Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan Karsinoma Nasofaring Suku Batak

Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan
Karsinoma Nasofaring Suku Batak
Delfitri Munir
Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

DQB1 dengan penyebab KNF pada suku Batak, dilakukan
penelitian kasus-kontrol, dengan sampel kasus sebanyak 55 orang dan kontrol 104 orang. Isolasi
DNA dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Sumatera Utara, dan identifikasi alel gen
HLA dilakukan dengan PCR-SSO reverse dot blot di Department of Immunohematology and
Blood Transfusion, Leiden University Medical Center. Mayoritas penderita adalah laki-laki (60%),
50-59 tahun (29,09%). Jenis histopatologi terbesar adalah WHO Tipe 3 (54,55%), disusul oleh
WHO Tipe 1 (29,09%) dan WHO Tipe 2 (16,36%). Stadium terbanyak adalah III (67,27%),
disusul oleh IV (25,46%) dan II (7,27%). Alel gen HLA-DQB1 tidak ada yang berasosiasi secara
bermakna dengan KNF (p>0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah alel gen HLA-DQB1 tidak
berasosiasi dengan penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak.
Kata kunci: NPC, human leucocyte antigen, PCR-SSO reverse dot blot.
Abstract: HLA gene is suspected to be have a role in the development of NPC. To assess the
relation between HLA-DQB1 alleles with NPC among the Batak people, this case-control study
was performed using samples consisted of 55 case and 104 controls. DNA isolation was
conducted at the Laboratorium Terpadu of Universitas Sumatera Utara, while gene allele

identification was carried out using PCR-SSO reverse dot blot method at The Department of
Immunohematology and Blood Transfusion, Leiden University Medical Center. The majority of
NPC sufferers were males (60%), 50-59 years old (29,090%), and work as farmer (36.363%).
Histopathologically, the majority was WHO Type 3 (54.545%), followed by WHO Type 1
(29.091%) and WHO Type 2 (16.364%). Most of them were in stage III (67.273%), followed by
stage IV (25.455%) and stage II (7.273%). No association between HLA-DQB1 gene in case and
control sampels (p>0,05). This study concludes that HLA-DQB1 allele gene has not a role in the
development of NPC among the Batak people.
Keywords: karsinoma nasofaring, human leucocyte antigen, PCR-SSO reverse dot blot

PENDAHULUAN
Sampai saat ini belum diketahui
penyebab pasti karsinoma nasofaring (KNF).
Faktor ekstrinsik seperti virus Epstein-Barr,
nitrosamine, lingkungan dan faktor intrinsik
misalnya gen HLA, gen onkogen, gen supresor
1,2
dicurigai sebagai faktor penyebab.
Populasi
China

Selatan
memiliki
frekuensi KNF 100 kali dibanding populasi
1
Kaukasia. Prevalensi KNF di Guangdong
China Selatan adalah 39,84 per 100.000
penduduk, sedangkan pada populasi Jepang,
Kaukasia dan India, prevalensi KNF

3,4,5,6

Prevalensi KNF
dilaporkan sangat rendah.
di Indonesia adalah 3,9 per 100.000
7
penduduk setiap tahun. Di Rumah Sakit H.
Adam Malik Medan, Propinsi Sumatera Utara,
penderita KNF ditemukan pada lima
kelompok suku. Suku yang paling banyak
menderita KNF adalah suku Batak, yaitu

8
46,7% dari 30 kasus. Peningkatan risiko
menderita KNF terdapat pada pasien yang
mempunyai riwayat keluarga menderita tumor
ini. Sering dijumpai penderita KNF, dimana
pada generasi mereka selanjutnya juga
9
ditemukan penyakit ini. Dijumpai masih

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

185

Karangan Asli

tinggi risiko KNF emigran asal China di
1
daerah yang insiden KNF nya sangat rendah.
Adanya perbedaan frekuensi KNF yang nyata
pada kelompok suku dan adanya peningkatan

risiko pada keluarga yang mempunyai riwayat
penyakit ini serta masih tingginya risiko KNF
pada emigran asal China, dicurigai faktor
genetik merupakan salah satu faktor yang
berperan pada penyebab KNF. Di antara
berbagai gen yang telah diteliti, gen human
leucocyte
antigen
(HLA)
dipercaya
merupakan gen yang terpenting sebagai faktor
9,10
yang berperan pada penyebab KNF.
Gen HLA adalah kompleks gen yang
terdapat dalam 4000 kilobases di rantai
pendek kromosom nomor 6 dan bersifat
polimorfik. Gen ini mengekspresikan molekul
HLA yang terdapat di permukaan sel, dan
molekul ini sangat berperan pada sistem
11

Salah satu landasan teori yang
imun.
mendukung hubungan antara gen HLA
dengan suatu penyakit adalah teori gen respon
imun. Pada teori ini, antigen seperti virus yang
masuk ke dalam tubuh akan menjalani
beberapa fase yang berakhir dengan eliminasi
antigen tersebut. HLA berfungsi sebagai
pertanda imunogenetik pada jaringan tubuh
manusia dan mempengaruhi respon imun,
sehingga penting dalam tercetusnya respon
imun. Pada hipotesis ini, adanya kelainan
tertentu yang disebabkan oleh substansi
spesifik, dan gen respon imun merespon
secara berlebihan atau sebaliknya, sehingga
12
akan menimbulkan penyakit.
Gen HLA di turunkan secara heterozigot
dan bersifat kodominan. Akibatnya, kelompok
masyarakat dengan HLA tertentu akan

menghadapi
risiko
terjadinya
penyakit
13
tertentu. Distribusi gen dan molekul HLA
pada suatu populasi mempunyai pola dan
kemiripan yang sesuai dengan pola induk
sistem HLA dari kelompok rasnya. Beberapa
penyakit diduga ada kaitannya dengan HLA,
dalam arti penderita dengan penyakit tertentu
14
sering dijumpai memiliki gen HLA tertentu.
Berbagai penelitian telah menemukan
hubungan antara HLA dengan KNF, baik yang
bersifat kerentanan maupun protektif. Di
Taiwan didapatkan alel gen HLA-DQB1*0201
rentan terhadap KNF dengan risiko 2,6.15 Di
Tunisia ditemukan alel gen HLA-DRB1*03
dan HLA-DRB1*15 sebagai gen kerentanan

186

terhadap KNF.16 Alel gen HLA-DRB1*1501
pada ras Kaukasia di Amerika Serikat
dijumpai sebagai gen protektif terhadap
17
KNF.
Hampir
semua
penelitian
telah
membuktikan bahwa virus Epstein-Barr
(VEB) mempunyai hubungan yang kuat dan
18,19
Infeksi
konsisten dengan penyebab KNF.
VEB berhubungan erat dengan derajat
imunitas seluler seseorang, dan terkait dengan
20
faktor imunogenetik. Dalam proses ini, salah

satu faktor yang memiliki peran adalah gen
HLA yang bekerja sebagai regulator pada
proses respon imun, sekaligus sebagai
21
pertanda genetik setiap individu. HLA kelas
II seperti HLA-DQB1 yang penting pada
proses recognition respon imun, sangat
menentukan keberhasilan sistem imun dalam
22
menghadapi VEB. Pada infeksi laten, VEB di
dalam sel memproduksi bermacam-macam
protein seperti glikoprotein membran sel dan
antigen inti sel yang berperan pada
23
transformasi keganasan.
Untuk bangsa Indonesia yang terdiri dari
berbagai suku dan terpengaruh oleh berbagai
bangsa akibat migrasi di masa lalu, risiko
terjadinya penyakit akan bervariasi menurut
24

Oleh sebab itu perlu
kelompok suku.
diketahui alel gen HLA-DQB1 penderita KNF
setiap suku, sehingga dapat diketahui
gambaran umum alel gen penderita KNF di
Indonesia.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendapatkan alel gen HLA-DQB1 tertentu
yang berperan sebagai penyebab kerentanan
timbulnya KNF pada suku Batak. Manfaat
penelitian adalah menemukan alel gen HLADQB1 tertentu yang dapat digunakan untuk
tindakan preventif dan sebagai dasar atau
langkah awal pembuatan vaksin serta rekayasa
genetika guna pencegahan terjadinya KNF
pada suku Batak di masa datang.
BAHAN DAN CARA KERJA
Penelitian ini adalah suatu studi jenis

eksploratif-observasional analitik,
dengan
pendekatan rancangan kasus-kontrol. Sampel
penelitian adalah penderita KNF suku Batak
(Batak Toba, Mandailing, Karo, Dairi,
Simalungun, Angkola, dan Nias) yang berobat
ke RS. H. Adam Malik, RS. Pirngadi, dan RS.
Tembakau Deli Medan dan memenuhi kriteria

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

Delfitri Munir

Peran Gen HLA-DQB1...

inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel
penelitian dilakukan secara consecutive
sampling, yang dimulai pada bulan April
2005. Penentuan besar sampel penelitian
menggunakan rumus studi kasus kontrol tidak

berpasangan. Pada penelitian ini ditentukan α
= 0,05 dan β = 0,1. Berdasarkan penelitian Li
et al (1995) didapatkan besar sampel minimal
21
adalah masing-masing 45 kasus dan kontrol.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
adalah darah (whole blood) yang dilakukan
isolasi DNA di Laboratorium Terpadu
Universitas Sumatera Utara Medan, dan
disimpan di dalam kulkas dengan temperatur 20oC. Setelah jumlah sampel isolasi DNA
terpenuhi,
sampel
dibawa
ke
Dept.
Immunohematology and Blood Transfusion,
Leiden University Medical Center (Belanda)
untuk pemeriksaan alel gen HLA-DRB1
dengan teknik PCR-SSO reverse dot blot.
Besarnya risiko timbulnya KNF pada alel HLA
tertentu diperhitungkan dengan menggunakan
odds rasio (OR). Untuk menetapkan
kemaknaan digunakan uji Chi-Square. Data
yang dikumpulkan diolah dan dianalisis
dengan menggunakan komputer program
SPSS 12.0 for windows.

HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Karakteristik sampel

Karakteristik
Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur (tahun)
20-29
30-39
40-49
50-59
≥ 60

Jumlah

%

33
22

60
40

1
13
15
16
10

1,82
23,64
27,27
29.09
18,18

WHO Tipe 3
(54,55%)

WHO Tipe 1
(29,09%)

WHO Tipe 2
(16,36%)
Diagram 1. Distribusi histopatologi

IV (25,6%)

II (7,27%)

III (67,27%)
Diagram 2. Distribusi stadium

Tabel 2.
Distribusi alel gen HLA-DQB1 pada kelompok kasus dan kontrol serta besarnya risiko timbulnya KNF dari
masing-masing alel gen
Alel
HLA-DQB1

Kasus%
n = 55

Kontrol%
n = 104

OR

95% CI

p

DQB1*02
DQB1*0301
DQB1*0302
DQB1*0303
DQB1*0305
DQB1*0402
DQB1*0501
DQB1*0502
DQB1*0503
DQB1*0601
DQB1*0602
DQB1*0603
DQB1*0609

16,36
70,91
5,46
1,82
1,82
18,18
20
12,73
20,00
1,82
3,64
1,82

10,58
75,96
5,77
2,89
0,96
25
10,58
12,50
17,31
1,92
0,96

1,65
0,77
0,62
0,62
0,67
2,11
1,02
1,19
1,93
1,91

0,64 – 4,27
0,37 – 1,7
0,12 – 3,14
0,06 – 6,14
0,3 – 1,51
0,85 – 5,25
0,38 – 2,73
0,52 – 2,75
0,26 – 14,05
0,12 – 31,10

0,3
0,49
0,56
0,68
0,17
0,47
0,33
0,10
0,97
0,68
0,17
0,51
0,65

Uji Chi-Square terhadap alel gen HLA-DQB1 antara kelompok kasus dan kontrol tidak ada
asosiasi yang bermakna (p > 0,05).

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

187

Karangan Asli

PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dikumpulkan sampel
kasus 55 dan kontrol 104. Penderita laki-laki
lebih banyak yaitu 60% dan perempuan 40%,
dengan perbandingan 3 : 2. Hal ini sesuai
dengan laporan Morales-Angulo et al (1999)
dimana bahwa laki-laki lebih banyak
25
menderita KNF dibanding perempuan.
Kelompok
umur
penderita
KNF
terbanyak pada penelitian ini adalah 50-59
tahun (29,09%). Umur penderita yang paling
muda adalah 21 tahun dan yang paling tua 77
tahun. Rata-rata umur penderita pada
penelitian ini adalah 48,8 tahun. Di Cantabria
ditemukan insiden paling tinggi pada
25
kelompok umur 50–70 tahun. Di RS. H.
Adam Malik Medan didapatkan umur
terbanyak penderita KNF adalah 50-59
26
tahun.
Pada penelitian ini dijumpai jenis
histopatologi yang paling banyak adalah WHO
Tipe 3 (54,55%), sedangkan WHO Tipe 1
dijumpai 29,1% dan WHO Tipe 2 adalah
16,36%. KNF WHO Tipe 3 merupakan jenis
terbanyak dijumpai terutama di Asia
25
Tenggara. Menurut penelitian Krishna et al.
27
(2004), pada jenis ini ditemukan 100% VEB.
KNF WHO Tipe 1 dominan ditemukan pada
28
etnis Kaukasoid seperti di Eropah, sedangkan
di Jepang KNF WHO Tipe 2 merupakan tipe
5
yang paling banyak ditemukan.
Pada penelitian ini, stadium lanjut
ditemukan 92,73% sedangkan stadium dini
7,27%. Stadium III paling banyak yaitu
67,27% dan stadium IV sebesar 25,46%.
Stadium II hanya 7,27%, sedangkan stadium I
tidak ditemukan. Di Guangzhou, stadium III
ditemukan paling banyak (68%) dan juga
29
tidak dijumpai stadium I. Di Jepang bahkan
stadium IV yang paling banyak ditemukan
5
yaitu 72%. Di China Selatan, dijumpai KNF
lebih banyak stadium dini (I dan II) yaitu
30
87%. Diagnosis KNF sering terlambat di
tegakkan, disebabkan karena letak nasofaring
tersembunyi di belakang rongga hidung.
Kesalahan diagnosis dapat juga disebabkan
oleh
kurangnya
pengetahuan
tentang
penjalaran tumor dan salah interpretasi pada
pemeriksaan histopatologi. Di samping itu
gejala dini tumor ini tidak khas dan sering
31
diabaikan penderita.
Dari 13 alel gen HLA-DQB1 yang
diperiksa, dengan uji Chi-Square antara
kelompok kasus dan kontrol tidak ada asosiasi

188

yang bermakna (p > 0,05). Dengan demikian
alel gen HLA-DRQ1 tidak berperan pada
penyebab kerentanan timbulnya KNF pada
suku Batak.
Alel gen DQB1*0502 ditemukan pada
kasus lebih tinggi (20%) dibanding kontrol
(10,58%) dengan OR 2,11 (CI 0,85–5,25)
yang dicurigai sebagai alel yang rentan
terhadap KNF, namun tidak mencapai tingkat
kemaknaan (p> 0,05). Demikian juga alel gen
HLA-DQB1*0501 ditemukan pada kasus
lebih sedikit (18,18%) dibanding kontrol
(25%) dengan OR 0,67 (CI 0,3–1,51) yang
dicurigai sebagai alel gen protektif, namun
belum mencapai tingkat kemaknaan (p>
0,05). Pada penelitian di Taiwan didapatkan
alel gen HLA-DQB1*0201 rentan terhadap
15
KNF dengan risiko 2,6. Di China Selatan
tidak dijumpai asosiasi antara alel gen HLA21
DQB1 dengan KNF.
Telah diketahui bahwa polimorfisme
molekul HLA ditentukan oleh urutan asam
amino yang membentuk celah pengikat
peptida, dan celah tersebut berinteraksi baik
dengan peptida antigen maupun dengan
reseptor sel T. Adanya bukti bahwa
keragaman yang sangat besar pada urutan
asam amino pada celah tersebut sangat
penting secara fungsional diperoleh dari
berbagai penelitian secara struktural, klinis
14
Analisis peptida
maupun eksperimental.
antigen yang terikat, jelas menunjukkan
bahwa molekul-molekul HLA yang disandi
oleh alel yang berbeda mempunyai pola
pengikatan peptida yang berbeda. Adanya
molekul HLA dengan sifat pengikatan peptida
yang berbeda tersebut dapat menyebabkan
suatu peptida antigen akan lepas dalam ikatan
suatu molekul HLA sehingga menimbulkan
pengaruh yang berbeda pada perangsangan
aktivitas sel T. Terdapat bukti yang tidak
langsung menyokong konsep bahwa alel
kerentanan dan protektif merupakan molekul
mengikat dan menyajikan epitop peptida yang
32
berbeda.
Terjadinya KNF pada individu yang
mempunyai gen kerentanan, karena alel gen
kerentanan tidak mempresentasikan dengan
baik atau mempresentasikan secara salah
antigen VEB atau antigen tumor kepada sel
ThCD4, yang berakibat proses respon imun
14
tidak terjadi. Dengan tidak terjadinya respon
imun, maka antigen tumor akan menginfiltrasi
sel tubuh lain sehingga memicu penyebaran
33
kanker. Alel gen protektif bekerja dengan

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

Delfitri Munir

baik mempresentasikan antigen VEB atau
atigen tumor kepada sel ThCD4. Proses
respon imun terjadi dengan baik sehingga,
VEB maupun sel-sel kanker dapat dieliminasi
oleh sistem imun tubuh dan proses keganasan
tidak terjadi. Dengan demikian alel gen
protektif merupakan alel gen pelindung
34
terhadap KNF.
Terdapatnya alel gen kerentanan dan
protektif HLA-DQB1 yang berbeda-beda
pada setiap lokasi dan etnik, diduga akibat
molekul pengikat dan penyaji epitop peptida
yang berbeda. Di samping itu juga akibat
pegambilan sampel yang berbeda, distribusi
gen HLA yang berbeda pada setiap populasi
dan akibat pengaruh faktor lingkungan yang
kuat terhadap kejadian KNF di lokasi tersebut.

Peran Gen HLA-DQB1...

6.

Lee AW, Foo W, Mang O, Sze WM,
Chappell R, Lau WH, Ko WM. Changing
epidemiology of nasophryeal carcinoma
in Hong Kong over a 20-year period
(1980-1999): an encouraging reduction
in both incidence and mortality. Int J
Cancer 2003; 103 (5): pp. 680-5.

7.

Fachiroh J, Schouten T, Hariwiyanto B.
Molecular Diversity of Epstein-Barr Virus
IgG and IgA Antibody Responses in
Nasopharyngeal
Carcinoma:
A
Comparison of Indonesian, Chinese and
Europen Subject. The Journal of
Infectious Diseases 2004; 190 (1): pp. 5362.

8.

Lutan R, Zachreini I. Immunohistochemical
corelation
betwen
Nasopharyngeal Carcinoma and Epstein
Barr Virus. Asean OtorhinolaryngologyHead and Neck Surgery Journal 1999;
3(3): pp. 257-9.

9.

Jia WH, Feng BJ, Xu ZL, Zhang XS,
Huang P, Huang LX. Familial risk and
clustering of nasopharyngeal carcinoma in
Guangdong, China’. Cancer 2004; 101
(2): pp. 363-9.

KESIMPULAN
Pada penelitian ini tidak dijumpai peran
alel gen HLA-DQB1 pada penyebab
kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Huang DP, Lo KW. Aetiological Factors

2.

3.

and Pathogenesis in Nasopharyngeal
Carcinoma, 2nd edition, Hasselt, C.A. and
Gibb, A.G. The Chinese University
Press, Hongkong, 1999; pp. 31-50.

10. Huang T, Liu Q, Huang H, Cao S. Study

Yuan JM, Wang XL, Xiang YB, Gao YT,
Ross RK, Yu MC. Preserved foods in
relation to risk of nasopharyngeal
carcinoma in Shanghai, China. Int J
Cancer, 2000; 85 (3): pp. 358-63.

11. Abbas AK, Lichtman AH. Cellular and

Li CC, Yu MC, Henderson BE. Some
epidemiologic
observations
of
nasopharyngeal carsinoma in Guangdong,
People’s Republic of China. Ntl Cancer
Inst Monogr 1985; 69: pp. 49-52.

on
genetic
epidemiology
of
nasopharyngeal carcinoma in Guangdong
China. Zhonghua Yi Xue Yi Chuan Xue
Za Zhi 2002; 19 (2): pp. 134-7.
Molecular Immunology, 5th edition. WB
Saunders, Philadelphia 2000.
12. Benacerraf B. Significance and biological

function of class II MHC molecules. Am
J Pathol 1985; 120 (3): pp. 334-43.

4.

Albeck H, Neilsen LH, Hansen HE,
Bentzen J, Ockelmann HH, Bretlau, P.
Epidemiology of nasopharyngeal and
salivary gland carcinoma in Greenland.
Arctic Med Res 1992; 51 (4): pp. 18995.

13. Judajana

5.

Takashita H, Furukawa M, Fujieda S,
Shoujaku H, Ookura T, Sakaguchi M,
Epidemiological
research
into
nasopharyngeal carcinoma in the Chubu
region of Japan. Auris Nasus Laryng
1999; 26(3): pp. 277-86.

14. de

FM.
Sistem
major
histocompatibilityl complex. Dalam
Gangguan sistem imun mukosa intestinal,
eds. Subijanto, PS Suhartono, TP
Judajana FM Gideon, Surabaya 2003; pp.
12-30.
Vries
RR,
van
Rood
JJ.
Immunogenetic and Diseases in the
Genetic Basis of Common Diseases,
University Press Inc, New York 1992; pp.
92-114.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008

189

Karangan Asli

15. Hildesheim A, Apple RJ, Chen CJ, Wang

SS, Cheng YJ, Klitz W. Association of
HLA Class I and II Allels and extended
Haplotypes
With
Nasopharyngeal
Carcinoma in Taiwan. Journal of the
National Cancer Institute 2002; 94 (23):
pp. 1780-89.

16. Mokni-Baizig N, Ayed K, Ayet FB, Ayet

S, Sassi F, Ladgham A. Association
between HLA-A/-B antigens and –DRB1
allels and nasopharyngeal carcinoma in
Tunisia. Oncology 2001; 61 (1): pp. 558.
17. Burt RD, Vaughan TL, McKnight B,

Davis S, Beckman AM, Smith AG.
Associations between human leukocyte
antigen
type
and
nasopharyngeal
carcinoma in Caucasians in the United
States. Cancer Epidemiol Biomarkers
Prev 1996; 5 (11): pp. 879-87.
18. Zurhausen

H, Schulte-Holtausen H,
Klein G, Henle W, Clifford Santeson L.,
EBV DNA in biopsies of Burkitt tumors
and anaplastic carcinoma of the
nasopharyng. Nature 1970; 228: pp.
1056-8.

19. Pathmanathan R, Raab-Traub. Epstein-

Barr virus in Nasopharyngeal Carcinoma,
3th edition, VFH Chong, SY Tsao, Amour
Publishing, Singapore 1999; pp. 14-21.
20. Qiu K, Tomita Y, Hashimoto M, Oshawa

M, Kawano K, Wu DM, Aozasa K.
Epstein-Barr virus in gastric carcinomain
Suzhu, China, and Osaka, Japan:
Association
with
clinico-pathologic
factors and HLA-subtype. Intl J Cancer
1997; 71 (2): pp. 155-8.
21. Li PK, Poon AS, Tsao SY, Ho S, Tam JS,

So AK. No association between HLADQ
and
-DR
genotypes
with
nasopharyngeal carcinoma in southern
Chinese. Cancer Genet Cytogenet 1995;
81(1): pp. 42-5.

22. Cooke A. Regulation of the immune

response in Immunology, 6th edition, eds.
I. Roitt, J. Brostoff, D. Male, Mosby,
Toronto 2001; pp. 173-88.

23. Fries KL, Miller WE, Raab-traub N.

Epstein-Barr virus latent membrane
protein 1 blocks p53-mediated apoptosis
through the induction of the A20 gene. J.
Virol 1996; 70: pp. 8653-59.

190

24. Rusdi A. Peranan HLA dalam ilmu

kedokteran dan beberapa problematik
test HLA pada populasi Indonesia,
Lokakarya HLA, Bandung 1992.

25. Morales-Angulo C, Megia Lopez R,

Rubio Suarez A, Rivera Herrero F, Rama
J. Carcinoma of the nasopharyng of
Catarbia. Acta Otorrinolaryngol Esp
1999; 50 (5): pp. 381-6.
26. Delfitri M. Beberapa Aspek KNF pada

Suku Batak di Medan dan Sekitarnya.
MKN 2006; 39 (3): pp. 12-17.

27. Krishna SM, James S, Kattoor J, Balaram

P. Serum EBV DNA as a Biomarker in
primary Nasopharyngeal Carcinoma of
Indian Origin. Jpn J Clin Oncol 2004; 34
(6): pp. 307-311.

28. Jiong

L, Berrino F, Coebergh JW.
Variation of survaival for adults with
nasopharyngeal cancer in Erope, 19781989. EUROCARE Working Group. Eur
J Cancer 1998; 34 (14): pp. 2162-6.

29. Huang TB. Cancer of the nasopharynx in

childhood. Cacer 1990; 66 (5): pp. 96871.
30. Deng H, Zeng Y, Lei Y, Zhao Z, Wang P,

Li
B.
Serological
survey
of
nasopharyngeal carcinoma in 21 cities of
south China. Chin Med J (Engl) 1995;
108 (4): pp. 300-3.
31. Jiang

X, Wei L. Nasopharyngeal
carcinoma and cervical masses. Lin
Chuang Er Bi Yan Hou Ke Za Zi 2005;
19 (4): pp. 160-2.

32. Devenport MP,

Hill AVS. Peptides
associated with MHC class I and class II
molecules in HLA and MHC: Gene,
Molecules and Function MJ. Browning
and AJ Mc Michael, Bios Sci Publ Ltd
Oxfort 1996; pp. 277-308.

33. Kresno SB. Imunologi: Diagnosis dan

Prosedur Laboratorium. Edisi ke 4. Balai
Penerbit FK-UI, Jakarta 2001.

34. Rosenberg SO, Pulasky BA, Gunther V.

Processing and presentation of antigen for
activation of lymphocytes to tumor cells
in Tumor immunology, eds. G Parmini
and MT Lotze Taylor & Francis, London
2002; 11-37.

Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41 y No. 3 y September 2008