Trialeurodes vaporariorum Westwood (Hemiptera: Aleyrodidae) pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.): panjang rostrum dan sayap di beberapa ketinggian tempat serta periode retensi Tomato infectious chlorosis virus (TICV)

Trialeurodes vaporariorum WESTWOOD (HEMIPTERA:
ALEYRODIDAE) PADA TANAMAN TOMAT (Lycopersicum
esculentum MILL.): PANJANG ROSTRUM DAN SAYAP DI
BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT SERTA PERIODE
RETENSI Tomato infectious chlorosis virus (TICV)

RR. LARAS ANJARSARI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRAK

RR. LARAS ANJARSARI. Trialeurodes vaporariorum Westwood (Hemiptera:
Aleyrodidae) pada Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.): Panjang
Rostrum dan Sayap di Beberapa Ketinggian Tempat serta Periode Retensi Tomato
infectious chlorosis virus (TICV). Dibimbing oleh DEWI SARTIAMI dan
GEDE SUASTIKA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi panjang rostrum dan

sayap kutukebul T. vaporariorum pada beberapa ketinggian tempat serta lama
waktu retensi TICV dalam tubuh serangga vektor T. vaporariorum. Sampel
kutukebul diambil dari sentra produksi tomat di Kecamatan Cikajang, Kabupaten
Garut (1287 mdpl, dengan suhu rata-rata 19,8 ˚C), Kecamatan Pacet, Kabupaten
Cianjur (1125 mdpl, 20,93 ˚C), Kecamatan Cikole, Kabupaten Sukabumi (1022
mdpl, 22,22 ˚C), dan Kecamatan Batu, Kotamadya Batu, Malang (675 mdpl,
22,43 ˚C). Pengamatan variasi kutukebul T. vaporariorum dilakukan dengan
mengukur panjang rostrum dan sayap 30 ekor imago betina kutukebul dari
masing-masing lokasi. Data yang diperoleh kemudian diuji menggunakan uji t
sampel bebas dengan program Microsoft Excel. Penelitian periode retensi TICV
dilakukan dengan melakukan inokulasi berseri menggunakan imago
T. vaporariorum yang viruliferus (mengandung virus) ke bibit tanaman tomat
sehat (sebagai tanaman uji) sampai pemindahan pada tanaman ke-7. Lama periode
akuisisi dan inokulasi masing-masing 24 jam, dengan 10 ulangan.
Panjang rostrum rata-rata imago betina T. vaporariorum yang berasal dari
Cikajang adalah 293,18 µm, dari Pacet 275,76 µm, dari Cikole 256,36 µm, dan
dari Batu adalah 251,81 µm. Panjang sayap rata-rata imago yang berasal dari
Cikajang, Pacet, Cikole, dan Batu berturut-turut adalah 1286,33 µm, 1212 µm,
1162,67 µm, dan 1119,33 µm. Panjang rostrum dan sayap imago betina
T. vaporariorum berbeda nyata antar masing-masing lokasi, kecuali panjang

rostrum imago betina dari Cikole dan Batu yang tidak berbeda nyata. Ukuran
panjang rostrum dan sayap kutukebul mengalami pertambahan seiring dengan
pertambahan ketinggian tempat dan penurunan suhu habitat kutukebul. Rata-rata
periode retensi TICV dalam tubuh serangga vektor T. vaporariorum adalah
selama tiga hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa periode retensinya relatif lama,
karena satu ekor imago mampu menularkan virus TICV selama tiga hari.

Kata kunci:

Trialeurodes vaporariorum, rostrum, sayap, periode retensi,
Tomato infectious chlorosis virus (TICV), tomat.

Trialeurodes vaporariorum WESTWOOD (HEMIPTERA:
ALEYRODIDAE) PADA TANAMAN TOMAT (Lycopersicum
esculentum MILL.): PANJANG ROSTRUM DAN SAYAP DI
BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT SERTA PERIODE
RETENSI Tomato infectious chlorosis virus (TICV)

RR. LARAS ANJARSARI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul Penelitian

: Trialeurodes
vaporariorum
Westwood
(Hemiptera:
Aleyrodidae) pada Tanaman Tomat (Lycopersicum
esculentum Mill.): Panjang Rostrum dan Sayap di Beberapa
Ketinggian Tempat serta Periode Retensi Tomato infectious
chlorosis virus (TICV)


Nama Mahasiswa : Rr. Laras Anjarsari
NRP

: A34062876

Program Studi

: Proteksi Tanaman

Disetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dra. Dewi Sartiami, M.Si

Dr.Ir. Gede Suastika, M.Sc

NIP. 19641204 199103 2 001


NIP. 19620607 198703 1 003

Mengetahui,
Ketua Departemen

Dr.Ir. Dadang, M.Sc
NIP. 19640204 199002 1 002

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dari pasangan Bapak R. Dwiono Rahardjo dan Ibu Effy
Kurniati di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 29 September 1988 sebagai anak
kedua dari tiga bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Panggang I Jepara, SDN
Kraton I Pekalongan, dan terakhir di SDN Sale I Rembang pada tahun 2000. Pada
tahun 2000-2001 penulis menempuh pendidikan di SLTPN Jatirogo I Tuban dan
menyelesaikan sisanya di SMPN 2 Jombang pada tahun 2003. Pada tahun tersebut

penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Jombang sampai lulus pada tahun
2006. Selama SMP sampai SMA penulis aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler
Pramuka, tari, renang, dan PMR. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) dan diterima di Departemen Proteksi Tanaman pada tahun
selanjutnya.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan, di
antaranya sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman
(HIMASITA) Biro Keprofesian periode 2007/2008 serta Biro Ekonomi dan Bisnis
periode 2008/2009. Penulis juga aktif di organisasi mahasiswa daerah (OMDA)
JAC (Jombang Agrostudent Community) sebagai bendahara. Penulis pernah
mengikuti kepanitiaan dalam Seminar Nasional Pertanian dan Peternakan
Jombang tahun 2007, Musyawarah Nasional Himpunan Mahasiswa Proteksi
Tanaman Indonesia (HMPTI) pada tahun 2008, Seminar Aku dan Serangga, dan
Lokakarya Nasional Wereng Cokelat pada tahun 2010. Penulis juga aktif dalam
bidang olahraga dan klub kemahasiswaan seperti Organic Farming (OF),
Entomologi Club, dan klub fotografi Capung. Penulis tergabung menjadi anggota
PKKM IPB pada 2010.
Penulis menjadi asisten mata kuliah Entomologi Umum pada tahun 2009
dan asisten mata kuliah Dasar-dasar Proteksi Tanaman tahun 2010.


PRAKATA

Puji syukur kepada Allah Swt., atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Trialeurodes
vaporariorum Westwood (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Tomat
(Lycopersicum esculentum Mill.): Panjang Rostrum dan Sayap di Beberapa
Ketinggian Tempat Berbeda serta Periode Retensi Tomato infectious chlorosis
virus (TICV)”. Sebagian dari penelitian ini dibiayai dari kerjasama dengan
Utsunomiya University, Japan melalui Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc.
Penulis mengucapkan rasa terima kasih setulusnya kepada ibu Dra. Dewi
Sartiami, M.Si dan bapak Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc selaku pembimbing yang
telah memberi perhatian, arahan, bimbingan, masukan, saran, serta koreksi dalam
penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada ibu Ir. Titiek Siti Yuliani, SU. selaku
penguji sekaligus pembimbing akademik yang telah bersedia menguji, memberi
masukan untuk perbaikan skripsi ini, serta nasihat sehari-harinya. Penulis merasa
sangat beruntung bisa memperoleh tambahan ilmu pengetahuan dari ibu dan
bapak dosen. Bak pelita yang menjadi penerang dalam gulita, jasamu tiada tara.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
membantu terlaksananya penelitian ini: Satrio Harjono, Sari Nurulita, Amelia

Andriani, Herlie, Rifqi, Septa, Mba Tuti Legiastuti, Ibu Rika, Ibu Aisyah, mbak
Elsa, mbak Lia, mbak Rika, mbak Atik, Fitrah M, dan Gilang. Terima kasih atas
dukungan dan jalinan persaudaraan teman-teman angkatan 43, kakak kelas
angkatan 42, adik kelas angkatan 44 dan 45, serta keluarga besar Departemen
Proteksi Tanaman yang hangat dan bersahabat. Terima kasih pula kepada petani
tomat di Garut (Pak H. Oman), Cianjur (Pak Ateng), Sukabumi (Pak Ajum), dan
Batu, yang telah membantu proses pengerjaan penelitian di lapangan. Kepada
warga Desa Cibodas, Kecamatan Cikajang, Garut, penulis berterimakasih atas
keramahan dan bantuan selama penelitian di sana.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang tersayang, orangtua: Ir. R. H. Dwiono Rahardjo dan Drg. H. Effy Kurniati;
kakak: dr. R. Bagas Widhiarso; serta adikku: Rr. Niken Ambarsari, Yang Ti,
Yang Santo, tante Liliek, keluarga besar di Jombang, Jakarta, Bogor, Jogja,
Gresik, dan Kolaka yang selalu memberi nasihat, motivasi, dukungan, serta
doanya kepada penulis. Keluarga adalah mutiara tiada tara, untuk merekalah
penelitian ini dipersembahkan.
Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pembaca, petani, pemerhati bidang pertanian, dan menjadi masukan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Amin.


Bogor, 22 Januari 2011
Rr. Laras Anjarsari

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

ix

PENDAHULUAN ....................................................................................

1

Latar Belakang .................................................................................


1

Tujuan Penelitian .............................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................

4

Taksonomi dan Morfologi Trialeurodes vaporariorum (Westwood)

4

Pengaruh Ketinggian dan Suhu terhadap Serangga ...........................

7

Tomato infectious chlorosis virus (TICV) .........................................


9

Hubungan Virus dengan Serangga Vektor serta Periode Retensi ......

10

BAHAN DAN METODE .........................................................................

11

Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................

11

Metode Penelitian .............................................................................

11

Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat
Sumber TICV .............................................................................
Pembuatan Preparat dan Identifikasi T. vaporariorum .............
Pengukuran Panjang Rostrum dan Sayap T. vaporariorum ......
Pengumpulan Data Cuaca ..........................................................
Pengukuran Periode Retensi TICV dalam T. vaporariorum .....

11
11
12
13
13

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................

16

Identitas T. vaporariorum .................................................................

16

Panjang Rostrum dan Sayap T. vaporariorum ..................................

17

Periode Retensi TICV dalam Tubuh T. vaporariorum .....................

19

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................

23

Kesimpulan ......................................................................................

23

Saran .................................................................................................

23

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

24

LAMPIRAN ..............................................................................................

27

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Panjang rostrum dan sayap T. vaporariorum ........................................

18

2. Masa infektif T. vaporariorum..............................................................

21

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kutukebul T. vaporariorum .................................................................

5

2. Pengukuran T. vaporariorum ...............................................................

13

3. Bibit tomat yang sudah diinokulasi TICV ...........................................

14

4. Pupa T. vaporariorum ..........................................................................

16

5. Morfologi imago T. vaporariorum.......................................................

17

6. Daun tanaman tomat uji .......................................................................

20

7. Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR
menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF dan TICV-CR ......

22

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Panjang rostrum dan panjang sayap T. vaporariorum dari Kecamatan
Cikajang, Kabupaten Garut ...................................................................

28

2. Panjang rostrum dan panjang sayap T. vaporariorum dari Kecamatan
Pacet, Kabupaten Cianjur ......................................................................

29

3. Panjang rostrum dan panjang sayap T. vaporariorum dari Kecamatan
Cikole, Kabupaten Sukabumi ................................................................

30

4. Panjang rostrum dan panjang sayap T. vaporariorum dari Kecamatan
Batu, Kotamadya Batu ..........................................................................

31

5. Data suhu bulanan tahun 2010 ..............................................................

32

6. Data kelembaban bulanan tahun 2010 ..................................................

32

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kutukebul adalah kelompok serangga berukuran kecil yang tubuhnya
lunak dan berwarna kekuningan. Kutukebul termasuk dalam ordo Hemiptera,
subordo Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea, famili Aleyrodidae, dan
subfamili Aleurodicinae (Martin 1987). Kutukebul menjadi masalah bagi petani di
seluruh belahan dunia. Kutukebul Trialeurodes vaporariorum (Westwood)
pertama kali dilaporkan di Inggris pada tahun 1856, kemudian dilaporkan di
Amerika pada tahun 1870 (CABI 2005). Semua stadia kutukebul ini hidup dan
makan di permukaan bawah daun, namun stadia yang merusak adalah nimfa dan
imago (Morales 2001).
Semua stadia T. vaporariorum memiliki kemampuan beradaptasi secara
fisiologi di suhu dingin dibandingkan kutukebul Bemisia tabaci (Xie et al. 2006).
Spesies B. tabaci dan T. vaporariorum juga berbeda secara morfologi. Bentuk
sayap imago T. vaporariorum menyerupai tenda segitiga dan menutupi hampir
seluruh abdomennya (Smith 2009). Variasi fisiologi dan morfologi pada serangga
selain dipengaruhi oleh faktor genetik, juga dipengaruhi oleh posisi dan
ketinggian tempat (Oliveira et al. 2004), serta tingkat radiasi dan suhu
(Digby 1954). Menurut Roermund & Lenteren (1992), suhu lingkungan dapat
mempengaruhi

parameter

kehidupan

T.

vaporariorum,

seperti

tingkat

perkembangan nimfa, kematian nimfa, seks rasio, lama hidup, periode
preoviposisi, fekunditas, frekuensi oviposisi, serta peningkatan periode oviposisi
harian. Murai & Toda (2002) menyatakan bahwa individu Thrips tabaci yang
hidup pada suhu yang lebih rendah mempunyai warna tubuh yang lebih gelap dan
ukuran tubuh yang lebih besar daripada suhu yang lebih tinggi. Suhu di negara
tropis seperti Indonesia sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan
kelembaban udara (Wisnubroto et al. 1986). Namun sampai saat ini belum ada
laporan mengenai pengaruh ketinggian terhadap morfologi atau variasi ukuran
kutukebul.
Kutukebul T. vaporariorum bersifat polifag, baik pada tanaman pangan,
sayuran maupun buah-buahan (CABI 2005). Kutukebul ini dilaporkan

mempunyai distribusi yang luas dan dapat ditemukan hampir di seluruh belahan
dunia beriklim tropis dan subtropis. Di Indonesia T. vaporariorum dapat
ditemukan di sentra pertanian tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) provinsi
Jawa Barat dan Jawa Tengah (Hartono & Wijonarko 2007). Fitriasari (2010)
mengemukakan bahwa pada umumnya distribusi kutukebul T. vaporariorum
berada pada lahan dataran tinggi. Distribusi kutukebul dipengaruhi oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah kemampuan serangga tersebut untuk terbang dengan
sayapnya.
Sayap

dan

rostrum

merupakan

anggota

tubuh

yang

dimiliki

T. vaporariorum dan anggota Aleyrodidae lainnya. Rostrum merupakan bentuk
alat mulut menusuk-menghisap yang terdiri dari empat struktur tubular yang
dinamakan stilet. Hama ini dapat menimbulkan kerusakan baik secara langsung
maupun tidak langsung pada tanaman tomat dengan rostrumnya. Kerusakan
langsung yang ditimbulkan yaitu dengan menghisap cairan tanaman, akibatnya
menimbulkan gangguan secara fisiologi. Kerusakan tidak langsung yaitu berupa
akibat yang ditimbulkannya sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman.
Kutukebul T. vaporariorum mampu menularkan TICV (Tomato infectious
chlorosis virus) secara semipersisten (Duffus et al. 1994; Wisler et al. 1996).
TICV adalah virus tanaman yang berasal dari famili Closteroviridae dan genus
Crinivirus (Martelli et al. 2002). Closterovirus ini menginduksi penyakit klorosis
pada bagian jaringan floem (Duffus et al. 1996).
TICV merupakan virus dengan partikel berbentuk batang lentur dengan
ukuran sekitar 650 nm (Jones 2003). Gejala TICV pada daun tomat umumnya
tampak jelas pada daun yang lebih tua di bagian bawah tanaman (Wisler et al.
1998). Gejala awal muncul berupa jaringan di antara tulang daun mengalami
klorosis dan berwarna kuning (Duffus et al. 1996; Hirota et al. 2010), adanya
bintik-bintik nekrotik kecil (Wintermantel & Wisler 2006), namun pertumbuhan
baru terus berlangsung. Gejala kuning terlihat pada seluruh daun-daun di bagian
bawah, tengah, maupun atas (Anfoka & Abhary 2007), namun mulai muncul dari
daun bagian bawah tanaman dan berlanjut ke bagian pucuk. Gejala lanjutan
berupa warna merah-keunguan pada daun tua (Wisler et al. 1998), daun
menggulung ke bawah, mengering dan rapuh yang diikuti dengan kehilangan hasil

yang banyak. Kehilangan hasil ini disebabkan karena area fotosintesis pada daun
yang berkurang. Selain itu kualitas buah tomat yang dihasilkan rendah mutunya,
karena pada umumnya buah masak tidak merata sebelum waktunya dan berukuran
lebih kecil.
TICV dilaporkan ditularkan hanya oleh T. vaporariorum dan tidak dapat
ditularkan oleh spesies kutukebul lainnya (Duffus et al. 1996). Dengan demikian,
T. vaporariorum saja yang berperan sangat penting dalam penyebaran TICV. Ada
kemungkinan satu ekor imago T. vaporariorum mampu menularkan virus lebih
dari sekali. Meski demikian, penelitian mengenai berapa lama virus tersebut dapat
bertahan dalam tubuh vektornya (periode retensi) belum diketahui, oleh karena itu
penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui periode retensi TICV dalam tubuh
vektor T. vaporariorum. Indikasi tanaman terinfeksi atau tidak oleh suatu patogen
adalah dengan melihat gejala yang muncul. Konfirmasi gejala yang diakibatkan
oleh virus TICV yang dimaksud atau tidak, dapat dilakukan dengan uji molekuler
menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) pada daun yang terinfeksi.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengukur panjang rostrum dan sayap kutukebul
T. vaporariorum pada beberapa ketinggian tempat berbeda serta periode retensi
TICV yang ditularkannya pada tanaman tomat.

.

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Morfologi Trialeurodes vaporariorum (Westwood)
Kutukebul T. vaporariorum merupakan hama utama pada berbagai
tanaman hortikultura dan tanaman hias. Kutukebul ini bersifat polifag. Tanaman
inang T. vaporariorum meliputi beberapa tanaman seperti tomat, cabai, terung,
buncis, timunsuri, paria, kacang hijau, ubi jalar, stroberi, tembakau, dan bahkan
mawar. Secara taksonomi, T. vaporariorum termasuk dalam ordo Hemiptera,
subordo Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea, famili Aleyrodidae, dan sub
famili Alerodicinae (Martin 1987).
Kutukebul T. vaporariorum ini secara umum dikenal sebagai greenhouse
whitefly atau kutukebul rumah kaca yang habitatnya di daerah beriklim sedang di
dunia (Kessing & Mau 2009). Siklus hidup kutukebul terdiri dari empat fase
perkembangan, yaitu telur, nimfa, pupa, dan imago. Kutukebul dapat bereproduksi
secara seksual maupun partenogenesis. Imago betina yang sudah dibuahi imago
jantan biasanya akan memilih salah satu tempat di permukaan bawah daun dan
diam di tempat tersebut sampai ia meletakkan telurnya.
Menurut Roermund & Lenteren (1992), ciri morfologi T. vaporariorum
adalah sebagai berikut: telur berbentuk bulat panjang (± 0,25 mm), permukaannya
licin dengan tangkai yang pendek pada salah satu ujungnya. Posisi telur pada
umumnya tegak lurus atau vertikal, diletakkan dalam kumpulan lilin putih berpola
melingkar dengan tangkai telur menempel pada daun inangnya. Telur yang baru
dikeluarkan imago betina berwarna putih pucat agak krem, kemudian setelah
24 jam berubah warnanya menjadi kekuningan. Warna telur yang berumur lebih
tua akan semakin gelap dan akhirnya kehitaman menjelang keluarnya nimfa instar
satu sekitar hari ke-8 (Nielsen 2000).

1

2

(a)
Gambar

1

(b)

Kutukebul T. vaporariorum. (a) Tahapan perkembangan
T. vaporariorum: A= imago, B= telur, C= nimfa i.1, D= nimfa i.2,
E= nimfa i.3, F= pupa, dan (b) telur T. vaporariorum: 1= telur
berumur 1-2 hari yang berwarna kuning pucat, 2= Telur yang
berumur lebih tua, berwarna lebih hitam (Nielsen 2000).

Nimfa instar 1 berbentuk bulat panjang, berwarna krem cerah dengan
panjang tubuh 0,30 mm. Nimfa ini bergerak secara aktif dan disebut “crawler”,
biasanya selama 1-2 hari. Nimfa menghisap sap atau cairan daun tanaman yang
mengandung protein dan ekstrak nutrisi lainnya.
Nimfa instar 2 berwarna krem lebih gelap daripada instar satu dengan
antena sangat pendek dan tungkai yang tereduksi. Nimfa instar 3 berwarna krem
dengan ukuran yang lebih besar daripada instar 2, dengan segera tinggal dan
masuk fase istirahat (immobile). Nimfa instar 2 dan 3 tidak bergerak dan menetap
di permukaan bawah daun. Tahap perkembangan nimfa akhir terdiri dari nimfa
instar 4, prapupa, dan pupa, namun biasanya ketiga tahap ini disebut dengan fase
“pupa” saja. Pupa berbentuk bulat panjang, dibagian toraks agak melebar dan
cembung dengan abdomen yang tampak jelas. Pupa berukuran 0,73-0,75 mm,
lebih tebal daripada nimfa instar sebelumnya dan berwarna keputihan.
Pupa memiliki semacam rambut panjang yang keluar pada bagian dorsal
dan margin tubuhnya. Susunan mata dan jaringan tubuh di dalam pupa menjadi
jelas terlihat selama fase ini (Roermund & Lenteren 1992). Lama stadium pupa
berkisar antara 3-7 hari. Ciri khas pupa T. vaporariorum ditandai pada
bagian-bagian seperti

lingual,

vasiform orifice,

dan papila submargin.

T. vaporariorum memiliki lingual yang membulat, barisan papila pada
submarginnya, serta basal tungkai tengah dan belakang mempunyai seta yang
halus dan kecil (Martin 1987). Setelah imago keluar, maka kulit/ kantung pupa
yang berwarna transparan akan ditinggalkan. Antena imago biasanya panjang dan
berbentuk moniliform, dengan 3-7 ruas. Mata majemuk berkembang baik. Imago
kutukebul ini panjangnya 1-2 mm dengan warna tubuh kekuningan dan memiliki
empat sayap berlapis lilin yang hampir sejajar dengan permukaan daun. Sayap
imago baik jantan maupun betina bentuknya menyerupai tenda segitiga dan
menutupi hampir seluruh tubuhnya (Smith 2009).
Kutukebul T. vaporariorum yang memasuki stadium imago pada
umumnya menetap pada daun-daun muda dekat titik tumbuh tanaman dan bertelur
di tempat tersebut. Kutukebul rumah kaca ini reproduksinya relatif lambat, yakni
satu generasi tiap 30 sampai 45 hari. Akan tetapi seekor imago betina mampu
bertelur sampai 250 butir. Lama perkembangan serangga tergantung temperatur
dan jenis tanaman inang. Temperatur perkembangan optimum berkisar antara
21-24 ºC. Pada tanaman tomat, durasi perkembangan T. vaporariorum pada
stadium telur adalah sekitar 8 hari, nimfa instar 1 sekitar 6 hari, nimfa instar 2
selama 2 hari, nimfa instar 3 sekitar 3 hari, stadium pupa sekitar 9 hari, dan imago
rata-rata sekitar 7-8 hari (Roermund & Lenteren 1992).
Tahapan perkembangan T. vaporariorum merupakan peralihan antara
paurometabola dan holometabola, karena nimfa instar akhir hanya diam dan
seperti pupa. Imago T. vaporariorum baik jantan maupun betina dapat terbang
dengan baik karena keduanya mempunyai dua pasang sayap yang berselaput tipis.
Sepasang sayap depan mempunyai sifat yang seragam seluruhnya, demikian pula
halnya dengan sepasang sayap belakang. Warna sayapnya keruh, keputihan, dan
tertutup dengan serbuk yang putih, sayap-sayap belakang hampir sama besarnya
dengan sayap depan, dan tidak ada kornikelnya. Pada waktu serangga sedang
istirahat sayap-sayapnya diletakkan seperti atap di atas tubuh.
Kutukebul T. vaporariorum dan anggota Aleyrodidae lainnya memiliki
bentuk alat mulut menusuk-menghisap yang terdiri dari empat struktur tubular
yang disebut stilet. Dua stilet mandibulata melakukan aktivitas mekanik dan
perpindahan secara bebas pada tiap-tiap penetrasi melalui ruang interseluler. Dua

stilet maksila menghubungkan dua bentuk pembuluh utama, saluran makanan, dan
kelenjar ludah (Forbes 1969). Kutukebul dapat mengeluarkan lapisan lilin
berwarna putih dari kelenjar khusus yang ada pada bagian abdomen. Lapisan lilin
ini bervariasi bentuknya pada masing-masing spesies, baik pada stadium nimfa
maupun imago, sehingga dapat dijadikan dasar identifikasi (Botha et al. 2000).
Stadium nimfa instar 1, instar 2, instar 3, dan imago menyebabkan
kerusakan tanaman dengan cara memasukkan stiletnya ke dalam tulang daun dan
mengekstrak sap floem untuk memperoleh makanannya (Wintermantel 2004).
Cara makan nimfa yaitu dengan menghisap ekstrak protein dan nutrisi dari sap
tanaman serta mengekskresikan kelebihan gula. Cairan gula ini merupakan limbah
pencernaan yang dikenal dengan istilah embun madu. Pada populasi yang tinggi,
jumlah embun madu pun melimpah dan menyebabkan tanaman atau buah-buahan
menjadi lengket. Bila embun madu ini ditumbuhi cendawan embun jelaga
Capnodium sp., maka akan menyebabkan terbatasnya sistem fotosintesis. Selain
nimfa, stadium yang potensinya lebih berbahaya yaitu imago, karena imago dapat
menularkan virus tanaman.
Musuh alami kutukebul T. vaporariorum di alam adalah parasitoid
Encarsia formosa (Hymenoptera: Aphelinidae). Imago betina parasitoid ini
meletakkan telurnya pada larva T. vaporariorum, sehingga pada saatnya telur
parasitoid akan menetas di dalam tubuh inang dan mengambil nutrisi dari larva
T. vaporariorum (parasit larva). Akibatnya larva T. vaporariorum lama-kelamaan
akan mati karena kekurangan nutrisi dan infeksi (Roermund & Lenteren 1992).
Musuh alami lainnya yaitu Eretmocerus eremicus (Hymenoptera: Aphelinidae),
Macrolophus caliginosus (Hemiptera: Miridae), dan Amblyseius swirskii
(Mesostigmata: Phytoseiidae).
Pengaruh Ketinggian dan Suhu terhadap Serangga
Variasi ukuran pada serangga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan,
ataupun interaksi antara keduanya (Zera 2004). Variasi morfologi serangga juga
dipengaruhi oleh posisi dan ketinggian tempat. Serangga yang berada pada posisi
yang lebih tinggi berukuran lebih besar, lebih berat, dan berwarna lebih gelap
daripada posisi yang lebih rendah. Kutukebul T. vaporariorum dapat ditemukan
pada ketinggian 950 – 1500 mdpl (Nurrohman 2003). Kecenderungan

peningkatan bobot tubuh, lebar kapsul kepala, dan panjang sayap yang berada
pada ketinggian tempat yang lebih tinggi terjadi pada serangga Dalbulus maydis
(Hemiptera: Cicadellidae) (Oliveira et al. 2004). Populasi serangga Lycaena sp.
(Lepidoptera: Lycaenidae) yang berada pada tempat yang lebih tinggi
menunjukkan peningkatan ukuran telur dan panjang sayap (Fischer & Karl 2010).
Tinggi atau rendahnya suatu tempat di permukaan bumi berpengaruh
terhadap suhu udaranya. Suhu di negara tropis seperti Indonesia menunjukkan
adanya penurunan seiring dengan makin tingginya tempat. Namun kenyataannya,
terdapat faktor lainnya yang juga mempengaruhi fluktuasi suhu harian, misalnya
kelembapan udara. Kelembapan udara menyatakan banyaknya uap air dalam
udara. Uap air ini mempunyai sifat menyerap radiasi bumi sehingga menentukan
cepatnya kehilangan panas dari bumi dan dengan sendirinya juga ikut mengatur
suhu (Wisnubroto et al. 1986).
Suhu mempengaruhi ukuran tubuh kutu daun dan ukuran tubuh beberapa
serangga lainnya. Serangga-serangga tersebut akan berukuran lebih kecil ketika
berkembang pada suhu yang lebih tinggi (Dixon 1985). Hal tersebut dibuktikan
oleh Blackman (1994) pada spesies Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) yang
mengalami penurunan ukuran tubuh pada pertumbuhan di suhu yang lebih tinggi.
Menurut Digby (1954), suhu dan tingkat radiasi mempengaruhi aktivitas dan
ukuran panjang tubuh beberapa spesies lalat. Murai & Toda (2001) juga
menyatakan bahwa individu Thrips tabaci (Thysanoptera: Thripidae) yang hidup
pada suhu yang lebih rendah mempunyai warna tubuh yang lebih gelap dan
ukuran tubuh yang lebih besar daripada suhu yang lebih tinggi.
Semua stadium T. vaporariorum memiliki kemampuan beradaptasi di suhu
dingin dibandingkan B. tabaci (Xie et al. 2006). Menurut Roermund & Lenteren
(1992), suhu mempengaruhi parameter kehidupan T. vaporariorum, seperti
tingkat perkembangan nimfa, kematian nimfa, seks rasio, lama hidup, periode
preoviposisi, fekunditas, frekuensi oviposisi, serta peningkatan periode oviposisi
harian. Smith (2009) menyatakan bahwa imago T. vaporariorum mampu hidup
normal pada suhu antara 22 ˚C sampai 25 ˚C, sedangkan pada suhu di atas 30 ˚C
imago tidak mampu berkembang dan pada suhu 35 ˚C imago akan mati.

Tomato infectious chlorosis virus (TICV)
TICV merupakan virus dengan partikel berukuran sekitar 650 nm,
berbentuk batang lentur. Virus ini berkembang hanya pada bagian jaringan floem
saja (Duffus et al. 1996). TICV termasuk kelompok genom bipartite RNA untai
tunggal (ssRNA), dengan panjang genom RNA1 7,8 kb dan RNA2 7,4 kb
(Liu et al. 2000). TICV merupakan anggota famili Closteroviridae dan genus
Crinivirus (Hull 2002, Martelli et al. 1999 di dalam Liu et al. 2000). Keberadaan
TICV telah dilaporkan di beberapa wilayah penghasil tomat dunia seperti di
California (Duffus et al. 1994), North Carolina (Vaira et al. 2002), Spanyol
(Font et al. 2002), Yunani (Dovas et al. 2002), dan Perancis (Dalmon et al. 2005).
TICV adalah masalah tomat yang penting dalam pertanian dunia. Bahkan, TICV
telah menyebabkan kerugian sekitar $ 2 juta di Orange County pada tahun 1993
(Wisler et al. 1997). Di belahan Asia, TICV terdeteksi pertama kalinya pada
tanaman

tomat

di

Indonesia

dan

Jepang

(Verhoeven

et

al.

2003;

Hartono et al. 2003), serta Yordania (Anfoka & Abhary 2007).
Gejala TICV pada daun tomat umumnya tampak jelas pada daun yang
lebih tua di bagian bawah tanaman (Wisler et al. 1998). Gejala awal muncul
berupa jaringan di antara tulang daun menguning (Duffus et al. 1996;
Hirota et al. 2010), adanya bintik nekrotik kecil (Wintermantel & Wisler 2006),
namun pertumbuhan baru terus berlangsung. Gejala kuning terlihat jelas pada
seluruh daun (Anfoka & Abhary 2007), namun mulai muncul dari daun bagian
bawah tanaman dan berlanjut ke bagian atas tanaman tomat. Gejala lanjutan
berupa warna merah-keunguan pada daun tua (Wisler et al. 1998), daun
menggulung ke bawah, daun mengering dan rapuh yang diikuti dengan kehilangan
hasil yang banyak. Kehilangan hasil ini disebabkan karena area fotosintesis pada
daun yang berkurang. Selain itu kualitas buah tomat yang dihasilkan rendah
mutunya, karena pada umumnya buah masak sebelum waktunya dan berukuran
lebih kecil. Kesenjangan kualitas inilah yang menjadi faktor pembatas bagi petani
tomat. Sayangnya terkadang gejala disalahartikan sebagai penuaan alami,
kekurangan nutrisi, gangguan fisiologis, atau bahkan fitotoksisitas dari pestisida.
TICV dilaporkan hanya dapat ditularkan oleh T. vaporariorum dan tidak
oleh spesies kutukebul lainnya (Duffus et al 1996). Virus ini juga tidak dapat

ditularkan

melalui

benih

maupun

perasan

tanaman

sakit,

sehingga

T. vaporariorum berperan sangat penting dalam penyebaran patogen TICV.
TICV merupakan patogen penyebab penyakit klorosis pada tanaman tomat.
Kehadiran patogen ini tentunya mengancam produksi tomat di Indonesia maupun
di seluruh dunia.
Hubungan Virus dengan Serangga Vektor serta Periode Retensi
Penggolongan virus yang ditularkan oleh kutukebul berdasarkan lamanya
vektor mempertahankan virus dalam tubuhnya. Penggolongan ini berupa
nonpersisten, semipersisten, dan persisten. Virus dianggap golongan non-persisten
bila kemampuan vektor menularkan virus hilang dalam beberapa menit atau
beberapa jam saja. Bila kemampuan vektor menularkan virus hilang setelah
beberapa jam, maka digolongkan ke dalam semipersisten. Bila kemampuan vektor
untuk menularkan virus tersimpan dalam kurun waktu beberapa hari atau selama
hidupnya, maka digolongkan ke dalam persisten (Watson & Robers 1939;
Sylvester 1956). TICV ditularkan oleh serangga vektor T. vaporariorum secara
semipersisten.
Periode retensi adalah selang waktu vektor masih dapat menularkan
patogen sampai serangga tersebut tidak dapat menimbulkan gejala atau
menularkan virus lagi. Lama periode retensi ini tergantung spesies kutukebul serta
jenis virus yang ditularkannya.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Kegiatan survei dan pengambilan sampel kutukebul dilakukan di sentra
produksi tomat di Kecamatan Cikajang (kabupaten Garut), Kecamatan Pacet
(Kabupaten Cianjur), Kecamatan Cikole (kabupaten Sukabumi), dan Kecamatan
Batu (kotamadya Batu, Malang). Penelitian mengenai lama waktu retensi virus
dilakukan di rumah kaca Cikajang, Garut. Identifikasi kutukebul dilaksanakan di
Laboratorium Biosistematika Serangga, sedangkan identifikasi virus dilakukan di
Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Data mengenai unsur cuaca diperoleh dari
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Darmaga, Bogor dan BMKG
Karangploso, Malang. Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai
November 2010.

Metode Penelitian
Pengambilan Sampel Kutukebul dan Tanaman Tomat Sumber TICV
Sampel kutukebul diambil dari sentra produksi tomat di Kecamatan
Cikajang di Kabupaten Garut (1287 m dpl) pada lintang 7˚21’35,05” S dan bujur
107˚48’50,82” T, Kecamatan Pacet di Kabupaten Cianjur (1205 m dpl) yang
terletak di 6˚73’59.51” S & 107˚41’77.12” T, Kecamatan Cikole di Kabupaten
Sukabumi (1022 m dpl) yang terletak di 6˚51’48.57”S dan 106˚56’56.37” T, dan
Kecamatan Batu di Kotamadya Batu, Malang (675 m dpl) yang berada di
7˚53’19.32” S dan 112˚35’29.14” T. Sampel imago kutukebul dengan ciri-ciri
T. vaporariorum diambil dari daun tomat dengan menggunakan aspirator,
sedangkan pupa dan kantung pupa diambil dari bagian daun tempat melekatnya
serangga ini. Tanaman tomat sumber inokulum TICV untuk penelitian periode
retensi diambil dari daerah Cikajang, Garut.

Pembuatan Preparat dan Identifikasi T. vaporariorum
Pupa dan kantung pupa kutukebul dari lapangan dilepaskan dari daun
tomat dengan menggunakan jarum dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
yang berisi larutan alkohol 80%. Tabung reaksi tersebut dimasukkan ke
dalam gelas piala berisi kapas dan air, kemudian dipanaskan pada suhu 100
ºC selama 10 menit. Hasil rebusan tersebut dituang ke dalam cawan syracuse
dengan memakai penjepit. Tahap selanjutnya pupa dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi larutan KOH 10% dan direbus seperti sebelumnya.
Setelah pupa lunak dan berwarna transparan, tabung reaksi diangkat dan
dituang ke dalam cawan syracuse. Supaya cairan isi pupa keluar dan pupa
tidak sobek, maka secara perlahan pupa ditekan dengan jarum halus. Pupa
yang telah bersih isinya kemudian dipindahkan ke cawan yang baru dan
dibilas dengan aquades.
Proses selanjutnya adalah pewarnaan. Pupa yang sudah dicuci bersih
dipindahkan ke dalam cawan syracuse baru yang berisi campuran 1 ml asam
asetik glasial serta 1 ml asam fuchsin dan direndam selama 20 menit. Pupa
yang telah berwarna merah kemudian direndam ke dalam larutan alkohol
80% selama 5 menit agar mendapatkan warna merah yang optimum. Pupa
selanjutnya direndam selama satu menit dalam cawan baru berisi carbol
xylene. Tahapan berikutnya, pupa direndam selama 5 menit dalam alkohol
absolut. Lemak pada pupa akan hancur, kemudian direndam selama sepuluh
menit ke dalam minyak cengkeh. Pupa siap untuk dibuat preparat.
Preparat kutukebul dibuat dengan meletakkan pupa di bagian tengah
kaca objek. Kemudian canada balsam diteteskan di atas pupa dan diratakan.
Setelah kaca penutup dipasang pada kaca objek, preparat selanjutnya
diletakkan ke dalam elemen pengering selama tujuh hari. Preparat awetan
puparium diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi dari Martin (1987).
Serangga yang telah diidentifikasi sebagai T. vaporariorum kemudian
diperbanyak pada tanaman tomat, Selanjutnya imago yang muncul
digunakan untuk percobaan periode retensi TICV.

Pengukuran Panjang Rostrum dan Sayap T. vaporariorum

Sebanyak 30 ekor imago betina T. vaporariorum dari masing-masing lokasi
yang telah dipilih diukur panjang rostrum (1a) dan panjang sayap depannya (1b)
menggunakan mikroskop stereo bermikrometer.
Perbedaan panjang rostrum dan panjang sayap kutukebul dari empat
ketinggian tempat berbeda diuji menggunakan uji t sampel bebas dengan program
Microsoft Excel.

0,2 mm

0,09 mm

(a)

(b)

Gambar 2 Pengukuran T. vaporariorum: (a) rostrum dengan perbesaran 11x10
dan (b) sayap depan dengan perbesaran 5x10
Pengumpulan Data Cuaca
Data cuaca seperti suhu (T) dan kelembaban (RH) diperoleh dari Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Darmaga, Bogor dan BMKG Karangploso,
Batu. Namun data suhu di Kecamatan Cikole, Sukabumi tidak akurat dikarenakan
kesalahan pengamatan (pengamat belum terampil), sehingga untuk memperoleh
data suhu di tempat tersebut dihitung dengan menggunakan rumus Mock (1969)
sebagai berikut:
T = 0,006 (x1 – x2 ) . 1° C
Keterangan :
T = Selisih suhu udara antara lokasi 1 dengan lokasi 2 (°C).
x1= Tinggi tempat yang diketahui suhu udaranya (m).
x2= Tinggi tempat yang dicari suhu udaranya (m).

Pengukuran Periode Retensi TICV dalam Kutukebul T. vaporariorum

Sumber inokulum berasal dari tanaman tomat kultivar Marta yang positif
terinfeksi TICV dengan gejala khas Crinivirus (seperti warna kuning-keunguan
dan munculnya dimulai dari bagian bawah ke bagian atas tanaman). Tanaman uji
yang digunakan dalam percobaan ini adalah tomat kultivar Marta. Benih tomat
terlebih dahulu disemai dalam tray yang telah diisi tanah dan humus. Kemudian
setelah berkecambah dan keluar dua daun pertama (berumur kurang lebih 2 MST),
bibit tomat dipindahtanamkan ke dalam polybag yang telah diisi dengan tanah dan
pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Tiap polybag hanya diisi satu bibit
tomat saja. Bibit tomat siap digunakan untuk percobaan.
Penelitian periode retensi dilaksanakan dengan melakukan inokulasi
berseri menggunakan imago kutukebul hasil pemeliharaan yang viruliferus
(mengandung virus) ke bibit tomat (sebagai tanaman uji). Sejumlah imago
T. vaporariorum dipindahkan ke dalam kurungan kasa yang berisi tanaman sakit
(sumber inokulum) dan dibiarkan makan selama 24 jam (periode akuisisi).
Kutukebul yang viruliferus kemudian dipindahkan ke bibit tanaman tomat sehat
sejumlah satu ekor tiap tanaman uji, kemudian disungkup menggunakan plastik
mika yang sudah dimodifikasi dasarnya. Kutukebul dibiarkan selama 24 jam pada
tanaman tersebut (periode inokulasi). Kemudian masing-masing kutukebul
tersebut dipindahkan lagi ke bibit tanaman tomat sehat lainnya dan dibiarkan
selama 24 jam, begitu seterusnya sampai kutukebul tersebut mati. Tanaman hasil
perlakuan selanjutnya diinkubasi di rumah kaca selama tiga minggu. Perawatan
tanaman dilakukan setiap hari. Parameter yang diamati meliputi ada atau tidaknya
gejala klorosis pada daun. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat hari
kemunculan gejala mulai inokulasi kutukebul viruliferus tersebut hingga tanaman
uji tidak bergejala lagi. Masing-masing seri inokulasi menggunakan sepuluh
ulangan. Sebagai kontrol adalah tanaman uji yang ditulari dengan kutukebul yang
tidak viruliferus dengan cara diakuisisikan pada tanaman tomat sehat.

Gambar 3 Bibit tomat yang sudah diinokulasi TICV
Gejala klorosis yang muncul pada tanaman uji diuji secara molekuler
dengan menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk meyakinkan
bahwa gejala tersebut benar-benar disebabkan oleh infeksi TICV. Ekstraksi RNA
daun tanaman uji dilakukan menggunakan Rneasy Plant Mini Kits (Qiagen Inc.,
Chatsworth, CA, USA) sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Qiagen.
RNA hasil ekstraksi selanjutnya dipakai sebagai template dalam Reverse
Transcriptase (RT) atau transkripsi balik. Larutan untuk reaksi RT-PCR
mengandung 2 µl RNA total, 1 µl buffer RT 10X, 0,35 µl 50 mM DTT
(dithiothreitol), 2 µl 10 mM dNTP (deoksiribonukleotida triphosphat), 0,35 µl MMuLV Rev, 0,35 µl RNase inhibitor, 0,75 µl oligo (dT), dan 3,2 µl H2O.
Amplifikasi dilakukan dalam sebuah Automated Thermal cycler (Gene Amp PCR
System 9700; PE Applied Biosystem, USA) yang diprogram untuk satu siklus pada
suhu 25 ºC selama 5 menit, 42 ºC selama 60 menit, dan 70 ºC selama 15 menit.
Complementary DNA (cDNA) yang didapat dipakai sebagai template dalam
proses PCR dengan campuran 1 µl primer spesifik untuk mendeteksi virus TICV,
yaitu TICV-CF (5’-AATCGGTAGTGACACGAGTAGCATC-3’) dan TICV-CR
(5’-CTTCAAACATCCTCCATCTGCC-3’) dengan ukuran produk PCR 417 bp,
2,5 µl buffer PCR 10X + Mg2+, 0,5 µl 10 mM dNTP, 2,5 µl sucrose cresol 10X,
0,3 µl Taq DNA polymerase, 15,2 µl H2O, dan 1 µl cDNA. Amplifikasi DNA
diawali dengan pradenaturasi pada suhu 94 ºC selama 4 menit. Selanjutnya secara
berturut-turut berlangsung fase denaturasi pada 94 ºC selama 1 menit, annealing
pada suhu 62 ºC selama 1 menit, dan elongasi pada suhu 72 ºC selama 2 menit
yang diteruskan tahap pascaextention selama 10 menit serta penyimpanan pada
suhu 4 ºC. Produk PCR selanjutnya dielektroforesis pada gel agarose 1%, dengan
tegangan 50 Volt selama 45 menit. Visualisasi pita DNA dengan transluminator
UV. Hasil daun tomat yang positif terinduksi TICV akan terlihat bila pita DNA
berada pada 417 bp. Hasil visualisasi kemudian difoto menggunakan kamera
digital.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identitas T. vaporariorum
Berdasarkan pengamatan, imago kutukebul T. vaporariorum baik jantan
maupun betina mempunyai dua pasang sayap yang berselaput tipis. Sepasang
sayap depan mempunyai sifat yang seragam seluruhnya, demikian pula halnya
dengan sepasang sayap belakang. Warna sayapnya keruh, keputihan, dan tertutup
dengan serbuk yang putih. Pada waktu serangga sedang istirahat sayap-sayapnya
diletakkan seperti atap di atas tubuh, dengan tepi bagian dalam yang agak
tumpang tindih di bagian ujungnya.

1

8

2

7
6
3

0,15 mm

(a)

4

5

0,2 mm

(b)

Gambar 4 Pupa T. vaporariorum (a) pada daun tomat dan (b) preparat pupa: (1)
pinggiran trakea, (2) rambut dorsal, (3) ruas abdomen VII, (4)
vasiform orifice, (5) seta kaudal, (6) lingula, (7) submarginal, (8) basal
tungkai tengah dan belakang
Tahapan perkembangan T. vaporariorum merupakan peralihan antara
paurometabola dan holometabola, karena nimfa instar akhir hanya diam dan
seperti pupa. Pupa T. vaporariorum berwarna kuning pucat, agak tebal, dan
panjangnya sekitar 0,73 mm (gambar 4a). Setelah dibuat preparat, pupa kutukebul
yang diidentifikasi untuk penelitian mempunyai ciri khas pupa spesies

T. vaporariorum, yakni berbentuk ovoid, pinggiran trakeanya tidak seperti sisir,
tidak mempunyai rambut dorsal, lingula membulat, terdapat barisan papila pada
submarginal, serta basal tungkai tengah dan belakang mempunyai seta yang kecil
dan halus (gambar 4b). Hal tersebut berdasarkan deskripsi pada Martin (1987).
Panjang Rostrum dan Sayap T. vaporariorum
Imago betina T. vaporariorum yang diambil dari empat lokasi berbeda,
yakni Cikajang, Pacet, Cikole, dan Batu, memiliki ciri-ciri yang sama. Pada waktu
makan, rostrum ditusukkan secara tegak lurus pada permukaan daun (biasanya
diikuti gerakan sayap, abdomen, dan tungkainya). Rostrum T. vaporariorum
bentuknya tidak benar-benar lurus, namun agak membengkok pada bagian tengah.
Ujung rostrum berwarna coklat tua pada bagian ujung.

1 mm

(a)

0,5 mm

(b)

Gambar 5 Morfologi imago T. vaporariorum, (a) saat sedang istirahat dan (b)
saat sedang makan
Panjang rata-rata rostrum imago betina T. vaporariorum yang berasal dari
Cikajang adalah 293,18 µm, dari Pacet sebesar 275,76 µm, dari Cikole sebesar
256,36 µm, dan dari Batu adalah 251,81 µm. Berdasarkan data yang didapat dari
pengukuran panjang rostrum dan sayap imago betina T. vaporariorum, terlihat
hasil

yang berbeda nyata (Tabel 1). Panjang rostrum imago betina

T. vaporariorum yang berasal dari Cikajang berbeda nyata dengan panjang
rostrum imago betina dari Pacet, Cikole, dan Batu. Panjang rostrum sampel yang
berasal dari Pacet berbeda nyata dengan panjang rostrum dari Cikajang, Cikole,
dan Batu. Panjang rostrum sampel imago betina kutukebul T. vaporariorum yang
berasal dari Cikole berbeda nyata dengan panjang rostrum imago betina dari

Cikajang dan Pacet, namun tidak berbeda nyata dengan sampel dari Batu. Panjang
rostrum imago betina yang berasal dari Batu berbeda nyata dengan panjang
rostrum imago betina dari Cikajang dan Pacet, namun tidak berbeda nyata dengan
sampel dari Cikole. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh suhu di kedua tempat
tersebut yang tidak jauh berbeda, sehingga memberikan pengaruh yang sama
terhadap perkembangan kutukebul. Menurut Digby (1954) semakin tinggi suhu
lingkungan yang diterima, maka ukuran serangga akan semakin kecil.
Tabel 1 Panjang rostrum dan sayap T. vaporariorum
Lokasi
Cikajang
Pacet
Cikole
Batu
a

Ketinggian
(m dpl)

Suhu
(˚C)

Kelembaban
(%)

1287
1125
1022
675

19,8
20,9
22,2
22,4

87,3
83
80
78,2

Panjang ± SBa (µm)
Rostrum
293,18 ± 25,62a
275,76 ± 13,15b
256,36 ± 15,55c
251,81 ± 13,54c

Sayapb
1286,33 ± 41,89a
1212,00 ± 21,40b
1162,67 ± 19,46c
1119,33 ± 27,03d

SB = simpangan baku
angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda
nyata (uji t pada α = 0,01)

b

Panjang rata-rata sayap imago yang berasal dari Cikajang, Pacet, Cikole,
dan Batu berturut-turut adalah 1286,33 µm, 1212 µm, 1162,67 µm, dan 1119,33
µm. Panjang sayap imago betina T. vaporariorum yang berasal dari Cikajang
berbeda nyata dengan panjang sayap imago betina dari Pacet, Cikole, dan Batu.
Panjang sayap imago yang berasal dari Pacet berbeda nyata dengan panjang sayap
dari Cikajang, Cikole, dan Batu. Panjang sayap imago betina T. vaporariorum
yang berasal dari Cikole berbeda nyata dengan panjang sayap imago betina dari
Cikajang, Pacet, dan Batu. Panjang sayap imago betina T. vaporariorum yang
berasal dari Batu berbeda nyata dengan panjang sayap imago betina dari Cikajang,
Pacet, dan Cikole.
Rostrum dan sayap imago betina yang berasal dari Cikajang memiliki
ukuran paling panjang dibandingkan lokasi lainnya. Sebaliknya, panjang rostrum
dan sayap imago betina yang berasal dari Batu memiliki ukuran paling pendek
dibandingkan lokasi lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ketinggian
tempat di Cikajang paling tinggi (1287 m dpl) daripada lokasi lainnya, sedangkan
Batu mempunyai ketinggian tempat yang paling rendah (675 m dpl) dibandingkan

lokasi pengamatan lainnya. Tinggi rendahnya suatu tempat di permukaan bumi
berpengaruh terhadap suhu udaranya. Semakin tinggi letak suatu tempat, maka
suhunya pun akan semakin rendah. Ukuran rostrum dan sayap kutukebul
mengalami pertambahan seiring dengan pertambahan ketinggian tempat dan
penurunan suhu habitat kutukebul. Atau dengan kata lain, semakin tinggi suhu
habitat perkembangan T. vaporariorum maka ukuran rostrum dan sayapnya akan
semakin pendek. Hal tersebut dibuktikan pula oleh Blackman (1994) pada spesies
Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) serta Murai & Toda (2002) pada spesies
Thrips tabaci (Thysanoptera: Thripidae) yang mengalami penurunan ukuran tubuh
imago bila perkembangan pradewasanya berada pada suhu yang lebih tinggi. Suhu
mempengaruhi ukuran kutu daun dan beberapa serangga lainnya, yaitu seranggaserangga yang berukuran kecil ketika berkembang pada suhu yang lebih tinggi
(Dixon 1985). Hal tersebut dikarenakan fenomena adaptasi dan interaksi suhu
dengan proses metabolisme serangga (Blackman 1994).
Suhu di negara tropis seperti Indonesia sangat dipengaruhi oleh
kelembaban udara (Wisnubroto et al. 1986). Kelembaban di Cikajang paling
tinggi (87,33%) dibandingkan lokasi lainnya. Kelembaban yang tinggi disebabkan
letak daerah Cikajang yang berada di lereng gunung dan sebagian besar
kawasannya merupakan tadah hujan (rain fed area), sehingga banyak mendapat
curah hujan. Letak daerah dan kelembaban yang tinggi tersebut mempengaruhi
suhu lingkungan, sehingga suhu di Cikajang juga paling rendah dibandingkan
lokasi lainnya, yaitu sebesar 19,8 ˚C.
Periode Retensi TICV dalam Tubuh T. vaporariorum
Tanaman tomat kultivar Marta mengekspresikan gejala infeksi oleh virus
TICV lebih jelas dibandingkan tomat kultivar lain (Fitriasari 2010). Tomat
kultivar ini banyak ditanam oleh petani tomat baik di wilayah Bogor, Cianjur,
Sukabumi, maupun Garut.
Setelah pengamatan selama kurang lebih tiga minggu, terdapat variasi
gejala antara tanaman tomat yang diinokulasi imago T. vaporariorum tidak
viruliferus dengan yang viruliferus. Daun tanaman tomat yang diinokulasi dengan
imago tidak viruliferus terlihat tetap berwarna hijau daun dan segar (gambar 6a).
Ukuran dan perkembangan tanaman tomat tampak normal seperti pada umumnya.

Sebaliknya, tanaman tomat yang diberi perlakuan inokulasi kutukebul yang
viruliferus menunjukkan ekspresi khas TICV (gambar 6b). Ekspresi atau gejala
tersebut berkembang dari bagian bawah ke atas tanaman berupa daun yang
klorosis, kemudian berwarna agak coklat keunguan, lebih tebal, lebih kaku, agak
menggulung, dan nekrosis. Gejala pada tanaman uji mirip dengan gejala TICV
yang ditemukan di lapangan, hanya saja tidak separah gejala di lapangan. Hal ini
dikarenakan umur tanaman di lapangan lebih tua daripada tanaman uji, sehingga
perkembangan gejalanya pun lebih lama dan gejala yang terlihat lebih parah.

(a)

(b)

Gambar 6 Daun tanaman tomat uji yang tidak memperlihatkan gejala klorosis
setelah diinokulasi melalui T. vaporariorum yang tidak viruliferus (a)
dan yang memperlihatkan gejala klorosis setelah diinokulasi TICV
melalui T. vaporariorum yang viruliferus (b).
Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa periode retensi TICV pada
T. vaporariorum adalah 3 hari. Hal tersebut terjadi karena hubungan antara virus
dan serangga vektornya adalah semipersisten. Pada hubungan semacam ini, virus
tidak memperbanyak diri dalam tubuh vektornya, sehingga konsentrasi virus akan
terus menurun sampai akhirnya tidak cukup untuk menimbulkan penyakit pada
tanaman yang diinokulasinya (misalnya pada hari ke-4).

Tabel 2 Masa infektif T. vaporariorum dalam penularan berseri TICV pada bibit
tomat setelah 24 jam periode akuisisia

a

Pemindahan
vektor pada
tana