melaksanakan dan menjadikan konvensi tersebut sebagai peraturan nasional. Peratifikasian yang dilakukan Indonesia juga diikuti dengan Reservasi
pengecualian terhadap pasal 29 konvensi CEDAW .
Pasal 29 ayat 1 CEDAW berbunyi “setiap perselisihan antara 2 atau lebih negara peserta mengenai penafsiran atau penerapan konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui
perundingan, diajukan untuk arbitrase atau permohonan oleh salah satu negara diantara negara-negara tersebut. Jika dalam enam bulan sejak tanggal permohonan untuk arbitrase
pihak-pihak tersebut tidak dapat bersepakat mengenai penyelenggaraan arbitrase, salah satu dari pihak tersebut menyerahkan perselisihan tersebut kepada mahkamah
internasional melalui permohonan yang sesuai dengan peraturan mahkamah tersebut .”
Pengecualian terhadap pasal tersebut dinyatakan tegas oleh pemerintah Indonesia dalam pasal 1 UU No.7 Tahun 1984 dengan pertimbangan bahwa pemerintah
Indonesia tidak dapat menerima suatu kewajiban untuk mengajukan perselisihan internasional, dimana Indonesia tersangkut, kepada Mahkamah Internasional.
Dalam pasal ini jelas merefleksikan ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan konvensi CEDAW untuk menjamin pemenuhan hak perempuan
dibidang ekonomi, sosial, budaya, politik, sipil yang berujung pada kekhawatiran bangsa Indonesia untuk berselisih dihadapan Mahkamah Internasional karena akan
merendahkan posisi politik bangsa Indonesia dihadapan Internasional.
c. Penerapan Hukum Yang Belum Menyeluruh
Dalam hal ini negara tidak mampu menjangkau daerah terpencil untuk memberikan layanan hukum, maka satu-satunya acuan hukum rakyat adalah hukum pidana adat
beserta forum peradilan adatnya, dimana posisi laki-laki pada umumnya lebih dominan dan posisi perempuan lebih subordinat sistem patriarki.
Universitas Sumatera Utara
d. Akses Pendidikan Yang Tidak Merata
Akses pendidikan yang tidak merata ke seluruh pelosok negeri atau pedesaan karena negara melakukan pelanggaran konstitutif dengan tidak memenuhi anggaran
20 dari APBN tiap tahunnya dan kualitas pendidikan yang masih relatif rendah. Pendidikan yang rendah menyebabkan terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang
informasi yang beredar di masyarakat.
e. Minimnya Posisi Perempuan di Parlemen
Masih minimnya peran perempuan di posisi-posisi strategis pemerintahan dan legislatif tidak terpenuhinya kuota 30 di parlemen, atau posisi yudikatif hakim,
polisi, jaksa, dan lain-lain. Secara garis besar, hal ini juga menjadi tantangan bagi perempuan untuk terus belajar dan menambah pengetahuannya di bidang politik dan
pemerintahan agar dapat bersaing secara sehat dan dapat berperan aktif sama dengan posisi pria di parlemen. Perempuan yang maju menempati posisi-posisi
penting di parlemen nantinya adalah merupakan perempuan yang benar-benar berkualitas, bukan sekedar ‘menjual’ kepopulerannya.
f. Masalah Diskriminasi Belum Menjadi Kepentingan Mendesak Bagi
Pemerintah
Kepentingan juga menjadi salah satu poin mendasar penyebab ketidakefektifan implementasi sebuah kebijakan yang diutarakan oleh Grindle. Masih ada persoalan-
persoalan yang dianggap lebih mendesak, baik menurut penyelenggara negara maupun masyarakat luas, contohnya : korupsi dan narkotika : merupakan extra
ordinary crime, yang mencengkeram negara di berbagai tingkat sosial, yakni masyarakat luas golongan bawah, menengah dan atas, aparat penegak hukum,
Universitas Sumatera Utara
pemerintah dan DPR, dan lain-lain. Negara juga akan mendapat sorotan dari dunia jika mendahulukan masalah crusial seperti korupsi atau terorisme. Kelambatan aksi
pemerintah ini juga dapat dikarenakan minimnya alokasi dana yang disediakan negara untuk mengurusi masalah upaya penghapusan diskriminasi untuk
perempuan. Karena secara umum kita ketahui bersama, para penegak hukum di Indonesia lebih menyukai menuntaskan masalah ‘mereka yang berduit’ dari pada
‘mereka yang tertindas.’
g. Minimnya Lapangan Kerja dan Tingginya Angka Kemiskinan