PENDAHULUAN Pemikiran Abu Al-Hasan Al-Asy’ari Tentang Asma’ Dan Sifat Allah.

(1)

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi

sunnatull

É

h

al-kauniyah terjadinya perselisihan (ikhtil

É

f)

dan perpecahan (iftir

É

q) ditengah kaum muslim sebagaimana terjadi di tengah

Bani Israil. Nabi

1

menegaskan hal ini dalam banyak sabdanya, di antaranya:

ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ىِْ ََفَ َْ ِ ىْ َ ى َ ْ ِ ى َ َ ىُ ْ ُ ََل ْ ى ِ َ َ ََف ْ

ى,

ىْ َ ى َ ْ ِ ى َ َ ى َراَص ى ِ َ َ ََف ْ َ

ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ىِْ ََفَ َْ

ى,

ىً َ ْ ِ ىَْ ِ ْ َ َ ى ٍثَاَ ى َ َ ىِِْمُ ىُقََِْفََتَ

Artinya:

“Yahudi terpecah belah menjadi 71 atau 72 golongan, Na

Î

rani terpecah

belah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah belah

menjadi 73 golongan

.

2

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

ىِ َْْ ىِِْىٌةَ ِ َ َ ىِرا ىِِْىَنْ ُ َْ َ ىَ ىِناَفْ ِ ىَْ ِ ْ َ ىَ ى ٍثَاَ ى َ َ ىُقََِْفََفَ ىَ ِمْ ىِهِذَهىنِ َ

ىِ َ اَمَْْ ىَ ِهَ

Artinya:

Dan sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72

akan masuk Neraka dan yang satu akan masuk Surga yaitu

al-jam

É

‟ah

”.

3

Dalam riwayat Turmu

Ê, disebutkan dengan lafal:

ىِِْاَحْصَ ىَ ىِهْلَ َ ىَانَ ىاَمىًةَ ِ َ ىً ِمىاِ ىِرا ىِِْىْمُ ُك

1 MuÍammad IsmÉÊl al-Øan‟ÉnÊ, ×adÊtsu IftirÉqil Ummah IlÉ Nayyifin Wa Sab‟Êna

Firqah, TaÍqÊq Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉn, (RiyÉÌ: DÉr „ÓÎimah, Cet. 1, 1424 H), h. 48.

2 HR. al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid I, h. 128, ia berkata bahwa hadis tersebut

adalah sahih sesuai syarat Muslim, pendapat ini disepakati oleh al- ahabÊ.ى Hadis ini di-Íasan-kan oleh SÉlim bin „Ôd al-HilÉlÊ, LimÉ a Ikhtartu al-Manhaj al-SalafÊ, (DammÉm: DÉr Ibn al-Qayyim, Cet.1, Th. 1422 H), h. 39.

3 HR. Ibnu MÉjah , Kitab: al-Fitan, Jilid. II/ 1322, No: 3993. Hadis ini di-Íasan-kan oleh


(2)

Artinya:

“Semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan yaitu yang

berjalan di atas jalan yang aku bersama para

s

ahabatku berada

diatasnya

.

4

Hanya saja tercerai berainya umat Islam belumlah terjadi di masa Nabi

karena semua perselisihan yang terjadi mendapatkan penyelesaian melalui wahyu

yang ketika itu masih turun. Di masa ke-khil

É

fah-an Abu bakar,

Umar, dan

UtsmÉn

, kaum muslim masih dalam satu persatuan dan pemahaman keislaman.

Hingga di masa akhir khalifah

UtsmÉn

dan awal ke-khil

É

fah-an

AlÊ

mulai

bermunculanlah kebidahan dalam hal ibadah dan perselisihan dalam masalah

u

ÎË

lu al-d

Ê

n dan keimanan yang mengakibatkan mulai bermunculannya

firqah

dalam Islam. Adalah

firqah KhawÉrij

5

kemudian

firqah SyÊ

‟ah

6

dan diikuti oleh

4 HR. Turmu Ê No: 2641, al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid I, h. 129. Hadis ini

diÍasankan oleh al-AlbÉni dalam Silsilah al-AhÉdits al-ØaÍÊÍah No: 203, 204, dan 1492, dan SÉlim bin „Ôd al-HilÉlÊ, Ibid, h. 39.

5

KhawÉrij adalah firqah yang pertama kali keluar dari Islam dan kemunculan mereka adalah di antara bukti nubuwwah karena Nabi  dalam banyak hadisnya telah mengisyaratkan kemunculannya. KhawÉrij berasal dari kata KhÉrijah (yang keluar), asal penamaan tersebut disebabkan karena mereka keluar dari ketaatan kepada „AlÊ ىdan memeranginya. Ketika itu mereka berkumpul di daerah ×arËrÉ‟, jumlah mereka ada sekitar 12.000 orang, sehingga mereka disebut juga dengan ×arËriyah. Sebab keluarnya mereka dari ketaatan adalah penolakan mereka

terhadap TaÍkÊm yang dilakukan oleh „AlÊ, mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah

kekufuran. „AlÊ ىmengutus ‘Abdullah bin ‘AbbÉs ىuntuk mengajak mereka berdialog sehingga

kembalilah sebagian besar mereka kepada ‘AlÊى.

Sebutan KhawÉrij kemudian diperuntukkan untuk menyebut mereka yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin yang disepakati oleh jamaah dan mereka yang mengkafirkan para pelaku dosa besar (murtakibu al-kabÊrah) dan menyerukan pemberontakan kepada imam (penguasa) yang melanggar sunah sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Firqah ini terpecah belah menjadi beberapa sekte dan yang tersisa darinya adalah IbÉÌiyyah sedangkan pemikiran dari firqah ini adalah masih eksis sampai hari ini. Lihat: al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn wa IkhtilÉfu al-MuÎallÊn, TaÍqÊq Na‟Êm Zarzur, (Beirut: al-Maktabah al-‟AÎriyyah, Cet. 1, Th. 2005),

h. 167, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, (Beirut: DÉr al-ÓfÉq, Cet. 2, Th. 1977 M), h. 72-73, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, TaÍqÊq MuÍammad Sayyid al-KailÉnÊ, (Beirut: DÉr al-Ma‟rifah, Th, 1404 H), Jilid I, h. 114, „AlÊ„Abd al -FattÉÍ al-MaghribÊ, al-Firaq al-KalÉmiyah al-IslÉmiyah Madkhal wa al-DirÉsah, (Kairo: Maktabah al-Wahbah, Cet. 3, Th. 1415 H), h. 169-195 dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Firaqun

Mu‟ÉÎarah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, (Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422

H), Jilid I, h. 226-244. 6SyÊ’ah

pada awalnya adalah sebutan untuk mereka yang condong (menganggap) bahwa

‘AlÊى adalah lebih mulia dan berhak atas ke-khilÉfah-an setelah wafatnya Nabi , hal inilah yang disebut para ulama dengan istilah tasyayyu’.Ketika muncul ‘Abdullah bin SabÉ’ ia mendakwakan bahwa kepemimpinan (al-imÉmah) ‘AlÊى adalah telah tetap berdasarkan nas. Firqah ini semakin jauh dari Islam, sehingga di masa pemerintahan ‘AlÊى mereka dibakar hidup-hidup karena


(3)

firqah-firqah

yang lain seperti Murji‟ah

7

, Mu‟tazilah

8

, Jahmiyah

9

, Qadariyah

10

,

Asy‟ariyah

11

, MÉturÊdiyah

12

,

al-Nus

Ë

k (Tasawuf

13

), dan lain-lain.

14

Sehingga dari

menganggap bahwa ‘AlÊى adalah tuhan. Mereka memiliki uÎËl akidah yang bertolak belakang dengan ajaran Islam seperti kemaksuman para imam mereka (al-‘ishmah) dan bahwa kedudukan mereka lebih mulia dan utama dari para Nabi dan Rasul, taqiyah (menyembunyikan keimanan),

raj’ah (reinkarnasi), dan lain-lain. Firqah ini disebut pula dengan RÉfiÌah (orang yang menolak),

sebab penamaannya adalah ketika Zaid bin ‘AlÊ ى -salah seorang imam SyÊ’ah- menolak mengkafirkan Abu Bakar  dan ‘Umar  maka mereka menyatakan bahwa mereka adalah

RÉfiÌah (menolak Zaid bin ‘AlÊى). Sebutan inilah yang pantas untuk mereka setelah terjadinya

fitnah di masa ‘AlÊ  karena mereka memiliki keyakinan atas kafirnya seluruh sahabat dan istri Nabi  kecuali hanya beberapa orang saja. SyÊ’ah terpecah belah menjadi lebih dari 15 firqah,

adapun di masa ini yang dominan adalah sekte IsmÉ’Êliyah, ItsnÉ ‘Asyariyah, BÉÏiniyah, dan

Zaidiyah. Lihat al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 65, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 29, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 146, dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎirah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, (Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H), Jilid I, h. 303-346. Untuk mendapatkan

informasi tentang firqah SyÊ’ah dapat merujuk kepada disertasi doctoralNÉÎir „Abdullah al-QifÉrÊ, UÎËlu Ma habi al-SyÊ‟ah ItsnÉ„Asyariyah „ArÌun wa Naqdun (KSA: DÉr al-RiÌÉ, Cet. 1, TT).

7Murji‟ah adalah

firqah yang menganggap bahwa amalan anggota badan tidak termasuk dari keimanan, keimanan seseorang tidaklah dapat dipengaruhi oleh kemaksiatan apapun sebagaimana ketaatan tidaklah akan bermanfaat bagi mereka yang kafir kepada Allah . Menurut mereka iman adalah sekedar mengenal (al-ma‟rifah) dan bahwa ia adalah sesuatu yang tetap keberadaannya, ia tidak naik dan tidak turun sehingga tidak ada perbedaan keutamaan hamba di hadapan Allah . Lihat al-Asy‟arÊ, MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 213, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 29, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 139, dan GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah Tantasibu ilÉ al-IslÉm, (Jedah: al-Maktabah al-„AÎriyah al-Úahabiyah, Cet. 4, Th. 1422 H), Jilid III, h. 1069-1125.

Murji‟ah terbagi menjadi dua; Pertama, Murji‟ah FuqahÉ‟ yaitu mereka yang berpendapat bahwa amalan bukanlah syarat atau bagian dari iman, pendapat ini banyak dipegang oleh AÍnÉf (pengikut mazhab ×anafÊ) dan pendapat ini adalah marjËh dan bertentangan dengan Alquran, sunah, dan pendapat salaf. Kedua, Murji‟ah Mubtadi‟ah, mereka adalah Jahmiyah yang berpendapat bahwa keimanan adalah sekedar pengenalan kalbu (ma‟rifatu al-qalb). Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, al-Mukhtashar al-HatsÊts fÊ BayÉni UÎËli manhaji al-Salaf AÎÍÉbi al-×adÊts fÊ

Talaqqi al-DÊn wa Fahmihi wa al-‘Amal bihi, (Kuwait: GhirÉs, Cet. 2, Th. 1430 H), h. 34.

8Mu‟tazilah adalah salah satu firqah dalam Islam yang muncul pada awal abad kedua

hijrah dan mengalami puncak kejayaan di masa khilÉfah Abbasiyah yang pertama. Penamaan

Mu‟tazilah diambil dari kata al-i‟tizÉl (memisahkan diri), karena pemimpin mereka yang bernama WÉÎil bin „AÏÉ‟ memisahkan diri dari Íalaqah ×asan al-BaÎrÊ, yaitu ketika ia ditanya tentang

hukum pelaku dosa besar, ia (×asan al-BaÎrÊ) menjawab, ‘bahwa ia tetap beriman’. Ketika itu WÉÎil bin „AÏÉ‟ mengatakan, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir akan tetapi ia berada di antara dua kedudukan (al-manzilah baina al-manzilatain). Kemudian WÉÎil bin „AÏÉ‟

memisahkan diri dan diikuti oleh „Amr bin „Ubaid dan kemudian diikuti oleh pengikut mereka berdua dan mereka dinamakan Mu‟tazilah.

Firqah ini memiliki ciri mendahulukan akal dari pada naqal, bahkan mereka berlebih-lebihan dalam mengkultuskan akal sehingga menjadikannya sebagai tolok ukur kebenaran yang bersifat qaÏ‟Ê sedangkan dilÉlah nas-nas syariat adalah ÐannÊ. Firqah ini memiliki dua pusat madrasah; Pertama, madrasah BaÎrah dan di antara mereka adalah WÉÎil bin „AÏÉ‟, „Amr bin

„Ubaid, Abu Hu ail al-„AllÉf, IbrÉhÊm al-NaÐÐÉm, dan al-JÉhi . Kedua, madrasah Baghdad dan di

antara mereka adalah Basyar bin Mu‟tamir, Abu MËsÉ al-Murdar, TsumÉmah bin Asyrasy, dan AÍmad bin Abu Du‟ad. Sedangkan ushËl akidah Mu‟tazilah ada lima (al-uÎËl al-khamsah) yaitu: al-„adlu, al-tawÍÊd, al-manzilah baina al-manzilatain, al-wa‟du wa al-wa‟Êd, dan amru bi


(4)

ma‟rËf wa al-nahyu „an al-munkar. Pemahaman mereka atas lima uÎËl akidah di atas adalah berbeda dengan Ahlusunah waljamaah. Dan Mu‟tazilah dengan seluruh firqahnya bersepakat atas kewajiban mengambil al-uÎËl al-khamsah, dan tidaklah seseorang dikatakan sebagai mu‟tazilÊ melainkan apabila ia harus meyakininya.

Disebutkan dalam al-BurhÉnu fÊ „AqÉidi Ahli al-AdyÉn, h. 26-27, bahwa mazhab

Mu‟tazilah adalah gabungan dari akidah Jahmiyah dalam menafikan ÎifÉt Allah  dan akidah Qadariyah dalam mengingkari takdir dan akidah I‟tizÉl. Mereka bersepakat atas penafian ÎifÉt Allah  dan bahwa KalÉm Allah  adalah muÍdats. Dia (Allah ) berbicara dengan suatu pembicaraan yang Ia ciptakan pada selain diri-Nya sehingga menurut mereka Alquran adalah makhluk. Mereka juga berakidah bahwa Allah  tidaklah menciptakan perbuatan hamba akan tetapi hambalah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri, mereka menyatakan bahwa seseorang bisa terbunuh sebelum tiba ajalnya, sebagaimana pula mereka mengingkari syafÉ‟at

Nabi untuk para pelaku dosa besar di hari Kiamat. Lihat: MaqÉlÉtu al-IslÉmiyyÊn, h. 235, „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 114, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 46-49, „AlÊ„Abd al-FattÉÍ al-MaghrÊbÊ, Firaq al-KalÉmiyah, h. 196-266, GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah, Jilid III, h. 1201, dan lihat pula Ta„lÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim atas al-IbÉnah (Mesir: DÉr al-BaÎÊrah, Cet. 1, Th. 2003), h. 59-60.

9

Jahmiyah adalah firqah sesat yang muncul di awal abad kedua hijrah setelah masa sahabat. Penamaan firqah ini adalah nisbah kepada Abu MuÍriz Jahm bin ØafwÉn (w. 128 H)

al-ÌÉll al-mubtadi‟ yang mana ia mengambil akidahnya dari Ja‟ad bin Dirham (w. 124 H) dan kemudian menjadi penerus pendapat-pendapatnya. Mereka mengingkari ÎifÉt Allah  dengan anggapan tanzÊh (penyucikan) Allah  dari tasybÊh sehingga mereka disebut juga dengan

Mu‟aÏÏilah, dan mereka juga menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk, dan bahwasanya Allah

 berada di semua tempat. Mereka mengingkari kekekalan surga dan neraka. Lihat: AÍmad bin

„AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ fi NuÎËÎi al-ØifÉt 'ÓrÌun wa Naqdun, (RiyÉÌ: DÉr al-'AÎimah, TT), h. 26-29,GhÉlib bin „AlÊ al-„AwajÊ, Żiraqun Mu‟ÉÎarah, Jilid III, h.

1129-1160, dan Ta„lÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim atas al-IbÉnah, h. 64.

10 Qadariyah adalah sebutan bagi mereka yang mengingkari takdir, adapun bidah

pengingkaran terhadap takdir pertama kali disuarakan oleh Ma‟bad al-JuhanÊ di BaÎrah di masa akhir generasi sahabat. Firqah ini mengingkari ilmu Allah  dan mengatakan bahwa semua kejadian terjadi begitu saja (al-amru unufun) tanpa ada ketetapan takdir sebelumnya. Firqah ini disebut dengan GhulÉt Qadariyah, kemudian firqah ini berkembang dan mazhab mereka dalam

masalah takdir diikuti oleh Mu‟tazilah, hanya saja yang membedakan antara keduanya adalah

Mu‟tazilah menetapkan ilmu bagi Allah  dan menyatakan bahwa hamba menciptakan

perbuatannya sendiri. Lihat: „Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 117-120, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 43 dan AÍmad bin

„AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ, h. 25.

11

Pembahasan tentang firqah ini ada di Bab IV.

12MÉturÊdiyah adalah firqah kalÉmiyah yang dinisbatkan kepada Abu ManÎËr MuÍammad

bin MuÍammad al-MÉturÊdÊ (w. 333 H). Firqah ini dalam masalah uÎËl akidahnya mirip dengan

Asy’ariyah, sehingga dalam banyak hal ia mencocoki Ahlusunah dan berbeda dalam hal-hal yang lain seperti masalah tauhid, penetapan sebagian ÎifÉt Allah , dalam masalah iman mereka sejalan

dengan Murji’ah dalam pendapat bahwa amalan bukan termasuk rukun keimanan, dan bahwa ia tidaklah dapat naik atau turun. Untuk memperoleh gambaran tentang firqah ini dapat merujuk

kepada MuÍammad bin ‘AbdurraÍman al-Khumayyis, ×iwÉrun Ma’a Asy’ariyyin wa yalÊhi al

-MÉturÊdiyah Raibatu al-KullÉbiyah, (RiyÉÌ: Maktabatu al-Ma’Érif li al-Nasyri wa al-TawzÊ’, Cet.

1, Th. 1426 H), h. 155-168.

13 Ibnu Taimiyah cenderung menilai bahwa Tasawuf adalah nisbah kepada pakaian ÎË

f (wol) sedang pelakunya disebut dengan ÎËfiyyah (ahli tasawuf). Ia merupakan istilah baru yang tidak pernah digunakan untuk menyebut kaum Salaf yang dikenal dengan sebutan ahli agama, ahli ilmu dan ahli qirÉ‟Ét. Istilah ini mencakup para ulama dan para ahli ibadah. (al-Furqan Bayna AuliyÉ‟ al-RaÍmÉn wa AuliyÉ‟ al-SyaiÏÉn, h. 42). Ahli tasawuf dibedakan menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok para syaikh yang makrifat dan lurus, mereka memerintahkan kepada para ahli


(5)

sini semakin tajamlah perpecahan dan perselisihan di tengah umat Islam,

mengingat setiap

firqah memiliki

u

ÎË

l yang mereka pertahankan. Hal ini

merupakan bukti kebenaran apa yang disabdakan oleh Nabi

di atas.

15

Secara lebih khusus, Nabi

telah menjelaskan jalan keluar dari

perselisihan yang terjadi di tengah umat sepeninggalnya. Beliau

bersabda:

ى

ىَنْيِ ِش ىِءاَفَ ُْْ ىِ ُ ىَ ىِِْ ُسِبىْمُكْلَ َ ََ ى ً َْلِثَكىاً َاِفْخِ ى َ ََلَسَ ىْيِ ْ ََبىْمُكْ ِمىْشِ َيىْنَمىُهنِإَ

ىِذ ِا َ َ اِبىاَ َْلَ َ ى َ ىْيِ ْ ََبىْنِمىَْ َيِ ْ َمْ

Artinya:

Sesungguhnya siapa saja yang hidup setelahku ia akan melihat

perselisihan yang sangat banyak, maka hendaklah kalian berpegang

teguh dengan sunahku dan sunah para al-Khulaf

É

' al-R

É

syid

Ê

n yang

mendapatkan petunjuk setelahku dan gigitlah ia dengan gigi

geraham

.

16

Ibnu Abbas

(w. 68 H) meriwayatkan bahwa Nabi

bersabda:

ىِِْ ُ ىَ ىِه ىَباَفِكىىً َبَ ىى ْ ِ َتىْنَ ىاَمِِِىْمُفْكسَََىْنِ ىاَمىْمُكْلِ ىُ ْكَ ََت

Artinya:

“Aku telah meninggalkan ditengah-tengah kalian dua hal yang kalian

tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan

keduanya: kitab Allah

dan sunnahku

.

17

olah hati dan zuhud agar berpegang kepada Alquran dan sunah. Kelompok ini adalah termasuk Ahlusunah, di antara mereka adalah al-Junaid bin Muhammad yang telah berkata, „Ilmu kita dibatasi oleh Alquran dan sunah, maka barangsiapa belum membaca Alquran dan menulis Hadis

tidaklah layak berbicara dengan ilmu kita‟. Kedua, mereka yang memasukkan berbagai macam bidah, kefasikan, dan penyimpangan ke dalam tarekat mereka. Mereka telah keluar dari Ahlusunah dan telah dikecam oleh Allah , Rasulullah  dan wali-wali yang bertaqwa. Di antara kebidahan yang mereka perbuat adalah menganggap bahwa ada sebagian wali yang dapat keluar dari syariat Nabi Muhammad , setara dengannya, atau bahkan lebih hebat darinya. (al-Raddu „ala al -ManÏÊqiyyÊn, h. 514-516 dan al-Øafdiyyah, Jilid I, h. 267) dengan perantaraan AÍmad bin Abd

al-„AzÊz al-×ulaibÊ, UÎËlu al-×ukmi „ala al-Mubtadi‟ah „Inda Syaikh al-IslÉm Ibn Taimiyah, dengan terjemah Dasar Membid‟ahkan Orang Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, (Surabaya: Elba, Cet. 1, Th. 2007), 69.

14 NÉÎir „Abdullah al-QifÉrÊ, UÎËlu Ma habi al-SyÊ‟ah al-ImÉmiyah al-ItsnÉ „Asyariyah

„ArÌun wa Naqdun (Tanpa Penerbit, Cet. 2, Th. 1415 H), Jilid. I, h. 5-6.

15 MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, WasaÏ

iya tu Ahli Sunnah Baina al-Firaq, (Jeddah: DÉr al-RÉyah, Cet. 1, Th. 1994), h. 289.

16

HR. AÍmad dalam al-Musnad, Jilid. IV/ 126 dan Abu Dawud No: 4607 disahihkan oleh al-AlbÉnÊ dalam ØahÊh al-JÉmi‟, No: 2546.

17 HR. Al-×Ékim dalam al-Mustadrak, Jilid. I/ 93 dan disahihkan oleh al-AlbÉnÊ dalam


(6)

Dua hadis diatas menjelaskan bahwa perselisihan di tengah umat Islam

merupakan suatu keniscayaan dan jalan keluar darinya adalah dengan berpegang

teguh dengan sunah beliau

dan para sahabatnya.

Syaikh

„Abdullah al

-GhunaimÉn menjelaskan bahwa sebab perselisihan

dan perpecahan ditengah umat Islam disebabkan oleh dua sebab utama, yaitu:

18

1.

Sebab-sebab dari dalam umat Islam, di antaranya;

a.

memperturutkan hawa nafsu. Hal inilah pendorong utama seseorang untuk

menyimpang dari kebenaran dan menolaknya.

b.

kebodohan. Hal ini adalah penyebab utama yang menyebabkan seseorang

jatuh pada kebidahan dan perselisihan.

c.

sikap melampaui batas yang telah ditetapkan oleh syariat (al-ghuluw dan

al-ifr

ÉÏ

). Hal ini adalah sebab yang mendorong terjadinya

firqah dalam

Islam. Di antara contoh riil dari hal ini adalah

ghuluw-nya SyÊ

‟ah kepada

AlÊ bin Abi

ÙÉlib

dan para imam mereka sehingga muncul keyakinan

adanya

al-

‟i

Î

mah pada imam-imam mereka, demikian pula

ghuluw-nya

KhawÉrij terhadap ayat-ayat

wa‟

Ê

d (ancaman), dan ghuluw-nya Jabariyah

19

dalam penetapan takdir.

d.

ta‟w

Ê

l terhadap nas-nas syariat dengan tanpa dalil. Hal ini adalah di antara

penyebab utama terjadinya iftir

É

q dan ibtid

É

‟ di tengah-tengah umat. Ibnu

18„Abdullah al-GhunaimÉn, AsbÉ

bu ÚuhËri al-Firaq al-IslÉmiyah, Majallah Kuliyyatu UÎËli al-DÊn JÉmi‟atu al-ImÉm, Volume. 2, Th. 1399 M/ 1400 H, h. 154.

19 Firqah ini adalah kebalikan dari firqah Qadariyah, mereka yang berlebihan dalam

menetapkan takdir sehingga menafikan ikhtiar hamba, sehingga tak ubahnya makhluk adalah boneka-boneka Allah , mereka mengingkari irÉdah syar‟iyah bagi Allah  dan mengatakan bahwa kekafiran dan kemaksiatan adalah sesuatu yang diinginkan dan dicintai oleh-Nya. Lihat:

„Abd al-QÉhir al-BaghdÉdÊ, al-Farqu baina al-Firaq, h. 117-120, MuÍammad bin „Abd al-KarÊm al-SyahrastÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid I, h. 43, AÍmad bin „AbdurraÍman bin „UtsmÉn al-QÉÌÊ, MaÐÉhibu Ahli al-TafwÊÌ, h. 25 dan IbrÉhÊm bin ‟Ómir al-RuÍailÊ, al-MukhtaÎar fÊ ‟AqÊdati al-Salafi fÊ al-Qadar, (Kairo: DÉr al-ImÉm Aímad, Cet. 1, Th. 1428 H), h. 59.


(7)

Qayyim (w. 751 H)

menjelaskan, ”tidaklah terpecah

-belah

Ahlu al-Kit

É

b

dan umat Islam melainkan disebabkan mereka menggunakan ta‟w

Ê

l, dan ia

adalah sebab tertumpahnya darah kaum muslim di perang

ØiffÊn dan

Jamal

.

20

e.

menjadikan akal sebagai tolok ukur dalam menerima nas-nas syariat. Ini

merupakan salah satu

prinsip Mu‟tazilah dalam menerima

nas. Al-QÉÌÊ

Abd al-JabbÉr menjelaskan, bahwa dalil itu diambil dari empat hal; ke

-hujah

-

an akal, Alquran, sunah, dan ijm

É

, sedangkan pengenalan terhadap

Allah

hanya dapat diperoleh dengan akal.

21

2.

Sebab-sebab dan pengaruh dari luar umat Islam, di antaranya;

a.

adanya pembukaan-pembukaan wilayah Islam (fut

ËÍÉ

t isl

É

miyah) yang

menyebabkan infiltrasi budaya dan pemikiran

22

dari luar Islam.

b.

banyaknya umat lain yang masuk Islam dalam keadaan belum bersih

akidah, sehingga menimbulkan pengaruh dalam pemahaman keislaman.

20

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I‟lÉmu al-MuwÉqqi‟Ên „an Rabbi al-„ÓlamÊn TaÍqÊq ÙÉhÉ

„Abd al-Ra‟Ëf Sa‟ad, (Beirut: DÉr al-JÊl, Th. 1973), Jilid. IV, h. 317.

21 SyarÍ UÎËli al-Khamsah, h. 88 dinukil dari MuÍammad BaKarim MuÍammad

BaAbdullah, WasaÏiyatu Ahli al-Sunnah, h. 300.

22 Secara etimologi, “pemikiran” berarti proses, cara, atau perbuatan berpikir. Lihat,

Kamus Bahasa Indonesia, hal. 1181. Dalam pengertian istilah, “pemikiran” dapat dipahami

sebagai sesuatu yang dimaksud kalimat “apa yang ada dalam diri mereka”. Ini dapat dipahami

dari firman Allah : “Sesungguhnya Allah  tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada ada dalam diri mereka sendiri” (QS. Al-Ra‟du: 11). Dengan demikian bidang pemikiran menyangkut suatu wujud batiniah yang sangat eksistensial yang berperan membentuk, mempertahankan atau mengembangkan apa yang ada pada suatu kaum, seperti kekayaan, keruntuhan, keadaan masa depan dan sebagainya. Apa yang ada dalam diri manusia, termasuk di antaranya pemikiran menjadi jelas. Oleh karena adanya keinginan perubahan

“nasib” suatu kelompok manusia, maka salah satu yang amat penting adalah usaha ke arah

terjadinya perubahan dalam cara berpikir kelompok itu. Lihat, Nurcholish Madjid, Masalah Tradisi dan Inovasi Keislaman dalam bidang Pemikiran serta Tantangan dan Harapannya di Indonesia (Jakarta: Simposium Festifal Istiqlal, 21-24 Oktober 1991), h. 4-5.


(8)

c.

penerjemahan kitab-kitab filsafat dan mantik (logika) Yunani, serta usaha

untuk mempelajari dan mendalaminya. Sejarah mencatat bahwa diantara

sebab yang menyebabkan perpecahan ditengah umat islam adalah

masuknya ilmu kal

É

m

23

yang sangat terpengaruh oleh ilmu mantik (logika)

dan filsafat Yunani ke negeri-negeri Islam. Ilmu mantik ini muncul sejak

800 tahun sebelum Islam, karena Aristoteles sang pencetus ilmu ini lahir

pada tahun 384 sebelum Masehi. Adapun filsafat

24

, maka dia muncul

23 Menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H), ilmu kalÉm adalah ilmu yang membahas

permasalahan akidah dan iman dengan berdasarkan dalil-dalil akal semata serta membantah para ahli bidah yang menyimpang dari mazhab Salaf dan Ahlusunah. Dikemudian hari ilmu tersebut tercampuri oleh filsafat sehingga sulit untuk dibedakan. Secara etimologi al-kalÉm berarti pembicaraan, sebab penamaan tersebut tidak lain karena ilmu tersebut sebenarnya adalah pembicaraan atau argumentasi akal tentang akidah dan iman dengan tanpa mengindahkan nas-nas

syariat. Ilmu ini disandarkan kepada Mu‟tazilah, dan pertama kali digunakan dalam memahami

akidah dan iman di masa „Amr bin „Ubaid (w. 114 H) di mana ia mengggunakannya untuk mengingkari takdir dan memahami nas-nas yang berisi janji dan ancaman (al-wa‟du wa al-wa‟Êd). Kemudian di masa al-„AllÉf dan al-NaÐÐÉm dan setelahnya dari mutakallimËn, mereka pergunakan untuk menafikan sifat-sifat Allah . Lihat „AbdurraÍman Ibn Khaldun, MuqaddimÉt Ibn Khaldun, (Alexandria: DÉr Ibn Khaldun, TT), h. 458, „AlÉ‟ Bakr, MalÉmiÍ RaÊsiyyah li al-Manhaj al-SalafÊ, (Mesir: Maktabah al-FayyÉÌ, Cet. 1, Th. 1432 H), h. 223, dan „Abdullah Zaen, Imam Syafi‟i Menggugat Syirik, (Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, Cet. 1, Th. 1428 H), h. 16.

24 Kata filsafat (al-falsafah) adalah kata „ajam yang berarti hikmah (al-Íikmah), lihat

LisÉn al-„Arab, XI/ 180. Sedangkan kata Filosof, ia berasal dari bahasa Yunani, yaitu filo yang berarti orang yang mencintai dan sofia yang berarti hikmah, sehingga ia bermakna orang yang mencintai hikmah. Lihat al-SyahrasytÉnÊ, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid 2, h. 117.

Mengenai pengaruh filsafat terhadap Islam maka ia adalah di antara hal yang telah merusak akidah Islam dan kaum muslim karena pada dasarnya ia adalah sebuah metode (manhaj) yang digunakan oleh orang-orang Yunani untuk memahami masalah ilÉhiyyÉt dengan mengerahkan potensi akal. Dr. ×amdÊ ×ayallÉh dalam kitabnya Atsaru al-Tafalsuf al-IslÉmÊ, menjelaskan bahwa filsafat telah mengakibatkan adanya penyimpangan pemikiran (al-taÍrÊf al-manhajÊ) yang menimpa pemikiran Islam disebabkan adanya pencampuradukan dengan pemikiran paganis Yunani melalui para filosof Ahlu al-KalÉm yang telah mendekonstruksi pemikiran Islam dengan menggantinya dengan filsafat Yunani melalui para filosof dari kalangan ahli tasawuf. Dr. SÉmÊ al-NasysyÉr bahkan menyatakan bahwa para filosof muslim seperti al-KindÊ, al-FarÉbÊ, Ibnu SÊnÉ, Ibnu BÉjah, Abu al-BarakÉt al-BaghdÉdÊ, Ibnu Ùufail, Ibnu Rusyd, dan selain mereka

tidaklah mendatangkan sesuatu yang baru dari hasil kontak mereka terhadap pemikiran para filosof Yunani yang paganis. Sehingga karya-karya yang mereka tulis adalah daur ulang dari pemikiran Plato yang telah mereka olah dengan pemikiran Islam dan tidaklah membuahkan melainkan kegagalan. Lihat ulasan masalah ini dalam ta’lÊq dan taÍqÊq „Abdullah SyÉkir al-JunaidÊ dalam RisÉlatun ilÉ Ahli Tsaghr, (Madinah: Maktabatu al-„UlËmu wa al-Hikam, Cet. 1, Th. 1409 H), h. 135.


(9)

sekitar 5 abad sebelum kelahiran Isa

. Maka jelaslah bahwa ilmu

mantik dan filsafat bukanlah dari Islam.

25

d.

masuk islamnya sebagian misionaris Yahudi, NaÎrani, atau agama lain

dengan tujuan untuk merusak Islam. Di antara mereka adalah

Abdullah

bin Saba‟ al

-YahËd yang telah menyebarkan

ghuluw kepada

AlÊ

sehingga muncullah

firqah SyÊ‟ah

,

Ja‟ad bin Dirham

(w. 124 H) yang

menyebarkan akidah

ta‟

ÏÊ

l terhadap asm

É’

dan

ÎifÉt

Allah

dan Alquran

adalah makhluk. Dua pendapat ini merupakan pendapat yang ia warisi dari

LabÊ

d bin A‟

Îam, seorang Yahudi yang telah menyihir Nabi

di Madinah.

Demikian pula

Ma‟bad al

-Juhani

yang memprakarsai munculnya firqah

Qadariyah, iapun mengambil pendapatnya dari seorang NaÎrani yang

bernama Sausan, ia masuk Islam kemudian kembali kepada kekafiran.

26

Sa‟ad „

Abdullah

Sa‟d

Én menambahkan, bahwa perpecahan di tengah umat

Islam disebabkan pula oleh beberapa hal, di antaranya; 1) adanya makar dan tipu

daya dari musuh-musuh Islam untuk memecah-belah mereka, 2) fenomena

fanatisme (

ta‟a

ÎÎ

ub) kepada mazhab atau golongan tertentu, 3) tidak

diindahkannya kebidahan dan kesesatan hingga tersebar luas di masyarakat, 4)

peremehan terhadap

Ï

alabu al-‟ilmi

syar‟i

berdasarkan

manhaj

27

salaf, 5) sikap

25 MausË‟ah Żalsafah, Jilid I, h. 98, al-Milal wa al-NiÍal, Jilid 2, h. 117, dan JÉ

nib IlÉhi Min TafkÊr IslÉmi, h. 10 Diringkas dari Armen Halim Naro, Antara Islam dan Filsafat, Filsafat Islam Konspirasi Keji, dan Pembawa Bendera Filsafat Islam, Majalah Al Furqon Th. 6 Ramadhan-Syawal 1427 H, h. 3, 27-41.

26 MuÍammad BaKarim MuÍammad BaAbdullah, Wa saÏiyatu Ahli al-Sunnah, h. 300-301,

„AlawÊ „Abd al-QadÊr al-SaqqÉf, MukhtaÎar KitÉb al-I‟tiÎÉm, (RiyÉÌ: DÉr al-Hijrah, Cet.1, 1424 H), h. 118-119.

27

Secara etimologi, kata manhaj atau al-minhÉj berarti jalan yang terang dan mudah, hal ini sebagaimana firman Allah : “Masing-masing dari kalian (para nabi), Kami jadikan mempunyai syariat dan minhÉj” (QS. Al-MÉidah: 48). Ibnu Abbas  menafsirkan kata syariat dan minhÉj dengan sabÊlan wa sunnatan (jalan dan sunah). Lihat Øafiyyu al-RaÍmÉn al-MubÉrakfËrÊ,


(10)

menerima semua bentuk pemikiran yang masuk dalam Islam tanpa menimbang

kebenarannya dengan Alquran dan sunah, dan 6) tidak optimalnya

amar ma‟ruf

nahi munkar

.

28

Dua pendapat di atas diakui pula oleh Harun Nasution. Ia menuturkan,

bahwa diantara yang menimbulkan perpecahan umat islam adalah banyaknya

terjadi kontak kaum muslim dengan keyakinan-keyakinan dan

pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Sehingga dari

sinilah mulai bermunculan paham-paham yang berseberangan dengan Islam

al-MiÎbÉhu al-MunÊr fi Tah Êbi TafsÊr Ibnu KatsÊr, (RiyÉÌ: DÉr al-SalÉm, Cet. 2, Th. 1421 H), h. 515 dan MuÍammad bin „AlÊ al-SyaukÉni, FatÍu al-QadÊr, TaÍqÊq „AbdurraÍman 'Umairah, (Mesir: DÉr al-WafÉ', Cet. 3, Th. 1426 H), Jilid. II, h. 383. Sehingga makna ayat tersebut secara global adalah Allah  menjadikan bagi para nabi-Nya syariat dan sunah yang berbeda satu dengan yang selainnya termasuk di dalamnya adalah rincian-rincian darinya secara jelas, hanya saja inti dakwah mereka adalah satu yaitu tawÍÊdullah. Dari penjelasan makna manhaj diatas dapat disimpulkan, bahwa ia adalah sinonim dari sunah, sehingga manhaj dapat diartikan dengan cara beragama yang benar sesuai dengan apa yang telah Allah  syariatkan kepada rasul-Nya . Lihat

„Abd al-Hakim bin Abdat, Lau KÉnÉ Khairan Lasa baqËnÉ ilaihi, (Jakarta: Darul Qalam, Cet. 2, Th. 2006), h. 39-42.

Hanya saja kata manhaj memiliki pergeseran makna di kalangan mutaakhkhirÊn, sehingga ia dimaknai dengan al-ÍuÏÏah al-marsËmah (jalan atau metode yang telah ditetapkan) sebagai contoh adalah kata manhaj al-dirÉsah yang bermakna kurikulum pembelajaran atau manhaj

al-ta‟lÊm yang bermakna metode pengajaran. Lihat Mujamma' al-Lughati al-„Arabiyyah BilÉdu MiÎr, al-Mu‟jam al-WasÊÏ, (Mesir: Maktabatu al-SyurËq al-Dawliyyah, Cet. 5, Th. 1431 H), h. 996.

Oleh sebab itu manhaj dapat pula diartikan dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pembelajaran ilmiah, seperti kaidah-kaidah bahasa Arab, uÎËl akidah, uÎËl fikih, dan uÎËl tafsir di mana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam Islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, Mukhtashar al-HatsÊts, hal. 31 dan Yazid Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf, (Bogor: Pustaka At-Taqwa, Cet. 4, Th. 2010), h. 13.

Arti penting manhaj adalah sebagai suatu tatanan dan aturan dalam menekuni dan meniti suatu disiplin ilmu sehingga dapat menghantarkan kepada tujuan yang diinginkan. Sebagaimana pula ia membatasi dan mengatur akal manusia dan kerja pikirannya dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati dan telah tetap. Karena suatu disiplin ilmu hanyalah dapat tegak dan berkembang manakala ia memiliki suatu jalan atau aturan yang benar yang menghimpun seluruh hal yang terkait dengannya. Lihat „ÔsÉ MÉlullÉh Faraj, Ibid, hal. 31.

Syaikh Dr. ØÉliÍ bin FauzÉn menjelaskan perbedaan antara akidah dan manhaj, beliau

berkata: “Manhaj lebih umum daripada akidah, manhaj diterapkan dalam aqidah, suluk, akhlak, muamalah, dan semua kehidupan seorang muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang muslim dikatakan manhaj. Adapun yang dimaksud dengan akidah adalah pokok iman, makna dua kalimat

syahadat, dan konsekuensinya. Inilah akidah.” Lihat al-Ajwibah al-MufÊdah „an Asilati al -ManÉhiji al-JadÊdah, (Kairo: Maktabatu al-Hadyu al-MuÍammadÊ, Cet. 1, Th. 1429 H), h. 131.

28Sa‟ad „Abdullah Sa‟dÉ


(11)

seperti Qadariyah, Jabariyah atau yang dikenal dengan Fatalis

, dan Mu‟tazilah.

29

Kontak dengan filsafat Yunani ini membawa kepada pemujaan terhadap akal ke

dalam Isla

m. Kaum Mu‟tazilah dalam hal ini adalah yang banyak

terpengaruhi

sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam pemikiran teologi mereka banyak

dipengaruhi oleh daya akal atau ratio dan teologi mereka memiliki corak liberal.

30

Pada perkembangannya, penggunaan akal telah dipergunakan oleh

Mu‟tazilah

31

untuk memahami tentang keimanan (Il

É

hiyy

É

t) dan mereka tidak lagi

menggunakan nas (dalil) sebagai pijakan dalam memahaminya. Di antara

pendapat yang mereka sebarkan sejak masa pendahulu mereka, WÉÎ

il bin „A

ÏÉ

,

yaitu penafian terhadap sifat-sifat Allah

dan mereka berkeyakinan bahwa Allah

tidak mempunyai sifat. Hal itu tidaklah mengherankan karena menurut mereka

pemberian sifat kepada Allah

membawa kepada kesyirikan atau politeisme.

Menurut mereka, hal tersebut membawa pengertian bahwa yang bersifat

qad

Ê

m

(permulaan) akan banyak, maka untuk memelihara tauhid atau kemahaesaan

Tuhan, tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan memiki sifat. Tuhan tetap mengetahui,

berkuasa, pemurah, dan sebagainya tetapi semua itu bukanlah sifat malahan esensi

Tuhan itu sendiri.

32

Pemikiran-

pemikiran rasional Mu‟tazilah dalam masalah teologi ini terus

dibawa dan disebarkan oleh para penerusnya seperti; Abu Hu ail al-

„All

Éf

29 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, Jilid 2, (Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia, Th. 1985 ), h. 37.

30 Ibid, h. 38. 31

Vasalou, Sophia. 2009. Their Intention was Shown by Their Bodily Movements” : The

Basran Mu‟tazilites on the Institution of Language. Journal of The History of Philosophy, 47 (2), 201-221. Retrieved from http://search.proquest.com/dockview/210624993?accountid=34598

32 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, Jilid 2, h. 38, dan SulaimÉn A


(12)

235 H), NaÐÐÉm (185-221 H), Murdar (w. 226 H), JÉÍiÌ (w. 256 H),

al-JubÉ

Ê (w. 295 H), al-KhayyÉÏ (w. 300 H), Abu HÉsyim (w. 321 H), dan

lain-lain.

33

Di an

tara pembesar Mu‟tazilah ketika itu adalah

Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê

(873-935 M) yang merupakan murid besar dari al-JubÉ

Ê.

34

Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê pada perkembangan pemikiran dan pemahaman

teologinya ia berbalik menyerang ideologinya yang dahulu ia pegangi yaitu

Mu‟tazilah.

Di

antara yang ia tolak dari teologi Mu‟taz

ilah adalah penafian

terhadap sifat Allah

. Ia mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat dan tidak

mungkin ia mengetahui dengan esensi-Nya, maka Tuhan harus mengetahui

dengan sifat-Nya.

35

Hanya saja para ulama menjelaskan bahwa pada masa awal

penentangannya terhadap Mu‟tazilah,

Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê sebenarnya masih

dalam kegoncangan antara pemikiran

teologinya yang lama yaitu Mu‟tazilah yang

mana telah terwariskan pada dirinya ilmu mantik

(logika) dan kecondongannya

kepada Ahlusunah waljamaah atau

A

ÎÍÉ

b al-

×

ad

Êt

s dan iapun jatuh pada

pemahaman KullÉbiyah.

36

Sehingga dalam penetapan sifat-sifat bagi Allah

, ia

hanya menetapkan tujuh sifat bagi Allah

yang ia anggap sesuai dengan akal

manusia. Adapun

Î

ifat khabariyah tentang Allah

iapun menakwilkannya.

37

33 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, h. 39. 34

SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 158.

35 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Aspek-Aspeknya, h. 40.

36 MuÍammad bin ØÉliÍ al-„UtsaimÊn, al-QawÉ‟idu al-MutslÉ fi ØifÉtillahi wa AsmÉ‟illahi

al-×usnÉ, TaÍqÊq dan TakhrÊj HÉnÊ al-×Éj, (Kairo: Maktabah al-„Ilmu, Cet. 1, Th. 1427 H), h. 65.

37


(13)

Apa yang dicetuskan oleh al-

Asy‟ar

Ê ketika itu tersebar ditengah

masyarakat dan menjadi titik awal

berkembangnya teologi Asy‟ariyah.

38

Sikap

sejalan dengan Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê juga dilakukan oleh Abu ManÎËr

al-MÉtËridÊ (w. 333 H) dimana dalam banyak hal ia sepaham dengan al-

Asy‟ar

Ê

terutama dalam masalah penetapan

Î

ifat bagi Allah

dan iapun menentang

Mu‟tazilah.

39

Dalam penetapan

Î

ifat Allah

ia sejalan dengan al-

Asy‟arÊ yaitu

menggunakan akal sebagai tolok ukur, dan ia menambahkan 13 sifat tambahan

bagi Allah

selain apa yang diprakarsai oleh al-

Asy‟ar

Ê sehingga genaplah

menjadi 20 sifat bagi Allah

.

40

Inilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi

Allah

yang wajib diyakini menurut AsyÉ'irah

41

.

42

Dalam perkembangannya, mazhab atau aliran ini berkembang ditengah

masyarakat dan diterima oleh mayoritas kaum muslim di

ى

kala itu. Abu al-×asan

al-

Asy‟a

rÊ dalam perjalanan pemikirannya tidaklah berhenti sampai disitu, namun

ia kemudian menyadari bahwa apa yang ia yakini dan ia tetapkan sebelumnya

adalah keliru dan iapun mengakui bahwa akidah yang ia yakini sebelumnya

adalah keliru dan ia menyatakan bahwa akidah yang benar adalah apa yang Imam

38 Frank, Richard M. 2008. Classical Islamic Theology: The Ash‟arites. Texts and Studies

on The Development and History of Kalam. Vol. III. Variorum Collected Studies Series. Burlington V.T. and Aldershot: Ashgate. Pp 428 + x. £77.50.

39 SulaimÉn A Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, h. 163. 40 Agus Hasan Bashari, Abul Hasan al-Asy‟arÊ

Imam yang Terzhalimi, (Malang: Pustaka Qiblati, Cet. 1, Th 2009), h. 142, Abu IbrÉhÊm, Abu al-Hasan al-Asy‟arÊ, Majalah as-Sunnah, No: 1, Th. 1 November 1992, h. 49, dan Abu Nu‟aim al-Atsary, Menyoal sifat wajib 20 dalam:

http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/429.

41Asy‟ariyah adalah sebutan bagi para pengikut Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dimasa ia

belum bertaubat dan membenarkan akidah Imam AÍmad -, namun AsyÉ‟irah adalah sebutan untuk ajaran itu sendiri, lihat AÍmad MaÍmËd ØubÍÊ, FÊ Ilmi al-KalÉm, DirÉsah Falsafiah li ÓrÉ‟il Firaq Al-IslÉmiyah fÊ UÎËli al-DÊn, (Beirut: DÉrى al-NahÌah al-‟Arabiyyah, Cet. 1, Th. 1981), Jilid 2, h. 14.

42


(14)

AÍmad bin Hanbal berada diatasnya, terutama dalam masalah

asm

É’

dan

Î

if

É

t

karena pada sisi itulah terjadi perpecahan dan perdebatan dalam dunia ilmu kal

É

m.

Ibnu KatsÊr (w. 774 H)

berkata, „Para ulama menyebu

tkan bahwa Syaikh

Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê memiliki tiga fase pemikiran:

Pertama, mengikuti

pemikiran Mu‟tazilah yang kemudian beliau keluar darinya,

Kedua, menetapkan

tujuh

Î

if

É

t

aqliyyah, yaitu;

×

ay

É

t,

‟Ilmu, Qudrah, Ir

É

dah, Sama‟, Ba

Î

ar, dan

Kal

É

m, dan beliau menakwil

Î

if

É

t khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak

kaki, betis, dan yang semisalnya.

Ketiga, menetapkan semua

Î

ifat Allah

tanpa

taky

Ê

f dan

tasyb

Ê

h sesuai

manhaj para salaf

43

, inilah jalan yang ia pilih dalam

kitabnya yang berjudul al-Ib

É

n

a

h yang merupakan akhir karangannya

‟.

44

Abu al-×asan al-

Asy‟arÊ

berkata bahwa, “Pendapat yang kami pegang dan

agama yang kami yakini adalah berpegang kepada kitab Rabb kami

dan sunah

Nabi kami

dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi

in, dan para imam

hadis. Kami berpegang kepada semua itu dan kami mengatakan apa yang

diucapkan oleh Abu

Abdillah AÍmad bin MuÍammad bin ×anbal -semoga Allah

mengangkat derajatnya dan mengagungkan pahalanya-. Kami menyelisihi

pendapat yang menyelisihi ucapannya, karena ia adalah imam yang agung,

pemimpin yang mulia, yang dengannya Allah

menjelaskan kebenaran dan

menepis kesesatan orang-orang yang ragu. Semoga Allah

melimpahkan rahmat

43

Lihat Scharbrodt, Oliver. 2013. The Salafiyya and Sufism: MuÍammad „Abduh and His RisÉlat al-WÉridÉt (Treatise on Mystical Inspiration). Western Kentucky University.

44 Ibnu KatsÊr, al-BidÉ

yah wa al-NihÉyah, TaÍqÊq „Abdullah bin „Abd al-MuÍsin al-TurkÊ, (DÉr al-Hajar, Cet. 1, Th. 1417 H), Jilid XI, h. 187.


(15)

atasnya.”

45

Ucapan al-

Asy‟ar

Ê di atas menunjukkan pertaubatannya dari akidah

yang sebelumnya ia yakini dan pernyataannya atas kebenaran mazhab Ahlusunah

waljamaah atau A

Î

h

É

b al-Had

Ê

ts

46

, yang mana sosok Imam AÍmad bin ×anbal di

kala itu diakui sebagai salah seorang pembawa benderanya.

Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh al-A

sy‟ar

Ê

sebelum ia kembali kepada

manhaj yang

Í

aq, hingga kini masih bergulir dan

digeluti oleh banyak kaum muslim. Hal yang paling menonjol adalah penetapan 7

sifat wajib bagi Allah

yang kemudian dikembangkan oleh

mutaakhir

Ê

n

Asy‟ariyah sehingga menjadi

20 sifat

47

dan penakwilan

Î

if

É

t

khabariyah. Inilah

yang kemudian menjadi akidah Asy'ariyah dalam penetapan

Î

if

É

t Allah

.

48

Dalam perkembangannya, pemikiran

kal

É

m Asy'ariyah telah melewati

masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlusunah

waljamaah, terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan

prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantik (logika) dan

ilmu kal

É

m

. Pergeseran inilah yang menyebabkan rentannya mazhab Asy‟ariyah

untuk tersusupi pemikiran-pemikiran batil. Dan secara umum mereka sejalan

45 Abu al-Hasan al-Asy‟arÊ, al-IbÉnah ‟

an UÎËli al-DiyÉnah, TaqrÊÐ Syaikh ×ammÉd al-AnÎÉri dan TaÍqÊq Abu „AbdurraÍman NabÊl ØalÉh „Abd al-MajÊd SÉlim (Mesir: DÉr al-BaÎÊrah, Cet. 1, Th. 2003), h. 55.

46 Istilah Ahlusunah waljamaah sudah ada sejak masa sahabat Nabi yang kemudian

istilah tersebut digunakan untuk membedakan antara para perawi hadis yang setia terhadap sunnah Nabi  dan yang menyimpang dari sunnahnya sehingga telah ada pula istilah ahlu al-Bidah atau ahlu al-AhwÉ‟. Yang perlu diketahui bahwa penamaan Ahlusunah waljamaah memiliki kesamaan makna dan maksud dengan penamaan AÎhÉbu al-×adÊts, al-SalafiyyËn, Ahlu al-AtsÉr, al-Firqatu al-NÉjiyah, dan al-ÙÉifah al-ManÎËrah. Lihat pemaparan hal ini dalam IbrÉhÊm bin ‟Ómir al-RuÍailÊ, Mauqifu Ahlu al-Sunnati wa al-JamÉ‟ah Min Ahli al-AhwÉ‟i wa al-Bida‟i, (Madinah: Maktabatu al-GhurabÉ‟ al-Atsariah, Cet. 1, Th. 1423 H) , Jilid I, h. 44-72.

47Abd al-SalÉm SyÉkir, al-Ta‟lÊqatu al-MufÊdatu „ala ManÐËmatai Jauharati al-TawÍÊd

wa Bad‟i al-AmÉlÊ, (Janub Ifriqiya: al-JÉmi‟ah al-IslÉmiyah Linsyia, Th. 1422 H), h. 13.

48 Abu IbrÉhÊm, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, h. 51 .


(16)

dengan Ahlusunah waljamaah dalam beberapa masalah akidah, dan berbeda

dalam beberapa perkara akidah lainnya.

49

Perberkembang pesat mazhab Asy'ariyah menjadikannya sebagai mazhab

kal

É

m tersendiri yang tersebar ke banyak negeri Islam

50

dan menjadi mazhab

kebanyakan dari kaum muslim. Dari sinilah awal munculnya klaim bahwa mereka

adalah golongan yang berada di atas kebenaran (

Í

aq) dan mereka adalah

representasi dari Ahlusunah waljamaah.

51

49 Ibid, h. 49.

50Di antara sebab utama tersebarnya akidah Asy‟ariyah di tengah kaum muslim, adalah:

a. Anggapan bahwa paham Asy‟ariyah adalah Ahlusunah dan banyaknya ulama yang menyibukkan diri dengan sunah Nabi  yang berpegang dengan akidah mereka serta menjadi pembela-pembelanya. Pada umumnya mereka adalah ahli hadis dan fikih yang menisbatkan diri kepada Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, meskipun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang tidak sejalan dengan akidah Abu al-×asan al-Asy‟arÊ.

b. Di masa khilÉfÉh AbbÉsiyah, kota Baghdad merupakan pusat peradaban Islam yang banyak didatangi ulama, mereka mencari ilmu di dalamnya, dan membawanya ke negeri-negeri mereka.

c. Dukungan penguasa dan dijadikannya Asy‟ariyah sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini seperti pernah terjadi di masa pemerintahan Dinasti Gaznawi di India (abad 11-12 M) sehingga

tersebarlah akidah Asy‟ariyah di India, Pakistan, Afghanistan, dan Indonesia. Demikian pula di

masa pemerintahan Dinasti Saljuk (11-14 M) melalui perdana menterinya NiÐÉmu al-Mulk (w. 585 H), ia mendirikan Madrasah NiÐÉmiyah yang menjadi lembaga representatif pengajaran

akidah Asy‟ariyah, dan pengaruhnya sampai ke Asia Tengah dan banyak wilayah Islam yang lain. Demikian pula al-MahdÊ bin TËmart (524 H) yang menjadikan Asy‟ariyah sebagai mazhab Dinasti MuwaÍÍidÊn, dan NuruddÊn MuÍammad ZankÊ (w. 569 H) yang mana ia mendirikan DÉr al-×adÊts di Damaskus yang dipimpin langsung oleh Ibnu ‟AsÉkir. Lihat

„AbdurraÍman bin ØÉliÍ bin ØÉliÍ al-MaÍmËd, Mauqifu Ibnu Taimiyah min al-AsyÉ‟irah (RiyÉÌ: Maktabatu al-Rusyd, Th. 1415 H, Cet. 1), h. 498-504 dengan meringkas.

51

MurtaÌÉ al-ZabÊdÊ (w. 1205 H) menyatakan:

ىُ يِ ْيِرْ َُتاَمْ َ ىُةَ ِ اَشَ ْ ىاَ َْ ِمىُ َ ُمْ اَ ىِ َس ىُ ْهَ ىَ ِ ْ ُ ى َ ِ

Artinya: “Apabila dinyatakan Ahlusunah maka yang dimaksudkan adalah AsyÉ‟irah dan MÉturidiyah.” Lihat dalam Sulaiman A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hal: 150-158. Pendapat senada juga dituturkan JalÉl MuÍammad MËsÉ dengan menyatakan bahwa sunnÊ adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy‟ariyah dan merupakan lawan dari Mu‟tazilah. Lihat JalÉl MuÍammad „Abd al-×amÊd MËsÉ, Nasy‟at al-AsyÉ‟irah wa TaÏawwuruhÉ,(Beirut: DÉr al-Kutub al-LubnÉni, 1390 H), h. 15. Harun Nasution –dengan meminjam keterangan Tasya Kubra ZÉdah- juga menyatakan bahwa aliran Ahlusunah muncul atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy‟arÊ sekitar tahun 300 H. Lihat Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI press, Th. 1986), h. 64 dan Abdul Rozak dan Rasihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2, Th. 2006), h. 119.

Dakwaan Asy‟ariyah di atas adalah tidak benar, karena tidaklah samar bagi siapa saja yang mempelajari akidah salaf, ia akan menjumpai banyak perbedaan antara mazhab Ahlusunah waljamaah dan mazhab Asy'ariyah dalam masalah uÎËlu al-dÊn. Uraian secara lebih mendalam akan diulas di pembahasan Bab IV. Lihat „Abd al-‟AzÊz bin Rayyis al-Rayyis, Ta‟kÊdu


(17)

al-Di Indonesia

52

, pemikiran kal

É

m Asy'ariyah diajarkan secara mendalam di

kebanyakan pesantren tradisionalis yang pada umumnya mengajarkan fikih

mazhab SyÉ

fi‟

Ê

dan akidah Asy‟ariyah.

53

Lebih dari itu akidah Asy‟ariyah juga

telah merambah ke kurikulum pendidikan Agama Islam Departemen Agama.

54

Tidak hanya sampai di sini, setelah diperhatikan penerjemahan Alquran di

Indonesia, yang pada umumnya mengacu kepada terjemah Departemen Agama

Republik Indonesia, di dalamnya terdapat penakwilan

Î

if

É

t khabariyah bagi Allah

. Ini menunjukkan kekuatan pengaruh mazhab AsyÉ

‟irah

di bumi Indonesia.

55

MusallamÉt al-Salafiyah fi NaqÌi al-Fatwa al-JamÉ‟iyyah bi anna al-AsyÉ‟irah min al-Firqah al-MarÌiyah, (Kairo: DÉr ImÉm AÍmad , Cet. 1, Th. 2007).

52

Bahkan di seluruh Asia Tenggara hal ini sebagaimana dibuktikan dalam hasil penelitian. Lihat Abdul Øukor Husin, Ahli Sunah Waljamaah Pemaham Semula , (Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia, Th. 1998) dan Lik, Arifin Mansurnoor. 2008. Islam in Brunei Darussalam: Negotiating Islamic Revivalism and religious Radicalism. Islamic Studies, 47 (1), 65-I. Retrieved from http://search .proquest.com/docview/287950425?accountid=34598.

53 Adalah Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu dari ormas Islam yang terbesar di

Indonesia, secara masif dan tegas mendasarkan pemahaman keagamaan berdasar mazhab SyÉfi‟Ê

dan akidah Asy‟ariyah. Disebutkan dalam situs resminya, bahwa NU menganut paham Ahlussunah Waljamaah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim akli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Alquran, Sunah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu al-×asan al-Asy'arÊ dan Abu ManÎËr al-MÉtËrÊdÊ dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab; ×anafÊ, MÉlikÊ, SyÉfi'Ê, dan ×anbalÊ. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode al-GhazalÊ dan Junaid al-BaghdÉdÊ, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Lihat http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,7-t,paham+keagamaan-.phpx.

54

Contoh untuk hal ini adalah diajarkannya sifat wajib 20 di kebanyakan lembaga pendidikan Islam dari jenjang Taman Pendidikan Alquran (TPA) sampai Perguruan Tinngi Agama Islam (PTAI), demikian pula pengajaran teori al-kasbu dalam pembahasan takdir di jenjang PTAI. Sedangkan di pesantren dikaji kitab-kitab yang mengandung pemikiran Asy‟ariyah seperti:

„AqÊdatu al-„AwwÉm, Ummu al-BarÉhin, KÉsyifatu al-HÉj, QaÏru al-Ghaits, MasÉil al-Laits, dan

lain-lain. Lihat AbdurraÍman MubÉrak, Pengaruh Akidah Asy’ariyah Terhadap Umat, Majalah

Asy Syari’ah, No: 74/ VII/ 1432 H/ 2011, h. 25-27. 55

Penulis memperhatikan Alquran terjemah cetakan Departemen Agama RI tahun 1985 dan Alquran terjemah cetakan Tiga Serangkai Solo dengan tashih Departemen Agama RI tahun 2007, dan di dalamnya terdapat penakwilan atas sifat al-ityÉn bagi Allah  sebagaimana dalam terjemah QS. Al-Baqarah: 210 dan QS. Al-An‟Ém: 158, penakwilan sifat wajah bagi Allah  sebagaimana dalam QS. Al-QaÎaÎ: 88 dan QS. Al-RaÍmÉn: 27. Hal yang sama tidak terjadi pada Alquran terjemah yang dicetak oleh Mujamma‟ al-Malik Fahd li ÙibÉ‟ati al-MuÎÍaf al-SyarÊf, Madinah KSA tahun 1418 H, meskipun mereka mengacu pada terjemah Departemen Agama Republik Indonesia, namun Mujamma‟ telah meneliti ulang terjemahan tersebut sehingga tidak ada penakwilan ÎifÉt khabariyah bagi Allah .


(18)

Apa yang telah dipaparkan dengan singkat di atas adalah pendorong

utama dilakukannya penelitian untuk meneliti dan mendalami pemikiran asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

menurut Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê di akhir perjalanan

keagamaannya, serta berusaha mendudukkan pemikiran asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

menurut

Asy‟ariyah

, mengingat pemikiran mereka tentang

asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

telah tersebar di tengah umat Islam dan terkesan bahwa pemikiran tersebut

adalah akhir dari pemikiran Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê. Penulis meyakini

diperlukannya suatu penelitian untuk menjelaskan kepada kaum muslim

pemikiran Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê tentang asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

?

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:

1.

Bagaimanakah pemikiran Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê tentang

asm

É’

dan

Î

if

É

t

Allah

?

2.

Bagaimanakah pemikiran Asy‟ariyah tentang

asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

?

C.

Tujuan Dan Kontribusi Penelitian

Secara formal, penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi

syarat memperoleh gelar sarjana strata dua (S-2) Magister Pemikiran Islam di

Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013. Adapun tujuan non formal dari

penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran deskriptif yang lebih jelas

tentang pemikiran Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê

dan Asy‟ariyah tentang

asm

É’

dan


(19)

keduanya dalam hal akidah secara umum dan secara khusus dalam hal asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

.

Adapun kontribusi penelitian yang diharapkan adalah sumbangsih ilmiah

yang berupa kajian tentang pemikiran Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê dalam masalah

asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kaum muslim

secara umum dan bermanfaat bagi para penuntut ilmu dalam hal akademis secara

khusus.

D.

Studi Terdahulu

Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê adalah tokoh yang mendapat perhatian dari para

sarjana muslim, karena kepadanyalah Asy‟ariyah menisbatkan pemikiran kalam

mereka dan mengingat iktikad akhir beliau yang banyak diperdebatkan oleh para

ahli

ta

Í

q

Ê

q.

Oleh sebab itulah kajian tentang Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê

mendapatkan perhatian dari ulama dan ahli

ta

Í

q

Ê

q guna diketahui pemikiran

akidah beliau yang sebenarnya. Di antara kajian yang penulis dapatkan tentang

pemikiran kalam Abu al-×asan al-

Asy‟arÊ adalah sebagai berikut, yaitu:

1.

Nukman Abbas,

Al-

Asy‟ar

Ê (874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia Dan

Takdir Tuhan

, (Jakarta: Erlangga, Cet. 1, Th. 2008).

Nukman Abbas diawal

pembahasannya menyoroti sebab dari terjadinya perpecahan di tubuh kaum

muslim

sebagaimana umumnya para peneliti-, ia memandang bahwa hal

tersebut adalah disebabkan karena percaturan politik yang berkembang

menjadi percaturan pemikiran kalam. Ia juga menjelaskan bahwa munculnya

mazhab al-Asy

‟ar

Ê adalah penengah dari santernya percaturan pemikiran


(20)

kalam dalam masalah

il

É

hiy

É

t, dan ia adalah representasi dari Ahlusunah

waljamaah. Kajian Nukman Abbas hanya menitik beratkan pembahasannya

pada pergulatan pemikiran dalam masalah takdir dan secara khusus ia

mengkaji teori

kasbu yang mana itu adalah hasil pemikiran dari Abu

al-×asan al-

Asy‟ar

Ê untuk menengahi polemik antara Qadariyah dan Jabariah

ketika itu. Ia juga menyoroti tentang bagaimanakah akibat dari teori al-kasbu

yang telah banyak dianut oleh manusia yang dikatakannya sebagai sebab

kemunduran umat Islam ?!

2.

Agus Hasan Bashari, Abu al-

×

asan al-Asy‟ar

Ê

Imam yang Ter

Ð

alimi, (Malang:

Pustaka Qiblati, Cet. 1, Th. 2009). Dalam kajiannya, Agus Hasan Bashari

mengawali kajian dengan biografi Abu al-×asan al-

Asy‟arÊ dan penjelasan

akan akidah beliau secara umum dan secara khusus ia menjelaskan secara

ringkas akidah

Asy‟ariyah

disertai dengan penukilan dari para imam mereka,

para ulama‟ yang terpengaruh dengan pemikiran

kalam

Asy‟ariyah, dan di

akhir k

ajiannya, ia membawakan kajian tentang sikap ulama‟

Ahlusunah

waljamaah terhadap

Asy‟ariyah

.

3.

×amËdah GharÉbah, Abu al-

×

asan al-

Asy‟ar

Ê

, (Kairo: Majma‟ al

-Buhuts

al-Islamiyyah, Th. 1973). Dalam kajiannya, ×amËdah GharÉbah mengawali

dengan menjelaskan tentang awal terjadinya perpecahan di tengah umat Islam,

kemudian menjelaskan biografi dari Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê dan pemikiran

kalamnya secara umum sebagaimana terdapat dalam karya-karyanya. Dalam

penelitian ini ×amËdah GharÉbah tidak menjelaskan akidah akhir yang

diyakini oleh

al-

Asy‟ar

Ê sebagaimana terdapat dalam

al-IbÉnah

dan

MaqÉlÉt


(21)

al-IslÉmiyyÊn.

Di akhir kajiannya, ×amËdah GharÉbah menjelaskan posisi

al-Asy’arÊ di hadapan para pembela dan penentangnya.

4.

MuÍammad SulaimÉn al-Asyqar,

Mu‟taqadu al

-Im

É

m Ab

Ê

al-

×

asan al-

Asy‟ar

Ê

wa Manhajuhu, (Jordania: DÉr al-NafÉis, Cet. 1, Th. 1994). Dalam kajiannya,

MuÍammad SulaimÉn al-Asyqar menjelaskan secara global tentang biografi

dari Abu al-×asan al-

Asy‟arÊ, kedudukan beliau di hadapan para ulama dan

pendapat ulama atasnya. Beliau juga menjelaskan tentang

manhaj

Abu

al-×asan al-

Asy‟ar

Ê dalam akidah dan akidah beliau secara umum sebagaimana

terdapat dalam tiga karya akhir

al-

Asy‟ar

Ê. Beliau menguatkan bahwa

al-Asy‟ar

Ê telah rujuk kepada mazhab Salam dalam akidah.

5.

Abu Bakr KhalÊl IbrÉhÊm al-MËÎilÊ,

Syu‟batu al-Aq

Ê

dah baina Abi al-

×

asan

al-

Asy‟ar

Ê

wa al-Muntasib

Ê

na ilaihi f

Ê

al-Aq

Ê

dah, (Beirut: Dar kutub al-Arabi,

Cet.1, Th. 1410). Dalam kajiannya, Abu Bakr KhalÊl IbrÉhÊm al-MËÎilÊ lebih

menyoroti masalah

ÎifÉt

Allah

menurut

Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê dan

Asy’ariyah

. Ia tidak menjelaskan tentang

asmÉ’

Allah

menurut

Abu

al-×asan al-

Asy‟arÊ

dan Asy’ariyah

, serta apa yang melatarbelakangi pemikiran

Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê

dan Asy’ariyah tentang

asmÉ’

dan

ÎifÉt

Allah

.

Dan di akhir kajiannya, ia menegaskan akan kesalafian Abu ×asan

al-Asy‟ar

Ê dalam masalah akidah.

6.

Abdullah SyÉkir al-JunaidÊ,

TaÍqÊq wa DirÉsah ’alÉ

Ris

É

latun il

É

Ahli

al-Tsaghr,

(Madinah: Maktabatu al-

„Ulumu wa al

-Hikam, Th. 1409 H, Cet. 1).

Kitab ini asalnya adalah tesis yang diajukan kepada Universitas Islam

Madinah KSA tahun 1422 H. Dalam kajiannya,

Abdullah SyÉkir al-JunaidÊ


(22)

melakukan penelitian dan pembuktian atas kebenaran penisbatan kitab

Ris

É

latun il

É

Ahli al-Tsaghr

kepada Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê. Ia juga

menjelaskan

dengan memberikan

ta’lÊq

- akan kesesuaian akidah

al-

Asy‟ar

Ê

dalam kitab tersebut dengan akidah salaf saleh. Ia menyimpulkan benarnya

penisbatan kitab Ris

É

latun il

É

Ahli al-Tsaghr

kepada Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê

dan kesesuaian akidahnya dengan Ahlusunah waljamaah salaf saleh.

7.

ØÉlih Muqbil al-

„U

ÎaimÊ, al-Ib

É

n

a

h

‟an

U

ÎË

li al-Diy

É

nah,

Ta

Í

q

Ê

q wa Syar

Í

,

(RiyÉÌ: DÉr al-FaÌlilah, Cet. 1, Th. 1432 H). Kitab ini asalnya adalah disertasi

doctoral

yang diajukan kepada Universitas al-Imam Malik bi

n Su‟

Ëd RiyÉÌ

KSA tahun 1432 H dan ia adalah penelitian terkini yang mengungkapkan

kekurangan penelitian-penelitian yang terdahulu atas kitab

al-Ib

É

n

a

h

‟an

U

ÎË

li al-Diy

É

nah. Dalam kajiannya,

ØÉlih Muqbil al-

„U

ÎaimÊ melakukan

penelitian dan pembuktian atas kebenaran penisbatan kitab

al-Ib

É

n

a

h

‟an

U

ÎË

li al-Diy

É

nah kepada Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê sebagaimana pula ia

memberikan sanggahan atas argumentasi pengingkar kitab

al-Ib

É

n

a

h

‟an

U

ÎË

li al-Diy

É

nah. Ia juga menjelaskan secara detail

dengan memberikan

ta’lÊq

- akan kesesuaian akidah

al-

Asy‟ar

Ê dalam kitab tersebut dengan akidah

salaf saleh. Ia menyimpulkan benarnya penisbatan kitab al-Ib

É

n

a

h

‟an U

ÎË

li

al-Diy

É

nah kepada Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê dan kesesuaian akidahnya dengan

Ahlusunah waljamaah salaf saleh.

Adapun penelitian secara khusus tentang pemikiran Abu ×asan

al-Asy‟ar

Ê tentang

asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

dengan membandingkan dan mengkaji

pemikiran Asy‟ariyah dalam masalah yang sama d

an melihat kepada latar


(23)

belakang pemikiran kalam (akidah) keduanya, maka belum ditemukan, baik yang

berupa skripsi, tesis, disertasi, ataupun kajian kepustakaan lain dari peneliti di

Indonesia.

Oleh sebab itu penulis beranggapan bahwa penelitian secara khusus

tentang pemikiran Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê tentang asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

adalah belum pernah dilakukan.

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pembuka bagi para peneliti lain

untuk mengkaji lebih dalam tentang pemikiran kalam (akidah) Abu ×asan

al-Asy‟ar

Ê, menambah wawasan, dan menerangkan kepada masyarakat tentang

kebenaran yang belum terungkap dari karya-karyanya serta kesalahan yang harus

dihindarkan terkait dengan Abu al-×asan al-

Asy‟ar

Ê.

E.

Kerangka Teori

Yang menjadi kerangka teori pada penelitian ini adalah teori tentang

asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

. Ulama membahasnya secara terintegrasi dalam

pembahasan iman kepada Allah

yang di dalamnya mengharuskan keimanan

atas wujud-Nya, kekhususan perbuatan-Nya (rub

Ë

biyah), hak peribadatan hanya

kepada-Nya (ul

Ë

hiyah), dan kekhususan

asm

É’

dan

Î

if

É

t-Nya.

56

Pembahasan

tentang

asm

É’

dan

Î

if

É

t Allah

adalah bagian dari pembahasan keimanan atau

pembahasan tauhid

57

sehingga lazim dikenal dalam kitab-kitab akidah dengan

istilah taw

ÍÊ

d al-asm

É’

wa al-

Î

if

É

t.

56

MuÍammad bin ØÉliÍ al-‟UtsaimÊn, SyarÍu TsalÉtsatu al-UÎËl, (Kairo: DÉr al-ImÉm AÍmad , Cet. 1, Th. 2006), h. 80-90.

57 Kata tauhid dalam bahasa Arab terambil dari kata waÍÍ

ada- yuwaÍÍidu- tawÍÊdan yang berarti menyatukan atau mengesakan. Lihat AÍmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, Cet. 2, Th. 1997), h. 1103.

Pembagian tauhid menjadi tiga (rubËbiyah, ulËhiyah, dan asmÉ’ wa al-ÎifÉt) adalah berdasarkan nas-nas Alquran dan sunah yang dirumuskan berdasarkan istiqrÉ‟, sehingga ia bukanlah suatu hal yang baru (bidah) dan bukan pula pembagian yang berdasar pada kaidah-kaidah Ahlu al-KalÉm. Sebagian ulama salaf yang lain membaginya menjadi dua; Pertama:


(1)

yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama -nama-Nya61, nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. Al-A‟rÉf: 180).

ىُمْلِكَْا ىُ َْيِ َ ْ ىَ ُهَ ىِ ْرَ ْ َ ى ِت َ اَمس ىِِْى َ ْ َ ْ ىُ َثَمْ ىُهَ َ

Artinya: “Dan milik-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al-RËm: 27).

ىُ َْلِصَ ْ ىُ ْلِمس ىَ ُهَ ىٌءْ َشىِهِ ْثِمَكىَ ْلَ

Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat” (Q.S. Al-SyËrÉ: 11).

Bertolak dari nas-nas di atas, ulama salaf membangun akidah tentang

asmÉ’ wa al-ÎifÉt di atas sikap ketundukan (taslÊm) dan mengimaninya sebagaimana makna ÐÉhir-nya karena ia termasuk nas-nas yang muÍkamÉt.

Mereka menafikan adanya tasybÊh antara khalik dan makhluk, tidak melampaui Alquran dan sunah, dan menyerahkan hakikat sifat-sifat Allah  kepada-Nya serta tidak memperdebatkannya.62

Dalam mengimani nas-nas asmÉ’ wa al-ÎifÉt, terdapat dua firqah (golongan) yang menyimpang dari jalan (manhaj) salaf saleh; Pertama,

musyabbihah yaitu mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan menjadikan ÎifÉt Allah  sebagaimana ÎifÉt makhluk-Nya, termasuk dari mereka adalah RÉfiÌah yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Kedua,

mu’aÏÏilah yaitu mereka yang menafikan ÎifÉt Allah  dengan argumentasi mensucikan Allah  dari keserupaan dengan makhluk (tasybÊh), termasuk dari mereka adalah Jahmiyah yang menafikan seluruh asmÉ’ dan ÎifÉt Allah ,

Mu’tazilah yang menetapkan asmÉ’ Allah  dengan menafikan maknanya serta

61Maksudnya, janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan

nama-nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah , atau dengan memakai al-asmÉ‟ al-ÍusnÉ, tetapi dengan maksud menodai nama Allah  atau mempergunakan al-asmÉ‟ al usnÉ untuk nama-nama selain Allah .

62 ØÉliÍ bin FauzÉn al-FauzÉn, MajmË‟atu RasÉ

il fÊ al-TawÍÊd, (Kairo: DÉr al-‟AqÊdah, Cet. 1, Th. 2004), h. 204.


(2)

menafikan ÎifÉt Allah  secara total, dan AsyÉ’irah serta MÉtËrÊdiyah yang menetapkan asmÉ’ Allah  dan sebagian dari ÎifÉt Allah  yang dibenarkan secara akal dan menafikan ÎifÉt Allah  yang lain.63

F. Metode Penelitian

Penelitian tesis ini merupakan penelitian kualitatif 64 yang akan dikembangkan dalam sebuah metode penelitian ilmiah (the scientific method of research). Secara teknis penelitian akan dioperasikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder65 termasuk terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang mengkaji tema paralel. Sumber-sumber primer diperoleh dari karya-karya Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang menerangkan akhir pemikiran keagamaannya yaitu: MaqÉlÉtu al-IslamiyyÊn wa IkhtilÉfu al MuÎallÊn, RisÉlatun ilÉ Ahli al-Tsaghr, dan al-IbÉnah ‟an UÎËli al-DiyÉnah. Sedangkan sumber-sumber sekunder diperoleh dari tulisan-tulisan tentang Abu

63ØÉliÍ bin FauzÉn al-FauzÉn, Muqarrar al-TawÍÊd li al-Øaffi al-Awwali al-ÓlÊ fÊ

al-Ma’Éhid al-IslÉmÊ, (Jakarta: Muassasah al-Øafwah, Th. 1429 H), h. 122.

64Bogdan dan Taylor mendefinisikan “metodologi kualitatif ” sebagai prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. 3, Th. 1991), h. 3.

65Menurut Bekker, istilah untuk sumber primer adalah “pustaka primer” yaitu karya

-karya tulis pribadi tokoh yang diteliti. Adapun sumber data sekunder disebut “pustaka sekunder”, yaitu karangan atau monografi yang ditulis khusus tentang tokoh yang diteliti. Anton Bakker dan A. Charris Zubaidi, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cet. 7, Th. 1999), h. 63.


(3)

×asan al-Asy‟arÊ dan pemikiran kalamnya yang terdokumentasikan dalam buku, makalah, artikel, jurnal, dan majalah yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian tesis ini, di antaranya: al- abbu „an AbÊ al-×asan al-Asy‟arÊ wa Kitabihi al- al-IbÉnah ‟an UÎËli al-DiyÉnah oleh Ibnu Darbas, Mu‟taqadu al-ImÉm AbÊ

al-×asan al-Asy‟arÊ wa Manhajuhu oleh MuÍammad SulaimÉn al-Asyqar, Abul

×asan al-Asy‟arÊ Imam yang TerÐalimi oleh Agus ×asan Bashari, Abu al-×asan al-Asy‟arÊ oleh ×amËdah GharÉbah, dan Manhaju al-AsyÉ‟irah fÊ al-„AqÊdah oleh Safar bin „AbdurraÍmÉn al-×awalÊ, dan lain-lain.

2. Sifat dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, analitis kritis, dan perbandingan66, yaitu berupaya menggali dan menemukan pemikiran-pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ lewat beberapa karangannya sebagai sumber data primer. Data-data yang diperoleh kemudian dideskripsikan serta dianalisa dengan pendekatan kategorisasi dan perbandingan. Yang dimaksud pendekatan kategorisasi di sini adalah merumuskan pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dalam bentuk kategori dan pengelompokan tema-tema tertentu, sehingga pemikirannya dapat dilihat melalui data yang telah ada. Adapun pendekatan perbandingan (comparative approach) yang digunakan adalah membandingkan pandangan-pandangan Abu al-×asan al-Asy‟arÊ dengan pandangan-pandangan Asy‟ariyah tentang asmÉ‟ dan ÎifÉt Allah

66 Menurut Yuyun, metode analisis kritis data dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

Pertama, mendiskripsikan gagasan yang menjadi obyek penelitian. Kedua, melakukan interpretasi terhadap gagasan dengan melakukan komparasi pemikiran yang berbicara pada pada topik yang sama. Ketiga, melakukan kritik dalam metode analisis kritis adalah dengan mengungkapkan kelebihan dan kekurangan gagasan yang menjadi obyek penelitian. Keempat, melakukan studi analisis terhadap serangkaian gagasan primer yang menjadi obyek penelitian ini dalam bentuk perbandingan. Lihat M. Deden Ridwan (ed.), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, Cet. 1, Th. 2001), h. 45-46.


(4)

 serta pandangan-pandangan lain yang berkaitan dengan tema yang ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui letak persamaan dan perbedaannya.

Pada pembahasan latar belakang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ, digunakan pendekatan sosiologis67 dan historis68. Pendekatan ini menjadi sebuah keniscayaan untuk mengungkap hhal yang melatarbelakangi pemikiran Abu

al-×asan al-Asy‟arÊ dengan melihat sejarahnya, berangkat dari tesis bahwa fase terbentuknya aspek fisik dan mental (intelegensi) seseorang dipengaruhi oleh faktor geografis, iklim, dan budaya tempat mereka berada69.

3. Metode Analisis Data

Penelitian ini mengunakan metode content analisyst (analisis isi)70, sebagaimana dinyatakan Yuyun S. Sumantri 71 , metode ini meniscayakan digunakannya analisyst comparative (analisis perbandingan) untuk memetakan posisi pemikiran tokoh yang menjadi obyek penelitian di antara pemikir-pemikir lainnya. Pada proses penarikan kesimpulan, penelitian ini menggunakan metode deduksi, induksi, dan komparasi. Metode deduksi adalah tata cara penarikan kesimpulan dengan berangkat dari kaidah-kaidah umum, sedangkan induksi adalah tata cara penarikan kesimpulan dengan berangkat dari sebab-sebab khusus.

67 Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap

dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini, suatu fenomena social dapat dianalisa dengan factor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses tersebut. Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, Cet. 6, Th. 2001), h. 39.

68

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Ibid, h. 46.

69 Lihat „AbdurraÍman Ibn Khaldun, MuqaddimÉt Ibn Khaldun, h. 30. 70

Metode content analisyst adalah menganalisa data melalui isinya melalui sumber primer, data yersebut dianalisa secara kritis dari sudut pandang historis, sosial budaya. Lihat Imam Suprayogi dan Thobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya, Cet. 1, Th. 2001), h. 71-73.

71


(5)

Adapun komparasi, maka ia adalah tata cara penarikan kesimpulan dengan berangkat dari membandingka antara dua obyek atau lebih.

Adapun alur proses penelitian ini maka dapat diterangkan secara singkat sebagai berikut; karena penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka, maka dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan. Pertama-tama dicari segala buku yang ada mengenai tokoh yang dijadikan obyek penelitian, kemudian dikonsultasikan kepustakaan yang umum dan yang khusus.72

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah gambaran tentang bahasan yang dilakukan dalam tulisan ini maka disini akan disampaikan garis-garis besar yang terdiri dari lima bab dengan rincian berikut:

Bab pertama berisikan tentang latar belakang masalah yang akan diangkat dalam penulisan tesis ini, rumusan masalah, penelitian terdahulu, kerangka teori, sistematika penulisan.

Bab kedua berisikan tentang biografi Abu al-×asan al-Asy‟arÊ yang mencakup tentang situasi politik dan pemikiran Islam yang berkembang di masanya.

Bab ketiga berisikan pembahasan tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  dan akidah Ahlusunah waljamaah tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah .

Bab keempat berisikan pembahasan tentang pemikiran Abu al-×asan al-Asy‟arÊ tentang asmÉ’ dan ÎifÉt Allah  dan apa yang melatarbelakangi diskrepansi pemikirannya dengan AsyÉirah.

72


(6)

Dan bab kelima berisi kesimpulan hasil analisis terhadap data penulisan tesis ini, dan diakhiri dengan penutup yang mencakup kritik dan saran.