Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman.

ANALISIS UP TAKE KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI
KOMPOS LUMPUR WATER TREATMENT PLANT OLEH
TANAMAN

ENHAR HAKIM

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ABSTRAK

ENHAR HAKIM. Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos
Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman. Dibimbing oleh Dr. Satyanto K.
Saptomo, STP, MSi dan Allen Kurniawan, ST, MT.
Pemanfaatan lumpur hasil pengolahan sangat minim dan kurang
diperhatikan oleh banyak kalangan industri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kelayakan kompos dari lumpur pengolahan air minum sebagai
media tanam, mengidentifikasi adanya kandungan logam berat pada kompos yang

terserap pada tanaman, dan mendegradasi kandungan logam berat pada lumpur
dengan cara fitoremediasi. Metode yang digunakan adalah pemanfaatan kompos
WTP sebagai media tanam tanpa campuran tanah. Pada pengujian menggunakan
tiga macam kompos WTP yang berbeda-beda. Kompos 1 berasal dari WTP PT.
Krakatau Tirta Industri, Cilegon, Jawa Barat. Kompos 2 berasal dari WTP PDAM
Tirta Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Kompos 3 berasal dari WTP PDAM Tirta
Kahuripan, Cibinong Jawa Barat. Pada ketiga uji tanaman mengalami
pertumbuhan yang subur dan mengalami proses degradasi logam berat. Hasil
ketiga uji kandungan logam berat pada tanaman setelah panen menunjukkan nilai
di atas ambang batas SNI 7387 tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran
logam berat dalam pangan. Tanaman dengan menggunakan kompos WTP tidak
aman untuk dikonsumsi. Pendegradasian logam berat pada saat dalam bentuk
lumpur WTP hingga tanaman dipanen mengalami penurunan nilai logam berat.
Hal ini menunjukkan kelayakan pemanfaatan lumpur WTP dengan cara
pengomposan dan pengaplikasian pada media tanam. Kompos WTP dapat
menyuburkan tanaman, tetapi tidak untuk tanaman pangan.
.
Kata kunci : lumpur, kompos, logam berat, degradasi, SNI 7387 tahun 2009

ABSTRACT


ENHAR HAKIM. Analysis Up Take Content Heavy Metal from Composting the
Sludge Water Treatment Plant by Plants. Supervised by Dr. Satyanto K.
Saptomo, STP, MSi and Allen Kurniawan, ST, MT.
Utilization of sludge processing results are very minimal and less noticed by
many among the industry. This research aims to identify the feasibility of compost
of sludge processing drinking water as a medium for planting, identifying the
presence of heavy metals content in the compost that is absorbed in plants, and
degrades the contents of heavy metals in sludge by means of fitoremediasi. The
method used is the utilization of compost as a medium for planting without WTP
mixed soil. On testing using three kinds of different compost WTP. Compost 1
comes from WTP PT. Krakatau Tirta Industry, Cilegon, West Java. Compost 2
comes from WTP PDAM Tirta Pakuan Bogor, West Java. Compost 3 comes from
WTP PDAM Tirta Kahuripan Cibinong, West Java. On the third having a lush
growth of vegetation and experience the process of degradation the heavy metals.
The results of the three trials heavy metal content in plants after harvest showed
values above the threshold limit of SNI 7387 in 2009 about The Limit of Heavy
Metal Contamination in Food. Composting plant using WTP is not safe for
consumption. Degradation of heavy metals in the form of mud at the WTP to
harvest heavy metals impaired. This demonstrates the feasibility of the utilization

of WTP sludge by composting and application of the growing media. Compost
WTP can fertilize the plants, but not for food crops.
Keywords: mud, compost, heavy metals, degradation, SNI 7387 in 2009.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

ANALISIS UP TAKE KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI
KOMPOS LUMPUR WATER TREATMENT PLANT OLEH
TANAMAN

ENHAR HAKIM


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama mahasiswa
NIM

: Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos
Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman.
: Enhar Hakim
: F44080052


Disetujui oleh,

Dr. Satyanto K. Saptomo, STP, MSi
Pembimbing I

Allen Kurniawan, ST, MT
Pembimbing II

Diketahui oleh,

Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, MAgr
Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

Tanggal lulus:

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan tugas akhir ini yang berjudul “Analisis Up Take

Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh
Tanaman” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos Departemen
Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor, dari bulan Maret 2012 hingga Desember 2012.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dr. Satyanto K, Saptomo, STP, MSi selaku dosen pembimbing pertama penelitian
dan Allen Kurniawan, ST, MT selaku dosen pembimbing kedua penelitian.
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih atas do’a kedua orangtua dan temanteman dalam memberikan semangat. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi penyempurnaan penelitian ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Bogor, 4 Februari 2013

Enhar Hakim

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
TUJUAN PUSTAKA
Karakteristik Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum
Sumber Lumpur
Karakteristik Fisik Lumpur
Karakteristik Kimia Lumpur
Karakteristik Biologi Lumpur
Pemanfaatan Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum
Pengomposan
Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan
Karakteristik Lumpur dan Mutu Kompos
Teknik Remediasi Tanah
Soil Venting
Soil Vapour Extraction (SVE)

Bioremediasi
Proses Fitoremediasi
Mekanisme Proses
Media Proses/Tanam
BAHAN DAN METODE
Tempat Dan Waktu
Alat Dan Bahan
Metode Pelaksanaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lumpur
Proses Pengomposan
Karakteristik Pengomposan
Pengaruh Kandungan Logam Berat Terhadap Tanaman
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP


viii
viii
x
1
2
2
2
3
3
3
4
4
11
11
12
12
17
17
18
18

19
21
23
25
28
28
28
28
31
31
33
37
40
50
50
50
52
55
59


DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos 13
Tabel 2 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara
aerobik
16
Tabel 3 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan
tanamannya
22
Tabel 4 Kualitas lumpur sebelum pengomposan
31
Tabel 5 Karakteristik lumpur
32
Tabel 6 Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya
36
Tabel 6 Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan
37
Tabel 7 Perbandingan kualitas kompos WTP dengan SNI 19-7030-2004
38
Tabel 8 Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004
39
Tabel 9 Uji pertama pada tanaman kangkung
44
Tabel 10 Uji kedua pada tanaman kangkung dan cabe
45
Tabel 11 Uji ketiga lumpur pada kangkung dan rumput gajah mini
46

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Proses tranportasi Soil Vapour Extraction
Gambar 2 Alfalfa legum salah satu tumbuhan hyperaccumulator
Gambar 3 Diagram alir penelitian
Gambar 4 Pembibitan kangkung pada uji pertama dengan pupuk komersil
(kiri) dan kompos 2 (kanan)
Gambar 5 Tanaman kangkung uji kedua dengan kompos : A. Komersil, B.
kompos 1, dan C. kompos 2
Gambar 6 Rumput gajah mini dan kangkung pada uji ketiga dengan
menggunakan lumpur 2

19
27
30
44
45
48

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kadar air uji ketiga

56

Lampiran 2 Kadar air uji kedua

56

Lampiran 3 Parameter yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam
setiap jenis air limbah industri

57

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan industri yang cukup pesat di Indonesia mengakibatkan
meningkatnya jumlah limbah, sehingga dapat menimbulkan permasalahan
lingkungan apabila tidak ditangani secara serius. Pemanfaatan lumpur hasil
pengolahan sangat minim dan kurang diperhatikan oleh banyak kalangan industri.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir biaya pengeluaran pengolahan lanjutan
untuk setiap proses produksi. Dampak negatif yang dilihat dalam jangka pendek
tidak terlalu berpengaruh terhadap lingkungan sekitar, karena hanya menghasilkan
tumbuhan liar. Namun dampak negatif dalam jangka panjang dapat mengganggu
karakteristik alamiah tanah.
Perusahaan air minum merupakan salah satu instansi yang menghasilkan
limbah berupa lumpur padat dan lumpur cair di setiap akhir proses produksi. Pada
umumnya lumpur cair dibuang langsung ke badan air seperti sungai, sedangkan
lumpur padat dibiarkan menumpuk pada suatu lahan. Instansi ini menghasilkan
produksi lumpur yang besar dari hasil sedimentasi air baku (sungai), sebagian
besar berupa bahan organik. Selain bahan organik, lumpur mengandung logam
berat dengan konsentrasi yang beragam. Logam berat seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Cr,
dan Zn tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Logam-logam tersebut
dihasilkan oleh bahan kimia yang digunakan dalam proses penjernihan dan
sterilisasi air yang akan digunakan dalam proses pengolahan air baku. Pada
kegiatan domestik dan non domestik selain perusahaan air minum, logam tersebut
dapat berasal dari limbah bahan makanan, kegiatan rumah tangga, industri,
percetakan, pabrik kimia, tekstil, farmasi, dan lainnya yang kemungkinan berada
di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai), ketika air baku tersebut digunakan
untuk proses pengolahan air bersih.
Mengingat lumpur tidak dimanfaatkan secara optimal, maka dampak negatif
yang dirasakan adalah timbulnya bau kurang sedap sebagai akibat dari reaksireaksi biokimia pada saat reduksi. Meningkatnya kuantitas lumpur di lingkungan
tanpa adanya pengolahan, menyebabkan beban lingkungan dalam mereduksi
lumpur semakin besar. Diperlukan cara untuk pemanfaatan lumpur lebih lanjut
ataupun cara untuk mereduksi kandungan logam berat yang ada pada lumpur
untuk tidak berpotensi mencemari lingkungan.
Fitoremediasi terhadap lumpur yang tidak digunakan juga dapat dijadikan
alternatif pemanfaatan lumpur tersebut. Analisis lebih lanjut diperlukan pada
pupuk kompos Water Treatment Plant (WTP) apabila menggunakan cara
fitoremediasi. Dari hasil uji laboratorium, lumpur WTP mengandung bahan
organik dan logam berat yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media
tanam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan logam berat
diserap oleh tanaman, sehingga toksisitas lumpur yang menghambat pertumbuhan
tanaman dapat direduksi. Atas dasar deskripsi di atas, hasil penelitian ini
diharapkan dapat memanfaatkan lumpur hasil pengolahan dengan mengetahui
efektivitas pengomposan dan proses fitoremediasi untuk mereduksi kandungan
unsur logam berbahaya.

Pupuk kompos merupakan salah satu produk pemanfaatan lumpur hasil
pengolahan, dengan menggunakan biaya yang relatif rendah dan proses
pengomposan yang tidak terlalu lama. Selain itu, lumpur hasil pengolahan air
terkadang termasuk dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yang
keberadaannya belum diketahui, sehingga membutuhkan penanganan lanjutan
untuk mereduksi kandungan logam berat. Panduan pengelolaan limbah lumpur
disesuaikan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dengan PP No. 18/1999
tentang pengolahan limbah B3.
Pupuk kompos WTP dapat digunakan sebagai media tanam, namun
diperlukan pengamatan terhadap penyebaran kandungan logam berat kompos
yang kemungkinan dapat diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, pada penelitian
ini akan menganalisis kelayakan kompos WTP yang menjadi media tanam.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif pemanfaatan limbah
lumpur Water Treatment Plant (WTP) pada suatu industri dengan cara
pengomposan lumpur dan fitoremediasi dengan tanaman. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan kompos dari lumpur pengolahan air
minum sebagai media tanam, mengidentifikasi adanya kandungan logam berat
pada kompos yang terserap pada tanaman, mendegradasi kandungan logam berat
pada lumpur dengan cara fitoremediasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kelayakan kompos
WTP sebagai media tanam dan cara pemanfaatan lumpur industri. Dengan
demikian informasi yang didapat dari penelitian ini diharapkan sebagai alternatif
untuk mereduksi pencemaran lingkungan

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum
Proses pengolahan air minum yang menggunakan air sungai sebagai bahan
baku menghasilkan produk utama berupa air bersih yang siap dikonsumsi. Selain
produk utama tersebut, dihasilkan juga limbah berupa lumpur. Limbah lumpur
dalam proses pengolahan ini merupakan hasil proses pengendapan
(presedimentasi dan sedimentasi) serta penyaringan (filtrasi). Dalam air sungai
biasanya terdapat padatan terlarut dan tersuspensi. Zat terlarut terdiri dari oksigen,
karbohidrat, basa, asam, senyawa mikroorganisme dan berbagai pencemar yang
bergantung pada lokasi, suhu, dan tekanan. Padatan tersuspensi dalam air sungai
diantaranya mengandung lumpur, sisa tanaman, dan limbah industri. Diantara zatzat tersebut ada yang dapat menyuburkan tanah atau dapat digunakan untuk
keperluan lain (Mahida 1992 dalam Yeni 2001).
Produksi lumpur per hari menurut Supriyanto (1993) dalam Halim (2003)
pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah. Lumpur akan selalu
diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme pengurai
selama proses berlangsung. Karakteristik dari lumpur residu dihasilkan pada
dasarnya merupakan fungsi dari proses pengolahan, penambahan bahan kimia,
dan kuantitas air baku. Pengertian akan kuantitas lumpur, kandungan padatan, dan
sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan mendesain perangkat proses
yang tepat (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Lumpur tersebut kemudian
dibentuk menjadi suatu produk yang disebut wet spray yang mengandung 2%
kadar kering. Dapat pula kandungan air dalam lumpur ditekan dengan alat filter
press atau belt press sehingga menghasilkan produk dengan kadar air 40%
(L’Hermite 1988 dalam Halim 2003).
Sumber Lumpur
Lumpur pengolahan air didefinisikan sebagai akumulasi padatan atau
endapan yang dikeluarkan dari bak sedimentasi (pengendapan) atau clarifier pada
instalasi pengolahan air maupun industri pada umumnya. Sumber utama residu
pengolahan air adalah lumpur koagulasi aluminium atau lumpur besi, lumpur
proses softening, dan pencucian balik filter. Lumpur mengandung konsentrasi
tinggi garam aluminium atau besi dengan campuran bahan organik dan anorganik
dan presipitat. Dahulu pengeringan akan lumpur koagulasi adalah tugas yang
sangat sulit dan pada akhirnya dibuang langsung ke sumber air seperti sungai atau
danau. Namun saat ini lumpur diolah untuk pembuangan akhir dan air backwash
dan clarifier dikembalikan ke fasilitas pengolahan untuk didaur ulang (Qasim et al
2000 dalam Kurniasih 2012).
Lumpur koagulasi diproduksi melalui proses flokulasi dan pengendapan
alami dari kekeruhan. Aluminium dan garam besi bereaksi dengan alkalinitas dan
membentuk endapan aluminium dan ferric hidroksida. Lumpur mengandung
hidroksida tersebut dan kekeruhan yang menyebabkan senyawa organik dan
anorganik. Walaupun nilai BOD dan COD kemungkinan tinggi, namun lumpur ini
tetap stabil dikarenakan tidak terdapat material organik yang mendorong

dekomposisi aktif atau mendukung kondisi anaerob. Hasilnya lumpur dapat
diakumulasikan pada bak sedimentasi selama beberapa hari dan bulan, dan
dibuang secara berkala (Kurniasih 2012).
Kuantitas padatan yang dihasilkan pada koagulasi bergantung pada total
padatan tersuspensi yang terkandung pada air, tipe, dan dosis koagulan, dan
efisiensi bak sedimentasi. Umumnya 60-90% dari padatan total dihilangkan pada
bak sedimentasi. Padatan yang tersisa dihilangkan pada proses filtrasi. Tidak
terdapat korelasi pasti antara kekeruhan dan total padatan tersuspensi. Rasio total
padatan tersuspensi dengan kekeruhan normalnya bervariasi dari 0.5-2. Total
padatan pada fasilitas koagulasi aluminium dapat bervariasi antara 8-210
kg/100m3 dari air baku yang diolah (Kurniasih 2012).
Karakteristik Fisik Lumpur
Karakteristik fisik lumpur merupakan hasil endapan dari air limbah suatu
industri. Karakteristik fisik air limbah industri meliputi bau, temperatur, warna,
kekeruhan dan kandungan zat padat. Zat padat ini terdiri dari materi yang dapat di
flotasi, materi yang dapat diendapkan dan materi koloid, dan materi terlarut. Sifat
fisik air limbah yang merupakan penentuan derajat kekotoran air limbah sangat
dipengaruhi oleh kandungan zat padat. Jumlah total endapan terdiri dari bendabenda yang mengendap, terlarut, dan tercampur. Air limbah yang partikel ukuran
besar memudahkan proses pengendapan, sedangkan apabila air limbah berisikan
partikel ukuran yang sangat kecil akan menyulitkan dalam proses pengendapan.
Besarnya endapan dinyatakan dalam mg/l air limbah. Hal ini sangat penting untuk
mengetahui derajat pengendapan dan jumlah endapan yang ada dalam badan air
(Gunawan 2006).
Salah satu sifat fisik yang digunakan dalam analisis kualitas air limbah yaitu
padatan tersuspensi (total suspended solid). Analisa zat padat dalam air sangat
penting bagi penentuan komponen-komponen air secara lengkap, dan untuk
perencanaan dan pengawasan dalam proses-proses pengolahan air buangan.
Padatan tersuspensi di dasar badan air akan mengganggu kehidupan didalam
badan air, dan akan mengalami dekomposisi yang dapat menurunkan kadar
oksigen di dalam air. Padatan dapat menyebabkan kekeruhan air, menyebabkan
penyimpangan sinar matahari, sehingga berpengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap organisme di badan air (Gunawan 2006).
Karakteristik Kimia Lumpur
Sifat kimia air limbah maupun lumpur yang merupakan bahan organik
terlarut dapat menghabiskan oksigen dalam limbah serta menimbulkan rasa dan
bau yang menyengat. Pada umumnya zat organik berisikan kombinasi karbon,
hidrogen, dan oksigen bersama-sama dengan nitrogen. Umumnya kandungan
bahan organik berisikan 40-60% protein dan 25-50% berupa karbohidrat. Semakin
banyak jumlah dan jenis bahan organik, hal ini akan mempersulit dalam
pengelolaan air limbah. Menurut Gunawan (2006), beberapa sifat kimia yang
digunakan sebagai parameter kualitas air, yaitu :
a. pH
pH adalah parameter untuk mengetahui intensitas tingkat keasaman atau
kebasaan dari suatu larutan yang dinyatakan dengan konsentrasi ion hidrogen

terlarut. Pada instalasi pengolahan air buangan secara biologi, pH harus dikontrol
supaya berada dalam rentang yang cocok untuk organisme tertentu yang
digunakan. Baku mutu pH berkisar pada rentang yang cukup besar di sekitar pH
netral, yaitu 6-9. Hal ini bukan berarti bahwa perubahan pH yang terjadi
sepanjang rentang tersebut sama sekali tidak berdampak terhadap mahluk hidup
dan lingkungan sekitar. pH merupakan faktor penting yang menentukan pola
distribusi biota akuatik. Karena itu perubahan pH yang terkecil dapat memberi
dampak besar terhadap toksisitas polutan seperti amonia. Dampak dari sejumlah
polutan dapat bervariasi, mulai dari tidak terdeteksi sampai sangat serius
tergantung pada pH.
b. Bichemical Oxygen Demand (BOD)
BOD adalah suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global
proses-proses biologi yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah
jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi)
hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang
tersuspensi dalam air. Penentuan BOD diperlukan untuk menentukan beban
pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri. Penguraian zat organisme
adalah peristiwa alamiah, bila suatu badan air dicemari oleh zat organis, bakeri
dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut
yang dapat mengakibatkan kematian biota dalam air dan keadaan menjadi anaerob
dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut, semakin besar angka BOD
maka menunjukkan bahwa derajat pengotoran limbah adalah semakin besar.
Pemerikasaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organik dan
anorganik dengan oksigen didalam air dan proses tersebut berlangsung karena
adanya bakteri aerob. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk CO₂, air, dan amonia.
Mikroorganisme pada awalnya menggunakan bahan organik secara cepat untuk
metabolisme serta pembentukan sel akan menyebabkan meningkatkan BOD
dalam 1-3 hari. Sesudah bahan organik dicerna, maka kebutuhan akan oksigen
akan turun.
Reaksi biologis pada tes BOD dilakukan pada temperatur inkubasi 20°C dan
dilakukan selama 5 hari. Mengingat dengan waktu tersebut sebanyak 60-70%
kebutuhan terbaik karbon dapat tercapai, sehingga mempunyai istilah BOD5.
Jumlah zat organis yang ada didalam air diukur melalui jumlah oksigen yang
dibutuhkan bakteri untuk mengoksidasi zat organis tersebut, kemudian indikasi
kandungan zat organik dapat ditentukan, makin banyak kebutuhan oksigen yang
dibutuhkan bakteri untuk menguraikannya, maka semakin tinggi nilai BOD.
c. Chemical Oxygen Demand (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada
didalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Angka COD merupakan
ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat
dioksidasai melalui mikrobiologis menjadi CO₂, H₂O dan senyawa organik, dan
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Jumlah oksigen
terhitung, jika komposisi zat organis terlarut telah diketahui dan dianggap semua
C, H, dan N habis teroksidasi menjadi CO₂, H₂O, dan NO3.

d. Dissolved Oxygen (DO)
Semua gas di udara dapat terlarut dalam air namun memiliki kelarutan yang
berbeda-beda. Oksigen termasuk gas yang sukar larut dalam air dan hanya dapat
terlarut karena perbedaan tekanan parsial air dan udara, bukan dengan reaksi
kimia. Kelarutan oksigen dalam air juga berbeda-beda terhadap temperatur,
berkisar antara 14.6 mg/l (0°C, 1 atm) – 7 mg/l (35°C, 1 atm). Dalam kondisi
kritis, jumlah maksimum oksigen yang dapat larut dalam air hanya 8 mg/l.
Kelarutan oksigen semakin rendah jika garam dalam air semakin tinggi.
DO adalah faktor yang menentukan apakah perubahan yang terjadi dalam
air limbah disebabkan oleh proses aerob atau anaerob. Organisme aerob
menggunakan oksigen bebas untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik dan
anorganik menghasilkan senyawa akhir yang tidak berbahaya. Organisme anaerob
mereduksi garam-garam anorganik seperti sulfat dan menghasilkan senyawa akhir
yang berbahaya. Karena jumlah organisme aerob dan anaerob di alam sama-sama
banyak, maka sangat penting untuk menjaga supaya tersedia oksigen dalam
jumlah yang cukup bagi organisme aerob dan kondisi yang tidak cocok bagi
organisme anaerob. Karena itu pemantauan DO perlu dilakukan terhadap badan
air penerima dan dalam proses biologi pengolahan air buangan domestik maupun
industri.
e. Phosphat
Semua air permukaan dapat mendukung pertumbuhan organisme akuatik
seperti plankton (zooplankton dan fitoplankton), ganggang, dan cyanobacteria.
Pertumbuhan tanaman dalam air dapat dibatasi oleh beberapa faktor seperti
cahaya dan karakteristik fisik air tersebut. Pada banyak kasus, faktor pembatas
tersebut adalah ketersediaan nutrisi anorganik terutama fosfat. Semakin banyak
nutrisi yang masuk dalam badan air, semakin besar pertumbuhan tanaman,
sehingga karakteristik biologi badan air dapat berubah
Buangan organik dalam air adalah sumber nutrisi yang penting bagi
tanaman karena dekomposisi materi organik akan menghasilkan fosfat, nitrat, dan
nutrisi lain yang dibutuhkan oleh tanaman. Buangan domestik banyak
mengandung fosfat yang berasal dari bubuk deterjen (air cucian). Akibat
perkembangan deterjen sintesis, kandungan fosfor anorganik dalam deterjen
berkisar antara 2-3 mg/l dan kandungan fosfor organik berkisar antara 0.5-1 mg/l.
Kandungan fosfor anorganik dalam limbah domestik saat ini diperkirakan
mencapai 2-3 kali lebih banyak daripada ketika deterjen sintesis belum digunakan
secara luas, kecuali jika pemerintah setempat membatasi penggunaan deterjen
berbahan dasar fosfat.
Organisme yang digunakan dalam proses pengolahan air buangan secara
biologi memerlukan sejumlah fosfor untuk reproduksi dan sintesa sel baru.
Namun limbah domestik mengandung fosfor dalam jumlah yang jauh lebih besar
dari yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut. Hal itu dapat dibuktikan
dengan besarnya kandungan fosfat dalam efluen pengolahan biologi air limbah.
f. Chlorine bebas
Chlorine biasa digunakan sebagai desinfektan pada proses pengolahan air,
baik minum maupun air buangan. Klorinasi bertujuan untuk menghilangkan
kandungan mikroba pathogen dalam air supaya konsumen terhindar dari penyakit

bawaan air. Walaupun mikroba pathogen dalam air telah banyak tersisihkan
selama proses pengolahan sebelumnya, namun masih mungkin tersisa sejumlah
mikroba pathogen terutama virus. Karena itu biasanya desinfeksi merupakan
proses terakhir pengolahan air.
Clorine digunakan dalam bentuk clorine bebas atau hipokrit. Selain bereaksi
dengan mikroba pathogen, clorine juga bereaksi dengan senyawa- senyawa lain
dalam air seperti amonia, besi, mangan, sulfide, dan beberapa senyawa organik.
Karena itu perlu ditambahkan clorine yang tersedia dalam jumlah cukup untuk
membunuh mikroba pathogen. Chlorine bereaksi dengan air hipoklorit dan asam
hipoklorit menurut reaksi berikut :
Cl2 + H₂O

HOCl + H+Cl

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses desinfeksi antara lain adalah
jumlah dan jenis mikroba pathogen yang ingin dihilangkan, jenis dan konsentrasi
desinfektan yang digunakan, temperatur air, waktu kontak, karakteristik fisik dan
kimia air yang akan diolah, pH, dan pencampuran. Dosis clorine seharusnya
disesuaikan dengan kebutuhan. Pemantauan konsentrasi chlorine di ujung bak
klorinasi perlu dilakukan secara teratur untuk meninjau efektivitas proses
klorinasi. Karakteristik air yang diolah dapat berubah-ubah seiring dengan
perubahan musim dan cuaca. Dari hasil pemantauan tersebut dapat diantisipasi
sumber-sumber kontaminasi.
g. Amonia (NH3N)
Amonia terdapat secara alami dalam berbagai konsentrasi pada air tanah, air
permukaan, dan air buangan. Amonia dapat berasal dari reduksi senyawa organik
yang mengandung nitrogen, deaminasi senyawa amina, hidrolisa urea, dan akibat
penggunaannya untuk deklorinasi dalam instalasi pengolahan air. Jumlah amonia
dalam air tanah relatif sedikit karena diserap oleh tanah. Amonia bersifat sangat
toksik terhadap banyak organisme, terutama ikan dan invertebrata, sedangkan
amonium (NH4) bersifat kurang toksik. Konsentrasi amonia dalam air tergantung
pada pH dan temperatur. Semakin tinggi pH dan temperatur, semakin tinggi juga
konsentrasi amonia. Konsentrasi amonia juga menentukan tingkat toksisitas
larutan. Nitrifikasi adalah proses oksidasi biologi amonia menjadi nitrat oleh
bakteri autotrof, dengan nitrit sebagai senyawa antara.
Karakteristik kimia air limbah industri terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama yaitu zat organik terdiri dari karbohidrat, minyak lemak, protein, zat
organik yang dapat menimbulkan kanker dan mutasi, surfactant, senyawa organik
volatile, dan lain-lain. Karakteristik kimia untuk lumpur pada umumnya dibagi
menjadi dua bagian. Karakteristik kimia lumpur aluminium terkandung BOD5 30300 mg/l, COD 30-5000 mg/l, pH 6-8, dan total padatan 0.1-4%. Karakteristik
kimia lumpur besi terkandung BOD5 30-300 mg/l, COD 30-5000 mg/l , pH 7.48.5 mg/l, dan total padatan 0.25-3.5 % (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012).
Fraksi organik lumpur secara kimiawi dapat dirumuskan sebagai C₂H7O2N
atau perumusan yang lebih kompleks lagi sebagai C60H87O23N12P, sehingga
kandungan C53% dan rasio C/N empiris 4.3. Untuk basis fraksi anorganik yang
10% terdiri dari P2O5 (50%), SO3 (15%), Na2O (11%), CaO (9%), MgO (8%),
K2O (6%), dan Fe2O3 (1%) (Metcalf dan Eddy, 1991 dalam Halim 2003).

Karakteristik di lapangan untuk lumpur sangat bervariasi tergantung jenis industri,
tambahan bahan kimia selama proses pengolahan dan sistem dewatering dari
lumpur. Umumnya solid content dalam dewatered lumpur 20-40% atau
kandungan air 60-80%, sedangkan rasio C/N dengan bias biodegradable C sekitar
6-15%.
Parameter yang diukur dalam percobaaan ini dilakukan terhadap sifat-sifat
kimia media tanam. Parameter sifat kimia media tanaman yang dianalisis adalah
Al, Fe, Pb, Cd, Mn yang memungkinkan terkontaminasi ke dalam tanaman.
a. Unsur Aluminium (Al)
Aluminium (Al) sebenarnya merupakan racun bagi tanaman. Walaupun
demikian tanaman mempunyai daya ketenggangan tertentu terhadap aluminium.
Dalam keadaan tertentu tanaman dapat membatasi serapan aluminium, sehingga
terhindar dari keracunan aluminium. Tanaman dapat membentuk dinding tebal
pada akar rambut dengan ujung akar yang membengkak menyerupai kail
(Soepardi 1983).
Menurut Kocian (1995) dalam Nurlaela (2007) senyawa Aluminium terbagi
menjadi 3 bentuk yaitu mononuklear (Al3+), Aluminium kompleks, dan
Aluminium polinuklear. Endapan unsur Al(OH)3 terbentuk pada pH netral,
sedangkan Al(OH)4- terbentuk pada pH yang tinggi. Untuk pH yang rendah
(kurang dari 4) akan terbentuk Al (H2O)63+ atau dikenal dengan Al3+ yang
merupakan toksik paling berbahaya dalam bentuk Al bagi tumbuhan (Matsumoto
2000 dalam Nurlaela 2007).
Pengaruh Aluminium terhadap pertumbuhan tanaman antara lain
menurunkan penyerapan kation bivalen oleh akar terutama penyerapan Ca2+ dan
Mg2+, menghambat pembelahan sel-sel meristem akar, serta menurunkan
penyerapan SO42-, PO42-, dan Cl- (Nurlaela 2007). Kerusakan tanaman akibat
unsur Aluminium ini nampak dengan jelas pada akar. Akar menjadi tebal, pendek,
dan terhambat perpanjangannya (Delhaize et al 1993 dalam Nurlaela 2007).
Keracunan Al terutama terlihat pada ujung akar. Adanya Aluminium yang
berlebih dapat menyebabkan akar utama menjadi kerdil dan akar lateral terhambat
pertumbuhannya (Samac DA dan Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007).
Menurut Kochian (1995) dalam Nurlaela (2007), terdapat beberapa
mekanisme yang dilakukan oleh tanaman untuk mengatasi keracunan Aluminium
yaitu ekslusif Aluminium pada ujung akar, melepaskan ligan pengkelat
Aluminium seperti asam sitrat, oksalat, malat, dan meningkatkan pH rizosfer.
Tanaman toleran dan sensitif terhadap Aluminium, akan mengakumulasi
Aluminium pada tanah masam yang mengandung Aluminium (Samac DA dan
Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007). Salah satu kriteria tanaman yang toleran
terhadap Al yaitu dapat mengurangi absorpsi dan translokasi Aluminium ke
bagian tajuk karena sebagian besar Al telah disimpan di vakuola sel akar
(Matsumono 2000 dalam Nurlaela 2007).
Upaya untuk mengatasi keracunan Aluminium antara lain dengan ameliorasi
menggunakan kapur, bahan organik atau dengan pemupukan tinggi. Pendekatan
ini memerlukan biaya tinggi dan terkadang sarana produksi tersebut tidak tersedia
pada saat dibutuhkan, sehingga sulit untuk diadopsi oleh para petani. Pilihan lain
adalah berupa penggunaan varietas yang tenggang. Untuk dapat memisahkan
tanaman yang bersifat tenggang atau peka diperlukan konsentrasi yang tepat dan
tolak ukur, serta kriteria yang digunakan (Syafrudin et al 2006). Beberapa

penelitian menggunakan panjang akar relatif dengan batas 50% dianggap
tenggang, seperti pada kedelai (Sopandie et al 2000 dalam Syafrudin et al 2006)
dan pada tanaman padi (Jagau 2001 dalam Syafrudin et al 2006).
b. Unsur Kadmium (Cd)
Kadmium adalah logam berat yang banyak digunakan dalam industri.
Kadmium (Cd) termasuk golongan IIB dalam tabel periodik dengan nomor atom
48, bobot atom 112.40, massa jenis 8.65 g/cm3, dan titik leleh 320.9°C. Unsur Cd
juga merupakan golongan logam beracun, tidak hanya untuk pertumbuhan
tanaman, tetapi juga bagi manusia dan hewan. Cd merupakan hara nonesensial
bagi tanaman, namun mempunyai afinitas yang tinggi terhadap gugus tiol (-SH)
dalam enzim dan protein. Oleh karena itu, keberadaan Cd akan mengganggu
aktvitas enzim, metabolisme, besi, dan menyebabkan klorosis pada daun (Alloway
1990 dalam Khatimah 2006)
Seperti logam–logam lainnya, Cd juga terkandung dalam batuan beku dan
sedimen. Kandungan total Cd dalam tanah kurang dari 8 ppm, sedangkan pada
tanah yang kaya akan logam, kandungan Cd tanah tersebut bisa mencapai 800
ppm. Unsur Cd di alam tidak pernah ditimbang tersendiri, selalu sebagai produk
sampingan logam lain, misalnya Zn (Leagreid et al 1999 dalam Khatimah 2006).
Unsur Cd dapat terlarut dalam tanah, diserap oleh permukaan organik maupun
anorganik, terikat kuat dalam mineral-mineral tanah, diendapkan oleh senyawasenyawa yang berada di dalam tanah, dan terkandung dalam bahan hidup. Faktorfaktor yang mengatur fase padat dan fase cair Cd dalam tanah sangat kompleks
yaitu dengan distribusi Cd yang merupakan dasar sehubungan dengan
ketersediaannya dalam tanaman (Lagereff 1972 dalam Khatimah 2006)
Unsur Cd dalam tanah dapat menjadi penyebab gangguan penyerapan unsur
hara oleh akar tanaman melalui interaksi kompetitif antagonis maupun sinergis
dengan ion hara mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur Cd
bersifat antagonis dengan Zn, tetapi bersifat sinergis dengan Fe dan Mn. Unsur Cd
dan Zn secara kimiawi hampir serupa, tetapi tingkat toksisitas Zn lebih rendah dan
merupakan unsur esensial bagi tanaman (Lepp 1981 dalam Khatimah 2006).
Unsur Cadmium bersifat tidak esensial dan beracun, bahkan tingkat
toksisitasnya menempati urutan kedua setelah raksa (Laws 1981 dalam Dewi
2010). Gejala awal keracunan Cadmium dapat berupa timbulnya warna kuning
pada gigi, gangguan penciuman, sampai yang lebih serius, yaitu emfisema dan
proteinuria yang sangat membahayakan manusia. Piorowski dan Coleman (1980)
dalam Dewi (2010) menyatakan keracunan Cadmium dapat berupa kerusakan
ginjal, kehilangan sel-sel darah merah, kerapuhan tulang dan tekanan darah tinggi.
Kandungan Cadmium yang masih diperbolehkan dalam komoditi konsumsi
menurut standar Departemen Kesehatan RI adalah sebesar 1.00 ppp.
c. Unsur Besi (Fe)
Zat besi penting bagi pembentukan hijau daun (khlorofil). Pembentuk zat
karbohidrat, lemak, protein dan enzim. Jadi jika terjadi kekurangan zat besi akan
menghambat pertumbuhan khlorofil. Jika dalam tanaman terjadi kekurangan
Mangan dan Kalium atau kelebihan sulfat akan mengakibatkan pergerakan Fe
terhambat dan Fe tidak sampai ke daun meskipun pengisapan Fe dalam tanah

berlangsung terus. Unsur Fe yang berlebih dalam jumlah tertentu dapat
mengakibatkan racun bagi tanaman.
d. Unsur Timah (Pb)
Timah termasuk golongan IVA dalam daftar berkala dengan bobot atom
207.19 dan nomor atom 82. Timah merupakan logam lunak berwarna abu-abu
kebiruan dengan massa jenis 11.434 g/cm3 dan titik leleh 1470°C. Timah
memiliki dua tingkat oksidasi stabil, yaitu Pb (II) dan Pb (IV), tetapi di alam
didominasi oleh Pb2+. Garam-garam Pb sedikit larut dalam air (klorida dan
bromida) atau hampir tidak terlarut sebagai karbonat dan hidroksida. Unsur Pb di
alam terdapat sebagai PbS (galena), PbSO4 (anglesite), PbCO3, dan Pb (OH)2
(Cotton dan Wilkinson 1989 dalam Khatimah 2006).
Menurut Bohn (1979) dalam Khatimah (2006) timah cenderung
terakumulasi dan tersedimentasi dalam tanah karena kelarutannya yang rendah
dan relatif bebas dari degradasi oleh mikroorganisme. Timah dalam tanah banyak
dijumpai dalam bentuk dapat dipertukarkan, dijerap, karbonat organik, sulfida,
dan hidrous oksida. Timah yang berasal dari udara sekitar dan ditambahkan ke
permukaan tanah tidak akan mengalami pergerakan ke bawah tanaman. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya timah yang dijerap pada permukaan mineral liat dan
koloid organik dan pembentukan kelat timbal oleh badan organik, sehingga
kelarutannya rendah.
Timah merupakan unsur yang tidak esensial baik untuk tanaman maupun
hewan. Timah selalu terikat kuat dengan bahan organik atau koloid terendapkan.
Hal ini membantu mengurangi penyerapan timah oleh tanaman. Mobilitas timah
dalam jaringan tanaman terjadi dalam bentuk ion dan kompleks-kompleks kelat.
Adanya logam berat dalam tanah dapat menyebabkan perubahan kapasitas tukar
kation (KTK) dan perubahan komposisi unsur hara (Buckman dan Brady 1969
dalam Khatimah 2006).
e. Unsur Mangan (Mn)
Mangan diserap tanaman untuk pembentukan zat protein dan vitamin
terutama vitamin C. Selain itu, Mn penting untuk dapat mempertahanakan kondisi
hijau daun pada daun yang tua. Fungsi Mangan yaitu sebagai enzim feroksidase
dan sebagai aktifator macam-macam enzim. Tersedia mangan bagi tanaman
tergantung pada pH tanah. Dimana pada pH rendah mangan akan banyak tersedia.
Kekurangan Mn dapat dilakukan dengan memberikan 1% MnSO4H₂O ,
sedangkan apabila kelebihan Mn dapat dilakukan dengan jalan menambahkan zat
fosfor dan kapur. Unsur Mn yang berlebihan dapat menyebabkan sifat racun bagi
tanaman.
Menurut Treshow (1970) dalam Taryana (1995) menerangkan bahwa pada
beberapa kasus nekrotik kecil terjadi berupa bintik-bintik yang terlihat pada
bagian antara tulang-tulang daun. Nekrotik adalah terjadinya sel mati sebelum
pada waktunya. Pada akhirnya tunas-tunas akan mati yang diikuti dengan
kematian tanaman muda. Walaupun keracunan Mn berbeda-beda untuk tiap
spesies tanaman, tetapi pada umumnya tepi-tepi daun akan mengkerut dan
pertumbuhan terhambat. Jika terjadi akumulasi Mn yang tinggi akan terjadi
klorotik (garis-garis kekuningan) hingga memutih.

Tanaman yang keracunan Mn menunjukkan gejala seperti pertumbuhan
lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantaranya urat daun, ujung
daun mengering pada saat tanaman berumur 8 MST (Minggu Setelah Tanam),
klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan hasil produksi rendah
(Surachman 2010).
Karakteristik Biologis Lumpur
Karakteristik air limbah industri, yang merupakan mikroorganisme yang
terdapat dalam air limbah industri. Pemerikasaan air secara biologis sangat
penting dan dapat dilakukan terhadap semua jenis air, terutama dilakukan untuk
menentukan standar kualitas air. Mengingat bahwa air merupakan sumber
kehidupan utama bagi mahluk hidup. Pemeriksaan air secara mikrobiologis baik
secara kualitatif maupun secara kuantitatif dapat dipakai sebagai pengukuran
derajat pencemaran.
Di setiap badan air, baik air alam maupun air buangan terdapat bakteri atau
mikroorganisme. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme terpenting dalam
sistem penanganan limbah. Bakteri ada yang bersifat pathogen sehingga
merugikan dan ada yang bersifat non pathogen/menguntungkan. Bakteri pathogen
bermacam-macam bentuk dan jenisnya sehingga sulit dideteksi. Analisa
mikrobiologi untuk bakteri-bakteri tersebut maka diperlukan adanya indikator
organisme. Indikator organisme menunjukkan adanya pencemaran oleh tinja
manusia dan hewan sehingga mudah dideteksi. Dengan demikian apabila
indikator organisme tersebut ditemui dalam sampel air, berarti air tersebut
tercemar oleh tinja dan kemungkinan besar mengandung bakteri pathogen.
Analisa menggunakan indikator organisme adalah metode yang paling umum dan
dilaksanakan secara rutin.
Indikator organisme yang paling umum digunakan adalah bakteri coliform
khususnya Eschericia coli, karena jumlah bakteri ini sangat banyak dan memilki
ketahanan paling besar terhadap desinfektan, sehingga jika jenis coliform sudah
tidak ada setelah proses desinfeksi, maka diharapkan mikroorganisme lain juga
sudah mati. Efisiensi suatu proses pengolahan air buangan, tidak dapat
menghilangkan semua mikroba. Karena itu perlu dilakukan pemantauan terhadap
konsentrasi mikroba pathogen dalam badan air penerima, terutama pada air yang
digunakan untuk kegiatan domestik/rumah tangga. Air tidak boleh mengandung
bakteri-bakteri golongan coli melebihi batas-batas yang telah ditentukan yaitu 1
coli/100 ml air. Hal ini bertujuan untuk keselamatan lingkungan (Wardana 1999
dalam Gunawan 2006). Karakteristik lumpur secara biologis, mikroorganisme
tersebut terdiri dari group prokaryotik dan group eukaryotik. Komposisi dasar sel
terdiri dari sekitar 90% organik dan 10% anorganik dan produksi lumpur per hari
pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah (Supriyanto 1993
dalam Halim 2003).
Pemanfaatan Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum
Lumpur selain dimanfaatkan menjadi sebuah pupuk kompos, juga dapat
digunakan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Pemanfaatan lumpur PT. Krakatau
Tirta Industri dijadikan bahan bangunan (batako) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Permukiman tahun 1997. Bahan bangunan seperti batako yang

dihasilkan dari lumpur kurang bagus atau mudah rapuh (Tim Peneliti
Pengembangan dan Permukiman PU 1994 dalam Yeni 2001). Namun tidak sedikit
lumpur dibiarkan menumpuk dan tidak dimanfaatkan secara optimal di berbagai
industri. Adanya banyak pertimbangan dari bagian manajemen perusahaan
misalnya, terkait waktu, dana, efisiensi pemanfaatan untuk sebuah lumpur sisa
pengolahan sebuah industri.
Pengomposan
Pengomposan (composting) didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dan
stabilitas dari bahan organik pada suhu termofili. Sebagain hasil produksi panas
secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk
padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak akan
menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug 1980 dalam Halim
2003).
Menurut Metcalf dan Eddy (1991), dalam pengomposan merupakan
biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk yang stabil. Proses
pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu
baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri
pathogen. Selama proses pengomposan, suhu akan mencapai kisaran 50-70ºC,
sehingga bakteri pathogen dari lumpur akan mati.
Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), dalam proses
pengomposan terjadi perubahan-perubahan antara lain :
a. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak lilin menjadi CO₂ dan air.
b. Protein, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO₂
dan air.
c. Pengikatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama
Nitrogen disamping Phospat, Kalium dan lain- lain yang terlepas kembali bila
mikroorganisme itu mati.
d. Peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman.
Selama proses ada tiga tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu yang
diamati, yaitu mesofilik dan cooling (tahap pendinginan). Pada tahap awal
mesofilik suhu proses akan naik dari suhu lingkungan ke-40ºC dengan adanya
kapang dan bakteri pembentukan asam. Suhu proses akan terus meningkat ke
tahap termofilik antara 40-70ºC, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh
bakteri termofilik, actinomycetes dan termofilik kapang. Pada kisaran suhu
termofilik proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal.
Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktifitas dengan bakteri dan
kapang mesofilik. Selama tahap cooling, proses penguapan air dari mineral yang
telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilitas pH dan
penyempurnaan pembentukan asam humik (Metcalf dan Eddy 1991 dalam
Andhika 2003).
Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
Beberapa faktor yang sangat penting pengaruhnya pada proses
pengomposan antara lain rasio C/N, susunan bahan, kelembapan dan aerasi, suhu,
pH, kebutuhan oksigen, dan mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan
(Andhika 2003).

a. Rasio C/N
Proses pembuatan kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang
memerlukan sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel
baru, bersama dengan pasokan N untuk protein sel. Rasio karbon nitrogen (C/N)
dalam campuran pertama berkisar antara 25-35. Jika rasio terlalu tinggi, maka
prosesnya akan memakan waktu lama sebelum cukup karbon dioksidasi menjadi
karbon dioksida, dan sebaiknya jika terlalu rendah, maka nitrogen yang
merupakan komponen pupuk penting dari kompos, akan dibebaskan sebagai
amonia. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, maka dapat ditambahkan dengan bahan
nitrogen seperti kotoran ternak, sedangkan apabila terlalu rendah dapat pula
ditambahkan dengan bahan kaya karbon seperti jerami, sekam atau serbuk-serbuk
kayu (Dalzell et al 1987 dalam Halim 2003).
Tabel 12 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos
Jenis Bahan
Rasio C/N
Lumpur aktif
6
Lumpur yang belum dicerna
11
Pepolongan
19
Gulma hijau
13
Rumput-rumputan
20
Jerami
30-80
Serbuk gergaji busuk
208
Sumber : Haug 1980 dalam Halim 2003.

Pada pengomposan sejumlah amonium terbentuk dari perombakan protein
dan asam amino. Amonium yang terbentuk dapat mengalami tiga hal, yaitu
digunakan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak, sebagian hilang melalui
penguapan dan sebagian lagi diubah menjadi nitrit (Haug 1980 dalam Halim,
2003). Unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi
untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian karbon (C) dan 1 bagian
nitrogen (N) atau rasio C/N = 30 dalam perbandingan berat. Tidak ada unsur
makro atau unsur tambahan lain yang ditemukan sebagai faktor penghambat pada
proses pengomposan lumpur (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003).
Pada proses pengomposan optimum rasio C/N ideal adalah 20-40 dan rasio
yang terbaik adalah 30. Rasio merupakan faktor terpenting dalam pengomposan,
karena proses pengomposan tergantung pada kegiatan mikroba yang
membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel bersamaan
dengan nitrogen untuk pembentuk selnya. Besarnya rasio C/N tergantung pada
jenis bahan yang digunakan (CPIS 1992 dalam Andhika 2003).
b. Suhu Pengomposan
Mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi menghasilkan panas.
Proses dekomposisi kompos pada umumnya mencapai suhu antara 32-60ºC. Suhu
di bawah 32ºC proses berlangsung lambat, sedangkan suhu diatas 60ºC
mikroorganisme tidak dapat bertahan. Suhu pada gundukan kompos tergantung
pada panas yang hilang pada aerasi proses pendinginan. Pada kondisi lingkungan
yang basah atau lembap, gundukan kompos dapat lebih besar untuk
meminimalkan kehilangan panas. Ketika pengomposan kehilangan banyak

nitrogen pada lingkungan kering atau panas, gundukan kompos diperkecil dan
pembalikan diperlukan untuk menyediakan oksigen. Kondisi optimum
pengomposan dari pencapaian suhu antara 55-65ºC (Richard 1996 dalam Halim
2003). Menurut Indriani (1999) dalam Halim (2003), bila suhu terlalu tinggi
mikroorganisme akan mati, sedangkan bila suhu relatif rendah mikroorganisme
belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme pada
proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga
suhu tetap optimal sering dilakukan pembalikan.
c. Susunan Bahan dan Ukuran partikel
Ukuran partikel bahan menentukan ukuran volume dan volume pori-pori
bahan. Jika ukuran partikel bertambah kecil, maka jumlah pori-pori bertambah.
Pori-pori kecil dapat menghambat pergerakan udara yang biasanya merupakan
masalah pada proses pengomposan. Ukuran partikel menentukan luas permukaan
dari suatu bahan. Makin halus suatu partikel, makin luas permukaan yang terbuka
terhadap kegiatan mikroorganisme (Halim 2003).
Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), sampai batas tertentu
semakin kecil ukuran potongan bahan, semakin cepat pula waktu pembusukannya.
Hal ini dikarenakan semakin banyak permukaan yang tersedia bagi bakteri untuk
menyerang dan menghancurkan meterial-material tersebut. Apabila perajangan
terlalu kecil, timbunan akan menjadi tersumbat dan tidak terkena udara.
d. Kelembapan dan Aerasi
Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme juga tergantung dari
kelembapan yang terdapat pada bahan tersebut (Haug 1980 dalam Halim 2003).
Menurut Academy of Science (1981) dalam Halim (2003), bahwa kadar air adalah
bagian penting dalam proses pengomposan dan membutuhkan kelembapan antara
50-70%. Kadar air yang optimum penting untuk memperoleh kompos yang
bermutu tinggi, karena semua mikroorganisme pada proses pengomposan
membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya. Air adalah bahan penting bagi
protoplasma sel yang berfungsi sebagai pelarut makanan. Kadar air di bawah 20%
mengakibatkan proses metabolisme terhambat dan berjalan lambat jika kadar air
di atas 70%.
Air diperlukan selama pengomposan untuk memelihara kelembapan yang
tepat bagi aktivitas mikroorganisme. Kadar air ideal pada pengomposan adalah
40-60%. Pada kadar air yang terlalu besar, bahan kompos menjadi lebih rapat dan
mengakibatkan pengurangan jumlah udara yang bersikulasi, sehingga
menghasilkan kondisi anaerobik. Apabila kadar air tidak mencukupi, suhu bahan
kompos menjadi lebih rendah, walapun suhu bahan pusat kompos tetap tinggi.
Kondisi tersebut mengakibatkan penambahan waktu penguraian. Jika kompos
terlalu basah, dapat ditambahkan beberapa material kering seperti potongan kayu
dan dedaunan. Hal ini dapat meningkatkan porositas agar air dan udara dapat
mengalir dengan baik (Richard 1996 dalam Halim 2003).
Penguraian senyawa organik sangat tergantung pada faktor kadar air. Batas
terendah dari aktifitas bakteri adalah antara 12-15%, meskipun sebenarnya kadar
air lebih kecil dari 40% merupakan batas dari kecepatan penguraian optimum.
Idealnya kadar air antara 50-60%. Jika kadar air dari campuran lebih besar dari
60%, maka integritas struktural yang baik juga tidak akan dicapai. Selama proses

pengomposan sebagian air akan teruapkan sehingga perlu dilakukan pengaturan
dengan penyemprotan, misalnya bersamaan dengan pembalikan pada proses
windrow, untuk menjaga kondisi kadar air yang optimum selama proses
pengomposan (Richard 1996 dalam Halim 2003). Windrow merupakan adalah
proses pembuatan kompos paling sederhana dan paling murah dengan hanya
menumpukkan bahan-bahan kompos pada suatu lahan.
Gundukan dari kompos juga memberikan pengaruh pada kadar air, pada
situasi kering, pembentukan cekungan bagian atas gu