Peranan Religi Terhadap Modernisasi Jepang Periode Restorasi Meiji

(1)

SKRIPSI

PERANAN RELIGI TERHADAP MODERNISASI JEPANG

PERIODE RESTORASI MEIJI

OLEH : MARIANA

020722012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG

MEDAN


(2)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 6

1.4 Tinjauan Pustakan ... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

1.6 Metode Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG 2.1 Pengertian Religi ... 11

2.1.1 Konsep-konsep Dasar Religi Jepang ... 13

2.1.2 Agama-agama di Jepang pada Masa Feodal 14 2.1.2.1 Shintoisme ... 15

2.1.2.2 Budhisme ... 17


(3)

BAB III PENGARUH RELIGI DALAM MEMODERNISASIKAN JEPANG PERIODE RESTORASI MEIJI

3.1 Pendidikan ... 21 3.2 Politik ... 26 3.3 Sosial Budaya ... 29

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 32 4.2 Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada ALLAH SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan sekripsi ini , sebagai tugas akhir penyelesaian studi di Program Ekstension Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara

Sekripsi ini membahas tentang kebudayaan Jepang yang diberi judul ”Peranan Religi Terhadap Modernisasi Jepang Periode Restorasi Meiji”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Drs. Syaifuddin M.A PhD, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Utara

2. Bapak Drs. Hamzon Situmorang M.S Ph.D , Selaku ketua jurusan Program Ekstension Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana , M. Hum , Selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan masukan pada penulis , sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik

4. Seluruh staf pengajar pada Program Ekstension Sastra jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara, atas ilmu yang telah diberikan.


(5)

5 Ayahanda dan ibunda tercinta yang membesarkan dengan penuh kasih sayang & tiada bosan-bosannya mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Terima kasih juga tak lupa penulis persembahkan kepada kakanda tercinta yang selalu memberikan dukungan menyelesaikan penulisan sekripsi ini,

6 Teman-temanku yang baik dan penuh perhatian , yang selalu saling berbagi ilmu dan bertukar pikiran , juga mau meluangkan waktu disaat-saat penulis membutuhkan bantuan . Kalian adalah sahabat-sahabat terbaikku...

Penulis berharap semoga isi yang terdapat dalam penulisan sekripsi ini, dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.


(6)

BAB I PEDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kita sering melihat bahkan menggunakan barang-barang elektronik dari yang kecil ataupun yang besar, dari yang murah sampai yang mahal dengan merek-merek yang tidak asing lagi bagi kita seperti Sony, Toyota, Fuji, Suzuki, dll. Barang-barang dengan merek tersebut sudah biasa menghiasi rumah kita mulai dari dapur, kamar mandi, ruang tamu, bahkan kamar tidur. Dari merek-merek diatas kita dapat mengetahui bahwa barang-barang tersebut berasal dari Jepang.

Jepang adalah satu-satunya negara Asia yang memproduksi barang-barang elektronik yang kualitasnya setara dengan Eropa. Sehingga konsumen yang ingin membeli barang-barnag buatan Jepang tidak merasa khawatir terhadap mutunya karena memang terjamin. Perusahaan-perusahaan di Jepang terus saja memperbaiki penampilan barang-barang produksinya hingga mencapai hasil yang sempurna dengan tujuan untuk memuaskan para konsumen. Dampak dari meningkatnya permintaan pasar tentu mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi sehingga Jepang terus-menerus menduduki peringkat tertinggi di dunia.

Padahal jika kita membuka lembaran sejarahnya, Jepang adalah negara yang terisolasi secara geografis dan mengisolasikan diri selama kurang lebih 250 tahun (1638-1853) pada zaman Edo yang biasa disebut dengan zaman Shogun Tokugawa.


(7)

”Zaman Edo (1603-1867) adalah zaman dimana Jepang diperintah keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan ke-shogunan Tokugawa waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo)” (Situmorang, 1995 : 41)

Selama shogun Tokugawa berkuasa, negara Jepang menutup diri dari semua orang asing dan pengaruh-pengaruh asing. Bahkan orang Jepang yang

berada di luar negeri pun tidak diijinkan pulang ke negerinya sendiri karena pemerintah takut kalau-kalau mereka memasukkan virus agama Kristen (Reischauer, 1982:86). Hanya orang Belanda yang masih

diperbolehkan berdagang di Jepang melalui pulau Deshima yang terletak di depan Nagasaki.

Sementara Jepang tenggelam dalam tidurnya yang panjang dalam keterasingan, evolusi bentuk negara modern dan persatuan nasional sedang berlangsung di barat. Lebih dari itu, perkembangan kapitalisme mengakibatkan revolusi industri yang menyebabkan bangsa barat melihat ke luar negeri untuk mencari pasaran bagi hasil industrinya dan untuk sumber-sumbaer bahan baku baru.

Pada tahun 1853, Komodor Matthew C. Perry dari Amarika Serikat berhasil membujuk Jepang untuk membuat perjanjian persahabatan dan diikuti oleh Rusia, Inggris dan Belanda. Empat tahun kemudian diubah menjadi perjanjian perdagangan dan diikuti oleh Prancis. Kejadian-kejadian tersebut berdampak meningkatkan tekanan arus sosial dan politik yang menggerogoti fondasi struktur feodal. Selama sedasawarsa terjadi kekacauan besar, sampai


(8)

sistem feodal keshogunan Tokugawa runtuh pada tahun 1867 dan kedaulatan dikembalikan sepenuhnya kepada kaisar dalam Restorasi Meiji pada tahun 1868.

”Zaman baru ini disebut zaman Meiji yang berlangsung antara 1868-1912. kaisar Meiji juga dipanggil kaisar Matsuhito. Sebagai pusat pemerintahan maka kota Edo diganti nama dengan Tokyo, dan pada tahun 1869 ibukota dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo” (Suradjaja, 1984:21)

Masa Meiji merupakan salah satu periode yang paling istimewa dalam sejarah bangsa-bangsa. Di bawah pimpinan kaisar Meiji dengan pemerintahan yang membawa pencerahan dan imajinatif, membantu membimbing bangsa Jepang untuk bergerak maju sehingga dalam hanya beberapa dasawarsa mencapai apa yang di Barat memerlukan berabad-abad lainnya, yakni pembentukan suatu bangsa yang modern yang memiliki pendidikan modern, lembaga-lembaga politik modern dengan mencontoh negara-negara barat tanpa harus takut bahwa hasil westernisasi akan menggoyahkan kepribadian mereka. Suradjaja (1984:10) menyatakan :

”Kemajuan Jepang yang dicapai sebagai akibat dari modernisasi

selama lebih dari 100 tahun sejak Restorasi Meiji, sudah merupakan prestasi luar biasa , dimana Amerika dan negara-negara Eropa lainnya mencapai dalam jangka waktu yang lebih lama”.

Walaupun demikian, karena menjelang akhir zaman Tokugawa,

sekelompok samurai intelektualsangat tertarik dengan teori-teori politik Barat yang kemudian menganjurkan perombakan terhadap pemerintahan Bakufu ( pemerintahan keshogunan ) dan sistem feodal, maka modernisasi di Jepang


(9)

sangat didominasi oleh faham Barat. Seluruh negrinya terjun dengan semangat dan antusiasme ke dalam studi dan pengambilalihan peradaban Barat modern. Kebudayaan Barat pun terus merambah masuk ke negri sakura ini membawa pembaharuan dan pengaruh besar-besaran dalam berbagai bidang kehidupan masyarakatnya. Bebebrapa diantaranya tercermin dalam bidang pendidiksn,ekonomi.sosial budaya dan lain-lain.

Pendidikan yang dianggap sebagai salah satu jalan yang menjadi dasar kemajuan dan kemakmuran bangsa, berkembang pesat di seluruh Jepang sejak lahirnys Restorasi Meiji. Terlebih lagi setelah sistem feodal runtuh maka kekuasaan penuh kembali kepada Kaisar. Pendidikan yang diumumkan dalam tahun 1890 , dipandang sebagai naskah suci yang meletakkan moralitas pemujaan kepada Kaisar , selalu dengan sikap keras dan sungguh –sungguh. Kedaulatan dinyatakan sebagai bahagian yang mutlak dari kebajikan – kebajikan , menjadi simbol kewenangan Kekaisaran yang tak pernah berbuat kesalahan . Kaiasar dipandang sebagai dewa kebajikan dalam wujud manusia dan kesetiaan kepadanya, sama dengan kesetiaan keagamaan . Beberapa golongan percaya bahwa seluruh bangsa Jepang mendapat rahmat dari dewa-dewa.Dalam kepercayaan yang ekstrim lagi, pemujaan kepada Kaisar itu mengantarkan kepada kepercayaan umum bahwa bapak bangsa Jepang , dengan kewenangan dewa – dewa menjadi penguasa semesta alam.

Dalam tingkat yang berbeda –beda , cara pandang atau wawasan ini , masuk dalam ajaran , bukan saja ajaran kesetiaan kepada Shinto – Negara ,


(10)

melainkan pada semua aliran Shinto, dan dalam beberapa hal pada seluruh pada seluruh bangsa, termasuk badan –badan keagamaan lainnya.

Masyarakat Jepang sadar betul akan arti pendidikan. Karena itu, sejak awal pengenalan pendidikan Barat, relatif tidak ada masalah dalam menggugah masyarakat Jepang untuk sekolah. Sejak Rertorasi Meiji, diskriminasi dalam masyarakat Jepang secara formal dihapuskan yang imbasnya sampai pada bidang pendidikan yakni seiap orang diberi kesempatan yang sama untuk belajar. Dengan pendidikan moral dan etika yang tetap menjadi prioritas utama, masyarakat Jepang juga diajarkan pendidikan militer danilmu pengetahuan lainnya, seperti ilmu fisika , ilmu kedoktersn , ilmu adminitrasi, dan lain –lain.

Sebagai kelanjutan dari usaha dalam rangka menuju masyarakat modern pemerintah Jepang pada tahun 1872 mulai melembagakan sebuah sistem pendidikan dasar umum. Sistem ini secara ekslusif menggarisbawahi kemampuan ” membaca, menulis, dan berhitung ( dengan sempoa )” , yang dimaksudkan untuk memberikan pendidikan populer yang cocok bagi masyarakat modern . Pengaruh Barat yang dalam pembahasan inidisebut –sebut sebagai faham dalam modernisasi masyarakat Jepang, terlihat daei filsafat dan teknologi yang diajarkan di sekolah – sekolah hampir seluruhnya dari Eropa. Lagu-lagu yang diajarkan di sekolah – sekolah dasar biasanya berasal dari Inggris dan Jerman ( Naoto Sasaski , 1985 : 3). Kemudian pendidikan tinggai diakselerasikan dengan memanfaatkan tenaga-tenaga asing dari Barat yang dipekerjakan sebagai guru dan konsultan dengan gaji yang luar biasa besar.


(11)

Tindakan ini dilakukan seiring dengan menambah jumlah orang Jepang yang pergi ke negara – negara Barat untuk belajar. Dalam pengertian bahwa sekalipun tidak pergi belajar ke Barat , tetapi dapat mempelajari kebudayaan Barat melalui buku – buku berbahasa Inggris , Perancis , Jerman , dan lain – lain . yang diterjemahkan oleh pemuda – pemuda Jepang ( pada umumnya kaum Samurai ) yang dikirim ke Eropa Barat dan AS untuk mempelajari keadaan di sana dan mengeruk ilmu sebanyak mungkin karena Jepang pada waktu iu merasa berkepentingan untuk disamakan dengan bangsa – bangsa Barat untuk kelangsungan hidupnya ( Sayidiman S; 1982: 207).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang sejauh mana religi berperan tdalam modernisasi Jepang periode Restorasi Meiji.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang menjadi sumber permasalahan dari penelitian ini adalah:

a. Apakah religi yang ada di Jepang mempunyai peran dalam memodernisasikan negara Jepang ?

b. Dalam hal apa saja religi berperan dalam modernisai Jepang ?

C. Ruang Lingkup Pembahasan

Sesuai dengan judul skripsi yang akan penulis buat, maka penulis membatasi pembahasan pada :


(12)

a. Peranan religi terhadap modernisasi di Jepang pada Restorasi Meiji. b. Sejauh mana religi berperan dalam modernisasi Jepang.

D. Tinjauan Pustaka

Restorasi Meiji berawal pada tahun 1868 ketika pemerintahan shogun jatuh dan kemudian lahir pemerintahan baru di bawah kekuasaan Kaisar Meiji.

Runtuhnya keshogunan Tokugawa disebabkan oleh timbulnya sikap anti asing di kalangan rakyat Jepang. Sikap anti asing diungkapkan dengan slogan

”larang masuk orang asing” yang dikaitkan dengan konsep kesetiaan kepada kaisar, ”hormat kaisar” (Reischauer,1982:98). Hal ini mendorong

timbulnya kesadaran nasionalistik mutlak yang diarahkan bagi penyatuan rakyat di bawah kaisar sebagai penguasa . Inilah yang menyebabkan jatuhnya keshogunan, meskipun di sisi lain ada fakta kesadaran politik yang meningkat di kalangan masyarakat bawah.

Di tengah situasi Jepang yang semakin sulit, kaisar Meiji tergerak untuk mengadakan sebuah revolusi, inilah yang disebut dengan Restorasi Meiji. Dan era inilah yang kemudian mengawali periode modernisasi dan westernisasi di Jepang yakni periode dimana pemerintah dan masyarakat Jepang mulai bekerja keras mengejar berbagai ketinggalan akibat isolasi pada masa sebelumnya dengan membuka diri terhadap pengaruh Barat.

Yang dimaksud dengan Restorasi Meiji menurut beberapa teori adalah antara lain ada yang mengangap bahwa ”Restorasi Meiji” adalah penetapan kerajaan mutlak yang diletakkan satu taraf sebelum meletusnya revolusi rakyat,


(13)

karena pada masa ini kekuasaan tuan tanah sangat kuat dan industri modern belum cukup berkembang.”Teori lain mengangap bahwa ” Restorasi Meiji adalah gerakan pemulihan pemerintahan kerajaan macam purba di bawah tenno (Kaisar) oleh kas samurai bawahan dengan menghancurkan pemerintahan Bakufu di bawah shogun Tokugawa.

Mulai saat itu, bangsa Jepang secara sungguh-sungguh bergerak untuk meniru segala aspek kehidupan barat. Pemuda-pemudanya dikirimkan ke Inggris, Perancis, dan Jerman untuk belajar dalam berbagai bidang didatangkan pula guru-guru dari luar negeri untuk mengajar orang Jepang di rumah.

Inilah langkah pertama modernisasi Jepang. Di dalam modernisasi ini, Jepang tanpa ragu-ragu melakukan westernisasi. Sebab mereka berpendapat bahwa hanya melalui westernisasi kelangsungan hidupnya dapat terjamin. Di pihak lain, para pemmpin Jepang tidak takut kehilangan kejepangannya, justru identitas Jepang itulah yang termasuk salah satu yang harus dijamin kelangsungan hidupnya. Kepribadian Jepang sendiri telah kuat tertanam sebagai akibat masa isolasi sepanjang 250 tahun (suryohadiprojo, 1982:26).

Dengan mengusung semboyan ”fukoku kyohei” yang artinya negara sejahtera, tentara kuat, Kaisar Meiji mengambil langkah-langkah drastis dalam masyarakat Jepang, seperti yang dikemukakan Suryohadiprojo (1982:26-31):

1. Penghapusan sistem feodal

2. Pendidikan wajib dan bebas untuk seluruh rakyat 3. Memperkenalkan kerangka sistem kebijakan ekonomi 4. Wajib Militer


(14)

5. Perubahan sistem perpajakan

Keberhasilan bangsa Jepang yang relatif cepat tidak disebabkan oleh faktor-faktor ekstern tetapi lebih pada mantapnya kepribadian Jepang, maka dalam berusaha mengejar ketinggalannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dari Eropa, Jepang tidak pernah merasa khawatir akan kehilangan kepribadiannya.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian bertujuan:

a. Untuk mengetahui bagaimana peranan religi dan memodernisasikan negara Jepang

b. Untuk mengetahui sejauh mana religi berperan penting dalam restorasi Meiji.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode kepustakaan ( Library Research), yaitu dengan mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis, serta merangkainya menjadi sebuah informasi yang mendukung tulisan ini. Disamping itu digunakan pemaparan dan penjelasan yang dikembangkan sendiri oleh penulis dengan tetap mengacu kepada sumber informasi dan fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.


(15)

Selain itu, penulisan ini juga berpedoman pada metode penelitian yang bentuknya adalah mempelajari masalah – masalah dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi – situasi tertentu , termasuk tentang hubungan kegiatan , sikap – sikap, pandangan, serta proses yang sedang berlangsung dan berpengaruh dari satu fenomena ( M. Nazir ; 1988 : 84 ), yang dalam hal ini objeknya adalah masyarakat Jepang . Kemudian, metode ini dideskripsikan dengan mengemukakan sisi historis dari fenomena tersebut yang tujuannya adalah untuk memahami kenyataan – kenyataan sejara dan lebih lanjut lagi dapat berguna untuk memahami situasi sekarang serta meramalkan perkembangannya di masa yang akan datang.

Penulisan ini juga dipaparkan melalui metode deskriptif, yaitu menuturkan dan menafsirkan data yang ada , misalnya tentang satu situasi yang dialami , satu hubungan , kegiatan, pandangan , sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang berlangsung , pengaruh yang sedang bekerja , kelainan yang sedang muncul , kecenderungan yang menampak , pertentangan yang meruncing, dan sebagainya ( Winarno Surachmad; 1972 : 172 ).


(16)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG

2.1 Pengertian Religi

Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada yang melakukan secara sungguh-sungguh, namun tidak orang yang hanya menganggap kegiatan tersebut sebagai ritual sehari-hari dan tidak merasakan bahwa itu sebagai kewajiban yang harus benar-benar dilaksanakan dengan penuh khidmat dan kesungguhan hati.

Masing-masing negara, daerah, bahkan setiap individu pasti memeluk dan meyakini agama atau kepercayaan yang mungkin berbeda satu sama lainnya. Namun, perbedaan yang terlihat hanyalah dari segi pelaksanaan ibadah atau tata cara berdo’a. Karena setiap agama memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menuju kepada kebaikan, perdamaian, kebersamaan dan meraih kasih sayang dari Yang Maha Kuasa, tuhan yang menciptakan seluruh makhluk dan alam semesta ini.

Keyakinan tersebut merupakan kekuatan setiap individu untuk terus bertahan dan menjalankan kehidupan ini dengan baik. Bagi orang-orang yang ingin mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup, akan melaksanakan kewajibannya dengan baik sehingga akan mendapatkan ketenangan hidup lahir dan bathin.

Setiap agama mengatur tata cara hubungan manusia dan mengatur hubungan manusia dengan tuhan (Waridah Siti.dkk,2001: 176).


(17)

Dengan keberadaan agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat akan menciptakan kerukunan diantara sesama manusia. Agama juga dapat menciptakan ketenangan bathin bagi setiap individu. Ada beberapa fungsi agama dalam kehidupan manusia (Waridah Siti, dkk, 2001 : 176) yaitu:

1. Agama sebagai pedoman prinsip benar dan salah, juga memberikan tuntunan agar manusia mengenal hal-hal yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan.

2. Agama sebagai pedoman pengungkapan perasaan kebersamaan (kolektif), yaitu merupakan pedoman bagi setiap tindakan manusia dalam mengenal arti kebersamaan.

3. Agama sebagai pedoman perasaan keyakinan (confidence), yaitu agar manusia dalam berusaha selalu disertai keyakinan yang bersumber dari agama yaitu kepercayaan terhadap Tuhan.

4. Agama sebagai pedoman keberadaan (existence), bahwa keberadaan manusia di dunia menyangkut segala hal yang ada hubungannya dengan diri manusia semata-mata atas kehendak-Nya. Dalam agama manusia adalah umat yang memiliki segala keterbatasan.

5. Agama sebagai pedoman estetika (keindahan), maksudnya adalah pengungkapan estetika (keindahan) yang merupakan bagian kebudayaan sangatlah disukai oleh manusia, rasa keindahan merupakan bagian jiwa manusia yang tidak dapat dipisahkan, agama berfungsi membatasi keindahan dengan moral, keindahan tidak boleh bertentangan dengan moral.


(18)

6. Agama sebagai pedoman rekreasi dan hiburan, bahwa manusia membutuhkan rekreasi dan hiburan yang bermacam-macam, tetapi tidak berarti tanpa mengenal batas, agama membatasi manusia dalam mencari kepuasan melalui rekreasi dan hiburan.

Dari fungsi-fungsi agama tersebut, dapat kita ketahui bahwa kita tidak akan merasakan ketenangan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan sehari-hari apabila masig-masing individu tidak meyakini keberadaan Penciptanya, karena hanya agama yang mengatur bagaimana seharusnya manusia hidup dan bertindak.

2.1.1. Konsep-konsep Dasar Religi Jepang

Masing-masing negara, bahkan setiap individumemiliki konsep yang berbeda dalam memahami arti religi (agama) dalam kehidupannya, namun perbedaan itu tetap berpangkal pada satu keyakinan terhadap adanya Tuhan. Mengenai konsep religi bagi masyarakat Jepang, ada dua konsep dasar ketuhanan. Konsep pertama menyatakan tuhan sebagai suatu entitas lebih tinggi yang memelihara, memberikan perlindungan dan cinta, konsep kedua adalah tuhan sebagagi dasar dari segala yang ada atau merupakan inti terdalam dari realitas ( Bellah, Robert. N,1992: 81).

Maka, dapat diketahui bahwa konsep dasar tentang religi Jepang juga mengajarkan hal yang sama pada seluruh penganutnya. Keberadaan sang Pencipta sudah seharusnya kita yakini dalam hati kita masing-masing. Hal itu


(19)

dapat kita rasakan, ketika kita merasakan kegelisahan atau kesedihan, dengan keyakinan terhadap Tuhan akan dapat memberi ketenangan.

Begitu juga pada saat hadirnya kebahagian akan timbul rasa syukur atas karunia tersebut. Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa Jepang merupakan salah satu negara religius, dan dalam satu tahun penuh terdapat kegiatan ritual keagamaan yang tetap berlangsung di negara paling timur ini.

2.1.2. Agama-Agama di Jepang pada masa feodal

Di Jepang, kebebasan agama dijamin bagi semua orang berdasarkan Undang-Undang dasar, pasal 20 yang menyatakan bahwa :

”Tidak satu pun organisasi agama dapat menerima hak istimewa dari negara, dan tidak satu pun dapat mempunyai wewenang politik apa pun. Tidak seorang pun dapat dipaksa mengambil bagian dalam kegiatan, perayaan, upacara atau praktek agama. Negara dan instaninya harus membatasi diri tidak melakukan pendidikan agama atau kegiatan agama apa pun” (Japan Echo Inc. 1989:113)

Jepang mengenal beberapa agama dalam kehidupan masyarakatnya, diantaranya adalah Shinto, Budha, dan kong Fu Tse. Dari beberapa agama tersebut shinto merupakan agama asli masyarakat Jepang, keberadaanya tetap terpelihara sampai saat ini. Di samping agama yang ada tersebut, Jepang juga memiliki banyak aliran-aliran kepercayaan yag juga berkembang pesat dalam kehidupan warganya.


(20)

Walaupun beraneka ragam agama yang dianut oleh penduduk yang bermukin di negeri sakura ini, tetapi tetap ada Undang-Undang yang telah ditetapkan telah dapat memberikan ketenangan bagi seluruh masyarakat. Ada beberapa agama yang dianut oleh penduduk yang berada di Jepang saat ini, yaitu sebagai berikut :

2.1.2.1. Shinto

Agama asli Jepang adalah Shinto, yang berakar pada kepercayaaan animis orang Jepang kuno. Shinto berkembang menjadi agama masyarakat dengan tempat pemujaan setempat untuk dewa rumah tangga dan dewa-dewa pelindung setempat. Shinto adalah salah satu agama (kepercayaan masyarakat) yang banyak dianut orang Jepang.

Kegiatan peribadatannya mengutamakan pemujaaan terhadap arwah nenek moyang dan alam lingkungannya, sehingga para penganut agama Shinto mempercayai banyak dewa. Mitos mengenai asal keturunan dewa keluarga kaisar pernah menjadi salah satu prinsip dasar Shinto, yang menyatakan bahwa orang Jepang adalah keturunan dewa matahari (Amaterau Ookami).

Setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868, dan khususnya selama Perang Dunia II, Shinto diangkat oleh penguasa menjadi agama negara.Namun, berdasarkan Undang-Undang dasar setelah perang, Shinto tidak lagi diberi dukungan resmi ataupun hak khusus, walaupun masih memegang peran pada upacara penting dalam berbagai segi kehidupan Jepang. Masih banyak orang


(21)

Jepang dewasa ini mengikuti upacara Shinto pada acara pernikahan (Japan Echo Inc. 1989:114).

Kegiatan ibadah berlangsung di kuil shinto yang disebut Jinja, yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa, ataupun dapat juga digunakan sebagai tempat upacara lain, seperti acara pernikahan.

Jinja sering dikunjungi baik oleh orang yang beragama Shinto maupun orang tidak beragama Shinto, misalnya pada saat hatsumode (Hatsumairi) ketika tahun baru, omiyamairi beberapa minggu setelah seseorang melahirkan , atau pada saat Shichigosan bagi anak perempuan yang berusia 3 atau 7 tahun dan anak laki-laki yang berusia 3 atau 5 tahun.

Agama Shnto juga memiliki sebutan khusus untuk para pendeta mereka, yaitu kanmushi. Ia bertugas melaksanakan upacara-upacara ritual agama Shinto di Jinja, termasuk dalam pengelolaan keuangan tempat tersebut. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh seorang kanmushi antara lain mempersembahkan sesaen dan lelkaukan pemujaan terhadap para dewa, melakukan pembersihan diri (baik orang maupun barang) bagi pengunjung yang menginginkan kesehatan, keselamatan, kebahagiaan atau kesejahteraan dan ia juga bertugas melaksankan upacara pernikahan.

Dalam pengelolaan keuangan kuil, kanmushi turut mengawasi pendapatan dan pengeluaran keuangan, seperti dalam perhitungan hasil penjualan Omikuji, atau Engimono serta dalam perhitungan Saisen (uang sekolah) yang terkumpul dari pengunjung kuil. Para penganut agama Shinto


(22)

memiliki tempat pemujaan yang khusus disediakan di rumah-rumah mereka, benda ini disebut dengan kamidana (altar shinto).

Kamidana adalah benda/tempat yang dianggap suci bagi penganut agama shinto dan dipasang dalam rumah untuk mengadakan pemujaan terhadap arwah leluhur juga para dewa. Namun, tidak semua orang Jepang yang melengkapi rumahnya dengan kamidana ini.

Di dalam kamidana antara lain tersimpan Omamori, Kanai anzen, dan sebagainya yang dipercaya sebagai benda yang memiliki kekuatan untuk menjaga kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Di depan Kamidana biasanya orang Jepang menyalakan lilin dan melengkapinya dengan berbagai makanan, minuman (mis: sake), dan sebagainya.

2.1.2.2. Budha

Agama Budha adalah agama terbesar penganutnya di Jepang, yang pada akhir tahun 1985 mempunyai 92 juta pemeluk, masuk ke Jepang dari india melalui Cina dan Korea kira-kira pada tahun 538 Masehi (Japan Echo Inc. 1989:113).

Setelah memperoleh dukungan kaisar, agama Budha disebarluaskan oleh para penguasa ke semua pelosok. Pada awal abad ke-9, agama ini secara khusus melayani kaum bangsawan istana.

Pada periode Kamakura (1192-1338), suatu periode keresahan besar politik dan kekacauan sosial, muncullah banyak sekte baru Budhis yang menawarkan harapan keselamatan baik kepada prajurit maupun kepada rakyat


(23)

petani. Agama Budha bukan hanya berkembang sebagai agama, tetapi juga banyak turut memperkaya kesenian dan ilmu pengetahuan.

Selama periode Edo (1603 - 1868) ketika pemerintahan keshogunan yang bertangan besi membawakan damai dan kemakmuran yang tinggi dalam masyarakat,ternyata vitalitas spritual ajaran Budha malah banyak menyurut.

Agama Budha di Jepang termasuk agama Budha Mahayana (wahana besar) di Asia Timur, dan pada umumnya mengajarkan keselamatan di taman firdaus untuk semua orang, bukan kesempurnaan perseorangan, dan mempunyai bentuk yang jauh berbeda dengan bentuk agama Budha yang ditemukan di bagian-bagian lain di Asia Tenggara. Agama Budha di Jepang memiliki banyak aliran atau sekte-sekte yang keberadaannya masih dapat ditemukan sampai saat ini.

Semua sekte agama Budha di Jepang dewasa ini, tergolong atau dapat diselusuri jejak asalnya pada cabang-cabang utama agama Budha yang masuk ke Jepang diantaranya adalah: jodo, jososhin, nichiren, shingon, tendai, dan zen (Sudjianto,2002:7 ).

Kemudian, untuk pelaksanaan ritual penyembahan, biasanya pemeluk Budha memasang butsudan ( Altar Budha ), yaitu benda atau tempat yang dianggap suci dan dipasang di dalam rumah untuk melakukan pemujaan. Namun tidak semua orang Jepang melengkapi rumahnya dengan butsudan.

Di dalam butsudan biasanya tersimpan patung Budha kecil, plakat papan

nama-nama nenek moyang yang sudah meninggal, lonceng kecil, juga tempat membakar dupa atau menyalakan lilin. Di depan butsudan biasanya orang


(24)

Jepang menyajikan sesajen dan melakukan pemujaan atau peribadatan sambil membakar kemenyan.

Kalau agama Shinto memiliki tempat peribadatan khusus, maka begitu juga halnya dengan agama Budha. Tera adalah kuil Budha, bangunan tempat peribadatan dimana para pendeta Budha tinggal untuk melakukan pertapaan atau melaksanakan upacara-upacara agama Budha.

Kuil yang dijadikan tempat patung Budha ini sering dikunjungi baik oleh orang yang beragama Budha maupun orang yang bukan beragama Budha. Biasanya sangat ramai dikunjungi misalnya oleh orang-orang yang melakukan hakamairi ( akan berziarah ), ke makam nenek moyangnya pada waktu festival

Bon atau yang lebih dikenal dengan istilah Obon, atau oleh orang yang

mengunjunginya pada saat Omisoka ( malam tahun baru ) ataupun pada saat hatsumairi ( awal tahun baru ).

Pendeta Budha dikenal dengan sebutan Oboosan atau disebut juga

Soo.Ia bertugas melaksanakan atau memimpin upacara-upacara ritual agama

Budha. Para Oboosan tinggal di tera untuk melakukan pertapaan dan mengatur pemeliharaan makam yang ada di sekitarnya.

Mereka berpenampilan berbeda dengan kebanyakan orang, tidak memelihara rambut di kepalanya dan memakai pakaian khas seorang pendeta Budha, diantara mereka ada yang berkeluarga dan ada juga yang tidak berkeluarga.


(25)

2.1.2.3. Kong Fu Tse

Masyarakat Jepang lebih cenderung memandang kepercayaan Kong Fu Tse sebagai kode pedoman akhlak, dan bukan sebagai agama. Masuk ke Jepang pada permulaan abad ke-6.

Kong Fu Tse mempunyai dampak yang besar pada pemikiran dan perilaku Jepang, tetapi pengaruhnya telah berkurang sejak Perang Dunia II ( Japan Echo Inc. 1989 : 115 ).


(26)

BAB III

PERANAN RELIGI DALAM MEMODERNISASIKAN JEPANG

PERIODE RESTORASI MEIJI

3.1 Pendidikan

Salah satu jalan yang dianggap menjadi dasar kemajuan dan

kemakmuran bangsa adalah pendidikan. Hal ini pulalah yang terjadi di

Jepang. Pendidikan berkembang pesat sejak lahirnya Restorasi Meiji.

Masyarakat Jepang sadar betul akan arti pendidikan. Oleh karena itu, sejak

awal pengenalan pendidikan Barat, relatif tidak ada masalah dalam

menggugah masyarakat Jepang untuk sekolah. Sejak proses modernisasi

mulai berjalan, diskriminasi dalam masyarakat secara formal dapat

dihapuskan yang imbasnya sampai pada bidang pendidikan yakni setiap

orang diberi kesempatan yang sama untuk belajar.

Pada dasarnya, penekanan pendidikan di Jepang telah dimulai pada

masa feodalisme Tokugawa. Dengan mereguk semangat dari ide-ide Cina

yang menekankan pentingnya membaca dan mempelajari buku, maka pada

babakan Tokugawa akhir, Jepang sesungguhnya telah menghasilkan

”melek huruf” dan lembaga pendidikan yang melampaui Cina dan Korea.

Pada masa itu, pembelajaran banyak dilakukan melalui pemberian

pelajaran tersendiri, tetapi pada pertengahan abad ke-19 sebagian besar


(27)

daerah-daerah feodal mempunyai sekolah-sekolah resmi untuk pemuda

samurai mereka. Terdapat lebih dari seribu akademi swasta yang

menerima rakyat jelata maupun samurai dan ada puluhan ribu lembaga desa

yang dikenal sebagai terakoya yang memberikan mata pelajaran dasar membaca, menulis, dan berhitung, serta pendidikan budi pekerti. Hingga pada saat itu (pertengahan abad ke-19) disebutkan bahwa presentase penduduk yang melek huruf adalah kira-kira 45 persen kaum pria dan 15 persen kaum wanita- angka-angka yang tidak jauh di bawah angka-angka –angka-angka negara Barat yang termaju ketika itu (manusia Jepang, 1982). Tetapi pendidikan yang teratur dan modern baru dimulai dalam Restorasi Meiji.

Para pemimpin Restorasi Meiji menyadari bahwa Jepang tidak akan mungkin mengejar ilmu pengetahuan dan Teknologi Barat kalau pendidikan melalui sekolah tidak diorganisasikan dan diselenggarakan dengan luas dan teratur. Oleh sebab itu, pada tahun 1871 – tahun keempat sejak berdirinya pemerintahan baru – dibentuklah kementrian pendidikan. Lalu, pada tahun berikutnya (1872) dibuat suatu rencana ambisius untuk suatu sistem sekolah yang sangat terpusat dan seragam berdasarkan model Perancis dan bertujuan mencapai tingkat melek huruf bagi umum. Sejak itu, ditetapkan kewajiban belajar bagi seluruh rakyat selama 4 tahun. Bukan tugas yang mudah untuk menjadikan rencana itu suatu kenyataan, mengingat Jepang pada saat itu tidak mempunyai cukup guru, gedung sekolah, atau dana. Tetapi karena adanya tekad untuk melaksanakannya, maka lambat laun pelaksanaan ketetapan itu berjalan semakin baik. Maka pada tahun 1907 pendidikan mulai dilembagakan seperti


(28)

sistem yang berlaku di Jerman atau Perancis, yakni sistem 6-5-3-3 tahun. Artinya, 6 tahun pendidikan dasar yang bersifat campuran (koedukasional) yang pada tahun itu juga diwajibkan dan seluruhnya cuma-cuma. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan memperoleh pengajaran secara bersama, tidak ada diskriminasi dalam pelajaran yang diberikan. Di atas sekolah dasar ada satu sistem yang bersifat elit : sekolah menengah pertama 5 tahun, terpisah untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Pendidikan menengah atas (sekolah menengah atas) 3 tahun yang terbatas untuk anak laki-laki saja yang dapat dipersamakan dengan Gymnasium Jerman atau Lycee Perancis. Lalu, pendidikan unicersitas 3 tahun. Di samping itu, ada macam-macam kursus keahlian. Pendidikan menengah yang 5 tahun itu tidak perlu ditempuh sepenuhnya, apabila seseorang hendak melanjutkan pendidikannya lebih tinggi. Misalnya saja seseorang yang akan sekolah ke universitas dapat menyelesaikan pendidikan menengah atas (higher education) 3 tahun dan universitas 3 tahun. Dan orang yang hendak masuk pendidikan teknis atau guru cukup menyelesaikan 3 tahun pendidikan menengah.

Seluruh sistem dijalankan dengan tegas dan seragam. Disinilah terciptanya masa melek huruf prajurit, buruh dan wanita rumah tangga, keahlian teknik tingkatan menengah yang memadai – aspek pendidikan yang tidak cukup dihargai oleh banyak negara modern – dan sejumlah kecil pemuda yang sangat berbakat muncul dari universitas-universitas untuk menduduki posisi-posisi pimpinan dalam pemerintahan dan masyarakat. Bagian terbesar dari pendidikan, termasuk seluruh inti pusatnya, berada dalam tangan pemerintah. Ada


(29)

sekolah-sekolah misionaris Kristen dan beberapa lembaga agama Budha atau swasta lainnya, terutama pada tingkatan sekolah menengah dan sekolah teknik atas, dan sekolah-sekolah Kristen penting fungsinya dalam pendidikan wanita, tetapi sekolah - sekolah yang lain ini hanyalah tambahan pada sistem tersebut.

Pada tingkatan teratas terdapat Universitas Tokyo. Ini muncul sebagai gabungan dari 3 sekolah shogun yang diwarisi dari masa Tokugawa – sebuah akademi Kong Fu Tse (kemudian dihapuskan), fakultas kedokteran dan fakultas pengetahuan asing – yang setelah mengalami beberapa reorganisasi diberi nama Universitas Tokyo dalam tahun1877, dan akhirnya Universitas Kekaisaran Tokyo dalam tahun 1886.

Pemerintah membentuk Universitas Kekaisaran satu demi satu. Misalnya, Universitas Kyoto dalam tahun 1897, Tohoku (di Sendai) dalam tahun 1907, Hokkaido (di Sapporo) dalam tahun 1918, dan seterusnya. Seiring dengan itu, berkembang pula lembaga-lembaga pendidikan swasta. Yang paling tua dan paling terkenal diantaranya adalah Keio dan Waseda. Keio tumbuh dari sebuah akademi yang didirikan sebelum Restorasi Meiji oleh Fukuzawa Yukichi – tokoh besar yang sangat mempopulerkan pengetahuan Barat – dan Waseda didirikan dalam tahun 1882 1882 oleh Okuma- yang didepak dari oligarki yang berkuasa pada tahun sebelumnya. Juga terdapat Universitas swasta besar lainnya, seperti Meiji, Nihon, dan Chuo yang tumbuh dewasa sekitar peralihan abad ini, pertama-tama untuk mengajarkan ilmu hukum modern. Kelima lembaga swasta ini dan banyak lagi yang lain, sebagian besar bertempat di Tokyo.


(30)

Pada waktu itu universitas negeri (kekaisaran/pemerintah) belum dapat memenuhi keperluan untuk menampung para lulusan Sekolah Lanjutan Atas, maka peranan universitas swasta dalam membentuk manusia Jepang yang diperlukan dalam modernisasi berbagai aspek kehidupan, amatlah besar. Maka yang perlu menjadi perhatian dari mobilitas perkembangan universitas-universitas swasta seperti Keio, Waseda, Meiji dan lain-lain adalah bagaimana mereka dapat mencapai mutu yang sesuai dengan universitas negeri dan bagaimana memelihara mutu itu. Ternyata, selain mengadopsi sistem pendidikan, mula-mula mereka juga banyak menggunakan tenaga pengajar dari Eropa dan AS, yaitu sebelum membentuk tenaga pengajar Jepang sendiri. Karena pendiri universitas swasta, seperti Fukuzawa Yukichi, yang mendirikan universitas Keio, tidak mau tergantung pada kesediaan tenaga pengajar dari universitas pemerintah semata-mata. Jadi, universitas swasta harus membentuk tenaga pengajar sendiri, maupun dari para lulusan universitas pemerintah yang bersedia melepaskan hubungannya dengan pemerintah.

Kegiatan pendidikan di Jepang pasca Restorasi Meiji inipun terus bergerak maju. Stabil dan dinamis. Artinya, pendidikan selalu dinamis mencari yang baru, memperbaiki diri, memajukan diri agar tidak ketinggalan zaman, bahkan berusaha menyongsong zaman yang akan datang. Dengan demikian, pendidikan di Jepang menjalankan salah satu fungsinya dengan baik yang disamping menghasilkan lulusan, juga memberi pengaruh positif terhadap pembangunan mayarakat. Akibatnya, secara berangsur-angsur menaikkan kedudukan internasionalnya serta tumbuh sebagai negara modern yang sesuai


(31)

dengan harapan mereka di awal Restorasi Meiji, yakni menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa Eropad dan Amerika.

3.2 Politik

Keadaan politik dalam negeri Jepang menggambarkan pula

gejala-gejala yang terdapat dalam masyarakat Jepang pada umumnya. Dalam

masa shogun Tokugawa dan sebelumnya, kekuasaan politik ada di tangan

shogun, yaitu penguasa militer tertinggi di Jepang. Ia memperoleh

kekuasaan itu dari Tenno Heika yang menjadi simbol kesatuan Jepang dan

pendeta tertinggi dalam agama Shinto. Pada waktu Tokugawa, pusat

kekuasaan politik terpisah dari tempat kediaman Tenno Heika. Tokugawa

menempatkan istanya di Edo (yang sekarang bernama Tokyo), sedangkan

istana Tenno Heika di Kyoto yang tetap dianggap ibu kota Jepang pada

waktu itu.

Shogun menjalankan kekuasaan politiknya di seluruh negara melalui

para samurai ang menjadi daimyo di tiap-tiap bagian Jepang. Sebab itu

kaum samurai tidak saja merupakan kasta militer, tetapi juga kelas

penguasa politik atau administrasi. Oleh karena kekuasaan shogunat

Tokugawa Jepang mengisolasikan diri dari dunia luar dan dapat

memelihara perdamaian dalam negeri selama lebih dari 250 tahun

berturut-turut, maka samurai lebih banyak bersifat penguasa administrasi

negara daripada pejuang milter. Kekuasaan shogun berlaku secara turun


(32)

temurun dalam keluarga Tokugawa. Akibatnya, tidak semua shogun

memiliki kemampuan memerintah yang sama. Karena itu ada

kecenderungan, bahwa apabila shogun tidak berkepribadian yang kuat,

maka yang berkuasa sebenarnya adalah lingkungan shogun.

Ketika Jepang dipaksa membuka diri oleh dunia Barat, kekuasaan

shogunat Tokugawa sedang berada dalam keadaan lemah. Kesempatan ini

dipergunakan oleh clan Satsuma dari Kagoshima (Kyushu) dan clan

Choshu dari Yamaguchi untuk meruntuhkan kekuasaan Tokugawa atas

Jepang. Kedua clan ini berhasil meyakinkan Tenno Heika waktu itu untuk

mengambil kembali kekuasaan politik dan meniadakan shogun.

Tenno Heika Matsuhito dan kemudian dinamakan Meiji Tenno (1852

– 1912). Ketika masih muda, pada umur 15 tahun telah menggantikan

ayahnya, Komei Tenno yang meninggal. Meiji Tenno setuju dengan

pikiran pemimpin-pemimpin Satsuma dan Choshu. Dengan kemampuan

militer mereka, Tokugawa dapat dikalahkan dan Meiji Tenno pindah dari

Kyoto ke Edo, yang kemudian dinamakan Tokyo (”ibu kota di Timur”).

Dan sejak 1868 dimulailah pembangunan Jepang yang dikenal dengan

nama Restorasi Meiji.

Kita sudah mengetahui dari bab sebelumnya bahwa sejak Restorasi

Meiji, Jepang berusaha memperoleh ilmu pengetahuan Eropa untuk

mencegah penjajahan atau dominasi Eropa atas Jepang. Dalam usaha itu,


(33)

Jepang meniru banyak hal yang ditemukan dalam kehidupan

negara-negara Eropa, bahkan cara berpakaian dan musik Eropa pun ditirunya dan

digunakan dalam kehidupan Jepang. Sebenarnya segala peniruan itu tidak

hanya dilihat dari sudut manfaat praktis, tetapi mengandung juga unsur

psikologis. Sebab dengan menunjukkan kepada dunia luar bahwa Jepang

dapat melakukan hal-hal yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, maka

Jepang berharap akan memperoleh pengakuan dari segala pihak bahwa ia

sekurang-kurangnya sama dengan Eropa. Sebab kalau dapat diakui sama

oleh bangsa Eropa, ia tidak dapat diperlakukan seperti

bangsa-bangsa Asia lainnya, atau bahkan mendapat perlakuan yang sama dengan

bangsa-bangsa Eropa. Sehingga bangsa-bangsa lain yang memandang

tinggi kepada bangsa-bangsa Eropa juga memandang tinggi kepada

Jepang. Oleh sebab itu, juga dalam dunia politik, Jepang berusaha meniru

Eropa. Pemerintahan di bawah Meiji Tenno mulai disusun seperti di Eropa

Barat.

Pembantu-pembantu Meiji Tenno disusun dalam suatu pemerintahan

yang dibagi dalam fungsi-fungsi yang lazim dikenal di Eropa waktu itu.

Kemudian diadakan juga fungsi Perdana Menteri dan Menteri-menteri

yang mengepalai departemen atau kementerian sejak tahun 1885.

demikian pula dirasakan perlu untuk membentuk partai-partai politik

seperti di Eropa. Pemerintahan yang membantu Meiji Tenno, terutama


(34)

terdiri dari orang-orang Satsuma dan Chusha yang sebelumnya aktif

membantu Tenno mengalahkan Tokugawa. Sebagai oposisi terhadap

dominasi Satsuma dan Choshu, adalah Hagaki Taisuke (1837 – 1919)

dari Tosa di Shikoku yang membentuk partai Aikoku Koto. Tetapi partai

ini tidak banyak berhasil dan kemudian mati.

3.3. Sosial Budaya

Sebelum melanjutkan pembicaraan, perlu kiranya penulis menjelaskan alasan mengapa pada sub bab ini masalah sosial dibahas berdampingan dengan budaya. Karena hakekat dari sistem sosial yang berlaku, sebagian besar berperan dalam pembentukan budaya. Dan dalam hal ini, budaya didefenisikan sebagai segala hasil pikiran, perasaan, kemauan dan karya manusia, secara individual atau kelompok untuk meningkatkan hidup dan kehidupan manusia, atau secara singkat dapat dikatakan bahwa budaya adalah cara hdup yang telah dikembangkan oleh masyarakat. Dengan demikian, budaya bisa dalam bentuk benda-benda konkret dan bisa juga bersifat absrak. Benda-benda konkret, misalnya : lukisan, bangunan, rumah, mobil, barang-barang seni, tindakan-tindakan seni, dan sebagainya. Sedangkan contoh yang abstrak adalah cara berpikir ilmiah, kemampuan menciptakan sesuatu, imajinasi, cita-cita, kemauan yang kuat untuk mencapai sesuatu, keimanan, dan sebagainya.

Mengingat begitu luasnya keadaan sosial dan budaya yang mengalami perubahan-perubahan pasca Restorasi Meiji di Jepang, maka penulis membatasinya pada hal-hal yang bersifat fundamendal dan umum saja.


(35)

Misalnya, dalam bidang sosial adalah soal penghapusan kelas sosial dalam masyarakat dengan segala konsekwensinya.

Sebelum Restorasi Meiji, ada penggolongan kelas masyarakat yang dibagi dalam golongan samurai (bangsawan), petani, tukand, dan pedagang. Atau dalam bahasa Jepangnya dikenal dengan istilah shi- no- ko- sho. Bahkan ada golongan yang lebih rendah lagi yang dapat disamakan dengan kaum Sudra di India, yang kalau di Jepang disebut dengan Eta. Yang termasuk golongan Eta ini adalah orang-orang beserta keluarganya yang pekerjaannya dianggap sangat hina di mata masyarakat Jepang, antara lain adalah orang-orang yang pekerjaannya berkaitan dengan kulit hewan, karena orang Jepang yang beragama Budha menganggap pekerjaan membunuh hewan dan yang berhubungan dengan itu sebagai pekerjaan yang rendah karena berhubungan dengan pembersihan kotoran dan pemakaman. Pada saat itu, seseorang tidak mungkin berganti status, atau pindah dari satu golongan ke golongan lain. Kecuali samurai sebagai golongan tertinggi. Ini pernah terjadi ketika ada seorang samurai menjadi petani.

Pasca Restorasi Meiji, rangking antara golongan itu secara formal dihapuskan dan semua orang dapat berpindah status dengan kecakapan dan pilihannya. Bahkan orang-orang dari keluarga yang termasuk kaum Eta secara formal tidak dibatasi geraknya. Dan samurai sebagai golongan, dihapuskan. Walaupun pengaruhnya masih ada, namun berangsur-angsur hilang seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi.


(36)

Modernisasi sistem keluarga juga terjadi di masa Meiji ini. Keluarga

mulai diorganisasikan seperti keluarga-keluarga yang ada di Barat, yakni keluarga nuklir yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hal ini terjadi karena pengaruh banyaknya perusahaan-perusahaan yang didirikan di kota yang mengakibatkan banyak orang muda pindah ke kota untuk mengadu nasib. Hal inilah yang memunculkan sistem keluarga nuklir itu. Karena kalau keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar. Di dalam keluarga dilaksanakan suatu jenis usaha tertentu, tradisi tertentu, dan simbol-simbol keluarga (Hamzon Situmorang, 2000 : 42). Sementara keadaan di perkotaan sudah tidak memungkinkan untuk itu. Maka ciri-ciri khas keluarga tradisional yang pernah ada pun lambat laun menipis. Karena mereka tidak lagi harus menjalankan usaha tertentu keluarga, tidak ada tradisi dan simbol-simbol keluarga tersebut. Hanya saja, bila keluarga perkotaan itu orang tuanya di desa meninggal dunia atau anaknya meninggal dunia, maka mereka masih membuat altar Shinto dan Budha sebagai tempat pemujaan leluhur dan juga membuat kuburan keluarga..


(37)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan yang meliputi keterangan mengenai masayarakat Jepang pada Zaman sebelum dan setelah Restorasi Meiji , penulis akhirnya mengambil beberapa kesimpulan bahwa:

1. Feodalisme di Jepang lahir karena adanya kekuasaan kaum samurai (

bushi) yang konsekwensinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan sejarah Jepang selanjutnya.

2. Kebijakan Isolasi negara ( sakoku ) oleh rezim Tokugawa yang dimaksudkan sebagai langkah untuk melestarikan keterpaduan struktur sosial dan politik, sebenarnya juga memberikan dampak positif bagi stabilitas di Jepang, karena justru dimasa inilah bangsa Jepang membangun serta memantapkan homogenitas dan identitas diri yang kuat. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya – Restorasi Meiji- mereka tetap bertahan. Proses modernisasi pasca Restorasi Meiji tidak menggangu kepribadian Jepang secara negatif.

3. Seiring kepentingan negara-negara Barat untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di Asia, turut mendesak Jepang untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di Asia, turut mendesak Jepang untuk mengakhiri isolasinya. Hal ini diawali dengan datangnya Komodor Perry dari Amerika pada tahun 1853 yang setahun kemudian berhasil mengadakan


(38)

perjanjian teritorial dengan Jepang. Itulah akhir dari pemerintahan shogun Tokugawa dan awal jalannya pemerintahan Meiji.

4. Restorasi Meiji merupakan awal dari proses modernisasi dan prosesnya dijalankan dengan 5 langkah radikal dan fundamental, yaitu:

1. penghapusan kelas sosial dalam mayarakat 2. pelembagaan sistem pendidikan

3. bersikap untuk lebih berorientasi pada kekuatan sendiri 4. penerapan sistem wajib militer

5. perubahan sistem perpajakan

4.2. SARAN

Melalui analisa yang telah dilakukan tentang modernisasai di Jepang, maka ada beberapa sisi positif yang dapat diambil. Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Berhasilnya penghapusan kelas sosial masyarakat dalam mengubah bebrapa aspek kehidupan secara fundamental di era Meiji tersebut memberikan pelajaran bahwa sebnarnya tiada yang salah dengan perbedaan jika dipandang dari sudut yang benar. Karena itu, tidak seharusnya perbedaan menjadi jurang yang membuat kita terpisah.Bagaimanapun solidaritas dan kerjasama antar sesama wajib dikembangkan karena akan memberikan hasil yang maksimal dalam segala hal.


(39)

2. Dampak positif isolasi negara yang pernah ada di Jepang, dapat kita terapkan dalam diri kita khususnya dan bagi bangsa ini umumnya tanpa harus mengikuti kebijakan isolasi juga. Karena, secara logika pun tidak beralasan dan tidak memungkinkan lagi bagi kita untuk mencontoh cara isolasi tersebut.

3. Kesadaran akan arti pentingnya pendidikan dan pelembagaan sistem pendidikan di negeri ini masih perlu dibenahi, yang salah satu caranya adalah dengan belajar dari keberhasilan Jepang pasca Restorasi Meiji. 4. Mulailah bersikap untuk lebih berorientasi pada kekuatan sendiri, tidak

tergantung pada bantuan luar. Walaupun meninggalkan sifat ketergantungan secara mutlak adalah mustahil, teapi jangan lantas mendominasikannya. Karena self relliance (sifat berdikari) yang sampai sekarang ini masih dimiliki bangsa Jepang, dapat memberikan sugesti dan bergerak maju.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Bellah,Robert N. 1982. Religi Tokugawa ( Terj.Waradah Hafidz ) . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Benedict,Ruth.1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni ( Terj. Pamudji ) . Jakarta : Sinar Harapan

Emeretus.1987. Sejarah Kebudayaan Jepang Sebuah Perspektif.Jakarta : Kementrian Luar Negeri Jepang

Ishii,Ryosuke. 1988. Sejarah Institusi Politik Jepang.Jakarta:PT Gramedia Kunio, yoshihara. 1983. Perkembangan Ekonomi Jepang Sebuah

Pengantar.Jakarta:PT Gramedia

Lubis, Mukhtar .1981.Kekuatan Yang Membisu. Jakarta : Sinar Harapan Nasution, S dan Thomas., M.1986 .Buku Penuntun Membuat Tesis Skripsi

Disrtasi Makalah.Jakarta:Bumi Aksara

Sakamoto, Taro.1982. Jepang Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:Gajah Mada University Press

Situmorang ,Hamzon .1995.Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan Kepada

Keshoghunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603 – 1868 ) di Jepang.

Medan : USU Press

Suryohadiprojo, Sayidiman.1981. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam

Perjuangan Hidup.Jakarta: UI Press

Suradjaja, I Ketut .1984. Pergerakan Demokrasi Jepang . Jakarta: PT Karya Unipress


(1)

Misalnya, dalam bidang sosial adalah soal penghapusan kelas sosial dalam masyarakat dengan segala konsekwensinya.

Sebelum Restorasi Meiji, ada penggolongan kelas masyarakat yang dibagi dalam golongan samurai (bangsawan), petani, tukand, dan pedagang. Atau dalam bahasa Jepangnya dikenal dengan istilah shi- no- ko- sho. Bahkan ada golongan yang lebih rendah lagi yang dapat disamakan dengan kaum Sudra di India, yang kalau di Jepang disebut dengan Eta. Yang termasuk golongan Eta ini adalah orang-orang beserta keluarganya yang pekerjaannya dianggap sangat hina di mata masyarakat Jepang, antara lain adalah orang-orang yang pekerjaannya berkaitan dengan kulit hewan, karena orang Jepang yang beragama Budha menganggap pekerjaan membunuh hewan dan yang berhubungan dengan itu sebagai pekerjaan yang rendah karena berhubungan dengan pembersihan kotoran dan pemakaman. Pada saat itu, seseorang tidak mungkin berganti status, atau pindah dari satu golongan ke golongan lain. Kecuali samurai sebagai golongan tertinggi. Ini pernah terjadi ketika ada seorang samurai menjadi petani.

Pasca Restorasi Meiji, rangking antara golongan itu secara formal dihapuskan dan semua orang dapat berpindah status dengan kecakapan dan pilihannya. Bahkan orang-orang dari keluarga yang termasuk kaum Eta secara formal tidak dibatasi geraknya. Dan samurai sebagai golongan, dihapuskan. Walaupun pengaruhnya masih ada, namun berangsur-angsur hilang seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi.


(2)

Modernisasi sistem keluarga juga terjadi di masa Meiji ini. Keluarga mulai diorganisasikan seperti keluarga-keluarga yang ada di Barat, yakni keluarga nuklir yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hal ini terjadi karena pengaruh banyaknya perusahaan-perusahaan yang didirikan di kota yang mengakibatkan banyak orang muda pindah ke kota untuk mengadu nasib. Hal inilah yang memunculkan sistem keluarga nuklir itu. Karena kalau keluarga tradisional Jepang cenderung merupakan keluarga besar. Di dalam keluarga dilaksanakan suatu jenis usaha tertentu, tradisi tertentu, dan simbol-simbol keluarga (Hamzon Situmorang, 2000 : 42). Sementara keadaan di perkotaan sudah tidak memungkinkan untuk itu. Maka ciri-ciri khas keluarga tradisional yang pernah ada pun lambat laun menipis. Karena mereka tidak lagi harus menjalankan usaha tertentu keluarga, tidak ada tradisi dan simbol-simbol keluarga tersebut. Hanya saja, bila keluarga perkotaan itu orang tuanya di desa meninggal dunia atau anaknya meninggal dunia, maka mereka masih membuat altar Shinto dan Budha sebagai tempat pemujaan leluhur dan juga membuat kuburan keluarga..

xxxvi


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan yang meliputi keterangan mengenai masayarakat Jepang pada Zaman sebelum dan setelah Restorasi Meiji , penulis akhirnya mengambil beberapa kesimpulan bahwa:

1. Feodalisme di Jepang lahir karena adanya kekuasaan kaum samurai ( bushi) yang konsekwensinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan sejarah Jepang selanjutnya.

2. Kebijakan Isolasi negara ( sakoku ) oleh rezim Tokugawa yang dimaksudkan sebagai langkah untuk melestarikan keterpaduan struktur sosial dan politik, sebenarnya juga memberikan dampak positif bagi stabilitas di Jepang, karena justru dimasa inilah bangsa Jepang membangun serta memantapkan homogenitas dan identitas diri yang kuat. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya – Restorasi Meiji- mereka tetap bertahan. Proses modernisasi pasca Restorasi Meiji tidak menggangu kepribadian Jepang secara negatif.

3. Seiring kepentingan negara-negara Barat untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di Asia, turut mendesak Jepang untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya di Asia, turut mendesak Jepang untuk mengakhiri isolasinya. Hal ini diawali dengan datangnya Komodor Perry dari


(4)

perjanjian teritorial dengan Jepang. Itulah akhir dari pemerintahan shogun Tokugawa dan awal jalannya pemerintahan Meiji.

4. Restorasi Meiji merupakan awal dari proses modernisasi dan prosesnya dijalankan dengan 5 langkah radikal dan fundamental, yaitu:

1. penghapusan kelas sosial dalam mayarakat 2. pelembagaan sistem pendidikan

3. bersikap untuk lebih berorientasi pada kekuatan sendiri 4. penerapan sistem wajib militer

5. perubahan sistem perpajakan

4.2. SARAN

Melalui analisa yang telah dilakukan tentang modernisasai di Jepang, maka ada beberapa sisi positif yang dapat diambil. Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Berhasilnya penghapusan kelas sosial masyarakat dalam mengubah bebrapa aspek kehidupan secara fundamental di era Meiji tersebut memberikan pelajaran bahwa sebnarnya tiada yang salah dengan perbedaan jika dipandang dari sudut yang benar. Karena itu, tidak seharusnya perbedaan menjadi jurang yang membuat kita terpisah.Bagaimanapun solidaritas dan kerjasama antar sesama wajib dikembangkan karena akan memberikan hasil yang maksimal dalam segala hal.

xxxviii


(5)

2. Dampak positif isolasi negara yang pernah ada di Jepang, dapat kita terapkan dalam diri kita khususnya dan bagi bangsa ini umumnya tanpa harus mengikuti kebijakan isolasi juga. Karena, secara logika pun tidak beralasan dan tidak memungkinkan lagi bagi kita untuk mencontoh cara isolasi tersebut.

3. Kesadaran akan arti pentingnya pendidikan dan pelembagaan sistem pendidikan di negeri ini masih perlu dibenahi, yang salah satu caranya adalah dengan belajar dari keberhasilan Jepang pasca Restorasi Meiji. 4. Mulailah bersikap untuk lebih berorientasi pada kekuatan sendiri, tidak

tergantung pada bantuan luar. Walaupun meninggalkan sifat ketergantungan secara mutlak adalah mustahil, teapi jangan lantas mendominasikannya. Karena self relliance (sifat berdikari) yang sampai sekarang ini masih dimiliki bangsa Jepang, dapat memberikan sugesti dan bergerak maju.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bellah,Robert N. 1982. Religi Tokugawa ( Terj.Waradah Hafidz ) . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Benedict,Ruth.1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni ( Terj. Pamudji ) . Jakarta : Sinar Harapan

Emeretus.1987. Sejarah Kebudayaan Jepang Sebuah Perspektif.Jakarta : Kementrian Luar Negeri Jepang

Ishii,Ryosuke. 1988. Sejarah Institusi Politik Jepang.Jakarta:PT Gramedia Kunio, yoshihara. 1983. Perkembangan Ekonomi Jepang Sebuah

Pengantar.Jakarta:PT Gramedia

Lubis, Mukhtar .1981.Kekuatan Yang Membisu. Jakarta : Sinar Harapan Nasution, S dan Thomas., M.1986 .Buku Penuntun Membuat Tesis Skripsi Disrtasi Makalah.Jakarta:Bumi Aksara

Sakamoto, Taro.1982. Jepang Dulu dan Sekarang. Yogyakarta:Gajah Mada University Press

Situmorang ,Hamzon .1995.Perubahan Kesetiaan Bushi dari Tuan Kepada Keshoghunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603 – 1868 ) di Jepang. Medan : USU Press

Suryohadiprojo, Sayidiman.1981. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjuangan Hidup.Jakarta: UI Press

Suradjaja, I Ketut .1984. Pergerakan Demokrasi Jepang . Jakarta: PT Karya Unipress

xl