Isolasi Dan Identifikasi Bakteri Kitinolitik Sebagai Agens Biokontrol Cendawan Patogen Pada Kokon Cricula Trifenestrata (Lepidoptera: Saturnidae).

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI KITINOLITIK
SEBAGAI AGENS BIOKONTROL CENDAWAN PATOGEN
PADA KOKON Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae)

MELDA YUNITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Isolasi dan Identifikasi
Bakteri Kitinolitik sebagai Agens Biokontrol Cendawan Patogen pada Kokon
Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturnidae)” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Melda Yunita
NIM G351130171

RINGKASAN
MELDA YUNITA. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Kitinolitik sebagai Agens
Biokontrol Cendawan Patogen pada Kokon Cricula trifenestrata (Lepidoptera:
Saturnidae). Dibimbing oleh NISA RACHMANIA MUBARIK dan DEDY
DURYADI SOLIHIN.
Cricula trifenestrata merupakan salah satu serangga penghasil sutra alam
yang belum didomestikasi, sehingga dikenal sebagai ulat sutra liar. C.
trifenestrata mengeluarkan air liur yang mengandung protein dan menjadi bahan
pembentukan kokon. Kokon ini dikumpulkan untuk diolah menjadi benang sutra.
Sutra hasil olahan kokon C. trifenestrata memiliki nilai ekonomi yang tinggi di
pasaran karena memiliki serat berwarna kuning emas yang merupakan warna khas
kokonnya. Hal inilah yang menjadi pembeda antara C. trifenestrata dengan ulat
sutra lainnya.

Salah satu patogen yang dikenal menyerang kokon ulat sutra ialah cendawan.
Serangan cendawan dapat mengakibatkan kualitas dan kuantitas benang sutra
yang dihasilkan mengalami penurunan. Di India, kegagalan panen kokon akibat
serangan cendawan mencapai 30-40%. Cendawan memiliki dinding sel yang
tersusun atas kompleks kitin dan merupakan target utama bagi agens anti
cendawan, misalnya fungisida kimiawi. Namun, adanya dampak negatif yang
ditimbulkan dari penggunaan fungisida kimiawi menyebabkan perlu dicari
fungisida biologi seperti memanfaatkan bakteri kitinolitik potensial yang mampu
menghambat bahkan membunuh cendawan patogen karena menghasilkan enzim
kitinase. Bakteri kitinolitik memiliki potensi tinggi sebagai agens pengendali
biologi terhadap cendawan patogen pada C. trifenestrata sehingga penurunan
kualitas dan kuantitas sutra emas dapat dihindari. Tujuan penelitian ini ialah untuk
mengisolasi bakteri kitinolitik dan cendawan patogen asal kokon C. trifenestrata
serta identifikasi dan potensinya sebagai biokontrol.
Hasil isolasi dari kokon C. trifenestrata di Desa Babakan Lebak, Dramaga,
Bogor didapatkan 10 isolat cendawan dan 36 isolat bakteri kitinolitik dengan
Indeks Kitinolitik (IK) bervariasi. Isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 diketahui
mampu menghambat isolat cendawan CSAJ.2 yang diduga sebagai cendawan
patogen dengan persentase penghambatan sebesar 50%. Kitinase yang
dihasilkannya sebesar 5.11 U/mL pada jam ke-15 waktu inkubasi. Ekstrak kasar

kitinasenya memiliki persentase penghambatan sebesar 47.5%. Sekuen hasil
amplifikasi gen penyandi 16S rRNA dan konstruksi pohon filogenetik
menunjukkan bahwa bakteri BSEP.3 memiliki kemiripan 98% dengan Bacillus
amyloliquefaciens galur B5. Sekuen hasil amplifikasi daerah ITS rDNA dan
konstruksi pohon filogenetik menunjukkan bahwa isolat cendawan CSAJ.2
memiliki kemiripan 100% dengan Trichoderma virens galur TV242. Aplikasi
kitinase ekstrak kasar isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 menunjukkan
kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen pada kokon
ulat sutra emas C. trifenestrata baik secera preventif maupun kuratif.
Kata kunci: Bacillus amyloliquefaciens, Trichoderma virens, kitinase

SUMMARY
MELDA YUNITA. Isolation and Identification of Chitinolytic Bacteria as
Biological Control Agent of Pathogenic Fungi on Cocoon Cricula trifenestrata
(Lepidoptera: Saturnidae). Supervised by NISA RACHMANIA MUBARIK and
DEDY DURYADI SOLIHIN.

Cricula trifenestrata is one of the silk producer insect that have not been
domesticated and known as the wild silkworm. C. trifenestrata salivate contains
proteins as cocoon former. This cocoon could be processed into silk yarn.

Processed silk from C. trifenestrata cocoon has high economic and market value
because of its typically golden yellow color. This is the difference between C.
trifenestrata with other silkworm.
One of the known pathogen of cocoon silkworm is the fungi. The fungus
attacks decreased quality and quantity of silk yarn. In India, cocoon crop failure
reached 30-40% influenced due to attack of the pathogenic fungi. Fungus cell wall
composed of chitin complex becoming major target for anti-fungal agents, such as
chemical fungicides. However, the presence of the negative impacts of chemical
fungicide usages can be an important reason to find a biological fungicide such as
the potential chitinolytic bacteria which is able to inhibit or even kill pathogenic
fungi because they could producing chitinase. Chitinolytic bacteria has a high
potential to be used as biological control against pathogenic fungi on C.
trifenestrata, thus reduction of quality and quantity of gold silkworm can be
avoided.
A total of 10 pathogenic fungal isolates and 36 isolates of chitinolytic
bacteria were obtained from cocoon C. trifenestrata in Babakan Lebak Village,
Dramaga, Bogor with a various Chitinolytic Index (CI). BSEP.3 chitinolytic
bacterial isolate could inhibit isolate CSAJ.2 which was suspected as a pathogenic
fungi with a percentage of inhibition 50%. The BSEP.3 chitinase productivity was
obtained 5.11 U/mL at 15th hours of incubation time. The crude extract of

chitinase had a percentage of inhibition 47.5%. Sequence amplification of gene
16S rRNA and contruction of phylogenetic tree showed that isolate BSEP.3 had
98% similarities with Bacillus amyloliquefaciens strain B5. Sequence
amplification of the ITS region of rDNA and contruction of phylogenetic tree
showed that isolate CSAJ.2 had 100% similarities with Trichoderma virens strain
TV242. Application of chitinase crude extract showed its ability in inhibiting the
growth of pathogenic fungi on gold silkworm cocoon C. trifenestrata preventively
and curratively.
Keywords: Bacillus amyloliquefaciens, Trichoderma virens, chitinase

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI KITINOLITIK
SEBAGAI AGENS BIOKONTROL CENDAWAN PATOGEN
PADA KOKON Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturnidae)

MELDA YUNITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

4

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Teguh Santoso, DEA


Judul Tesis

Nama
NIM

: Isolasi dan Identifikasi Bakteri Kitinolitik sebagai Agens
Biokontrol Cendawan Patogen pada Kokon Cricula trifenestrata
(Lepidoptera: Satumidae)
: Melda Yunita
: G351130171

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

______.{

'.vw.u

K

'2:.-

セ@

Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi
Ketua

Dr Dedy Duryadi Solihin, DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mikrobiologi

t?J
Prof Dr Anja Meryandini, MS

Tanggal Ujian: 27 Agustus 2015


Tanggal Lulus:

28 SEP 2015

4

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 sampai Mei 2015 ini
ialah Isolasi dan Identifikasi Bakteri Kitinolitik sebagai Agens Biokontrol
Cendawan Patogen pada Kokon Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturnidae).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi
sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Dedy Duryadi Solihin, DEA sebagai
anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan nasehat, saran,
motivasi, waktu konsultasi, serta solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi
penulis selama melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain
itu penulis ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Dr Ir Teguh Santoso,
DEA dan kepada Prof Dr Anja Meryandini, MS selaku Ketua Program Studi
Mikrobiologi IPB, yang telah memberikan motivasi selama studi dan masukan

pada saat ujian sidang tesis. Terima kasih atas beasiswa pendidikan dan penelitian
BPPDN DIKTI 2013 sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat terlaksana
dengan baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Heni dan Bapak Jaka
selaku teknisi Laboratorium Mikrobiologi IPB, Mikrotropisian 2013 serta seluruh
teman-teman di Laboratorium Mikrobiologi IPB, atas dukungan, motivasi, dan
bantuannya selama penelitian ini. Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis
ucapkan kepada ayah Uluan Nainggolan, ibu Siti Rona Harahap, dan adik-adikku
tercinta Dewi Suryani, SPd, Siti Nurkholiza Putri, SH, Rahmad Heriansyah dan
Aulia Ramadhani tersayang, atas doa, dukungan, kasih sayang, dan semangat
yang diberikan. Terima kasih untuk teman-teman seperjuangan di Program studi
Mikrobiologi IPB angkatan 2013 serta seluruh pihak yang telah memberikan doa
dan dukungannya, penulis ucapkan terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

Melda Yunita

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Ulat Sutra Emas Cricula trifenestrata
Kitin
Kitinase
Bakteri Kitinolitik
Uji Daya Hambat (Uji Antagonis)
Identifikasi Bakteri Kitinolitik Menggunakan Gen 16S rRNA
Identifikasi Cendawan Patogen Menggunakan Gen ITS rDNA
BAHAN DAN METODE
Bahan
Kerangka Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik
Isolasi Cendawan Patogen dan Uji Patogenisitas
Penapisan Bakteri Kitinolitik melalui Uji Daya Hambat terhadap
Cendawan Patogen
Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Kitinase Ekstrak Kasar
Isolat Terpilih serta Uji Daya Hambatnya
Identifikasi Bakteri Kitinolitik secara Morfologi, Biokimia, dan
Molekuler
Identifikasi Cendawan Patogen secara Morfologi dan Molekuler
Aplikasi Kitinase Ekstrak Kasar pada Pupa Sehat secara In vivo
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik
Isolasi Cendawan dan Uji Patogenisitas
Penapisan Bakteri Kitinolitik melalui Uji daya Hambat terhadap
Cendawan Patogen
Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Kitinase Ekstrak Kasar
Isolat Terpilih serta Uji Daya Hambatnya
Identifikasi Bakteri Kitinolitik secara Morfologi, Biokimia, dan
Molekuler
Identifikasi Cendawan Patogen secara Morfologi dan Molekuler
Aplikasi Kitinase Ekstrak Kasar pada Pupa Sehat secara In vivo
Pembahasan

x
x
x
1
1
1
2
2
2
3
3
3
4
5
6
6
7
8
8
8
9
9
9
9
10
10
11
11
12
12
13
13
14
15
17
19
20

4
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

23
23
23
24
28
35

DAFTAR TABEL
1 Hasil isolasi bakteri kitinolitik berdasarkan Indeks Kitinolitik (IK)
2 Analisis homologi sekuen gen 16S rRNA isolat bakteri kitinolitik
BSEP.3 menggunakan program BLAST-N
3 Analisis homologi sekuen gen ITS rDNA isolat cendawan patogen
CSAJ.2 menggunakan program BLAST-N

12
16
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11

12
13

Struktur kimia kitin (Aranaz et al. 2009)
Tahapan degradasi kitin secara enzimatik (Gooday 1994)
Diagram alir penelitian
Isolat bakteri kitinolitik BSEP.3 pada media agar-agar kitin
setelah 2 hari inkubasi
Pertumbuhan hifa cendawan CSAJ.2 pada kokon C. trifenestrata
(tanda panah)
Uji daya hambat isolat bakteri kitinolitik melawan cendawan
patogen pada media PDA dan media PDA+Pepton 1%
Kurva Pertumbuhan dan produksi kitinase oleh isolat bakteri
kitinolitik BSEP.3
Hasil uji daya hambat bakteri kitinolitik BSEP.3 terhadap
cendawan patogen CSAJ.2 pada media PDA dan pengamatan
mikroskopik hifa cendawan
Hasil pewarnaan Gram dan endospora isolat bakteri kitinolitik
BSEP.3
Hasil visualisasi gen 16S rRNA isolat bakteri kitinolitik BSEP.3
pada gel agarosa 1%
Konstruksi pohon filogenetik isolat bakteri kitinolitik BSEP.3
menggunakan metode Neighbour Joining dengan nilai ulangan
bootsrap 1000x
Morfologi dan anatomi isolat cendawan patogen CSAJ.2
Hasil visualisasi gen ITS rDNA isolat cendawan patogen CSAJ.2
pada gel agarosa 1%

3
5
8
12
13
14
14

15
15
16

17
17
18

14 Konstruksi pohon filogenetik isolat bakteri kitinolitik CSAJ.2
menggunakan metode Neighbour Joining dengan nilai ulangan
bootsrap 1000x
15 Persentase hasil aplikasi spora cendawan T. virens CSAJ.2 pada
pupa sehat setelah 6 minggu inkubasi
16 Urutan aplikasi kitinase ekstrak kasar B. amyloliquefaciens
BSEP.3

18
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur isolasi DNA genom menggunakan PrestoTM Mini gDNA
Kit (Geneaid)
2 Karakteristik morfologi bakteri kitinolitik diisolasi dari kokon ulat
sutra emas Cricula trifenestrata
3 Hasil isolasi cendawan patogen pada kokon ulat sutera emas
Cricula trifenestrata
4 Hasil uji biokimia isolat bakteri kitinolitik BSEP.3
5 Sekuen gen 16S rRNA isolat bakteri kitinolitik BSEP.3
6 Sekuen gen ITS rDNA isolat cendawan patogen CSAJ.2

28
30
31
32
33
34

4

\

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ulat sutera emas (Cricula trifenestrata Helf.) merupakan salah satu
serangga penghasil sutra alam yang belum didomestikasi, sehingga dikenal
sebagai ulat sutra liar. Cricula trifenestrata mengeluarkan air liur yang
mengandung protein dan menjadi bahan pembentukan kokon. Kokon ini
dikumpulkan untuk diolah menjadi benang sutra. Sutra hasil olahan kokon C.
trifenestrata memiliki nilai ekonomi yang tinggi di pasaran karena memiliki serat
berwarna kuning emas yang merupakan warna khas dari kokonnya. Hal inilah
yang menjadi pembeda antara C. trifenestrata dengan ulat sutra lainnya (Mondal
et al. 2007).
Salah satu patogen yang dikenal menyerang kokon ulat sutra ialah cendawan.
Serangan cendawan dapat mengakibatkan kualitas dan kuantitas benang sutra
yang dihasilkan mengalami penurunan. Di India, kegagalan panen kokon akibat
Aspergillus sp. mencapai 30-40% (Hee 1998). Fungisida kimiawi umumnya
digunakan untuk membasmi serangan cendawan patogen. Namun, adanya dampak
negatif yang ditimbulkan dari penggunaan fungisida kimiawi menyebabkan perlu
dicari fungisida biologi, seperti bakteri kitinolitik potensial yang mampu
menghambat bahkan membunuh cendawan patogen karena menghasilkan enzim
kitinase yang mampu menguraikan kitin pada dinding sel cendawan pathogen
(Kim et al. 2008).
Kitinase merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi pemecahan kitin
dengan memotong ikatan glikosidik sehingga menjadi monomer Nasetilglukosamin. Bakteri kitinolitik memiliki potensi tinggi sebagai agens
pengendali biologi terhadap cendawan patogen pada C. trifenestrata sehingga
penurunan kualitas dan kuantitas sutra emas dapat dihindari. Bakteri yang
dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik tersebar pada kelompok bakteri Gram
negatif dan Gram positif, antara lain Pseudomonas aeruginosa, Serratia
marcescens, Vibrio furnissi, Bacillus circulans, Bacillus careus, dan Streptomyces
griseus (Anitha dan Rabeeth 2010).
Novitasari (2013) memperoleh 17 isolat bakteri kitinolitik dari kokon C.
trifenestrata yang dapat menghambat pertumbuhan Scopulariopsis sp. Namun,
pada penelitian sebelumnya belum dilakukan identifikasi bakteri kitinolitik
penghasil kitinase yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian kembali guna memperoleh bakteri kitinolitik
yang potensial dalam menghambat cendawan patogen serta identifikasinya secara
molekuler.

Perumusan Masalah
Serangan cendawan patogen terhadap kokon ulat sutra emas Cricula
trifenestrata dapat menurunkan kualitas dan kuantitas kokon, baik saat proses
pembentukan kokon maupun saat proses penyimpanan kokon yang belum diolah.
Penggunaan fungisida kimiawi selain mahal juga dapat menimbulkan pencemaran

2
4
lingkungan, seperti residu yang tidak mudah didegradasi. Bakteri kitinolitik
memiliki potensi sebagai agens fungisida hayati sehingga diharapkan mampu
menghambat pertumbuhan cendawan patogen pada kokon ulat sutra emas C.
trifenstrata dan lebih ramah lingkungan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi, menyeleksi, mengkarakterisasi,
dan mengidentifikasi bakteri kitinolitik dan cendawan patogen pada kokon ulat
sutra emas C. trifenestrata.

Manfaat Penelitian
Identifikasi serta uji daya hambat pada penelitian ini, diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai jenis bakteri kitinolitik yang dapat dijadikan
sebagai agens pengendali hayati cendawan patogen pada kokon ulat sutra emas C.
trifenestrata. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai kemampuan yang dimiliki isolat bakteri kitinolitik khususnya
potensinya sebagai agen pengendali hayati.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi isolasi bakteri kitinolitik dan
cendawan patogen, uji patogenisitas cendawan, uji daya hambat, pengukuran
aktivitas kitinase, serta identifikasi bakteri kitinolitik menggunakan gen 16S
rRNA dan identifikasi cendawan patogen menggunakan gen Internal Transcribed
Sequence (ITS) rDNA. Tahap identifikasi bakteri kitinolitik meliputi pengamatan
morfologi, pewarnaan Gram dan amplifikasi gen 16S rRNA. Tahap identifikasi
cendawan patogen meliputi pengamatan morfologi dan amplifikasi daerah ITS.
Uji patogenisitas dilakukan untuk mengetahui gejala patogenisitas yang
ditimbulkan cendawan patogen pada kokon ulat sutra emas C. trifenestrata. Uji
daya hambat dilakukan untuk mengetahui aktivitas daya hambat bakteri kitinolitik
terhadap cendawan patogen. Pengukuran aktivitas kitinase dilakukan
mengkonfirmasi senyawa antifungi yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik.

TINJAUAN PUSTAKA
Ulat Sutra Emas Cricula trifenestrata
Cricula trifenestrata merupakan serangga penghasil sutra yang termasuk
anggota famili Saturniidae dan tersebar di Asia, terutama Asia Tenggara. Berbeda
dengan ulat sutra putih (Bombyx mori), sutra yang dihasilkan oleh C. trifenestrata
lebih lembut warna alaminya lebih nyata, tidak berbau dan tidak mudah luntur
(Wibowo et al. 2004). Di Indonesia, C. trifenestrata belum didomestikasi
sehingga dikenal dengan nama ulat sutra liar, atau juga dikenal dengan nama ulat
sutra emas karena warna emas pada kokonnya. Kokon C. trifenestrata banyak
digunakan dalam produksi benang sutera, tas tangan wanita, asesoris, dompet,
sampul buku, serta hiasan dinding. Selain itu, di beberapa daerah seperti
Yogyakarta dan Bali, pupa C. trifenestrata juga banyak dikonsumsi sebagai
makanan tambahan yang mengandung protein tinggi. Oleh karena itu, produk
olahan sutra dari C. trifenestrata ini memiliki nilai jual yang lebih tinggi
dibandingkan sutra alam lainnya (Wikardi dan Djuwarso 2000).
Ketersediaan bahan baku di alam menjadi kendala utama untuk
pemenuhan kebutuhan untuk kokon ulat sutra emas C. trifenestrata yang bersifat
polifagus. Umumnya tanaman inang yang disukai oleh C. trifenestrata ialah
jambu mete, alpukat, kayu manis, kenari dan kedondong (Tazima 1978). Yoseph
(2009) melaporkan bahwa kandungan fitokimia daun jambu mete seperti tanin dan
flavonoid berkorelasi positif terhadap kualitas kokon C. trifenestrata. Selain itu,
tingginya kualitas kokon C. trifenestrata dipengaruhi oleh kandungan protein
yang terdapat pada kokon tersebut.

Kitin
Kitin
merupakan
biopolimer
(2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-Dglukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C,
6% H, 7% N, dan 40% O. Struktur kitin menyerupai struktur selulosa, hanya saja
berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C-2. Gugus pada C-2 selulosa
adalah gugus hidroksil, sedangkan pada C-2 kitin adalah gugus N-asetil (NHOCH3, asetamida) (Dutta et al. 2004).

Gambar 1 Struktur kimia kitin (Aranaz et al. 2009)
Kitin tersebar luas di alam dan merupakan senyawa organik kedua yang
sangat melimpah di bumi setelah selulosa. Keberadaan kitin di alam umumnya
terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Kitin merupakan

4
4
bagian konstituen organik yang sangat penting pada kerangka hewan golongan
Artropoda, Annelida, Molusca, Coelentrata, Nematoda, beberapa kelas serangga
dan cendawan. Pada Cendawan, kitin merupakan komponen struktural utama pada
dinding sel. Proporsi kitin pada khamir dan cendawan berfilamen cukup jauh
berbeda. Kitin pada khamir Saccharomyces cerevisiae mencapai 1-2% dari bobot
kering dinding sel, sedangkan proporsi pada cendawan berfilamen bervariasi
antara 10-30% dari bobot kering dinding sel (Aranaz et al. 2009).
Kitin termasuk polisakarida yang sangat sukar dilarutkan pada pH netral
seperti air sehingga pelarutan dilakukan dalam suasana asam atau basa. Hal ini
dikarenakan secara alaminya, kitin berbentuk kristal yang mengandung polimer
yang terikat satu sama lain dengan ikatan hidrogen yang sangat kuat. Namun,
Kitin dapat didegradasi secara biologi oleh mikroorganisme yang memiliki
aktivitas kitinase. Kitin dapat larut dalam heksafluoro isopropanol, heksafluoro
aseton, dan kloro alkohol serta dimetilasetamida (DMAc) yang mengandung 5%
litium klorida (LiCl) (Dutta et al. 2004).

Kitinase
Kitinase (EC 3.2.1.14) merupakan enzim yang mampu menghidrolisa
polimer kitin menjadi kitin oligosakarida atau monomer N-asetilglukosamin
secara sinergis dan berurutan. Enzim ini dihasilkan oleh bakteri, cendawan,
tanaman, dan hewan. Atas dasar cara kerjanya dalam mendegradasi substrat,
kitinase dibedakan ke dalam 2 kelompok utama: endokitinase dan eksokitinase.
Endokitinase memotong polimer kitin secara acak menghasilkan dimer, trimer,
tetramer atau oligomer gula. Eksokitinase memotong kitin hanya dari ujung non
reduksi (Toharisman et al. 2005).
Kitinase banyak dimanfaatkan sebagai agens pengendali hayati terutama
bagi target yang terserang cendawan patogen. Hal ini dikarenakan kitin
merupakan komponen utama dinding sel cendawan yang dapat didegradasi oleh
kitinase. Pemanfaatan kitinase dari mikroorganisme secara langsung ke tanah
dilaporkan bisa mengurangi serangan patogen (Herdyastuti et al. 2009).
Aplikasi kitinase dalam pengendalian patogen bisa dilakukan secara
langsung pada target atau dengan cara introduksi gen penyandi kitinase pada
tanaman. Cara yang lebih sederhana telah dilakukan oleh Metcalfe et al. (2002)
dengan metode tidak langsung memakai kitin. Kitin ditaburkan ke tanah sekitar
tanaman, kemudian akan menginduksi kitinase dari mikrob tanah. Enzim ini
selanjutnya dilepaskan ke lingkungan dan mampu menghambat pertumbuhan
cendawan di sekitarnya.
Berbagai organisme menghasilkan aneka jenis kitinase terkait dengan
fungsi biologinya, dengan spesifitas terhadap substrat yang bervariasi, dan juga
karakteristik yang berlainan. Bakteri mengeluarkan kitinase sebagai sarana
memperoleh nutrisi dan agen parasitisme, sementara cendawan, protozoa dan
invertebrata mengeluarkan enzim tersebut untuk proses morfogenesis. Tanaman
mengeluarkan kitinase untuk mempertahankan diri dari serangan patogen.
Baculovirus, yang biasa dimanfaatkan untuk kontrol hama serangga, juga
menghasilkan kitinase untuk proses patogenesitas (Toharisman 2007).

5
Dengan adanya kitinase penguraian kitin berlangsung secara kontinyu
sehingga tidak terjadi akumulasi kitin dari sisa cangkang udang, cendawan,
kepiting, cumi, dan organisme laut lainnya. Secara alami, kitinase dihasilkan
serangga untuk proses morfogenesis. Dalam perkembangan pertumbuhan
serangga, kitin pada kutikel tua didegradasi kitinase, kemudian diganti kitin baru
hasil enzim kitin sintase. Proses ini terus berlangsung selama siklus pertumbuhan
serangga. Tanaman tidak memiliki mekanisme sistem kekebalan terhadap
serangan hama dan penyakit. Sebagai gantinya, tanaman melakukan proteksi
terhadap organ vegetatif dan reproduktifnya melalui berbagai mekanisme dimana
salah satunya melibatkan kitinase. Pada saat diserang patogen, kitinase terinduksi
sehingga kemudian dikeluarkan oleh tanaman. Enzim ini selanjutnya akan
mendegradasi dinding sel cendawan atau serangga penyerang. Banyak laporan
menunjukkan bahwa tanaman transgenik yang disisipi gen kitinase mampu
menghasilkan kitinase dalam jumlah cukup memiliki resistensi yang tinggi
terhadap serangan cendawan (Toharisman 2007).

Gambar 2 Tahapan degradasi kitin secara enzimatik (Gooday 1994)

Bakteri Kitinolitik
Bakteri kitinolitik merupakan salah satu dari kelompok mikroorganisme
yang memiliki aktivitas kitinolitik dalam mendegradasi kitin di alam. Kitin
merupakan senyawa yang sukar larut, serta memiliki ukuran dan susunan molekul
yang kompleks. Kitin tidak dapat didegradasi di dalam sel, akan tetapi dapat
didegradasi secara ekstraseluler oleh oleh bakteri yang menghasilkan kitinase.
Bakteri kitinolitik memproduksi kitinase dalam jumlah yang lebih banyak
daripada hewan dan tumbuhan (Matsumoto 2006). Bakteri kitinolitik ini dapat
diisolasi dan dideteksi melalui zona bening yang terbentuk pada medium selektif
agar (Purwani et al. 2002).

64
Beberapa bakteri kitinolitik yang telah dilaporkan mampu mengendalikan
cendawan patogen, antara lain Serratia marcescens untuk mengendalikan
penyakit Sclerotium rolfsii (Fravel et al. 2004), Pseudomonas chlororaphis PA23
yang dikombinasikan dengan Bacillus subtilis BSCBE4 untuk mengendalikan
penyakit rebah kecambah pada cabai (Nakkeeran et al. 2006), dan Pseudomonas
flourescens yang dikombinasikan dengan Bacillus licheniformis dan
Chryseobacterium balustinum untuk penyakit yang sama (Domenech et al. 2006).

Uji Daya Hambat (Uji Antagonis)
Penggunaan bakteri antagonis merupakan salah satu cara pengendalian
hayati yang mulai banyak mendapat perhatian karena memiliki beberapa
keuntungan, antara lain tidak mengandung bahan beracun yang dapat
menimbulkan residu pada lingkungan, tidak mengganggu ekosistem dan rantai
makanan, tidak memerlukan aplikasi berulang karena bakteri dapat
memperbanyak diri secara alami selama lingkungan mendukung
perkembangannya, tidak menimbulkan efek samping terhadap organisme lain dan
dapat meningkatkan pertahanan target terhadap serangan patogen (Wei et al.
1990).
Beberapa penelitian tentang pengendalian hayati cendawan patogen
menggunakan bakteri kitinolitik telah banyak dilakukan, diantaranya kemampuan
bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan Fusarium semitectum pada
cabai dan Ganoderma spp. pada kelapa sawit (Suryanto 2011). Pengendalian
hayati cendawan dengan menggunakan bakteri kitinolitik didasarkan pada
kemampuan bakteri tersebut dalam menghasilkan kitinase yang mampu
melisiskan dinding sel cendawan (El-Katatny et al. 2000).

Identifikasi Bakteri Kitinolitik Menggunakan Gen 16S rRNA
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk identifikasi bakteri ialah
secara molekular dengan menggunakan teknik PCR. Teknik ini digunakan untuk
menelaah profil DNA gen 16S rRNA. Penggunaan 16S rRNA telah digunakan
sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif, dan praktis untuk
mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Analisis PCR
dengan primer spesifik merupakan langkah terbaik untuk kepentingan identifikasi
bakteri karena dapat menentukan secara cepat keberadaan gen target, cukup
sensitif dan mudah digunakan dalam kegiatan rutin (Rychlic 1995).
Penggunaan gen 16S rRNA yang luas untuk identifikasi dan
taksonomi pada akhir tahun 1980 yang menunjukkan bahwa hubungan
filogenetik bakteri, termasuk semua bentuk kehidupan, dapat ditentukan dengan
membandingkan suatu bagian kode genetik yang bersifat stabil. Gen 16S rRNA
mengkode subunit kecil ribosom organisme prokariot, termasuk bakteri. Gen
tersebut banyak digunakan dalam analisis filogenetik karena terdistribusi secara
universal, bersifat konservatif, memiliki peran penting pada ribosom dalam
sintesis protein, tidak ditransfer secara horizontal, serta kecepatan evolusi dengan
variasi tingkat yang tepat di antara organisme. Molekul 16S rRNA memiliki

7
daerah variabel dan konservatif, dimana primer universal untuk amplifikasi gen
16S rRNA secara lengkap biasanya dipilih dari daerah konservatif
tersebut, sementara daerah variabel lebih banyak digunakan untuk taksonomi
perbandingan (Prakash et al. 2007).

Identifikasi Cendawan Patogen Menggunakan Gen ITS rDNA
Daerah ITS (Internal Transcribed Spacer) rDNA merupakan sekuen DNA
terbanyak yang disekuensing pada cendawan. Daerah ini sangat penting dalam
studi sistematika molekular pada tingkat spesies, bahkan analisa filogenetik
pertama dari seluruh genus Trichoderma adalah dengan menggunakan daerah ITS
rDNA. Daerah ITS DNA berulang dari ujung 3’ gen 28S dan ujung 5’ pada gen
28S yang diamplifikasi dengan 2 primer, yaitu ITS5 dan ITS4 yang disintesis
berdasarkan daerah konservatif gen rRNA eukariotik (Hillis et al. 1991).
Pada eukariot, gen pengkode rRNA ribosom diatur dalam suatu susunan
yang mengandung unit tranksripsi berulang yang melibatkan gen 16-18S, 5.8S
dan 23-28S rRNA, dua intergenic spacer ITS1 dan ITS2 dan dua sekuen external
spacer (5’ dan 3’ ETS). Unit-unit ini ditranskripsi oleh RNA polimerase I dan
dipisahkan oleh IGS (intergenic spacers) yang tidak ditranskripsi. Produk RNA
polimerase I diproses di nukleolus, dimana ITS1 dan ITS2 dipotong dan tiga tipe
rRNA dihasilkan. Pada genom eukariot, daerah ITS sangat bervariasi baik dalam
ukuran maupun urutan sekuen. Pada S. cerevisiae, ITS1 berukuran 361 pb dan
ITS2 berukuran 232 pb. Daerah ITS memiliki arti yang penting dalam
menghasilkan rRNA. Struktur ITS1 dan ITS2 mengandung tiga sampai empat
lengan heliks. Perubahan ukuran dan sekuen pada daerah ini secara biologi
diperbolehkan selama tidak mengganggu pembentukan struktur sekunder yang
memfasilitasi proses pembentukan rRNA. Oleh karena itu, ITS dapat dijadikan
metode sederhana untuk menentukan variabilitas antar inter atau intraspesies
cendawan (Hillis et al. 1991).
Identifikasi cendawan secara akurat dan definitif sangat penting untuk
diagnosa suatu penyakit yang benar yang disebabkan oleh serangan cendawan.
Karakterisasi spesies cendawan menggunakan metode klasik tidak terlalu spesifik
seperti yang dilakukan dengan metode-metode genotipe. Teknik genotipe
melibatkan amplifikasi target secara filogenetik, seperti sub unit kecil ribosom
28S gen rRNA (Woese and Fox 1997). rRNA penting untuk pertanahan sel, dan
gen-gen pengkode rRNA sangat stabil pada cendawan dan kingdom lainnya.
Sekuen rRNA dan protein yang terdiri dari ribosom sangat stabil terhadap evolusi,
karena gen-gen tersebut membutuhkan interaksi inter dan intramolekuler yang
kompleks untuk menjaga mesin sintesis protein (Sacchi et al. 2002).

4

BAHAN DAN METODE
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kokon ulat sutra emas C.
trifenestrata berasal dari pohon alpukat dan jambu yang tumbuh di Desa Babakan
Lebak, Dramaga, Bogor (6.55733o LS dan 106.73799o BT).

Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian (Gambar 3) meliputi isolasi bakteri kitinolitik dan
cendawan patogen, pengukuran aktivitas kitinase dan daya hambat, aplikasi
kitinase, serta identifikasi bakteri kitinolitik dan cendawan patogen.

Isolat bakteri
kitinolitik

Isolasi cendawan
patogen

Seleksi bakteri
kitinolitik

Uji
patogenisitas

Identifikasi bakteri
kitinolitik

Uji daya hambat

Pengukuran
kitinase

Aplikasi kitinase
secara in vivo
Gambar 3 Diagram alir penelitian

Identifikasi
cendawan patogen

9
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Mei 2015.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departeman Biologi,
FMIPA dan Laboratorium Biologi Molekuler, PPSHB, IPB Bogor.

Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik
Sampel yang digunakan dalam isolasi dan seleksi bakteri kitinolitik ialah
kokon C. trifenestrata asal pupa yang terserang cendawan dan kokon asal pupa
sehat sebagai kontrol. Sebanyak 3 g dari masing-masing kokon dimasukkan ke
dalam 100 ml kaldu nutrien (NB) yang mengandung 0,5% koloidal kitin dalam
erlenmeyer 500 ml, kemudian diinkubasi pada shaker incubator suhu ruang
selama 24 jam. Isolasi bakteri kitinolitik diawali dengan melakukan pengenceran
berseri dari 10-1 sampai 10-8 dalam larutan garam fisiologis NaCl 0,85%. Suspensi
dituang pada media agar-agar kitin dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC
(Suryanto et al. 2011).

Isolasi Cendawan Patogen dan Uji Patogenisitas
Isolasi patogen dilakukan dengan menggunakan metode Lim (Lim et al.
2002) dengan beberapa modifikasi. Isolasi cendawan patogen diawali dengan
memotong kokon asal pupa yang terserang cendawan menjadi empat bagian.
Potongan kokon direndam di dalam campuran 2 ml kloroxilenol 0,8% dengan
tujuan surface sterilization dan 100 ml akuades steril. Potongan kokon diletakkan
di atas media Potato Dextrose Agar (PDA) yang telah ditambahkan dengan
kloramfenikol 500 mg/L kemudian diinkubasi selama lima hari pada suhu 25 oC.
Koloni cendawan yang tumbuh dipindahkan pada media PDA yang baru sehingga
didapatkan kultur cendawan murni. Uji patogenisitas cendawan dilakukan dengan
membuat suspensi spora dari cendawan kemudian diteteskan pada kokon sehat di
dalam petri steril, kemudian diinkubasi selama lima hari pada suhu 25 oC. Koloni
cendawan yang tumbuh pada kokon dan menyebabkan gejala patogenisitas
diisolasi kembali pada media PDA yang baru.

Penapisan Bakteri Kitinolitik melalui Uji Daya Hambat terhadap
Cendawan Patogen
Aktivitas daya hambat diuji menggunakan dua metode, yaitu dengan cara:
menggoreskan 36 isolat bakteri kitinolitik hasil isolasi sepanjang 4 cm pada tepi
media PDA bersamaan dengan meletakkan potongan biakan murni cendawan
patogen (Φ 0,5 cm) di tengah media PDA. Akuades steril digunakan sebagai
kontrol. Persentase penghambatan cendawan patogen dapat diukur dengan
menggunakan rumus [100% x (r1-r2)/r1], dengan nilai r1 ialah panjang
pertumbuhan miselium ke arah pinggir petri (3 cm) dan r2 ialah panjang miselium
ke arah bakteri (Fokkema 1973).

10
4
Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Kitinase Ekstrak Kasar Isolat
Terpilih serta Uji Daya Hambatnya
Isolat bakteri kitinolitik hasil penapisan diukur kurva pertumbuhannya
dengan cara: sebanyak 2 lup isolat bakteri ditumbuhkan di media kaldu nutrien
(NB) dan ditambahkan 0,3% koloidal kitin kemudian diinkubasi selama 32 jam
dengan kecepatan 120 rpm pada suhu 37 oC. Selanjutnya 1% (108 sel/ml)
inokulum diinokulasi ke media NB 100 ml ditambah 0,3% koloidal kitin dalam
erlenmeyer 250 ml sebagai media produksi dan diinkubasi pada suhu 37 oC
dengan kecepatan 120 rpm. Setiap 3 jam dilakukan pengambilan kultur sel untuk
diukur densitas selnya pada panjang gelombang 600 nm yang berlangsung 24 jam.
Kultur sel yang sama kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
10.000 rpm pada suhu 4 oC. Supernatan yang diperoleh merupakan kitinase
ekstrak kasar yang selanjutnya diukur aktivitasnya menggunakan metode Spindler
(1997), yaitu dengan cara mencampurkan 225 L ekstrak kasar kitinase dengan
450 L 0,3% koloidal kitin dan 225 L bufer fosfat 0,1 M pada suhu 37 oC, pH
7.0, 120 rpm. Aktivitas enzim ditentukan dengan mengukur absorbansi pada
panjang gelombang 420 nm. Satu unit aktivitas enzim didefinisikan sebagai
jumlah enzim yang menghasilkan 1 mol N-asetil glukosamin per menit.
Konsentrasi N-asetilglukosamin dihitung berdasarkan kurva standar N-asetil
glukosamin. Kadar protein diukur dengan metode Bradford (1976), yaitu dengan
cara mencampurkan 100 L kitinase ekstrak kasar dengan 5 mL pereaksi Bradford.
Absorbansi sampel dibaca pada 5λ5 nm Kadar protein dihitung berdasarkan
kurva standar Bovin Serum Albumin (BSA). Kadar protein yang diperoleh
digunakan untuk menentukan aktivitas spesifik kitinase.
Kultur cair dan Kitinase ekstrak kasar diuji kembali aktivitas daya
hambatnya dengan metode Paper disk. Paper disk direndam dalam 100 L kultur
sel dan kitinase ekstrak kasar kemudian diletakkan dengan posisi 4 cm pada tepi
media PDA bersamaan dengan meletakkan potongan biakan murni cendawan
patogen (Φ 0,5 cm) di tengah media PDA (Fokkema 1λ73).
Identifikasi Bakteri Kitinolitik secara Morfologi, Biokimia, dan Molekuler
Isolat bakteri kitinolitik terpilih dikarakterisasi berdasarkan ciri-ciri
morfologi, pewarnaan Gram, biokimia menggunakan Kit Analytical Profile Index
(API) 50 CHB) (bioMeriux, Inc. Durham, USA). Identifikasi gen 16S rRNA
secara molekuler dilakukan dengan menumbuhkan isolat bakteri terpilih pada
medium Luria bertani (LB) selama 24 jam. Ekstraksi DNA dilakukan dengan
mengikuti prosedur PrestoTMMini gDNA Bacteria Kit (Geneaid) (Lampiran 1).
Hasil ekstraksi DNA diukur kosentrasi dan kemurniannya dengan menggunakan
Nano Drop 2000 spektrofotometer (Thermo Scientific, Wilmington, DE, USA).
DNA hasil ekstraksi diamplifikasi menggunakan mesin Polymerase Chain
Reaction (PCR) dengan primer 67F (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC3’) dan 1387R (5’-GGG CGG WGT GTA CAA GGC-3’) (Marchesi et al. 1998).
Hasil amplifikasi gen penyandi 16S rRNA akan menghasilkan produk PCR
berukuran 1300 pb. Kondisi mesin PCR yang digunakan ialah pre-denaturation
(95 oC selama 1 menit), annealing (55 oC selama 1 menit), elongation (72 oC

11
selama 1.5 menit), dan extension (72 oC selama 5 menit). Produk hasil PCR
divisualisasi dengan menggunakan UV transiluminator Gel Doc (Labquip) pada
1% (w/v) gel agarosa selama 45 menit. Sekuensing dilakukan menggunakan jasa
1st BASE Malaysia. Sekuen yang diperoleh disejajarkan pada Gene Bank
menggunakan program BLASTN dan konstruksi filogenetiknya dengan
menggunakan program MEGA 5.05.

Identifikasi Cendawan Patogen secara Morfologi dan Molekuler
Cendawan terpilih hasil uji patogenisitas selanjutnya diidentifikasi secara
morfologi dengan metode Riddell (Riddell 1950). Sepotong agar-agar (1 cm x 0,5
cm) diletakkan di tengah kaca objek steril dan pada keempat sisinya diinokulasi
cendawan dengan jarum inokulasi. Kaca penutup steril diletakkan pada bagian
atas potongan agar-agar yang telah diinokulasikan cendawan dan diinkubasi
selama 3 hari. Cendawan yang telah tumbuh pada kaca penutup dan kaca objek
dipindahkan untuk dibuat preparat semi permanen menggunakan laktofenol
kemudian diamati menggunakan mikroskop. Identifikasi menggunakan buku
identifikasi Barnett (Barnett dan Hunter 1987).
Ekstraksi DNA dilakukan dengan mengikuti prosedur Kit Qiagen. Hasil
ekstraksi DNA diukur kosentrasi dan kemurniannya dengan menggunakan Nano
Drop 2000 spektrofotometer (Thermo Scientific, Wilmington, DE, USA). DNA
hasil ekstraksi diamplifikasi menggunakan mesin Polymerase Chain Reaction
(PCR) dengan primer ITS 5F 5’-GGA AGT AAA AGT CGT AAC AAG G-3’
dan ITS 4R 5’-TCC TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’ (White et al. 1990).
Kondisi mesin PCR yang digunakan ialah pre-denaturation (95 oC selama 1
menit), annealing (55 oC selama 1 menit), elongation (72 oC selama 1.5 menit),
dan extension (72 oC selama 5 menit). Produk hasil PCR divisualisasi dengan
menggunakan UV transiluminator Gel Doc (Labquip) pada 1% (w/v) gel agarosa
selama 45 menit. Sekuensing dilakukan menggunakan jasa 1st BASE Malaysia.
Sekuen yang diperoleh disejajarkan pada Gene Bank menggunakan program
BLASTN dan konstruksi filogenetiknya dengan menggunakan program MEGA
5.05.

Aplikasi Kitinase Ekstrak Kasar pada Pupa Sehat secara In vivo
Aplikasi dilakukan dengan cara meneteskan spora cendawan dengan
kerapatan 103 spora/mL pada pupa sehat, kemudian diinkubasi hingga pupa
terserang cendawan. Kemudian sebanyak 1000 µL kitinase ekstrak kasar
diteteskan pada pupa tersebut kemudian diinkubasi selama lima hari. Hal ini
bertujuan untuk melihat kemampuan kitinase ekstrak kasar dalam menghambat
pertumbuhan cendawan patogen secara in vivo.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik
Isolasi bakteri kitinolitik menggunakan sampel kokon asal pupa sehat dan
kokon asal pupa terserang cendawan. Sampel kokon C. trifenestrata asal pupa
sehat memiliki bentuk seperti jaring, serat tidak rusak, memiliki pori yang besar,
berwarna kuning keemasan, dan tidak berbau (Kalshoven 1981). Sampel kokon
asal pupa terserang cendawan memiliki ciri berbeda, yaitu tampak berwarna
cokelat kehitaman dan terkadang terlihat adanya hifa yang menjalar di permukaan
kokon. Isolasi bakteri kitinolitik dari sampel kokon sehat dan sakit di sekitar
Desa Babakan Lebak, Dramaga, Bogor menghasilkan 36 isolat (Tabel 1) dengan
karakter morfologi yang bervariasi (Lampiran 2). Indeks Kitinolitik terbesar
dihasilkan isolat BSEP.1, yaitu 1.81 sedangkan Indeks Kitinolitik terkecil
dihasilkan isolat BSEP.35, yaitu 0.13.
Tabel 1 Hasil isolasi bakteri kitinolitik berdasarkan Indeks Kitinolitik (IK)
Kode Isolat
BSEP.1
BSEP.2
BSEP.3
BSEP.4
BSEP.5
BSEP.6
BSEP.7
BSEP.8
BSEP.9

IK
1,81
1,77
1,73
0,57
1,69
1,42
1,36
1,13
0,9

Kode Isolat
BSEP.10
BSEP.11
BSEP.12
BSEP.13
BSEP.14
BSEP.15
BSEP.16
BSEP.17
BSEP.18

IK
0,87
0,54
0,41
0,87
0,76
0,43
0,68
1,37
0,84

Kode Isolat
BSEP.19
BSEP.20
BSEP.21
BSEP.22
BSEP.23
BSEP.24
BSEP.25
BSEP.26
BSEP.27

IK
0,6
0,74
0,96
0,88
0,55
0,85
1,24
0,29
0,47

Kode isolat

IK

BSEP.28
BSEP.29
BSEP.30
BSEP.31
BSEP.32
BSEP.33
BSEP.34
BSEP.35
BSEP.36

0,69
0,29
0,51
0,38
0,34
0,42
0,21
0,13
0,26

Keseluruhan isolat bakteri kitinolitik mampu tumbuh dan membentuk
zona bening pada media agar-agar kitin. Zona bening merepresentasikan
kemampuan bakteri kitinolitik dalam mendegradasi koloidal kitin yang ada di
dalam media sebagai nutrisi bagi pertumbuhannya (Gambar 4).

Gambar 4

Isolat bakteri kitinolitik pada media agar-agar kitin setelah 2 hari
inkubasi. a) Koloni bakteri dan b) zona bening di sekitar koloni

13
Isolasi Cendawan dan Uji Patogenisitas
Isolasi cendawan patogen dari sampel kokon rusak menghasilkan 10 isolat
yang diberi kode CSAJ.1-CSAJ.10 (Lampiran 3). Uji patogenisitas cendawan
dilakukan untuk melihat tingkat patogenisitas cendawan terhadap kokon sehat.
Hasil uji patogenisitas menunjukkan bahwa dari 10 cendawan yang berhasil
diisolasi hanya cendawan dengan kode CSAJ.2 yang berhasil tumbuh pada kokon
dan menyebabkan warna kokon menjadi lebih gelap (Gambar 5). Hal ini
mengindikasikan bahwa CSAJ.2 mampu menjadi parasit pada kokon tersebut.
Sesuai dengan tahapan Postulat Koch, isolat cendawan CSAJ.2 selanjutnya
diisolasi dan dimurnikan kembali pada media PDA. Isolat CSAJ.2 inilah yang
dijadikan sebagai cendawan patogen dalam uji selanjutnya.

Gambar 5

Pertumbuhan hifa cendawan CSAJ.2 pada kokon ulat sutra emas C.
trifenestrata (tanda panah)

Penapisan Bakteri Kitinolitik melalui Uji Daya Hambat terhadap Cendawan
Patogen
Uji daya hambat diawali dengan menumbuhkan cendawan dan bakteri
secara bersamaan pada media PDA dan PDA+pepton 1% dan diinkubasi selama 5
hari. Inkubasi pada media yang berbeda bertujuan untuk melihat perbedaan antara
pertumbuhan bakteri dan cendawan serta aktivitas daya hambat. Pada media PDA,
pertumbuhan bakteri cenderung lebih tipis sedangkan cendawan tetap tumbuh
dengan baik. Pada media PDA+Pepton 1% terlihat bahwa baik bakteri maupun
cendawan tumbuh dengan baik karena media PDA+pepton merupakan media
yang diperkaya dengan pepton yang merupakan sumber N bagi bakteri dan
cendawan sehingga akan lebih mudah untuk melihat aktivitas daya hambat yang
terjadi. Hasil uji antagonis menunjukkan bahwa dari 36 isolat bakteri kitinolitik
hanya 1 isolat dengan kode BSEP.3 yang berhasil menghambat pertumbuhan
cendawan patogen yang ditandai dengan terbentuknya zona hambat di sekitar
cendawan (Gambar 6). Persentase penghambatan yang diperoleh oleh isolat
bakteri kitinolitik BSEP.3 ialah sebesar 50%.

14
4

a
a

b

b

Gambar 6 Uji daya hambat isolat bakteri kitinolitik melawan cendawan patogen
pada media PDA (kiri) dan media PDA+Pepton 1% (kanan). a) Isolat
bakteri BSEP.3 dan b) isolat cendawan CSAJ.2

Penentuan Kurva Tumbuh dan Produksi Kitinase Ekstrak Kasar Isolat
Terpilih serta Uji Daya Hambatnya
Pengukuran kurva pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui waktu
optimum dan fase produksi kitinase oleh isolat bakteri kitinolitik BSEP.3
(Gambar 7). Pada tahapan ini diketahui aktivitas optimum dari kitinase ekstrak
kasar sehingga dapat diuji kembali aktivitas daya hambatnya terhadap
pertumbuhan cendawan patogen. Isolat BSEP.3 memasuki fase logaritmik pada
jam ke-3 sampai jam ke-12 waktu inkubasi dan fase ini diikuti oleh produksi
kitinase. Aktivitas kitinase optimum tertinggi berada pada fase stasioner sebesar
5.11 U/mL ketika jumlah sel cenderung konstan.

5.5
8
Log Sel

4.5
7.5

3.5

7

2.5

6.5

1.5
0

3

6

9

12

15 18 21
Waktu (Jam)

Log Cell

Gambar 7

Aktivitas Kitinase (U/mL)

8.5

24

27

30

33

Chitinase

Kurva pertumbuhan dan produksi kitinase oleh isolat bakteri
kitinolitik BSEP.3

Hasil uji daya hambat secara in vitro menggunakan kertas cakram
menunjukkan bahwa pertumbuhan cendawan dihambat oleh kultur cair dan
supernatan dengan persentase daya hambat masing-masing sebesar 47.5% dan
46.25% (Gambar 8a dan 8b). Persentase ini tidak jauh berbeda dengan persentase
zona daya hambat yang diperoleh dengan menggunakan kultur padat. Pengamatan

15
mikroskopik dilakukan untuk melihat efek yang ditimbulkan kitinase terhadap sel
cendawan patogen (Gambar 8c dan 8d).

Gambar 8

Hasil uji daya hambat bakteri kitinolitik BSEP.3 terhadap cendawan
patogen CSAJ.2 pada media PDA dan pengamatan mikroskopik hifa
cendawan. a) Uji daya hambat menggunakan kultur cair b) uji daya
hambat menggunakan kitinase ekstrak kasar, c) hifa membengkok,
dan d) hifa menggulung

Pengamatan mikroskopik menunjukkan bahwa pengaruh utama dari
kitinase dapat mendegradasi dinding sel. Hifa yang terhambat pertumbuhannya
menjadi tidak normal seperti hifa membengkok dan menggulung karena adanya
kitinase ekstrak kasar yang dihasilkan oleh isolat bakteri kitinolitik BSEP.3
(Gambar 8c dan 8d).

Identifikasi Bakteri Kitinolitik secara Morfologi, Biokimia, dan Molekuler
Karakterisasi Isolat BSEP.3 secara morfologi menghasilkan warna koloni
putih susu, bentuk koloni keriput, tepian koloni berombak, dan elevasi berbukitbukit. Hasil pewarnaan Gram menunjukkan bahwa isolat BSEP.3 yang diperoleh
termasuk ke dalam Gram positif dengan bentuk sel batang pendek (Gambar 9 a).
Isolat bakteri kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan endospora (Gambar 9 b).

Gambar 9

Hasil pewarnaan Gram dan endospora isolat bakteri kitinolitik
BSEP.3. a) Gram positif dan b) endospora

Identifikasi isolat BSEP.3 secara biokimia menggunakan kit Analytical
Profile Index (API) 50 CHB menunjukkan isolat BSEP.3 memiliki kemiripan
dengan Bacillus amyloliquefaciens dengan tingkat kemiripan 96.6 % dengan hasil

16
4
uji positif terhadap gliserol, salisin, D-selobiosa, D-maltosa, D-laktosa, Dmelibiosa, D-sukrosa, D-trehalosa, L-arabinosa, D-ribosa, D-xilosa, D-raffinosa,
metil-αD-glukopiranosida, amidon (Starch), glikogen, D-glukosa, D-fruktosa, Dmanosa, Inositol, D-manitol, D-sorbitol, amigdalin, arbutin, dan eskulin ferik
sitrat (Lampiran 4).
Isolat BSEP.3 selanjutnya diidentifikasi secara molekuler berdasarkan 16S
rRNA. Hasil pengukuran kosentrasi dan kemurnian DNA genom menunjukkan
bahwa kosentrasi DNA genom bakteri yang diperoleh sebesar 56.5 ng/µL. DNA
genom tersebut dijadikan cetakan (template) pada proses PCR gen pengkode 16S
rRNA. Hasil visualisasi amplifikasi gen penyandi 16S rRNA pada gel agarosa 1%
menghasilkan produk pita DNA berukuran ± 1300 pb (Gambar 10).
M

BSEP. 3

1300 bp

Gambar 10 Hasil visualisasi gen 16S rRNA isolat bakteri kitinolitik BSEP.3
pada gel agarosa 1%
Analisis sekuen gen penyandi 16S rRNA (Lampiran 5) dengan data di
Gene Bank pada program BLAST-N juga menunjukkan bahwa isolat BSEP.3
memiliki kemiripan dengan Bacillus amyloliquefaciens galur B5 sebesar 98%
(Tabel 2). Hasil ini menunjukkan kemiripan dengan hasil uji biokimia. Konstruksi
pohon filogenetik dilakukan untuk mengetahui kelompok dan hubungan
kekerabatan isolat (Gambar 11).
Tabel 2
Kode
isolat
BSEP.3

Analisis homologi sekuen gen 16S rRNA isolat bakteri kitinolitik
BSEP.3 menggunakan program BLAST-N
Homologi

Bacillus amyloliquefaciens galur B5
Bacillus subtilis galur EdyKolBs22
Bacillus amyloliquefaciens galur MPA
Bacillus amyloliquefaciens galur NBRC

%
Identitas
98
98
98
98

EValue
0.0
0.0
0.0
0.0

No
Akses
KM263703.1
JX625998.1
NR117946.1
NR112685.1

17

0.02

Gambar 11 Konstruksi pohon filogenetik isolat bakteri kitinolitik BSEP.3
menggunakan metode Neighbour Joining dengan nilai ulangan
bootsrap 1000x

Identifikasi Cendawan Patogen secara Morfologi dan Molekuler
Karakter morfologi menunjukkan koloni datar dengan miselium aerial
yang jarang, memiliki hifa berwarna putih saat muda (umur 1-3 hari), dan
berwarna hijau saat tua (umur 4-7 hari). Konidia diproduksi secara konsentris atau
berada pada tepi cawan petri. Pada media PDA, koloni berbentuk seperti serabut
dengan mengeluarkan konidia yang sering terlihat menutupi permukaan media
pada umur ke-5 hingga ke-7. Selain itu, lingkaran hijau juga sering terlihat saat
hifa telah memenuhi permukaan media. Karakter anatomi menunjukkan hifa
hialin dan bersekat, konidia tersusun kompak dan memiliki dinding yang tebal
seperti kristal, serta memiliki klamidospora yang memiliki ukuran lebih besar dari
konidia (Gambar 12).

Gambar 12

Morfologi dan anatomi isolat cendawan patogen CSAJ.2. a)
Lingkaran hijau cendawan patogen pada media PDA, b) konidiofor,
c) konidia, d) klamidospora, dan e) hifa

Isolat cendawan patogen CSAJ.2 juga diidentifikasi secara molekuler
menggunakan daerah ITS rDNA. Hasil pengukuran kosentrasi dan kemurnian
DNA genom menunjukkan bahwa kosentrasi DNA genom cendawan yang
diperoleh yaitu 78.3 ng/ µL. DNA genom tersebut dijadikan cetakan (template)
pada proses PCR daerah ITS rDNA menggunakan primer ITS 5F dan ITS 4R.

18
4
Hasil visualisasi pada gel agarosa 1% menghasilkan produk pita DNA berukuran
± 700 pb (Gambar 13).

Gamb