Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

ِ ْ ِ َلا ِ َ ْ َلا ِا ِ ْ ِ

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi sunnatull É h al-kauniyah terjadinya perselisihan ikhtil É f dan perpecahan iftir É q ditengah kaum muslim sebagaimana terjadi di tengah Bani Israil. Nabi  1 menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya: ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ىِْ ََفَ َْ ِ ىْ َ ى َ ْ ِ ى َ َ ىُ ْ ُ ََل ْ ى ِ َ َ ََف ْ ى, ىْ َ ى َ ْ ِ ى َ َ ى َراَص ى ِ َ َ ََف ْ َ ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ىِْ ََفَ َْ ى, ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ى ٍثَاَ ى َ َ ىِِْمُ ىُقََِْفََتَ Artinya: “ Yahudi terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, Na Î rani terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan ”. 2 Dalam riwayat yang lain disebutkan: ىِ َْْ ىِِْىٌةَ ِ َ َ ىِرا ىِِْىَنْ ُ َْ َ ىَ ىِناَفْ ِ ىَْ ِ ْ َ ىَ ى ٍثَاَ ى َ َ ىُقََِْفََفَ ىَ ِمْ ىِهِذَهىنِ َ ىِ َ اَمَْْ ىَ ِهَ Artinya: “ Dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 akan masuk Neraka dan yang satu akan masuk Surga yaitu al- jam É ‟ah ”. 3 Dalam riwayat Turmu Ê, disebutkan dengan lafal: ىِِْاَحْصَ ىَ ىِهْلَ َ ىَانَ ىاَمىًةَ ِ َ ىً ِمىاِ ىِرا ىِِْىْمُ ُك 1 MuÍammad IsmÉ ‟Êl al-Øan‟ÉnÊ, ×adÊtsu IftirÉqil Ummah IlÉ Nayyifin Wa Sab‟Êna Firqah, TaÍqÊq Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn, RiyÉÌ: DÉr „ÓÎimah, Cet. 1, 1424 H, h. 48. 2 HR. al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid I, h. 128, ia berkata bahwa hadis tersebut adalah sahih sesuai syarat Muslim, pendapat ini disepakati oleh al- ahabÊ.ى Hadis ini di-Íasan-kan oleh SÉ lim bin „Ôd al-HilÉlÊ, LimÉ a Ikhtartu al-Manhaj al-SalafÊ, DammÉm: DÉr Ibn al-Qayyim, Cet.1, Th. 1422 H, h. 39. 3 HR. Ibnu MÉjah , Kitab: al-Fitan, Jilid. II 1322, No: 3993. Hadis ini di-Íasan-kan oleh SÉ lim bin „Ôd al-HilÉlÊ, Ibid, h. 39. Artinya: “ Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang berjalan di atas jalan yang aku bersama para s ahabatku berada diatasnya ”. 4 Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi  karena semua perselisihan yang terjadi mendapatkan penyelesaian melalui wahyu yang ketika itu masih turun. Di masa ke- khil É fah -an Abu bakar, „Umar, dan „UtsmÉn , kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman. Hingga di masa akhir khalifah „UtsmÉn  dan awal ke- khil É fah- an „AlÊ  mulai bermunculanlah kebidahan dalam hal ibadah dan perselisihan dalam masalah u ÎË lu al-d Ê n dan keimanan yang mengakibatkan mulai bermunculannya firqah dalam Islam. Adalah firqah KhawÉrij 5 kemudian firqah SyÊ ‟ah 6 dan diikuti oleh 4 HR. Turmu Ê No: 2641, al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid I, h. 129. Hadis ini diÍasankan oleh al-AlbÉni dalam Silsilah al-AhÉdits al-ØaÍÊÍah No: 203, 204, dan 1492, dan SÉ lim bin „Ôd al-HilÉlÊ, Ibid, h. 39. 5 KhawÉrij adalah firqah yang pertama kali keluar dari Islam dan kemunculan mereka adalah di antara bukti nubuwwah karena Nabi  dalam banyak hadisnya telah mengisyaratkan kemunculannya. KhawÉrij berasal dari kata KhÉrijah yang keluar, asal penamaan tersebut disebabkan karena mereka keluar dari ket aatan kepada „AlÊ  ىdan memeranginya. Ketika itu mereka berkumpul di daerah ×arËrÉ ‟, jumlah mereka ada sekitar 12.000 orang, sehingga mereka disebut juga dengan ×arËriyah. Sebab keluarnya mereka dari ketaatan adalah penolakan mereka terhadap TaÍkÊm yang dilakukan oleh „AlÊ,  mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah kekufuran. „AlÊ ىmengutus ‘Abdullah bin ‘AbbÉs ىuntuk mengajak mereka berdialog sehingga kembalilah sebagian besar mereka kepada ‘AlÊى. Sebutan KhawÉrij kemudian diperuntukkan untuk menyebut mereka yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang disepakati oleh jamaah dan mereka yang mengkafirkan para pelaku dosa besar murtakibu al-kabÊrah dan menyerukan pemberontakan kepada imam penguasa yang melanggar sunah sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Firqah ini terpecah belah menjadi beberapa sekte dan yang tersisa darinya adalah IbÉÌiyyah sedangkan pemikiran dari firqah ini adalah masih eksis sampai hari ini. Lihat: al- Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa Ikhtil Éfu al-MuÎallÊn, TaÍqÊ q Na‟Êm Zarzur, Beirut: al-Maktabah al-‟AÎriyyah, Cet. 1, Th. 2005, h. 167, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, Beirut: DÉr al-ÓfÉq, Cet. 2, Th. 1977 M, h. 72-73, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, TaÍqÊq MuÍammad Sayyid al-KailÉnÊ, Beirut: DÉr al- Ma‟rifah, Th, 1404 H, Jilid I, h. 114, „AlÊ „Abd al- FattÉÍ al-MaghribÊ, al-Firaq al-KalÉmiyah al-IslÉmiyah Madkhal wa al-DirÉsah, Kairo: Maktabah al-Wahbah, Cet. 3, Th. 1415 H, h. 169-195 dan GhÉ lib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Firaqun Mu‟ÉÎarah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H, Jilid I, h. 226-244. 6 SyÊ ’ah pada awalnya adalah sebutan untuk mereka yang condong menganggap bahwa ‘AlÊى adalah lebih mulia dan berhak atas ke-khilÉfah-an setelah wafatnya Nabi , hal inilah yang disebut para ulama dengan istilah tasyayyu’. Ketika muncul ‘Abdullah bin SabÉ’ ia mendakwakan bahwa kepemimpinan al-imÉmah ‘AlÊى adalah telah tetap berdasarkan nas. Firqah ini semakin jauh dari Is lam, sehingga di masa pemerintahan ‘AlÊ ى mereka dibakar hidup-hidup karena firqah-firqah yang lain seperti Murji‟ah 7 , Mu‟tazilah 8 , Jahmiyah 9 , Qadariyah 10 , Asy‟ariyah 11 , MÉturÊdiyah 12 , al-Nus Ë k Tasawuf 13 , dan lain-lain. 14 Sehingga dari menganggap bahwa ‘AlÊ ى adalah tuhan. Mereka memiliki uÎËl akidah yang bertolak belakang dengan ajaran Islam seperti kemaksuman para imam mereka al- ‘ishmah dan bahwa kedudukan mereka lebih mulia dan utama dari para Nabi dan Rasul, taqiyah menyembunyikan keimanan, raj’ah reinkarnasi, dan lain-lain. Firqah ini disebut pula dengan RÉfiÌah orang yang menolak, sebab penamaannya adalah ketika Zaid bin ‘AlÊ ى -salah seorang imam SyÊ’ah- menolak mengkafirkan Abu Bakar  dan ‘Umar  maka mereka menyatakan bahwa mereka adalah RÉfiÌah menolak Zaid bin ‘AlÊ ى. Sebutan inilah yang pantas untuk mereka setelah terjadinya fitnah di masa ‘AlÊ  karena mereka memiliki keyakinan atas kafirnya seluruh sahabat dan istri Nabi  kecuali hanya beberapa orang saja. SyÊ’ah terpecah belah menjadi lebih dari 15 firqah, adapun di masa ini yang dominan adalah sekte IsmÉ’Êliyah, ItsnÉ ‘Asyariyah, BÉÏiniyah, dan Zaidiyah. Lihat al- Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 65, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq , h. 29, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 146, dan GhÉ lib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎirah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, Jedah: al- Maktabah al- „AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H, Jilid I, h. 303-346. Untuk mendapatkan informasi tentang firqah SyÊ ’ah dapat merujuk kepada disertasi doctoral NÉÎir „Abdullah al-QifÉrÊ, U ÎËlu Ma habi al-SyÊ ‟ah ItsnÉ „Asyariyah „ArÌun wa Naqdun KSA: DÉr al-RiÌÉ, Cet. 1, TT. 7 Murji‟ah adalah firqah yang menganggap bahwa amalan anggota badan tidak termasuk dari keimanan, keimanan seseorang tidaklah dapat dipengaruhi oleh kemaksiatan apapun sebagaimana ketaatan tidaklah akan bermanfaat bagi mereka yang kafir kepada Allah . Menurut mereka iman adalah sekedar mengenal al- ma‟rifah dan bahwa ia adalah sesuatu yang tetap keberadaannya, ia tidak naik dan tidak turun sehingga tidak ada perbedaan keutamaan hamba di hadapan Allah . Lihat al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 213, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq , h. 29, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al- Ni Íal, Jilid I, h. 139, dan GhÉ lib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, Jedah: al-Maktabah al- „AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H, Jilid III, h. 1069-1125. Murji‟ah terbagi menjadi dua; Pertama, Murji‟ah FuqahÉ‟ yaitu mereka yang berpendapat bahwa amalan bukanlah syarat atau bagian dari iman, pendapat ini banyak dipegang oleh AÍnÉf pengikut mazhab ×anafÊ dan pendapat ini adalah marjËh dan bertentangan dengan Alquran, sunah, dan pendapat salaf. Kedua, Murji‟ah Mubtadi‟ah, mereka adalah Jahmiyah yang berpendapat bahwa keimanan adalah sekedar pengenalan kalbu ma‟rifatu al-qalb. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, al-Mukhtashar al-HatsÊts fÊ BayÉni UÎËli manhaji al-Salaf AÎÍÉbi al-×adÊts fÊ Talaqqi al-DÊn wa Fahmihi wa al- ‘Amal bihi, Kuwait: GhirÉs, Cet. 2, Th. 1430 H, h. 34. 8 Mu‟tazilah adalah salah satu firqah dalam Islam yang muncul pada awal abad kedua hijrah dan mengalami puncak kejayaan di masa khilÉfah Abbasiyah yang pertama. Penamaan Mu‟tazilah diambil dari kata al-i‟tizÉl memisahkan diri, karena pemimpin mereka yang bernama WÉÎ il bin „AÏÉ‟ memisahkan diri dari Íalaqah ×asan al-BaÎrÊ, yaitu ketika ia ditanya tentang hukum pelaku dosa besar, ia ×asan al-BaÎr Ê menjawab, ‘bahwa ia tetap beriman’. Ketika itu WÉÎ il bin „AÏÉ‟ mengatakan, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir akan tetapi ia berada di antara dua kedudukan al-manzilah baina al-manzilatain. Kemudian WÉÎ il bin „AÏÉ‟ memisahkan diri dan diikuti oleh „Amr bin „Ubaid dan kemudian diikuti oleh pengikut mereka berdua dan mereka dinamakan Mu‟tazilah. Firqah ini memiliki ciri mendahulukan akal dari pada naqal, bahkan mereka berlebih- lebihan dalam mengkultuskan akal sehingga menjadikannya sebagai tolok ukur kebenaran yang bersifat qaÏ ‟Ê sedangkan dilÉlah nas-nas syariat adalah ÐannÊ. Firqah ini memiliki dua pusat madrasah; Pertama, madrasah BaÎrah dan di antara mereka adalah WÉÎil b in „AÏÉ‟, „Amr bin „Ubaid, Abu Hu ail al-„AllÉf, IbrÉhÊm al-NaÐÐÉm, dan al-JÉhi . Kedua, madrasah Baghdad dan di antara mereka adalah Basyar bin Mu‟tamir, Abu MËsÉ al-Murdar, TsumÉmah bin Asyrasy, dan AÍ mad bin Abu Du‟ad. Sedangkan ushËl akidah Mu‟tazilah ada lima al-uÎËl al-khamsah yaitu: al- „adlu, al-tawÍÊd, al-manzilah baina al-manzilatain, al-wa‟du wa al-wa‟Êd, dan al-amru bi al- ma‟rËf wa al-nahyu „an al-munkar. Pemahaman mereka atas lima uÎËl akidah di atas adalah berbeda dengan Ahlusunah waljamaah. Dan Mu‟tazilah dengan seluruh firqahnya bersepakat atas kewajiban mengambil al-uÎËl al-khamsah, dan tidaklah seseorang dikatakan sebagai mu‟tazilÊ melainkan apabila ia harus meyakininya. Disebutkan dalam al-BurhÉnu fÊ „AqÉidi Ahli al-AdyÉn, h. 26-27, bahwa mazhab Mu‟tazilah adalah gabungan dari akidah Jahmiyah dalam menafikan ÎifÉt Allah  dan akidah Qadariyah dalam mengingkari takdir dan akidah I‟tizÉl. Mereka bersepakat atas penafian ÎifÉt Allah  dan bahwa KalÉm Allah  adalah muÍdats. Dia Allah  berbicara dengan suatu pembicaraan yang Ia ciptakan pada selain diri-Nya sehingga menurut mereka Alquran adalah makhluk. Mereka juga berakidah bahwa Allah  tidaklah menciptakan perbuatan hamba akan tetapi hambalah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri, mereka menyatakan bahwa seseorang bisa terbunuh sebelum tiba ajalnya, sebagaimana pula mereka mengingkari syafÉ ‟at Nabi  untuk para pelaku dosa besar di hari Kiamat. Lihat: MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 235, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 114, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al- SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 46- 49, „AlÊ „Abd al-FattÉÍ al-MaghrÊbÊ, al-Firaq al- Kal Émiyah, h. 196-266, GhÉ lib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah, Jilid III, h. 1201, dan lihat pula Ta„lÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim atas al-IbÉnah Mesir: DÉr al- BaÎÊrah, Cet. 1, Th. 2003, h. 59-60. 9 Jahmiyah adalah firqah sesat yang muncul di awal abad kedua hijrah setelah masa sahabat. Penamaan firqah ini adalah nisbah kepada Abu MuÍriz Jahm bin ØafwÉn w. 128 H al- ÌÉll al- mubtadi‟ yang mana ia mengambil akidahnya dari Ja‟ad bin Dirham w. 124 H dan kemudian menjadi penerus pendapat-pendapatnya. Mereka mengingkari ÎifÉt Allah  dengan anggapan tanzÊh penyucikan Allah  dari tasybÊh sehingga mereka disebut juga dengan Mu‟aÏÏilah, dan mereka juga menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk, dan bahwasanya Allah  berada di semua tempat. Mereka mengingkari kekekalan surga dan neraka. Lihat: AÍmad bin „AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ fi NuÎËÎi al-ØifÉt ÓrÌun wa Naqdun, RiyÉÌ: DÉr al-AÎimah, TT, h. 26-29, GhÉ lib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah, Jilid III, h. 1129-1160, dan Ta„lÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim atas al-IbÉnah, h. 64. 10 Qadariyah adalah sebutan bagi mereka yang mengingkari takdir, adapun bidah pengingkaran terhadap takdir pertama kali disuarakan oleh Ma‟bad al-JuhanÊ di BaÎrah di masa akhir generasi sahabat. Firqah ini mengingkari ilmu Allah  dan mengatakan bahwa semua kejadian terjadi begitu saja al-amru unufun tanpa ada ketetapan takdir sebelumnya. Firqah ini disebut dengan GhulÉt Qadariyah, kemudian firqah ini berkembang dan mazhab mereka dalam masalah takdir diikuti oleh Mu‟tazilah, hanya saja yang membedakan antara keduanya adalah Mu‟tazilah menetapkan ilmu bagi Allah  dan menyatakan bahwa hamba menciptakan perbuatannya sendiri. Lihat: „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 117-120, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 43 dan AÍmad bin „AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ, h. 25. 11 Pembahasan tentang firqah ini ada di Bab IV. 12 MÉturÊdiyah adalah firqah kalÉmiyah yang dinisbatkan kepada Abu ManÎËr MuÍammad bin MuÍammad al-MÉturÊdÊ w. 333 H. Firqah ini dalam masalah uÎËl akidahnya mirip dengan Asy’ariyah, sehingga dalam banyak hal ia mencocoki Ahlusunah dan berbeda dalam hal-hal yang lain seperti masalah tauhid, penetapan sebagian ÎifÉt Allah , dalam masalah iman mereka sejalan dengan Murji’ah dalam pendapat bahwa amalan bukan termasuk rukun keimanan, dan bahwa ia tidaklah dapat naik atau turun. Untuk memperoleh gambaran tentang firqah ini dapat merujuk kepada MuÍammad bin ‘AbdurraÍman al-Khumayyis, ×iwÉrun Ma’a Asy’ariyyin wa yalÊhi al- MÉturÊdiyah Raibatu al-KullÉbiyah, RiyÉÌ: Maktabatu al- Ma’Érif li al-Nasyri wa al-TawzÊ’, Cet. 1, Th. 1426 H, h. 155-168. 13 Ibnu Taimiyah cenderung menilai bahwa Tasawuf adalah nisbah kepada pakaian ÎËf wol sedang pelakunya disebut dengan ÎËfiyyah ahli tasawuf. Ia merupakan istilah baru yang tidak pernah digunakan untuk menyebut kaum Salaf yang dikenal dengan sebutan ahli agama, ahli ilmu dan ahli qirÉ ‟Ét. Istilah ini mencakup para ulama dan para ahli ibadah. al-Furqan Bayna Auliy É ‟ al-RaÍmÉn wa AuliyÉ‟ al-SyaiÏÉn, h. 42. Ahli tasawuf dibedakan menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok para syaikh yang makrifat dan lurus, mereka memerintahkan kepada para ahli sini semakin tajamlah perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam, mengingat setiap firqah memiliki u ÎË l yang mereka pertahankan. Hal ini merupakan bukti kebenaran apa yang disabdakan oleh Nabi  di atas. 15 Secara lebih khusus, Nabi  telah menjelaskan jalan keluar dari perselisihan yang terjadi di tengah umat sepeninggalnya. Beliau  bersabda: ى ىَنْيِ ِش ىِءاَفَ ُْْ ىِ ُ ىَ ىِِْ ُسِبىْمُكْلَ َ ََ ى ً َْلِثَكىاً َاِفْخِ ى َ ََلَسَ ىْيِ ْ ََبىْمُكْ ِمىْشِ َيىْنَمىُهنِإَ ىِذ ِا َ َ اِبىاَ َْلَ َ ى َ ىْيِ ْ ََبىْنِمىَْ َيِ ْ َمْ Artinya: “ Sesungguhnya siapa saja yang hidup setelahku ia akan melihat perselisihan yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para al-Khulaf É al-R É syid Ê n yang mendapatkan petunjuk setelahku dan gigitlah ia dengan gigi geraham ”. 16 Ibnu Abbas  w. 68 H meriwayatkan bahwa Nabi  bersabda: ىِِْ ُ ىَ ىِه ىَباَفِكىىً َبَ ىى ْ ِ َتىْنَ ىاَمِِِىْمُفْكسَََىْنِ ىاَمىْمُكْلِ ىُ ْكَ ََت Artinya: “ Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: kitab Allah  dan sunnahku ”. 17 olah hati dan zuhud agar berpegang kepada Alquran dan sunah. Kelompok ini adalah termasuk Ahlusunah, di antara mereka adalah al- Junaid bin Muhammad yang telah berkata, „Ilmu kita dibatasi oleh Alquran dan sunah, maka barangsiapa belum membaca Alquran dan menulis Hadis tidaklah layak berbicara dengan ilmu kita‟. Kedua, mereka yang memasukkan berbagai macam bidah, kefasikan, dan penyimpangan ke dalam tarekat mereka. Mereka telah keluar dari Ahlusunah dan telah dikecam oleh Allah , Rasulullah  dan wali-wali yang bertaqwa. Di antara kebidahan yang mereka perbuat adalah menganggap bahwa ada sebagian wali yang dapat keluar dari syariat Nabi Muhammad , setara dengannya, atau bahkan lebih hebat darinya. al-Raddu „ala al- Man ÏÊqiyyÊn, h. 514-516 dan al-Øafdiyyah, Jilid I, h. 267 dengan perantaraan AÍmad bin Abd al- „AzÊz al-×ulaibÊ, UÎËlu al-×ukmi „ala al-Mubtadi‟ah „Inda Syaikh al-IslÉm Ibn Taimiyah, dengan terjemah Dasar Membid‟ahkan Orang Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Surabaya: Elba, Cet. 1, Th. 2007, 69. 14 NÉÎ ir „Abdullah al-QifÉrÊ, UÎËlu Ma habi al-SyÊ‟ah al-ImÉmiyah al-ItsnÉ „Asyariyah „ArÌun wa Naqdun Tanpa Penerbit, Cet. 2, Th. 1415 H, Jilid. I, h. 5-6. 15 MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, WasaÏiya tu Ahli al-Sunnah Baina al- Firaq, Jeddah: DÉr al-RÉyah, Cet. 1, Th. 1994, h. 289. 16 HR. AÍmad dalam al-Musnad, Jilid. IV 126 dan Abu Dawud No: 4607 disahihkan oleh al-AlbÉnÊ dalam ØahÊh al-JÉ mi‟, No: 2546. 17 HR. Al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid. I 93 dan disahihkan oleh al-AlbÉnÊ dalam ØahÊh al-JÉ mi‟ , No: 2934. Dua hadis diatas menjelaskan bahwa perselisihan di tengah umat Islam merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang teguh dengan sunah beliau  dan para sahabatnya. Syaikh „Abdullah al-GhunaimÉn menjelaskan bahwa sebab perselisihan dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu: 18 1. Sebab-sebab dari dalam umat Islam, di antaranya; a. memperturutkan hawa nafsu. Hal inilah pendorong utama seseorang untuk menyimpang dari kebenaran dan menolaknya. b. kebodohan. Hal ini adalah penyebab utama yang menyebabkan seseorang jatuh pada kebidahan dan perselisihan. c. sikap melampaui batas yang telah ditetapkan oleh syariat al-ghuluw dan al-ifr ÉÏ. Hal ini adalah sebab yang mendorong terjadinya firqah dalam Islam. Di antara contoh riil dari hal ini adalah ghuluw- nya SyÊ ‟ah kepada „AlÊ bin Abi ÙÉlib  dan para imam mereka sehingga muncul keyakinan adanya al- ‟iÎ mah pada imam-imam mereka, demikian pula ghuluw- nya KhawÉrij terhadap ayat-ayat wa‟Ê d ancaman, dan ghuluw- nya Jabariyah 19 dalam penetapan takdir. d. ta‟wÊ l terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil. Hal ini adalah di antara penyebab utama terjadinya iftir É q dan ibtid É ‟ di tengah-tengah umat. Ibnu 18 „Abdullah al-GhunaimÉn, AsbÉbu ÚuhËri al-Firaq al-IslÉmiyah, Majallah Kuliyyatu UÎËli al-DÊn JÉ mi‟atu al-ImÉm, Volume. 2, Th. 1399 M 1400 H, h. 154. 19 Firqah ini adalah kebalikan dari firqah Qadariyah, mereka yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga menafikan ikhtiar hamba, sehingga tak ubahnya makhluk adalah boneka-boneka Allah , mereka mengingkari irÉdah syar‟iyah bagi Allah  dan mengatakan bahwa kekafiran dan kemaksiatan adalah sesuatu yang diinginkan dan dicintai oleh-Nya. Lihat: „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 117-120, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 43, AÍmad bin „AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, Ma ÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ, h. 25 dan IbrÉhÊ m bin ‟Ómir al-RuÍailÊ, al-MukhtaÎar fÊ ‟AqÊdati al- Salafi f Ê al-Qadar, Kairo: DÉr al-ImÉm Aímad, Cet. 1, Th. 1428 H, h. 59. Qayyim w. 751 H menjelaskan, ”tidaklah terpecah-belah Ahlu al-Kit É b dan umat Islam melainkan disebabkan mereka menggunakan ta‟wÊ l , dan ia adalah sebab tertumpahnya darah kaum muslim di perang ØiffÊn dan Jamal ”. 20 e. menjadikan akal sebagai tolok ukur dalam menerima nas-nas syariat. Ini merupakan salah satu prinsip Mu‟tazilah dalam menerima nas. Al-QÉÌÊ „Abd al-JabbÉr menjelaskan, bahwa dalil itu diambil dari empat hal; ke- hujah -an akal, Alquran, sunah, dan ijm É ‟ , sedangkan pengenalan terhadap Allah  hanya dapat diperoleh dengan akal. 21 2. Sebab-sebab dan pengaruh dari luar umat Islam, di antaranya; a. adanya pembukaan-pembukaan wilayah Islam fut ËÍÉ t isl É miyah yang menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran 22 dari luar Islam. b. banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih akidah, sehingga menimbulkan pengaruh dalam pemahaman keislaman. 20 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lÉmu al-MuwÉqqi‟Ên „an Rabbi al-„ÓlamÊn TaÍqÊq ÙÉhÉ „Abd al-Ra‟Ëf Sa‟ad, Beirut: DÉr al-JÊl, Th. 1973, Jilid. IV, h. 317. 21 SyarÍ UÎËli al-Khamsah, h. 88 dinukil dari MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, WasaÏiyatu Ahli al-Sunnah, h. 300. 22 Secara etimologi, “pemikiran” berarti proses, cara, atau perbuatan berpikir. Lihat, Kamus Bahasa Indonesia , hal. 1181 . Dalam pengertian istilah, “pemikiran” dapat dipahami sebagai sesuatu yang dimaksud kalimat “apa yang ada dalam diri mereka”. Ini dapat dipahami dari firman Allah : “Sesungguhnya Allah  tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada ada dalam diri mereka sendiri ” QS. Al-Ra‟du: 11. Dengan demikian bidang pemikiran menyangkut suatu wujud batiniah yang sangat eksistensial yang berperan membentuk, mempertahankan atau mengembangkan apa yang ada pada suatu kaum, seperti kekayaan, keruntuhan, keadaan masa depan dan sebagainya. Apa yang ada dalam diri manusia, termasuk di antaranya pemikiran menjadi jelas. Oleh karena adanya keinginan perubahan “nasib” suatu kelompok manusia, maka salah satu yang amat penting adalah usaha ke arah terjadinya perubahan dalam cara berpikir kelompok itu. Lihat, Nurcholish Madjid, Masalah Tradisi dan Inovasi Keislaman dalam bidang Pemikiran serta Tantangan dan Harapannya di Indonesia Jakarta: Simposium Festifal Istiqlal, 21-24 Oktober 1991, h. 4-5. c. penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik logika Yunani, serta usaha untuk mempelajari dan mendalaminya. Sejarah mencatat bahwa diantara sebab yang menyebabkan perpecahan ditengah umat islam adalah masuknya ilmu kal É m 23 yang sangat terpengaruh oleh ilmu mantik logika dan filsafat Yunani ke negeri-negeri Islam. Ilmu mantik ini muncul sejak 800 tahun sebelum Islam, karena Aristoteles sang pencetus ilmu ini lahir pada tahun 384 sebelum Masehi. Adapun filsafat 24 , maka dia muncul 23 Menurut Ibnu Khaldun w. 808 H, ilmu kalÉm adalah ilmu yang membahas permasalahan akidah dan iman dengan berdasarkan dalil-dalil akal semata serta membantah para ahli bidah yang menyimpang dari mazhab Salaf dan Ahlusunah. Dikemudian hari ilmu tersebut tercampuri oleh filsafat sehingga sulit untuk dibedakan. Secara etimologi al-kalÉm berarti pembicaraan, sebab penamaan tersebut tidak lain karena ilmu tersebut sebenarnya adalah pembicaraan atau argumentasi akal tentang akidah dan iman dengan tanpa mengindahkan nas-nas syariat. Ilmu ini disandarkan kepada Mu‟tazilah, dan pertama kali digunakan dalam memahami ak idah dan iman di masa „Amr bin „Ubaid w. 114 H di mana ia mengggunakannya untuk mengingkari takdir dan memahami nas-nas yang berisi janji dan ancaman al- wa‟du wa al-wa‟Êd. Kemudian di masa al- „AllÉf dan al-NaÐÐÉm dan setelahnya dari mutakallimËn, mereka pergunakan untuk menafikan sifat-sifat Allah . Lihat „AbdurraÍman Ibn Khaldun, MuqaddimÉt Ibn Khaldun, Alexandria: DÉ r Ibn Khaldun, TT, h. 458, „AlÉ‟ Bakr, MalÉmiÍ RaÊsiyyah li al-Manhaj al-SalafÊ, Mesir: Maktabah al-FayyÉÌ, Cet. 1, Th. 1432 H, h. 2 23, dan „Abdullah Zaen, Imam Syafi‟i Menggugat Syirik, Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, Cet. 1, Th. 1428 H, h. 16. 24 Kata filsafat al-falsafah adalah kata „ajam yang berarti hikmah al-Íikmah, lihat Lis Én al- „Arab, XI 180. Sedangkan kata Filosof, ia berasal dari bahasa Yunani, yaitu filo yang berarti orang yang mencintai dan sofia yang berarti hikmah, sehingga ia bermakna orang yang mencintai hikmah. Lihat al-SyahrasytÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid 2, h. 117. Mengenai pengaruh filsafat terhadap Islam maka ia adalah di antara hal yang telah merusak akidah Islam dan kaum muslim karena pada dasarnya ia adalah sebuah metode manhaj yang digunakan oleh orang-orang Yunani untuk memahami masalah ilÉhiyyÉt dengan mengerahkan potensi akal. Dr. ×amdÊ ×ayallÉh dalam kitabnya Atsaru al-Tafalsuf al-IslÉmÊ, menjelaskan bahwa filsafat telah mengakibatkan adanya penyimpangan pemikiran al-taÍrÊf al- manhaj Ê yang menimpa pemikiran Islam disebabkan adanya pencampuradukan dengan pemikiran paganis Yunani melalui para filosof Ahlu al-KalÉm yang telah mendekonstruksi pemikiran Islam dengan menggantinya dengan filsafat Yunani melalui para filosof dari kalangan ahli tasawuf. Dr. SÉmÊ al-NasysyÉr bahkan menyatakan bahwa para filosof muslim seperti al-KindÊ, al-FarÉbÊ, Ibnu SÊnÉ, Ibnu BÉjah, Abu al-BarakÉt al-BaghdÉdÊ, Ibnu Ùufail, Ibnu Rusyd, dan selain mereka tidaklah mendatangkan sesuatu yang baru dari hasil kontak mereka terhadap pemikiran para filosof Yunani yang paganis. Sehingga karya-karya yang mereka tulis adalah daur ulang dari pemikiran Plato yang telah mereka olah dengan pemikiran Islam dan tidaklah membuahkan melainkan kegagalan. Lihat ulasan masalah ini dalam ta’lÊq dan taÍqÊq „Abdullah SyÉkir al-JunaidÊ dalam Ris Élatun ilÉ Ahli Tsaghr, Madinah: Maktabatu al- „UlËmu wa al-Hikam, Cet. 1, Th. 1409 H, h. 135. sekitar 5 abad sebelum kelahiran Isa . Maka jelaslah bahwa ilmu mantik dan filsafat bukanlah dari Islam. 25 d. masuk islamnya sebagian misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain dengan tujuan untuk merusak Islam. Di antara mereka adalah „Abdullah bin Saba‟ al-YahËd yang telah menyebarkan ghuluw kepada „AlÊ  sehingga muncullah firqah SyÊ ‟ah, Ja‟ad bin Dirham w. 124 H yang menyebarkan akidah ta‟ÏÊ l terhadap asm É’ dan ÎifÉt Allah  dan Alquran adalah makhluk. Dua pendapat ini merupakan pendapat yang ia warisi dari LabÊ d bin A‟Îam, seorang Yahudi yang telah menyihir Nabi  di Madinah. Demikian pula Ma‟bad al-Juhani yang memprakarsai munculnya firqah Qadariyah, iapun mengambil pendapatnya dari seorang NaÎrani yang bernama Sausan, ia masuk Islam kemudian kembali kepada kekafiran. 26 Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn menambahkan, bahwa perpecahan di tengah umat Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1 adanya makar dan tipu daya dari musuh-musuh Islam untuk memecah-belah mereka, 2 fenomena fanatisme ta‟aÎÎ ub kepada mazhab atau golongan tertentu, 3 tidak diindahkannya kebidahan dan kesesatan hingga tersebar luas di masyarakat, 4 peremehan terhadap Ï alabu al- ‟ilmi syar‟i berdasarkan manhaj 27 salaf, 5 sikap 25 MausË ‟ah Żalsafah, Jilid I, h. 98, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid 2, h. 117, dan JÉnib IlÉhi Min Tafk Êr IslÉmi, h. 10 Diringkas dari Armen Halim Naro, Antara Islam dan Filsafat, Filsafat Islam Konspirasi Keji , dan Pembawa Bendera Filsafat Islam, Majalah Al Furqon Th. 6 Ramadhan-Syawal 1427 H, h. 3, 27-41. 26 MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, Wa saÏiyatu Ahli al-Sunnah, h. 300-301, „AlawÊ „Abd al-QadÊr al-SaqqÉf, MukhtaÎar KitÉb al-I‟tiÎÉm, RiyÉÌ: DÉr al-Hijrah, Cet.1, 1424 H, h. 118-119. 27 Secara etimologi, kata manhaj atau al-minhÉj berarti jalan yang terang dan mudah, hal ini sebagaimana firman Allah : “Masing-masing dari kalian para nabi, Kami jadikan mempunyai syariat dan minh Éj ” QS. Al-MÉidah: 48. Ibnu Abbas  menafsirkan kata syariat dan minh Éj dengan sabÊlan wa sunnatan jalan dan sunah. Lihat Øafiyyu al-RaÍmÉn al-MubÉrakfËrÊ, menerima semua bentuk pemikiran yang masuk dalam Islam tanpa menimbang kebenarannya dengan Alquran dan sunah, dan 6 tidak optimalnya amar ma‟ruf nahi munkar . 28 Dua pendapat di atas diakui pula oleh Harun Nasution. Ia menuturkan, bahwa diantara yang menimbulkan perpecahan umat islam adalah banyaknya terjadi kontak kaum muslim dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran- pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari sinilah mulai bermunculan paham-paham yang berseberangan dengan Islam al-Mi ÎbÉhu al-MunÊr fi Tah Êbi TafsÊr Ibnu KatsÊr, RiyÉÌ: DÉr al-SalÉm, Cet. 2, Th. 1421 H, h. 515 dan MuÍammad bin „AlÊ al-SyaukÉni, FatÍu al-QadÊr, TaÍqÊq „AbdurraÍman Umairah, Mesir: DÉr al-WafÉ, Cet. 3, Th. 1426 H, Jilid. II, h. 383. Sehingga makna ayat tersebut secara global adalah Allah  menjadikan bagi para nabi-Nya syariat dan sunah yang berbeda satu dengan yang selainnya termasuk di dalamnya adalah rincian-rincian darinya secara jelas, hanya saja inti dakwah mereka adalah satu yaitu tawÍÊdullah. Dari penjelasan makna manhaj diatas dapat disimpulkan, bahwa ia adalah sinonim dari sunah, sehingga manhaj dapat diartikan dengan cara beragama yang benar sesuai dengan apa yang telah Allah  syariatkan kepada rasul-Nya . Lihat „Abd al-Hakim bin Abdat, Lau KÉnÉ Khairan LasabaqËnÉ ilaihi, Jakarta: Darul Qalam, Cet. 2, Th. 2006, h. 39-42. Hanya saja kata manhaj memiliki pergeseran makna di kalangan mutaakhkhirÊn, sehingga ia dimaknai dengan al-ÍuÏÏah al-marsËmah jalan atau metode yang telah ditetapkan sebagai contoh adalah kata manhaj al-dirÉsah yang bermakna kurikulum pembelajaran atau manhaj al- ta‟lÊm yang bermakna metode pengajaran. Lihat Mujamma al-Lughati al-„Arabiyyah BilÉdu MiÎr, al- Mu‟jam al-WasÊÏ, Mesir: Maktabatu al-SyurËq al-Dawliyyah, Cet. 5, Th. 1431 H, h. 996. Oleh sebab itu manhaj dapat pula diartikan dengan kaidah-kaidah dan ketentuan- ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiah, seperti kaidah-kaidah bahasa Arab, u ÎËl akidah, uÎËl fikih, dan uÎËl tafsir di mana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, al-Mukhtashar al- Hats Êts, hal. 31 dan Yazid Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf ”, Bogor: Pustaka At- Taqwa, Cet. 4, Th. 2010, h. 13. Arti penting manhaj adalah sebagai suatu tatanan dan aturan dalam menekuni dan meniti suatu disiplin ilmu sehingga dapat menghantarkan kepada tujuan yang diinginkan. Sebagaimana pula ia membatasi dan mengatur akal manusia dan kerja pikirannya dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati dan telah tetap. Karena suatu disiplin ilmu hanyalah dapat tegak dan berkembang manakala ia memiliki suatu jalan atau aturan yang benar yang menghimpun seluruh hal yang terkait dengannya. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, Ibid, hal. 31. Syaikh Dr. ØÉliÍ bin FauzÉn menjelaskan perbedaan antara akidah dan manhaj, beliau berkata: “Manhaj lebih umum daripada akidah, manhaj diterapkan dalam aqidah, suluk, akhlak, muamalah, dan semua kehidupan seorang muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang muslim dikatakan manhaj. Adapun yang dimaksud dengan akidah adalah pokok iman, makna dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya. Inilah akidah.” Lihat al-Ajwibah al-Muf Ê dah „an Asilati al- Man Éhiji al-JadÊdah, Kairo: Maktabatu al-Hadyu al-MuÍammadÊ, Cet. 1, Th. 1429 H, h. 131. 28 Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn, TaÍqÊq HadÊtsu IftirÉqi al-Ummah, hal: 32-35. seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Fatalis , dan Mu‟tazilah. 29 Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke dalam Isla m. Kaum Mu‟tazilah dalam hal ini adalah yang banyak terpengaruhi sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal. 30 Pada perkembangannya, penggunaan akal telah dipergunakan oleh Mu‟tazilah 31 untuk memahami tentang keimanan Il É hiyy É t dan mereka tidak lagi menggunakan nas dalil sebagai pijakan dalam memahaminya. Di antara pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎ il bin „AÏÉ‟, yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah  dan mereka berkeyakinan bahwa Allah  tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka pemberian sifat kepada Allah  membawa kepada kesyirikan atau politeisme. Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat qad Ê m permulaan akan banyak, maka untuk memelihara tauhid atau kemahaesaan Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi Tuhan itu sendiri. 32 Pemikiran- pemikiran rasional Mu‟tazilah dalam masalah teologi ini terus dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hu ail al- „AllÉf 135- 29 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, Jilid 2, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, Th. 1985 , h. 37. 30 Ibid, h. 38. 31 Vasalou, Sophia. 2009. “Their Intention was Shown by Their Bodily Movements” : The Basran Mu‟tazilites on the Institution of Language. Journal of The History of Philosophy, 47 2, 201-221. Retrieved from http:search.proquest.comdockview210624993?accountid=34598 32 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, Jilid 2, h. 38, dan SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Grafindo, Th. 1996, h. 118-120. 235 H, al-NaÐÐÉm 185-221 H, al-Murdar w. 226 H, al-JÉÍiÌ w. 256 H, al- JubÉ ‟Ê w. 295 H, al-KhayyÉÏ w. 300 H, Abu HÉsyim w. 321 H, dan lain- lain. 33 Di an tara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ 873-935 M yang merupakan murid besar dari al-JubÉ ‟Ê. 34 Abu al-×asan al- Asy‟arÊ pada perkembangan pemikiran dan pemahaman teologinya ia berbalik menyerang ideologinya yang dahulu ia pegangi yaitu Mu‟tazilah. Di antara yang ia tolak dari teologi Mu‟tazilah adalah penafian terhadap sifat Allah . Ia mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan tidak mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui dengan sifat-Nya. 35 Hanya saja para ulama menjelaskan bahwa pada masa awal penentangannya terhadap Mu‟tazilah, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ sebenarnya masih dalam kegoncangan antara pemikiran teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik logika dan kecondongannya kepada Ahlusunah waljamaah atau A ÎÍÉ b al- × ad Êt s dan iapun jatuh pada pemahaman KullÉbiyah. 36 Sehingga dalam penetapan sifat-sifat bagi Allah , ia hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah  yang ia anggap sesuai dengan akal manusia. Adapun Î ifat khabariyah tentang Allah  iapun menakwilkannya. 37 33 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, h. 39. 34 SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 158. 35 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, h. 40. 36 MuÍammad bin ØÉliÍ al- „UtsaimÊn, al-QawÉ‟idu al-MutslÉ fi ØifÉtillahi wa AsmÉ‟illahi al- ×usnÉ, TaÍqÊq dan TakhrÊj HÉnÊ al-×Éj, Kairo: Maktabah al- „Ilmu, Cet. 1, Th. 1427 H, h. 65. 37 Ibid, h. 66. Apa yang dicetuskan oleh al- Asy‟arÊ ketika itu tersebar ditengah masyarakat dan menjadi titik awal berkembangnya teologi Asy‟ariyah. 38 Sikap sejalan dengan Abu al-×asan al- Asy‟arÊ juga dilakukan oleh Abu ManÎËr al- MÉtËridÊ w. 333 H dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al- Asy‟arÊ terutama dalam masalah penetapan Î ifat bagi Allah  dan iapun menentang Mu‟tazilah. 39 Dalam penetapan Î ifat Allah  ia sejalan dengan al-Asy‟arÊ yaitu menggunakan akal sebagai tolok ukur, dan ia menambahkan 13 sifat tambahan bagi Allah  selain apa yang diprakarsai oleh al-Asy‟arÊ sehingga genaplah menjadi 20 sifat bagi Allah . 40 Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi Allah  yang wajib diyakini menurut AsyÉirah 41 . 42 Dalam perkembangannya, mazhab atau aliran ini berkembang ditengah masyarakat dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di ى kala itu. Abu al-×asan al- Asy‟arÊ dalam perjalanan pemikirannya tidaklah berhenti sampai disitu, namun ia kemudian menyadari bahwa apa yang ia yakini dan ia tetapkan sebelumnya adalah keliru dan iapun mengakui bahwa akidah yang ia yakini sebelumnya adalah keliru dan ia menyatakan bahwa akidah yang benar adalah apa yang Imam 38 Frank, Richard M. 2008. Classical Islamic Theology: The Ash‟arites. Texts and Studies on The Development and History of Kalam. Vol. III. Variorum Collected Studies Series. Burlington V.T. and Aldershot: Ashgate. Pp 428 + x. £77.50. 39 SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 163. 40 Agus Hasan Bashari, Abul Hasan al- Asy‟arÊ Imam yang Terzhalimi, Malang: Pustaka Qiblati, Cet. 1, Th 2009, h. 142, Abu IbrÉhÊm, Abu al-Hasan al- Asy‟arÊ, Majalah as-Sunnah, No: 1, Th. 1 November 1992, h. 49, dan Abu Nu‟aim al-Atsary, Menyoal sifat wajib 20 dalam: http:thetrueideas.multiply.comjournalitem429. 41 Asy‟ariyah adalah sebutan bagi para pengikut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ –dimasa ia belum bertaubat dan membenarkan akidah Imam AÍmad -, namun AsyÉ ‟irah adalah sebutan untuk ajaran itu sendiri, lihat AÍmad MaÍmËd ØubÍÊ, FÊ Ilmi al-KalÉm, DirÉsah Falsafiah li ÓrÉ ‟il Firaq Al-Isl Émiyah fÊ UÎËli al-DÊn, Beirut: DÉr ى al-NahÌah al-‟Arabiyyah, Cet. 1, Th. 1981, Jilid 2, h. 14. 42 Agus Hasan Bashari dan Abu Nu‟aim al-Atsary, Abul ×asan al-Asy‟arÊ. AÍmad bin Hanbal berada diatasnya, terutama dalam masalah asm É’ dan Î if É t karena pada sisi itulah terjadi perpecahan dan perdebatan dalam dunia ilmu kal É m . Ibnu KatsÊr w. 774 H berkata, „Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abu al-×asan al- Asy‟arÊ memiliki tiga fase pemikiran: Pertama , mengikuti pemikiran Mu‟tazilah yang kemudian beliau keluar darinya, Kedua , menetapkan tujuh Î if É t aqliyyah, yaitu; × ay É t, ‟ Ilmu, Qudrah, Ir É dah, Sama‟, BaÎ ar, dan Kal É m, dan beliau menakwil Î if É t khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga , menetapkan semua Î ifat Allah  tanpa taky Ê f dan tasyb Ê h sesuai manhaj para salaf 43 , inilah jalan yang ia pilih dalam kitabnya yang berjudul al-Ib É n a h yang merupakan akhir karangannya ‟. 44 Abu al-×asan al- Asy‟arÊ berkata bahwa, “Pendapat yang kami pegang dan agama yang kami yakini adalah berpegang kepada kitab Rabb kami  dan sunah Nabi kami  dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi‟in, dan para imam hadis. Kami berpegang kepada semua itu dan kami mengatakan apa yang diucapkan oleh Abu „Abdillah AÍmad bin MuÍammad bin ×anbal -semoga Allah  mengangkat derajatnya dan mengagungkan pahalanya-. Kami menyelisihi pendapat yang menyelisihi ucapannya, karena ia adalah imam yang agung, pemimpin yang mulia, yang dengannya Allah  menjelaskan kebenaran dan menepis kesesatan orang-orang yang ragu. Semoga Allah  melimpahkan rahmat 43 Lihat Scharbrodt, Oliver. 2013. The Salafiyya and Sufism: MuÍ ammad „Abduh and His Ris Élat al-WÉridÉt Treatise on Mystical Inspiration. Western Kentucky University. 44 Ibnu KatsÊr, al-BidÉyah wa al-NihÉyah, TaÍqÊq „Abdullah bin „Abd al-MuÍsin al-TurkÊ, DÉr al-Hajar, Cet. 1, Th. 1417 H, Jilid XI, h. 187. atasnya.” 45 Ucapan al- Asy‟arÊ di atas menunjukkan pertaubatannya dari akidah yang sebelumnya ia yakini dan pernyataannya atas kebenaran mazhab Ahlusunah waljamaah atau A Î h É b al-Had Ê ts 46 , yang mana sosok Imam AÍmad bin ×anbal di kala itu diakui sebagai salah seorang pembawa benderanya. Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh al-A sy‟arÊ sebelum ia kembali kepada manhaj yang Í aq , hingga kini masih bergulir dan digeluti oleh banyak kaum muslim. Hal yang paling menonjol adalah penetapan 7 sifat wajib bagi Allah  yang kemudian dikembangkan oleh mutaakhir Ê n Asy‟ariyah sehingga menjadi 20 sifat 47 dan penakwilan Î if É t khabariyah . Inilah yang kemudian menjadi akidah Asyariyah dalam penetapan Î if É t Allah . 48 Dalam perkembangannya, pemikiran kal É m Asyariyah telah melewati masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlusunah waljamaah, terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantik logika dan ilmu kal É m . Pergeseran inilah yang menyebabkan rentannya mazhab Asy‟ariyah untuk tersusupi pemikiran-pemikiran batil. Dan secara umum mereka sejalan 45 Abu al-Hasan al- Asy‟arÊ, al-IbÉnah ‟an UÎËli al-DiyÉnah, TaqrÊÐ Syaikh ×ammÉd al- AnÎÉri dan TaÍqÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim Mesir: DÉr al-BaÎÊrah, Cet. 1, Th. 2003, h. 55. 46 Istilah Ahlusunah waljamaah sudah ada sejak masa sahabat Nabi  yang kemudian istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara para perawi hadis yang setia terhadap sunnah Nabi  dan yang menyimpang dari sunnahnya sehingga telah ada pula istilah ahlu al-Bid‟ah atau ahlu al-Ahw É ‟. Yang perlu diketahui bahwa penamaan Ahlusunah waljamaah memiliki kesamaan makna dan maksud dengan penamaan AÎhÉbu al-×adÊts, al-SalafiyyËn, Ahlu al-AtsÉr, al-Firqatu al-N Éjiyah, dan al-ÙÉifah al-ManÎËrah. Lihat pemaparan hal ini dalam IbrÉhÊ m bin ‟Ómir al- RuÍailÊ, Mauqifu Ahlu al-Sunnati wa al-JamÉ ‟ah Min Ahli al-AhwÉ‟i wa al-Bida‟i, Madinah: Maktabatu al-GhurabÉ ‟ al-Atsariah, Cet. 1, Th. 1423 H , Jilid I, h. 44-72. 47 „Abd al-SalÉm SyÉkir, al-Ta‟lÊqatu al-MufÊdatu „ala ManÐËmatai Jauharati al-TawÍÊd wa Bad‟i al-AmÉlÊ, Janub Ifriqiya: al-JÉmi‟ah al-IslÉmiyah Linsyia, Th. 1422 H, h. 13. 48 Abu IbrÉhÊm, Abu al-×asan al- Asy‟arÊ, h. 51 . dengan Ahlusunah waljamaah dalam beberapa masalah akidah, dan berbeda dalam beberapa perkara akidah lainnya. 49 Perberkembang pesat mazhab Asyariyah menjadikannya sebagai mazhab kal É m tersendiri yang tersebar ke banyak negeri Islam 50 dan menjadi mazhab kebanyakan dari kaum muslim. Dari sinilah awal munculnya klaim bahwa mereka adalah golongan yang berada di atas kebenaran Í aq dan mereka adalah representasi dari Ahlusunah waljamaah. 51 49 Ibid, h. 49. 50 Di antara sebab utama tersebarnya akidah Asy‟ariyah di tengah kaum muslim, adalah: a. Anggapan bahwa paham Asy‟ariyah adalah Ahlusunah dan banyaknya ulama yang menyibukkan diri dengan sunah Nabi  yang berpegang dengan akidah mereka serta menjadi pembela-pembelanya. Pada umumnya mereka adalah ahli hadis dan fikih yang menisbatkan diri kepada Abu al-×asan al- Asy‟arÊ, meskipun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang tidak sejalan dengan akidah Abu al-×asan al- Asy‟arÊ. b. Di masa khilÉfÉh „AbbÉsiyah, kota Baghdad merupakan pusat peradaban Islam yang banyak didatangi ulama, mereka mencari ilmu di dalamnya, dan membawanya ke negeri-negeri mereka. c. Dukungan penguasa dan dijadikannya Asy‟ariyah sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini seperti pernah terjadi di masa pemerintahan Dinasti Gaznawi di India abad 11-12 M sehingga tersebarlah akidah Asy‟ariyah di India, Pakistan, Afghanistan, dan Indonesia. Demikian pula di masa pemerintahan Dinasti Saljuk 11-14 M melalui perdana menterinya NiÐÉmu al-Mulk w. 585 H, ia mendirikan Madrasah NiÐÉmiyah yang menjadi lembaga representatif pengajaran akidah Asy‟ariyah, dan pengaruhnya sampai ke Asia Tengah dan banyak wilayah Islam yang lain. Demikian pula al-MahdÊ bin TË mart 524 H yang menjadikan Asy‟ariyah sebagai mazhab Dinasti MuwaÍÍidÊn, dan NuruddÊn MuÍammad ZankÊ w. 569 H yang mana ia mendirikan DÉr al-×adÊ ts di Damaskus yang dipimpin langsung oleh Ibnu ‟AsÉkir. Lihat „AbdurraÍman bin ØÉliÍ bin ØÉliÍ al-MaÍmËd, Mauqifu Ibnu Taimiyah min al-„AsyÉ‟irah RiyÉÌ: Maktabatu al-Rusyd, Th. 1415 H, Cet. 1, h. 498-504 dengan meringkas. 51 MurtaÌÉ al-ZabÊdÊ w. 1205 H menyatakan: ىُ يِ ْيِرْ َُتاَمْ َ ىُةَ ِ اَشَ ْ ىاَ َْ ِمىُ َ ُمْ اَ ىِ َس ىُ ْهَ ىَ ِ ْ ُ ى َ ِ Artinya: “Apabila dinyatakan Ahlusunah maka yang dimaksudkan adalah AsyÉ‟irah dan M Éturidiyah. ” Lihat dalam Sulaiman A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hal: 150-158. Pendapat senada juga dituturkan JalÉl MuÍammad MËsÉ dengan menyatakan bahwa sunnÊ adalah mazh ab yang berada dalam barisan Asy‟ariyah dan merupakan lawan dari Mu‟tazilah. Lihat JalÉl MuÍammad „Abd al-×amÊd MËsÉ, Nasy‟at al-AsyÉ‟irah wa TaÏawwuruhÉ,Beirut: DÉr al- Kutub al-LubnÉni, 1390 H, h. 15. Harun Nasution –dengan meminjam keterangan Tasya Kubra ZÉdah- juga menyatakan bahwa aliran Ahlusunah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al- Asy‟arÊ sekitar tahun 300 H. Lihat Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI press, Th. 1986, h. 64 dan Abdul Rozak dan Rasihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2, Th. 2006, h. 119. Dakwaan Asy‟ariyah di atas adalah tidak benar, karena tidaklah samar bagi siapa saja yang mempelajari akidah salaf, ia akan menjumpai banyak perbedaan antara mazhab Ahlusunah waljamaah dan mazhab Asyariyah dalam masalah uÎËlu al-dÊn. Uraian secara lebih mendalam akan diulas di pembahasan Bab IV. Lihat „Abd al-‟AzÊz bin Rayyis al-Rayyis, Ta‟kÊdu al- Di Indonesia 52 , pemikiran kal É m Asyariyah diajarkan secara mendalam di kebanyakan pesantren tradisionalis yang pada umumnya mengajarkan fikih mazhab SyÉ fi‟Ê dan akidah Asy‟ariyah. 53 Lebih dari itu akidah Asy‟ariyah juga telah merambah ke kurikulum pendidikan Agama Islam Departemen Agama. 54 Tidak hanya sampai di sini, setelah diperhatikan penerjemahan Alquran di Indonesia, yang pada umumnya mengacu kepada terjemah Departemen Agama Republik Indonesia, di dalamnya terdapat penakwilan Î if É t khabariyah bagi Allah . Ini menunjukkan kekuatan pengaruh mazhab AsyÉ‟irah di bumi Indonesia. 55 Musallam Ét al-Salafiyah fi NaqÌi al-Fatwa al-JamÉ ‟iyyah bi anna al-AsyÉ‟irah min al-Firqah al- Mar Ìiyah, Kairo: DÉr ImÉm AÍmad , Cet. 1, Th. 2007. 52 Bahkan di seluruh Asia Tenggara hal ini sebagaimana dibuktikan dalam hasil penelitian. Lihat Abdul Øukor Husin, Ahli Sunah Waljamaah Pemaham Semula , Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia, Th. 1998 dan Lik, Arifin Mansurnoor. 2008. Islam in Brunei Darussalam: Negotiating Islamic Revivalism and religious Radicalism. Islamic Studies, 47 1, 65-I. Retrieved from http:search .proquest.comdocview287950425?accountid=34598. 53 Adalah Nahdlatul Ulama NU merupakan salah satu dari ormas Islam yang terbesar di Indonesia, secara masif dan tegas mendasarkan pemahaman keagamaan berdasar mazhab SyÉ fi‟Ê dan akidah Asy‟ariyah. Disebutkan dalam situs resminya, bahwa NU menganut paham Ahlussunah Waljamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim akli rasionalis dengan kaum ekstrim naqli skripturalis. Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Alquran, Sunah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu al-×asan al-AsyarÊ dan Abu ManÎËr al- MÉtËrÊdÊ dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab; ×anafÊ, MÉlikÊ, SyÉfiÊ, dan ×anbalÊ. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode al- GhazalÊ dan Junaid al-BaghdÉdÊ, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Lihat http:www.nu.or.ida,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,7-t,paham+keagamaan-.phpx. 54 Contoh untuk hal ini adalah diajarkannya sifat wajib 20 di kebanyakan lembaga pendidikan Islam dari jenjang Taman Pendidikan Alquran TPA sampai Perguruan Tinngi Agama Islam PTAI, demikian pula pengajaran teori al-kasbu dalam pembahasan takdir di jenjang PTAI. Sedangkan di pesantren dikaji kitab- kitab yang mengandung pemikiran Asy‟ariyah seperti: „AqÊdatu al-„AwwÉm, Ummu al-BarÉhin, KÉsyifatu al-HÉj, QaÏru al-Ghaits, MasÉil al-Laits, dan lain-lain. Lihat AbdurraÍman MubÉrak, Pengaruh Akidah Asy’ariyah Terhadap Umat, Majalah Asy Syari’ah, No: 74 VII 1432 H 2011, h. 25-27. 55 Penulis memperhatikan Alquran terjemah cetakan Departemen Agama RI tahun 1985 dan Alquran terjemah cetakan Tiga Serangkai Solo dengan tashih Departemen Agama RI tahun 2007, dan di dalamnya terdapat penakwilan atas sifat al-ityÉn bagi Allah  sebagaimana dalam terjemah QS. Al-Baqarah: 210 dan QS. Al- An‟Ém: 158, penakwilan sifat wajah bagi Allah  sebagaimana dalam QS. Al-QaÎaÎ: 88 dan QS. Al-RaÍmÉn: 27. Hal yang sama tidak terjadi pada Alquran terjemah yang dicetak oleh Mujamma‟ al-Malik Fahd li ÙibÉ‟ati al-MuÎÍaf al-SyarÊf, Madinah KSA tahun 1418 H, meskipun mereka mengacu pada terjemah Departemen Agama Republik Indonesia, namun Mujamma‟ telah meneliti ulang terjemahan tersebut sehingga tidak ada penakwilan ÎifÉt khabariyah bagi Allah . Apa yang telah dipaparkan dengan singkat di atas adalah pendorong utama dilakukannya penelitian untuk meneliti dan mendalami pemikiran asm É’ dan Î if É t Allah  menurut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ di akhir perjalanan keagamaannya, serta berusaha mendudukkan pemikiran asm É’ dan Î if É t Allah  menurut Asy‟ariyah, mengingat pemikiran mereka tentang asm É’ dan Î if É t Allah  telah tersebar di tengah umat Islam dan terkesan bahwa pemikiran tersebut adalah akhir dari pemikiran Abu al-×asan al- Asy‟arÊ. Penulis meyakini diperlukannya suatu penelitian untuk menjelaskan kepada kaum muslim pemikiran Abu al-×asan al- Asy‟arÊ tentang asm É’ dan Î if É t Allah ?

B. Rumusan Masalah