Peran Polimorfisme Gen Reseptor Vitamin D Pada Kerentanan Terhadap Tuberkulosis Paru Suku Batak Di Medan

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan masalah infeksi serius di dunia.
Berdasarkan survei data, terjadi peningkatan kasus TB paru di dunia dari
9,24 juta kasus baru (140 per 100.000 populasi) pada tahun 2006 menjadi
9,27 juta kasus TB paru di dunia (139 per 100.000 populasi) pada tahun
2007. Sebanyak 55% kasus di dunia berada di Asia, 31% di Afrika dan
tiga daerah lainnya (Amerika, Eropa dan Mediterania Timur) dengan
jumlah kasus yang sedikit (WHO, 2009). Laporan terakhir dari WHO
menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke 4 terbanyak kasus TB
di dunia setelah bertahun-tahun dilaporkan menempati rangking ke 3 di
dunia. India, Cina, Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan, menempati
lima rangking tertinggi di dunia dalam hal jumlah insiden kasus
tuberkulosis (WHO, 2012).
Di Indonesia diperkirakan terdapat 0,53 juta kasus baru TB setiap
tahunnya dan 91.000 orang meninggal dalam setahun (WHO, 2009).
Menurut


Survei

Kesehatan

Rumah

Tangga

(SKRT)

Departemen

Kesehatan Republik Indonesia (2001), penyakit infeksi dan parasit
merupakan

penyebab

kematian

nomor


dua

setelah

penyakit

kardiovaskular pada semua kelompok usia di Indonesia pada tahun 2000,
dan TB merupakan penyebab kematian nomor satu dari kelompok
penyakit infeksi. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 dalam

10

11
Depkes RI (2008) melaporkan TB adalah penyebab kematian kedua
setelah strok pada semua golongan umur. Pada tahun 2007, di Sumatera
Utara ditemukan 15.799 penderita TB untuk semua golongan umur dan
13.369 diantaranya adalah kasus baru dengan BTA positip (Depkes RI,
2008).
Demikian pentingnya masalah tuberkulosis ini sehingga WHO pada

tahun

1993

menetapkan

bahwa

tuberkulosis

merupakan

global

emergency di dunia (WHO, 2003).

2.2. Reaksi Imunologi Pejamu terhadap Infeksi Tuberkulosis
Sistem pertahanan tubuh manusia terhadap infeksi M. tuberculosis
terdiri atas sistem imun non spesifik (innate immunity) dan sistem imun
spesifik antigen (aquired immunity atau adaptive immunity). Sistem imun

nonspesifik mempunyai peran esensial dalam membatasi perkembangan
M. tuberculosis dan terutama dilakukan oleh makrofag.
Masuknya kuman M. tuberculosis ke dalam tubuh adalah melalui
saluran nafas dengan cara inhalasi droplet. Jika sistem pertahanan pada
saluran nafas tidak dapat mengeluarkan atau menghalangi masuknya
kuman tersebut maka kuman akan sampai ke saluran nafas bawah dan
mencapai alveoli. Pertahanan pertama begitu kuman sampai ke saluran
nafas bawah adalah makrofag alveoli dan juga sel dendritik. Interaksi
makrofag dan sel dendritik dengan M. tuberculosis mencakup ikatan
antara M. tuberculosis pada reseptor makrofag dan sel dendritik melalui
reseptor

seperti

Toll-like

receptor

11


(TLR),

nucleotide-binding

12
oligomerization domain-(NOD-) like receptor (NLRs) dan C-type lectins
termasuk mannose receptor, DC-SIGN dan Dectin-1. Reseptor lain yang
potensial termasuk complement receptor, scavenger receptor, surfactan
protein A receptor (Sp-A) dan reseptor kolesterol. Interaksi antara M.
tuberculosis dengan TLR menginduksi aktivasi faktor transkripsi nukleus /
Nucleus Factor kappa B (NF-κB) dan produksi sitokin proinflamatori
seperti TNF-α, IL-1, IL-12, kemokin dan nitric oxide (NO) melalui jalur yang
tergantung dengan myeloid differentiation primary response protein 88
(MyD88-dependent)

atau

jalur

tidak


tergantung

MyD88

(MyD88

independent pathway). Interaksi ini juga menghasilkan respon imun inat
berupa antimikrobial (Ahmad, 2011).
Kemudian mikroorganisme difagosit oleh makrofag, terjadi fusi
fagolisosom dan proses penghancuran dan pembunuhan M. tuberculosis
dengan cara pembentukan reactive oxygen intermediate (ROI), reactive
nitrogen intermediate (RNI), lingkungan asam dalam lisosom dan enzim
hidrolitik (Raja, 2004).
Interleukin-12

yang

dihasilkan


oleh

makrofag

juga

dapat

merangsang produksi Interferon gamma (IFN-γ) oleh natural killer cell / sel
NK dan sel T, diferensiasi sel T CD4 (Cluster of Differentiation-4) menjadi
sel T helper 1 (Th-1) yang memproduksi IFN-γ dan juga meningkatkan
fungsi sitolitik sel NK dan sel CD8. Interferon-γ merupakan sitokin aktivator
makrofag yang kuat (Baratawijaya & Rengganis, 2009).
Tahap selanjutnya pada perkembangan imunitas pejamu adalah
transport patogen dari paru menuju ke aliran getah bening yang dilakukan

12

13
oleh sel dendritik yang matang untuk dipresentasikan kepada sel T naive.

Proses ini menginisiasi respon imun adaptif atau sistem imun spesifik
antigen (Bhatt & Salgame, 2007).
Mekanisme respon imun spesifik antigen merupakan interaksi
antara sel limfosit dengan antigen presenting cell (APC) terutama sel
dendritik dan makrofag. Antigen presenting cell akan mempresentasikan
protein kuman dalam bentuk peptida kepada sel limfosit T sehingga
menimbulkan respon imun selular. Antigen dipresentasikan kepada sel
limfosit T melalui 2 jalur yaitu kepada sel limfosit Th1 CD4 melalui Major
histocompatibility complex (MHC) kelas II dan kepada sel limfosit Th1 CD8
melalui MHC kelas I. Fungsi utama sel CD4 adalah produksi sitokin
termasuk IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil.
Fungsi lain sel limfosit Th1 CD4 adalah membantu berkembangnya
respon sel Th1 CD8, induksi apoptosis sel yang terinfeksi, dan
menurunkan viabilitas bakteri. Sel Th1 CD8 mampu melisiskan sel yang
terinfeksi dan mengurangi jumlah bakteri intraselular karena adanya
perforin, granzim dan granulisin. Selain itu sel T CD8 juga dapat
menghasilkan IFN-γ yang penting untuk aktivasi makrofag. Walaupun sel
efektor utama yang berperan dalam cell mediated immunity adalah sel
limfosit T CD4 yang mempunyai tipe antigen reseptor αβ, juga dikenal sel


limfosit tipe antigen γδ yang mempunyai perlindungan imunitas terhadap

infeksi TB. Sel T γδ mampu mensekresi sitokin seperti IFN-γ, mempunyai
aktivitas sitotoksik, dapat bertindak sebagai antigen precenting cell dan

13

14
memberi sinyal kostimulator yang diperlukan untuk menginduksi proliferasi
sel T αβ (Hernandez, et al., 2007).
Mekanisme pertahanan lain yang penting adalah apoptosis
makrofag yang terinfeksi. Vesikel yang terbentuk dari apoptosis yang
mengandung antigen ditangkap oleh sel dendritik untuk mengaktivasi sel
Th1 CD8. Sel Th1 CD8 yang diaktivasi ini menghasilkan IFN-γ, yang
menyebabkan

makrofag

yang


terinfeksi

menghasilkan

RNI

untuk

membunuh M. tuberculosis intraselular (Ahmad, 2011).
Komponen respon imun nonspesifik lain adalah Nramp, neutrofil
dan sel NK. Nramp sangat penting dalam transport nitrit dari kompartemen
intraselular seperti sitosol menuju lingkungan yang lebih asam seperti
fagolisosom, yang akan diubah menjadi NO. Defek pada produksi Nramp
meningkatkan kerentanan terhadap M. tuberculosis. Neutrofil juga dapat
memfagosit M. tuberculosis dan mengandung defensin yang dapat
memperantarai pembunuhan makrofag. Sel natural killer dapat melisiskan
patogen atau monosit yang terinfeksi serta dapat mensekresi sitokin
terutama IFN-γ (Raja, 2004). Protein Nramp1 juga diketahui sebagai
pompa kation divalen seperti Fe2+, Mn2+ yang berperan meningkatkan
keasaman fagosom, pempercepat fusi fagolisosom dan meningkatkan

efek bakterisidal dari makrofag (Agranoff, et al., 1999; Jabado, et al.,
2000).
Efek vitamin D terhadap imunitas terhadap infeksi M. tuberculosis
akhi-akhir ini menarik perhatian. Efek imunitas vitamin D terhadap infeksi
TB diawali dengan stimulasi M. tuberculosis terhadap makrofag melalui

14

15
reseptor TLR. Sinyal tersebut mengaktifkan ekspresi reseptor vitamin D
dan 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase (1-OHase). Enzim 1-OHase
mengubah 25(OH)D menjadi bentuk aktifnya, yaitu 1,25 dihidroksivitamin
D [1,25(OH)2D]. Kemudian 1,25(OH)2D memasuki inti sel, yang akan
meningkatkan

ekspresi

cathelicidin,

suatu

peptida

yang

mampu

meningkatkan imunitas non spesifik dan merangsang penghancuran agen
seperti M. tuberculosis (Holick, 2007).

Gambar 2.1. Mekanisme respon imun terhadap infeksi tuberkulosis
(dikutip dari Leandro, 2009).

Ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi pada orang yang terpapar
dengan M. tuberculosis. Pada sebagian kecil individu, M. tuberculosis
dengan segera akan dieliminasi oleh pejamu pada waktu inhalasi, yang
kemungkinan besar karena innate immunity yang tinggi. Frekuensi dan

15

16
penyebab belum diketahui dengan pasti. Pada kelompok kedua, yaitu
kelompok terbanyak, respons innate tidak dapat memberikan proteksi
terhadap infeksi. Sitokin efektor Th1 dari respon imun adaptif penting
untuk membatasi pertumbuhan bakteri. Walaupun sistem imun adaptif
yang dihasilkan memberikan proteksi tetapi tidak dapat menghasilkan
imunitas steril. Penderita ini akan tetap terinfeksi secara laten dan dapat
terjadi reaktivasi penyakit jika imunitas melemah atau menderita penyakit
yang menurunkan imunitas. Pada kelompok ketiga yang berjumlah hanya
sekitar 10%, sistem imun adaptif gagal mengontrol replikasi inisial
sehingga terjadi TB primer (Bhatt & Salgame, 2007).

2.3. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis
Hanya 10% dari sepertiga penduduk dunia yang diperkirakan WHO
telah terinfeksi kuman M. tuberculosis akan berkembang menjadi
penyakit. Setelah terinfeksi kuman TB, sebagian besar manusia
menghasilkan respon imun yang efektif untuk membatasi atau mencegah
terjadinya penyakit. Tapi faktor risiko yang ada seperti usia lanjut,
konsumsi alkohol, diabetes tak terkontrol, infeksi kuman HIV dan
penggunaan

imunosupresive

seperti

kortikosteroid

diketahui

dapat

menyebabkan berkembangnya penyakit (Bellamy, et al., 1998).
2.3.1. Tuberkulosis dan HIV
Penderita HIV mempunyai risiko 10 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang tidak terinfeksi HIV untuk menderita TB. Pada
penderita HIV, limfosit CD4 berkurang jumlah dan fungsinya. Hal ini

16

17
menyebabkan sistem imun berkurang kemampuannya untuk mencegah
pertumbuhan dan penyebaran M. tuberculosis (Harriers, et al., 1997).
2.3.2. Faktor lingkungan
Lingkungan yang kumuh dan padat penduduk sering mempercepat
berkembangnya

TB.

Sirkulasi

yang

jelek

dapat

memperbesar

kemungkinan terjadinya penularan. Sinar ultraviolet dapat membunuh
kuman M. tuberculosis. Adanya pajanan dari orang dekat (close contact)
yang biasanya terjadi jika tinggal bersama penderita TB mempermudah
penularan. Faktor kemiskinan juga berperan dalam berkembangnya
tuberkulosis seperti orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Selain itu
penyalahgunaan obat merupakan faktor yang penting juga (Lobue, et al.,
2008; Hopewell & Bloom, 2000).
2.3.3. Asal kelahiran
Di negara dengan insidens tuberkulosis yang rendah seperti
Amerika Serikat, dilaporkan bahwa kasus tuberkulosis banyak terjadi pada
penduduk yang berasal dari negara lain yang insidens tuberkulosisnya
tinggi dan juga disebabkan karena meningkatnya angka penderita HIVAIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) (Lobue, et al., 2008;
Hopewell & Bloom, 2000).
2.3.4. Penurunan daya tahan tubuh
Diabetes melitus dan penyakit berat lainnya seperti kanker dapat
menurunkan imunitas tubuh. Penggunan obat-obatan imunosupresif
seperti kortikosteroid pada penderita alergi ataupun penyakit autoimun,
atau yang akan menjalani transplantasi juga dapat menurunkan imunitas.

17

18
Ini semua dapat menyebabkan berkembangnya TB (Lobue, et al., 2008;
Hopewell & Bloom, 2000).
2.3.5. Merokok
Mekanisme spesifik efek asap rokok pada infeksi pernafasan dan
inflamasi terus diteliti tapi masih banyak yang belum diketahui. Asap rokok
diketahui mempunyai efek signifikan pada epitel pernafasan dan makrofag
alveolar.

Rokok

secara

langsung

mempengaruhi

integritas

dan

permeabilitas dan mengganggu mucociliary clearance (Dye & Adler, 1994;
Jones et al., 1980). Asap rokok mengaktifkan makrofag alveolar untuk
memproduksi mediator inflamasi, reactive oxygen species dan enzim
proteolitik (Stampli & Anderson, 2009). Asap rokok juga mengurangi
kemampuan makrofag alveolar untuk memfagosit bakteri dan pengenalan
terhadap patogen (Berenson et al., 2006; Hodge et al., 2007). Pada
perokok dan COPD terjadi penurunan anti oksidan katalase dan super
oxide dismutase (SOD) dibandingkan bukan perokok, yang menunjukkan
adanya peningkatan stres oksidatif (Tavilani, et al., 2012).
Merokok

juga

mempengaruhi

autophagi

makrofag

alveolar.

Autophagi adalah proses selular yang menangkap dan mendaur ulang
organela sitoplasmik yang rusak atau agregasi protein melalui jalur
lisosomal. Fagositosis dan penghantaran patogen ke lisosom termasuk
dalam proses autophagi. Pada makrofag alveolar perokok terjadi defek
pada fungsi autophagi yang dapat berkontribusi meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi virus (Hansdottir, 2011).

18

19
Tikus yang dipaparkan terhadap asap rokok,

pada paru dan

limpanya terdapat M. tuberculosis yang lebih banyak pada saat isolasi
dibandingkan tikus kontrol. Terdapat peningkatan jumlah M. tuberculosis
intraselular pada isolat makrofag manusia yang merokok dibandingkan
bukan perokok. Makrofag alveolar manusia dan THP-1 makrofag manusia
yang dipaparkan terhadap ekstrak asap rokok yang mengandung nikotin
atau akrolin menunjukkan peningkatan M. tuberculosis intraselular (Shang
et al., 2011).
Studi epidemiologi memperlihatkan perokok mempunyai kadar
vitamin D yang lebih rendah dibandingkan bukan perokok (Brot et al.,
1999; Need et al., 2002). Tapi belum ada bukti hubungan merokok dengan
cathelicidin. Ekstrak asap rokok meningkatkan ekspresi gen beta defensin
tapi ekspresi gen cathelicidin tidak berubah terhadap pajanan rokok
tersebut (Pierson, et al., 2013).
2.3.6. Alkohol
Alkohol dapat menghasilkan efek toksik langsung pada sistem imun
yang

menyebabkan

pejamu

lebih

rentan

terhadap

penyakit

TB.

Mycobacterium tuberculosis yang terinhalasi akan dihancurkan oleh
makrofag alveolar. Jika makrofag tidak mampu melakukannya maka
bakteri akan bermultiplikasi di dalamnya. Penelitian invitro menunjukkan
meningkatnya kemampuan survival dan bertumbuhnya Mycobacterium
avium intraselular oleh paparan alkohol (Bermudez, 1994). Alkohol juga
menurunkan respons sistem NO terhadap infeksi Mycobacterium dan
menginhibisi fagositosis (Gamble, et al., 2006). Percobaan pada tikus

19

20
menunjukkan alkohol dapat menginhibisi pembentukan granuloma,
produksi IL-2, produksi IFNγ, dan proliferasi CD4+ (Mason, et al., 2004).
Migration Inhibition Factor (MIF) adalah salah satu sitokin yang
produksinya diinhibisi oleh adanya alkohol. Alkohol juga menurunkan
produksi

sitokin

seperti

TNF-α,

IL-1

dan

IL-6.

Alkohol

dapat

mempengaruhi aktivasi sel T sehingga populasi Th2 (imunitas humoral)
mendominasi populasi Th1 (imunitas selular, yang bertanggung jawab
terhadap infeksi TB). Perubahan ini mengganggu keseimbangan antara
dua tipe dasar sistem imun, sehingga menurunkan pertahanan imun dan
meningkatkan kerentanan terhadap TB (Gamble, et al., 2006).
Hubungan antara penggunaan alkohol dan TB juga dapat diterangkan
melalui pola sosial yang spesifik, yang dapat meningkatkan risiko
seseorang terpajan terhadap infeksi TB. Contohnya adalah bar tempat
peminum dapat menjadi sumber penularan sesama peminum (Diel, et al.,
2002), orang yang tidak mempunyai tempat tinggal (Haddad, et al., 2005),
dan penjara (Fazel, et al., 2006).
Peminum alkohol sering mengalami defisiensi vitamin D karena
alkohol dapat menyebabkan penurunan sekresi enzim pencernaan,
mengurangi absorbsi nutrien karena rusaknya sel yang melapisi lambung
dan usus dan mempengaruhi transport ke dalam darah. Alkohol
menginhibisi absorbsi lemak sehingga mengganggu absorbsi vitamin A, E
dan D yang biasanya diabsorbsi bersamaan dengan diet lemak. Defisiensi
vitamin D pada alkoholik juga dapat disebabkan karena kurangnya asupan
vitamin D akibat buruknya diet pada peminum (NIH, 1993). Selain itu

20

21
alkohol juga dapat merusak liver seperti terjadinya sirosis hepatis yang
berakibat defisiensi vitamin D akibat penurunan hidroksilase pada liver
dan penurunan produksi vitamin D binding protein (Malham et al., 2011).
2.3.7. Faktor genetik pejamu.
Saat ini didapat bukti-bukti bahwa faktor genetik berperan dalam
kerentanan individu terhadap TB. Penelitian terhadap orang kembar
monozigot dan dizigot, analisis famili, penelitian secara kasus kontrol, dan
penelitian terhadap kandidat gen yang terlibat dalam kerentanan terhadap
TB merupakan salah satu bukti keterlibatan genetik. Rangkaian genom
manusia merupakan awal dari analisa sistematis terhadap keragaman
genetik manusia. Single nucleotide polymorphism (SNP) yaitu berubahnya
satu nukleotida menjadi nukleotida lain, seperti adenin menjadi guanin
merupakan variasi DNA yang paling sering (Kwiatkowski, 2000). Single
nucleotide polimorfisme adalah daerah pada DNA di mana terdapat variasi
nukleotioda dari orang ke orang. Variasi ini dapat mempengaruhi
kecepatan transkripsi gen, stabilitas RNA messenger, atau kuantitas dan
aktivitas dari protein yang dihasilkan. Polimorfisme dapat merupakan
marker genetik yang dapat diturunkan dari orang tua ke anak. Akhir-akhir
ini SNP menjadi populer sebagai pilihan yang dipakai dalam mempelajari
marker genetik untuk mempelajari ciri genetik yang kompleks (Bid & Mittal,
2003).

2.4. Kandidat Gen yang Berhubungan dengan Kerentanan terhadap

21

22
Tuberkulosis pada Manusia
Berkembangnya TB merupakan hasil interaksi yang kompleks
antara pejamu, patogen dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Beberapa
gen pejamu terlibat dalam proses ini. Penelitian terhadap famili yang
terlibat, serta kemajuan teknik biomolekular saat ini seperti penentuan
SNP, memungkinkan dilakukannya identifikasi terhadap kandidat gen
yang

berhubungan

dengan

kerentanan

terhadap

TB.

Hubungan

polimorfisme kandidat gen dan kerentanan / ketahanan terhadap TB pada
berbagai populasi di dunia dapat dilihat pada tabel 2.1.
Terlihat adanya beberapa gen yang berbeda yang mempengaruhi
kerentanan terhadap TB. Satu kandidat gen memberikan hasil yang
berbeda pada setiap populasi. Jadi, pada satu populasi, satu kandidat gen
dapat berhubungan dengan kerentanan terhadap TB, sedangkan pada
populasi lain gen tersebut berhubungan dengan ketahanan terhadap TB,
ataupun tidak ada hubungan sama sekali dengan TB.
Beberapa kandidat gen polimorfisme yang banyak dihubungkan
dengan kerentanan dan ketahanan terhadap TB pada grup etnik yang
berbeda di antaranya gen NRAMP1, Vitamin D Receptor (VDR), Human
leucocyte antigen (HLA), IL-1, Interferon-γ, TNF-α, IL-10 (Delgado, et al.,
2002). Polimorfisme lain yang berhubungan dengan kerentanan atau
ketahanan terhadap TB yaitu gen TLR, Nitric Oxide Synthase 2 (NOS 2)
dan Vitamin D Binding Protein (VDBP)(Leandro, et al., 2009).
Tabel 2.1. Hubungan antara kandidat gen polimorfisme dan TB di
berbagai populasi

22

23

Kandidat gen
polimorfisme yang diteliti
NRAMP1
-D543N
-3’ untranslated region (3’
UTR)
-Intron 4 (INT4)
-5’ CA repeat
-236 SNP
VDR
-TaqI
-FokI
TNF-α promoter
-307 SNP
-237 SNP
-1030 SNP
-862 SNP
-865 SNP
-375 SNP
-243 SNP
IL-10 promoter
-1082 SNP
-819,-592 linked SNPs
IL-1 gene complex
- IL-1β-511 SNP
- IL-1β+3953 SNP
- Il-Ra INT2

Populasi yang dihubungkan dengan polimorfisme
Kerentanan

Ketahanan

Tidak ada hubungan

Gambia, Jepang
Gambia, Korea

Kamboja
Kamboja

Guinea, Taiwan
Taiwan

Gambia, Guinea
Gambia

Jepang

Kamboja
Guinea,
Gambia, Kamboja

Gambia

Hindus Gujarat, Kamboja
Hindus Gujarat, Kamboja

India
India

Kamboja
Kamboja
Kamboja
Kamboja
Kamboja
Kamboja
Kamboja

Kamboja
Kamboja

Gambia
Gambia, Kamboja

India
India

India, Gambia, Kamboja
Gambia, Kamboja
Kamboja

Gambia

Sumber : Delgado, 2002.
2.5. Vitamin D
2.5.1. Biosintesis dan degradasi vitamin D pada regulasi metabolisme
kalsium, fosfor dan tulang.
Vitamin D merupakan prohormon steroid. Vitamin ini diwakili oleh
sekelompok senyawa steroid yang terutama terdapat pada hewan,
tanaman dan ragi. Vitamin D yang berasal dari makanan didapat terutama
dari diet tinggi minyak ikan dan disebut dengan vitamin D2 (ergokalsiferol)
sedangkan vitamin D3 (kolekalsiferol) adalah vitamin D3 yang dihasilkan
melalui penyinaran sinar matahari terhadap 7-dehidroklesterol dalam
tubuh hewan dan manusia (Hayes, et al., 2003).

23

24
Manusia memperoleh vitamin D dari paparan sinar matahari, diet
dan suplemen. Terpaparnya kulit oleh sinar matahari mengkatalisis
langkah pertama biosintesis vitamin D. Sinar ultraviolet B masuk ke kulit,
memutuskan cincin B pada 7-dehidrokolesterol sehingga mengubah 7dehidrokolesterol menjadi previtamin D3 yang dengan cepat berubah
menjadi vitamin D3. Pemaparan yang berlebihan terhadap sinar matahari
mendegradasi previtamin D3 dan vitamin D3 menjadi inaktif, sehingga tidak
terjadi intoksikasi vitamin D3 (Hayes, et al., 2003; Holick, 2007).
Gambar di bawah ini memperlihatkan struktur kimia ergosterol dan
7-dehidrokolesterol yang dengan adanya sinar ultraviolet B berubah
menjadi previtamin D2 dan D3, dan pada akhirnya menghasilkan vitamin
D2 dan D3.

Gambar 2.2. Proses pembentukan vitamin D (dikutip dari Bikle, 2009).

24

25
Vitamin D yang berasal dari diet bersatu menjadi chylomicron dan
ditransport oleh sistem limfatik menuju sirkulasi vena. Vitamin D dari kulit
dan diet dapat disimpan dan dilepaskan oleh sel-sel lemak. Vitamin D
yang ada di sirkulasi diikat oleh vitamin D binding protein (pengikat vitamin
D) yang akan mengangkut vitamin D ke liver.
Di liver vitamin D dikatalisis oleh enzim D-25-hidroksilase
(25-OHase) yang disandi oleh gen CYP2D25 menjadi 25-hidroksi vitamin
D (yang juga sering ditulis dengan 25-(OH)D atau 25D), yang biasa
digunakan untuk menentukan status vitamin D pasien. Kemudian 25hidroksivitamin D dimetabolisme di ginjal oleh enzim 25-hidroksivitamin D1α-hidroksilase (CYP27b1) yang disandi oleh gen CYP27B1 menjadi
bentuk aktifnya, yaitu 1α,25-dihidroksivitamin D dengan rumus kimia 1α25-(OH)2D (Hayes, et al., 2003) atau sering ditulis dengan 1,25D atau
1,25(OH)2D.
Inaktivasi 1α-25-(OH)2D juga terjadi di ginjal sama seperti pada
jaringan target lainnya seperti usus dan tulang, dilakukan oleh enzim 25hidroksivitamin D-24 hidroksilase (24 OH-ase) yang disandi oleh gen
CYP24. Enzim ini mengkatalisasi inaktivasi 25 hidroksivitamin D dan 1,25dihidroksivitamin D menjadi bentuk inaktif secara biologi yaitu asam
kalsitroik yang dapat larut dalam air. Melalui umpan balik negatif,
1,25(OH)2D menurunkan sintesisnya sendiri. Selain itu 1,25(OH)2D
meningkatkan ekspresi 25-hidroksivitamin D-24-hidroksilase (24-OHase)
untuk mengkatabolis 1,25(OH)2D menjadi asam kalsitroik, bentuk inaktif
yang larut dalam air yang diekskresikan ke dalam empedu (Holick, 2007).

25

26
Absorbsi kalsium di usus kecil ditingkatkan oleh 1,25(OH)2D

26

27
dengan cara berinteraksi dengan vitamin D receptor-retinoic acid x-

27

28
receptor complex (VDR-RXR) yang meningkatkan ekspresi ephitelial

28

29
calcium channel transient receptor potential cation channel, subfamily V,

29

30
member 6 (TRPV6) dan calbindin 9K, suatu calcium-binding protein

30

31
(CaBP). Reseptor di osteoblast juga dapat mengenal 1,25(OH)2D,

31

32
menyebabkan peningkatan ekspresi receptor activator of nuclear factor-κB
ligand (RANKL). RANK, reseptor untuk RANKL pada proosteoklas,
mengikat RANKL, dan mempercepat proosteoklas menjadi osteoklas yang

matang. Osteoklas yang matang melepaskan kalsium dan fosfat dari
tulang, sehingga mempertahankan kadar kalsium dan fosfat dalam darah.
Kadar fosfat dan kalsium yang adekuat meningkatkan mineralisasi
kerangka (Holick, 2007).
32

33

Gambar 2.3. Sintesis dan metabolisme vitamin D dalam regulasi
metabolisme kalsium, fosfor dan tulang (dikutip dari Holick, 2007).

.2.5.2. Fungsi non skeletal vitamin D
Selain berfungsi dalam regulasi metabolisme kalsium, fosfor dan
tulang, vitamin D mempunyai aksi atau fungsi nonskeletal. Otak, prostat,
payudara dan usus adalah sebagian dari beberapa jaringan, seperti juga
sel-sel imunitas, yang mempunyai reseptor vitamin D dan respon terhadap
1,25-dihidroksivitamin D, bentuk aktif vitamin D. Beberapa dari jaringan
dan sel ini mengekspresikan enzim 25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase
(Holick, 2007).
Ketika konsentrasi 25(OH)D (25 hidroksivitamin D) kira-kira 30 ng
per mililiter, risiko beberapa kanker berkurang. Diyakini bahwa produksi
lokal 1,25(OH)2D pada payudara, kolon, prostat dan jaringan lain
mengatur berbagai gen yang mengontrol proliferasi, termasuk p21 dan
p27, dan juga inhibisi angiogenesis dan induksi diferensiasi dan apoptosis.
Sekali 1,25(OH)2D menyelesaikan tugas dalam memelihara proliferasi dan
diferensiasi sel, maka akan mendorong ekspresi dari enzim 25hidroksivitamin D-24-hidroksilase (24-OHase) sehingga meningkatkan
katabolisme 1,25(OH)2D menjadi asam kalsitroik. Jadi, 1,25(OH)2D yang
diproduksi secara lokal tidak memasuki sirkulasi dan tidak mempengaruhi
metabolisme kalsium. Kelenjar paratiroid juga mempunyai aktivitas 1OHase, dan produksi lokal 1,25(OH)2D menginhibisi ekspresi dan sintesis

33

34
hormon paratiroid (Holick, 2007). Sedangkan 1,25(OH)2D yang dihasilkan
oleh ginjal memasuki sirkulasi dan menurunkan produksi renin (Li, 2003)
serta menstimulasi sekresi insulin pada sel-sel beta di pankreas (Chiu, et
al., 2004). Defisiensi vitamin D juga berhubungan dengan peningkatan
risiko kardiovaskular karena pada otot jantung 1,25-dihidroksivitamin D
meningkatkan kontraktilitas miokard (Lee, et al., 2008).

Gambar

2.4.

Metabolisme

25-hidroksivitamin

D

menjadi

1,25-

dihidroksivitamin D dalam fungsi nonskeletal (dikutip dari Holick, 2007).

Monosit atau makrofag yang terpapar dengan lipopolisakarida atau
M. tuberculosis meningkatkan regulasi gen reseptor vitamin D dan gen 25hidroksivitamin

D-1α-hidroksilase.

Peningkatan

produksi

1,25-

dihidroksivitamin D menghasilkan sintesis cathelicidin, suatu peptida yang
34

35
mempunyai kemampuan menghancurkan M. tuberculosis seperti juga
terhadap agen infeksius lainnya. Selain itu 1,25-dihidroksivitamin D juga
adalah imunomodulator yang penting. Gambar 2.4. memperlihatkan
metabolisme 25-hidroksivitamin D menjadi 1,25-dihidroksivitamin D dalam
fungsi nonskeletal (Holick, 2007).
2.5.3. Fungsi imunologi vitamin D terhadap tuberkulosis.
Sudah sejak lama vitamin D diduga mempunyai peran dalam
imunitas terhadap TB. Sebelum era kemoterapi, TB diobati dengan
memberikan suplementasi vitamin D, diet yang mengandung vitamin D
tinggi seperti minyak ikan dan sinar matahari pada sanatorium. Terapi ini
menghasilkan efek yang dramatik dalam mengobati TB kulit (Rook, 1988).
Beberapa penelitian invitro menerangkan peran vitamin D terhadap
makrofag. Penambahan vitamin D terhadap makrofag yang terinfeksi M.
tuberculosis

meningkatkan

kemampuan

dalam

mengeliminasi

M.

tuberculosis ditemukan oleh Rockett et al. (1998) melalui induksi
peningkatan ekspresi reactive nitrogen intermediates, melalui

reactive

oxygen intermediate oleh Sly et al. (2001), dan melalui efek antimikrobial
cathelicidin oleh Liu et al. (2007). Penelitian invitro oleh Martineau et al.
(2007), dengan memberikan vitamin D dosis tunggal 2,5 mg ternyata
dapat meningkatkan kemampuan mengeliminasi M. tuberculosis.
Peran vitamin D terhadap infeksi TB telah banyak diteliti.
Ditemukan adanya peningkatan kerentanan terhadap TB pada ras yang
lebih berpigmen dan juga orang yang hidup pada daerah yang kurang
sinar matahari (Takiff, 2007). Banyak penelitian yang menghubungkan

35

36
defisiensi vitamin D dengan meningkatnya risiko menderita TB di
antaranya

penelitian dari Indonesia (Setiabudiawan, 2010) dan India

(Sasidharan & Rajeev, 2002). Penelitian meta analisis oleh Nnoaham dan
Clarke (2008) menemukan adanya hubungan antara kadar vitamin D yang
rendah dengan risiko menderita TB aktif.
Efek imunitas vitamin D terhadap infeksi TB diawali dengan
stimulasi M .tuberculosis terhadap makrofag. Sewaktu makrofag atau
monosit distimulasi melalui reseptornya, toll-like receptor 2/1 (TLR2/1)
oleh agen infeksius seperti M. tuberculosis atau lipopolisakaridanya, sinyal
tersebut mengaktifkan ekspresi reseptor vitamin D (VDR) dan 25hidroksivitamin D-1α-hidroksilase (1-OHase). Kadar 25- hidroksivitamin D
[25(OH)D / 25 D]≥ 30 ng (≥75 nmol per liter) memberikan substrat yang
adekuat untuk 1-OHase mengubah 25(OH)D menjadi bentuk aktifnya,
yaitu 1,25 dihidroksivitamin D [1,25(OH)2D]. Kemudian 1,25(OH)2D
memasuki inti sel, yang akan meningkatkan ekspresi cathelicidin, suatu
peptida

yang

mampu

meningkatkan

imunitas

non

spesifik

dan

merangsang penghancuran agen seperti M. tuberculosis. Selain efek
antimikrobial cathelicidin, 1,25(OH)2D yang dihasilkan oleh monosit atau
makrofag juga memberi efek lokal pada sel limfosit T yang mengatur
sintesis sitokin dan juga memberi efek pada sel limfosit B yang mengatur
sintesis imunoglobulin (Holick, 2007).
Proses masuknya vitamin D dari serum hingga menghasilkan
cathelicidin diterangkan dan terlihat pada gambar 2.5. di bawah ini.

36

37

Gambar 2.5. Mekanisme pengambilan, metabolisme dan reseptor vitamin
D pada makrofag (dikutip dari Chun, 2008).

Vitamin D [ 25-hidroksivitamin D / 25D / 25(OH)D ] dalam serum
yang ditemukan terikat dengan vitamin D binding protein (DBP) atau
dalam bentuk bebas, diinternalisasi oleh makrofag baik melalui difusi pasif
25D yang bebas atau melalui megalin (meg)-mediated uptake. Intraselular
25D kemudian ditranslokasikan ke mitokondria 25-hidroksivitamin D-1αhidroksilase (CYP27b1) yang dihubungkan dengan constitutive heat-shock
protein 70 (hsc70). Kemudian 1,25-dihidroksivitamin D (1,25D) yang
dihasilkan oleh CYP27b ditranslokasikan ke dalam nukleus yang
berpotongan dengan hsc70 dan Bcl-2-associated athanogene (BAG-1). Di
dalam inti 1,25D berikatan dengan Vitamin D Receptor (VDR) yang
kemudian membentuk heterodimer dengan Retinoid X Receptor (RXR).
Interaksi antara dimer VDR-XDR dan vitamin D Respons Elements
(VDRE) pada promotor gen target seperti protein antimikrobial cathelicidin
(LL37) dikontrol oleh VDRE-binding protein (VDRE-BP). Regulasi
transkripsi LL37 yang diperantarai oleh 1,25D meningkatkan kemampuan
37

38
protein antimikrobial untuk membunuh bakteri dalam fagolisosom (Chun
et al., 2008).

2.6. Reseptor Vitamin D
2.6.1 Fungsi dan struktur reseptor vitamin D
Analisis struktur dan fungsi Reseptor Vitamin D memperlihatkan 5
domain yang berfungsi pada RVD dengan dua domain utama yaitu Nterminal zinc finger DNA binding domain (DBD), dan C-terminal ligand
binding domain (LBD), dan ada 427 asam amino pada RVD. Domain AB
adalah daerah yang pendek dengan fungsi yang belum terlalu jelas.
Variasi polimorfisme yang meniadakan tiga asam amino pertama pada Nterminal meningkatkan potensi transaktivasi karena berinteraksi lebih baik
dengan faktor transkripsi TFIIB. (Bouillon, et al., 2008; Haussler, et al.,
2008).
Inti protein dari VDR DNA-binding domain diorganisasi dalam 2
modul beratom Zinc dengan sinyal terletak di antara jari-jari dua Zinc yang
berfungsi penting yaitu translokasi nukleus RVD. Bagian tengah heliks
yang dibentuk oleh residu pada sisi terminal C dari jari zinc yang pertama
masuk secara langsung ke dalam lekukan utama dari bagian tengah
VDRE. Perpanjangan terminal C memberi spesifisitas tambahan. (Hayes,
et al., 2003). Daerah hinge dari RVD penting untuk kemampuan
fleksibilitas RVD ketika DNA berinteraksi melalui DBD dan juga interaksi
LBD dengan protein koaktivator (Haussler, et al., 2003).

38

39
Ligand binding domain terdiri dari 12 α-heliks, mempresentasikan
permukaan RVD untuk heterodimerisasi dengan RXR (heliks 7,9,10, dan
lain-lain), dan juga untuk transaktivasi melalui interaksi dengan koaktivator
(Co-Act). Koaktivator berinteraksi dengan RVD terdiri dari heliks H3 dan
H12 (pada domain F atau AF2) dan daerah N-terminal jari Zinc. Reseptor
Vitamin D juga membentuk kompleks dengan faktor transkripsi seperti
TFIIB dekat N-terminus dari RVD, juga dengan korepresor seperti produk
gen Hr yang berhubungan dengan daerah hinge dan H3 (Haussler et al.,
2008).

Gambar 2.6. Diagram skematik Reseptor Vitamin D (dikutip dari Haussler,
2008)

.

Sewaktu 1,25(OH)2D terikat, RVD mengalami fosforilasi dan

konformasi

permukaannya

direkonfigurasi

menghasilkan

pelepasan

korepresor. Selain itu sebagai respon dari ikatan tersebut, RVD merekrut
pasangan dimerisasinya yaitu RXR dan berikatan dengan VDRE. Kedua
reseptor ini berinteraksi secara simetris dengan LBD, tapi dengan DBD
berinteraksi secara asimetris, dengan RXR yang lebih compact dan RVD
39

40
dalam keadaan konfigurasi yang extended antara LBD dan DBD. Modulasi
ekspresi gen tidak diperantarai secara langsung oleh ikatan heterodimer
VDR/RXR terhadap DNA, tapi lebih tergantung kepada kemampuan dimer
ini untuk merekrut coregulatory protein complexes, sebagai pengganti
korepresor yang selama ini ‘menenangkan’ ekspresi gen (Bouillon, et al.,
2008).
Sewaktu terjadi rekonfigurasi RVD akibat ikatan dengan ligand,
koaktivator permukaan dapat mengikat RVD. Studi memperlihatkan
coactivator exchange terjadi dalam kompleks transkriptional pada reseptor
inti promotor. Yang pertama direkrut adalah koaktivator famili CBP/p300
dan famili protein p160, termasuk steroid receptor coactivators (SRCs)
seperti SRC-1. Protein-protein ini mempunyai aktivitas asetiltransferase
histon intrinsik dengan cara asetilasi ekor histon, membuka struktur
kromatin sehingga menciptakan lingkungan kromatin yang permisive
untuk terjadinya transkripsi gen. Berikutnya yang dikrekrut adalah vitamin
D receptor interacting protein (DRIP) / T3 receptor auxiliary protein (TRAP),
sementara DRIP205 / TRAP 220 berikatan secara langsung dengan
heterodimer VDR/RXR. Selanjutnya faktor transkripsi basal, seperti RNA
polimerase II direkrut ke daerah mulainya transkripsi dan sebagai hasilnya
transkripsi gen target dimulai (Bouillon, et al., 2008, Haussler, et al., 2008,
Chiba, et al., 2000). Selain itu ekspresi gen juga dapat dipengaruhi oleh
pengaturan kembali dalam array nukleosom, yang diperantarai ole ATPdependent chromatin remodeling complexes diantaranya kompleks tipe
SWI / SNF (Bouillon, et al., 2008).

40

41

Gambar 2.7 Skema regulasi transkripsi gen RVD ( dikutip dari Bouillon,
2008)

2.6.2. Polimorfisme gen Reseptor Vitamin D
Reseptor Vitamin D memiliki gen yang terdiri dari struktur
intron/exon yang kompleks dan terdapat pada kromosom 12 manusia atau
tepatnya 12cen-q12. Gen ini terdiri dari 15 exon dan ada kira-kira 75
kilobase genom DNA. Exon IA melalui IF menyandi daerah 5’
untranslated, exon II dan III menyandi DNA-binding domain dan ekson VI-

41

42
IX

menyandi

ligand-binding

region.

Ekson

IX

juga

mengandung

keseluruhan daerah 3’UTR (Zmuda, et al., 2000).
Sedikitnya ada 22 mutasi yang berhubungan dengan gen Reseptor
Vitamin D yang pernah dilaporkan. Perubahan nukleotida tunggal yang
menghasilkan substitusi asam amino pada daerah DNA dan ligand binding
adalah jenis mutasi yang utama. Single Nukleotide Polymorphism (SNPs )
yang ada yaitu FokI, BsmI, ApaI dan TaqI dapat diketahui dengan adanya
enzim restriksi yang dapat mendeteksi variasi tersebut. Teknik yang
dipakai untuk mengetahui adanya polimorfisme ini adalah dengan cara
PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction - Restriction Fragment Length
Polymorphism) (Zmuda, et al., 2000).
FokI menunjukkan transisi C-T (ACG-ATG) pada daerah pertama
dari dua daerah potensial inisiasi translasi di exon II. Individu dengan alel
C (ditandai dengan F) memulai translasi pada daerah ATG yang kedua
dan ketidakadaan tiga asam amino terminal –NH2 dari panjang
keseluruhan protein reseptor vitamin D. Sebaliknya individu dengan alel T
(ditandai dengan f) memulai translasi pada daerah ATG pertama dan
mensintesis seluruh panjang protein reseptor vitamin D (427 asam amino)
(Zmuda, et al., 2000).
BsmI bekerja di intron 8 (antara ekson VIII dan IX), membuktikan
perubahan G-A; alel G ditandai dengan B dan alel A ditandai dengan b.
ApaI bekerja di intron 8 (antara ekson VIII dan IX), membuktikan
perubahan T-G; alel T ditandai dengan A dan alel G ditandai dengan a.
Substitusi nukleotida T-C (ATT-ATC) yang menghasilkan silent transition

42

43
pada codon 352 di exon IX diditeksi oleh enzim restriksi TaqI (Zmuda, et
al., 2000).
Varian ApaI dan BsmI berada di intron antara exon VIII dan IX,
diketahui menghasilkan splicing errors. Walaupun polimorfisme ApaI dan
BsmI terletak pada intron, tetapi perubahan pada rangkaian atau urutan
intron dapat mempengaruhi ekspresi protein (Gyorffy et al., 2002).
Polimorfisme TaqI tidak mungkin mempengaruhi fungsi reseptor vitamin D,
karena kedua alel menyandi isoleusin pada asam amino 352. Tetapi ada
penelitian menunjukkan bahwa polimorfisme TaqI bisa mempengaruhi
keseimbangan TH1 vs TH2. Homozigot ‘tt’ cenderung menghasilkan
respon imun tipe TH1 dan homozigot ‘TT’ menghasilkan respon tipe TH2.
Individu dengan homozigot ‘tt’ ditemukan resisten terhadap TB paru,
menunjukkan bahwa respon imun tipe TH1 adalah protektif pada individu
dengan TB (Roy, et al., 1999). Varian FokI adalah kandidat fungsional
yang paling mungkin karena perbedaan struktural yang disebabkan kedua
alel dapat mempengaruhi fungsi dari protein RVD (Arai, et al., 1997).
Polimorfisme yang lain diketahui adalah mononucleotide repeat
[(A)n] polimorphism dengan variasi pada panjang dari 13-24 adenosin (12
alel) (poly(A)) yang terjadi pada daerah 3’ untranslated gen RVD.
Distribusi dari ukuran alel adalah bimodal dimana individu dapat
diklasifikasikan mempunyai alel pendek (A13-A17) dan alel yang panjang
(A18-A24) (Zmuda, et al., 2000).

43

44

Gambar 2.8. Diagram skematik gen RVD dan lokasi polimorfisme (dikutip
dari http://www.genomos.eu)

2.7. Cathelicidin
Cathelicidin adalah suatu polipeptida antimikrobial yang memegang
peranan penting dalam sistem pertahanan imun non spesifik pada
mamalia dalam melawan infeksi bakteri yang invasif. Cathelicidin
dihasilkan oleh beberapa sel yaitu sel monosit, neutrofil, epitel, sel mast
dan makrofag alveolar. Polipeptida antimikrobial disintesis sebagai
preprotein dan disimpan sebagai proprotein inaktif. Untuk menjadi aktif
secara biologi polipeptida ini harus dilepaskan dari proprotein dengan
proteolytic cleavage dan dilepaskan secara exocytosis ke eksterior atau
ke fagolisosom (S∅rensen, 2005).
44

45
Sel makrofag alveolar pada manusia adalah sel utama yang
menghasilkan

cathelicidin

setelah

terinfeksi

oleh

M.

tuberculosis.

Makrofag distimulasi oleh M. tuberculosis melalui reseptor makrofag, TollLike Receptor (TLR) yaitu TLR-2, TLR-4, dan TLR-9, dan TLR-9 adalah
reseptor yang paling kuat distimulasi oleh M. tuberculosis. Cathelicidin
tidak terdeteksi pada granuloma tuberkulosis, yang artinya cathelicidin
berpartisipasi hanya pada infeksi awal. Sehingga disimpulkan bahwa
cathelicidin sangat berperan penting dalam respon imun inat melawan M.
tuberculosis (Rivas-Santiago, et al., 2008). Penelitian level cathelicidin dari
sel mononuklear darah tepi 65 orang penderita TB paru dibandingkan 60
orang subjek normal mendapatkan kadar cathelicidin yang lebih rendah
secara signifikan pada penderita TB paru (Selvaraj, et al., 2009).
Yamshchikov et al. (2010) mendapatkan nilai kadar cathelicidin dalam
serum penderita tuberkulosis sebelum diobati sebesar 49,5 ng/ml (SD:
23,8 ng/ml; dengan interval 8,2-111,2 ng/ml; n=95).

2.8. Suku Batak
Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia.
Nama

ini

merupakan

sebuah

terminologi

kolektif

untuk

mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal
dari Tapanuli, Sumatera Timur dan Sumatera Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak
Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing.

45

46
Banyak pendapat tentang asal usul suku Batak. Ada yang mengatakan
suku Batak berasal dari Thailand, dari Burma, dari India, dari Yunan di
Cina Selatan, dari Formosa Taiwan, dari Vietnam, dari Toraja, dari
Sumatera Selatan, dari Lampung bahkan dari suku Mon di Malaysia.
Berdasarkan sejumlah fakta dan hasil penelitian, menurut Bungaran
Antonius Simanjuntak, nenek moyang bangsa Batak berasal dari
keturunan Mansyuria dari ras Mongolia yang hidup di daerah Utara Tibet
sekitar 7.000 tahun lalu. Pada masa itu, nenek moyang orang Batak diusir
oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Kemudian
suku Mansyuria ini bermigrasi ke pegunungan Tibet melalui Tiongkok
(Cina). Bersama dua rekannya dari Belanda dan Thailand, juga
berdasarkan sejumlah literatur yang ada dan adanya budaya yang sama,
Bungaran mendapati bahwa setelah dari pegunungan Tibet, suku
Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dengan Thailand. Suku
Mansyuria yang terus dikejar oleh suku Barbar Tartar kembali bergerak
menuju arah Timur ke Kmer Kamboja dan ke Indocina (Zul, 2013).
Suku Mansyuria menjadi manusia kapal dari Indocina menuju Filipina,
kemudian ke Sulawesi Utara atau Toraja. Mengikuti angin Barat, mereka
berlayar ke arah Lampung dan akhirnya naik ke Danau Toba. Saat
berlayar dari Indocina, sebagian suku Mansyuria melewati Tanah Genting
Kera di Semenanjung Melayu dan berlayar menuju pantai Timur Sumatera
dan mendarat di Kampung Teluk Aru di Aceh. Setelah itu mereka
bermigrasi ke Tanah Karo dan meneruskan perjalanan ke Danau Toba.
Penerus keturunan Mansyuria ini tidak hanya menetap di Danau Toba

46

47
tetapi juga di wilayah Barus dan di Tanah Karo. Lama perjalanan migrasi
suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet hingga keturunannya
menetap di Danau Toba, Barus dan Karo sekitar 2.000 tahun (Zul, 2013).

2.9. Hubungan Polimorfisme Gen RVD dan Kerentanan terhadap TB
Penelitian

awal

menemukan

genotip

tt

homozigot

sedikit

dipresentasikan pada penderita TB paru pada populasi di Gambia,
menunjukkan kemungkinan genotip tt homozigot adalah protektif dengan
OR=0,53. Sebaliknya, genotip TT berhubungan dengan penurunan
kerentanan pada wanita India Selatan (Takiff, 2007). Liu melakukan
penelitian pada populasi tentara di Cina dan mendapatkan genotip FF
berhubungan dengan ketahanan terhadap TB. Penelitian ini dilakukan
pada populasi yang hampir homogen karena sampel berasal dari tentara
yang berasal dari lingkungan yang sama tapi penelitian dilakukan hanya
pada laki-laki dan tidak dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D dalam
darah (Liu, et al., 2004). Enam penelitian lain oleh Bornman, Delgado,
Lombard,

Roth,

Soborg

dan

Wilkinson

pada

populasi

tertentu

menunjukkan tidak ada hubungan antara gen RVD dengan kerentanan
terhadap TB, walaupun penelitian di Peru mendapatkan genotip Tt dan FF
berhubungan dengan konversi kultur sputum yang lebih cepat setelah
terapi inisiasi (Takif, 2007). Penelitian di London pada bangsa India
Gujarati, defisiensi vitamin D dalam serum berhubungan dengan
kerentanan terhadap TB, dan terjadi kerentanan terhadap TB pada

47

48
individu dengan genotip Tt atau TT jika disertai adanya defisiensi vitamin
D (Wilkinson, et al., 2000).
Gao et al. (2010) melakukan penelitian meta-analisis hubungan
antara

polimorfisme

gen

Reseptor

Vitamin

D

dan

TB

dengan

membedakan populasi berdasarkan etnis. Hasilnya yaitu pada populasi
Asia, genotip FokI ff menunjukkan hubungan yang positip dengan
terjadinya TB (OR 2.0, 95% CI 1.3-3.2) dan genotip BsmI bb berhubungan
terbalik dengan terjadinya TB (OR 0.5, 95% CI 0.4-0.8). Tidak satupun
dari polimorfisme gen Reseptor Vitamin D ini berhubungan secara
signifikan dengan terjadinya TB pada populasi Afrika dan Amerika
Selatan.

48

49
2.10. Kerangka Teori
Mycobacterium tuberculosis
Kadar vitamin D dalam serum

IL 12

MHC Kelas I →

Makrofag
CYP 27b1
1,25 D (bentuk aktif vitamin
D)
1,25 +
VDR → VDR + RXR
VDR
VDR+RXR+VD
RECathelicidin
(LL37)

TNFα, IFN γ
Lysis sel yang terinfeksi
Apoptosis sel yang terinfeksi
TNFα, IFNγ

IL
12
MHC Kelas TNFα,
II → IFNγ
ROI
RNI

Merokok

Sel NK

Alkohol

Baktersidal

Polimorfismegen
gen
Polimorfisme
VDR

Gen-gen
l i

Sehat

Faktor kuman
Gen
Diabetes
Penyakit berat : ginjal, liver
Konsumsi
kostikoteroid,

Fagosom
Sakit
Fagolisosom
Genetik

Merokok,
Malnutrisi
Sosio ekonomi
Imunosupresive :

Enzim hidrolitik
Gambar 2.9. Kerangka Teori
Lingkungan asam
Keterangan:
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Variabel bebas (independen)

: - polimorfisme gen Reseptor Vitamin D

Variabel tergantung (dependen) : - Sakit TB paru

2.11. Hipotesis Penelitian
1. Polimorfisme FokI gen Reseptor Vitamin D berpengaruh
terhadap kerentanan terjadinya tuberkulosis paru suku Batak.
2. Polimorfisme BsmI gen Reseptor Vitamin D berpengaruh
terhadap kerentanan terjadinya tuberkulosis paru suku Batak.

49

50
2.12. Kerangka Konsep
Variabel bebas

Variabel tergantung

Polimorfisme FokI
Gen Reseptor Vitamin D

TB Paru

Polimorfisme BsmI
Gen Reseptor Vitamin D

Variabel
perancu yang
di k kl i
Gangguan
pejamu
• HIV/AIDS

Variabel perancu
yang dimatching
Faktor Pejamu
- Usia
- Jenis kelamin
- Etnik

Variabel perancu
yang dikontrol
dengan analisis
Kebiasaan
- Merokok
- Konsumsi alkohol

imunitas

• Diabetes Melitus

• Penyakit berat lain :
liver, ginjal, dsb

• Konsumsi steroid &
sedang kemoterapi

Gambar 2.10. Kerangka Konsep
Kuman M. tuberculosis masuk ke saluran nafas melalui inhalasi
droplet dan jika sistem pertahan pada saluran nafas tidak dapat
menghalanginya maka kuman mencapai alveoli. Terdapat makrofag dan
sel dendritik di alveoli yang merupakan pertahanan pertama menghadapi
kuman M. tuberculosis melalui ikatan antara M. tuberculosis pada receptor
makrofag dan sel dendritik. Hal ini menginduksi aktivasi faktor transkripsi
nukleus (NF-κB) dan produksi sitokin proinflamatori seperti IL-12.
Kemudian

mikroorganisme

difagosit

oleh

makrofag,

terjadi

fusi

fagolisosom dan proses penghancuran dan pembunuhan kuman dengan
cara pembentukan reactive oxygen intermediate (ROI), reactive nitrogen
intermediate (RNI), lingkungan asam dalam lisosom dan enzim hidrolitik.

50

51
Mekanisme respon imun spesifik antigen merupakan interaksi
antara sel limfosit dan antigen presenting cell yaitu dendritik dan makrofag
yang akan mempresentasikan protein kuman dalam bentuk peptida
kepada sel limfosit T. Ini menimbulkan respon imun selular. Antigen
dipresentasikan kepada sel limfosit T melalui 2 jalur yaitu kepada sel
limfosit T helper 1 CD4 melalui MHC kelas II dan kepada sel limfosit T
helper 1 CD8 melalui MHC kelas I. Fungsi utama sel CD4 dan CD8 adalah
produksi sitokin termasuk IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk
menghancurkan basil. Sel Th1 CD8 mampu melisiskan sel yang terinfeksi
dan mengurangi jumlah bakteri intraselular .
Efek imunitas vitamin D terhadap infeksi TB diawali dengan
stimulasi M. tuberculosis terhadap makrofag melalui reseptornya, toll-like
receptor. Sinyal tersebut mengaktifkan ekspresi reseptor vitamin D dan
25-hidroksivitamin D-1α-hidroksilase (1-OHase) sehingga mengubah
25(OH)D menjadi bentuk aktifnya, yaitu 1,25 dihidroksivitamin D
[1,25(OH)2D]. Kemudian 1,25(OH)2D memasuki inti sel, meningkatkan
ekspresi cathelicidin, suatu peptida yang mampu meningkatkan imunitas
non spesifik dan bersifat bakterisidal terhadap M. tuberculosis.
Sakit atau tidaknya seorang yang terinfeksi kuman M. tuberculosis
ditentukan oleh banyak faktor. Faktor tersebut dapat berasal dari faktor
kuman, lingkungan dan pejamu seperti adanya penyakit yang menurunkan
daya tahan tubuh seperti umur, DM, HIV/AIDS, kanker dan penyakit berat
lainnya, malnutrisi, sosioekonomi, pemakaian obat imunosupresive,
kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol dan faktor genetik.

51

52
Pada penelitian ini usia, jenis kelamin dan etnik antara kelompok
kasus dan kontrol disepadankan. Faktor perancu menderita HIV / AIDS,
diabetes mellitus dan penyakit berat lainnya serta sedang mengkonsumsi
obat bersifat imunosupresive dieksklusi. Faktor perancu konsumsi alkohol
dan merokok yang dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi
M. tuberculosis, antara lain dengan cara menurunkan kemampuan
makrofag, dikendalikan dengan analisis statistik.
Peran genetik dalam penelitian ini dikaitkan dengan adanya gen
tertentu pada seseorang yang membuat orang tersebut lebih rentan
terhadap TB paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah gen
VDR polimorfisme FokI dan BsmI berperan terhadap kerentanan
seseorang terhadap TB paru, sehingga orang tersebut mempunyai risiko
lebih tinggi untuk menjadi sakit TB paru dibandingkan orang lain.

52