Sebelah Timur dengan Kabupaten Lampung Timur dan Kota Metro. Sebelah Barat dengan Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat. Ibukota Kabupten Lampung Tengah adalah Gunung Sugih.


(54)

Secara Geografis Kabupaten Lampung Tengah terletak pada kedudukan :

- Timur – Barat Antara : - 104° 35’ Bujur Timur sampai - 105° 50’ Bujur Timur. - Utara – Selatan : - 4° 30’ Lintang Selatan sampai - 4° 15’ Lintang Selatan. Daerah Lampung Tengah dapat dibagi dalam 5 ( lima ) unit

Topografi yakni :

a) Daerah Topografi Berbukit sampai Bergunung, daerah ini terdapat di kecamatan Padang Ratu dengan ketinggian rata-rata 1.600 m.

b) Daerah Topografi Berombak sampai Bergelombang, jenis tanaman perkebunan di daerah ini adalah Kopi, Cengkeh, Lada, serta sayur-sayuran.

c) Daerah Dataran Aluvial. d) Daerah Rawa Pasang Surut .

e) Daerah River Basin, daerah Lampung Tengah terdapat 2 sungai yaitu sungai Way Seputih dan sungai Way Sekampung.


(55)

Berikut adalah tabel yang menggambarkan Jumlah Kecamatan Lampung Tengah, beserta luas wilayah, jumlah penduduk, serta kepadatan penduduk pada tahun 2011 :

Tabel 5 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Tengah tahun 2011.

No Kecamatan

Luas Wilayah

(km²) Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk (per

km²)

1 Padang Ratu 204,44 47.972 235

2 Selagai Ungga 308,52 31.593 102

3 Pubian 178,88 40.954 236

4 Anak Tuha 168,64 35.637 221

5 Anak Ratu Aji 68,39 15.587 227

6 Kalirejo 102,31 68.490 627

7 Sendang Agung 108,83 34.337 334

8 Bangun Rejo 122,63 39.672 421

9 Gunung Sugih 230,32 68.728 482

10 Bekri 93,32 23.309 271

11 Bumi Ratu Nuban 63,14 68.470 441

12 Trimurjo 68,43 23.303 723

13 Punggur 118,45 49.359 307

14 Kota Gajah 68,05 35.390 469

15 Seputih Raman 146,55 46.296 316

16 Terbanggi Besar 208,63 308.553 520

17 Seputih Agung 122,27 46.423 360

18 Way Pengbuan 210,72 37.252 177

19 Terusan Nunyai 302,05 44.843 148

20 Seputih Mataram 120,01 46.133 384

21 Bandar Mataram 1055,28 72.976 69

22 Seputih Banyak 145,92 42.079 288

23 Way Seputih 77,84 17.060 219

24 Rumbia 106,09 33.865 319

25 Bumi Nabung 108,94 31.068 285

26 Putra Rumbia 95,02 17.430 183

27 Seputih Surabaya 144,60 44.748 309

28 Bandar Surabaya 142,39 32.824 231


(56)

Data pada tabel 4 adalah data yang menggambarkan secara umum mengenai keseluruhan kecamatan yang terdapat di Kabupaten Lampung Tengah. Berdasarkan rata-rata pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1971 – 1980, baik di Kabupaten Lampung Tengah maupun Propinsi Lampung pertumbuhannya masih cukup tinggi. Bahkan untuk Lampung Tengah yang mencapai 5,97 %, lebih tinggi bila dibandingkan dengan Propinsi Lampung yang mencapai 5,77 %. Kondisi ini terjadi karena pada periode tersebut, Lampung merupakan daerah tujuan

transmigrasi dan Lampung Tengah merupakan daerah yang cukup diminati oleh para

transmigran.Dengan adanya kebijaksanaan Pemerintah Daerah Lampung berupa tertutupnya Daerah Lampung sebagai daerah tujuan transmigrasi, di samping adanya gerakan KB, maka rata-rata pertumbuhan penduduk Lampung pada periode tahun 1980 – 1990 dapat ditekan

menjadi 2,67 % per tahun bahkan untuk Lampung Tengah menjadi lebih kecil lagi, yaitu 1,18 % per tahun dan berdasarkan hasil sensus penduduk terakhi r tahun 2000 laju pertumbuhan

penduduk kabuapaten Lampung Tengah tercatat 0,85 %.

Besarnya Sex Ratio atau perbandingan jumlah penduduk Laki-laki dan perempuan pada periode tahun 1971-1980 di Kabupaten

Lampung Tengah adalah sebesar 106 , menurun menjadi 105 pada periode tahun 1980-1990 sedangkan pada periode 1990-2000 yang terakhir berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 tercatat sex ratio di kabupaten Lampung Tengah adalah 104,23. Jumlah Penduduk Kabupaten Lampung Tengah tahun 1999 adalah sebesar 1.014.081 jiwa terdiri dari 518.058 jiwa penduduk lakilaki, dan 496.026 jiwa penduduk perempuan dengan Sex Ratio sebesar 104,44 sedangkan menurut hasil sementara sensus penduduk tahun 2000 yang dilaksanakan pada bulan juni 2000 oleh BPS tercatat jumlah penduduk kabupaten Lampung Tengah sebesar 1.046.182 jiwa yang


(57)

terdi ri dari 533.931 laki-laki dan 512.251 perempuan. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Lampung Tengah adalah 1.146.141 jiwa, terdiri dari 578.178 jiwa laki-laki dan 567.963 jiwa perempuan dengan sex ratio sebesar 107. Di Kabupaten Lampung Tengah terdapat daerah Kecamatan Kali rejo dan Bangunrejo terdapat batuan Tasobosan, Granit Kapen dan batuan Metamorf Sakis (Pratersier) Di daerah ini mempunyai potensi sumber bahan galian batu Gamping. Data tentang endapan mineral di daerah Lampung Tengah, dapat diiventarisir adanya bahan – bahan tambang (endapan mineral ) diantaranya adalah Batubara Muda endapan batu bara muda terdapat pada lapisan sedimen dan formasi endosit tua, yakni di Kecamatan Padang Ratu.


(58)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Selama periode tahun 2002 hingga 2011, kapasitas fiskal yang dimiliki Kabupaten Lampung Tengah hampir setiap tahunnya mengalami penurunan, kemudian pada tahun 2009 hingga 2011 indeks kapasitas fiskal nya pun tergolong paling rendah di Provinsi Lampung yang semakin menurun disetiap tahunnya. Bila disesuaikan dengan pengukuran indeks yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, maka indeks kapasitas fiskal

Kabupaten Lampung Tengah berada dibawah 0,5 yaitu indeks kapasitas fiskal nya masuk kedalam kategori rendah.

2. Nilai celah fiskal (fiscal gap) yang dimiliki Kabupaten Lampung Tengah relatif tinggi hal itu menunjukan bahwa tingkat kesenjangan antara kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal tidak berjalan seimbang. Dengan meningkatnya celah fiskal hampir disetiap tahunnya hal tersebut menunjukan bahwa kapasitas fiskal daerah tersebut tidak cukup untuk menutupi besarnya kebutuhan fiskal, Kabupaten Lampung Tengah juga menerima dana perimbangan yang sangat besar dari pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan kapasitas fiskal merupakan acuan yang digunakan oleh pemerintah pusat untuk memberikan

bantuan dana perimbangan. Apabila kapasitas fiskal yang dimiliki daerah kecil maka bantuan dana perimbang nya pun besar, begitu pula sebaliknya.


(59)

3. Dengan tingginya nilai celah fiskal yang dimiliki oleh Kabupaten Lampung Tengah juga menunjukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah belum bisa menciptakan kemandirian daerah dalam hal keuangan hal tersebut disebabkan kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan fiskal yang tergolong tinggi. Dengan rendahnya nilai kapasitas fiskal daerah yang dimiliki sehingga daerah tersebut terus mendapat bantuan dana perimbangan dari pusat, hal tersebut juga menunjukan Kabupaten Lampung Tengah gagal dalam menjalankan konsep desentralisasi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah pusat.

B. Saran

Atas kesimpulan yang diperoleh, maka diajukan beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, yaitu :

1.Pemerintah daerah Kabupaten Lampung Tengah hendaknya mencari sumber pendapatan yang baru bukan hanya sekedar mengandalkan sumber pendapatan yang sebelumnya, sehingga dapat memaksimalkan pendapatan daerahnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

2. Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah hendaknya dapat mengurangi ketergantungan akan dana perimbangan dari pemerintah pusat, serta dapat meningkatkan kapasitas fiskal daerahnya, dengan cara meningkatkan pendapatan daerahnya, dan mengurangi

pengeluarannya dengan cara lebih selektif lagi dalam menyusun anggaran

pengeluarannya, sehingga dapat menghindari pengeluaran yang tidak perlu yang pada akhirnya hanya akan membebani anggaran saja. Dengan dilakukannya upaya untuk


(60)

meningkatkan kapasitas fiskal daerah maka tingkat kesenjangan fiskal nya pun akan berkurang.

3. Jumlah penduduk miskin merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi besarnya kapasitas fiskal. Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten Lampung Tengah harus berpaya untuk menekan jumlah pendduk miskin. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan cara memberikan pelatihan kewirausahaan kepada masyarakat.


(1)

50

terdi ri dari 533.931 laki-laki dan 512.251 perempuan. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah penduduk Kabupaten Lampung Tengah adalah 1.146.141 jiwa, terdiri dari 578.178 jiwa laki-laki dan 567.963 jiwa perempuan dengan sex ratio sebesar 107. Di Kabupaten Lampung Tengah terdapat daerah Kecamatan Kali rejo dan Bangunrejo terdapat batuan Tasobosan, Granit Kapen dan batuan Metamorf Sakis (Pratersier) Di daerah ini mempunyai potensi sumber bahan galian batu Gamping. Data tentang endapan mineral di daerah Lampung Tengah, dapat diiventarisir adanya bahan – bahan tambang (endapan mineral ) diantaranya adalah Batubara Muda endapan batu bara muda terdapat pada lapisan sedimen dan formasi endosit tua, yakni di Kecamatan Padang Ratu.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Selama periode tahun 2002 hingga 2011, kapasitas fiskal yang dimiliki Kabupaten Lampung Tengah hampir setiap tahunnya mengalami penurunan, kemudian pada tahun 2009 hingga 2011 indeks kapasitas fiskal nya pun tergolong paling rendah di Provinsi Lampung yang semakin menurun disetiap tahunnya. Bila disesuaikan dengan pengukuran indeks yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, maka indeks kapasitas fiskal

Kabupaten Lampung Tengah berada dibawah 0,5 yaitu indeks kapasitas fiskal nya masuk kedalam kategori rendah.

2. Nilai celah fiskal (fiscal gap) yang dimiliki Kabupaten Lampung Tengah relatif tinggi hal itu menunjukan bahwa tingkat kesenjangan antara kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal tidak berjalan seimbang. Dengan meningkatnya celah fiskal hampir disetiap tahunnya hal tersebut menunjukan bahwa kapasitas fiskal daerah tersebut tidak cukup untuk menutupi besarnya kebutuhan fiskal, Kabupaten Lampung Tengah juga menerima dana perimbangan yang sangat besar dari pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan kapasitas fiskal merupakan acuan yang digunakan oleh pemerintah pusat untuk memberikan

bantuan dana perimbangan. Apabila kapasitas fiskal yang dimiliki daerah kecil maka bantuan dana perimbang nya pun besar, begitu pula sebaliknya.


(3)

86

3. Dengan tingginya nilai celah fiskal yang dimiliki oleh Kabupaten Lampung Tengah juga menunjukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah belum bisa menciptakan kemandirian daerah dalam hal keuangan hal tersebut disebabkan kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan fiskal yang tergolong tinggi. Dengan rendahnya nilai kapasitas fiskal daerah yang dimiliki sehingga daerah tersebut terus mendapat bantuan dana perimbangan dari pusat, hal tersebut juga menunjukan Kabupaten Lampung Tengah gagal dalam menjalankan konsep desentralisasi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah pusat.

B. Saran

Atas kesimpulan yang diperoleh, maka diajukan beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, yaitu :

1.Pemerintah daerah Kabupaten Lampung Tengah hendaknya mencari sumber pendapatan yang baru bukan hanya sekedar mengandalkan sumber pendapatan yang sebelumnya, sehingga dapat memaksimalkan pendapatan daerahnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

2. Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah hendaknya dapat mengurangi ketergantungan akan dana perimbangan dari pemerintah pusat, serta dapat meningkatkan kapasitas fiskal daerahnya, dengan cara meningkatkan pendapatan daerahnya, dan mengurangi

pengeluarannya dengan cara lebih selektif lagi dalam menyusun anggaran

pengeluarannya, sehingga dapat menghindari pengeluaran yang tidak perlu yang pada akhirnya hanya akan membebani anggaran saja. Dengan dilakukannya upaya untuk


(4)

87

meningkatkan kapasitas fiskal daerah maka tingkat kesenjangan fiskal nya pun akan berkurang.

3. Jumlah penduduk miskin merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi besarnya kapasitas fiskal. Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten Lampung Tengah harus berpaya untuk menekan jumlah pendduk miskin. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan cara memberikan pelatihan kewirausahaan kepada masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aris, Fatchurrochman. 2012. Skripsi : Analisis Kapasitas Fiskal Provinsi Lampung tahun 2001-2009

Ahmad Fadillah, 2011. Analisis Peranan Dana Transfer Daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Ketimpangan Kemampuan Keuangan Pada Provinsi Sulawesi Selatan.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah, 2011. Lampung Tengah dalam angka 2011 , BPS Lampung.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah, 2011. Indeks Kemahalan Konstruksi 2011, BPS Lampung.

Basri, Yuswar Zainul dan Mulyadi Subri, 2005, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Davey, KJ., 1989. “Hubungan Keuangan Pusat – Daerah di Indonesia” Dalam Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Terjemahan oleh Amanullah Dkk ,UI Press, Jakarta

Deddi Nordiawan, dkk, 2007 . Akuntansi Pemerintahan. Jakarta, Salemba Empat Elia Radianto, 1997. Otonomi Keuangan Daerah Tingkat II : Suatu Studi di

Maluku, Prisma 3, edisi Maret

Hossein Benyamin, dalam Ir. Brahmantio Isdijoso, 2009. Jurnal berjudul Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era Otonomi Daerah

Khusaini, Mohammad ,2006. Ekonomi Publik : Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah. BPFE Unibraw, Malang.

Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Andi Yogyakarta

Robert A. Simanjuntak, 2003. Kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan optimalisasi potensi PAD, working paper 5.


(6)

Seragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Ghalia Indonesia.

seknasfitra.org/wp-content/uploads/2012/10/Keuangan-Pusat-dan-Daerah.pdf http://lampung.bps.go.id/ Diunduh : 07/04/2013, Jumlah penduduk provinsi

Lampung menurut kabupaten/kota 2007-2011

http://www.hukumonline.com/ Diunduh : 07/04/2013, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/Pmk.07/2010 Tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah

http://www.djpk.depkeu.go.id/ Diunduh : 07/04/2013, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/Pmk.07/2012 Tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah

http://www.anggaran.depkeu.go.id/ Diunduh : 07/04/2013, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/Pmk.07/2009 Tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah

Suparmoko, M. 2002. Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek. Edisi 4. Penerbit BPFE-Yogya. Yogyakarta

Siti Sriningsih dan Muadi Yasin, 2009. Dampak Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Pemerataan Fiskal Kabupaten/Kota Di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Majalah Ekonomi Tahun XIX, No. 2 Agustus 2009. Mataram : FE Universitas Mataram.

http://nuridafatimah.blogspot.com/ Nurida Fatimah. Solusi Kesenjangan Fiskal (Fiscal Gap). 2012