Hapus dan Batalnya Perjanjian Kredit Bank

26 meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Disamping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.

4. Hapus dan Batalnya Perjanjian Kredit Bank

UU Perbankan No. 10 tahun 1998 tidak memuat ketentuan mengenai hapusnya perjanjian kredit. Sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generalis maka ketentuan mengenai hapusnya perjanjian kredit menggunakan ketentuan dalam buku III Bab IV KUHPerdata mengenai hapusnya suatu perikatan. Pasal 1381 KUHPerdata memuat ketentuan tentang hapusnya perikatan. Cara-cara mengenai hapusnya perikatan menurut pasal 1381 KUHPerdata yaitu karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan utang perjumpaan uang atau kompensasi, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, kebatalanpembatalan, berlakunya syarat batal, dan lewatnya waktu. Pada dasarnya perjanjian bersifat konsensuil, namun demikian ada perjanjian-perjanjian tertentu yang mewajibkan dilakukan sesuatu tindakan yang lebih dari hanya sekedar kesepakatan, sebelum pada 27 akhirnya perjanjian tersebut dapat dianggap sah. Secara umum, ilmu hukum membedakan perjanjian ke dalam perjanjian konsensuil, perjanjian riil, dan perjanjian formil. Perjanjian konsensuil adalah bentuk perjanjian yang paling sederhana, karena hanya mensyaratkan adanya kesepakatan antara mereka yang membuatnya. Perjanjian konsensuil ini, adalah perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang harus memenuhi persyaratan: 1. terdapat kata sepakat di antara mereka yang berjanji; 2. mereka yang berjanji tersebut haruslah cakap menurut hukum; 3. terdapat objek yang diperjanjikan; 4. objek yang diperjanjikan tersebut adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh hukum merupakan causa yang halal. Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak harus dipenuhi agar suautu perjanjian dapat dianggap sah. Disamping keempat syarat tersebut, untuk perjanjian-perjanjian tertentu, Undang-undang mensyaratkan pula dipenuhinya suatu perbuatan tertentu agar perjanjian itu dapat membawa akibat hukum pada perjanjian riil; ataupun harus dipenuhinya suatu formalitas tertentu agar perjanjian yang dibuat itu sah adanya pada perjanjian formil. Ini berarti perjanjian riil dan perjanjian formil adalah pengecualian dari berlakunya perjanjian konsensuil. Seperti telah diuraikan di atas, keabsahan dari tiap perjanjian ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh 28 undang-undang. Jika suatu perjanjian tidak sah maka berarti perjanjian itu terancam batal. Hal ini mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk diketahui oleh tiap pihak yang mengadakan perjanjian. Oleh karena masing-masing perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri, maka nulitas atau kebatalan dari suatu perjanjian secara otomatis juga memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, sampai seberapa jauh suatu nulitas atau kebatalan dapat dianggap ada pada suatu perjanjian hanya dapat ditentukan oleh sifat dari perjanjian itu sendiri. Namun ini tidaklah berarti kita tidak dapat menarik suatu garis umum mengenai hal ini. a. Macam-macam Kebatalan Dengan berdasarkan pada alasan kebatalannya, nulitas dibedakan dalam perjanjian yang dapat dibatalkan dan perjanjian yang batal demi hukum, sedangkan berdasarkan sifat kebatalnnya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak. b. Perjanjian yang Dapat Dibatalkan Undang-undang memberikan kemungkinan bahwa suatu perjanjian dapat dibatalkan, jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan kepentingan individu tertentu. Individu ini tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, pihak yang jika dengan dilaksanakannya perjanjian tersebut akan menderita kerugian dapat mengajukan 29 pembatalan atas perjanjian tersebut baik sebelum perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah perjanjian tersebut dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, pasal 1451 dan pasal 1452 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menentukan bahwa setiap kebatalan membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orang dipulihkan sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat. c. Pembatalan Perjanjian oleh Salah Satu Pihak dalam Perjanjian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan alasan tertentu kepada salah satu pihak dalam perjanjian untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat olehnya. Alasan-alasan tersebut biasa dikenal dalam Ilmu Hukum sebagai alasan subjektif. Disebut dengan subjektif, karena berhubungan dengan diri dari subjek yang menerbitkan perikatan tersebut. Pembatalan perjanjian tersebut dapat dimintakan jika: 1 Telah terjadi kesepakatan secara palsu dalam suatu perjanjian; karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat pasal 1321 samapai dengan pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; 2 Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam hukum pasal 1330 sampai dengan pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 30 Dalam hal terjadi kesepakatan secara palsu, maka pihak yang khilaf, dipaksa, atau ditipu tersebut, memiliki hak untuk meminta pembatalan perjanjian pada saat ia mengetahui terjadinya kekhilafan, paksaan, atau penipuan tersebut. Sedangkan untuk hal yang kedua, pihak yang tidak cakap, dan atau wakilnya yang sah berhak untuk memintakan pembatalan perjanjian pasal 1446 sampai dengan pasal 1450 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata d. Pembatalan perjanjian Oleh Pihak Ketiga di Luar Perjanjian Kitab Undang-undang hukum perdata tidak memberikan rumusan yang umum dalam suatu pasal untuk melakukan penuntutan pembatalan atas perikatan atau perjanjian yang dibuat oleh suatu pihak tertentu, melainkan tersebar pada masing-masing jenis perjanjian. Actio Pauliana, yang diatur dalam pasal 1341 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, merupakan suatu contoh yang paling sering dikemukakan sehubungan dengan ketentuan tersebut, yang memberikan hak pada kreditor untuk meminta pembatalan atas setiap perbuatan atau perjanjian yang dilakukan debitor yang tidak diwajibkan, yang sebagai akibat dari pelaksanaan pembuatan atau perjanjian tersebut. Actio Pauliana ini sering kali juga dijadikan contoh dari “pengecualian” berlakunya asas personalia dalam hukum Perjanjian, sebagaimana telah kita uraikan dalam pembahasan di atas. Dikatakan sebagai pengecualian, oleh karena pada dasarnya Actio Pauliana ini memberikan hak dan kewenangan pada pihak ketiga di 31 luar perjanjian untuk meminta pembatalan atas perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak dalam perjanjian, yang berarti suatu “campur tangan” terhadap kebebasan berkontrak dari para pihak dalam perjanjian. Actio Pauliana ini hanya dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga, jika memang ternyata bahwa perjanjian dan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian atau perbuatan hukum tersebut ternyata telah merugikan kepentingannya, khususnya yang berhubungan dengan pemenuhan atau pelaksanaan kewajiban salah satu pihak dalam perjanjian atau perbuatan hukum tersebut kepada dirinya. e. Perjanjian yang batal demi hukum Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, jika terjadi pelanggaran terhadap syarat objektif dari sahnya suatu perikatan. Keharusan akan adanya objek dalam perjanjian, dirumuskan dalam pasal 1332 sampai dengan 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; yang diikuti dengan pasal 1335 sampai dengan pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai rumusan causa yang halal, yaitu causa yang diperbolehkan oleh hukum. f. Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak Disamping pembedaan tersebut di atas, nulitas juga dapat dibedakan ke dalam nulitas atau kebatalan relatif dan nulitas atau kebatalan mutlak. Suatu kebatalan disebut dengan relatif, jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang perorangan tertentu saja; dan disebut 32 dengan mutlak jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Disini perlu diperhatikan bahwa alasan pembatalan tidak memiliki hubungan apapun dengan jenis kebatalan ini. Suatu perjanjian yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atau mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak. g. Nulitas yang Pemberlakuanya Dikecualikan Disamping pemberlakuan nulitas yang relatif dan mutlak, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur ketentuan mengenai pengecualian pemberlakuan nulitas, seperti yang diatur dalam pasal 1341 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang melindungi hak-hak pihak ketiga yang telah diperolehnya dengan itikad baik atas segala kebendaan yang menjadi pokok perjanjian yang batal tersebut. h. Otorisasi Perjanjian yang dibatalkan memberikan kemungkinan untuk dikuatkan diotorisasi atas permintaan pihak yang terancam kebatalan. Penguatan semacam ini tidak berarti membuat perjanjian yang tidak sah menjadi sah, akan tetapi hanya menghilangkan kekurangan yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Sedangkan bagi perjanjian yang batal demi hukum, pada azasnya tidak dikenal adanya penguatan sedemikian. 33 i. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1266 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa syarat-syarat batal dianggap selalu dimuat dalam setiap perjanjian. Selanjutnya dalam ketentuan ayat 2-nya menyebutkan bahwa meskipun demikian, perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan begitu saja tanpa adanya Keputusan Hakim yang menyatakan batalnya perjanjian tersebut. Dengan menyimpang dari ketentuan pasal 1266 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak melarang para pihak yang membuat perjanjian untuk membatalkan kembali perjanjian yang telah mereka buat, namun demikian akibat hukum yang diterbitkan oleh pembatalan yang sedemikian adalah sangat berbeda dari akibat pembatalan perjanjian oleh Hakim seperti tersebut di atas. Pada perjanjian yang dibatalkan kembali oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan atau menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah terbit sehubungan dengan perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut. Yang ditiadakan hanya akibat-akibat yang dapat terjadi masa yang akan datang di antara para pihak. Sedangkan bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim, pembatalan mengembalikan kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada keadaannya semula, seolah-olah perjanjian tersebut tidak tetap dipertahankan oleh Undang-Undang untuk kepentingan pihak-pihak tertantu. 34

B. Pengertian Jaminan dan Pentingnya Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Bank

Dokumen yang terkait

Kajian Hukum Atas Lelang Terhadap Barang Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Leasing (Studi Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan)

11 159 147

Tinjauan Yuridis Terhadap Nasabah Yang Melakukan Pembiayaan Bermasalah Dalam Perjanjian Murabahah Pada Perbankan Syariah (Studi Pada : BRI Syariah KCI.S.Parman Medan)

4 71 114

ANALISA HUKUM PEMBEBANAN JAMINAN FIDUCIA DAN AKIBAT HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT JATIM CABANG BANYUWANGI

0 25 14

ANALISA HUKUM PEMBEBANAN JAMINAN FIDUCIA DAN AKIBAT HUKUM DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PT. BANK PERKREDITAN RAKYAT JATIM CABANG BANYUWANGI

0 4 14

TINJAUAN PELAKSANAAN KEWENANGAN PENGUASAAN ATAS BARANG JAMINAN FIDUSIA OLEH DEBITUR (Studi Kasus di Bank Perkreditan Rakyat BKK Kecamatan Pedan Kabupaten Klaten).

0 0 14

PELAKSANAAN BATAS KEWENANGAN PENGUASAAN ATAS BARANG JAMINAN DALAM LEMBAGA FIDUCIA PELAKSANAAN BATAS KEWENANGAN PENGUASAAN ATAS BARANG JAMINAN DALAM LEMBAGA FIDUCIA (Studi Pada Perjanjian Fiducia di BRI Cabang Boyolali).

0 0 10

PENDAHULUAN PELAKSANAAN BATAS KEWENANGAN PENGUASAAN ATAS BARANG JAMINAN DALAM LEMBAGA FIDUCIA (Studi Pada Perjanjian Fiducia di BRI Cabang Boyolali).

0 1 15

EKSEKUSI JAMINAN FIDUCIA MELALUI PENARIKAN DAN PENJUALAN BARANG JAMINAN UTANG PADA PT. BANK BUKOPIN CABANG PADANG.

0 1 12

PELAKSANAAN JAMINAN FIDUCIA DALAM KAITANNYA DENGAN PERJANJIAN KREDIT PADA BANK NAGARI CABANG UTAMA PADANG.

0 0 7

PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN PENYERAHAN HAK MILIK SECARA FIDUCIA

0 0 54