Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas) Pada Suhu Dan Waktu Perebusan Kokon Yang Berbeda

KUALITAS FILAMEN SUTERA LIAR (Attacus atlas) PADA
SUHU DAN WAKTU PEREBUSAN KOKON
YANG BERBEDA

SKRIPSI
ERLIYANI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

RINGKASAN
ERLIYANI. D14051324. 2011. Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas) pada
Suhu dan Waktu Perebusan Kokon yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. B. N. Polii, SU
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS
Ulat sutera liar Attacus atlas memiliki banyak keunggulan dan berpotensi
untuk dibudidayakan serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi dibandingkan dengan
jenis ulat sutera lainnya, antara lain ulat sutera murbei (Bombyx mori) karena bersifat

polifagus (makan dan hidup pada berbagai pohon inang) dan polivoltin (memiliki
beberapa generasi dalam satu tahun). Serangga ini dapat menghasilkan kokon
penghasil sutera dengan ciri khas warna yang unik. Faktor penting dalam pengolahan
kokon menjadi filamen adalah proses perebusan kokon yang bertujuan untuk
melepaskan filamen fibroin yang direkatkan oleh serisin sehingga memungkinkan
filamen sutera diurai.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa
Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor dan di Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dari bulan Juni sampai dengan November 2009.
Tujuannya adalah memperoleh informasi tentang kualitas filamen berdasarkan
panjang filamen, bobot filamen, tebal filamen, persentase bobot filamen, daya urai
kokon serta permukaan filamen sutera A. atlas pada perlakuan suhu perebusan kokon
70, 80, dan 90 oC pada waktu 30 dan 60 menit. Dalam percobaan ini digunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3x2 dengan tujuh kali ulangan,
dengan 42 unit percobaan (kokon).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan waktu perebusan
kokon tidak berbeda nyata, baik terhadap panjang filamen, bobot filamen, tebal
filamen, persentase bobot filamen maupun daya urai kokon (P>0,05). Berdasarkan
nilai rataan, perlakuan perebusan kokon dengan suhu 80 oC selama 30 menit

cenderung menghasilkan panjang filamen terbaik. Tebal filamen terbesar cenderung
dihasilkan pada perlakuan suhu 70 oC selama 30 menit. Perlakuan perebusan kokon
pada suhu 80 oC selama 60 menit menghasilkan rataan bobot filamen, persentase
bobot filamen dan daya urai kokon yang cenderung lebih tinggi dari perlakuan suhu
lainnya. Berdasarkan pengamatan menggunakan SEM (Scanning Electron
Microscope), diketahui permukaan filamen yang paling baik secara umum juga
dihasilkan dari perlakuan suhu 80 oC selama 60 menit.
Kata-kata kunci: Attacus atlas, kokon, filamen

ABSTRACT
The Quality of Attacus atlas Silk Filament on Different Temperature and Time of
Cocoon Boiling
Erliyani, B. N. Polii, and A. M. Fuah
Attacus atlas is known as wild silkworm that produces cocoon and the cocoon
produces silk which has a great economic potential. By procedure, the process for
producing silk went through several steps: firstly, cocoon was boiled for obtaining silk
filament which will determine the quality of silktread produced. The aim of this
research was to assess the quality of silk filament on the different temperature and
time of cocoon boiling treatments. Factorial randomized completely design was used
in this study, using two treatments, i.e. boiling temperature 70, 80, and 90 oC and

boiling time 30 and 60 minutes with seven replications. Parameter measured were
length of filament, weight of filament, filament thickness, filament percentage,
reelability of cocoon and visual observation using SEM (Scanning Electron
Microscope). The results indicates that the treatment had no significant difference
(P>0,05) on the length of filament, weight of filament, filament thickness, and its
percentage including the reelability of cocoon. Based on the visual observation, each
treatment showed different morphological characteristics of filament.
Keywords: Attacus atlas, cocoon, filament

KUALITAS FILAMEN SUTERA LIAR (Attacus atlas) PADA
SUHU DAN WAKTU PEREBUSAN KOKON
YANG BERBEDA

ERLIYANI
D14051324

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor


DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul

: Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas) pada Suhu dan Waktu
Perebusan Kokon yang Berbeda

Nama

: Erliyani

NIM

: D14051324

Menyetujui:

Pembimbing Utama,

(Ir. B. N. Polii, SU)
NIP. 19480402 198003 2 001

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS)
NIP. 19541018 197903 2 001

Mengetahui:
Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri M. Agr.Sc)
NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian: 22 Desember 2010

Tanggal Lulus:


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 April 1987 di Magelang, Jawa Tengah.
Penulis merupakan anak tunggal, dari pasangan Bapak Sardi dan Ibu Sri Bandiyah.
Pendidikan kanak-kanak diselesaikan di TK Tunas Satria Jakarta pada tahun
1992-1993, dilanjutkan dengan pendidikan dasar di SD Negeri Pondok Pinang 02
Jakarta pada tahun 1993-1999. Penulis menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat
pertama pada tahun 2002 di SLTP Negeri 87 Jakarta, kemudian dilanjutkan ke SMA
Negeri 29 Jakarta dan lulus pada tahun 2005.
Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB)
pada tahun 2005. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor angkatan
2005 (42). Selama perkuliahan di IPB penulis aktif di organisasi dan kegiatan
kemahasiswaan yaitu Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak 2006/2007. Selain itu,
penulis juga berperan dengan sangat aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan di
dalam dan luar fakultas serta di luar kampus. Penulis pernah mengikuti kegiatan
magang di Rumah Potong Hewan (RPH) PT. Elders Indonesia pada tahun 2007.

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kualitas Filamen Sutera Liar (Attacus atlas) pada Suhu dan Waktu Perebusan
Kokon yang Berbeda”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Filamen sutera yang berkualitas baik dapat dihasilkan jika bahan baku berupa
kokon sutera memiliki kualitas yang baik, di samping proses dan metode perebusan
kokon untuk menghasilkan produk yang memenuhi standar permintaan pasar. Salah
satu faktor penentu yang perlu diperhatikan adalah suhu dan lama proses perebusan
kokon. Informasi tentang hal ini masih terbatas sehingga perlu dilakukan kajian
tentang suhu yang cocok dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk proses
perebusan kokon untuk memperoleh produk filamen sutera yang berkualitas baik.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan.
“Tak ada gading yang tak retak” dan manusia penuh dengan kelemahan, demikian
juga halnya dengan skripsi ini yang masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan
skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap agar skripsi ini tidak hanya
sebagai pelengkap di perpustakaan, tetapi lebih dari itu dapat memberikan manfaat
kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Semoga Tuhan selalu melimpahkan rahmat

dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Bogor, Februari 2011

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN …………................................................................................

i

ABSTRACT …………………………………………...……………….......

ii

LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………..

iii


LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………...

iv

RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………...

v

KATA PENGANTAR ...................................................................................

vi

DAFTAR ISI .................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL .........................................................................................

ix


DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................

xi

PENDAHULUAN ………………………………………..…………….......

1

Latar Belakang ………………………………………………...........
Tujuan ………………………………………………..………..........

1
3

TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………....


4

Sutera .................................................................................................
Ulat Sutera Liar Attacus atlas ...........................................................
Taksonomi .............................................................................
Siklus Hidup ..........................................................................
Pakan Ulat Sutera Liar Attacus atlas .................................................
Kokon ................................................................................................
Pembentukan Kokon .............................................................
Kandungan dan Karakteristik Kokon ....................................
Perebusan Kokon ...............................................................................
Kualitas Filamen ...............................................................................

4
4
4
5
7
7
7
9
12
13

MATERI DAN METODE …………………………………………….........

17

Lokasi dan Waktu ………………………………………..…………
Materi …………………………………………………………..…...
Prosedur ……………………………………………………….........
Tahap Persiapan ……………………………………..……..
Tahap Pengumpulan Data ……………………………….....
Rancangan dan Analisis Data …………..…………………..............

17
17
17
17
20
22

HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................

24

Kualitas Filamen Sutera ....................................................................
Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss ............................................
Panjang Filamen ....................................................................
Bobot Filamen .......................................................................
Tebal Filamen .......................................................................

24
24
25
27
28

Persentase Bobot Filamen .....................................................
Daya Urai Kokon ..................................................................
Permukaan Filamen ...............................................................

30
31
34

KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................

38

Kesimpulan ........................................................................................
Saran ..................................................................................................

38
38

UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................

39

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

40

LAMPIRAN ..................................................................................................

42

viii

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Komposisi Serat Kokon Sutera Bombyx mori .....................................

9

2. Komposisi Asam Amino Kokon Bombyx mori ...................................

10

3. Klasifikasi Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss (BKKTF) ......................

25

4. Rataan Panjang Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m) ….....................

26

5. Rataan Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (g) ………….…...

27

6. Rataan Tebal Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas

Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (denier) ….......……

29

7. Rataan Persentase Bobot Filamen Sutera dari Satu Kokon Attacus
atlas Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%) …...…….

30

8. Rataan Daya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas
Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (%) ……………....

31

9. Rataan Daya Urai Kokon Sutera dari Satu Kokon Attacus atlas
Berdasarkan Suhu dan Waktu Perebusan Kokon (m) ………..……...

32

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Siklus Hidup Attacus atlas ..................................................................

5

2. Kokon Attacus atlas dan Bombyx mori ...............................................

11

3. Lubang di Bagian Anterior pada Kokon Attacus atlas ........................

12

4. Penampang Membujur Filamen Sutera …...........................................

15

5. Penampang Melintang Filamen Sutera ……………………..........…..

15

6. Alat Urai Sederhana ............................................................................

18

7. Prosedur Pengolahan Kokon hingga Penguraian Filamen ..................

20

8. Kulit Kokon Attacus atlas ...................................................................

24

9. Serat Sutera yang Masih Mengandung Serisin ……….....……….......

33

10. Hasil Pengamatan Filamen Sutera Attacus atlas dengan SEM
(Scanning Electron Microscope) pada Perbesaran 2000 X .........…....

35

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Analisis Ragam Panjang Filamen …....................................................

43

2. Analisis Ragam Bobot Filamen ………………....…….…...…….......

43

3. Analisis Ragam Tebal Filamen ……………….............................…..

43

4. Analisis Ragam Persentase Bobot Filamen ………….........................

43

5. Analisis Ragam Daya Urai Kokon …………...………….........……...

44

6. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada
Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 70 oC
selama 30 menit ...................................................................................

45

7. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada
Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 70 oC
selama 60 menit ...................................................................................

46

8. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada
Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 80 oC
selama 30 menit ...................................................................................

47

9. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada
Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 80 oC
selama 60 menit ...................................................................................

48

10. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada
Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 90 oC
selama 30 menit ...................................................................................

49

11. Hasil Pengamatan Filamen Sutera A. atlas dengan SEM pada
Perbesaran 2000 X pada Perlakuan Perebusan Kokon Suhu 90 oC
selama 60 menit ……………...............................................................

50

12. Bobot Kulit Kokon Tanpa Floss ..........................................................

51

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak berabad-abad yang lalu, manusia sudah mengenal kain sutera untuk
kebutuhan sandangnya. Cina merupakan negara yang menguasai perdagangan sutera
dan sutera memegang peranan penting dalam perekonomian pada zaman itu. Hingga
saat ini sutera digunakan sebagai bahan sandang yang bernilai ekonomi tinggi. Bahan
sutera memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan bahan sandang lainnya, yaitu
ringan, bahan tidak mudah kusut, mempunyai daya menahan panas dan meresap air,
tidak cepat pudar karena mempunyai daya menahan warna yang kuat, dan sutera
tidak mudah menjalarkan api. Selain memiliki nilai ekonomi dan kualitas tinggi, kain
sutera mempunyai nilai estetika yang tinggi dan terkadang menentukan status bagi
pemakainya pada kelompok masyarakat tertentu karena produk dari sutera
memperlihatkan keindahan dan keanggunan bagi pemakainya.
Ulat sutera yang telah lama dikembangkan di Indonesia adalah ulat sutera
jenis Bombyx mori. Seiring dengan perkembangan serikultur khususnya di Indonesia,
saat ini sudah mulai dikembangkan budidaya ulat sutera alam asli Indonesia, yaitu
ulat sutera liar Attacus atlas. Jenis ini merupakan serangga holometabola, yang
mengalami metamorfosis sempurna dan memiliki bentuk tubuh yang berbeda antara
anak dengan dewasa. Fase anak berbentuk ulat/larva berwarna putih kehijauan dan
dilapisi tepung putih seperti bedak sedangkan dewasa berbentuk seperti kupukupu/imago berwarna cokelat kemerahan dengan bentangan sayap mencapai 20 cm.
Keunggulan A. atlas diantaranya merupakan hewan asli Indonesia yang
penyebarannya mulai dari Aceh hingga ke Papua dan dapat beradaptasi terhadap
iklim atau keadaan mikroklimat di Indonesia. Di alam, A. atlas mampu hidup pada
suhu 24-30oC dengan kelembaban 60%-80%. Kemampuan beradaptasi pada kondisi
lingkungan tropis, bagi Indonesia merupakan keuntungan karena tidak perlu lagi
dilakukan penyesuaian lingkungan seperti pada pemeliharaan B. mori. Ulat sutera
liar ini bersifat polifagus (makan dan hidup pada berbagai pohon inang) dan
polivoltin (beberapa generasi dalam satu tahun) sehingga sangat potensial untuk
dikembangkan. Kokon yang dihasilkan memiliki keunikan tersendiri yang berbeda
dengan kokon B. mori, yakni berukuran lebih besar dengan variasi warna dari cokelat
muda sampai cokelat tua keemasan. Pengolahan kokon menjadi benang merupakan

faktor penting dalam industri persuteraan. Kokon diproses menghasilkan filamen
yang berbentuk untaian sutera yang tipis dan kemudian dipintal menjadi benang.
Penguraian filamen sutera pada A. atlas lebih sulit jika dibandingkan dengan
B. mori karena intensitas putusnya lebih besar, tidak seperti B. mori yang umumnya
hanya satu kali putus. Kondisi ini disebabkan filamen A. atlas lebih rapuh dan
mengandung serisin yang lebih banyak dibanding B. mori. Serisin merupakan zat
penyusun lapisan luar filamen sutera, berfungsi sebagai perekat yang menempelkan
lembaran-lembaran fibroin menjadi satu dan sekaligus melindungi fibroin. Satu helai
filamen sutera terdiri dari dua utas fibroin yang dilapisi dan direkatkan oleh serisin
(Lucas et al., 1978). Fibroin dan serisin merupakan protein yang terkandung di dalam
serat sutera. Serisin pada kokon dihilangkan dengan perebusan agar filamen fibroin
dapat diurai. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), perebusan kokon bertujuan untuk
melepaskan filamen fibroin yang direkatkan oleh serisin dengan jalan memasak
kokon dengan air panas atau uap panas sehingga kulit kokon mengembang, menjadi
lunak dan memungkinkan filamen sutera dapat diurai. Serisin pada kokon B. mori
dapat dilarutkan dengan air panas, berbeda dengan kokon A. atlas yang cukup sulit
jika hanya dengan air panas sehingga diperlukan larutan khusus dengan campuran
bahan kimia. Aini (2009) melaporkan bahwa perebusan kokon A. atlas dapat
dilakukan menggunakan larutan khusus yang terdiri atas campuran bahan kimia
berupa: sabun netral, NaOH, teepol dan air pada suhu konstan 80 oC.
Penggunaan bahan kimia yang berlebihan sebaiknya dihindari untuk
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Hasil penelitian Aini (2009)
menemukan bahwa perebusan kokon menggunakan NaOH antara 0,5–3 g/liter
menghasilkan filamen dengan kualitas yang tidak berbeda sehingga tidak perlu lagi
ditambahkan

NaOH,

melebihi

jumlah

yang

disarankan.

Usaha

untuk

mengoptimalkan pelarutan serisin dilakukan dengan mengkombinasikan dua faktor
penting dalam teknis perebusan kokon yaitu pengaturan suhu dan lama waktu
perebusan kokon. Suhu perebusan berkaitan dengan kemampuan panas dalam
melarutkan serisin, suhu yang tinggi umumnya cenderung dapat melarutkan lebih
baik, namun suhu 100 oC menyebabkan kokon menjadi lunak dan filamen tidak dapat
diuraikan dengan baik. Perebusan yang lebih lama umumnya mampu melarutkan
lebih baik. Aini (2009) melaporkan bahwa perebusan kokon pada waktu 1-2 jam

2

menghasilkan filamen dengan kualitas yang tidak berbeda sehingga waktu perebusan
diharapkan dapat lebih singkat untuk mencegah kerusakan yang mungkin terjadi
pada filamen. Dalam rangka efisiensi perlu dicari suhu dan waktu perebusan yang
tepat sehingga dengan kombinasi suhu dan waktu yang optimum diharapkan juga
dapat menghasilkan filamen sutera dengan kualitas yang terbaik.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mendapat informasi tentang kualitas filamen
sutera A. atlas dengan menggunakan suhu perebusan kokon 70, 80, dan 90 oC dan
lama waktu perebusan 30 dan 60 menit.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Sutera
Sutera yang telah diolah menjadi bahan tekstil memiliki beberapa kelebihan
bila

dibandingkan

dengan

bahan

sandang

lainnya.

Dari

karakteristiknya

keistimewaan kain sutera antara lain: ringan, kepadatan sutera relatif lebih ringan
bila dibandingkan dengan wool atau katun; tidak mudah kusut, karena sifat sutera
yang liat dan elastis; serta mempunyai daya menahan panas dan meresap air (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan, 1992). Gusa et al. (2002) menyatakan bahwa
apabila benang sutera telah ditenun, hasilnya adalah sehelai kain yang tidak hanya
indah melainkan juga mempunyai sifat-sifat yang baik, diantaranya bersifat
higroskopis, ringan tetapi kuat dan awet. Pori-pori yang terdapat pada sutera akan
menyebabkan kenyamanan dan tidak panas saat baju dipakai. Selain itu, sutera
memiliki daya menahan warna yang kuat sehingga warna tidak cepat pudar dan
sutera bersifat seperti wool, jika kontak dengan api tidak akan menjalarkan api,
sutera akan hangus dan mengkerut serta tidak mudah menimbulkan kebakaran (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan, 1992). Sutera yang selama ini dikenal berasal
dari ulat sutera Bombyx mori, namun sekarang telah berhasil dilakukan budidaya
penghasil sutera lokal, yakni ulat sutera Attacus atlas. Bila B. mori hanya bisa
mengkonsumsi satu jenis pakan saja (daun murbei) dan menghasilkan filamen yang
berwarna putih atau kuning, A. atlas bisa mengkonsumsi pakan yang bervariasi,
seperti daun sirsak, daun teh, daun alpukat, daun durian, daun kenari, atau daun
srikaya sehingga warna filamennya juga bervariasi dari cokelat tua, cokelat
keputihan dan cokelat kehitaman. Keragaman warna filamen sutera A. atlas dapat
menambah kekayaan warna alami sutera dan tidak perlu dilakukan pewarnaan
(Solihin et al., 2010).
Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)
Taksonomi
Ulat sutera liar A. atlas adalah salah satu jenis serangga yang berukuran besar
dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti di Asia Tenggara,
Asia bagian Selatan, Asia Timur, daerah selatan Cina, melintasi kepulauan Malaysia,
Thailand dan Indonesia. Ulat sutera ini termasuk hewan polivoltin, artinya hewan ini

mengalami banyak siklus atau hidup beberapa generasi dalam satu tahun dan
termasuk serangga polifagus, artinya serangga ini dapat memakan banyak jenis
tumbuhan. Menurut Peigler (1989), A. atlas dapat hidup dan memakan sekitar
90 jenis tumbuhan dari 48 famili. Menurut Mulyani (2008), suhu dan kelembaban
dalam ruangan pemeliharaan larva adalah 24-28 oC dan 46%-78%. Kondisi ini sesuai
untuk pemeliharaan maupun pengokonan. Adapun klasifikasi A. atlas menurut
Peigler (1989), sebagai berikut:
Ordo

: Lepidoptera

Super famili

: Bombycoidea

Famili

: Saturniidae

Sub famili

: Saturniinae

Genus

: Attacus

Spesies

: Attacus atlas

Siklus Hidup
A. atlas termasuk serangga holometabola, yaitu mengalami metamorfosis
sempurna atau mengalami siklus kehidupan mulai dari fase telur–larva–pupa–imago.
Siklus hidup A. atlas dapat dilihat pada Gambar 1. Stadium telur berlangsung selama
1-4 minggu, larva 40-75 hari, sedangkan pupa 4-10 minggu (Awan, 2007).

Gambar 1. Siklus Hidup Attacus atlas
Sumber: Mohn , 2000; Wikipedia, 2008; Indrawan, 2007

5

Telur. Telur berukuran panjang 2,7 mm, lebar 2,3 mm dan tinggi 2,1 mm. Bentuk
telur ulat sutera liar adalah oval dan agak datar atau gepeng, bentuk khas yang
dimiliki oleh semua famili Saturniidae (Peigler, 1989). Telur dihasilkan oleh imago
betina baik yang telah kawin maupun yang tidak. Telur yang dapat menetas menjadi
larva adalah telur yang dibuahi oleh imago jantan. Telur memiliki kerabang yang
halus dan biasanya diselimuti cairan berwarna kemerahan hingga cokelat yang
berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting (Awan, 2007).
Larva. Stadium larva terbagi dalam enam tahapan instar, setiap instar ditandai
dengan pergantian kulit (moulting) pada larva. Instar pertama berlangsung selama
4-5 hari, instar kedua sampai instar keempat juga memiliki masa yang sama dengan
instar pertama yaitu selama 4-5 hari, instar kelima berlangsung selama 6-8 hari dan
instar keenam berlangsung selama 8-10 hari. Instar keenam memiliki waktu yang
lebih lama karena pada instar keenam adalah tahapan larva akan berubah menjadi
pupa dan akan mengokon (Awan, 2007).
Pupa. Stadium pupa merupakan stadium yang paling penting dalam perkembangan
metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis
yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala
dan struktur reproduksi. Oleh karena itu stadium pupa tidak boleh terganggu agar
proses organogenesis berlangsung sempurna, karena dapat menyebabkan kegagalan
dalam proses pengokonan bahkan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian
(Awan, 2007).
Imago. Imago keluar melalui lubang pada ujung anterior kokon yang telah terbentuk
saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah
oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap belum terbuka sempurna (Awan,
2007). Imago atau ngengat A. atlas betina memiliki panjang antena 17-21 mm dan
lebar 3 mm, sedangkan ngengat jantan memiliki panjang antena 23-30 mm, lebar 1013 mm. Ngengat jantan memiliki sayap dengan ujung yang lebih meruncing,
sedangkan ngengat betina memiliki abdomen yang besar yang berisi telur-telur dan
ukuran tubuhnya lebih besar daripada ngengat jantan (Peigler, 1989). Umur imago
jantan adalah 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari, imago betina mampu
menghasilkan telur dengan jumlah berkisar antara 100 sampai 362 butir. Imago

6

betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur yang steril yang
tidak dapat menetas menjadi larva (Awan, 2007).
Pakan Ulat Sutera Liar Attacus atlas
A. atlas termasuk serangga polifagus yang dapat hidup pada 90 golongan
tumbuhan dari 48 famili yang bisa dimakan (Peigler, 1989). Salah satu jenis pakan
utama di daerah Purwakarta adalah tanaman teh (Camellia sinensis) yang merupakan
salah satu komoditas penghasil produk minuman penyegar. Tanaman teh ditanam di
hampir 30 negara, terdiri dari sekitar 82 spesies dan dikonsumsi hampir di seluruh
dunia, termasuk genus Camellia dari famili Theaceae yang dibedakan dalam
beberapa varietas Cina, Assam, Cambodia dan hibrida-hibridanya. Jenis yang banyak
dibudidayakan di Indonesia adalah Sinensis (Camellia sinensis var. sinensis) dan
Assamica (Camellia sinensis var. assamica) serta hibrid yang merupakan hasil
persilangan antara jenis Sinensis dengan jenis Assamica. Tanaman teh dapat ditanam
di tanah dengan pH yang rendah yaitu 4,0–5,5 dan dengan curah hujan 1.250–
5.000 mm yang merata sepanjang tahun (Nurachman, 2006). Awan (2007)
menyatakan bahwa pakan daun teh memiliki kandungan nutrisi, terutama kadar air
yang cukup dan komponen kimia yang sangat disukai oleh ulat sutera, sehingga
A. atlas dapat mengkonsumsi pakan dengan baik, dapat memanfaatkan pakan (daya
cerna) yang banyak, bobot badan yang besar, produksi dan kualitas kokon yang lebih
baik.
Kokon
Pembentukan Kokon
Kokon dibentuk dari susunan serat-serat sutera yang dihasilkan dari kelenjar
sutera. Informasi mengenai kelenjar sutera pada A. atlas belum didapat, sehingga
sebagai pembanding menggunakan kelenjar sutera pada B. mori. Menurut
Atmosoedarjo et al. (2000), kelenjar sutera merupakan sepasang saluran panjang,
berbelit di samping dan di bawah saluran pencernaan, kemudian berujung pada
saluran pengeluaran di ujung kepala. Berdasarkan bentuk dan strukturnya, kelenjar
ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu anterior, tengah dan posterior. Kelenjar bagian
anterior merupakan saluran pengeluaran serat sutera, bagian tengah dan bagian
posterior merupakan penghasil serat sutera. Menurut Samsijah dan Kusumaputera

7

(1975), kelenjar sutera bagian anterior berukuran kecil dan bermuara pada alat di
bagian bawah mulut larva yang disebut spineret. Bila serat sutera telah memenuhi
kelenjar, maka serat sutera secara berangsur-angsur dialirkan ke spineret,
dikeluarkan dan ulat sutera mulai mengokon.
Pembentukan kokon pada A. atlas dimulai ketika larva instar enam mulai
mengeluarkan serat sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun,
yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini
berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan
mengering, bagian ini biasanya disebut sebagai floss. Setelah menguatkan daun agar
tidak jatuh, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut, bagian
inilah yang biasanya digunakan untuk dipintal menjadi benang dan biasa disebut
sebagai kulit kokon tanpa floss. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga
terbentuk kokon sempurna (kulit kokon utuh) yaitu kulit kokon dengan floss (Awan,
2007).
Larva akan membentuk kokon dengan memanfaatkan daun sebagai tempat
melekatkan kokonnya. Biasanya daun dilipat di bagian ujung dan tepi daun,
kemudian dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu
rongga tempat pupa. Terdapat lubang pada bagian anterior kokon sebagai tempat
keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala di
bagian atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pupa
telah sempurna apabila isi kokon bergeser jika digoyangkan dan terdapat rongga
antar isi kokon dengan kokon, sedangkan apabila kokon tidak dapat bergeser berarti
isi di dalam kokon masih berbentuk larva. Kokon sangat diperlukan untuk menjaga
pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar
pupa tetap sesuai dan menjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan
mengganggu perkembangan pupa. Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips
silindris, ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon
berwarna cokelat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak
basah, oleh pengaruh sinar matahari, gerakan angin, lama kelamaan akan lebih kuat
dan lebih kering (Awan, 2007). Tempat yang nyaman bagi ulat sutera untuk
membuat kokon memerlukan sedikit serat-serat sutera dan memudahkan ulat untuk
menempelkan floss-nya pada daun. Oleh karena itu, sisa serat sutera yang digunakan

8

untuk membentuk kokon masih cukup banyak sehingga bobot kulit kokon yang
dihasilkan tinggi (Mulyani, 2008).
Kandungan dan Karakteristik Kokon
Kokon dibentuk dari serat-serat sutera, yakni serat double yang terdiri dari
fibroin (C15H26N5O6) dan serisin (C15H23N5O8) (Samsijah dan Andadari, 1992). Satu
helai filamen sutera terdiri dari dua utas fibroin yang dilapisi dan direkatkan oleh
serisin (Lucas et al., 1978). Sihombing (1999) menyatakan bahwa fibroin dan serisin
merupakan serangkaian asam-asam amino yang terdiri atas: glisin, alanin, dan serin
bersama asam-asam amino yang lain diantaranya asam aspartat, asam glutamat,
fenilalanin, lisin, oksiprolin, prolin, dan tirosin. Fibroin adalah polipeptida yang
dibangun dari empat asam amino utama, yaitu glisin (43,5%), alanin (29,9%), serin
(10,7%), dan tirosin (4,8%) (Hamamura, 2001). Serisin merupakan zat yang
menyusun lapisan luar filamen sutera, berfungsi sebagai perekat yang menempelkan
lembaran-lembaran fibroin menjadi satu dan sekaligus melindungi fibroin (Lucas et
al., 1978). Serisin adalah anyaman dari polipeptida yang dapat lunak dalam air
panas, yang komposisi asam aminonya dicirikan dengan kandungan serin yang tinggi
(Rui, 1998). Komposisi serat kokon sutera B. mori dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Serat Kokon Sutera Bombyx mori
Komposisi

Kandungan (%)

Fibroin

70 - 80

Serisin

20 - 30

Materi lilin

0,4 – 0,8

Karbohidrat

1,2 – 1,5

Pigmen

0,2 (approx)

Bahan anorganik

0,7 (approx)

Sumber : Rui, 1998

Sama halnya dengan kokon B. mori, kokon A. atlas juga mengandung serisin
dan fibroin. Unsur lainnya adalah lilin, garam-garam mineral dan zat warna lain
(pigmen) alam berwarna kekuningan (Awan, 2007).
Brown (1976) menyatakan bahwa sutera dicirikan dengan kekuatan tarik serat
dan fleksibilitas yang tinggi serta kemampuan untuk meregang. Secara molekular,

9

sutera dibangun dari rantai panjang polipeptida yang merentang sepanjang poros
serat. Distribusi asam amino dalam serat sutera sangat unik, sebagian besar rantai
polipeptida dibangun dari tiga asam amino: glysin, alanin dan serin. Terdapat juga
asam amino yang lain dalam jumlah yang sedikit. Komposisi asam amino disajikan
dalam Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Asam Amino Kokon Bombyx mori
Asam Amino

Serisin (%)

Fibroin (%)

Glysin

14,1

43,5

Alanin

5,3

29,9

Serin

30,8

10,7

Valin

2,8

2,1

Tyrosin

2,6

4,8

Amonia

6,9

1,6

Asam aspartat

15,4

1,5

Asam glutamat

4,8

1,1

Threonin

7,4

0,9

Lysin

3,0

0,7

Phenylalanin

0,3

0,6

Leucin

0,5

0,5

Arginin

3,1

0,5

Leucin

1,0

0,5

Prolin

0,5

0,3

Histidin

0,9

0,2

+

0,1

Methionin
Sumber : Hamamura, 2001

Selanjutnya Brown (1976) menyatakan bahwa dalam serat sutera, sehelai
filamen tersusun antara glysin dengan glysin. Glysin tersusun dari atom hidrogen
sehingga sehelai filamen juga tersusun antara hidrogen dengan hidrogen. Kemudian
bersama-sama dengan alanin dan serin yang juga saling menyusun. Struktur tersebut
dapat digambarkan seperti: -(gly-ser-gly-ala-gly-ala)- seterusnya membentuk rantai
panjang polipeptida. Serat sutera sangat kuat, daya regangnya dibangun oleh ikatan
kovalen dari rantai polipeptida itu sendiri. Perebusan kokon dimaksudkan untuk
10

melepas ikatan kovalen pada atom hidrogen sehingga ikatan glysin terlepas. Serisin
merupakan protein yang memiliki kandungan asam amino glysin dan alanin dalam
jumlah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan fibroin. Terlepasnya ikatan
glysin menyebabkan serin yang merupakan asam amino hidrofilik dapat larut dengan
mudah sehingga serisin larut dalam perebusan kokon.
Berbeda dengan kokon B. mori yang berukuran kecil dan berwarna putih atau
kuning, kokon A. atlas memiliki keunikan tersendiri, yaitu berukuran lebih besar
dengan variasi warna filamen dari cokelat muda sampai cokelat tua keemasan.
Lapisan pertama bagian terluar adalah lembaran daun kering yang digunakan untuk
menempel pada batang atau tangkai tanaman bagian ini mudah dilepas, lapisan kedua
adalah selapis tipis rangkaian serat. Lapisan ketiga adalah lapisan keras yang terdiri
dari rajutan sutera yang padat dan kompak (Faatih, 2005). Perbandingan kokon
A. atlas dan B. mori dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kokon Attacus atlas dan Bombyx mori
Sumber: Koleksi Pribadi

A. atlas membentuk kokon dengan lubang di bagian anterior (Gambar 3)
sehingga akan memudahkan saat imago keluar, sedangkan B. mori membentuk
kokon yang tertutup rapat sehingga jika imago keluar maka akan merusak kokonnya.
Oleh karena itu terdapat perbedaan pada proses pemanenan kokon, pada B. mori
panen kokon dilakukan sebelum imago keluar dari kokon sedangkan pada A. atlas
panen kokon dapat dilakukan sesudah imago keluar sehingga dapat dimanfaatkan

11

imago/ngengatnya untuk kelangsungan hidupnya. Ghosh (2004) menyatakan bahwa
hal yang istimewa pada kokon A. atlas, yaitu ketika sudah waktunya untuk keluar
dari kokon, imago akan melubangi atau merusak dinding serisin tanpa merusak
filamen fibroin sutera pembentuk kokon.

Gambar 3. Lubang di Bagian Anterior pada Kokon Attacus atlas
Sumber: Koleksi Pribadi

Kokon yang berkualitas baik ditentukan oleh beberapa faktor antara lain bibit
ulat sutera, teknik pemeliharaan, temperatur, kelembaban dan proses pengokonan
(Sampe, 1991). Syarat kokon B. mori yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih,
bagian dalamnya (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon keras dan
terbukti kalau ditekan sedikit berat sedangkan kokon yang berkualitas rendah adalah
kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor di bagian dalam, kotor di bagian luar,
kulit kokon tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kulit kokon berlapis dan
kokon berlekuk (Samsijah dan Andadari, 1992). Menurut Awan (2007), kokon cacat
pada kokon A. atlas adalah kokon ganda, kokon berlubang, kokon tipis, dan kokon
berkerut.
Perebusan Kokon
Perebusan pada kokon B. mori dilakukan untuk melepaskan filamen-filamen
yang masih saling merekat. Filamen fibroin yang direkatkan oleh serisin dilepas
dengan cara merebus kokon dengan air panas atau uap panas sehingga kulit kokon
mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan filamen sutera diurai dan digulung
pada reel (Atmosoedarjo et al., 2000). Berbeda dengan B. mori, filamen yang

12

dihasilkan dari kokon A. atlas terputus-putus namun filamen tersebut dapat
disambung kembali pada saat pemintalan.
Kokon

A. atlas tidak dapat diproses dengan pemrosesan yang biasa

digunakan untuk kokon

B. mori karena kandungan protein serisin yang

membungkus filamen fibroin relatif lebih banyak dan sangat lengket (Solihin et al.,
2010). Perebusan kokon A. atlas menggunakan larutan khusus, yang terdiri atas
campuran bahan kimia berupa: air 1 liter, sabun netral 20 g/liter, teepol 2 cc/liter, dan
NaOH 0,5–3 g/liter. Selama proses perebusan kokon, suhu air harus dijaga agar tetap
stabil. Suhu yang digunakan untuk perebusan tersebut adalah 80 oC. Setelah
perebusan, kulit kokon dicuci dengan tiga tahap pencucian, yaitu pencucian dengan
air panas (± 70oC), pencucian dengan air hangat (± 40oC), dan pencucian dengan air
dingin (Aini, 2009). Menurut Supitawati (1999), zat kimia yang digunakan untuk
perebusan kokon A. atlas antara lain zat asam kuat atau basa kuat. Berdasarkan sifatsifat serat kokon sutera, serat kokon sutera lebih sensitif terhadap alkali daripada
terhadap asam. Jika serat kokon sutera dimasukkan dalam larutan alkali kuat,
serisinnya dapat larut, dan untuk mencegah terbentuknya alkali bebas maka
digunakan sabun.
Kualitas Filamen
Pengujian kualitas filamen mengacu pada B. mori karena pada A. atlas belum
ada standar untuk pengujian ini. Pengujian terhadap kualitas filamen yang diperoleh
dari sebutir kokon, selain dilakukan terhadap parameter yang bersifat visual misalnya
warna filamen, juga dilakukan uji secara laboratorium yang meliputi panjang
filamen, daya urai kokon, ketebalan filamen, dan berat filamen, tetapi dalam
penentuan kelas mutu kokon hanya diperlukan dua parameter yang penting yaitu
panjang filamen dan daya urai kokon. Panjang filamen B. mori bervariasi menurut
varietas ulat sutera, panjangnya mencapai 787,5–1350 meter, sedangkan daya urai
kokon (kemudahan mengurai filamen sutera dari kokon), menunjukkan jumlah kali
putus filamen selama diurai (Atmosoedarjo et al., 2000). Kokon A. atlas memiliki
lubang di bagian anterior sehingga kokon yang diurai akan terputus-putus, namun
filamen yang terputus dapat disambung kembali. Pengujian terhadap kualitas filamen
meliputi:

13

1. Panjang filamen, ditentukan dengan cara mengurai satu kokon tunggal
menggunakan kincir alat urai (reel/haspel). Panjang filamen sutera B. mori
bervariasi menurut varietas ulat sutera (Atmosoedarjo et al., 2000). Awan
(2007) menyatakan bahwa panjang filamen sutera A. atlas adalah 83,61
m/kokon, sedangkan Aini (2009) melaporkan ukuran panjang filamen yang
lebih besar, berkisar antara 293-413,80 m/kokon.
2. Bobot

filamen,

ditentukan

dengan

mengurai

satu

kokon

tunggal

menggunakan kincir alat urai kokon. Bobot filamen proporsional dengan
berat kulit kokon. Berat filamen sutera B. mori berkisar antara 80%-90% dari
berat kulit kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Awan (2007), bobot
filamen sutera A. atlas yang telah didomestikasi yaitu sebesar 7,17±0,87
g/kokon. Aini (2009) menyatakan bahwa rataan bobot filamen sutera A. atlas
berkisar antara 0,2486–0,3724 g/kokon.
3. Tebal filamen, dihitung dalam satuan denier. Tebal filamen sutera B. mori
berkisar antara 2,5-3,5 denier (Atmosoedarjo et al., 2000). Budhiarti (2000)
menyatakan bahwa filamen sutera B. mori ras Jepang memiliki ketebalan
2,5052±0,1171 denier atau jika diamati secara mikroskopis sebesar 18–22 µ.
4. Persentase bobot filamen, yaitu persentase berat filamen terhadap berat kulit
kokon tanpa floss (Atmosoedarjo et al., 2000). Budhiarti (2000) menyatakan
bahwa persentase bobot filamen sutera B. mori galur murni yaitu sebesar
15,80%.
5. Daya urai kokon (reelability), menunjukkan kemudahan mengurai filamen
dari kokon. Daya urai kokon B. mori sangat tergantung pada varietas ulat
sutera, suhu dan kelembaban semasa pengokonan, terutama kelembabannya.
Selain itu, alat pengokonan juga sangat berpengaruh terhadap daya urai
kokon (Atmosoedarjo et al., 2000). Yuanita (2007) menyatakan bahwa daya
urai kokon B. mori berkisar antara 60,63%-67,85% untuk kokon pupa jantan
dan 52,69%-70,36% untuk kokon pupa betina.
6. Permukaan filamen, yang dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron.
Menurut Gusa et al. (2002), pada pengembangan industri serat sutera perlu
dilakukan pengkajian tentang berbagai hal, termasuk pengujian terhadap
kualitas filamen yang meliputi kemuluran, beban putus, kekuatan tarik, dan

14

kehalusan filamen serta pengamatan morfologi filamen dengan menggunakan
mikroskop elektron. Penampang membujur filamen A. atlas dan B. mori
secara umum dapat dilihat pada Gambar 4. Filamen B. mori agak membulat,
sedangkan filamen A. atlas lebih pipih. Dilihat dari ukuran, filamen A. atlas
lebih lebar bila dibandingkan dengan filamen B. mori. Banyak kristal yang
terlihat menempel pada filamen A. atlas. Penampang melintang juga hampir
sama (Gambar 5), seluruhnya memperlihatkan kenampakan pori-pori. Poripori yang terdapat pada filamen sutera akan menyebabkan kenyamanan dan
tidak panas saat baju dipakai (Gusa et al., 2002).

(a)
(b)
Gambar 4. Penampang Membujur Filamen Sutera: a) Attacus atlas dengan
Perbesaran 500 X; b) Bombyx mori dengan Perbesaran 500 X
Sumber: Gusa et al., 2002

(a)
(b)
Gambar 5. Penampang Melintang Filamen Sutera: a) Attacus atlas dengan
Perbesaran 2096 X; b) Bombyx mori dengan Perbesaran 1060 X
Sumber: Gusa et al., 2002

7. Sebagai informasi tambahan untuk pengujian kualitas filamen dapat
dilakukan pula pengukuran terhadap bobot kulit kokon utuh, bobot floss dan
bobot kulit kokon tanpa floss.

15

a. Bobot kulit kokon utuh, yaitu bobot kokon yang ditimbang setelah
kulit kokon utuh dibersihkan dari kotoran dan kulit pupanya. Bobot
kulit kokon utuh A. atlas dari perkebunan teh di daerah Purwakarta
memiliki ukuran berkisar antara 0,2-1,86 g/kokon dengan rataan
sebesar 0,68 ± 0,24 g/kokon (Baskoro, 2008).
b. Bobot floss, yaitu bobot lapisan terluar dari kulit kokon utuh. Bobot
floss berkaitan dengan energi yang dikeluarkan A. atlas selain untuk
memproduksi kulit kokon yang dapat dipintal menjadi benang. Bobot
floss ini akan semakin besar jika tempat pengokonan juga besar, hal
ini menyebabkan larva harus mengeluarkan energi yang besar untuk
membuat kerangka (floss). Bobot floss kokon A. atlas dari Purwakarta
adalah sebesar 0,18 ± 0,005 g/kokon (Baskoro, 2008).
c.

Bobot kulit kokon tanpa floss, yaitu bobot kulit kokon utuh setelah
dikurangi bobot floss. Kulit kokon tanpa floss adalah bagian yang
biasanya dipintal menjadi benang (Awan, 2007). Kulit kokon tanpa
floss adalah bagian dalam setelah lapisan terluar (floss) pada saat
mengokon. Kulit kokon tanpa floss yang dihasilkan dari A. atlas yang
berasal dari perkebunan teh di daerah Purwakarta memiliki bobot
rataan 0,5 ± 0,2 g/kokon (Baskoro, 2008).

16

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor dan di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu pada bulan
Juni sampai dengan November 2009.
Materi
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Baskoro (2008) tentang
karakteristik kulit kokon segar Attacus atlas. Materi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kokon ulat sutera liar A. atlas yang berasal dari perkebunan teh
di daerah Purwakarta. Kokon tersebut disimpan sejak Januari 2008 pada suhu ruang
berkisar antara 20-25

o

C. Bahan-bahan kimia yang digunakan pada proses

penguraian filamen sutera diantaranya air, soda kaustik (NaOH) dalam bentuk
kristal, sabun cuci batangan (merk Surya), dan cairan teepol. Alat-alat yang
digunakan adalah timbangan digital (kapasitas 200 gram dengan ketelitian 0,01),
jangka sorong digital, gelas ukur, penangas air, termometer, stopwatch, alat urai
sederhana, pita ukur, logam baja berbentuk silinder, double tip yang berlapis karbon,
alat vakum, alat coating, SEM (Scanning Electron Microscope JSM-5310-LV) serta
peralatan masak yang digunakan selama proses penguraian filamen berlangsung.
Prosedur
Tahap Persiapan
Dalam penelitian ini digunakan kokon yang telah disortir dari kokon cacat
sehingga yang diperoleh adalah kokon dengan kondisi yang baik atau tidak cacat.
Kokon tersebut dibersihkan dari kotoran dan kulit pupa kemudian dipisahkan dari
floss. Kokon cacat yaitu kokon ganda, kokon berlubang, kokon tipis, dan kokon
berkerut dipisahkan dan tidak digunakan dalam penelitian ini.
Kokon ditimbang untuk mendapatkan data bobot kulit kokon tanpa floss dan
bobot floss, kemudian diukur panjang dan diameter. Berdasarkan bobot dan ukuran
yang seragam, dari jumlah sebanyak 127 kokon dipilih 42 sampel kokon.

Penguraian filamen menggunakan alat urai yang dibuat secara sederhana.
Alat tersebut dibuat dengan desain yang sangat sederhana, tanpa kincir seperti
lazimnya kincir alat urai (reel/haspel), tetapi tetap berdasarkan prinsip kerja alat urai.
Alat ini dibuat dengan menggunakan bahan kayu, besi, dan pipa. Kayu sebagai
kerangka alat agar alat tersebut dapat berdiri dengan tegak, besi sebagai penahan pipa
sekaligus sebagai pemutar agar alat urai dapat berputar pada porosnya, dan pipa
sebagai tempat penempelan filamen, pada saat alat tersebut diputar pipa yang
tertahan pada besi juga berputar, dan sekaligus filamen dapat terurai dan menempel
pada pipa. Dimensi alat tersebut yaitu: pipa dengan panjang 10 cm dan diameter 1,84
cm, besi dengan panjang 18,5 cm dan diameter 0,58 cm, kayu sebagai penopang
dengan panjang 8,5 cm, lebar 2,2 cm, dan tinggi 17 cm, kayu sebagai alas dengan
panjang 16 cm, lebar 10 cm dan tebal 0,4 cm, kayu sebagai pemutar dengan panjang
8 cm, lebar 4 cm, dan tebal 0,4 cm, kayu sebagai pegangan dengan panjang 5 cm dan
diameter 1,8 cm, wadah kokon dengan tinggi 7,5 cm dan diameter 7 cm. Alat urai
sederhana dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Alat Urai Sederhana
Sumber: Koleksi Pribadi

Alat urai tersebut dibuat dengan ukuran kecil dan menggunakan pipa dengan
diameter kecil agar memudahkan proses penguraian dan penggulungan filamen.
Filamen yang terputus-putus akan lebih mudah digulung dan ditempelkan pada pipa
berukuran kecil daripada alat urai yang berbentuk kincir dengan ukuran besar.
Penguraian filamen menggunakan kincir alat urai berukuran besar lebih sukar
dilakukan karena filamen yang terputus harus disambung sehingga pengukuran

18

panjang filamen kurang akurat, waktu yang dibutuhkan untuk penguraian filamen
lebih lama dan tenaga yang dikeluarkan juga lebih besar.
Perlakuan yang diberikan adalah suhu dan waktu perebusan kokon, yaitu
pada suhu 70, 80, dan 90 oC dengan waktu 30 dan 60 menit sehingga diperoleh enam
kombinasi taraf perlakuan dengan ulangan tujuh kali sehingga total sampel yang
digunakan berjumlah 42 buah kokon. Perebusan kokon dikondisikan agar homogen,
yaitu menggunakan alat yang sama dan komposisi larutan perebusan yang sama.
Larutan yang digunakan untuk perebusan terdiri atas campuran dengan
perbandingan air 1 liter, NaOH 0,5 g, sabun cuci batangan 20 g, dan larutan
desinfektan teepol 2 cc. Tujuan penggunaan soda kaustik (NaOH) dalam perebusan
kokon untuk mengoptimalkan pelarutan serisin sehingga memudahkan proses
penguraian filamen. Selain larut dalam air panas, serisin juga larut dalam alkali kuat,
pada penelitian ini digunakan NaOH yang merupakan golongan alkali kuat.
Supitawati (1999) menyatakan bahwa serisin dapat larut jika serat kokon sutera
dimasukkan dalam larutan alkali kuat, kemudian untuk mencegah terbentuknya alkali
bebas maka digunakan sabun. Selain itu, sabun juga berfungsi untuk membersihkan
dan membuat kokon menjadi licin sehingga memudahkan dalam proses penguraian
filamen. Teepol dalam larutan perebusan kokon digunakan sebagai bahan
desinfektan.
Larutan perebusan kokon dipanaskan hingga mencapai suhu tertentu (70, 80,
dan 90oC) kemudian kokon dimasukkan dan direbus selama waktu tertentu (30 dan
60 menit) tanpa diaduk dan suhu stabil selama perebusan kokon. Selanjutnya kokon
diangkat dan dibilas dengan air hangat pada suhu 60oC, kemudian dibilas dengan air
dingin pada suhu 23oC. Pembilasan dilakukan untuk membersihkan campuran bahan
kimia yang mungkin masih m