Karakteristik Filamen Sutera (Attacus atlas) pada Usia Kokon yang Berbeda

(1)

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (

Attacus atlas

) PADA

USIA KOKON YANG BERBEDA

SKRIPSI YULIANA FAJAR

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (

Attacus

atlas

)

PADA

USIA KOKON YANG BERBEDA

YULIANA FAJAR D14062271

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(3)

RINGKASAN

Yuliana Fajar. D14062271. 2011. Karakteristik Filamen Sutera Attacus atlas pada Usia Kokon yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M.S. Pembimbing Anggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si.

Sutera liar dari spesies ulat sutera Attacus atlas telah dikenal sebagai komoditi pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Komponen utama sutera yang telah banyak digunakan dalam berbagai industri adalah filamen atau serat sutera. Filamen sutera A. atlas diperoleh dari penguraian kulit kokon melalui beberapa tahap pemrosesan. Filamen sutera ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan filamen sutera domestik Bombyx mori. Karakter kain sutera liar lebih sejuk saat dipakai, tahan kusut, anti alergi, lebih halus, dan memiliki variasi warna eksklusif. Penggunaan sutera yang meluas, tidak terbatas dalam dunia tekstil saja membuat kualitas sutera penting untuk dipertahankan dan ditingkatkan. Kualitas sutera sangat bergantung kepada karakteristik kokon dan filamennya. Salah satu hal yang diduga dapat mempengaruhi karakteristik kokon dan filamen adalah usia kokon saat diolah. Belum diketahui berapa usia kokon maksimum tanpa mengurangi atau mengubah mutu karakteristik kokon dan filamen. Biasanya pengolahan kokon dilakukan segera setelah dipanen, karena dikhawatirkan kualitas karakteristik filamen menurun. Akibatnya, setelah panen, kokon yang harus segera diolah secara bersamaan cukup banyak, sehingga dapat mengurangi efektivitas pengolahan kokon. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh usia kokon yang berbeda-beda terhadap karakteristik filamen sutera A. atlas.

Penelitian ini menggunakan kokon ulat sutera liar A. atlas yang indukannya berasal dari perkebunan teh Walini, Purwakarta. Pemeliharaan larva dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas kokon usia 30 hari, kokon usia 45 hari, kokon usia 60 hari, dan kokon usia 75 hari. Setiap taraf perlakuan terdiri atas 3 ulangan, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Peubah yang diamati adalah bobot kulit kokon, panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase filamen, dan panjang filamen sekali putus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ukuran pemusatan data dan disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil analisis data menunjukkan usia kokon terbaik yang ditunjukkan dengan nilai keragaman terendah terdapat pada usia kokon 45 dan 60 hari, akan tetapi nilai maksimum panjang filamen sekali putus yang sangat penting dalam usaha pemintalan terdapat pada usia kokon 30 hari. Jika mengabaikan keberlangsungan reproduktif A. atlas, kokon berusia 30 hari dapat diolah dengan dikeringkan terlebih dahulu untuk menyeragamkan kandungan air kokon. Rata-rata bobot kokon yang diperoleh sebesar 0,8±0,2 g/kokon, panjang filamen 798,47±189,99 m, bobot filamen 0,4±0,14 g, persentase filamen 50,05±11,06 %, ketebalan filamen 4,49±0,84 d, dan panjang filamen sekali putus sebesar 2,69±0,91 m. Kesimpulan yang dapat diambil adalah karakteristik filamen dengan kualitas seragam dan tinggi serta mempertimbangkan kelangsungan regenerasi A. atlas dapat diperoleh pada usia kokon 45-60 hari. Selama penyimpanan kokon dilakukan dalam ruangan bersirkulasi


(4)

udara lancar dan dalam tempat yang minim kontak dengan udara, tidak terjadi perubahan berarti dalam karakteristik filamen sutera.


(5)

ABSTRACT

The Characteristics of Attacus atlas Filament Silk at Various Cocoon Age Fajar, Y., A. M. Fuah and H. C. H. Siregar

Attacus atlas wild silk has been known as the commodity with a variety of economic usefulness, such as in the textile industry, crafts, medical devices, cosmetics, electronics production, and so on. Due to the nature of this multifunction, silk quality became very important. The quality of the silk depends on the characteristics of the cocoon skin and filament. It is important to know the maximum cocoon age that does not change cocoon filaments quality. The purpose of this study was to analyze the influence of the cocoon age on silk filament characteristics. As many as 12 cocoonswere divided into four age groups (30, 45, 60, and 75 days). The cocoons were degummed using Kato's method(2000).The results showed that the age of 45 and 60 days were the best cocoon age to yield qualified silk filament. The observed silk filament characteristics were cocoon skin weights (0.8 ± 0.2 g), the total length of the filament (798.47 ± 189.99 m), the weight of the filaments (0.4 ± 0.14 g), the percentage of the filaments (50.05±11.06%), the thickness of the filament (4.49 ± 0.84 d), and the length of each filament (2.69 ± 0.91 m). It can be concluded that the characteristics of filament hang on to good quality does not exceed 60 days cocoon age.


(6)

Judul : Karakteristik Filamen Sutera (Attacus atlas) pada Usia Kokon yang Berbeda

Nama : Yuliana Fajar NIM : D14062271

Menyetujui, Pembimbing Utama,

(Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M.S.) NIP. 19541018 197903 2 001

Pembimbing Anggota,

(Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si.) NIP. 19620617 199003 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Juli 1988 di Pamijahan, Kabupaten Bogor. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Andi Suhandi dan Ibu Diah.

Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Gunung Picung V dan SDN Gunung Picung VII pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 2000. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SMP PGRI Gunung Picung dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 1 Cibungbulang, Bogor.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Tahun 2007 Penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif dalam beberapa organisasi mahasiswa diantaranya Ikatan Pengurus Mushala Asrama Putri TPB IPB tahun kepengurusan 2006-2007 sebagai staf Divisi Syi’ar, Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka IPB (Racana Surya Tirta Kencana-Inggita Puspa Kirana) sebagai Koordinator Divisi Rumah Tangga tahun kepengurusan 2007-2008 dan sebagai Kerani Putri tahun kepengurusan 2008-2009, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan (DPM-D) sebagai sekretaris Komisi Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa tahun kepengurusan 2007-2008, dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (Himaproter) sebagai staf Divisi Peduli Pangan Peternakan tahun kepengurusan 2008-2009. Penulis juga pernah terlibat dalam beberapa kegiatan profesional dan kepanitiaan. Penulis merupakan penerima beasiswa Supersemar (2007-2008), beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) tahun 2008-2010 dan berhasil mendapatkan pendanaan penelitian serta bantuan biaya hidup selama satu tahun dari PT Wide and Pin untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Karakteristik Filamen Sutera Attacus atlas pada Usia Kokon yang Berbeda” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Attacus atlas merupakan ulat sutera liar asli Indonesia yang sudah mulai disadari manfaatnya sebagai penghasil sutera. Budidaya A. atlas sampai saat ini belum berhasil dilakukan karena informasi tentang kebutuhan mikroklimat dan tingkah lakunya masih minim. Hal ini menyebabkan masyarakat melakukan pemanenan kokon dari alam. Kokon di alam biasanya berbeda-beda umurnya, ada kokon yang baru, bahkan ada kokon yang sudah lama/tua. Kokon yang sudah lama biasanya tidak dipanen karena dianggap rendah kualitasnya. Sistem pilih kokon ini belum diketahui keakuratannya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik filamen sutera A. atlas pada usia kokon yang berbeda-beda.

Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata Penulis mengucapkan terimakasih, semoga tulisan ini bermanfaat terutama kepada pihak-pihak yang memerlukan informasi mengenai Attacus atlas

dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Desember 2011


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... ii

ABSTRACT ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Biologi Attacusatlas ... 3

Telur ... 4

Larva ... 4

Pupa ... 6

Imago ... 6

Keistimewaan Sutera ... 6

Karakter Kokon dan Filamen Sutera ... 7

Penyimpanan Kokon ... 11

Pemasakan Kokon ... 11

Tanaman Sirsak ... 13

METODE ... 14

Lokasi dan Waktu ... 14

Materi ... 14

Prosedur Penelitian ... 14

Analisis Data ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 20

Performa Filamen ... 21

Bobot Kulit Kokon ... 23

Panjang filamen ... 26

Bobot filamen ... 28

Persentase filamen ... 29

Ketebalan filamen ... 31

Panjang Filamen Sekali Putus ... 33

Masa Penyimpanan Kokon Terbaik ... 34


(10)

Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

UCAPAN TERIMA KASIH ... 37


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Metode Degumisasi Kokon Anaphe, Criculatrifenestrata dan

Attacusatlas ... 12

2. Rata-rata Kandungan Nutrien Daun Sirsak ... 13

3. Rata-rata dan Keragaman Bobot Kulit Kokon ... 24

4. Rata-rata dan Keragaman Panjang Filamen ... 27

5. Rata-rata dan Keragaman Bobot Filamen ... 28

6. Rata-rata dan Keragaman Persentase Filamen ... 30

7. Rata-rata dan Keragaman Tebal Filamen ... 31


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Siklus Hidup Attacus atlas ... 5

2. Kokon Mentah ... 8

3. Alat penggulung manual (hand spun) kokon ... 16

4. Prosedur Penelitian ... 17

5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C ... 20

6. Hasil Penggulungan Filamen Sutera ... 21


(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sutera liar Attacus atlas merupakan komoditi bernilai ekonomi tinggi yang dihasilkan serangga asli Indonesia. Serat sutera yang dihasilkan dari kokon A. atlas

ini memiliki keistimewaan berupa warna keemasan dan memiliki variasi warna alami yang khas, dari warna cokelat gelap sampai cokelat terang yang berkilau. Dibandingkan dengan kokon sutera murbei, harga kokon ulat sutera A. atlas

mencapai Rp 600.000 per kg, dengan harga benang Rp 1.500.000 sedang harga kokon ulat sutera murbei (Bombyx mori) hanya Rp 25.000 per kg dengan harga benang Rp 300.000 per kg (Solihin & Fuah, 2010). Kebutuhan terhadap kokon ulat sutera liar jenis A. atlas untuk dijadikan benang sangat tinggi namun pemenuhannya masih terbatas. Dewasa ini penggunaan komponen sutera A. atlas tidak hanya dalam dunia tekstil dan fashion kelas atas, tetapi juga sudah digunakan dalam dunia elektronik, bahan kosmetik, perlengkapan medis, dan lain sebagainya. Berdasarkan harga pasaran sutera A. atlas yang tinggi dan kebutuhan pasar yang belum terpenuhi, potensi pengembangan A. atlas masih sangat besar dan cukup menjanjikan.

Kemampuan A. atlas yang dapat hidup lebih dari dua generasi dalam setahun merupakan keunggulan lain dari ulat sutera ini. Ulat sutera murbei hanya dapat hidup dua generasi dalam setahun dan hanya dapat memakan pakan daun murbei. Attacus atlas dapat hidup pada sekitar lebih dari 90 tanaman inang dari 48 famili, salah satunya adalah tanaman sirsak (Peigler, 1989). Larva A. Atlas ditemukan hidup pada tanaman inang sirsak di banyak tempat. Ketersediaan daun sirsak yang melimpah di Indonesia berpotensi untuk mendukung keberlangsungan penyediaan pakan dalam budidaya A. atlas. Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam pemeliharaan ulat sutera dan harus selalu tersedia pada fase larva (ulat). Pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi A. atlas sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi, yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas sutera yang dihasilkan. Pakan yang memenuhi kebutuhan pokok, produksi dan reproduksi

A. atlas akan menghasilkan kokon dengan karakteristik sutera yang berkualitas tinggi.

Penilaian kualitas sutera ditentukan oleh dua faktor, yaitu karakteristik kokon dan karakteristik seratnya. Bobot kokon merupakan salah satu faktor penentu nilai


(14)

komersial karena harga jual kokon didasarkan pada bobotnya, yakni semakin tinggi bobot kokon, semakin tinggi harganya. Karakteristik kokon menentukan kualitas serat sutera, yang terdiri dari beberapa parameter, diantaranya yaitu panjang filamen, bobot filamen, persentase filamen, tebal filamen, dan daya urai filamen. Kokon sutera diharapkan memiliki panjang dan bobot filamen yang tinggi dalam produksi benang dan kain sutera dalam dunia tekstil. Semakin tinggi panjang dan bobot filamen, semakin banyak benang dan kain yang dihasilkan. Persentase filamen menandakan banyaknya filamen yang diperoleh dari sebutir kokon. Persentase filamen yang tinggi lebih menguntungkan dalam produksi sutera, karena mengindikasikan lebih banyak kandungan fibroin yang merupakan komponen utama filamen sutera dalam kokon. Ketebalan filamen berbanding lurus dengan bobot filamen. Filamen yang tebal juga menurunkan jumlah filamen yang digunakan dalam pembuatan benang sehingga lebih efisien. Daya urai filamen yang tinggi memudahkan dan mempersingkat waktu penguraian filamen.

Karakteristik kokon dan filamen tersebut dapat dipengaruhi oleh pakan, genetik, kesehatan larva saat mengokon, dan kondisi lingkungan. Salah satu hal yang juga diduga dapat mempengaruhi kualitas filamen sutera adalah usia kokon sebelum diproses menjadi filamen. Biasanya, kokon diproses menjadi filamen pada waktu seminggu setelah pengokonan sehingga akan sangat banyak kokon yang harus diolah secara bersamaan. Pengolahan kokon dalam jumlah besar secara bersamaan dalam usaha pemintalan benang sutera dinilai kurang efektif untuk memperoleh hasil penguraian yang kualitasnya seragam. Selain itu, batas usia maksimum pada kokon

A. atlas yang tidak mengubah kualitas kokon dan filamen belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh usia kokon yang berbeda terhadap karakteristik serat sutera A. atlas.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri performa karakteristik filamen


(15)

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Attacus atlas

Ulat sutera liar Attacus atlas adalah salah satu serangga yang berukuran besar dan banyak ditemukan di wilayah Asia (Peigler, 1989). A. atlas memiliki tahapan metamorfosis sempurna yang terdiri dari telur (embrio), larva, pupa, dan tahap dewasa (Chapman, 1971). Secara ilmiah, klasifikasi A. atlas menurut Triplehorn dan Johnson (2005) adalah sebagai berikut:

Kelas : Heksapoda (Insecta) Ordo : Lepidoptera

Super familia : Bombycoidea Familia : Saturniidae Genus : Attacus

Spesies : Attacus atlas

Attacus atlas dikenal sebagai ngengat sutera raksasa atau “si rama-rama” dan merupakan ngengat terbesar di Asia dengan bentang sayap mencapai 250 mm. Spesies A. atlas banyak ditemukan di hutan tropis dan tersebar di Asia Tenggara, daerah selatan Cina, dan India (Peigler, 1989). Penyebaran A. atlas hampir di seluruh wilayah Indonesia diantaranya Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Awan, 2007). Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar

A.atlas sering disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena larvanya yang besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu-kupu sirama-rama atau kupu-kupu gajah (Saleh, 2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah Temanggung, Wonosari, dan Wonogiri (Jawa Tengah), ngengat dari A. atlas ini disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama (Situmorang, 1996).

Larva A. atlas dapat memakan daun dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman (Peigler, 1989). Ulat sutera liar A. atlas merupakan serangga polivoltin yaitu dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun. Sifat polivoltin ini menguntungkan bagi usaha pembudidayaan ulat sutera A. atlas karena: a) bibit dalam bentuk ketersediaan telur dapat dipenuhi sepanjang tahun, b) musim berkembang biak terjadi sepanjang tahun, c) pada musim hujan maupun musim kemarau dapat dipelihara, d) produksi kokon akan ada sepanjang tahun, e) produksi benang akan dapat ditingkatkan jika jumlah populasi tinggi, f) Perkawinan dapat


(16)

dilakukan secara kontinyu sehingga pemuliaan ke arah peningkatan produktivitas dapat dicapai (Awan, 2007).

Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang biasa disebut holometabola terdiri dari telur (embrio), larva, pupa, dan tahap dewasa (Chapman, 1971). Lama periode tiap fase hidup A. atlas seperti dilaporkan Awan (2007) dan Mulyani (2008), masa inkubasi telur A. Atlas 10-12 hari, lama periode larva dengan pakan daun sirsak 30-42 hari, lama periode pupa adalah 20-29 hari, lama periode imago betina dan jantan masing-masing adalah 2-10 hari dan 2-4 hari. Total waktu yang diperlukan A. Atlas yang diberi pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 63-82 hari (Awan, 2007).

Telur. Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang kawin maupun tidak, tetapi telur yang dapat menetas adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur steril yang tidak menetas menjadi larva (Awan, 2007). Telur yang dibuahi (fertil) berwarna cokelat gelap, sedangkan telur yang tidak dibuahi (infertil) berwarna kuning pucat (Mulyani, 2008). Ukuran telur dari ngengat A. atlas yaitu panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm (Peigler, 1989); berbentuk oval, agak pipih dan hampir selalu ditutupi cairan agak kental berwarna merah kecokelatan yang disekresikan oleh ngengat betina agar telur melekat pada substrat (Mulyani, 2008) dengan masa inkubasi telur antara 7-13 hari (Adria dan Idris, 1997).

Larva. Larva A. atlas melalui 6 tahapan instar, dimana pada setiap instar, ciri-ciri, ukuran dan tingkah laku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting) pada larva instar pertama sampai instar keenam (Awan, 2007). Larva instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur dan memiliki ciri-ciri kepala dan badan berwarna hitam dan seluruh tubuh berbulu kuning yang tumbuh tegak kecuali bulu pada bagian punggung berupa duri halus berwarna coklat kehitaman (Nazar, 1990). Larva instar kedua memiliki kepala yang berwarna coklat tua, kaki berwarna hitam, badan ditutupi oleh serbuk putih, bagian tubuh samping memiliki tanda berwarna jingga pada bagian metathoraks di segmen 8-10, tanda ini akan ada sampai instar ketiga dan keempat. Instar keempat memiliki ciri-ciri kepala berwarna hijau


(17)

kekuningan dan tubuhnya ditutupi oleh tepung putih. Instar lima dan enam memiliki ciri-ciri kepala dan tubuh yang berkilau warna hijau terang (Peigler, 1989), terdapat tonjolan-tonjolan seperti bulu kasar yang jarang pada beberapa ruas abdomen (Nazar, 1990) dan panjang segmen badan bisa mencapai ± 15 cm (Pracaya, 2005).

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas

Sumber: Koleksi pribadi

Pupa. Kokon terbentuk saat instar keenam mulai mengeluarkan cairan sutera yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran tubuhnya. Cairan sutera yang dikeluarkan oleh instar enam berfungsi sebagai alat untuk melekatkan kokon pada daun atau ranting. Larva akan meneruskan pembuatan kokon sampai sempurna, biasanya daun dilipat di bagian ujung atau tepi daun kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap

Telur Larva Instar

Larva Instar II

Larva Instar III

Larva Instar IV Larva Instar V

Pupa Imago


(18)

ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di bagian atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pupa telah sempurna apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga antar isi kokon dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berbentuk larva (Awan, 2007).

Imago. Setelah masa pupasi berakhir, biasanya pada siang hari imago A. atlas akan muncul dari kokon. Imago yang muncul umurnya pendek, tidak makan, dan biasanya istirahat pada siang hari (Peigler, 1989). Ngengat ulat sutera merupakan hewan yang cenderung aktif pada malam hari atau biasa disebut nokturnal (Beck, 1980). Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih runcing dan panjang antenanya 23-30 mm serta lebar 10-13 mm; betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan lebar 3 mm. Imago A. atlas memiliki umur yang singkat, imago jantan berumur 2-4 hari sedangkan imago betina berumur 2-10 hari (Peigler, 1989; Awan, 2007). Imago betina yang telah kawin akan bertelur setelah beberapa jam dan akan menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 360 butir (Awan, 2007).

Keistimewaan Sutera

Sutera merupakan serat yang istimewa. Tujuan asli dari pembentukan sutera pada kokon di alam liar adalah untuk melindungi pupa dari gangguan alam dan predator selama proses metamorfosis menjadi ngengat. Sutera diproduksi dalam sebuah kelenjar di kepala ulat, dikeluarkan dan dibentuk dengan pola angka delapan yang diulangi ribuan kali pada seluruh kokon (Cook, 2005). Secara umum, sutera tersusun dari dua jenis protein: fibroin dan serisin. Fibroin adalah inti dari filamen sutera, sedangkan serisin adalah protein berupa perekat yang mengelilingi serat dan menyatukannya menjadi kulit kokon (Nogueira et al., 2010). Serisin pada sutera liar sebagian besar terikat dengan tanin, zat warna, lilin, dan lain-lain (Kato et al., 1997). Serisin terdapat pada lapisan luar filamen yang merekatkan filamen satu dengan yang lain membentuk dinding (Rukaesih, 1990). Fibroin dan serisin merupakan serangkaian asam-asam amino yang terdiri atas: glisin, alanin, lisin, asam aspartat, asam glutamat, serin, prolin, oksiprolin, tirosin, dan fenilalanin (JOVC, 1975).

Sutera yang telah diolah menjadi bentuk produk tekstil memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya. Dari karakteristiknya


(19)

keistimewaan kain sutera antara lain: ringan, kepadatan sutera relatif lebih ringan jika dibandingkan dengan wool atau katun; tidak mudah kusut, karena sifat sutera yang liat dan elastis; mempunyai daya menahan panas dan meresap air, karena sifat inilah maka bila kita memakai bahan sutera akan merasa hangat pada suhu dingin dan sejuk pada waktu panas; daya menahan warna kuat sehingga warna tidak cepat pudar; seperti wool jika sutera kontak dengan api tidak akan menjalarkan api, sutera akan hangus dan mengkerut tidak mudah menimbulkan kebakaran (P3H, 1992).

Indonesia memiliki 5 jenis ulat sutera liar, antara lain: A. atlas, Samia cynthia ricini, Cricula alaezea, Cricula trifenestrata, dan Antherae pernyi yang semuanya termasuk dalam familia Saturniidae. Kekayaan ini belum banyak dimanfaatkan dan didayagunakan secara maksimal untuk industri tekstil Indonesia (Situmorang, 1996). Menurut Akai (1997), ulat sutera liar seperti A. atlas dan S.c. ricini menghasilkan jenis sutera yang berbeda dengan sutera B. mori. Sifat yang dimiliki serat sutera liar jauh lebih lembut, tahan panas, dan anti bakteri. Keunggulan lainnya adalah adanya macam sutera yang bervariasi, filamen kokon banyak yang mengandung pori dan tidak menyebabkan alergi bagi pemakainya. Kelebihan serat sutera yang dihasilkan dari kokon A. atlas menurut Gusa et al. (2002) memiliki warna yang beragam dari cokelat tua, cokelat keputihan dan cokelat kehitaman. Keragaman warna serat sutera, dapat menambah kekayaan warna alami dan tidak perlu dilakukan pewarnaan.

Karakter Kokon dan Serat Sutera

Hasil akhir dari proses pemeliharaan ulat sutera adalah kokon. Kokon inilah yang akan diproses lebih lanjut untuk menjadi benang dan kain. Kualitas dari produk tersebut ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terkait dan yang paling menentukan kualitas produk adalah kokon itu sendiri. Kokon yang berkualitas baik ditentukan oleh beberapa faktor antara lain bibit ulat sutera, teknik pemeliharaan, temperatur, kelembaban, dan proses pengokonan (Sampe, 1991).

Kokon diselimuti filamen sutera yang kusut, yang disebut cocoon floss

(serabut serat). Di bawahnya terdapat lapisan sutera, atau cocoon shell (kulit kokon), yang terdiri dari lapisan filamen, yang didalamnya terdapat pupa dan kulit ulat sutera yang sudah lepas. Makin berat kulit kokon, makin besar kandungan suteranya. Hal ini bervariasi, sesuai dengan varietas ulat, dan kondisi pemeliharaan dan pengokonan (Atmosoedarjo etal., 2000).


(20)

A B Gambar 2. Kokon (A) Kokon Mentah; (B) Kulit Kokon

Sumber: Koleksi pribadi

Syarat kokon yang baik menurut Samsijah dan Andadari (1995) adalah sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalamnya (pupa) tidak hancur, bagian kulit kokon keras dan terbukti kalau ditekan sedikit berat sedangkan kokon berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor di bagian dalam, kotor di bagian luar, kulit kokon tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kulit kokon berlapis dan kokon berlekuk. Kokon yang terbentuk sempurna menurut Awan (2007) berbentuk elips, ujungnya membulat, dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna coklat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, oleh pengaruh sinar matahari dan gerakan angin, lama kelamaan akan lebih kuat dan lebih kering.

Beberapa karakter sutera yang penting untuk penilaian kualitasnya, antara lain adalah karakter kokon dan karakter seratnya. Berat kokon merupakan karakter kokon yang paling penting secara komersial. Hal ini disebabkan karena penjualan kokon di pasaran berdasarkan beratnya. Semakin berat kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas kokon yang dihasilkan (Lee, 1999).

Pembentukan lapisan filamen kokon B. mori terdiri dari 75% fibroin dan 25% serisin. Selebihnya mengandung sedikit malam, lemak, karbohidrat, abu, dan zat warna. Fibroin dan serisin seluruhnya terbentuk dari protein murni yang mengandung berbagai macam asam amino. Namun fibroin tidak larut di dalam air, karena struktur molekul yang longgar dan kaya akan asam amino yang hidrofobik. Fibroin merupakan bagian utama filamen, sedang serisin merupakan pelindung yang mengelilingi fibroin dan menyatukan filamennya (Atmosoedarjo etal., 2000).


(21)

Filamen sutera yang dihasilkan tentunya diharapkan memenuhi mutu standar. Berat filamen kokon yang diurai dari satu kokon tunggal, proporsional dengan berat kulit kokon, tetapi berbeda sesuai daya urainya. Beratnya berkisar antara 30-45 centigram dan 80-90 % dari berat kulit kokon (Atmosoedarjo etal., 2000).

Filamen kokon Bombyx mori terdiri dari sepasang serat yang dikeluarkan oleh larvanya. Rata-rata filamen B. mori berukuran sekitar 2-3 denier yang setara dengan ketebalan sekitar 20-30 mikron dan struktur bagian dalam padat. Serat sutera liar ukurannya 2-3 kali lebih tebal dari serat sutera mori. Serat sutera liar memiliki keragaman ukuran dan diameter yang tinggi dan menunjukkan penampang melintang yang seragam. Terdapat banyak jenis sutera liar yang tidak seperti sutera mori, ketebalan filamen kokonnya sangat beragam, memiliki penampang melintang filamen yang sama dan ukuran struktur yang bervariasi. Sutera liar berbeda dengan sutera mori dalam hal sifat sutera, kemampuan menyerap kelembaban, sifat insulasi panas, hand feel dan lain-lain. Sehingga, serat sutera liar menunjukkan materi serat dengan banyak potensi aplikasi selain sebagai penggunaannya dalam busana gaya barat (Kato et al., 1997). Ukuran atau ketebalan filamen kokon A. atlas yang diperkirakan dari mikrograf SEM dalam Kato et al. (1997) adalah sekitar 30 µm.

Ukuran kehalusan filamen dinyatakan dengan satuan denier (d). Apabila panjang serat 9000 meter dengan berat 1 g, maka kehalusan filamen adalah satu denier. Ukuran kehalusan filamen kokon B. mori berkisar antara 2,5-3,5 denier. Kehalusan filamen sutera dipengaruhi beberapa faktor: (1) suhu dan kelembaban: filamen mempunyai tendensi ukuran denier yang tinggi (lebih besar seratnya) apabila ulatnya dipelihara selama instar I dan II, dengan suhu dan kelembaban udara yang tinggi. Selain itu, suhu yang tinggi pada waktu pengokonan ulat yang belum dewasa, membuat denier filamennya rendah; (2) musim pemeliharaan: pemeliharaan ulat sutera pada musim semi di Jepang menghasilkan denier filamen lebih besar daripada pada pemeliharaan musim gugur; (3) pakan dan kepadatan populasi: pemberian pakan dengan daun yang lunak dan pemeliharaan yang jarang, akan menghasilkan filamen yang lebih besar dibandingkan dengan pada pemeliharaan yang lebih padat; (4) ukuran larva: ulat yang bertubuh besar cenderung menghasilkan pola denier yang lebih besar pula (Atmosoedarjo etal., 2000).


(22)

Berdasarkan fenomena di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa faktor lingkungan yang menunjang kesehatan ulat, akan menghasilkan denier yang lebih tinggi (lebih tebal). Ukuran filamen berbeda sesuai dengan bagian dari kokon, lazimnya lebih besar pada lapisan luar dibanding dengan lapisan dalam kulit kokon. Kokon dengan deviasi di antara lapisan-lapisan kulit kokon akan sangat menguntungkan proses reeling (Atmosoedarjo etal., 2000).

Gusa et al. (2002) menyatakan pada pengembangan industri serat sutera perlu dilakukan pengkajian tentang berbagai hal, termasuk pengujian terhadap kualitas serat yang meliputi kumuluran, beban putus, kekuatan tarik dan kehalusan serat serta pengamatan foto morfologi serat dengan menggunakan mikroskop elektron. Karakter serat yang digunakan dalam menilai kualitas sutera antara lain adalah kekuatan serat dan daya serap terhadap kelembaban. Pustaka dari Prachayawarakorn dan Klairatsamee (2005) menyataan kekuatan serat dan daya serap terhadap kelembaban merupakan parameter penting dalam penilaian karakter dan kenampakan serat secara fungsional, seperti: pemeliharaan, kenyamanan dan penanganannya.

Penyimpanan Kokon

Pengeringan dilakukan pada kokon Bombyx mori sebelum pengolahan kokon dilaksanakan. Selain untuk mematikan pupa di dalam kokon agar kokon tidak rusak, pengeringan juga dilakukan agar kokon kering serta dapat disimpan lama dalam jangka waktu 6-12 bulan sebelum diolah (Cahyadi, 2008). Berbeda dengan pustaka LPE Al Syura (2003), setelah kokon dikeringkan, kokon dapat bertahan dengan kualitas baik paling lama sekitar 1 bulan. Kokon yang tidak dikeringkan hanya mampu bertahan disimpan selama 1 minggu saja. Menurut hasil penelitian Kaomini dan Bertha (1988) dalam Samsijah dan Lincah Andadari (1992) menyatakan bahwa penyimpanan kokon dalam ruangan yang mempunyai kelembaban 65-75% selama 4-6 minggu akan mnurunkan daya gulung, akan tetapi tidak mempengaruhi persentase benang. Bahkan BGI (2010) menjelaskan bahwa kokon yang sudah disortasi dan dibersihkan dari floss dimasukkan dalam bag yang disesuaikan masa panennya, karena maksimum 6 hari setelah panen, kokon harus direbus dan


(23)

Pemasakan Kokon

Pemasakan kokon dapat dilakukan dengan beberapa metode. Pemasakan kokon dilakukan untuk memudahkan penguraian dan penggunaan fibroin setelah pelepasan serisin yang merekatkan filamen. Serisin merupakan protein yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lunak dan larut dalam alkali lemah dan sabun. Sutera dari B. mori biasa dimasak dengan cara direbus atau diuapi saja sebelum diurai dan dipintal. Kenyataannya serisin pada sutera liar lebih sedikit, namun bahan-bahan yang perlu dihilangkan tidak hanya serisin, tetapi juga bahan-bahan lainnya seperti lilin, garam-garam mineral, dan zat warna lain seperti pigmen alam berwarna kekuningan. (Saleh, 2000).

Degumisasi pada beberapa jenis sutera yang dilakukan dalam penelitian Kato (2000) dilakukan dalam beberapa tahapan seperti tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Metode Degumisasi Kokon Anaphe, Criculatrifenestrata dan A.atlas

Proses Lapisan tengah

Anaphe

Lapisan luar dan dalam Anaphe

Cricula

trifenestrata Attacus atlas

Pra- 95-98oC 95-98oC 95-98oC 95-98oC

perlakuan air panas air panas air panas air panas Degumisasi Na2CO3 3g/l Na2CO3 4g/l Na2CO3 2g/l Na2CO3 3g/l

4-5 jam 3-4 jam 2 jam 3 jam

98-100oC 98-100oC 98-100oC 98-100oC

Na2CO3 3g/l 4-5 jam 98-100 oC

Finishing pencucian air panas pencucian air panas pencucian air panas pencucian air panas

Serisin pada sutera liar terikat pada tannin dan zat-zat lainnya, sehingga pemasakan kokon harus dengan metode yang benar-benar tepat sehingga degumisasi dapat terjadi dengan sempurna. Degumisasi merupakan proses pelepasan serisin dan zat lainnya yang merekat pada filamen fibroin (Kato, 2000). Lebih lanjut, Kato (2000) menjelaskan setelah didegumisasi, kokon dicuci dengan air hangat yang


(24)

bersuhu sekitar 40oC dan diekstraksi dengan etanol selama lima hari sebelum filamen dianalisis karakteristiknya. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut (kokon

Anaphe, C. trifenestrata dan A. atlas) diperlakukan sebagai sutera liar. Pengamatan di bawah SEM terhadap filamen A. atlas yang didegumisasi dengan metode di atas menunjukkan struktur permukaan sutera A. atlas sangat halus dikarenakan hampir seluruh serisin telah dihilangkan pada proses degumisasi.

Metode pemasakan kokon lain yang banyak digunakan seperti dalam penelitian Awan (2007) menggunakan bahan plot 1:20 (1 gram kokon 20 ml air), sabun netral 15-20 g/l, soda kaustik (NaOH) 2 cc/l, dengan suhu sampai mendidih dalam waktu 1 jam. Selesai proses pemasakan, kokon dikeluarkan untuk dicuci secara bertahap, yaitu dengan air panas, air hangat kemudian dengan air dingin, selanjutnya kokon tersebut disimpan di atas saringan untuk diperas. Setelah proses pemerasan, barulah kokon diurai satu persatu menggunakan handspun.

Tanaman Sirsak

Sirsak (Annona muricata L.) disebut juga nangka belanda atau nangka seberang, merupakan tanaman buah-buahan tropis dari famili Annonaceae, yang dicirikan dengan bau yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam yang secara morfologis susah dibedakan (Radi, 1997).

Habitat pohon sirsak di kawasan beriklim tropis yang hangat dan lembab, pada ketinggian sampai 1000 m dpl. Tumbuh pada semua jenis tanah yang gembur dan sedikit asam dan tidak tahan terhadap genangan. Musim berbunga dan berbuah sirsak sepanjang tahun (LIPI, 2000)

Daun sirsak merupakan daun tunggal, berbentuk bulat telur dengan panjang 8-16 cm dan lebar 3-7 cm (LIPI, 2000). Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam ukurannya lebih kecil. Bila mendekati mekar mahkota bunga ini berubah menjadi kuning muda (Radi, 1997).


(25)

Rata-rata kandungan nutrisi daun sirsak disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata Kandungan Nutrien pada Daun Sirsak

Nutrien Kandungan (%)

Air 65,46

Protein 6,59

Lemak 1,24

Karbohidrat 8,80

Abu 1,08


(26)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan (November 2010-Februari 2011) dengan tahapan sebagai berikut: November 2010 persiapan penelitian, Desember 2010 sampai Februari 2011 pelaksanaan penelitian. Penelitian dilakukan di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C dan Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Materi

Materi penelitian yang digunakan adalah 12 kokon ulat sutera liar A. atlas

berkualitas baik yang dipilih secara acak dari 31 kokon di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas Kandang Blok C Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bahan tambahan yang digunakan berupa serbuk Na2CO3, etanol 96% dan air.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 buah kotak plastik berukuran 30 x 30 x 30 cm3, timbangan digital merk ADAM (kapasitas 200 g dengan ketelitian 0.01 g), termohigrometer (pengukur suhu dan kelembaban ruangan), 12 kotak plastik kedap air dengan volume 350 ml, panci, kompor, gelas ukur, termometer, penggulung manual filamen sutera, pipa paralon PVC diameter 5,34 cm, pita ukur, kamera digital, kertas pencatatan, alat tulis, kantong plastik, dan kertas label.

Prosedur Penelitian Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan, kokon yang masih mengandung pupa diambil dari perkebunan teh Walini di Purwakarta. Kokon diambil bersama daun teh tempat kokon melekat dengan cara digunting. Kokon tersebut kemudian dipelihara sampai menghasilkan generasi selanjutnya (F1) di Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar

A. atlas Kandang Blok C Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH). Larva instar 1-3 dipelihara di dalam kandang dan diberi pakan daun sirsak. Memasuki instar 4-6, larva dipindahkan ke pohon sirsak sebagai pohon inang,


(27)

sumber pakan, dan tempat mengokon. Kokon yang sudah berumur tujuh hari kemudian dipindahkan ke dalam kandang untuk pengamatan dan dibedakan berdasarkan tanggal pada hari pertama mengokon. Secara keseluruhan terdapat 31 kokon, akan tetapi hanya dipilih 12 kokon yang kualitasnya baik yaitu kokon tunggal, berkulit keras, tebal, permukaan kompak dan kering, tidak berlubang, berbentuk bulat lonjong, bersih, dan tidak berbau. Semua kokon disimpan dalam kotak plastik yang diberikan lubang udara untuk pernafasan pupa. Kokon yang terpilih ini kemudian dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga kokon berumur 30, 45, 60, dan 75 hari yang dihitung berdasarkan hari pertama pengokonan. Pupa dalam kokon tersebut dibiarkan keluar menjadi ngengat, akan tetapi beberapa pupa yang sampai batas usia pengamatan yang ditetapkan masih belum bermetamorfosis menjadi ngengat, pupa dikeluarkan dari kokon melalui lubang anterior kokon.

Tahap Pengumpulan Data

Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan pada seluruh kokon A. atlas

yang terpilih. Kelompok kokon yang sudah berusia 30, 45, 60, dan 75 hari dibersihkan dari floss, pupa, dan sisa pupa di dalam kokon, lalu ditimbang bobot kulit kokonnya. Kokon kemudian didegumisasi mengikuti metode Kato (2000) dengan tahapan sebagai berikut: perlakuan pendahuluan berupa pencelupan (dipping) kokon dalam air hangat bersuhu 40 oC untuk memisahkan kotoran asing dan sisa pupa dari kokon. Kokon dicelupkan kembali ke dalam air dengan suhu 95-98 oC untuk mengurangi pigmen yang berasal dari luar filamen. Perebusan kokon dengan larutan Na2CO3 3 g/l pada suhu 98-100 oC selama tiga jam berfungsi sebagai degumisasi (penghilangan serisin yang merekatkan filamen sutera A. atlas satu dengan yang lainnya dalam sebutir kokon). Selama proses perebusan, kokon diupayakan tidak berdekatan satu sama lain dan tidak dilakukan pengadukan untuk menghindari terjalinnya filamen-filamen yang berasal dari kokon yang berbeda. Pencucian dengan air bersuhu 95-98 oC kembali dilakukan setelah kokon direbus untuk menghilangkan sisa serisin dan larutan Na2CO3 pada kokon. Kokon dicuci kembali dengan air bersuhu 40 oC untuk mengkondisikan temperatur kokon sebelum diekstraksi dalam larutan etanol 96% selama lima hari. Ekstraksi kokon dalam larutan etanol 96% bertujuan untuk menyerap kadar air, menarik partikel-partikel


(28)

selain fibroin yang mungkin masih tersisa pada fibroin dan menambah kristalinitas filamen sutera sehingga lebih kuat dan tidak rapuh selama proses penggulungan.

Gambar 3. Alat penggulung manual (hand spun) kokon

Filamen sutera A. atlas yang telah diekstraksi selanjutnya digulung secara manual dengan alat penggulung sederhana pada sebuah pipa paralon yang sudah ditimbang bobotnya. Kecepatan putaran penggulungan diupayakan stabil, misalnya pada kecepatan dua putaran setiap detik. Jumlah setiap putaran pipa dihitung sampai filamen terputus, kemudian dilakukan penggulungan kembali dengan hitungan putaran yang kembali dimulai dari satu, demikian seterusnya sampai tersisa selongsong tipis dari kokon yang sudah tidak dapat diurai. Total seluruh putaran penggulungan yang dijumlahkan dan kemudian dikalikan dengan keliling pipa dalam satuan meter merupakan panjang filamen sutera dari sebutir kokon. Filamen yang telah digulung ditimbang beserta pipa, dan bobot yang dihasilkan dikurangi bobot pipa, hasil pengurangan inilah yang merupakan bobot filamen sutera. Penghitungan persentase filamen dilakukan dengan membagi bobot filamen dengan bobot kulit kokon tanpa floss lalu dikalikan 100%. Ketebalan filamen sutera dihitung dalam satuan denier dengan cara membagi bobot filamen dengan panjangnya kemudian dikalikan 9000. Panjang filamen dalam sekali putus diperoleh dengan membagi panjang filamen dengan jumlah putus pada penguraian sebutir kokon.


(29)

Gambar 4. Tahapan Penelitian

Degumisasi kokon dalam larutan Na2CO3 suhu 98-100oC selama 3 jam

Pencucian dengan air panas 95-98 oC; air hangat 40oC

Ekstraksi filamen dalam larutan etanol 96% selama 5 hari Seleksi kokon berkualitas baik (kokon tunggal, bersih, tebal, keras)

Pengelompokan kokon menjadi empat kelompok dan penempatan kokon

Penyimpanan kokon (lama penyimpanan 30, 45, 60, dan 75 hari)

Pembersihan kokon dari sisa pupa dan floss

Pencelupan kokon dengan air hangat 40oC; air panas 95-98 oC

Penirisan kokon dari etanol 96%

Penggulungan filamen dengan penggulung manual

Penghitungan panjang, persentase, ketebalan, dan panjang filamen sekali putus

Penimbangan kulit kokon

Karakteristik filamen Penimbangan filamen


(30)

Analisis Data

Penelitian ini didesain secara eksploratif karena merupakan penelusuran awal mengenai performa karakteristik filamen pada usia kokon yang berbeda. Karakteristik filamen dalam penelitian ini lebih dititikberatkan pada karakteristik filamen yang diperlukan dalam bidang tekstil karena di Indonesia bidang tersebut merupakan bidang yang paling banyak menggunakan filamen sutera. Data diolah menggunakan ukuran pemusatan dan penyebaran data. Sebanyak 12 filamen sutera yang telah terbagi ke dalam 4 golongan usia kokon berbeda (30, 45, 60, dan 75 hari yang dihitung dari hari pertama pengokonan) diamati karakteristiknya yang meliputi panjang filamen, bobot filamen, persentase filamen, ketebalan filamen, dan panjang filamen setiap kali putus.

Peubah yang diamati dalam karakteristik filamen adalah sebagai berikut: 1. Bobot Kulit Kokon (g)

Kulit kokon adalah kokon yang sudah tidak mengandung floss dan pupa. Bobot kulit kokon ditimbang menggunakan timbangan digital.

2. Panjang Filamen (m)

Panjang filamen diperoleh dari jumlah penggulungan dari sebutir kokon dikalikan keliling pipa (5,34 cm) dan dikonversi ke satuan meter.

3. Bobot Filamen (g)

Bobot filamen diperoleh dari pengurangan bobot pipa dan filamen yang selesai digulung dengan bobot pipa sebelum penggulungan.

4. Persentase Filamen (%)

Persentase filamen dihitung berdasarkan bobot filamen dibagi bobot kulit kokon kemudian dikalikan 100%.

Persentase filamen (%) = x 100% 5. Tebal Filamen (denier)

Ketebalan filamen (d) merupakan ukuran filamen yang biasanya memiliki satuan µm, dan dapat dihitung dengan menggunakan satuan denier yang didapat dengan menggunakan rumus:


(31)

Apabila panjang filamen 9000 meter dengan berat 1 gram, maka kehalusan filamen adalah 1 denier (Atmosoedarjo et al., 2000).

6. Panjang Filamen Sekali Putus (m)

Rataan panjang filamen setiap sekali putus dihitung dengan cara membagi panjang filamen dengan jumlah putus dari sebutir kokon.


(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Lokasi pemeliharaan larva, pengokonan, dan pengamatan kokon adalah Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Kompleks Kandang Blok C. Lokasi pengolahan kokon sendiri dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kokon disimpan dalam box

plastik untuk melindungi kokon dari pengaruh udara, parasit, dan mikroorganisme secara langsung selama penelitian.

Gambar 5. Kandang Pemeliharaan Ulat Sutera Liar A. atlas di Komplek Kandang C Konstruksi bangunan di atas sebagian besar merupakan kisi-kisi dari kawat dengan bagian bawah dinding terbuat dari tembok yang memungkinkan sirkulasi udara berjalan dengan sangat lancar. Rata-rata suhu dan kelembaban selama penelitian dari bulan November 2010 sampai Januari 2011 berturut-turut adalah 25,9 o

C dan 85% , 25,5 oC dan 83% , dan 25,4 oC dengan kelembaban 83%. Kisaran suhu selama penelitian ini yaitu 22,8 oC (Januari 2011) hingga 31,6 oC (November 2010), sedangkan kisaran kelembaban relatif sebesar 71% (Desember 2010) hingga 95% (November 2010).

Kisaran suhu ini melewati batas nyaman larva A. atlas seperti dinyatakan oleh Awan (2007) yang menyatakan bahwa suhu nyaman ulat berada pada kisaran 20-30 ºC. Namun apabila suhu lebih tinggi dari 30 ºC atau kurang dari 20 ºC dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi karena terganggunya proses fisiologis dan pertumbuhan ulat sutera. Sebagaimana halnya dengan suhu, kisaran kelembaban juga


(33)

berada di luar batas nyaman untuk larva A. atlas sesuai dengan pendapat Veda et al.

(1997) yang menyatakan bahwa kelembaban yang baik untuk larva instar I dan II berkisar 80%-95% sedangkan untuk larva instar III, IV dan V adalah 70%. Kisaran suhu dan kelembaban di luar batas nyaman selama penelitian ini terbukti menyebabkan mortalitas larva yang tinggi selama masa persiapan penelitian. Larva yang dapat bertahan hidup sampai membentuk kokon hanya mencapai 31 ekor dari ratusan larva instar I yang dipelihara. Kelembaban udara juga mempengaruhi karakteristik filamen sutera, Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa kelembaban yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mengakibatkan filamen sutera terputus-putus.

Performa Filamen

Sampel penelitian berupa 12 gulung filamen dari kokon A. atlas dengan usia berbeda ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Filamen dari Kokon dengan Empat Usia yang Berbeda. (A) 30 Hari, (B) 45 Hari, (C) 60 Hari, dan (D) 75 Hari

(A) (B)


(34)

Gambar 6 menunjukkan warna dari gulungan filamen yang bervariasi dari cokelat terang sampai cokelat kehitaman yang berkilau keemasan. Warna filamen menurut Saleh (2000) merupakan pigmen alami yang diproduksi oleh larva A. atlas

pada saat pengokonan. Variasi warna yang dihasilkan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kandungan nutrien pakan, kondisi fisiologis, dan genetik dari masing-masing larva (Awan, 2007). Selain itu, belum didomestikasinya ulat sutera ini turut mempengaruhi tidak seragamnya warna filamen.

Tidak ditemukan kecenderungan peningkatan atau penurunan tonase warna filamen yang beraturan seiring bertambahnya usia kokon seperti tampak pada Gambar 6. Akan tetapi, intensitas warna filamen pada usia kokon 75 hari tampak lebih pudar dibandingkan dengan warna filamen pada usia kokon lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh warna awal kokon yang memang lebih pudar dan pertambahan usia kokon. Sebagai perbandingan, dalam Gambar 7 ditampilkan gambar kokon berusia satu minggu dan kokon yang berusia 75 hari.

(A)

(A) (B)

Gambar 7. Kokon mentah sebelum didegumisasi: (A) Kokon segar usia satu minggu, (B) Kokon usia 75 hari.

Kokon yang usianya lebih tinggi tampak lebih kering, permukaan floss sangat berkerut dan berwarna pucat dibandingkan dengan kokon yang usianya lebih muda. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya kandungan air selama pertambahan usia kokon yang boleh jadi mempengaruhi pigmentasi kokon dan filamen. Kontak udara yang lebih lama sedikit demi sedikit dapat menguapkan kandungan air kokon, apalagi didukung data suhu selama penelitian yang menunjukkan seiring pertambahan usia kokon, kelembaban udara semakin kering yang diduga turut berkaitan dengan berkurangnya kandungan air kokon. Perlu dilakukan uji lanjutan


(35)

untuk mengetahui apakah warna yang lebih terang ini benar-benar dipengaruhi usia kokon yang lebih lama tersebut.

Permukaan filamen yang telah digulung sangat halus saat disentuh (hand feel). Hasil ini sesuai pernyataan Kato (2000) bahwa setelah melalui proses degumisasi menggunakan larutan Na2CO3 3g/l dan ekstraksi menggunakan etanol pada waktu dan suhu yang ditetapkan, permukaan filamen A. atlas sangat halus karena hampir seluruh serisin dan zat lainnya telah hilang dari filamen. Serisin yang merupakan gum (perekat) antar filamen dalam kokon dan zat lainnya jika tertinggal pada filamen akan meninggalkan tekstur yang tidak halus setelah degumisasi.

Bobot Kulit Kokon

Kulit kokon merupakan bagian kokon yang telah dipisahkan dari floss dan pupa. Kulit kokon inilah yang diolah dan diurai menjadi filamen sutera. Penimbangan kulit kokon dilakukan untuk mengetahui bobot kokon yang telah terbentuk sempurna dan dapat diurai sebelum dimasak dan digulung. Bobot kulit kokon dapat digunakan untuk menentukan kualitas kokon yang dihasilkan, karena menurut Lee (1999) berat kokon merupakan karakter kokon yang paling penting secara komersial. Hal ini dikarenakan penjualan kokon didasarkan pada beratnya, semakin berat bobot kokon yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas kokon. Kokon yang bobotnya tinggi cenderung menghasilkan filamen atau benang sutera yang lebih panjang dan tebal.

Rata-rata bobot kulit kokon yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 0,80±0,19 g/kokon. Hasil ini lebih besar dibandingkan dengan bobot kulit kokon pada penelitian Baskoro (2004) yakni sebesar 0,5±0,2 g/kokon, penelitian Setiorini (2009) sebesar 0,62±0,35 g/kokon, dan penelitian Erliyani (2011) sebesar 0,46±0,08 g/kokon. Hasil penelitian tersebut menggunakan kokon yang dihasilkan oleh larva dengan pakan daun teh dan diperoleh dari alam, sedangkan dalam penelitian ini larva yang dipelihara merupakan keturunan dari larva yang diperoleh di alam, dengan pakan daun sirsak. Larva dipelihara di kandang pada tiga instar pertama, dan tiga instar berikutnya dipelihara di pohon sirsak. Bobot kulit kokon generasi F3 hasil domestikasi Awan (2007) dengan pakan daun sirsak dan teh memiliki rataan sebesar 1,66±0,4 g/kokon. Berdasarkan uraian di atas, faktor yang juga dapat mempengaruhi bobot kulit kokon diantaranya adalah kualitas dan jenis pakan, kondisi mikroklimat


(36)

lingkungan, domestikasi, ukuran larva, dan kesehatan larva semasa proses pengokonan berlangsung. Hasil pengamatan terhadap bobot kulit kokon pada usia kokon yang berbeda disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Bobot Kulit Kokon A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon

(hari)

Bobot kulit kokon

± SB (g) Kisaran (g) KK (%)

30 0,98 ± 0,24 0,70 - 1,13 24,96

45 0,71 ± 0,10 0,59 - 0,79 14,90

60 0,87 ± 0,14 0,71 - 0,97 16,09

75 0,64 ± 0,11 0,51 - 0,71 17,30

Keseluruhan 0,80 ± 0,19 0,51 - 0,97 24,60

Tabel 3 memperlihatkan nilai rataan dan keragaman tertinggi terdapat pada kokon usia 30 hari (24,96%) dan keragaman paling kecil pada kokon dengan kokon dengan usia 45 hari (14,90%). Keragaman ini dapat disebabkan oleh perbedaan yang tinggi antar bobot kulit kokon individu pada usia 30 hari dan sebaliknya pada usia 45 hari. Selain itu, diduga terdapat kontribusi yang cukup besar dari kandungan air dan jumlah serisin dalam kokon yang usianya lebih singkat (30 hari) terhadap nilai keragaman ini. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas pupasi yang tidak serentak di dalam kokon, mengingat dalam penelitian, pupa dibiarkan tetap hidup sampai bermetamorfosis menjadi imago (ngengat) selama tidak melewati batas usia kokon yang ditetapkan dalam pengamatan.

Pupa dalam kokon mengalami aktivitas respirasi, dikarenakan selama masa pupasi, terjadi organogenesis dari larva menjadi pupa dan dari pupa menjadi imago (ngengat) yang secara otomatis menggunakan banyak energi yang sebagian dilepaskan berupa uap air. Panas tubuh yang dikeluarkan dari pupa juga dapat menghasilkan uap air. Uap air ini dapat mempengaruhi bobot kulit kokon dikarenakan sifat higroskopis kokon terlebih pada usia kokon yang lebih singkat (30 hari) karena pada beberapa kokon masih terdapat pupa yang belum bermetamorfosis ke fase imago. Sekalipun merupakan masa dormansi, jika pupa dalam kokon dikeluarkan, pupa yang hidup memberikan respon pergerakan pada bagian abdominal ketika diberikan stimulus berupa sentuhan. Kerapkali terdengar pergerakan pupa di dalam kokon selama pengamatan terhadap kokon berlangsung.


(37)

Selain aktivitas pupasi, sifat kokon yang higroskopis (menyerap kelembaban udara sekitar) juga dapat menyebabkan keragaman pada bobot kulit kokon, apalagi pada kokon dengan usia 30 hari pada bulan November 2010, dengan kelembaban udara mencapai nilai tertinggi. Kandungan air dalam kokon dapat berasal dari zat penyusun filamen yang dikeluarkan oleh kelenjar sutera, kandungan air dalam udara di sekitar kokon yang diserap oleh filamen karena kokon memiliki sifat higroskopis (menyerap kelembaban) dan aktivitas respirasi pupa yang terdapat di dalam kokon.

Kontak udara yang lebih lama pada kokon yang berusia lebih dari 30 hari tampaknya sedikit demi sedikit menurunkan kandungan air kokon sehingga bobot antar kokon bertambah stabil sehingga keragamannya lebih rendah. Selain itu, permukaan kokon yang berusia lebih lama memiliki penampakan warna yang lebih pudar dan tampak lebih kering jika dibandingkan dengan kokon yang lebih singkat usianya. Rata-rata bobot kulit kokon pada usia 60 hari nilainya cukup tinggi (0,87 g) dengan tingkat keragaman relatif lebih rendah, hal ini juga disebabkan hampir semua kokon pada masa penyimpanan tersebut berukuran besar dan kulitnya tebal.

Kondisi mikroklimat lingkungan seperti kelembaban yang rendah (udara terlalu kering) dapat juga membuat filamen lebih kering dan terputus-putus (Atmosoedarjo et al., 2000) sehingga dapat dikatakan filamen yang kering dapat mempengaruhi bobot kulit kokon. Kelembaban udara selama penelitian berlangsung menunjukkan bahwa kelembaban udara terendah terjadi sepanjang bulan Desember 2010 yang bertepatan dengan pertambahan usia kokon 45 hari dan 60 hari. Hal ini dapat juga menjelaskan rendahnya keragaman bobot kulit kokon pada usia tersebut. Akan tetapi, keragaman terendah pada usia kokon 45 hari dinilai paling baik dikarenakan kokon sudah cukup stabil kandungan airnya baik dari dalam filamen maupun aktivitas respirasi pupa (sebagian besar pupa keluar menjadi imago atau ngengat pada usia 28-40 hari). Meskipun demikian, usia kokon yang lebih tua jika diimbangi dengan kondisi tempat peletakan atau penyimpanan kokon yang baik, minim kontak dengan udara langsung dan pengaruh lainnya, bobot kulit kokon dapat terjaga kestabilannya.

Panjang Filamen

Panjang filamen menunjukkan banyaknya filamen yang dapat diurai dari sebuah kulit kokon setelah didegumisasi dan diekstraksi. Panjang filamen yang


(38)

dihasilkan berhubungan dengan tingkat kemudahan penguraian filamen dari kokon. Tingkat kemudahan penguraian filamen yang tinggi menghasilkan filamen yang lebih panjang. Asumsi dugaan awal ialah seiring pertambahan usia kokon terjadi penurunan tingkat kemudahan penguraian filamen sehingga panjang filamen yang dihasilkan semakin rendah sesuai dengan bobot kulit kokonnya.

Panjang filamen yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki rataan sebesar 798,47±189,99 m/kokon dengan panjang filamen minimum sebesar 398,15 m/kokon dan panjang filamen maksimum sebesar 989,07 m/kokon. Hasil ini jauh lebih pendek dibandingkan panjang filamen sutera A. atlas yang diperoleh dengan alat pintal modern yang dinyatakan oleh Saleh (2000) dapat mencapai 2500 meter, sedangkan panjang filamen sutera B. mori memiliki panjang filamen antara 1500-2000 meter.

Panjang filamen dalam penelitian ini (798,47±189,99 m/kokon) berkali lipat lebih tinggi dari hasil penelitian Awan (2007) 83,61 m/kokon, Erliyani (2011) 159,08 m/kokon, dan Aini (2009) 293-413,8 m/kokon. Perbedaan panjang filamen yang sangat besar diantara beberapa hasil penelitian tersebut dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan kualitas pakan, kondisi pemeliharaan larva, ukuran dan bobot kokon, metode penggulungan filamen, dan perlakuan penelitian termasuk metode dan bahan degumisasi kokon yang mempengaruhi tingkat kemudahan penguraian filamen. Cara dan bahan degumisasi kokon yang berbeda dapat menghasilkan tingkat degumisasi serisin pada kokon A. atlas yang berbeda pula. Serisin pada sutera liar sebagian besar terikat dengan tanin, zat warna, lilin, dan lain-lain (Kato et al., 1997), sehingga diperlukan metode yang tepat untuk melepaskan serisin yang menyatukan filamen satu sama lain dengan menyeluruh sehingga lebih banyak filamen yang dapat diurai.

Degumisasi filamen sutera dalam penelitian ini menggunakan metode Kato (2000) dinilai menghasilkan filamen yang lebih baik tingkat degumisasinya jika dibandingkan dengan filamen yang didegumisasi dengan sabun dan NaOH seperti dalam Erliyani (2011) baik dari tingkat kehalusan (tekstur), hand feel dan kilau warna filamen. Panjang filamen sutera A. atlas pada usia kokon yang berbeda ditampilkan dalam Tabel 4.


(39)

Tabel 4. Panjang Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon

(hari)

Panjang Filamen

± SB (g) Kisaran (g) KK (%)

30 776,22 ± 247,85 496,35 - 967,98 31,93 45 854,83 ± 115,83 729,50 - 957,94 13,55 60 921,79 ± 109,45 795,50 - 989,07 11,87 75 641,03 ± 214,94 398,15 - 806,71 33,53 Keseluruhan 798,47 ± 189,99 398,15 - 989,07 23,79

Berdasarkan Tabel 4, koefisien keragaman panjang filamen terendah terdapat pada kokon dengan usia 60 hari (11,87 %) dan tertinggi pada kokon dengan usia 75 hari (33,53 %). Keragaman pada panjang filamen dapat disebabkan oleh keragaman pada individu dan kemudahan penguraian kokon menjadi filamen.Tentu saja belum dilakukannya proses domestikasi yang ketat juga berperan besar dalam tingginya keragaman tersebut. Apabila ditinjau secara khusus pada kemudahan penguraian filamen berdasarkan usia kokon yang berbeda-beda, maka berdasarkan nilai koefisien keragamannya kokon yang berusia 60 hari (11,87%) dan 45 hari (13,55%) menunjukkan performa terbaik dalam kaitannya dengan variabel panjang filamen.

Penguraian filamen yang lebih mudah sampai lapisan paling dalam menghasilkan panjang filamen yang lebih besar dan sebaliknya. Jika diulas terkait dengan bobot kulit kokon, sepintas tampak panjang filamen ini tidak memperlihatkan hubungan yang berbanding lurus dengan bobot kulit kokon khususnya terlihat pada bobot kulit kokon usia 30 hari pada Tabel 3 dan panjang filamen dari kokon usia 30 hari pada Tabel 4. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan air yang berbeda-beda dan masih fluktuatif antar kokon karena berbagai faktor sebagaimana telah diulas dalam peubah sebelumnya yang dapat mempengaruhi bobot kulit kokon. Hal inilah yang mendasari pentingnya pengeringan kokon sebelum dikomersilkan agar diperoleh bobot kokon yang seragam kandungan airnya sehingga penjelasan keragaman dapat dinyatakan lebih terkendali. Pengeringan kokon tidak dilakukan dalam penelitian ini untuk menjaga kelangsungan siklus reproduksi A. atlas.

Dapat dikatakan bahwa semakin bertambah usia kokon (di atas 30 hari), kestabilan faktor-faktor di luar kendali seperti kandungan air kokon yang dapat


(40)

dipengaruhi oleh aktivitas respirasi pupa lebih stabil sehingga pengukuran beberapa variabel menunjukkan hubungan yang lebih konsisten. Selain itu, kontak udara yang lebih lama seiring pertambahan usia kokon tampaknya turut berperan dalam penurunan kandungan air kokon. Terbukti nilai panjang filamen usia kokon lainnya (45, 60, dan 75 hari) merepresentasikan panjang filamen yang berbanding lurus dengan nilai bobot kulit kokon masing-masing secara konsisten.

Bobot Filamen

Bobot filamen diperoleh dari penimbangan filamen yang telah digulung. Bobot filamen berhubungan dengan panjang filamen, menurut Atmosoedarjo et al.,

(2000) semakin panjang filamen, semakin besar bobot filamen sebagaimana halnya semakin besar bobot kulit kokon semakin besar pula bobot filamen. Dengan demikian, secara tidak langsung bobot filamen juga berkaitan dengan tingkat kemudahan penguraian filamen. Bobot filamen dalam penelitian ini memiliki rataan sebesar 0,4±0,14 g dengan nilai minimum 0,18 g dan nilai maksimum 0,69 g. Rata-rata bobot filamen ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Erliyani (2011) dengan bobot filamen 0,06 g dan Aini (2009) dengan bobot filamen 0,2486-0,3724 g. Merujuk pustaka Atmosoedarjo et al. (2000), bobot filamen ideal yang telah distandarisasi pada B. mori adalah 30-45 centigram (0,30-0,45 g). Hal ini mengindikasikan bobot filamen A. atlas dalam penelitian ini cukup besar dan memiliki potensi tinggi untuk ditingkatkan misalnya melalui seleksi dan domestikasi. Rata-rata bobot filamen pada usia kokon yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Bobot Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda

Usia Kokon (hari)

Bobot Filamen

± SB (g) Kisaran (g) KK (%)

30 0,43 ± 0,19 0,21 - 0,54 43,99

45 0,38 ± 0,08 0,30 - 0,47 22,48

60 0,51 ± 0,16 0,40 - 0,69 30,20

75 0,30 ± 0,10 0,18 – 0,38 35,28

Keseluruhan 0,40 ± 0,14 0,18 - 0,69 35,48

Tabel 5 menunjukkan koefisien keragaman bobot filamen tertinggi terdapat pada kokon dengan usia 30 hari (43,99%), sedangkan terendah pada kokon dengan


(41)

usia 45 hari (22,48 %). Keragaman bobot filamen dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah fibroin dan serisin pada kokon selain bobot kulit kokon awal. Perbedaan jumlah serisin dan zat lainnya yang dipisahkan dari fibroin masing-masing kokon saat degumisasi berperan besar karena filamen tersusun dari komponen utama berupa fibroin. Semakin banyak kandungan serisin dan zat lain yang terpisah dari fibroin, semakin besar selisih antara bobot kulit kokon dan bobot filamen.

Bobot filamen idealnya berbanding lurus dengan bobot kulit kokon dan panjang filamen. Akan tetapi dalam penelitian ini, bobot filamen yang tinggi tidak selalu menunjukkan panjang filamen yang lebih tinggi pula. Sebagaimana halnya dengan bobot kokon, bobot filamen juga berkaitan dengan ketebalan filamen yang dihasilkan. Hal yang juga dapat menyebabkan perbedaan ini adalah perbedaan kandungan air dan jumlah serisin dan zat lainnya yang dipisahkan dari fibroin masing-masing kokon saat degumisasi, karena filamen tersusun dari komponen utama berupa fibroin. Semakin banyak kandungan serisin dan zat lain yang terpisah dari fibroin, semakin besar selisih antara bobot kulit kokon dan bobot filamen. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa semakin besar bobot kokon, semakin besar pula panjang dan bobot filamen. Hal itu berlaku untuk kokon B. mori yang telah didomestikasi sehingga memiliki keseragaman ukuran filamen yang tinggi dan sudah memiliki standarisasi. Kokon A. atlas termasuk ke dalam jenis sutera liar yang belum didomestikasi sehingga memiliki keragaman yang tinggi dalam banyak hal termasuk ketebalan filamen sesuai pernyataan Kato et al. (1997).

Persentase Filamen

Persentase filamen menunjukkan perbandingan jumlah filamen yang dihasilkan dari sebuah kulit kokon. Selisih antara bobot filamen dengan bobot kulit kokon merupakan kandungan air kokon, serisin, mineral, dan zat-zat organik lainnya yang terdapat pada kokon dan terpisah dari fibroin pada proses degumisasi. Usia kokon diduga berpengaruh terhadap bobot kulit kokon dan bobot filamen yang merupakan variabel penentu persentase filamen. Nilai persentase filamen sangat bermanfaat dalam dunia tekstil dikarenakan dengan nilai tersebut dapat diketahui kelayakan kokon untuk dijadikan sumber benang. Semakin tinggi persentase filamen, jumlah atau panjang benang yang dapat dihasilkan dari sebuah kokon semakin besar. Nilai persentase filamen juga menggambarkan perbandingan yang lebih akurat dari


(42)

hasil penelitian ini terkait karakteristik filamen sesuai perbedaan usia kokon. Persentase filamen A. atlas pada usia kokon yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda

Usia Kokon (hari)

Persentase Filamen

± SB (g) Kisaran (g) KK (%)

30 41,70 ± 10,15 30,00-48,21 24,35

45 53,45 ± 8,23 46,84-62,67 15,40

60 58,97 ± 14,08 46,39-74,19 23,89

75 46,08 ± 10,01 35,29-55,07 21,72

Keseluruhan 50,05 ± 11,56 30,00 - 74,19 23,09

Rata-rata persentase filamen adalah 50,05±11,56 %, dengan koefisien keragaman persentase filamen tertinggi pada kokon dengan masa penyimpanan 30 hari (24,35%) dan terendah pada kokon dengan masa penyimpanan 45 hari (15,40 %) dalam Tabel 5. Secara keseluruhan, persentase filamen dalam penelitian ini lebih besar dari persentase filamen hasil penelitian Erliyani (2011) yakni 13,38 %. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) bobot filamen kokon B. mori beratnya berkisar antara 30-45 centigram dan memiliki persentase 80-90 % dari berat kulit kokon. Persentase filamen A. atlas dalam penelitian ini tidak mencapai angka 80%, tetapi nilainya berkisar antara 30-74,19 %. Nilai ini sangat bagus mengingat karakter kokon

A. atlas yang termasuk sutera liar yang belum didomestikasi secara ketat dan masih memiliki keragaman tinggi. Untuk itulah, proses domestikasi berkelanjutan dan secara ketat perlu dilangsungkan untuk mendapatkan filamen A. atlas berkualitas tinggi dan seragam.

Apabila dalam kondisi liar A. atlas mampu menghasilkan filamen dengan persentase yang tinggi, peningkatan persentase filamen melalui proses domestikasi memiliki peluang besar. Nilai persentase filamen sangat bergantung pada bobot kokon dan bobot filamen. Persentase filamen berbanding lurus dengan bobot filamen dan berbanding terbalik dengan bobot kulit kokon. Persentase filamen yang tinggi lebih menguntungkan daripada persentase filamen yang rendah. Tingginya persentase filamen juga menandakan jumlah serisin dan jumlah filamen yang tidak dapat diurai pada kokon tidak terlalu banyak.


(43)

Tebal Filamen

Ketebalan filamen menunjukkan ukuran filamen sutera. Ketebalan filamen dapat dinyatakan dalam satuan mikrometer (µm) yang diperoleh dengan pengamatan dibawah mikroskop dan dalam satuan denier (d) yang diperoleh dengan perhitungan baku. Penelitian ini menggunakan cara penghitungan manual seperti dinyatakan oleh Atmosoedarjo et al. (2000) yaitu apabila panjang serat 9000 meter dengan berat 1 gram, maka kehalusan filamen adalah satu denier.

Rata-rata tebal filamen dalam penelitian ini adalah 4,49±0,84 d. Filamen yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih tebal dibandingkan hasil penelitian Erliyani (2011) yaitu 3,60 d. Kato et al. (1997) menyebutkan bahwa filamen B. mori

berukuran sekitar 3 denier yang setara dengan ketebalan sekitar 20-30 mikron. Jika dibandingkan, tebal filamen A. atlas lebih tinggi daripada ketebalan filamen B. mori. Kondisi ini diperkuat oleh pernyataan Kato et al. (1997) bahwa filamen sutera liar termasuk filamen dari kokon A. atlas memiliki keragaman ukuran dan diameter yang tinggi.

Tabel 6. Tebal Filamen A. atlas pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon

(hari)

Tebal Filamen

± SB (g) Kisaran (g) KK (%)

30 4,79 ± 0,91 3,81-5,62 19,08

45 4,02 ± 0,82 3,08-4,56 20,32

60 4,98 ± 1,19 4,09-6,33 23,87

75 4,19 ± 0,10 4,07-4,26 2,49

Keseluruhan 4,49 ± 0,84 3,08-6,33 18,70

Tabel 6 menunjukkan ketebalan filamen dari kokon yang berusia 60 hari memiliki koefisien keragaman tertinggi (23,87 %) dan terendah pada filamen dari kokon dengan usia 75 hari (2,49%). Keragaman pada tebal filamen tidak hanya disebabkan oleh proses seleksi untuk domestikasi yang belum dilakukan secara ketat, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak hal. Mengutip pernyataan Atmosoedarjo et al.

(2000) kehalusan filamen sutera dipengaruhi beberapa faktor: (1) suhu dan kelembaban: filamen mempunyai tendensi ukuran denier yang tinggi (lebih besar seratnya) apabila ulatnya dipelihara semasa instar I dan II, dengan suhu dan


(44)

kelembaban udara yang tinggi. Selain itu, suhu yang tinggi pada waktu pengokonan ulat yang belum dewasa, membuat denier filamennya rendah; (2) musim pemeliharaan: pemeliharaan ulat sutera pada musim semi di Jepang menghasilkan denier filamen lebih besar daripada pada pemeliharaan musim gugur; (3) pakan dan kepadatan populasi: pemberian pakan dengan daun yang lunak dan pemeliharaan yang jarang, akan menghasilkan filamen yang lebih besar dibandingkan dengan pada pemeliharaan yang lebih padat; (4) ukuran larva: ulat yang bertubuh besar cenderung menghasilkan pola denier yang lebih besar pula.

Ketebalan filamen memiliki keragaman terendah di antara semua peubah, sejalan dengan rataan nilainya pada tiap-tiap masa penyimpanan yang hanya berkisar pada 4 d. Selain secara genetik, keragaman pada ketebalan filamen juga dapat dipengaruhi oleh jenis pakan, gangguan selama siklus hidup larva khususnya semasa pengokonan, fluktuasi arus dan kelembaban udara, dan jenis kelamin larva. Larva betina harus memiliki ketersediaan nutrien yang sangat besar untuk memproduksi filamen sutera dan telur pada fase imago yang berjumlah ratusan butir, sehingga diduga kuat deposisi nutrien larva betina untuk produksi sutera mendapatkan proporsi yang tidak lebih besar dari larva jantan yang siklus hidupnya lebih pendek dari betina (2-5 hari). Selain itu, rata-rata ukuran tubuh imago betina lebih besar daripada imago jantan. Apabila hal ini terjadi, diduga ketebalan filamen sutera dari larva betina tidak lebih tebal daripada sutera yang dihasilkan larva jantan. Ukuran ketebalan filamen sendiri menurut Atmosoedarjo et al. (2000) dipengaruhi oleh pakan, kepadatan populasi, jenis dan ukuran larva, dan suhu serta kelembaban lingkungan selama pengokonan.

Ketebalan filamen berkontribusi dalam bobot filamen dan selanjutnya terhadap persentase filamen. Hasil ketebalan filamen yang berbeda-beda ini turut menjelaskan kaitan antara panjang filamen dan bobot filamen. Bobot filamen yang tinggi dapat dihasilkan dari filamen yang panjang dan filamen yang tebal. Jika bobot filamen tinggi tetapi panjang filamennya rendah, maka tingginya bobot filamen tersebut terdeposisi lebih besar pada filamen yang lebih tebal. Sebaliknya panjang filamen yang tinggi tetapi bobot filamennya lebih rendah, menandakan filamen lebih halus. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mulyani (2008) bahwa bobot filamen yang tinggi terkadang tidak berbanding lurus dengan panjang filamennya, karena panjang


(45)

filamen berkaitan juga dengan kehalusan dari filamen tersebut. Jika suatu filamen dengan bobot yang rendah menghasilkan panjang filamen yang tinggi saat dipintal, maka filamen yang dihasilkan sangat halus.

Panjang Filamen Sekali Putus

Panjang filamen sekali putus dapat digunakan sebagai indikator kekuatan filamen saat digulung secara manual dan merupakan parameter yang sangat penting dalam pemintalan. Semakin tinggi nilai panjang filamen sekali putus saat digulung, filamen dinilai semakin kuat. Sebaliknya, filamen yang rapuh akan memiliki nilai panjang filamen sekali putus yang rendah. Asumsi dugaan awal penelitian ini adalah seiring pertambahan usia kokon, panjang filamen sekali putus semakin rendah. Hal ini berkaitan dengan tingkat kerapuhan yang meningkat dengan pertambahan usia kokon. Rata-rata panjang filamen sekali putus dalam penelitian ini (2,69±0,91 m) lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Erliyani (2011) yaitu 1,81 m. Panjang filamen A. atlas sekali putus pada usia kokon yang berbeda ditampilkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Panjang Filamen A. atlas Sekali Putus pada Usia Kokon yang Berbeda Usia Kokon

(hari)

Panjang Filamen Sekali Putus

± SB (g) Kisaran (g) KK (%)

30 3,04 ± 1,91 1,54-5,20 62,94

45 2,61 ± 0,59 2,23-3,29 22,74

60 2,54 ± 0,32 2,19-2,82 12,63

75 2,58 ± 0,45 2,07-2,94 17,55

Keseluruhan 2,69 ± 0,91 1,54-5,20 33,90

Tabel 7 menunjukkan panjang filamen sekali putus dengan koefisien keragaman tertinggi terdapat pada filamen dari kokon dengan usia 30 hari (62,94 %) dan terendah pada usia kokon 60 hari (12,63 %). Namun demikian, nilai maksimum panjang filamen sekali putus yang tinggi terdapat pada usia kokon 30 dan 45 hari, sehingga untuk memperoleh filamen yang panjang sekali putusnya lebih besar sebaiknya kokon tidak diolah pada usia lebih dari 45 hari. Cara mengatasi keragaman yang tinggi pada usia kokon 30 hari dapat dilakukan dengan cara pengeringan kokon untuk menyeragamkan kandungan air kokon. Keragaman panjang filamen sekali


(1)

KARAKTERISTIK FILAMEN SUTERA (

Attacus atlas

) PADA

USIA KOKON YANG BERBEDA

SKRIPSI YULIANA FAJAR

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adria & H. Idris. 1997. Aspek biologis hama daun Attacus atlas pada tanaman ylang-ylang. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol III (2). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Aini, H. N. 2009. Pengaruh beberapa konsentrasi media dan lamanya perebusan kokon Attacus atlas L. terhadap kualitas filamen yang dihasilkan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Akai, H. 1997. Recent aspects of wild silkmoth and silk research. Makalah Seminar Prospek Pengembangan Ulat Sutera Liar Indonesia dan Prospek Kerjasama Kyoto. Pusat Studi Jepang UGM, Yogyakarta.

Baskoro, A. 2008. Karakteristik kulit kokon segar ulat sutera liar (Attacus atlas) dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Buatan Guna Indonesia (BGI). 2010. http://www.bgi.co.id/berita-bisnisekonomi/79/mesin-sutra.html [31 Maret 2011]

Awan, A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional. Disertasi. Program Studi Sains Veteriner SPS. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Atmosoedarjo, H., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh & W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta.

Beck, S. D. 1980. Insect Photoperiodism. 2nd Edit. Academic Press, New York. Cahyadi, D.N. 2008. Pengembangan model sistem pemintalan sutera balai besar

tekstil untuk industri kecil menengah. Arena Tekstil Volume 23. No 2 –

Desember 2008: 52-109.

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2320891103.pdf [31 Maret 2011] Chapman, R. F. 1971. The Insects, Structure and Function 2nd Edit. Elsevier

Publishing Co, Inc., New York.

Cook, M. 2005. Silk and silkworm. http://www.wormspit.com/ [31 Maret 2011] Erliyani, 2011. Kualitas filamen sutera liar (Attacus atlas) pada suhu dan waktu

perebusan yang berbeda. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gusa, D. T., W. N. Jati, B. R. Sidharta. 2002. Perbandingan morfologi serat sutera Bombyx mori L., Attacus atlas L., dan Samia cynthia ricini (Bsd.). Biota Vol. VII (1): 37-42.

Japan Overseas Cooperation Volunteers (JOVC). 1975. Textbook of Tropical Sericulture. Sibuya.

Kato, H. 2000. Structure and thermal properties of Anaphe, Cricula and Attacus cocoon filaments. Int. J. Wild Silkmoth and Silk 5: 11-20.

Kato, H., T. Hata, T. Takahashi. 1997. Characteristics of wild silk fibers and processing technology for their use. JARQ 31: 287-294.


(3)

LIPI. 2000. Koleksi Tanaman Buah Kebun Raya Bogor. LIPI UPT Balai Pengembangan Kebun Raya, Bogor.

Lee, Y. 1999. Silk reeling and testing manual. FAO Agricultural Services Bulletin No. 136.

Lembaga Pengembangan Ekonomi (LPE) Al-Syura. 2003. laporan akhir kegiatan

penelitian “pengembangan komoditi pertanian unggulan di Kabupaten Garut” http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACX738.pdf [31 Maret 2011]

Mulyani, N. 2008. Biologi Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) dengan pakan daun kaliki (Ricinus communis L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) di laboratorium. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nazar, A. 1990. Beberapa aspek patologi ulat perusak daun (Attacus atlas Linn) pada tanaman cengkeh. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. XVI (1); 35-37. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.

Nogueira, G. M., A. C. D. Rodas, C. A. P. Leite, C. Giles, O. Z. Higa, Bronislaw Polakiewicz, M. M. Beppu. 2010. Preparation and characterization of ethanol-treated silk fibroin dense membranes for biomaterials application using waste silk fibers as raw material. Bioresource Technology 101 (2010): 8446-8451.

Peigler, R. S. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The Lepidoptera Research Foundation, Inc. Beverly Hills, California.

Pracaya. 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Prachayawarakorn, J. & Klairatsamee W. 2005. Effects of solvents on properties of Bombyx mori silk grafted by methyl methacrylate (MMA) and methacrylamide (MAA). Songklanakarin J. Sci. Technol., 27 (6): 1233-1242. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (P3H). 1992. Informasi Teknis No. 27:

Teknik pengelolaan kokon dari benang sutera. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Bogor, Bogor.

Radi, J. 1997. Sirsak: Budidaya dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Rukaesih, O. 1990. Petunjuk Praktis Reeling Kokon Sutera. Balai Besar Industri Tekstil, Bandung.

Saleh. 2000. Sutera alam menunggu investor. Mitra Bisnis: 8-9, Minggu III April 2000, Jakarta.

Sampe, B. 1991. Pengaruh beberapa macam alat pengokonan terhadap kualitas kokon. Buletin Penelitian Hutan. 541: 11-15.

Samsijah & Lincah Andadari. 1992. Informasi Teknis No. 25: Petunjuk teknis budidaya ulat sutera (Bombyx mori L.). Departemen Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor.

Samsijah & Licah Andadari. 1992. Teknik Pengolahan Kokon dan Pembuatan Benang Sutera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan : Bogor.


(4)

Setiorini, N. 2009. Karakteristik kokon ulat sutera liar (Attacus atlas) hasil pengokonan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan IPB. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Situmorang, J. 1996. An attempt to produce Attacus atlas L., using Barringtonia Leaves as plant fooder. Int. J. of Wild Silkmoth and Silk 1: 25-29.

Solihin, D. D. & A. M. Fuah. 2010. Budidaya Ulat Sutera Alam. Edisi I. Penebar Swadaya, Jakarta.

Triplehorn, C. A. & N. F. Johnson. 2005. Borror and Delong’s Introduction to The Study of Insects 7th Edition. Thomson Learning Inc., Brook/Cole.

Veda, K.I. Nagai, & M. Harikomi. 1997. Silkworm Rearing. Science Publisher Inc, U.S.A.


(5)

RINGKASAN

Yuliana Fajar. D14062271. 2011. Karakteristik Filamen Sutera Attacus atlas

pada Usia Kokon yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, M.S. Pembimbing Anggota : Ir. Hotnida C. H. Siregar, M.Si.

Sutera liar dari spesies ulat sutera Attacus atlas telah dikenal sebagai komoditi pertanian yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Komponen utama sutera yang telah banyak digunakan dalam berbagai industri adalah filamen atau serat sutera. Filamen sutera A. atlas diperoleh dari penguraian kulit kokon melalui beberapa tahap pemrosesan. Filamen sutera ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan filamen sutera domestik Bombyx mori. Karakter kain sutera liar lebih sejuk saat dipakai, tahan kusut, anti alergi, lebih halus, dan memiliki variasi warna eksklusif. Penggunaan sutera yang meluas, tidak terbatas dalam dunia tekstil saja membuat kualitas sutera penting untuk dipertahankan dan ditingkatkan. Kualitas sutera sangat bergantung kepada karakteristik kokon dan filamennya. Salah satu hal yang diduga dapat mempengaruhi karakteristik kokon dan filamen adalah usia kokon saat diolah. Belum diketahui berapa usia kokon maksimum tanpa mengurangi atau mengubah mutu karakteristik kokon dan filamen. Biasanya pengolahan kokon dilakukan segera setelah dipanen, karena dikhawatirkan kualitas karakteristik filamen menurun. Akibatnya, setelah panen, kokon yang harus segera diolah secara bersamaan cukup banyak, sehingga dapat mengurangi efektivitas pengolahan kokon. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh usia kokon yang berbeda-beda terhadap karakteristik filamen sutera A. atlas.

Penelitian ini menggunakan kokon ulat sutera liar A. atlas yang indukannya berasal dari perkebunan teh Walini, Purwakarta. Pemeliharaan larva dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan pada penelitian ini terdiri atas kokon usia 30 hari, kokon usia 45 hari, kokon usia 60 hari, dan kokon usia 75 hari. Setiap taraf perlakuan terdiri atas 3 ulangan, sehingga terdapat 12 unit percobaan. Peubah yang diamati adalah bobot kulit kokon, panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase filamen, dan panjang filamen sekali putus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ukuran pemusatan data dan disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil analisis data menunjukkan usia kokon terbaik yang ditunjukkan dengan nilai keragaman terendah terdapat pada usia kokon 45 dan 60 hari, akan tetapi nilai maksimum panjang filamen sekali putus yang sangat penting dalam usaha pemintalan terdapat pada usia kokon 30 hari. Jika mengabaikan keberlangsungan reproduktif A. atlas, kokon berusia 30 hari dapat diolah dengan dikeringkan terlebih dahulu untuk menyeragamkan kandungan air kokon. Rata-rata bobot kokon yang diperoleh sebesar 0,8±0,2 g/kokon, panjang filamen 798,47±189,99 m, bobot filamen 0,4±0,14 g, persentase filamen 50,05±11,06 %, ketebalan filamen 4,49±0,84 d, dan panjang filamen sekali putus sebesar 2,69±0,91 m. Kesimpulan yang dapat diambil adalah karakteristik filamen dengan kualitas seragam dan tinggi serta mempertimbangkan kelangsungan regenerasi A. atlas dapat diperoleh pada usia kokon 45-60 hari. Selama penyimpanan kokon dilakukan dalam ruangan bersirkulasi


(6)

udara lancar dan dalam tempat yang minim kontak dengan udara, tidak terjadi perubahan berarti dalam karakteristik filamen sutera.