Efektifitas Implementasi Konvensi Cedaw PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia

(1)

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Politik

ASTRI LEDI AYU 0 6 0 9 0 6 0 2 9

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBARAN PERSETUJUAN

Nama : Astri Ledi Ayu

Nim : 060906029

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi

Perempuan Di Indonesia

Menyetujui Ketua

Departemen Ilmu Politik

(Drs. Heri Kusmanto, MA) NIP. 196410061998031002

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(Warjio, SS, MA) (Indra Kusuma Nasution, S.IP, MSi) NIP. 197408062006041003 NIP. 197903062005011002

Mengetahui a.n Dekan FISIP USU

Pembantu Dekan I

(Humaizi)


(3)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

LEMBARAN PENGESAHAN

Sripsi ini telah diuji dan dipertahankan dihadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Pada :

Hari / Tanggal : Juni 2010

Waktu : ....s/d selesai

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

Tim Penguji

Ketua Penguji

Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc, Sc ( )

NIP : 198102182008121002

Penguji I

Warjio, SS, MA ( ) NIP : 197408062006041003

Penguji II

Indra Kusuma Nasution, S.IP, MSi ( ) NIP : 197903062005011002


(4)

LEMBARAN PERNYATAAN

PERNYATAAN

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN DI INDONESIA SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Dari sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis, kecuali yang tertulis dalam naskah ini disebut dalam daftar pustaka.

Medan,


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, saya selalu merasa beruntung dan diberkahi dalam berbagai urusan. Diantaranya, beruntung mempunyai keluarga, teman dan guru yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Suatu karya yang saya niatkan sebagai hadiah ulang tahun saya.

Skripsi ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang saya angkat adalah : EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASIPEREMPUAN DI INDONESIA.

Dalam penulisan skripsi ini, saya menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka skripsi ini tidak akan dapat selesai tepat pada waktunya. Oleh karena itu, saya menyampaikan rasa penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua tersayang Ibunda Elisa Wanti Nasution dan ayahanda Alm. Abi Dana. Tegasnya Bapak dan Lembutnya Mamak mengantarkanku sampai sejauh ini. Insyallah Mam...Astri berusaha yang terbaik untuk keluarga kita.

Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada pihak Departemen Ilmu Politik Bapak Heri Kusmanto, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik dan Sekretaris Departemen Ibu Rosemary Sabri atas dukungan dan persetujuan judul skripsi saya.

Penghargaan dan ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dosen Pembimbing I Bapak Warjio, SS.MA dan Dosen Pembimbing II Bapak Indra Kesuma Nasution, S.IP, M.Si. Atas arahan, konsistensi dan ilmu yang saya terima selama proses bimbingan. Dan Kepada Bapak Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc, Sc terima kasih saya ucapkan atas kesediaan bapak menjadi ketua penguji pada saat sidang meja hijau.

Kepada Bapak dan Ibu Dosen, staf administrasi beserta segenap sivitas akademika Fakultas ISIP USU, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya.

Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkann terima kasih yang teramat dalam kepada seluruh guru-guru saya mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga ke jenjang Pendidikan terakhir. “Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.”


(6)

Penulis menyadari akan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, baik dari segi materi maupun dari segi penyampian. Oleh karenanya adalah suatu kehormatan bagi penulis bilamana ada pihak-pihak yang berkenan memberi kritikan, saran dan masukan demi mengembangkan cakrawala berpikir untuk perbaikan di masa mendatang.

Dan kepada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu saya haturkan terima kasih untuk setiap pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Belajar menjadi yang terbaik, tidak mengulangi kesalahan yang sama dan menjadi diri sendiri. Semoga skripsi ini membawa manfaat untuk kita semua.

Medan, Juni 2010 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan... i

Lembaran Pengesahan... ii

Lembaran Pernyataan... iii

Kata Pengantar... iv

Daftar Isi... v

Abstraksi... viii

BAB I PENDAHULUAN……….... 1

I.1. Latar Belakang Masalah……….... 1

I.2. Rumusan Masalah……….. 5

I.3. Batasan Masalah……… 5

I.4. Tujuan Penelitian………... 6

I.5. Signifikansi Penelitian………... 6

I.6. Kerangka Teori……….. 7

I.6.1. Perjanjian Internasional………... 7

I.6.1.1. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional……… 8

I.6.1.2. Kemampuan Membuat Perjanjian Internasional... 12

I.6.1.3. Berlakunya Perjanjian Internasional……….. 13

I.6.1.4. Berakhirnya Perjanjian Internasional………. 13

I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik... 14

I.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan... 14

I.6.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan………... 17

I.6.2.3. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Yang Mempengaruhi Proses Implementasi Kebijakan Publik………. 20


(8)

I.7. Metodologi Penelitian……….………... 23

I.7.1. Jenis Penelitian……….. 23

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data………. 23

I.7.3. Analisa Data……….. 23

I.8. Sistematika Penulisan……… 24

BAB II TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA... 26

II.1. Tentang Konvensi CEDAW... 26

II.1.1. Sejarah Lahirnya CEDAW... 27

II.1.2. Protokol Opsional... 29

II.1.3. Pertimbangan CEDAW... 30

II.1.4. Perhatian CEDAW... 33

II.1.5. Rekomendasi-Rekomendasi Komite CEDAW... 36

II.1.6. Laporan Bayangan Komite CEDAW... 37

II.1.7. Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan... 39

II.2. Konvensi Penghapusan dan Gerakan Perempuan Di Tingkat Internasional... 60

II.3. Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia... 66

a. Periode 1984 - Kejatuhan Soeharto... 66

b. Orde Reformasi... 67

BAB III EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI PEREMPUAN DI INDONESIA... 73

III.1. Gambaran Umum Implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia Berdasarkan Teori Merille S.Grindle……… 78

III.2. Implementasi Konvensi CEDAW Tentang Pelaksanaan Konvensi CEDAW dan Pembebasan Perempuan... 83


(9)

III.3. Implementasi Konvensi CEDAW Terhadap Perkawinan

dan Analisis Terhadap Masalah Perkawinan di Indonesia………… 85

III.4. Implementasi Konvensi CEDAW Terhadap Kehidupan Politik dan Publik Perempuan Di Indonesia………. 89

III.5. Implementasi Konvensi CEDAW Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kebijakan Tentang Kekerasan Perempuan Di Indonesia……….. 91

III.6. Reservasi Pemerintah Indonesia Terhadap Isi Konvensi CEDAW……… 92

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI CEDAW DI INDONESIA……….. 96

BAB V PENUTUP... 103

V.1. Kesimpulan...103

V.2. Saran………...106

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

ABSTRAKSI

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN DI INDONESIA Penulis

Astri Ledi Ayu

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan, menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut.

Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Oleh karena itu, menjadi hal penting untuk meneliti bagaimana efektifitas Konvensi CEDAW dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ke-efektifitasannya agar dapat menjadi referensi bagi pemangku kebijakan di tanah air untuk perbaikan di masa mendatang.

Kata Kunci : Efektifitas Implementasi, Konvensi CEDAW, Penghapusan Diskriminasi.


(11)

ABSTRAKSI

EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

PEREMPUAN DI INDONESIA Penulis

Astri Ledi Ayu

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan, menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut.

Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Oleh karena itu, menjadi hal penting untuk meneliti bagaimana efektifitas Konvensi CEDAW dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ke-efektifitasannya agar dapat menjadi referensi bagi pemangku kebijakan di tanah air untuk perbaikan di masa mendatang.

Kata Kunci : Efektifitas Implementasi, Konvensi CEDAW, Penghapusan Diskriminasi.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional dengan mengambil studi analisis efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk dikaji mengingat tidak ada satu negara pun di belahan dunia ini di mana kaum perempuannya tidak pernah mengalami perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) untuk beberapa derajat. Karenanya, signifikansi dari mendiskusikan hak-hak kaum perempuan (women’s right) disebabkan perempuan adalah salah satu kelompok yang paling rentan mengalami berbagai jenis pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Kebebasan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu keharusan dan kepentingan dalam proses demokrasi yang berusaha diwujudkan terus menerus. Demokrasi tanpa keterlibatan perempuan didalamnya, tentu bukanlah demokrasi yang sejati.1 Bagaimana hal tersebut dapat diupayakan, tentu dengan adanya jaminan bahwa perempuan dapat menikmati hak-haknya secara bebas tanpa kungkungan diskriminasi.

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan,

1


(13)

menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik.

Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Menurut Goran Melander,2 CEDAW telah distrukturkan dalam suatu cara yang cukup tradisional mengenai konvensi HAM, yang dimulai dengan enumerasi (penyebutan satu demi satu) hak-hak perempuan dan selanjutnya diiringi oleh ketetapan-ketetapan yang berkesinambungan dengan implementasi konvensi tersebut.

Sebagaimana umumnya berbagai convention HAM lainnya, CEDAW memandatkan pembentukan sebuah komite, yaitu komite CEDAW yang terdiri dari 23 ahli yang diajukan dan dipilih oleh negara yang telah menerima CEDAW setiap empat tahun. Sangat sering diujarkan bahwa komite seharusnya berkonsentrasi pada negara-negara yang sangat kental dengan pelanggaran HAM perempuan, namun hal tersebut tidak boleh dilaksanakan untuk alasan yang sangat pragmatis. Konvensi sesungguhnya hanya memungkinkan untuk menerima laporan negara (country report) dari negara-negara yang telah meratifikasi CEDAW.

Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan

2

Goran Melander and Gudmundur A, The Raoul Wallenberg Compilation of Human Rights Instruments, London : The Hague. hlm. 18.


(14)

yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut.

Diskriminasi melanggar HAM, demikian pula diskriminasi terhadap perempuan melanggar hak azasi manusia perempuan, sehingga pemberdayaan perempuan diperlukan agar perempuan-perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar. Realitas ini mendorong Komisi Status Perempuan PBB menyerahkan draft pertamanya tentang deklarasi anti diskriminasi terhadap perempuan. Tahun 1979 PBB mengadopsi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No.7 Tahun 1974. Dengan demikian, Indonesia mempunyai konsekuensi mengakui dalam hukum dan dalam kehidupan sehari-hari prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Artinya, meskipun secara de jure Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan, namun secara de facto pemerintah tetap masih harus membereskan banyak pekerjaan rumah dalam mengimplementasikan CEDAW secara utuh. Indonesia telah mengupayakan berbagai hal untuk memproteksi HAM perempuan dengan mengaplikasikan CEDAW. Namun, konsistensi pemerintah Indonesia untuk menjamin hak-hak perempuan masih perlu dibuktikan lebih jauh. Sebagaimana mengutip Rebecca J Cook “Hanya negara dan agen-agenya yang dapat melakukan pelanggaran HAM. Para aktor non-state secara umum tidak


(15)

bertanggung jawab di bawah hukum HAM internasional, namun negaralah yang acap kali harus bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran HAM di negaranya.” 3

Telah seperempat abad lamanya sejak Indonesia meratifikasi Konvensi ini. Namun, dalam implementasinya Indonesia justru masih belum sepenuh hati. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa gambaran, diantaranya : ketidaktegasan pemerintah dalam mencantumkan prinsip non diskriminasi dalam setiap kebijakan dan peraturan perundangan yang adanya, banyaknya praktik budaya yang diskriminatif dan dilanggenggkan melalui berbagai undang-undang , menguatnya fundamentalisme dan konservatisme agama, serta banyaknya praktek-praktek pembedaan, pembatasan, dan pengucilan perempuan untuk dapat menikmati hak-haknya, merupakan persoalan serius terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan. Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Artinya terdapat beberapa pasal dalam konvensi ini yang rancu jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya seperti permasalahan perkawinan, tentu hal ini sulit untuk disamaratakan dengan ketentuan konvensi dikarenakan Indonesia dipengaruhi syariah Islam untuk mengurusi masalah perkawinan.

Merujuk pada deskripsi diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan tujuan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengukur sejauh mana efektifitas konvensi perempuan internasional ini dapat diterapkan, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki kebhinekaan budaya dan kental adat ke-timurannya.

3

Rebecca J.Cook (ed). (1994), Human Rights of Woman, National and International Perspective, Philadelphia : University of Pennsylvania Press. hlm. 634.


(16)

I.2. Rumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia ?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia?

I.3. Batasan Masalah

Sebuah penelitian membutuhkan ruang pembatasan masalah agar tidak melebar dan meluas, sehingga kiranya dapat mendapat hasil yang memuaskan sesuai dengan maksud tujuan penelitian, maka penelitian ini mempunyai batasan masalah :

1. Penelitian ini dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

2. Penelitian dengan judul Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia merujuk pada pelaksanaan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women PBB (CEDAW) Tahun 1979.


(17)

I.4. Tujuan Penelitian

Sebagai sebuah bahan kajian ilmiah maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia.

I.5. Signifikansi Penelitian

1. Bagi Penulis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat menambah wawasan dan pengalaman berharga dalam kapasitas kemampuan, dan kontribusi penulis untuk melihat bagaimana efektifitas implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia.

2. Bagi Objek Yang Diteliti

Secara praktis diharapkan dapat menjelaskan bagaimana Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia dan menjadi sumbangan bagi institusi/lembaga, yaitu : Partai Politik, LSM dan LBH atau institusi yang berkaitan lainnya.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Secara akademis penelitian ini adalah suplemen baru dalam pengembangan studi bagaimana relevansi teori-teori politik apakah masih sesuai dengan kondisi di lapangan (the real politics) khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik yang tertarik dengan masalah tersebut.


(18)

I.6. Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena pada umumnya. Penggunaan teori penting kiranya dalam menelaah suatu masalah atau fenomena yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat diterangkan secara eksplisit dan sistematis. Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

I.6.1. Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama, sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara.4 Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai “semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.” Sedangkan definisi Perjanjian Internasional menurut Undang-Undang No. 24/2000 yaitu “Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.” Berdasarkan pengertian dalam Konvensi Wina diatas, maka unsur-unsur perjanjian internasional adalah :

4

Dalam Seminar Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar, 5 – 7 September 2005. hlm.1.


(19)

a. Suatu persetujuan internasional;

b. Dibuat oleh negara negara dalam bentuk tertulis; c. Didasarkan pada hukum internasional;

d. Dibuat dalam instrumen tunggal, dua atau lebih; e. Memiliki nama apapun.

I.6.1.1. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional

a. Traktat (Treaty)

Traktat adalah persetujuan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang mengadakan hubungan antar mereka. Traktat merupakan perjanjian internasional yang kekuatan mengikatnya sangat ketat. Sebab sesuai ketentuan traktat, negara yang telah terikat tidak dapat menarik diri dari kewajiban-kewajibannya tanpa persetujuan pihak-pihak lain yang tergabung dalam perjanjian itu. Dengan demikian maka traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang paling formal.

b. Konvensi (Convention)

Konvensi lazim digunakan bagi persetujuan formal yang bersifat multilateral. Suatu konvensi tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Pokok-pokok persoalan yang diatur tidak menghendaki pemecahan yang menyeluruh terhadap suatu bidang. Sama seperti traktat, konvensi pun harus dilegalisir oleh wakil-wakil berkuasa penuh (plenipotentiaries).

c. Protokol (Protocol)

Protokol adalah persetujuan yang sifatnya tidak se-resmi traktat atau konvensi, dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara. Pada hakikatnya protokol dapat


(20)

berupa suplemen dari konvensi. Dalam hal ini protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan, seperti penafsiran klausul tertentu.

d. Persetujuan (Agreement)

Persetujuan adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau administratif. Persetujuan lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen serta tidak perlu diratifikasi.

e. Perikatan (Arrangement)

Arrangement adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau administratif.

f. Deklarasi (Declaration)

Deklarasi merupakan perjanjian internasional yang ada kalanya berbentuk traktat, dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi. Deklarasi akan menjadi traktat jika ia merupakan lampiran atau dilampirkan pada traktat atau konvensi. Sedangkan, jika mengatur hal-hal yang kurang urgen, deklarasi itu akan menjadi persetujuan tidak resmi.

g. Piagam (Statue)

Statue atau piagam merupakan himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional.


(21)

h. Proses Verbal (Procces Verbal)

Proses verbal adalah catatan atau ringkasan atau kesimpulan konferensi diplomatik, atau dapat pula merupakan catatan suatu pemufakatan. Proses verbal lazimnya tidak diratifikasi.

i. Pakta (Pact)

Penggunaan istilah pakta sesungguhnya merupakan persamaan dari traktat dalam arti sempit dan jika dilihat dari keharusan ratifikasinya pakta sama dengan traktat. j. Modus Vivendi

Perjanjian internasional seperti ini merupakan dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara. Hal itu berlangsung sampai berhasil diwujudkan suatu perjanjian yang lebih permanen, rinci dan sistematis.

k. Pertukaran Nota (Exchange of Notes)

Pertukaran nota merupakan metode tidak resmi. Biasanya pertukaran nota dilakukan oleh wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral.

l. Ketentuan Penutup (Final Act Arrangement)

Proses suatu konferensi yang akan membuat suatu konvensi lazimnya dicatat dalam suatu dokumen yang disebut “Ketentuan Penutup”. Ketentuan penutup meringkaskan hasil hasil konferensi, menyebutkan negara-negara peserta, utusan-utusan dari negara yang ikut berunding serta masalah-masalah yang disetujui oleh konferensi. Ketentuan penutup juga memuat penafsiran ketentuan yang telah disetujui oleh konferensi. Ketentuan penutup tidak memerlukan ratifikasi.


(22)

m. Charter

Charter adalah istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi adaministratif. PBB membuat anggaran dasarnya dalam bentuk charter.

n. Ketentuan Umum (General Act)

Ketentuan umum adalah traktat yang dapat bersifat resmi dan juga dapat bersifat tidak resmi. Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 menggunakan ketentuan umum mengenai arbitrase untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional.

I.6.1.2. Kemampuan Membuat Perjanjian Internasional

Setiap negara memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian internasional. Seseorang dianggap mewakili sesuatu negara untuk maksud menyetujui atau mengesahkan teks suatu perjanjian atau untuk maksud menyatakan persetujuan negara itu diikat oleh suatu perjanjian bilamana:

1. Ia memperlihatkan full powers yang sewajarnya; atau

2. Terlihat dari praktik negara-negara itu atau dari keadaan-keadaan lainnya, bahwa maksud mereka adalah menganggap bahwa orang tertentu mewakili negaranya untu maksud-maksud tersebut.

Sementara itu “Treaty Making Powers” sendiri berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional berada ditangan “the big three”, yaitu :

1. Kepala Negara (Head of State), untuk maksud melakukan semua tindakan yang berhubungan dengan penutupan suatu perjanjian;


(23)

2. Kepala Pemerintahan (Head of Government), untuk maksud menyetujui teks perjanjian antara negara pengirim dan negara di mana mereka diakreditasikan;

3. Menteri Luar Negeri (Ministry for Foreign Affairs), untuk maksud menyetujui teks perjanjian di dalam konferensi, organisasi dan organnya.

Sehingga tanpa menggunakan Surat Kuasa “Full Powers” mereka tidak dapat menandatangani suatu perjanjian internasional.

I.6.1.3. Berlakunya Perjanjian Internasional

1. Suatu perjanjian mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara-negara perunding.

2. Perjanjian mulai berlaku segera setelah dilakukan ratifikasi/pengesahan.

3. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujui teks perjanjian itu atau setelah dilakukan pertukaran nota.

I.6.1.4. Berakhirnya Perjanjian Internasional

1. Kesepakatan para pihak tidak sesuai prosedur dalam perjanjian. 2. Tujuan perjanjian telah tercapai.

3. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. 4. Salah satu pihak tidak melaksanakan/melanggar perjanjian.


(24)

6. Muncul norma baru dalam Hukum Internasional. 7. Habis masa berlakunya perjanjian internasional itu. 8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik

Pada dasarnya Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan sebagai variabel yang diteliti, merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kebijakan yang ada. Untuk itulah penulis menggunakan teori-teori implementasi kebijakan sebagai kerangka pikir dalam memahami makna dari variabel tersebut. Dan agar dapat dimaknai dengan benar oleh setiap orang yang menggunakan penelitian ini, maka penulis berupaya menjabarkannya dengan melakukan pemilahan makna dari setiap variabel yang dimaksud.

I.6.2.1.Pengertian Implementasi Kebijakan

Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang. Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier 5 mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin

5


(25)

dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.

Berdasarkan pemahaman diatas, konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini harus digaris-bawahi ada kata-kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrumen.

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain. Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi kebijakan Lineberry (1978) 6 menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut :

1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana.

2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedures/SOP).

6


(26)

3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran; pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas/badan pelaksana.

4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.

Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan.

Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan tidak lebih dari suatu perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu, abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidak-berhasilan kebijakan akan diketahui.

Bahkan Udoji 7 dengan tegas mengatakan “The execution of policies is as important if not more important that policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Oleh karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan.

7


(27)

Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang dimaksud. Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain pencapaian tujuan harus diupayakan pula untuk meminimalisir ketidakpuasan (dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa akan datang.

I.6.2.2.Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Sebagaimana telah dibahas didalam konsep implementasi kebijakan, terdapat berbagai variabel yang saling terikat, berinteraksi dan mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Keseluruhan variabel tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dan dapat menjadi faktor pendorong (push factor) maupun faktor penekan (pull factor). Oleh sebab itu para pengambil kebijakan (policy maker) hendaknya menyadari akan substansi dari berbagai faktor tersebut sebelum kebijakan diformulasikan dan diimplementasikan.

Ada berbagai macam teori implementasi, seperti dari George C. Edwards III (1980), Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van Meter dan Van Horn (1975), dan Cheema dan Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999). Guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih untuk menyajikan teori Merilee S.Grindle yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari objek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi


(28)

teori-teori lain tidak lagi relevan dalam perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih kepada mengarahkan peneliti agar lebih fokus terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui penelitian ini.

a. Teori Merilee S. Grindle

Menurut Merilee S. Grindle “Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan”. Di sini Grindle telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini adalah bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada implementability dari program tersebut. Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle 8 dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan konteks implementasi (context of implementation). Bahwa isi kebijakan terdiri dari kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksanaan program, dan sumber daya yang dilibatkan. Sementara konteks implementasi mengandung unsur kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap. Sebagaimana terlihat pada gambar berikut :

8

Grindle,M.S. Politics and Policy Implementation in the Third World, Princetone University Press. 1980.


(29)

Tujuan Kebijakan Tujuan yang Ingin Dicapai Program Aksi dan Proyek yang dibiayai

Apakah Program yang dijalankan sesuai yang direncanakan

Keberhasilan Implementasi : a. Isi Kebijakan :

 Kepentingan  Tipe Manfaat  Derajat Perubahan  Letak pengambilan

Keputusan

 Pelaksana Program  Sumber Daya

b. Konteks Implementasi :  Kekuasaan, kepentingan,

strategi aktor

 Karakteristik budaya, lembaga/penguasa

 Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil Kebijakan :

a. Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok b. Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat

Mengukur Keberhasilan

Model Implementasi Grindle

Gambar 1. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi 9

Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektifitas implementasi kebijakan.

9


(30)

I.6.2.3. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Yang Mempengaruhi Proses Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak–pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan yang dibuat diluar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan–hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar dipenuhi.

1. Faktor Pendukung

Hoogwood dan Gunn (dalam Hill, 1993) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan / instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan / kendala yang serius.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai. 3. Perpaduan sumber–sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.


(31)

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

6. Ketergantungan harus kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Tugas – tugas dirinci dan di tempatkan dalam urutan yang tepat. 9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10.Pihak–pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota–anggota masyarakat. Dengan kata lain tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian, jika mereka tidak berbuat atau bertindak sesuai dengan keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara menjadi tidak efektif.

2. Faktor Penghambat

Di dalam bukunya Palumbo (1987) mengemukakan bahwa : legislative policy ambiquity is a prime cause to implementation failure (ketidakjelasan kebijaksanaan dalam perundang–undangan adalah sebab utama kegagalan pelaksanaannya). Penjelasan terhadap berbagai alasan yang mendasari gagalnya suatu kebijakan publik adalah disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :


(32)

1. Ketidakpastian faktor intern dan/atau faktor ekstern.

2. Kebijaksanaan yang ditetapkan itu mengandung banyak lubang. 3. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan masalah teknis.

4. Adanya kekurangan akan tersedianya sumber–sumber pembantu (uang dan sumber daya manusia).

5. Teori yang mendasari dasar pelaksanaan kebijaksanaan itu tidak tepat. 6. Sarana yang dipilih untuk pelaksanaan tidak efektif.

7. Sarana itu mungkin tidak atau kurang dipergunakan sebagaimana mestinya. 8. Isi dari kebijakan itu bersifat samar-samar.

Dengan demikian resiko kegagalan implementasi kebijakan tidak selalu dapat dihindari oleh siapapun dan organisasi manapun. Abdul Wahab 10 menemukakan resiko kegagalan implementasi kebijakan dapat di telusuri pada tiga wilayah kerja (1) pelaksanaannya yang jelek (bad execution), (2) kebijaksanaan sendiri memang jelek (bad policy), dan (3) kebijaksanaan itu memang bernasib jelek (bad luck).

I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,

10


(33)

termasuk hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 11

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

I.7.3. Analisa Data

Teknik untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Teknik analisis ini dapat didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif ini dapat berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati orang-orang. 12 Kemudian menyusun data yang telah ada untuk kemudian diinterpretasikan secara kualitatif. Dalam kerangka penelitian kualitatif, para peneliti tidak mencari kebenaran dan moralitas, tetapi lebih kepada upaya mencari pemahaman. 13

11

Nazir Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998, hlm.64.

12

Arief Furchan, Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha nasional, 1992, hlm.21.

13


(34)

I.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II : TENTANG CEDAW dan PELAKSANAAN

KONVENSI PEREMPUAN DI INDONESIA

Pada bab ini akan membahas tentang Deskripsi CEDAW. Menyangkut sejarah lahirnya CEDAW, Pertimbangan dan Rekomendasi CEDAW, Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan mengenai Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia.

BAB III : KAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisikan analisis tentang bagaimana efektifitas konvensi CEDAW yang selama ini telah diterapkan di Indonesia dilihat dari sudup pandang isi kebijakan dan konteks kebijakan. Dan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas implementasi pelaksanaan CEDAW di Indonesia.


(35)

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisi tentang kesimpulan, saran, maupun rekomendasi yang didasari atas hasil analisis data dalam penelitian ini.


(36)

BAB II

TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA

II.1. Tentang Konvensi CEDAW

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai belaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan negara peserta konvensi.

CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang-politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakana khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki.

II.1.1. Sejarah Lahirnya CEDAW

Tepatnya pada 18 Desember 1979, Majelis Umum PBB menyetujui sebuah rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Majelis Umum PBB mengundang negara-negara anggota PBB untuk


(37)

meratifikasinya. Konvensi ini kemudian dinyatakan berlaku pada tahun 1981 setelah 20 negara menyetujui. Disetujuinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (selanjutnya disingkat sebagai Konvensi CEDAW) merupakan puncak dari upaya internasional dalam dekade perempuan yang ditujukan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan di seluruh dunia.14 Ini merupakan hasil dari inisiatif yang diambil oleh Komisi Kedudukan Perempuan (UN Commission on the Status of Women), sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1947 oleh PBB untuk mempertimbangkan dan menyusun kebijakan-kebijakan yang akan dapat meningkatkan posisi perempuan. Pada tahun 1949 sampai dengan tahun 1959, Komisi Kedudukan Perempuan mempersiapkan berbagai kesepakatan internasional termasuk di dalamnya Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan dan Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan yang Menikah. Pada tahun 1963, Majelis Umum PBB mencatat bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih terus berlanjut, dan meminta agar dapat dibuat suatu rancangan Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.

Pada tahun 1965, Komisi tersebut memulai menyiapkan upaya yang kemudian pada tahun 1966 keluar sebuah rancangan Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Hasilnya pada tahun 1967, rancangan ini disetujui menjadi sebuah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan berdasarkan Resolusi 2263 (XXII). Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi pengakuan secara universal dan hukum dan standar-standar tentang persamaan hak laki-laki

14

Assesing the Status of Women, AGuide to Reporting Under the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Update by the Division for the Advancement of Women Department of Economic and Social Affairs, United Nations 2000. Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005 Bahan Bacaan Materi : Konvensi CEDAW Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM.


(38)

dan perempuan. Pada tahun 1968, Dewan Ekonomi dan Sosial mengambil inisiatif untuk menyusun sistem pelaporan terhadap pelaksanaan Deklarasi tersebut oleh anggota-anggota PBB. Mengingat deklarasi ini bukan kesepakatan (treaty), meskipun ada penekanan secara moral dan politik terhadap para anggota PBB untuk menggunakannya, anggota PBB tidak mempunyai kewajiban yang mengikat untuk bersandar padanya. Pada tahun 1970, Majelis Umum PBB kemudian mendesak adanya ratifikasi atau aksesi pada instrumen internasional yang relevan yang berkaitan dengan kedudukan perempuan. Melanjutkan upaya tersebut pada tahun 1972, Komisi Kedudukan Perempuan mempersiapkan sebuah ‘treaty’ yang akan mengikat pelaksanaan apa yang termuat dalam deklarasi. Seiring dengan hal tersebut, Dewan Ekonomi dan Sosial kemudian menunjuk suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15 orang untuk mulai menyusun suatu kelompok kerja yang terdiri dari 15 orang untuk mulai menyusun suatu Konvensi pada tahun 1973. Persiapan ini mendapat sambutan dan dorongan yang besar oleh Konferensi Dunia yang diselenggarakan di Mexico City pada tahun 1975. Konferensi ini sedianya untuk menyusun Kerangka Kerja Dunia tentang Perempuan. Konferensi ini mendesak adanya sebuah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Dorongan Konferensi mendapat sambutan dari Majelis Umum PBB yang kemudian menetapkan periode 1976 sampai dengan tahun 1985 sebagai Dekade Perempuan dan mendesak agar Komisi Kedudukan Perempuan menyelesaikan Konvensi di pertengahan Dekade tersebut (pada tahun 1980) tepat pada saat Dekade Perempuan direview. Konvensi ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun 1979.

Dalam resolusinya Majelis Umum menyampaikan harapan bahwa Konvensi dapat diberlakukan dalam waktu dekat dan meminta agar Sekertaris Jenderal PBB


(39)

mempersentasikan teks Konvensi pada Konferensi Dunia pertengahan Dekade Perempuan di Copenhagen tahun 1980. Ada 64 negara yang menandatangani (signed) Konvensi dan 2 negara meratifikasi pada saat acara khusus tersebut dilakukan. Pada tanggal 03 Septermber 1981, 30 hari setelah 20 negara anggota PBB meratifikasi Konvensi, Konvensi dinyatakan berlaku. Situasi ini menjadi puncak yang berdampak pada adanya sebuah standar hukum internasional yang komprehensif untuk perempuan. Pada tanggal 1 Maret 2000, telah ada 165 negara (melebihi dari 2/3 anggota PBB) telah meratifikasi atau mengaksesi Konvensi Perempuan dan 6 negara menandatanganinya.

II.1.2. Protokol Opsional

Protokol Opsional pada CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada Desember 1999. Protokol opsional pada CEDAW di satu pihak memberi hak kepada perempuan untuk mengajukan pengaduan perorangan kepada komite mengenai segala pelanggaran hak yang dimuat dalam Konvensi oleh Pemerintah dan di lain pihak, memberi wewenang kepada komite untuk melakukan investigasi atas pelanggaran berat dan sistematik yang korbannya adalah perempuan di negara-negara yang telah meratifikasi atau aksesi pada Protokol ini. Pada tanggal 20 Januari 2006, sudah ada 76 Negara Peserta Protokol Opsional ini.


(40)

II.1.3. Pertimbangan CEDAW

Pertimbangan dalam Konvensi ini berisi dasar pikir mengapa penting adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dalam pertimbangannya, Konvensi ini mengajak mengingat kembali tentang pengakuan hak-hak dasar yang telah dimuat dalam :

1. Piagam PBB yang menegaskan keyakinan pada hak-hak asasi manusia yang fundamental, yang berpatok pada martabat dan nilai kemanusiaan dan hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan.

2. Deklarasi Umum mengenai Hak Asasi Manusia yang menegaskan prinsip-prinsip tentang anti diskriminasi, dan penekanan bahwa semua manusia dilahirkan bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama, dan bahwa semua orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang ditetapkan dalam Deklarasi tersebut tanpa pembedaan termasuk pembedaan jenis kelamin.

3. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang memberikan kewajiban bagi negara anggota PBB untuk menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.

4. Kovensi lainnya yang dibuat oleh berbagai badan di bawah PBB (seperti Konvensi ILO) yang mengatur dan mempromosikan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Pengingatan kembali terhadap berbagai instrumen semakin dirasa penting terlebih ternyata meskipun sudah ada berbagai instrumen hukum, diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung. Padahal diskriminasi terhadap perempuan jelas melanggar prinsip


(41)

persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagaimana telah tercantum sebelumnya terhadap berbagai instrumen. Diskriminasi tersebut juga menjadi hambatan bagi partisipasi perempuan dalam persamaan kedudukan dengan laki-laki di dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan di lingkungan masyarakat bahkan di wilayah dimana perempuan berada.

Hal tersebut akan berdampak pada penghalangan pertumbuhan kemakmuran masyarakat dan keluarga, disamping akan lebih mempersulit pengembangan potensi perempuan secara penuh agar dapat berkontribusi kepada negara dan kemanusiaan. Konvensi ini juga menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan tidak saja terjadi pada situasi normal, tapi terjadi juga pada saat situasi khusus seperti adanya kemiskinan. Pada situasi kemiskinan, diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan perempuan menduduki posisi paling kurang memiliki akses terhadap pangan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan dalam lapangan kerja dan kebutuhan lainnya. Oleh karena itu masyarakat internasional (melalui persetujuan dengan adanya Konvensi ini) meyakini bahwa terbentuknya tatanan ekonomi internasional baru berdasarkan persamaan dan keadilan akan memberikan sumbangan yang berarti pada peningkatan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Disamping itu penghapusan apartheid, segala bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi serta campur tangan asing dalam masalah dalam negeri negara sangat penting bagi penikmatan sepenuhnya hak perempuan dan laki. Pencampaian persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan juga hanya akan tercapai jika perdamaian dan keamanan internasional diperkuat, ada upaya peredaan ketegangan internasional, kerjasama antara negara, perlucutan senjata nuklir di bawah pengawasan internasional yang ketat dan efektif,


(42)

penegasan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan saling menguntungkan dalam hubungan antar negara dan pelaksanaan hak-hak rakyat yang berada di bawah dominasi asing dan kolonial serta pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan, juga penghormatan atas kedaulatan dan integritas teritorial.

Upaya untuk mencapai persamaan derajat untuk kaum perempuan menjadi sangat penting mengingat sumbangan besar perempuan dalam kesejahteraan keluarga, pembangunan masyarakat, yang seringkali tidak diakui, khususnya dalam hal peran reproduksi biologis maupun sosialnya. Persamaan ini akan sulit terwujud jika tidak ada perubahan peran tradisional perempuan dan laki-laki.

Oleh karena itu perlu melakukan perubahan peran tradisional tersebut. Berdasarkan paparan di atas maka, negara-negara anggota khususnya menyetujui isi pasal-pasal sebagaimana pada pasal 1 – 30 Konvensi ini.

II.1.4. Perhatian CEDAW

Memperhatikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan kembali keyakinan tentang hak asasi manusia yang mendasar, tentang martabat serta harga diri seorang manusia dan tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan prinsip untuk tidak menerima diskriminasi dan menyatakan bahwa seluruh umat manusia adalah dilahirkan bebas dan sama dalam martabat serta hak dan bahwa setiap orang memiliki seluruh hak dan kebebasan yang tercantum di dalamnya, tanpa segala bentuk perbedaan, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin.


(43)

Memperhatikan bahwa Negara-negara Pihak dari Kovenan Internasional tentang hak asasi Manusia mempunyai kewajiban untuk menjamin persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik.

Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional yang ditandatangani di bawah perlindungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan pula resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus yang mengajurkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Memperhatikan, meskipun dengan keberadaan bermacam-macam instrumen ini, diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut.

Mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia, merupakan rintangan terhadap partisipasi perempuan, berdasarkan persamaan dengan laki-laki, dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya di negaranya, menghambat pertumbuhan kesejahteraan masyarakat dan keluarga serta mempersulit perkembangan sepenuhnya potensi perempuan dalam pengabdiannya kepada negara dan kemanusiaan.

Memperhatikan bahwa dalam situasi kemiskinan perempuan memiliki akses yang terkecil untuk mendapat makanan, kesehatan, pendidikan pelatihan dan kesempatan bekerja serta kebutuhan-kebutuhan lain.

Meyakini bahwa terbentuknya tata ekonomi internasional baru yang berdasarkan persamaan dan keadilan akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemajuan persamaan antara laki-laki dan perempuan.


(44)

Menegaskan bahwa pembasmian apartheid, segala bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neokolonialisme, agresi, pendudukan dan dominasi asing, campur tangan dalam persoalan dalam negeri adalah penting untuk penikmatan sepenuhnya atas hak laki-laki dan perempuan.

Menekankan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan dunia, mengendurkan ketegangan internasional, kerja sama timbal balik semua negara tanpa memperhatikan sistem sosial dan ekonomi mereka, pelucutan senjata secara umum dan menyeluruh, terutama pelucutan senjata nuklir di bawah kontrol internasional yang tegas dan efektif, penegasan prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan keuntungan bersama dalam hubungan antarnegara dan pelaksanaan hak dari bangsa yang berada dalam dominasi asing dan kolonial serta pendudukan oleh bangsa lain untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan demikian pula dengan penghormatan terhadap kedaulatan dan persatuan nasional akan meningkatkan kemajuan sosial dan pembangunan dan yang akan memberikan kontribusi atas tercapainya persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.

Meyakini bahwa pembangunan negara yang sepenuhnya dan seutuhnya, kesejahteraan dunia serta usaha perdamaian menuntut partisipasi yang maksimum dari kaum perempuan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Mengingatkan kembali kontribusi besar dari perempuan terhadap kesejahteraan keluarga dan perkembangan masyarakat, sejauh ini tidak diakui sepenuhnya, arti sosial tentang kehamilan serta peran kedua orangtua dalam keluarga dan dalam membesarkan anak-anak, dan menyadari bahwa peranan perempuan dalam memperoleh keturunan tidak boleh dijadikan dasar diskriminasi dan bahwa membesarkan anak-anak menuntut


(45)

pembagian tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta masyarakat sebagai keseluruhan.

Menyadari bahwa perubahan tradisi tentang peranan laki-laki dan peranan perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan.

Memutuskan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dan untuk tujuan itu, untuk menetapkan upaya-upaya yang dibutuhkan demi penghapusan diskriminasi tersebut secara keseluruhan dalam bentuk dan manifestasinya.

Menyetujui hal-hal yang ditulis dalam isi konvensi.

II.1.5. Rekomendasi-Rekomendasi Komite CEDAW

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa komite CEDAW memiliki wewenang untuk menyusun rekomendasi, telah ada sekitar 24 rekomendasi yang dihasilkan pula oleh Komite. Rekomendasi tersebut sangat efektif untuk mendinamisir ide dan pelaksanaan perlindungan perempuan. Salah satu rekomendasi yang sangat penting adalah rekomendasi Komite No. 19 tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Rekomendasi 19 meredefinisi apa yang disebut dengan Diskriminasi terhadap perempuan. Sebelumnya, Konvensi tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kekerasan yang berbasis Gender kecuali pada pasal 6 yang berkaitan dengan Eksploitasi Pelacuran dan Perdagangan Perempuan. Dengan adanya Rekomendasi 19 defenisi diskriminasi terhadap perempuan mencakup juga kekerasan sebagaimana dirumuskan dalam Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada pasal 1, yaitu : “ …setiap perbuatan berdasarkan perbedaan


(46)

jenis kelamin yang berakibat atau mungkinberakibat pada kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasankemerdekaan secara sewenang wenang, baikyang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.” Rekomendasi ini juga mengharuskan agar setiap negara dalam setiap laporannya mencantumkan langkah-langkah sebagaimana diamanatkan oleh Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Selain rekomendasi 19, hampir seluruh rekomendasi dimaksudkan untuk menyempurnakan strategi pelaksanaan konvensi, terutama terhadap isu-isu terkini yang penting harus disikapi atau semakin ditekankan, misalnya, isu perempuan disable, perempuan dalam perkawinan, dan politik.

II.1.6. Laporan Bayangan Komite CEDAW

CEDAW, secara eksplisit mengikat negara dan semata-mata menyusun sebuah mekanisme pelaporan dan pemantauan untuk negara dan badan-badan internasional di bawah PBB. Namun, Komite CEDAW dalam melaksanakan wewenangnya menyadari bahwa perlu adanya sebuah mekanisme alternatif dalam pantauan sehingga informasi yang didapat komite menjadi sangat relevan dalam penyusunan tanggapan yang konstruktif terhadap laporan negara. Oleh karena itu Komite CEDAW membuka kesempatan untuk berbagai pihak memberikan informasi terhadap situasi perempuan di negara pihak. Mekanisme ini memberikan peluang bagi kelompok non-pemerintah memberikan informasi berdasarkan pantauannya terhadap negara. Mekanisme ini biasanya dilakukan dengan memberikan laporan bayangan (shadow report). Laporan bayangan disusun oleh ornop merujuk pada dan menganalisa laporan yang disusun oleh pemerintah nasional. Laporan ini merupakan informasi alternatif mengenai kepatuhan negara kepada badan pemantau


(47)

persetujuan PBB. Di bawah ini akan dipaparkan berbagai hal yang dapat dijadikan pegangan bagi ornop untuk menyusun laporan bayangan.15

1. Pertimbangan dalam merancang Laporan Bayangan perlu dipertimbangkan :

 Kegunaan/manfaat;

 Fokus perhatian;

 Koalisi/persekutuan;

 Metode penyampaian dan data;

 Statistik dan studi kasus.

2. Langkah demi langkah penyusunan Laporan Bayangan :

 Memilih isu/tema;

 Memaparkan situasi;

 Identifikasi pasal-pasal yang penting berkaitan dengan situasi (Konvensi, Rekomendasi Komite, Instrumen HAM lainnya);

 Identifikasi hukum yang berlaku dan pelaksanaannya oleh pemerintah;

 Identifikasi hambatan untuk mencapai HAM berdasarkan hukum yang berlaku;

 Identifikasi langkah-langkah yang harus diambil untuk mencapai persamaan kaum perempuan;

 Melakukan cek ulang;

 Indikator (data atau studi kasus);

 Identifikasi pelaku (apakah aparat negara ataupun non aparat negara);

 Informasi tentang organisasi anda.

15


(48)

3. Kerangka Laporan Bayangan :

 Pandangan Umum;

 Pendahuluan;

 Masalah Pokok analisa berdasarkan pasal-pasal konvensi; Rekomendasi. 4. Hal lain :

 Format sederhana dengan jumlah halaman 10-15.

 Disampaikan akhir November atau akhir Mei kepada Komite CEDAW melalui UN Division for theAdvancement of Woman.

Penyusunan laporan bayangan oleh ornop akan sangat membantu Komite dalam mengevaluasi situasi negara pihak, disamping sebagai ajang untuk memperkuat pengorganisasian dan pengkoordinasian para ornop dalam upaya untuk mengkampanyekan hak perempuan.

II.1.7. Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

Bagian I : Pasal 1

Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.


(49)

Pasal 2

Negara-negara Pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha untuk:

(a). Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang layak apabila belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat; (b). Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan

di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan;

(c). Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya; (d). Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek

diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini;

(e). Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau lembaga apapun;


(50)

(f). Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan;

(g). Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.

Pasal 3

Negara-negara pihak harus melakukan upaya-upaya yang layak di semua bidang,khususnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya, untuk menjamin pengembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya.

Pasal 4

1. Pengambilan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara oleh Negara-negara Pihak yang ditujukan untuk mempercepat persamaan antara laki-laki dan perempuan secara “de facto” tidak dianggap sebagai diskriminasi, sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi ini, dan dalam hal apapun tidak boleh menyebabkan dipertahankannya standar yang bersifat tidak setara atau terpisah; upaya-upaya semacam ini harus dihentikan apabila tujuan untuk persamaan kesempatan dan perlakuan telah dicapai.

2. Pengambilan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Pihak, termasuk tindakan-tindakan yang termuat dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan, tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi.


(51)

Pasal 5

Negara-negara Pihak harus mengambil tindakan-tindakan yang tepat :

a. Untuk mengubah pola-pola tingkah laku sosial dan budaya para laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka dan kebiasaan-kebiasaan serta semua praktek lain yang berdasarkan atas pemikiran adanya inferioritas atau superioritas salah satu gender, atau berdasarkan pada peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan.

b. Untuk memastikan bahwa pendidikan keluarga meliputi pemahaman yang tepat mengenai kehamilan sebagai fungsi sosial, serta pengakuan akan adanya tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan dalam membesarkan dan mengembangkan anak-anak mereka, dengan pengertian bahwa kepentingan anak-anak menjadi pertimbangan utama dalam segala hal.

Pasal 6

Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran perempuan.

Bagian II :Pasal 7

Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan


(52)

kemasyarakatan negaranya, dan khususnya menjamin bagi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak sebagai berikut:

a. Untuk memilih dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih;

b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala fungsi publik di semua tingkat pemerintahan;

c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.

Pasal 8

Negara-negara Pihak harus mengambil semua upaya-upaya yang tepat untuk memastikan agar perempuan memiliki kesempatan untuk mewakili Pemerintah mereka pada tingkat internasional dan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional, atas dasar persamaan dengan laki-laki dan tanpa diskriminasi apapun.

Pasal 9

1. Negara-negara Pihak wajib memberikan kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Negara-negara Pihak khususnya wajib menjamin bahwa baik perkawinan dengan orang asing maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan,


(53)

tidak secara otomatis mengubah kewarganegaraan si istri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan atau memaksakan kewarganegaraan suami kepadanya.

2. Negara-negara Pihak wajib memberikan kepada perempuan hak yang sama dengan laki-laki berkenaan dengan kewarganegaraan anak-anak mereka.

Bagian III : Pasal 10

Negara-negara Pihak wajib untuk mengambil semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, dan terutama untuk menjamin atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan:

a. Kondisi yang sama untuk pengarahan karir dan kejuruan, untuk akses pada pembelajaran dan untuk memperoleh diploma dari lembaga-lembaga pendidikan pada semua kategori baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan; persamaan ini harus dijamin dalam pendidikan pra-sekolah, umum, teknik, profesi dan pendidikan teknik yang lebih tinggi, demikian pula dalam semua jenis pelatihan kejuruan;

b. Akses untuk mata pelajaran yang sama, ujian yang sama, staf pengajar dengan kualifikasi standar yang sama, serta kualitas tempat dan perlengkapan sekolah yang sama;

c. Penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk pendidikan, dengan menganjurkan pendidikan campuran (perempuan dan laki-laki) dan bentuk pendidikan lain yang dapat membantu pencapaian tujuan ini, dan terutama


(54)

dengan merevisi buku-buku pelajaran dan program-program sekolah serta menyesuaikan metode-metode pengajaran.

d. Kesempatan yang sama untuk mendapatkan manfaat dari beasiswa dan bantuan belajar lainnya.

e. Kesempatan yang sama untuk memiliki akses atas program pendidikan lanjutan, termasuk program orang dewasa dan pemberantasan buta huruf yang fungsional, khususnya yang bertujuan untuk mengurangi, pada saat sedini mungkin, setiap perbedaan yang ada dalam pendidikan antara laki-laki dan perempuan.

f. Untuk mengurangi tingkat putus sekolah bagi perempuan dan

menyelenggarakan program-program bagi remaja putri dan perempuan yang meninggalkan sekolah sebelum tamat.

g. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi secara aktif dalam pendidikan olahraga dan jasmani

h. Akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang baik, termasuk informasi serta nasehat bagi keluarga berencana.

Pasal 11

1. Negara-negara Pihak wajib untuk melakukan semua upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang pekerjaan dalam rangka untuk memastikan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki terutama :


(55)

a. Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang melekat pada semua umat manusia;

b. Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama terhadap suatu pekerjaan;

c. Hak atas kebebasan memilih profesi dan pekerjaan, hak atas pengangkatan, keamanan bekerja dan seluruh tunjangan dan kondisi pelayanan, dan hak untuk mendapat pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang, termasuk magang, pelatihan kejuruan lanjutan serta pelatihan kembali.

d. Hak atas persamaan pendapatan termasuk tunjangan. dan persamaan perlakuan sehubungan dengan pekerjaan yang sama nilainya, seperti juga persamaan perlakuan dalam melakukan evaluasi terhadap kualitas kerja; e. Hak atas jaminan sosial, terutama dalam hal pensiun, pengangguran, sakit,

cacat dan lanjut usia, serta semua bentuk ketidakmampuan untuk bekerja, seperti juga hak atas masa cuti yang dibayar;

f. Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan dalam kondisi kerja, termasuk atas perlindungan untuk reproduksi.

2. Dalam rangka mencegah diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan perkawinan atau kehamilan, dan untuk memastikan agar hak ini bekerja dengan baik, Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat :

a. Untuk melarang pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil, dan diskriminasi dalam pemecatan berdasarkan status perkawinan, dan larangan ini ditunjang dengan sanksi-sanksi;


(56)

b. Untuk memberlakukan cuti hamil yang dibayar atau dengan tunjangan sosial yang seimbang tanpa kehilangan pekerjaan yang ada, senioritas atau tunjangan sosial;

c. Untuk mendorong ketentuan tentang dukungan pelayanan sosial yang dibutuhkan guna memungkinkan orangtua mengkombinasikan kewajiban keluarga dengan tanggungjawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat, terutama melalui pendirian dan pengembangan jaringan kerja untuk fasilitas penitipan anak;

d. Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama hamil terhadap bentuk pekerjaan yang terbukti membahayakan mereka.

3. Peraturan tentang perlindungan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tercakup dalam Pasal ini harus ditinjau ulang secara berkala berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dapat direvisi, dicabut atau diperluas bila dibutuhkan.

Pasal 12

1. Negara-negara Pihak harus melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang kesehatan dalam rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara perempuan dan laki-laki, kesempatan atas pelayanan kesehatan, termasuk yang berhubungan dengan keluarga berencana.

2. Tanpa mengabaikan ketentuan ayat 1 Pasal ini, Negara-negara Pihak wajib memastikan bahwa perempuan mendapatkan pelayanan yang layak sehubungan


(57)

dengan kehamilan, kelahiran dan masa setelah lahir, demikian juga dengan gizi selama hamil dan menyusui.

Pasal 13

Negara-negara Pihak wajib melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan pada bidang-bidang kehidupan ekoonomi dan sosial lainnya dalam rangka memastikan hak yang sama, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya:

a. Hak atas tunjangan keluarga

b. Hak atas pinjaman dari bank, hipotek dan jenis-jenis kredit lainnya;

c Hak untuk ikut serta dalam kegiatan rekreasi, olahraga dan aspek lain dalam kehidupan budaya.

Pasal 14

1. Negara-negara Pihak wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi perempuan pedesaan, dan peran penting yang dimainkan perempuan pedesaan untuk mempertahankan kehidupan keluarganya, termasuk pekerjaan mereka di luar sektor moneter dalam ekonomi, dan wajib untuk melakukan upaya-upaya yang tepat untuk memastikan penerapan ketentuan Konvensi ini pada perempuan pedesaan.

2. Negara-negara Pihak wajib untuk melakukan upaya-upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan dalam rangka memberi kepastian, berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan, bahwa


(58)

mereka turut berpartisipasi dan mendapat keuntungan dari pembangunan desa dan terutama harus memberi kepastian bagi perempuan tersebut hak:

a. Untuk ikut serta dalam memperluas dan melaksanakan rencana pembangunan pada semua tingkatan;

b. Untuk memperoleh akses atas fasilitas kesehatan yang sesuai, termasuk informasi, petunjuk dan pelayanan dalam keluarga berencana.

c. Untuk mendapat tunjangan langsung dari program-program jaminan sosial. d. Untuk memperoleh segala macam pelatihan dan pendidikan, formal maupun

non-formal, termasuk yang berhubungan dengan buta huruf, seperti juga antara lain, tunjangan bagi semua pelayanan masyarakat dan pelayanan tambahan dalam rangka meningkatkan profesionalitas.

e. Untuk membentuk kelompok-kelompok koperasi dalam rangka mendapatkan akses yang sama dalam kesempatan ekonomi melalui pekerjaan atau wiraswasta.

f. Untuk turut serta dalam seluruh kegiatan masyarakat;

g. Untuk memperoleh akses atas pinjaman atau kredit pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi yang tepat dan perlakuan yang sama dalam masalah pertanahan dan pertanian, demikian pula perumahan.

h. Untuk menikmati keadaan kehidupan yang layak, terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, pengadaan listrik dan air, angkutan dan komunikasi.


(1)

Musdah, Siti. Perempuan dan Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Mustopadidjaja. (2003) Manajemen Proses Kebijakan Publik. Jakarta :

Lembaga Administrasi Negara – Duta Pertiwi Foundation.

Nazir, Mohammad. (1998) Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Parsons, Wayne. (2006) Public Policy : Pengantar teori dan praktik Analisis Kebijakan. Jakarta : Prenada Media Group.

Sadli, Saparinah. (2000) Pemberdayaan Perempuan dalam Perspektif HAM.

Bandung : Alumni.

Scowalter. Elaine. (1999) Speaking of Gender. New York & London : Rouledge.

Sihite, Romeny. (2007) Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sulistyowati. (2006) Perempuan dan Hukum dalam Teks Representase dan Pandangan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Turtle. James C. Ed. (1978) International Human Rights Law and Practice. Philadelphia : International Printing Company.

Wahab, S.A. (2002) Analisis Kebijaksanaan. Bumi Aksara: Jakarta.

Widanti, Agnes (2009) Hukum Berkeadilan Jender. Jakarta : Kompas.


(2)

Winarno, Budi (2002) Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo.

Laporan dan Jurnal

Katjasungkana, Nursyahbani. Laporan Independen Kepada Komite PBB Untuk

Penghapusan Diskriminasi Terhadap perempuan. Jakarta :

LBH APIK. 1998.

Sumiarmi, MG.Endang Perlindungan Hukum Hak Azasi Perempuan. Projustitia. Tahun Ke XXI.No.4.Oktober 2003. Jurnal Hukum Triwulan. Bandung : Fakultas Hukum UNPAR. 2003.

United Nation Report Assesing the Status of Women, A Guide to Reporting Under the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Update by the Division for the Advancement of Women Department of Economic and Social Affairs, United Nations 2000.

Peraturan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

2. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

Internet

www.google.co.id/CWGI-kasus/, diakses 10 Maret 2010. www.rahima.co.id/index/perpustakaan/, diakses 10 Maret 2010. www.menegpp.go.id/aplikasidata/index/, diakses 20 Mei 2010.


(3)

LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1984

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKIRIMINASI TERHADAP WANITA

(CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada

tanggal 18 Desember 1979, telah menyetujui Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women);

c. bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Konvensi tersebut di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia;

d. bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 sewaktu diadakan Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen;

e. bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas maka dipandang perlu mengesahkan Konvensi sebagaimana tersebut pada huruf b di atas dengan Undang-undang;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;


(4)

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN).

Pasal 1

Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.

Pasal 2

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 1984

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, SUDHARMONO, S.H.


(5)

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1984

TENTANG

PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA

(CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OFDISCRIMINATION AGAINST WOMEN)

I. UMUM

Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut.

Oleh karena Deklarasi itu sifatnya tidak mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan Wanita berdasarkan Deklarasi tersebut menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui Konvensi tersebut. Karena ketentuan Konvensi pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia dalam Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah menandatangani Konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut. Dalam pemungutan suara itu Indonesia memberikan suara setuju sebagai perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita karena isi Konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional yang mengandung asas persamaan hak antara pria dan wanita sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah kita anggap baik atau lebih baik bagi dan sesuai, serasi serta selaras dengan aspirasi bangsa Indonesia..


(6)

Sedang dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum nasional memberikan keyakinan dan jaminan bahwa pelaksanaan ketentuan Konvensi ini sejalan dengan tata kehidupan yang dikehendaki bangsa Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Pasal 29 Konvensi memuat ketentuan tentang cara untuk menyelesaikan setiap perselisihan antara negara peserta Konvensi mengenai penafsiran atau penerapan ketentuan Konvensi.

Pemerintah Indonesia tidak bersedia untuk mengikatkan diri pada ketentuan pasal tersebut, karena pada prinsipnya tidak dapat menerima suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan internasional, dimana Indonesia tersangkut, kepada Mahkamah Internasional. Dengan pertimbangan tersebut di atas Indonesia mengadakan pensyaratan terhadap Pasal 29 ayat (1) Konvensi, hingga dengan demikian Indonesia menyatakan dirinya tidak terikat oleh pasal tersebut.