pencatatannya, pengasuhan anak, harta bersama, dan dalam melakukan tindakan hukum. Namun demikian, UU ini mengandung kelemahan didasarkan karena telah mengukuhkan
pembagian secara seksual dan stereotyping. Sehingga banyak kebijakan, peraturan dan program yang ditujukan untuk perempuan terutama dalam bidang publik, khususnya yang
berkaitan dengan hak-haknya sebagai pekerja, didasarkan pada pembagian peran dalam rumah tangga ini. Kekerasan dalam rumah tangga, beban berlebihan, tidak
diperbolehkannya seorang istri memiliki NPWP, dan tidak diakuinya perempuan sebagai kepala keluarga yang pada gilirannya mengurangi hak-haknya sebagai pekerja, adalah
akibat langsung dari adanya pembagian kerja seksual ini. Selain itu, ketentuan batas usia kawin yang berbeda, aturan tentang anak luar kawin,
prosedur berbeda bagi mereka yang beragama islam dalam hal perceraian, poligami, dan lain-lain menimbulkan masalh tersendiri bagi kaum perempuan. UU ini juga menimbulkan
dampak yang berbeda bagi kelas menengah atas perkotaan denga kelas bawah pedesaan, khususnya karena semua penyelesaian konflik perkawinan, khususnya perceraian harus
diselesaikan di pengadilan. Tidak semua perempuan mempunyai akses ke pengadilan, baik karena jaraknya yang cukup jauh hanya ada di tingkat kabupaten maupun karena biayanya
yang relatif tinggi. UU ini juga mengatur beberapa hal berikut :
a. Usia Minimum Kawin
Dalam realitasnya saat ini, perbedaan usia kawin perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun sama sekali tidak menguntungkan bagi perempuan. Asumsi yang
digunakan adalah bahwa laki-laki harus selalu lebih dewasa dan lebih cakap dari istrinya sebab dialah pemimpin dalam rumah tangga. Akibatnya, perempuan
seringkali ditempatkan dalam kedudukannya yang subordinatif dibawah suaminya.
Universitas Sumatera Utara
b. Pencatatan Perkawinan
Pasal 2 ayat 1 UUP menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan pencatatan ini pada dasarnya bertujuan agar terjamin ketertiban perkawinan di masyarakat. Sedangkan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat
dianggap hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dalam praktek banyak perkawinan yang tidak dicatatkan baik karena alasan ekonomi maupun
alasan sosial poligami tanpa izin pengadilan, atau karena agama calon mempelai berbeda satu sama lain ataupun bukan agama yang diakui oleh negara. Hal ini jelas
bertentangan dengan pasal 16 2 Konvensi. Selain itu, peraturan ini memberi peluang kepada laki-laki untuk melepaskan tanggung jawabnya terutama dalam hal
pemliharaan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c. Perceraian
Sebagaimana dalam perkawinan, dalam perceraian kendala tetap dipegang oleh laki- lakisuami. Hanya suami yang berhak menjatuhkan talak dan suami berhak merujuk
bekas istrinya yang masih dalam iddah masa tunggu. Dalam masa ini, istri tidak dapat menerima pinangan atau menikah dengan laki-laki lain. Sebaliknya seorang
suami tidak mempunyai masa iddah dan karenanya tidak ada larangan untuk menikahi perempuan lain.
UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 antara lain mengatur bahwa anak hasil perkawinan campuran
20
perkawinan antar bangsa, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya, sekalipun dalam pengadilan diputuskan bahwa
20
Ibid, hlm. 94.
Universitas Sumatera Utara
perwaliann ada ditangan ibu. Artinya, banyak kepentingan ibu dan terutama anaknya tidak mendapat cukup perlindungan hukum.
d. Anak Luar Nikah