Peran Polimorfisme Gen Reseptor Vitamin D Pada Kerentanan Terhadap Tuberkulosis Paru Suku Batak Di Medan

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Meskipun kuman penyebab tuberkulosis (TB) sudah ditemukan

lebih dari 100 tahun dan obat-obat anti tuberkulosis sudah diketahui, TB
tetap merupakan infeksi bakteri yang penting di dunia. World Health
Organization (WHO) memperkirakan sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi oleh TB. Menurut laporan WHO tahun 2009, pada tahun 2007
ditemukan 9,27 juta kasus baru TB di dunia dan diperkirakan 1.756.000
orang meninggal karena TB di seluruh dunia. Di Indonesia diperkirakan
ada 0,53 juta kasus baru TB dan 91.000 orang meninggal dalam setahun
(WHO, 2009). Menurut laporan Departemen Kesehatan Indonesia di
Sumatera Utara ditemukan 15.799 penderita TB pada tahun 2007
(Depkes RI, 2008), sedangkan penderita TB paru yang berobat di
poliklinik DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) RS H Adam
Malik Medan selama tahun 2010 adalah sebanyak 317 orang.

Pada sebagian besar manusia, respons imun efektif yang
berkembang setelah terinfeksi kuman TB dapat membatasi atau
mencegah terjadinya penyakit. Dari sepertiga penduduk dunia yang
diperkirakan WHO telah terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis (M.
tuberculosis), hanya 10% yang berkembang menjadi penyakit dan hanya
sedikit yang mempunyai faktor risiko seperti usia lanjut, peminum alkohol,
diabetes mellitus (DM) tak terkontrol, infeksi Human Imunodeficiency Virus

1

2
(HIV) dan penggunaan imunosupresive seperti kortikosteroid. Pertanyaan
penting adalah mengapa pada sebagian orang yang terinfeksi menjadi
sakit sedangkan orang lain tidak menjadi sakit. Hal ini menunjukkan
bahwa ada faktor lain yang terlibat dalam kerentanan terhadap infeksi TB
yaitu faktor genetik pejamu (Bellamy, et al., 1998).
Bukti penting dan kuat adanya keterlibatan faktor genetik dalam
kerentanan terhadap TB diketahui dari penelitian terhadap orang kembar.
Pada tahun 1930, beberapa penelitian genetik yang besar dilakukan untuk
mengetahui insidens TB di antara kembar monozigot dan dizigot.

Penelitian Buschman, et al. (2004) mendapatkan bahwa sekitar 60%
kembar monozigot menderita TB, 20% kembar dizigot dan 10% pada
pasangan suami istri.
Peran faktor genetik juga didapatkan dari penelitian hubungan
faktor genetik dengan kerentanan dan resistensi terhadap TB. Penelitian
dilakukan

dengan

berbagai

metode

seperti

studi

kasus

kontrol,


pendekatan terhadap kandidat gen, analisis famili dan studi rangkaian
genom manusia (Selvaraj, et al., 2003). Rangkaian genom manusia
merupakan awal dari analisis sistematis terhadap keragaman genetik
manusia. Polimorfisme genom manusia yang terjadi pada 1-2% individu
normal ditemukan pada sekitar 1 dari setiap 300 - 600 nukleotida.
Walaupun hanya sedikit dari polimorfisme mempunyai relevansi klinis tapi
semua polimorfisme mempunyai nilai sebagai marker genetik dalam
pemetaan regio Deoxy Ribonucleic Acid (DNA) yang menentukan
kerentanan terhadap penyakit (Kwiatkowski, 2000).

2

3
Penelitian

tentang

hubungan


antara

kandidat

gen

dengan

kerentanan atau ketahanan terhadap TB pada berbagai etnis yang
berbeda telah banyak dilakukan. Gen yang diteliti antara lain Natural
Resistance Associated Macrophage Protein 1 (NRAMP1), Vitamin D
Receptor (VDR), Human Leucocyte Antigen (HLA), Tumor Necrosis Factor
α (TNFα), Interleukin 1 (IL1) dan Interleukin 10 (IL10) (Delgado, et al.,
2002). Kandidat gen Reseptor Vitamin D (Vitamin D Receptor / VDR)
akhir-akhir ini menarik perhatian. Keterlibatan polimorfisme gen Reseptor
Vitamin D (RVD) terhadap berkembangnya TB paru telah diselidiki pada
beberapa populasi atau etnis yang berbeda dan memberikan hasil yang
berbeda pada setiap etnis (Lewis, et al., 2005).
Selain berperan dalam regulasi metabolisme kalsium, fosfor dan
tulang, ternyata vitamin D mempunyai fungsi non skeletal, salah satunya

adalah fungsi imunologis. Adanya reseptor vitamin D di dalam nukleus selsel sistem imun, seperti makrofag, menunjukkan fungsi imunologis vitamin
D (Hayes, et al., 2003). Makrofag diketahui berperan sangat penting
dalam infeksi M. tuberculosis. Makrofag merupakan bagian dari sistem
pertahanan tubuh non spesifik (innate immunity). Diketahui bahwa sistem
pertahanan tubuh manusia yang berperan penting terhadap infeksi M.
tuberculosis adalah sistem imun selular dan makrofag adalah sel yang
penting dalam sistem pertahanan ini (Raja, 2004).
Peran vitamin D dalam terjadinya TB diketahui dari beberapa
penelitian yang telah dilakukan. Beberapa penelitian invitro oleh Rockett et
al. (1998), Sly et al. (2001), Liu et al. (2007) dan Martineau et al. (2007)

3

4
memperlihatkan peran vitamin D terhadap makrofag. Penambahan vitamin
D terhadap makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis, dapat meningkatkan
kemampuan makrofag dalam mengeliminasi M. tuberculosis. Penelitian
tentang kadar vitamin D dalam darah juga menunjukkan adanya
hubungan kadar vitamin D dalam darah dengan terjadinya TB. Nnoaham
dan Clarke (2008) melakukan penelitian meta analisis dan menemukan

adanya hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan risiko
menderita TB aktif. Peran vitamin D dalam hal pengobatan TB sebenarnya
telah dilakukan sebelum era pemberian obat anti tuberkulosis. Pada masa
itu TB diobati dengan memberikan suplementasi vitamin D, diet yang
mengandung vitamin D tinggi seperti minyak ikan dan sinar matahari pada
sanatorium. Terapi ini menghasilkan efek yang sangat baik dalam
pengobatan TB kulit (Rook 1988).
Fungsi imunologis vitamin D dimulai oleh adanya stimulasi M.
tuberculosis terhadap reseptor makrofag. Stimulasi ini mengaktifkan
ekspresi reseptor vitamin D dan 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase
(1-OHase) yang menghasilkan bentuk aktif vitamin D yaitu 1,25(OH)2D.
Kemudian 1,25(OH)2D memasuki inti sel dan berikatan dengan reseptor
vitamin D yang kemudian membentuk heterodimer dengan retinoid X
receptor (RXR). Interaksi antara dimer VDR-RXR dan vitamin D respons
elements (VDRE) pada promotor gen target protein antimikrobial
cathelicidin (LL37) mengakibatkan terjadinya transkripsi cathelicidin, suatu
peptida

yang


mampu

meningkatkan

imunitas

non

spesifik

dan

merangsang penghancuran agen seperti M. tuberculosis (Chun, et al.,

4

5
2008). Penelitian lain mendapatkan ekspresi cathelicidin pada penderita
TB paru lebih rendah dibandingkan orang sehat (Selvaraj, et al., 2009).
Gen reseptor vitamin D terletak pada kromosom 12 yaitu 12cen-q12

dan terdiri dari 15 exon dengan panjang 75 kb. Single nucleotide
polymorphism (SNPs) telah diidentifikasi pada gen ini antara lain dikenal
sebagai FokI, BsmI, ApaI dan TaqI. Penelitian mengenai hubungan
polimorfisme gen reseptor vitamin D dengan kerentanan terhadap TB
telah banyak dilakukan pada populasi yang berbeda dengan hasil yang
berbeda. Pada populasi di Gambia, genotip tt homozigot adalah protektif
terhadap TB. Sebaliknya, genotip TT adalah protektif terhadap TB pada
wanita India Selatan (Takif, 2007). Penelitian populasi tentara di Cina
mendapatkan genotip FF berhubungan dengan ketahanan terhadap TB
(Liu, et al., 2004). Sebaliknya penelitian Bornman, Delgado, Lombard,
Roth, Soborg pada populasi tertentu menunjukkan tidak ada hubungan
antara gen reseptor vitamin D dengan kerentanan terhadap TB (Takif,
2007). Penelitian di London pada bangsa India Gujarati mendapatkan
bahwa defisiensi vitamin D dalam serum berhubungan dengan kerentanan
terhadap TB. Pada penelitian tersebut tidak ada hubungan antara genotip
RVD dengan terjadinya TB, tapi genotip TT/Tt dan genotip ff berhubungan
dengan kerentanan terhadap TB jika terdapat defisiensi vitamin D
(Wilkinson,

et


al.,

2000).

Penelitian

meta

analisis

berdasarkan

pengelompokan etnis, mendapatkan hasil adanya hubungan polimorfisme
gen reseptor vitamin D FokI genotip ff dengan kerentanan terhadap TB
pada

populasi

Asia,


sementara

polimorfisme

5

BsmI

genotip

bb

6
berhubungan dengan ketahanan terhadap TB. Pada populasi Afrika dan
Amerika Selatan tidak satupun dari polimorfisme gen reseptor vitamin D ini
berhubungan secara signifikan dengan kerentanan terhadap TB (Gao, et
al., 2010).
Adanya variasi antara etnik dapat dijelaskan oleh data di dunia
mengenai distribusi alel dan genotip gen reseptor vitamin D (Zmuda, et al.,

2000). Frekuensi alel b polimorfisme BsmI pada populasi Asia sekitar
89,6% yaitu Cina 91,7%, Korea 92,1% dan Jepang 87,4%, sementara
frekuensi pada Kaukasia adalah 52,9 – 57,7% (Fang, et al., 2009).
Menurut Stead (2001), kerentanan terhadap infeksi TB telah
berubah dari dapat mengenai manusia mana saja menjadi hanya
mengenai populasi tertentu sebagai akibat seleksi alam yang terjadi pada
nenek moyang yang kontak dengan bakteri dan berhasil selamat selama
era pra antibiotik. Jadi, lingkungan yang berbeda dan faktor seleksi alam
menghasilkan adaptasi imunogenetik yang spesifik pada suatu populasi
terhadap TB.
Uraian di atas menjelaskan adanya hubungan antara gen reseptor
vitamin D dengan kerentanan terhadap TB. Adanya hasil yang berbeda
mungkin berhubungan dengan latar belakang genetik yang berbeda di
berbagai populasi. Bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku
maka risiko untuk terjadinya penyakit dapat berbeda karena variasi
genetik yang berbeda. Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian yang
dibatasi pada populasi suku Batak di Medan. Penelitian dilakukan pada
suku Batak karena suku Batak adalah salah satu dari beberapa suku yang

6

7
ada di Medan dengan jumlah populasi yang besar. Selain itu hal ini juga
bertujuan untuk mencegah adanya bias genetik antar suku, sehingga
penelitian dibatasi hanya pada satu suku saja. Seperti sudah dipaparkan
di atas, etnis memegang peranan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga
membatasi polimorfisme yang diteliti yaitu polimorfisme FokI dan BsmI.
Hal ini berdasarkan penelitian meta analisis oleh Gao et al. (2010) yang
mendapatkan adanya hubungan gen reseptor vitamin D polimorfisme FokI
dan BsmI dengan kerentanan terhadap TB pada populasi Asia. Dengan
demikian dapat diperoleh data tentang peran polimorfisme gen Reseptor
Vitamin D dengan kerentanan terhadap TB di Indonesia, khususnya pada
suku Batak.

1.2. Perumusan Masalah
Apakah polimorfisme FokI dan BsmI gen Reseptor Vitamin D berpengaruh
terhadap kerentanan terjadinya TB paru suku Batak di Medan?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Mengetahui pengaruh gen Reseptor Vitamin D polimorfisme FokI dan
BsmI terhadap kerentanan terjadinya TB paru suku Batak di Medan.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi alel dan genotip polimorfisme
FokI gen Reseptor Vitamin D pada penderita TB paru dan
bukan penderita TB paru suku Batak di Medan.

7

8
2. Mengetahui distribusi frekuensi alel dan genotip polimorfisme
BsmI gen Reseptor Vitamin D pada penderita TB paru dan
bukan penderita TB paru suku Batak di Medan.
3. Mengetahui pengaruh gen Reseptor Vitamin D polimorfisme
FokI terhadap kerentanan terjadinya TB paru suku Batak di
Medan.
4. Mengetahui pengaruh gen Reseptor Vitamin D polimorfisme
BsmI terhadap kerentanan terjadinya TB paru suku Batak di
Medan.
5. Mengetahui pengaruh genotip polimorfisme FokI gen Reseptor
Vitamin D terhadap luas lesi foto toraks penderita TB paru suku
Batak di Medan.
6. Mengetahui pengaruh genotip polimorfisme BsmI gen Reseptor
Vitamin D terhadap luas lesi foto toraks penderita TB paru suku
Batak di Medan.

1.4.

Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teoritis
Dengan mengetahui adanya pengaruh polimorfisme FokI dan BsmI
gen Reseptor Vitamin D terhadap kerentanan terjadinya TB paru,
maka dapat diketahui faktor predisposisi dari sisi genetik untuk
terjadinya TB paru pada suku Batak di Medan.

8

9
1.4.2. Manfaat terapan
Memanfaatkan konseling genetika jika diketahui adanya peran
genetik dalam hal ini polimorfisme FokI dan BsmI gen Reseptor
Vitamin D terhadap terjadinya TB paru untuk mencegah terjadinya
TB paru pada suku Batak.

1.5.

Orisinalitas
Berdasarkan penelusuran secara kepustakaan, peneliti
belum menemukan penelitian tentang peran polimorfisme FokI dan
BsmI gen Reseptor Vitamin D pada kerentanan terhadap TB paru
suku Batak di Indonesia dan dunia. Yang telah diteliti adalah peran
defisiensi vitamin D dan polimorfisme FokI, BsmI, ApaI serta TaqI
gen reseptor vitamin D terhadap TB pada anak di daerah Jawa
Barat.

1.6.

Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
1. Ditemukannya variasi gen Reseptor Vitamin D pada suku Batak
di Indonesia.
2. Diketahuinya distribusi alel dan genotip polimorfisme FokI dan
BsmI gen Reseptor Vitamin D pada suku Batak di Indonesia.
3. Diketahuinya pengaruh polimorfisme FokI dan BsmI gen
reseptor Vitamin D terhadap kerentanan terjadinya tuberkulosis
paru pada suku Batak.

9