Kolaborasi Konservasi di Kawasan Wisata Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

KOLABORASI KONSERVASI
DI KAWASAN WISATA CIWIDEY,
KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT

ELY TRIANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Kolaborasi Konservasi
di Kawasan Wisata Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Ely Triana
NIM E352120101

RINGKASAN
ELY TRIANA. Kolaborasi Konservasi di Kawasan Wisata Ciwidey, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, TUTUT
SUNARMINTO dan ADJAT SUDRADJAT.
Pembangunan berkelanjutan adalah apa yang secara tradisional diistilahkan
sebagai konservasi (Thiele 2013, Gunn 1994). Kedua istilah tersebut meliputi tiga
pilar keberlanjutan yaitu ekologi, ekonomi dan sosial yang harus berjalan secara
seimbang. Untuk menjaga keseimbangan ketiga aspek tersebut dibutuhkan kolaborasi
antar pihak yang memiliki kepentingan. Keberhasilan pembangunan berkelanjutan
sangat ditentukan oleh konservasi sumberdaya alam, sehingga konservasi menjadi
satu-satunya jalan agar tercapai pembangunan berkelanjutan (Alikodra 2013).
Kolaborasi konservasi dapat menjadi alat atau cara untuk mengembangkan pariwisata
yang berkelanjutan sebagai contoh adalah di Kawasan Wisata Ciwidey.
Penelitian bertujuan untuk menyusun strategi peningkatan kapasitas kolaborasi
konservasi di KWC berdasarkan analisis aspek konservasi, pariwisata berkelanjutan

dan kolaborasi pada tiga lokasi penelitian yaitu Wana Wisata Kawah Putih, TWA
Cimanggu dan TWA Telaga Patengan. Pengambilan data dilakukan pada bulan
Desember 2013 - Pebruari 2014 di ketiga lokasi tersebut dengan teknik pengisian
kuesioner pola tertutup (close ended). Responden untuk pengunjung dan masyarakat
dipilih dengan teknik accidental/convenience (Prasetyo dan Jannah 2005) sementara
responden untuk pengelola dan mitra (stakeholders) ditentukan dengan purposive
sampling. Analisis data dilakukan dengan pemetaan skor (skor mapping) dan analisis
gap. Kemudian untuk merumuskan strategi peningkatan kapasitas kolaborasi
konservasi dilakukan dengan analisis SWOT yang dikembangkan Kearns (1992).
Hasil analisis aspek-aspek kolaborasi konservasi di tiga lokasi penelitian
menunjukkan aspek konservasi pada kriteria perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan secara lestari rata-rata agak baik meskipun ada beberapa elemen yang
masih dinilai agak buruk oleh sebagian kecil stakeholders. Untuk aspek pariwisata
berkelanjutan pada kriteria dampak ekologi dan ekonomi dinilai rata-rata agak baik,
sementara untuk dampak sosial dinilai rata-rata biasa saja dengan elemen kekayaan
budaya dan kontrol sosisal yang masih dinilai agak buruk oleh sebagian kecil
stakeholders. Untuk aspek kolaborasi pada kriteria sumberdaya organisasi, tujuan dan
cara mencapai tujuan dinilai rata-rata agak baik pada setiap elemen. Dapat
disimpulkan bahwa secara keseluruhan kondisi kolaborasi konservasi di ketiga lokasi
tergolong agak baik meskipun dengan beberapa catatan untuk meningkatkan

kapasitas beberapa elemen yang masih dinilai agak buruk.
Strategi peningkatan kapasitas kolaborasi konservasi di Kawasan Wisata
Ciwidey dibedakan pada tiga level. Pada level sistem adalah membuat kebijakan yang
mengatur pembentukan sebuah kelembagaan, misalnya dalam bentuk forum
konservasi dan ekowisata yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan dan
membentuk sistem transportasi wisata dan fasilitas umum tang terintegrasi; pada level
organisasi adalah memasukan aspek konservasi dan pariwisata berkelanjutan ke
dalam perencanaan dan program yang dijalankan organisasi sesuai dengan wewenang
dan tugas pokoknya; dan pada level individu adalah peningkatan pengetahuan dan
keterampilan tentang konservasi dan pariwisata berkelanjutan bagi setiap individu
yang terlibat dalam kegiatan wisata melalui penyuluhan dan pelatihan terkait.
Kata kunci: kolaborasi, konservasi, kawasan wisata Ciwidey, pariwisata berkelanjutan

SUMMARY
ELY TRIANA. Collaboration of Conservation in Ciwidey Tourism Area,
Bandung Regency, West Java. Supervised by HADI S ALIKODRA, TUTUT
SUNARMINTO and ADJAT SUDRADJAT.
Sustainable development is what has traditionally been termed as
conservation (Thiele 2013, Gunn 1994). Both terms embrace three pillars of
sustainability: ecology, econony and social, and must be conducted in balance. It

needs a collaboration between stakeholders to keep those pillars in balance. The
success of sustainable development is determined by natural resource
conservation, so that conservation is the only way to achieve sustainable
development (Alikodra 2013). So, collaboration of conservation can be a tool or a
way to develop sustainable tourism, as an example is in Ciwidey tourism area.
The research aimed to formulate the strategy of capacity improvement of
collabration of conservation in Ciwidey tourism area based on analysis of
conservation, sustainable tourism and collaboration aspects in three sites: Wana
Wisata Kawah Putih, TWA Cimanggu and TWA Telaga Patengan. Data
collection was conducted in December 2013 until February 2014 using close
ended questionnaire. Respondents for visitor and local community were chosen by
accidental/convenience technique, while respondents for stakeholders were
determined by purposive sampling technique. The data were analysed by score
mapping and gap analysis, and then used SWOT analysis by Kearns (1992) to
formulate the strategy of capacity improvement of collaboration of conservation.
The result from analysis of collaboraion of conservation aspects in three
location showed that the aspects of conservation (protection, preservation and
sustainable utilization) were passable/good enough on the average even though
there are some elements were perceived rather bad by a few stakeholders. The
aspects of sustainable tourism (ecology and economy) were passable on the

average while social elements were were perceived rather bad by a few
stakeholders. The aspects of collaboration (organization resources, the objectives
and the procedure to achieve goals) were passable on the average at each element.
Overall, the condition of collaboration of conservation in three location were good
enough eventhough with some notes to improve the capacity of some elements.
The strategy to improve capacity of collaboration of conservation in
Ciwidey tourism area in three levels. In system level are to make policy which
arrange the formation of an institution, such as a forum of conservation and
ecotourism which involves stakeholders, and to build an integtrated transportation
system and public facillities; in organization level is to include conservation and
sustainable tourism aspects in the planning and programs of each organization in
accordance with their authority and main tasks; and in individual level is to
improve the knowledge and skill on conservation and sustainable tourism for
everyone involving tourism activities throuh related counseling and training.
Keywords: Ciwidey tourism area, collaboration, conservation, sustainable tourism

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOLABORASI KONSERVASI
DI KAWASAN WISATA CIWIDEY,
KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT

ELY TRIANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nyoto Santoso, MS

Judul Tesis : Kolaborasi Konservasi di Kawasan Wisata Ciwidey, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat
Nama
: Ely Triana
NIM
: E352120101
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hadi S Alikodra, MS
Ketua

Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi
Anggota


Dr Ir Adjat Sudradjat, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Manajemen Ekowisata dan
Jasa Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Ricky Avenzora, MScF

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 hingga Pebruari 2015 ini berjudul
Kolaborasi Konservasi di Kawasan Wisata Ciwidey, Kabupaten Bandung. Hasil
penelitian ini telah diajukan dan diterima serta akan diterbitkan dalam jurnal
ilmiah bidang konservasi sumberdaya alam dan lingkungan Media Konservasi
Vol.19, No.3 bulan Desember 2015, ISSN 0215-1667.
Terima kasih dan penghargaan saya kepada Prof Dr Ir Hadi S Alikodra, MS,
Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi dan Dr Ir Adjat Sudradjat, MS selaku komisi
pembimbing atas bantuan, dorongan dan bimbingannya selama penyelesaian tesis
ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan di Balai Besar
Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat-Seksi Wilayah III (TWA Cimanggu
dan TWA Telaga Patengan) dan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-KBM JLPL
(Kawah Putih dan Cimanggu Hotspring) yang telah membantu selama
pengumpulan data.
Studi ini tidak akan mungkin terlaksana tanpa pendanaan yang saya terima.
Saya ucapkan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan c.q. Pusdiklat
Kehutanan yang telah memberikan beasiswa untuk studi ini. Terima kasih saya
untuk rekan seperjuangan pada prodi Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan, khususnya angakatan 2012, dan semua pihak atas dukungan

semangat dan doanya.
Teruntuk suami, anak-anak, orang tua dan seluruh keluarga saya, terima
kasih yang tak terkira atas cinta, kasih sayang, doa dan pengertiannya. Studi ini
tidak akan berhasil tanpa pengorbanan orang-orang terkasih.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015
Ely Triana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

Vi
vi
vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
5
5

2 METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Analisis Data

5
5
6
7

3 KONDISI UMUM DAN POTENSI WILAYAH STUDI
Wana Wisata Kawah Putih
Taman Wisata Alam Cimanggu
Taman Wisata Alam Telaga Patengan
Kondisi Masyarakat Sekitar

8
9
11
12
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Kolaborasi di Kawasan Wisata Ciwidey
Identifikasi Stakeholders
Pola Kolaborasi yang Terjadi
Analisis Aspek-aspek Kolaborasi Konservasi
Aspek Konservasi
Aspek Pariwisata Berkelanjutan
Aspek Kolaborasi
Strategi Peningkatan Kapasitas Kolaborasi Konservasi di Kawasan
Wisata Ciwidey
Analisis SWOT
Perumusan Strategi

15
15
15
24
31
32
35
41
45

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

49
49
50

DAFTAR PUSTAKA

51

RIWAYAT HIDUP

54

45
48

DAFTAR TABEL
1 Data Primer yang diambil dalam penelitian
2 Hubungan stakeholders dengan kegiatan kolaborasi
3 Kekuatan-kekuatan bagi Wana Wisata Kawah Putih, TWA Cimanggu
dan TWA Telaga Patengan
4 Kelemahan-kelemahan bagi Wana Wisata Kawah Putih, TWA
Cimanggu dan TWA Telaga Patengan
5 Peluang-peluang bagi Wana Wisata Kawah Putih, TWA Cimanggu
dan TWA Telaga Patengan
6 Ancaman-ancaman bagi Wana Wisata Kawah Putih, TWA Cimanggu
dan TWA Telaga Patengan
7 Hasil Analisis SWOT untuk peningkatan kapasitas kolaborasi
konservasi di Kawasan Wisata Ciwidey

6
24
46
46
47
47
48

DAFTAR GAMBAR
1 Alur Pikir Penelitian
2 Peta Lokasi Penelitian di Kawasan Wisata Ciwidey
3 Matriks interaksi faktor-faktor internal dan eksternal dan klasifikasi isuisu strategis
4 Kawah dengan air berwarna hijau keputih-putihan sebagai obyek wisata
utama di Wana Wisata Kawah Putih
5 Kolam rendam air panas, salah satu fasilitas wisata di TWA Cimanggu
6 Atraksi wisata berperahu di telaga Patengan
7 Struktur Organisasi Pengelola Kawah Putih
8 Struktur organisasi BBKSDA Jawa Barat
9 Struktur Organisasi LMDH Wisata
10 Struktur Organisasi PTPN VIII
11 Struktur Organisasi Manajemen Terpadu Situ Patenggang
12 Salah satu kegiatan kemitraan usaha di Kawah Putih berupa Angkutan
wisata ‘ontang-anting’
13 Peta Kawasan TWA Telaga Patengan
14 Kantor sekretariat bersama Manajemen Terpadu dan KOMPEPAR
sebagai salah satu wujud kolaborasi di Situ Patenggang
15 Hasil penilaian stakeholders terhadap elemen perlindungan
16 Hasil penilaian stakeholders terhadap elemen pengawetan
17 Hasil penilaian stakeholders terhadap elemen pemanfaatan
18 Penilaian stakeholders terhadap dampak ekologi dari pariwisata
19 Penilaian stakeholders terhadap dampak ekonomi dari pariwisata
20 Penilaian stakeholders terhadap dampak sosial dari pariwisata
21 Dampak ekonomi dari pariwisata terhadap masyarakat lokal
22 Dampak sosial dari pariwisata terhadap masyarakat lokal
23 Dampak budaya dari pariwisata terhadap masyarakat lokal
24 Penilaian stakeholder terhadap elemen sumberdaya manusia organisasi
25 Penilaian stakeholder terhadap elemen sumberaya keuangan organisasi
26 Penilaian stakeholder terhadap elemen sumberdaya fisik organisasi

4
5
8
10
12
14
17
18
19
20
23
26
29
31
32
33
34
36
37
38
39
40
40
42
42
43

27 Penilaian stakeholders terhadap elemen sumberdaya informasi
organisasi
28 Penilaian stakeholders terhadap elemen tujuan kolaborasi organisasi
29 Penilaian stakeholders terhadap elemen cara/langkah mencapai tujuan

43
44
44

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konservasi menurut World Conservation Strategy (IUCN, UNEP, WWF
1980) adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat
menghasilkan manfaat sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat
ini seraya memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi
generasi mendatang. Dalam strategi konservasi dunia, konservasi memiliki tiga
tujuan utama yaitu 1) memelihara proses-proses ekologi penting dan sistem
penyangga kehidupan; 2) mengawetkan keanekaragaman genetik; dan 3)
memastikan pemanfaatan lestari spesies dan ekosistem. Sementara itu di
Indonesia, UU Nomor 5 tahun 1990 menyatakan bahwa konservasi sumberdaya
alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Prinsip yang terkandung dalam konservasi adalah perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Perlindungan dan
pengawetan merupakan aspek ekologi, sementara pemanfaatan secara lestari
mencakup aspek ekonomi dan sosial.
Konservasi ditujukan untuk kepentingan manusia melalui penggunaan
sumberdaya alam yang berkelanjutan. Upaya pemanfaatan sumberdaya alam atau
keanekaragaman hayati yang dianggap mampu menjamin kelestarian, serta
mampu pula meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya bahkan sebagai
sumber devisa negara adalah melalui bioprospecting dan ecotourism.
Pengembangan ekowisata menjadi salah satu jalan yang paling tepat dalam rangka
implementasi pembangunan berkelanjutan secara efektif (Alikodra 2013).
Ekowisata tidak terjadi bila aspek-aspek konservasi dan kaidah-kaidah
pembangunan berkelanjutan tidak dijalankan. Sebagai timbal balik, pariwisata
harus mampu mendukung konservasi seperti yang dikemukakan Buckley (2012)
bahwa salah satu prioritas khusus saat ini adalah kemampuan pariwisata untuk
mengangkat perubahan skala luas dalam penggunaan lahan dengan
membangkitkan dukungan finansial dan politik untuk konservasi.
Istilah pembangunan berkelanjutan adalah apa yang secara tradisional
diistilahkan konservasi (Thiele 2013, Gunn 1994). Pembangunan berkelanjutan
didefinisikan dalam The Brundtland Report (UN-WCED 1987) sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tiga
pilar sustainability yaitu sosial, ekologi dan ekonomi, atau menurut Thiele (2013)
didasari “triple bottom line” yaitu people, planet, profit. Ketiga pilar akan berdiri
atau jatuh bersama, artinya ketiganya harus seimbang. Terkait dengan pariwisata
berkelanjutan, UNEP-WTO (2005) memberikan penjelasan mengenai ketiga pilar
tersebut. Pilar keberlanjutan lingkungan/ekologi – artinya mengkonservasi dan
mengelola sumberdaya, terutama yang tidak dapat diperbaharui atau yang
berharga untuk penyangga kehidupan. Pilar keberlanjutan sosial – artinya
menghormati hak azasi manusia dan peluang yang sama bagi seluruh masyarakat.
Penekanan pada masyarakat lokal, memelihara dan memperkuat sistem penyangga

2
kehidupan mereka, mengenali dan menghormati budaya yang berbeda dan
menghindari setiap bentuk eksploitasi. Pilar keberlanjutan ekonomi – artinya
membangkitkan kesejahteraan pada tingkat masyarakat yang berbeda dan
melakukan efektifitas biaya pada semua aktivitas ekonomi. Yang paling penting
adalah kelangsungan perusahaan dan kegiatan-kegiatan untuk dipelihara dalam
jangka panjang.
Konservasi adalah proses yang harus diterapkan secara lintas sektoral dan
keberhasilannya merupakan keberhasilan kolektif. Tidak mudah menjaga
keseimbangan aspek ekologi, ekonomi dan sosial dengan melibatkan banyak
pihak. Namun, keberhasilan setiap inisiatif pembangunan berkelanjutan
bergantung pada kesediaan partisipasi dari semua sektor masyarakat (UNEP 2002)
sehingga keterlibatan stakeholders menjadi sangat penting bagi pembangunan
berkelanjutan. The Brundtland Report (UN-WCED 1987) mengidentifikasi bahwa
kebutuhan untuk kemitraan antara stakeholders adalah sebagai kunci untuk
mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Keterlibatan dan konsultasi
masyarakat lokal dan bentuk-bentuk lain partisipasi publik dalam perencanaan,
pembuatan keputusan dan pengelolaan adalah alat yang berharga dalam
mengintegrasikan tujuan-tujuan ekonomi, sosial dan ekologi (IUCN-UNEP-WWF
1980).
Salah satu kendala dalam keterlibatan para pihak adalah beberapa pihak
yang seringkali hanya mengejar kepentingan pribadi telah menjadi penyebab
utama degradasi lingkungan. Untuk mengubah perilaku stakeholders yang hanya
berorientasi mengejar kepentingan pribadi menjadi kerjasama dan membangun
kemitraan dapat dilakukan dengan pendekatan patisipatif (Hemmati 2002). Hal
tersebut dapat dilakukan dengan pola-pola kolaborasi. Kolaborasi sebagai konsep
kerjasama dan sebagai resolusi konflik antar stakeholders (Gray 2004) dapat
menampung berbagai aspirasi atau keinginan berbagai pihak untuk ikut berbagi
peran, manfaat dan tanggungjawab (Putro et al. 2012). Selain itu, proses
kolaboratif dapat menciptakan hubungan antara pengetahuan ilmiah dan aplikasi
praktek bagi manajemen sumberdaya alam yang berkelanjutan (Isely E et al.
2014). Dengan demikian, kolaborasi konservasi harus menjadi cara untuk
mengembangkan ekowisata dengan melibatkan stakeholders sesuai dengan
kepentingan dan peran masing-masing. Kesadaran berkolaborasi di bidang
konservasi menjadi kebijakan yang tepat untuk diimplementasikan oleh semua
pihak (Alikodra 2013).
Destinasi wisata yang dapat menjadi contoh penerapan kolaborasi
konservasi adalah Kawasan Wisata Ciwidey (selanjutnya disingkat KWC) yang
terletak di Selatan kota Bandung. Kawasan ini merupakan destinasi wisata
unggulan Jawa Barat dan ditunjuk sebagai Kawasan Pariwisata Strategis Nasional
yang termuat dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional tahun
2010-2025 (lampiran III PP no.50 tahun 2011). Sebagian besar potensi wisata
pada kawasan ini merupakan sumberdaya alam dengan keberadaan objek wisata
pada berbagai status lahan dan pihak pengelola, di antaranya pada kawasan hutan
lindung, konservasi dan perkebunan. Selain itu, adanya kerjasama yang terjadi
antara berbagai pihak yaitu pengelola kawasan dengan pengusaha, pengusaha
dengan masyarakat dan pelaku wisata lain menunjukkan bahwa kolaborasi telah
dilakukan dalam kegiatan wisata di kawasan ini. Kolaborasi di KWC akan dapat
mendukung terwujudnya pariwisata berkelanjutan jika sudah didasari azas

3
konservasi dan pilar-pilar pariwisata berkelanjutan. Berdasarkan situasi tersebut
maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian kolaborasi konservasi di KWC.
Perumusan Masalah
Konservasi adalah hal yang kompleks karena meliputi tiga aspek ekologi,
ekonomi dan sosial yang harus berjalan seimbang dan melibatkan lintas sektoral.
Menurut Alikodra (2013) agar kebijakan konservasi dapat diterapkan secara
berkelanjutan maka harus mendapat dukungan dan partisipasi stakeholders di luar
pemerintah, seperti dunia usaha, LSM, ataupun anggota/kelompok masyarakat
terkait. Proses kolaborasi perlu dukungan pemerintah sehingga terbangun
kreativitas yang positif bagi terlaksananya konservasi sumberdaya alam.
Kolaborasi yang terjadi pada kawasan wisata seringkali hanya terbatas pada
pemasaran obyek wisata di antara para pengusaha wisata. Kolaborasi konservasi
dapat menjadi cara dalam pengembangan wisata terutama di kawasan konservasi
dan lindung agar terwujud pariwisata berkelanjutan yang menjamin kelangsungan
lingkungan fisik sumberdaya dan usaha wisata yang juga berkontribusi bagi
kesejahteraan masyarakat lokal. Untuk mewujudkan kolaborasi konservasi dalam
pengelolaan kawasan wisata dibutuhkan pemahaman dan penerapan aspek
konservasi dan pariwisata berkelanjutan oleh stakeholders dalam melakukan
kolaborasi pengelolaan.
Menurut Isely et al. (2014) sistem sosisal, ekologi dan ekonomi tidak bisa
ditangkap menggunakan perspektif tunggal namun paling baik dipahami melalui
lensa multi-perspektif. Keseimbangan ketiga aspek tersebut dengan melibatkan
multi-perspektif hanya bisa dijalankan melalui kolaborasi. Kolaborasi dapat
berjalan sukses diantaranya bila berhasil membangun “common ground”
(pandangan yang sama); menciptakan kesempatan baru untuk berinteraksi;
melibatkan stakeholder ke dalam proses interaksi, bukan hanya pada produk
akhir; interaksi yang intensif dan berkualitas dalam proses pembuatan keputusan
akan menghasilkan keputusan yang efektif dan kepuasaan seluruh stakeholder.
Hal ini harus didukung oleh proses fasilitasi yang efektif dan pengelolaan
pertemuan yang baik serta didukung oleh struktur organisasi yang efisien. Agar
proses ini bertahan harus ada pula upaya pelembagaan kegiatan bersama dan
memelihara agar kegiatan ini menjadi kebutuhan dan kepentingan bersama
(Suporahardjo 2005: 10-17).
Kolaborasi merupakan hal yang tidak mudah dan kompleks. Sebelum
memulai suatu kolaborasi hendaknya masing-masing pihak dapat
mengidentifikasi tiga hal penting yaitu tujuan, kemampuan/kompetensi, dan
bagaimana untuk mencapai tujuan. Atau memakai istilah Sunarminto (komunikasi
pribadi tanggal 29 Oktober 2013) siapa maunya apa, siapa punya apa, siapa
berbuat apa dalam berkolaborasi untuk mencapai tujuannya. Identifikasi
sumberdaya atau kompetensi organisasi serta visi dan misi stakeholders menjadi
penting untuk melihat pola kolaborasi yang dilakukan.
Mengingat kompleksitas suatu kolaborasi tentu akan terjadi gap antara
kondisi faktual di lapangan dengan kondisi ideal suatu kolaborasi konservasi.
Untuk mengatasi gap yang mungkin terjadi, perlu adanya alternatif strategi dalam
peningkatan kapasitas kolaborasi konservasi. Strategi adalah sarana yang dengan
itu tujuan-tujuan jangka panjang akan dicapai. Strategi memiliki konsekuensi

4
multi-fungsi atau multi-divisi dan menuntut pertimbangan faktor-faktor eksternal
dan internal yang dihadapi perusahaan/organisasi (David 2011). Sedangkan
kapasitas didefinisikan sebagai kemampuan individu dan organisasi atau unit
organisasi untuk melakukan fungsi-fungsi secara efektif, efisien dan berkelanjutan.
(UNDP 1998). Lebih lanjut UNDP (2009) mengidentifikasi tiga titik dimana
kapasitas tumbuh dan terpelihara: dalam lingkungan yang mendukung, dalam
organisasi dan didalam individu-individu. Ketiga level ini saling mempengaruhi,
kekuatan setiap level bergantung pada dan menentukan kekuatan yang lain.
Mempertimbangkan hal tersebut maka dalam rangka peningkatan kapasitas
kolaborasi konservasi di KWC perlu dilakukan pada ketiga level kapasitas yaitu
(1) lingkungan yang mendukung meliputi aturan, hukum, kebijakan, hubungan
kekuasaan dan norma-norma sosial yang mengatur ikatan masyarakat umum; (2)
level organisasi meliputi struktur internal, kebijakan dan prosedur yang
menentukan efektivitas suatu organisasi; dan (3) level individu meliputi
kemampuan, pengalaman dan pengetahuan yang membuat setiap orang
melakukan tugasnya (secara formal melalui pendidikan dan pelatihan, secara
informal dengan melakukan dan mengamati).
Kolaborasi konservasi untuk mencapai
pariwasata berkelanjutan
Kawasan Wisata Ciwidey
Analisis Kolaborasi Konservasi
(pemetaan skor, analisis gap, analisis SWOT)
Azas Konservasi (UU
No.5/1990; IUCNUNEP-WWF 1980):
• Perlindungan
• Pengawetan
• Pemanfaatan lestari

Pilar pariwisata
berkelanjutan (UNEPWTO 2005):
• Ekologi
• Sosial
• Ekonomi

Aspek Kolaborasi:
• Sumberdaya
organisasi (Griffin
2013)
• Tujuan kolaborasi
• Cara mencapai
tujuan

Strategi Peningkatan Kapasitas Kolaborasi Konservasi
di KWC (UNDP 2009):
• Level lingkungan yang mendukung/sistem (aturan,
hukum, dan norma sosial)
• Level organisasi (struktur, kebijakan dan prosedur)
• Level individual (kemampuan, pengalaman, dan
pengetahuan)

Gambar 1 Alur Pikir Penelitian

5
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk menyusun strategi peningkatan kapasitas
kolaborasi konservasi di KWC berdasarkan analisis aspek konservasi, pariwisata
berkelanjutan dan kolaborasi pada tiga lokasi penelitian yaitu Wana Wisata
Kawah Putih, Taman Wisata Alam Cimanggu dan Taman Wisata Alam Telaga
Patengan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan manfaat bagi:
1. Stakeholders dalam pengelolaan wisata di KWC.
Ilmu pengetahuan mengenai kolaborasi dalam bidang konservasi.

2 METODE
Lokasi dan Waktu
Pengambilan data penelitian dilakukan di beberapa obyek wisata yang
termasuk dalam Kawasan Wisata Ciwidey, Kabupaten Bandung, yaitu: Wana
Wisata Kawah Putih, Taman Wisata Alam Cimanggu dan Taman Wisata Alam
Situ Patenggang. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan status kawasan
objek-objek wisata tersebut yang merupakan hutan lindung (Wana Wisata Kawah
Putih) dan hutan konservasi (Taman Wisata Alam Cimanggu dan Taman Wisata
Alam Telaga Patengan). Selain itu pada lokasi yang dipilih sudah dilakukan
kolaborasi dengan pola yang berbeda. Pengambilan data dilakukan sejak bulan
Desember 2013 hingga Pebruari 2014.

Kawasan Wisata/Agropolitan Ciwidey

Lokasi Penelitian

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian di Kawasan Wisata Ciwidey

6
Metode Pengambilan Data
Data primer yang dikumpulkan merupakan data nilai persepsi yang
diberikan oleh responden stakehoders yang terlibat dalam kolaborasi terhadap:
1. Aspek konservasi meliputi elemen-elemen: perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan secara lestari.
2. Aspek pariwisata berkelanjutan meliputi elemen-elemen: ekologi, ekonomi
dan sosial.
3. Aspek kolaborasi dilihat dari elemen-elemen: sumberdaya organisasi, tujuan
organisasi, dan cara/langkah mencapai tujuan.
Tabel 1. Data Primer yang diambil dalam penelitian
No.

Variabel

Elemen

Sumber Data

a. Perlindungan
b. pengawetan
c. pemanfaatan
secara lestari

Responden
pengelola wisata dan
mitranya (1 orang
per bidang kerja di
tiap obyek wisata)
Responden
pengelola wisata dan
mitranya (1 orang
per bidang kerja di
tiap obyek wisata)
dan pengunjung
dengan n≥30 di tiap
obyek wisata (untuk
poin d.)
Poin a dan d:
Responden
pengelola wisata dan
mitranya (1 orang
per bidang kerja di
tiap obyek wisata)
Poin b dan c:
Responden pejabat
struktural/pengurus
organisasi dari
pengelola wisata dan
mitra

1

Prinsip
Konservasi

2

Pilar
a. ekologi
pariwisata
b. sosialberkelanjutan
budaya
c. sosialekonomi
d. kepuasaan
pengunjung

3

Aspek
kolaborasi

a. Sumberdaya
Organisasi:
manusia,
keuangan,
fisik,
informasi.
b. Tujuan
kolaborasi
c. Cara/langkah
mencapai
tujuan

Pengumpulan
Data

Kuesioner
tertutup dan
wawancara

Selain itu kuesioner dibagikan kepada pengunjung sebagai pihak pengguna
dan masyarakat desa sekitar sebagai penerima dampak kegiatan wisata di lokasi
penelitian. Teknik pengambilan data primer dilakukan dengan menggunakan
kuesioner pola tertutup (close ended) untuk memperoleh nilai yang tepat dari
setiap jawaban yang diberikan responden. Responden untuk pengunjung dan
masyarakat ditentukan dengan teknik accidental yang didasarkan pada
kemudahan (convenience) artinya sampel dapat terpilih karena berada pada waktu,
situasi, dan tempat yang tepat (Prasetyo dan Jannah 2005). Sementara itu

7
penentuan responden untuk stakeholders dilakukan dengan purposive sampling.
Teknik ini disebut juga judgemental atau expert sampling yang digunakan jika
beberapa anggota populasi dianggap lebih sesuai misalnya berpengetahuan atau
berpengalaman (Altinay dan Paraskevas 2008). Selain pengisisan kuesioner,
dilakukan pula wawancara dengan beberapa informan kunci yang mempunyai
peranan penting dalam kolaborasi yang terbentuk.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif. Hasil kuesioner
dikuantifikasi menjadi data ordinal yang mengukur tingkatan dari nilai yang
sangat positif hingga sangat negatif. Skala yang digunakan adalah Skala Likert,
yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono 2011).
Menurut Avenzora (2008), meskipun pada dasarnya Skala Likert bergerak dari 1
sampai 5, namun sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia maka sebaiknya
skala tersebut digubah menjadi 1 sampai dengan 7. Nilai skor 1 diberikan untuk
pernyataan “sangat tidak setuju”, nilai 2 untuk pernyataan “tidak setuju”, nilai 4 3
untuk pernyataan “agak tidak setuju”, nilai 4 untuk pernyataan “ragu-ragu”, nilai 5
untuk pernyataan “agak setuju”, nilai 6 untuk pernyataan “setuju” dan nilai 7
untuk pernyataan “sangat setuju”. Pola pemaknaan dari setiap nilai tersebut dapat
digubah sesuai kebutuhan (Avenzora 2008).
Untuk mendapatkan nilai persepsi dari skor 1 sampai dengan 7, maka pada
setiap kriteria untuk menilai suatu persepsi ditetapkan 7 indikator dengan setiap
indikator bermakna dengan nilai skor 1 sehingga bila setiap indikator terpenuhi
maka diperoleh nilai maksimal (nilai skor 7) untuk kriteria bersangkutan pada
setiap elemen tertentu. Nilai rata-rata untuk setiap aspek dan elemen yang dinilai
merupakan nilai persepsi responden terhadap aspek dan elemen tersebut yang
menunjukkan nilai responden terhadap kondisi saat ini. Proses pemetaan skor
(score mapping) tersebut kemudian dibandingkan dengan kondisi ideal (skor 7)
melalui analisis gap (gap analysis). Besar atau kecilnya gap dapat
menggambarkan faktor-faktor yang menjadi kelebihan dan kekurangan kolaborasi
yang terjadi.
Hasil semua analisis tersebut disintesis dengan data pendukung dan hasil
wawancara untuk menghasilkan gambaran mengenai kondisi kolaborasi
konservasi yang terjadi di Kawasan Wisata Ciwidey. Untuk mengatasi gap yang
ada agar tercapai kondisi ideal perlu disusun alternatif strategi peningkatan
kapasitas kolaborasi konservasi di setiap lokasi penelitian. Alternatif strategi dapat
dihasilkan dengan melakukan analisis SWOT. Menurut Start dan Hovland (2004),
analisis SWOT adalah instrument perencanaaan strategis yang klasik dengan
menggunakan kerangka kerja kekuatan dan kelemahan dan kesempatan dan
ancaman ekternal. Instrument ini memberikan cara sederhana untuk
memperkirakan cara terbaik untuk melaksanakan sebuah strategi. Rangkuti (2013)
menyatakan bahwa analisis SWOT sebagai alat formulasi strategi adalah
identifikasi faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan.
Analisis SWOT untuk menyusun alternatif strategi peningkatan kapasitas
kolaborasi konservasi di KWC dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang
dikembangkan Kearns (1992). Secara umum, Kearns menyarankan analisis

8
SWOT pertama-tama dilakukan berkenaan dengan lingkungan eksternal (peluang
dan ancaman) sebelum melanjutkan analisis lingkungan internal (kekuatan dan
kelemahan). Logikanya adalah organisasi harus merespon lingkungan
eksternalnya, bukan sebaliknya. Tahap selanjutnya, adalah memetakan interaksi
dengan menggunakan matriks sederhana dua-kali-dua seperti pada gambar 3.
Matriks tersebut digunakan untuk identifikasi empat kelas isu-isu strategis yang
dihadapi banyak organisasi yaitu: (1) keuntungan komparatif, (2) mobilisasi, (3)
investasi/divestasi, dan (4) mengendalikan kerugian.
Faktor-faktor Eksternal
Peluang-peluang

Ancaman-ancaman

Kekuatan-kekuatan

Keuntungan komparatif

Mobilisasi

Kelemahan-kelemahan

Investasi/divestasi

Mengendalikan
kerugian

Faktor-faktor Internal

Sumber: Kearns (1992)

Gambar 3 Matriks interaksi faktor-faktor internal dan eksternal dan klasifikasi isuisu strategis
Kearns (1992) menjelaskan bahwa keuntungan komparatif merupakan
pertemuan dua elemen kekuatan dan peluang sehingga memberikan kemungkinan
bagi suatu organisasi untuk bisa berkembang lebih cepat; mobilisasi merupakan
interaksi antara ancamandan kekuatan. Di sini harus dilakukan upaya mobilisasi
sumber daya yang merupakan kekuatan organisasi untuk memperlunak ancaman
dari luar tersebut, bahkan kemudian merubah ancaman itu menjadi sebuah
peluang; Investasi/divestasi merupakan interaksi antara kelemahan organisasi dan
peluang dari luar. Situasi seperti ini memberikan suatu pilihan pada situasi yang
kabur. Peluang yang tersedia sangat meyakinkan namun tidak dapat dimanfaatkan
karena kekuatan yang ada tidak cukup untuk menggarapnya. Pilihan keputusan
yang diambil adalah (melepas peluang yang ada untuk dimanfaatkan organisasi
lain) atau memaksakan menggarap peluang itu (investasi); dan kontrol kerusakan
merupakan kondisi yang paling lemahdari semua sel karena merupakan pertemuan
antara kelemahan organisasi dengan ancaman dari luar, dan karenanya keputusan
yang salah akan membawa bencana yang besar bagi organisasi. Strategi yang
harus diambil adalah mengendalikan kerugian sehingga tidak menjadi lebih parah
dari yang diperkirakan.

3 KONDISI UMUM DAN POTENSI WILAYAH STUDI
Kawasan Wisata Ciwidey termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung
bagian Selatan. Ciwidey dan sekitarnya telah ditetapkan menjadi Kawasan
Strategis Pariwisata Nasional sejak tahun 2011 dan menjadi destinasi unggulan
Jawa Barat. Kawasan ini terletak sekitar 47 km di Selatan Bandung dan relatif
mudah dicapai melalui jalan raya dengan memakai kendaraan umum maupun

9
pribadi. Objek-objek wisata di kawasan ini terhubung oleh satu jalur jalan raya
propinsi sehingga dapat dikunjungi sekaligus dalam satu kesempatan kunjungan.
Rute perjalanan yang dapat ditempuh untuk mencapai Kawasan Wisata Ciwidey
adalah dari Bandung 47 Km atau 65 menit, dari Jakarta via Toll Jagorawi–
Puncak–Bandung–KWC 222 Km atau 5 jam, atau dari Jakarta via Tol
Cikampek–Purbaleunyi–Bandung–KWC 195 Km atau 4 jam.
Berdasarkan Perda Kabupaten Bandung tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Bandung 2007-2027, salah satu kawasan yang memiliki
fungsi kegiatan khusus pariwisata adalah kawasan Ciwidey yang meliputi tiga
kecamatan, yaitu Kecamatan Rancabali, Kecamatan Ciwidey, dan Kecamatan
Pasirjambu. Beberapa objek wisata alam yang berada di Kawasan Ciwidey
diantaranya, Situ Patengan, Pranatirta Rancabali, Situ Lembang, Curug Cisabuk,
Taman Wisata Alam Cimanggu, Air Panas Walini, Punceling, Ranca Upas, Wana
Wisata Gunung Tangsi, Taman Sari Alam, Kawah Putih, Gunung Padang,
Gambung, dan Kawah Cibuni. Sementara untuk kegiatan penelitian ini
mengambil lokasi di Kawah Putih, TWA Cimanggu, dan Situ Patenggang dengan
pertimbangan status lahan tempat-tempat tersebut sebagai Hutan Lindung dan
Kawasan Konservasi.
Wana Wisata Kawah Putih
Letak dan luas
Dari arah Ciwidey, lokasi penelitian pertama adalah Wana Wisata Kawah
Putih (WWKP) terletak di kawasan Gunung Patuha (2.334 m) yang secara
geografis berada pada koordinat 107º 24’ 48” BT - 107º 26’ 24” BT dan 07º 07’
12” LS - 07º 10’ 48” LS. Secara administrasi pemerintahan termasuk dalam
wilayah Desa Alam Endah Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Sedangkan secara administrasi pengelolaan, kawasan tersebut berada dalam
wilayah pengelolaan Kesatuan Bisnis Jasa Lingkungan dan Produk Lain Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat. Kawasan Wana Wisata Kawah Putih secara
keseluruhan memiliki luas wilayah sebesar 25 Ha dengan batas-batas: Desa
Lebakmuncang dan G. Tikukur di sebelah Utara, TWA Cimanggu dan Desa
Patengan di sebelah Barat, Desa Alam Endah di sebelah Timur, dan Desa Pasir
Batulawang dan Kecamatan Pasir Jambu di sebelah Selatan.
Topografi dan iklim
Pada umumnya kondisi topografi kawasan Wana Wisata Kawah Putih
adalah kombinasi daratan landai berbukit dan curam dengan ketinggian 1500 –
2434 mdpl. Kondisi iklim wilayah ini berhawa sejuk dan memiliki tekanan udara
rendah, kelembaban udara 90%, temperatur udara berkisar antara 8° - 22°C
dengan curah hujan tahunan mencapai 3743 – 4043 mm/tahun.
Potensi Flora dan Fauna
Pada kawasan Wana Wisata Kawah Putih terdapat dua tipe vegetasi, yaitu
vegetasi hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam didominasi oleh jenis-jenis
pohon seperti Pasang (Quersus sundaica), Puspa (Schima walichii), dan Kihujan
(Engelhardia spicata), sedangkan tumbuhan bawah yang terdapat di tipe vegetasi
ini antara lain Edelweis (Anaphalis javanica), Kantong Semar (Nephentes sp),
Kirinyuh (Eupatorium palescens), Seseureuhan (Piper aduncum), Kulum

10
(Swietenia ovate), Harendong (Melastomum sp), Takokak (Solanum torvum),
cangkuang (Pandanus sp) dan tanaman Cantigi (Vaccinium varingifolium). Hutan
tanaman pada umumnya ditanami dengan jenis Pinus (Pinus merkusii) dan Kayu
Putih (Eucalyptus sp). Jenis-jenis satwa yang dilindungi undang-undang yang
hidup di hutan wisata Kawah Putih diantaranya adalah Surili (Presbytis comata),
Macan Tutul (Phantera pardus) dan Jelarang (Ratufa bicolor).
Berbagai jenis burung yang terdapat di kawasan ini antara lain Ayam hutan
(Gallus gallus), Sepah gunung (Pericrocotus miniatus) dan Puyuh gonggong
(Arborophila javanica), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Elang ruyuk
(Spilornis cheela), Cerecet (Psaltria exilis), Alap-alap (Falco pregenus), Kipasan
merah (Rhipidura phoenicurai), burung madu gunung (Aethopyga mystacalis),
burung madu kuning (Nectarina jugularis), puyuh gonggong (Arborophila
javanica), burung kuda (Garullax rufifrons) dan opior-opior (Lophozosterops
javanicus).
Potensi Wisata
Wana Wisata Kawah Putih mempunyai obyek wisata utama berupa kawah
yang di tengahnya terdapat danau berwarna putih kehijau-hijauan dengan dinding
batu kapur putih dan hutan Cantigi di sekelilingnya. Adapun fasilitas yang
terdapat di sekitar gerbang utama antara lain: bangunan kantor pengelola, lahan
parkir, kios dan warung, bangunan loket angkutan, mushola, shelter ontanganting, kendaraan ontang-anting, loket masuk kawasan, toilet, dan gerbang masuk.
Sedangkan fasilitas di sekitar lokasi kawah antara lain lahan parkir, mushola,
tempat sampah, toilet, shelter pengunjung, tugu sejarah Kawah Putih/landmark,
shelter ontang-anting, pusat informasi dan sirkulasi pejalan kaki menuju kawah.

Sumber: dokumentasi pribadi (2014)

Gambar 4 Kawah dengan air berwarna hijau keputih-putihan sebagai obyek wisata
utama di Wana Wisata Kawah Putih

11
Taman Wisata Alam Cimanggu
Letak dan luas
Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Cimanggu berbatasan langsung
dengan kawasan Kawah Putih yang secara geografis terletak antara 7 14’ 24” LS
dan 107 28’ 14” BT. Menurut Administrasi Pemerintahan, kawasan TWA
Cimanggu terletak di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Provinsi Jawa Barat. Sedangkan secara administrasi pengelolaan kehutanan
termasuk dalam Resort Wilayah Konservasi Patengan – Cimanggu, Seksi
Konservasi Wilayah 3, Bidang KSDA Wilayah II, Balai Besar Konservasi
Sumber Daya Alam Jawa Barat. Menurut Rencana Pengelolaan TWA Cimanggu
tahun 2005-2025 (BKSDA Jabar 1 2005), TWA Cimanggu awalnya merupakan
kawasan hutan lindung yang terdiri dari hutan alam dan hutan tanaman
berdasarkan GB No. 27 tanggal 7 Juli 1927. Kemudian ditetapkan sebagai
kawasan Taman Wisata Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 369/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978 seluas 154 Ha dan yang dapat
digunakan untuk kegiatan wisata adalah seluas 70,25 ha serta daerah yang boleh
dimanfaatkan sebagai area terbangun adalah seluas 15 ha. Saat ini pada blok
pemanfaatan terdapat tiga Ijin Pengusahaan Usaha Sarana Wisata Alam yaitu
Perum Perhutani seluas 30 Ha, CV. Bina Wana Lestari seluas 5,5 Ha, dan CV.
Amanah Sembilan Belas seluas 21,32 Ha. Batas-batas kawasan Taman Wisata
Alam Cimanggu adalah Hutan Produksi Perum Perhutani di sebelah Utara,
Perkebunan Walini di sebelah Selatan, Wana Wisata Kawah Putih dan Hutan
Lindung di sebelah Timur, dan Hutan Lindung Gunung Patuha di sebelah Barat.
Topografi dan iklim
Kawasan TWA Cimanggu merupakan daerah berbukit yang memiliki
topografi bergelombang sampai curam dengan sudut kemiringan 5 – 30 %.
Kawasan ini berada pada ketinggian antara 1.600 m – 2.200 mdpl, dengan puncak
terdekat adalah Gunung Patuha setinggi 2.434 mdpl. Menurut sistem iklim
Schmidt dan Ferguson, kawasan ini bertipe iklim B (basah), antara 18,3 – 22,3 %.
Curah hujan tahunan antara 3.745 – 4.046 mm. Jumlah Bulan Kering max 3 – 4
bulan, dan Bulan Basah max 12 bulan. Curah hujan rata-rata antara 2.500 – 3.000
mm/th, kondisi kelembaban udara rata-rata sebesar 90 %.
Potensi Flora dan Fauna
Kawasan TWA Cimanggu juga terdiri dari dua tipe vegetasi. Blok
perlindungan seluas ± 96 Ha sebagian besar (± 75 %) merupakan hutan alam
pegunungan dengan dominasi tumbuhan Rasamala (Altingia excelsa), Puspa,
Huru (Litsea sp) dan Pasang serta jenis-jenis yang mulai langka seperti Kiputri
(Podocarpus sp) dan Kitambaga (Eugenia cuprea). Sekitar 25 % blok
perlindungan merupakan hutan tanaman dengan jenis Rasamala dan Puspa. Blok
pemanfaatan seluas ± 66 Ha sebagian besar merupakan hutan tanaman yaitu
Rasamala, Kayu Putih/ampupu, Cemara gunung (Casuarian junghuniana), Puspa,
Kibadak (Almus nepalensis) dan Kayu manis (Cinnamomum verum) dan sebagian
kecil merupakan hutan alam yang termasuk tipe vegetasi hutan hujan pegunungan
yang didominasi oleh jenis jenis flora Rasamala, Huru, Puspa dan Pasang serta
terdapat ekosistem rawa pegunungan. Sebagai ciri dari hutan hujan tropis, jenisjenis epifit dan liana serta beberapa jenis anggrek yang terdapat pada batangbatang pohon, antara lain Anggrek Kadaka (Drynaria Spp.), Anggrek Bulan

12
(Phalaenopsis spp.), dan Kumpai (Lycopodium carimatum). Berbagai jenis fauna
yang terdapat di TWA Cimanggu antara lain : Lutung (Trachyphitecus auratus),
Surili (Presbytis commata), Babi hutan (Sus vitatus) dan Landak (Hystrix
brachyura). Jenis Aves diantaranya : Ayam hutan (Gallus gallus), Kutilang
(Pycnonotus aurigaster), Burung Kipas (Rhipidura javanica) Elang ruyuk
(Spizaetus sp) serta burung Sesap Madu (Anthreptes malacensis), Anis, dan ciblek
(BKSDA 2005).
Potensi Wisata
Potensi wisata yang terdapat di kawasan Taman Wisata Alam Cimanggu
terutama berupa keindahan alam dan sumber air panas yang cukup melimpah, selain
itu juga terdapat sumur tujuh dan petilasan (sanghiang buruan) serta hutan tropis
pegunungan. Fasilitas wisata yang disediakan oleh pihak BBKSDA untuk
kepentingan publik adalah gerbang masuk areal publik, areal parkir, mushola, toilet,
jogging track, dan beberapa shelter. Sedangkan fasilitas yang dikelola para
pengusaha wisata yaitu Perum Perhutani diantaranya gapura/loket karcis, pondok
penginapan, toilet, pusat informasi, tempat parkir, shelter, bak penampungan air,
kolam renang dan rendam, dan warung.

Sumber: dokumentasi pribadi (2014)

Gambar 5 Kolam rendam air panas, salah satu fasilitas wisata di TWA Cimanggu
Taman Wisata Alam Telaga Patengan
Letak dan luas
Berdasarkan Rencana Pengelolaan TWA Telaga Patengan Periode 20082028 (BBKSDA Jabar 2008), pada awalnya Telaga Patengan merupakan bagian
dari Cagar Alam Patengan, kemudian dengan pertimbangan potensi wisata yang
dimiliki maka pada tanggal 21 Agustus 1981 dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 660/Kpts/Um/8/1981 sebagian kawasan yang berupa telaga dan

13
tepi-tepinya seluas 65 Ha diubah statusnya menjadi Taman Wisata Alam Telaga
Patengan. Berdasarkan pengukuran dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat
Tahun 2002 diketahui bahwa luas Kawasan TWA. Telaga Patengan seluas ± 60.79
Ha (perairan seluas ± 49.50 Ha dan sisanya berupa daratan seluas ± 11.29 Ha.
Secara administratif kawasan ini terletak di wilayah Desa Patengan, Kecamatan
Rancabali, Kabupaten Bandung. Secara geografis, kawasan terletak antara 7°10’0”
- 7°15’0” Lintang Selatan dan 107°21’2” Bujur Timur. Adapun batas-batas
kawasan adalah Perkebunan PTPN VIII Rancabali di sebelah Utara, Barat dan
Selatan dan CA. Patengan di sebelah Selatan dan Timur.
Topografi dan iklim
Kawasan TWA Situ Patengan memiliki topografi lapangan dari landai,
bergelombang sedang dan berbukit dengan sudut kemiringan bervariasi antara 5 –
30% dan ketinggian tempat 1600 m dpl. Iklim menurut Schmidt dan Ferguson
termasuk kedalam tipe B dengan curah hujan rata-rata pertahun adalah 3.556 mm.
Temperatur rata-rata pada siang hari sebesar 23°C dan 17°C pada malam hari.
Potensi Flora dan Fauna
Kawasan TWA Telaga Patengan termasuk ke dalam tipe vegetasi hutan
hujan pegunungan. Jenis tumbuhan terdiri dari: Kihiur (Castanopsis javanica),
Puspa, Pasang, Baros (Garcinia balica), Kieamba (Eugenia cuprue), Huru,
Hamirung (Verronia arborea), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Saninten
(Castanopsis argantea) dan Beunying (Ficus fistulosa). Dari golongan liana dan
epiphyt diantaranya: Rotan (Callamus sp.), Amismata (Ficus querifolia),
Kasungka (Gnetum neglatum), Benalu (Diplazium asculeuntum), Anggrek bulan
(Phalaenopsis ambilis), dan lain-lain. Satwa liar yang ada dalam kawasan TWA
Telaga Patengan adalah: Surili, Macan Tutul, Kucing Hutan, Trenggiling, Kancil,
Babi Hutan, Bajing, Ayam Hutan, Burung Tulung Tumpuk, Burung Kipas dan
beberapa jenis ikan yang hidup di Telaga Patengan. Hasil analisa biota perairan
dalam kawasan TWA. Telaga Patengan diperoleh komposisi phytoplankton yaitu
terdiri dari spesies Chlorophyceae (Mougeotia sp., Netrium sp., Gonatozygon sp.,
Ulothrix sp.) satu spesies masing-masing dari Cyanopyceae (Choococcus sp.) dan
Bacillariophyceae (Syneda sp.) dan Dynophyceae (Gymnodinium sp.). Jenis biota
pada perairan TWA Telaga Patengan tidak dijumpai jenis endemik/dilindungi.
Jenis biota yang ada (ikan) telah dimanfaatkan oleh penduduk dengan memancing
(BBKSDA 2008).
Potensi Wisata
TWA Telaga Patengan memiliki potensi wisata alam berupa pegunungan
yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan hiking, interpretasi flora dan fauna, telaga
dengan sebuah pulau kecil di tengahnya (Pulau Sasaka) dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan naik perahu, sepeda air dan memancing, serta panorama alam dan udara
segar yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Sarana yang ada pada saat ini berada
di lahan perkebunan PTPN VIII Rancabali diantaranya gerbang, loket karcis,
pusat informasi, shelter, areal parkir, kios-kios dan yang baru saja dibangun
adalah kantor Manajemen Terpadu yang merupakan kantor pengelola Situ
Patenggang.

14

Sumber: dokumentasi pribadi (2014)

Gambar 6 Atraksi wisata berperahu di telaga Patengan
Kondisi Masyarakat Sekitar
Secara keseluruhan Kawasan Wisata Ciwidey meliputi tiga wilayah
kecamatan, namun wilayah yang meliputi lokasi penelitian adalah wilayah
Kecamatan Rancabali terutama Desa Alam Endah dan Desa Patengan merupakan
wilayah yang berbatasan langsung dan memiliki interaksi yang relatif tinggi
dengan kegiatan wisata di lokasi penelitian. Berdasarkan data profil desa tahun
2013, keadaan penduduk di Desa Alam Endah berjumlah 22.673 jiwa (11.427
laki-laki dan 11.246 perempuan) dengan jumlah 7.068 kepala keluarga.
Sementara itu penduduk Desa Patengan berjumlah 5.230 jiwa (2.666 laki-laki dan
2.564 perempuan) dengan 1.494 kepala keluarga.
Sesuai dengan kondisi penggunaan lahannya yang sebagian besar adalah
lahan pertanian, mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Alam Endah
adalah sebagai petani dan buruh tani sebanyak 5.542 dan 4.164 orang (42,8 % dari
jumlah total penduduk). Sedangkan di Desa Patengan yang sebagian besar
penggunaan lahannya adalah perkebunan (PTPN VIII Rancabali) maka sebagian
besar penduduk bekerja di perkebunan milik pemerintah tersebut, baik sebagai
pegawai tetap maupun buruh tidak tetap yaitu sebanyak 3.055 orang (58,4 % dari
total jumlah penduduk). Berkaitan dengan pengembangan wisata di wilayah
Bandung Selatan, Desa ini Alam Endah dan Patengan merupakan dua dari sepuluh
Desa Wisata yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Bandung untuk
mendukung kegiatan kepariwisataan di wilayah tersebut. Bahkan di Desa Alam
Endah sedang dikembangkan Pasar Penunjang Wisata yang ditujukan untuk
menjadi pusat penjualan oleh-oleh/souvenir bagi wisatawan. Ke depan akan
dibangun juga terminal angkutan wisata sekaligus tempat perhentian bis-bis
wisata sehingga dihararapkan akan mengurangi kemacetan yang sering terjadi saat
peak season dan sekaligus dapat memberikan pemasukan bagi pemerintah daerah
juga meningkatkan pendapatan masyarakat dari kegiatan wisata.

15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Kolaborasi di Kawasan Wisata Ciwidey
Kolaborasi yang terjadi di ketiga lokasi penelitian memiliki keunikan
masing-masing yang dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya status lahan
tempat objek wisata berada dan stakeholders yang terlibat. Kolaborasi melibatkan
hubungan antara stakeholders ketika stakeholders tersebut berinteraksi satu sama