Valuasi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Dalam Heterogenitas Spasial: Studi Kasus Kampung Adat Cikondang Jawa Barat

1

VALUASI KEANEKARAGAMAN HAYATI TUMBUHAN
DALAM HETEROGENITAS SPASIAL: STUDI KASUS
KAMPUNG ADAT CIKONDANG JAWA BARAT

BILLYARDI RAMDHAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

3

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ‘Valuasi
Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dalam Heterogenitas Spasial: Studi Kasus

Kampung Adat Cikondang Jawa Barat’ adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015
Billyardi Ramdhan
NIM G353110011

4

RINGKASAN

BILLYARDI RAMDHAN. Valuasi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dalam
Heterogenitas Spasial: Studi Kasus Kampung Adat Cikondang Jawa Barat. Di
bawah bimbingan TATIK CHIKMAWATI dan EKO BAROTO WALUYO.
Kampung Adat Cikondang terletak di Selatan Kota Bandung merupakan

satu dari delapan kampung adat yang ada di Jawa Barat. Pengetahuan dan interaksi
masyarakat Sunda pada Kampung Adat Cikondang dengan alam sekitar terutama
hutan Gunung Tilu diperlihatkan dengan adanya tata aturan pengelolaan lanskap.
Kearifan masyarakat Cikondang dalam mengelola lingkungan beserta sumber daya
tumbuhannya melahirkan unit-unit lanskap seperti: pertanian, kebun, dan
pekarangan. Beberapa lanskap dijadikan wilayah adat yang mengikat masyarakat
untuk selalu patuh pada wasiat leluhur agar tetap terjaga. Upaya melindungi dan
melestarikan daerah adat tersebut ada kaitan dengan kebutuhaan akan sumber daya
yang ada pada wilayah tersebut. Tulisan ini mengulas tentang keanekaragaman dan
nilai tumbuhan pada setiap lanskap di wilayah adat di Kampung Adat Cikondang
Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat.
Penelitian dilakukan di Kampung Adat Cikondang, yang secara
administratif termasuk dalam Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung. Kampung Adat Cikondang berada di kaki Gunung Tilu dengan
ketinggian tempat sekitar 700 m dpl berada pada koordinat 6 43’ 0” S, 107 13’ 33”
E. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksplorasi yang didasarkan atas
pendekatan emik dan etik. Pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan
tumbuhan dalam kehidupannya diperoleh melalui wawancara kepada responden
sebanyak 30% dari 290 Kepala Keluarga (KK) yaitu 87 KK, tokoh adat, dan
informan kunci melalui wawancara tidak terencana (unstandardized interview), dan

wawancara sambil lalu (casual interview) menggunakan lembar wawancara
Semistructured Interview dan Structured Interview.
Data primer tentang konsepsi dan keanekaragaman lanskap yang dipahami
masyarakat lokal, spesies tumbuhan yang dimanfaatkan pada setiap lanskap, dan
spesies tumbuhan yang bernilai dikumpulkan menggunakan lembar wawancara.
Selain itu juga dilakukan pengambilan sampel tumbuhan. Data lanskap dibuat
deskripsi dan pemetaan wilayahnya. Data tumbuhan selanjutnya dianalisis secara
deskripsi. Valuasi tumbuhan untuk menentukan nilai atau manfaat dari satu spesies
tumbuhan dianalisis dengan ICS yang menggunakan kategorisasi nilai kegunaan
etnobotani dan LUVI. Identifikasi spesies tumbuhan dilakukan berdasarkan buku
Flora of Java dan divalidasi dengan spesimen acuan koleksi di Herbarium
Bogoriense.
Hasil penelitian mengungkap bahwa Masyarakat Kampung Adat
Cikondang mengenal sembilan lanskap yaitu: Hutan Gunung Tilu, Hutan BukaanTutupan, Parabon, Kebon, Lamping, Hutan Adat, Sawah Adat, Perkampungan, dan
Pesawahan. Setiap lanskap merupakan transformasi dari lanskap hutan Gunung
Tilu yang dipengaruhi oleh dinamika masyarakatnya. Hasil inventarisasi yang
dilakukan pada seluruh lanskap mengidetifikasi sebanyak 144 spesies tumbuhan
yang dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Cikondang. Tumbuhan tersebut oleh
masyarakat Adat Cikondang dimanfaatkan untuk banyak keperluan antara lain


5

untuk makanan pokok, makanan tambahan dan bumbu (camilan, lauk pauk, bumbu,
penyedap), material utama (kayu untuk bangunan), material sekunder (untuk bahan
perkakas), obat-obatan, dan ritual. Dari ke sembilan lanskap, tumbuhan bermanfaat
paling banyak ditemukan pada lanskap Kebon (104 spesies), sedangkan yang paling
sedikit ditemukan tumbuhan bermanfaat adalah lanskap Sawah adat dan pesawahan
(23 spesies).
Hasil valuasi terhadap tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat adat,
menempatkan pare (Oryza sativa) sebagai tumbuhan yang memiliki nilai yang
paling tinggi berdasarkan ICS dan LUVI. Beberapa tumbuhan lain, yang termasuk
sembilan besar dari penilaian ICS adalah bawang beureum (Alium cepa), cabe
(Capsicum annuum), tomat (Solanum lycopersicum), cau (Musa paradisiaca),
kalapa (Cocos nucifera), Honje (Etlingera elatior), jagong (Zea mays), kopi (Coffea
sp. ), dan suuk (Arachis hypogaea). Penilaian ICS yang didasarkan atas gender,
menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara laki-laki dengan perempuan. Lakilaki lebih menempatkan tumbuhan yang memiliki komoditas ekonomi (Oryza
sativa, Alium cepa, Capsicum annuum) pada jajaran tumbuhan yang paling penting,
sedangkan perempuan menempatkan tumbuhan pada jajaran ICS tinggi untuk
tumbuhan yang paling sering dimanfaatkan khususnya untuk memasak (Oryza
sativa, Solanum lycopersicum, Etlingera elatior).

Sebaran tumbuhan yang memiliki nilai ICS dan LUVI yang tinggi lebih
dominan ditemukan pada lanskap-lanskap yang sudah dikelola secara intensif oleh
masyarakatnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mampu
mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang ada dan tidak banyak bergantung pada
sumber daya tumbuhan di Hutan Gunung Tilu, sehingga kearifan lokal masyarakat
dalam menjaga kelestarian alam masih dipertahankan dengan baik.
Kata Kunci: Etnobotani, Valuasi, Kampung Adat Cikondang

6

SUMMARY
BILLYARDI RAMDHAN. Valuation of Plant Biodiversity in Spatial
Heterogeneity: A Case Study of Cikondang Indigenous Village in West Java.
Supervised by TATIK CHIKMAWATI and EKO BAROTO WALUYO.
Cikondang Indigenous Village located in the southern part of Bandung City
is one of eight indigenous villages in West Java. Knowledge and interaction of
Sundanese community in Cikondang Indigenous Village toward its surrounding
nature especially forest of Mt. Tilu shown by having the rules of landscape
management. The ability of Cikondang community in maintaining the environment
along with its plant resources creates landscape units such as: farm, garden and

yard. Some of the landscape become indigenous area that bind the community to
obey and keep the will of the ancestors. The efforts in protecting and preserving
that indigenous area related to their needs of resources that are exist in that area.
This Thesis explains about the diversity and plants value in each landscape in
Indigenous area of Cikondang Indigenous Village Bandung West Java.
The research was conducted in Cikondang Indigenous Village, a part of
Lamajang Village, Pangalengan Subdistrict, Bandung Regency. Cikondang
indigenous village lies between 6 43’ 0” S, 107 13’ 33” E, located at the foot of Mt.
Tilu, in the altitude of 700 m above sea level. The research method was conducted
exploratively through emic and ethical approaches. The knowledge of the
community in using plants for herb was gained by having interviews to the
respondent as many as 87 families (30% of total families), respondents and key
informant, through unstandardized interview and casual interview using
Semistructured Interview and Structured Interview.
Primary data including landscape and diversity according local community
conception, plant species used in each landscape, and valuable plant species were
collected using interview form of Index Cultural Significance (ICS) and Local Users
Value Index (LUVI). In addition, plant samples were also collected. Landscape data
was descripted and mapped. Plant data was then descriptively analysed. Plant
valuation was analysed based on ICS using ethnobotany and LUVI categorization.

Identification of plant species was done based on Flora of Java book and verified
using collection reference specimens in Herbarium Bogoriense.
Cikondang Indigenous community recognized nine landscapes, Forest of
Mt. Tilu, Forest of Bukaan-Tutupan, Parabon, Kebon (garden), Lamping, Hutan
Adat (indigenous forest), Sawah Adat (indigenous field), Perkampungan
(settlement), and Pesawahan (rice field). Each landscape is forest transformation
of Mt. Tilu landscape influenced by the dynamics of its community. There were 144
plant species used by Cikondang Indiginous community. They used plants for main
dish, side dish, and cooking spices (snacks, variety of side dish, spices, and flavour),
main material (wood for building), secondary material (for tools), medicines, and
ritual. Of all nine landscapes, useful plants were mostly found in garden (104
species), while the least were found in the field and rice field (23 spesies).

7

The result of valuation towards plants used by Cikondang indigenous
community showed that pare/ rice plant (Oryza sativa) has the highest value based
on ICS and LUVI. The nine plant species with high ICS value are bawang
beureum/shallot (Alium cepa), cabe/chilli (Capsicum annuum), tomat/tomato
(Solanum lycopersicum), cau/banana (Musa paradisiaca), kalapa/coconut (Cocos

nucifera), Honje (Etlingera elatior), jagong/corn (Zea mays), kopi/coffee (Coffea
sp.), and suuk/ground nut (Arachis hypogaea). Based on gender, there is different
perception between men and women. Men considered plants having economic value
(Oryza sativa, Alium cepa, Capsicum annuum) as the most important plant, while
women considered important plants when they used them mostly for cooking (Oryza
sativa, Solanum lycopersicum, Etlingera elatior).
Plants with high ICS and LUVI value were found in intensively managed
landscapes indicated that the Cikondang community was able to optimally utilize
the existing land with no dependence on plant resources in Mt. Tilu forest. It is
suggested that the ability of local community to preserve the nature should be well
maintained .

Keywords: Ethnobotany, Valuation, Cikondang Indigenous Village

8

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugika kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9

VALUASI KEANEKARAGAMAN HAYATI TUMBUHAN
DALAM HETEROGENITAS SPASIAL: STUDI KASUS
KAMPUNG ADAT CIKONDANG JAWA BARAT

BILLYARDI RAMDHAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

10

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, M.Sc.

12

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 sampai Februari 2014 ini adalah
etnobotani, dengan judul Valuasi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan dalam
Heterogenitas Spasial: Studi Kasus Kampung Adat Cikondang Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Tatik Chikmawati, M.Si., dan
Prof. Dr. Eko Baroto Waluyo, M.Sc. selaku pembimbing, serta Penguji Luar
Komisi Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, M.Sc., dan Ketua Program Studi Biologi
Tumbuhan Dr. Ir. Miftahudin, M.S. Di samping itu, penghargaan penulis

sampaikan kepada Bapak Ilin Darsyah sebagai sesepuh adat Cikondang, dan Bapak
Engkan Karsono sebagai Ketua Kelompok Tani Desa Lamajang, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, istri, anakku dan seluruh keluarga, serta rekan kerja, atas doa dan
dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015
Billyardi Ramdhan

13

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

x

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
3

TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman Hayati, Lanskap dan Etnosains
Kampung Adat Cikondang
Penelitian Etnobotani pada Masyarakat Sunda

4
4
7
13

METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Teknik Pengambilan Sampel
Koleksi Data
Analisis Data

15
15
16
16
16

HASIL DAN PEMBAHASAN
Satuan Lanskap dalam Konsepsi Masyarakat Cikondang
Sejarah Transformasi Lanskap dan Filosofi Tumbuhan
Kekayaan dan Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Setiap
Satuan Lanskap
Pemanfaatan Tumbuhan pada Masyarakat Kampung Adat
Cikondang
Kearifan Lokal Masyarakat di Kampung Adat Cikondang

19
19
24
28

SIMPULAN

51

DAFTAR PUSTAKA

53

LAMPIRAN

57

38
49

x

14

DAFTAR TABEL
1

Jumlah Penduduk Kampung Adat Cikondang Berdasarkan Jenis
Kelamin

10

2

Urutan 10 Spesies tumbuhan dengan nilai ICS tertinggi di Kampung
Adat Cikondang

39

3

Perbandingan nilai ICS tertinggi berdasarkan preferensi Jenis
Kelamin di Kampung Adat Cikondang

42

4

Daftar Spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat
Cikondang berdasarkan nilai LUVI di Kampung Adat Cikondang

43

5

Perbandingan Urutan Terpenting Nilai LUVI secara Kumulatif dan
Jenis Kelamin di Kampung Adat Cikondang

44

6

Sebaran Spesies tumbuhan bernilai pada setiap lanskap di Kampung
Adat Cikondang

44

DAFTAR GAMBAR
1

Wilayah perkampungan Masyarakat Adat Cikondang dengan
berbagai penggunaan lanskap menjadi Hutan Awisan ( ), Rumah
Adat ( ), Sawah Adat ( ), Makam (
), Perkampungan (
),
), Sungai (
Jalan (
Peneliti).

), dan Sawah (

8

) (Sumber: Ilustrasi

2

Beberapa pohon yang bernilai sejarah di Kampung Adat Cikondang,
sampel herbarium Lame (Alstonia scholaris) (a), pohon Lame
(Alstonia scholaris) sebagai batas kampung (b), dan Kondang (Ficus
variegata) sebagai asal usul nama kampung (c)

10

3

Peta Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung
dan wilayah Kampung Adat Cikondang ( ) (Sumber: Arsip Kantor
Desa Lamajang)

15

4

Rupa bumi wilayah Kampung Adat Cikondang (a) dan sebaran
pemetaan setiap lanskap di Kampung Adat Cikondang (b)

20

5

Manajemen pengelolaan lahan berdasarkan perspektif masyarakat
Kampung Adat Cikondang yang didasarkan atas tipe lahan (kuning),
satuan lanskap (biru), fungsi lahan (jingga), dan kepemilikian (abuabu)

24

6

Proses terbentuknya satuan lanskap serta transformasi di Kampung
Adat Cikondang

25

7

Topografi satuan lanskap dan karakteristik lahan Kampung Adat
Cikondang.

26

xi

15

8

Filosofi kehidupan masyarakat Kampung Adat Cikondang dalam
mengelola pertanian secara baik ( ) dan tidak baik ( ).

28

9

Sebaran Spesies tumbuhan yang bermanfaat pada setiap lanskap di
Kampung Adat Cikondang.

29

10

Pemanfaatan tumbuhan di lanskap Hutan Gunung Tilu oleh
Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), obatobatan ( ), material utama ( ), ritual ( ), dan material sekunder
( ).

30

11

Pemanfaatan tumbuhan pada lanskap Hutan Bukaan-Tutupan oleh
Masyarakat Adat Cikondang untuk makanan tambahan ( ), obatobatan ( ), material utama ( ), ritual ( ), dan material sekunder
( )

31

12

Jumlah Spesies yang ditemukan di lanskap Gn. Tilu ( ), dan Hutan
Bukaan-Tutupan ( ) serta ditemukan pada kedua lanskap ( )
Kampung Adat Cikondang.

32

13

Pemanfaatan tumbuhan pada lanskap Parabon oleh Masyarakat Adat
Cikondang untuk makanan tambahan ( ), material utama ( ),
material sekunder ( ), obat-obatan ( ), dan ritual ( ).

33

14

Famili dengan jumlah Spesies ditanam petani pada lanskap kebon di
Kampung Adat Cikondang.

34

15

Proporsi/ komposisi tumbuhan yang ada di lanskap lamping
berdasarkan a) habitus, seperti herba ( ), pohon ( ), perdu ( ),
semak ( ) dan b) berdasarkan sistem perakaran, seperti serabut (
), rhizoma ( ), tunggang ( ).

35

16

Sebaran tumbuhan yang biasa digunakan dalam doa ritual pada setiap
lanskap di Kampung Adat Cikondang.

36

17

Perbandingan jumlah spesies tumbuhan pada lanskap sawah adat (
) dan Pesawahan ( ) di Kampung Adat Cikondang

38

18

Tumbuhan di Kampung Adat Cikondang yang memiliki nilai budaya,
Allium cepa (a); Musa acuminata (b); dan Achasma walang (c)

47

DAFTAR LAMPIRAN
1

Jumlah Penduduk Kampung Adat Cikondang berdasarkan jenis
kelamin dan strata umur

58

2

Nilai kegunaan suatu Spesies tumbuhan menurut kategori Etnobotani
(Turner 1988)

59

3

Kategori Spesies yang menggambarkan intensitas penggunaan
(Intensity of Use) jenis tumbuhan berguna (Turner 1988).

61

xii

16

4

Kategori yang menggambarkan eksklusivitas penggunaan (Intensity
of Use) jenis tumbuhan berguna (Turner 1988)

62

5

Daftar Tumbuhan Bermanfaat di Kampung Adat Cikondang

63

6

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap Hutan Gn. Tilu Kampung
Adat Cikondang

66

7

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap Hutan Bukaan-Tutupan
Kampung Adat Cikondang

67

8

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap parabon Kampung Adat
Cikondang

69

9

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap kebon Kampung Adat
Cikondang

70

10

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap lamping Kampung Adat
Cikondang

73

11

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap hutan awisan Kampung
Adat Cikondang

74

12

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap sawah adat Kampung
Adat Cikondang

75

13

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap perkampungan Kampung
Adat Cikondang

76

14

Daftar tumbuhan bermanfaat pada lanskap pesawahan Kampung
Adat Cikondang

78

15

Publikasi Ilmiah

79

xiii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bangsa Indonesia diberi anugerah hamparan pulau-pulau dengan jumlah
lebih dari 17000 pulau di sekitar garis khatulistiwa. Kepulauan ini diapit dua
samudera dan dua benua, serta bentangan alam yang berbukit dan gunung-gunung
yang mencapai ketinggian lebih dari 3000 mdpl (Hadi 2008). Potensi geografi dan
topografi tersebut menyebabkan tingginya keanekaragaman ekosistem yang
mencapai lebih dari 47 jenis ekosistem. Bermacam ekosistem laut dalam dan
terumbu dimiliki negara kita, bahkan negara kita merupakan salah satu di antara
tiga kawasan di dunia yang mempunyai gletser di daerah tropis. Setiap ekosistem
memiliki karakter yang khas karena dipengaruhi oleh jenis tanah, suhu dan faktor
klimatik lain yang termasuk faktor abiotik serta tentunya dipengaruhi juga faktor
biotik. Keberagaman faktor-faktor tersebut melahirkan corak vegetasi penutup yang
berbeda-beda walaupun pada ekosistem yang sama.
Kondisi di atas menjadikan bangsa ini kaya akan sumber daya alam hayati,
sehingga faktor tersebut tidaklah menjadi hambatan dalam kehidupan manusia.
Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung alam yang kondusif menjadikan
berkembangnya ratusan kelompok suku beserta adat istiadatnya. Setiap suku
menempati wilayah yang berbeda, dan setiap suku memiliki tatacara serta kebiasaan
hidup yang berbeda-beda dalam memanfaatkan dan mengelola kekayaan alam yang
ada di lingkungannya (Waluyo 2008).
Perkembangan peradaban suku adat tidak pernah terlepas dari keberadaan
flora dan fauna di sekitarnya yang menjadi penopang kehidupan manusia. Manusia
banyak mengambil manfaat alam untuk bahan bangunan, air, sumber pangan,
sumber obat-obatan, dan sumber bahan kerajinan untuk kehidupan sehari-hari
(Sastrapradja 1979). Aktivitas tersebut dalam perspektif keilmuan disebut
etnobotani. Status etnobotani sebagai ilmu tidak banyak masalah, akan tetapi status
objek penelitiannya sangat rawan karena cepatnya laju erosi sumber daya alam,
terutama flora dan pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dari suku
bangsa tertentu (Sukarman dan Riswan 1992).

2

Pengetahuan masyarakat lokal terhadap lingkungan alam sekitarnya
merupakan produk sampingan dari salah satu upaya dalam mempertahankan
kelangsungan hidup serta mengembangkan keturunannya (Waluyo et al. 1991).
Proses pemenuhan kebutuhan melalui seleksi dan upaya mengenal tumbuhan yang
bermanfaat menjadi pengetahuan yang terus dijaga dan diteruskan secara turun
temurun. Setiap waktu, pengetahuan yang dibentuk leluhurnya akan terus dicek
kebenarannya sehingga akan terus disempurnakan oleh generasi-generasi berikut
sebagai bagian dari budaya. Begitupula besarnya peranan sumber daya alam bagi
masyarakat lokal memaksa mereka untuk membentuk suatu sistem tata kelola
sumber daya alam yang ada. Sistem tata kelola yang dibuat oleh masyarakat adat
menjadi suatu kebiasaan adat, hukum adat, atau wasiat adat. Hal ini yang menjadi
bagian penting dari pengetahuan masyarakat. Karena itu menurut Waluyo (2009)
etnobotani harus mampu mengungkapkan keterkaitan hubungan budaya
masyarakat, terutama tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam memahami
sumber daya nabati di sekitar mereka bermukim, sehingga sistem pengetahuan yang
dimiliki suatu suku bangsa tertentu perlu diungkap melalui system of knowledge
and cognition (Sturtevant 1961).
Kampung Adat Cikondang terletak di Selatan Kota Bandung merupakan
satu dari sembilan kampung adat yang ada di Jawa Barat. Pengetahuan dan interaksi
masyarakat Sunda pada Kampung Adat Cikondang dengan alam sekitar terutama
hutan Gunung Tilu diperlihatkan dengan adanya tata aturan pengelolaan lanskap
ekosistem yang bertingkat yang mencerminkan kearifan terhadap lingkungan, serta
aturan-aturan yang mengikat masyarakat yang didasarkan atas dasar “Pamali”
(hukum

dosa).

Dengan

tatanan

seperti

ini,

masyarakat

tidak

banyak

mengeksploitasi hutan, akan tetapi dituntut untuk terbiasa menanam sendiri di
lingkungan sekitar tempat tinggal, bahkan harus terus menjaga kelestarian hutan
sebagai bagian dari wasiat leluhur “gunung tilu tetep lestari kaian, lahan lamping
awian, lahan rata datar imahan, lahan legok balongan, lahan lebak sengkedan
sawahan, jeung piara jalan cai solokan” (Gunung Tilu tetap lestari dengan pohon
kayu, lahan miring tanam bambu, lahan rata dibuat rumah, lahan cekungan dibuat
kolam, lahan lembah dibuat sengkedan untuk persawahan, dan untuk memelihara
saluran air) (Darsyah 2012 April 12, komunikasi pribadi).

3

Kearifan Masyarakat Adat Cikondang dalam mengelola lingkungan beserta
sumber daya tumbuhannya akan berakibat pada pola pengembangan lahan-lahan
pertanian, kebun, dan pekarangan. Beberapa daerah dijadikan wilayah adat yang
mengikat masyarakat untuk selalu patuh pada wasiat leluhur agar tetap terjaga.
Upaya melindungi dan melestarikan daerah adat tersebut ada kaitan dengan
kebutuhaan akan sumber daya yang ada pada wilayah tersebut. Atas dasar
pertimbangan

tersebut,

penelitian

ini

dimaksudkan

untuk

mengetahui

keanekaragaman dan nilai tumbuhan pada setiap lanskap di wilayah adat di
Kampung Adat Cikondang Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memvaluasi keanekaragaman tumbuhan yang
tersebar pada setiap satuan lanskap dan menentukan tumbuhan yang memiliki nilai
dalam pola-pola spasial sebagai hasil dari kegiatan Masyarakat Kampung Adat
Cikondang, dan proses-proses ekologi terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati berkelanjutan.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman Hayati, Lanskap dan Etnosains
Tumbuhan telah memainkan peranan yang sangat penting dalam sejarah
perkembangan manusia untuk membentuk budaya mereka. Suku-suku bangsa yang
mendiami suatu wilayah telah mengembangkan sendiri dalam beradaptasi terhadap
lingkungan mereka masing-masing, antara lain tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
sekitarnya yang merupakan keperluan pokok mereka akan pangan, sandang, papan
dan keperluan lainnya (Sukarman dan Riswan 1992).
Indonesia diperkirakan dihuni lebih kurang 100-150 famili tumbuhan yang
meliputi 25. 000-30.000 Spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di hutan-hutan.
Dari jumlah ini diperkirakan separuhnya mempunyai potensi yang dapat
dimanfaatkan untuk kayu dan buah-buahan, dan masih banyak lagi yang belum
diketahui manfaatnya. Kazahara dan Mangunkawatja (1986) membuat daftar 7500
Spesies tumbuhan Indonesia yang dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai
obat. Pengetahuan setiap suku bangsa sangat beragam, tergantung pada tipe
ekosistem tempat mereka tinggal, iklim terutama curah hujan, adat, tatacara,
perilaku, pola hidup kelompok atau singkatnya pada tingkat kebudayaan suku
bangsa tersebut (Waluyo et al. 1991).
Pengetahuan masyarakat sebagai konsepsi dan persepsi dalam memahami
sumber daya nabati di tempat mereka bermukim harus mampu dikemas menjadi
konsep yang praktis bagi kelangsungan hidup masyarakat secara luas. Namun
tentunya, sebelum pengetahuan masyarakat (emik) diterapkan secara luas, perlu
adanya pembuktian yang diperoleh dari latar belakang ilmiah (etik). Pendekatan
emik dan etik menjadi pondasi dalam pengembangan penelitian etnobotani. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Waluyo (2009) yang menegaskan bahwa
etnobotani harus mengungkapkan kaidah konseptual, kategori, kode dan aturan
kognitif “tempatan” (emik) untuk kemudian dibuktikan dengan kategori konseptual
yang diperoleh dari latar belakang ilmiah (etik). Melalui pendekatan ini etnobotani
mampu mempersandingkan dan menguak pengetahuan masyarakat sebagai dasar
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga etnobotani dapat
berkembang cukup pesat. Meningkatnya penelitian di bidang etnobotani

5

menyebabkan bidang ini terus berkembang, sehingga muncul bidang turunannya
seperti

etnoekologi,

etnomikologi,

etnomedicine,

etnofarmakologi,

dan

etnotaksonomi (Waluyo 2008).
Secara ekologi, ekosistem tempat manusia hidup sangat berperan dalam
ekonomi, sosial, dan budaya bagi penghuninya. Oleh karena itu, masyarakat yang
bermukim di sekeliling hutan memiliki seperangkat pengetahuan yang secara turun
temurun telah melembaga menjadi sistem sosial budaya (Waluyo 2009). Satuansatuan wilayah menurut konsepsi masyarakat menjadi salah satu produk budaya
melalui pengalaman empirik dan kepercayaan yang turun temurun. Satuan wilayah
ini disebut Lanskap. Pengelolaan dan pengorganisasian satuan-satuan Lanskap
tersebut dilandasi atas keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya adalah
ciptaan Yang Maha Agung sehingga harus dipelihara, dimanfaatkan, dan dikelola
secara baik. Cara pandang ini kemudian menjadi paradigma keilmuan yang disebut
etnoekologi. Dalam konteks ini, keseluruhan satuan Lanskap secara ekologi
dikelompokkan ke dalam satuan ekosistem alami, ekosistem buatan, dan ekosistem
suksesi. Setiap ekosistem ini memiliki kekayaaan hayati yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat.
Etnobotani

dapat

digunakan

sebagai

salah

satu

alat

untuk

mendokumentasikan pengetahuan masyarakat tradisional, masyarakat awam yang
telah menggunakan berbagai macam jasa tumbuhan untuk menunjang
kehidupannya (Suryadarma 2008). Tumbuhan digunakan untuk kepentingan
makanan, pengobatan, bahan bangunan, upacara adat, budaya, bahan pewarna dan
lainnya. Semua kelompok masyarakat sesuai karakter wilayah dan adatnya
memiliki ketergantungan pada berbagai tumbuhan, paling tidak untuk sumber
pangan. Dalam kehidupan modern telah dikenal lebih dari 100 Spesies tumbuhan
untuk sumber makanan, tetapi sebenarnya semua itu adalah hasil pengetahuan dari
masyarakat tradisional berbagai etnik di seluruh belahan bumi.
Harshberger (1896) mendefinisikan Etnobotani sebagai ilmu tentang
pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku-suku yang masih primitif atau
terbelakang. Pei and Xiu (2002) mendefinisikannya lebih sederhana yaitu sebagai
ilmu interdisiplin yang mendokumentasikan pengetahuan lokal dan hubungan di
antara manusia dan tumbuhan. Etnobotani mengungkap keterkaitan manusia,

6

tumbuhan dan lingkungan (Waluyo, 2004). Etnobotani mempelajari bagaimana
mengungkap keterkaitan budaya masyarakat dengan sumberdaya tumbuhan di
lingkungannya secara langsung ataupun tidak langsung. Ilmu ini menekankan pada
hubungan mendalam budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya, dan
mengutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat dalam
mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkup
hidupnya.
Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat lokal kehilangan sumberdaya
alam baik flora dan fauna bahkan intelektualitas lokalnya. Salah satu penyebabnya
adalah laju modernitas yang menghilangkan potensi hayati oleh pembangunan dan
beralihnya pola fikir sehingga menggeser pengetahuan masyatakat lokal. Sukarman
dan Riswan (1992) menegaskan bahwa kerusakan lingkungan terjadi dikarenakan
oleh rusak dan berubahnya habitat dari masyarakat asli dan tumbuhan yang ada,
juga karena kurang bijaksana pengelolaan sumber daya alam yang ada. Oleh karena
itu, perkembangan penelitian dalam bidang etnobotani berpacu dengan waktu
seiring dengan erosi objek penelitiannya. Hilangnya pengetahuan orang kampung
tentang pengelolaan sumber daya alam berarti hilangnya kearifan tradisional dan
berarti pula awal dari kehancuran budaya bangsa (Aliandi 2002). Dengan demikian
etnobotani adalah salah satu cara mendokumentasikan pengetahuan masyarakat
lokal agar budaya bangsa tetap terjaga.
Penelitian Etnobotani dilakukan secara multidisiplin (Martin 1998). Empat
hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian etnobotani yaitu:
1. Mendokumentasikan pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan dalam
kehidupan sehari-harinya.
2. Penilaian kuantitatif tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya nabati
terutama tumbuhan.
3. Penilaian tentang keuntungan yang dapat diperoleh dari tumbuhan untuk
kebutuhan sendiri atau tujuan komersil.
4. Pengeksploitasian untuk memaksimalkan nilai yang dapat diperoleh dari
penduduk di suatu kawasan berdasarkan ilmu ekologi dan botani.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
etnobotani pada dasarya harus mampu mengungkapkan keterkaitan hubungan

7

budaya masyarakat, terutama tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam
memahami sumberdaya nabati di sekitar tempat mereka bermukim (Rifai and
Waluyo 1992).

Kampung Adat Cikondang
Menurut Kamus Bahasa Indonesia pengertian kampung adalah desa, dusun
atau kelompok rumah-rumah yang merupakan bagian kota dan biasanya rumahrumahnya kurang bagus. Kampung Adat merupakan suatu komunitas tradisional
dengan fokus fungsi dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan
wilayah di mana para anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan
sosial dan tradisi yang ditata oleh suatu sistem budaya (Surpha 1994).
Sistem budaya mengacu pada perasaan bersama pada kelompok etnis.
Kelompok etnik dipahami sebagai populasi orang atau penduduk yang memiliki ciri
ciri yang unik, yang diakui oleh etnik lainnya. Barth (1988) menjelaskan etnik
tercermin pada ciri-ciri berikut: (1) mampu berkembangbiak dan bertahan secara
biologis, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaan, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi, (4) memiliki ciri
kelompok tersendiri yang diterima oleh kelompok lain, sehingga dapat dibedakan
dengan kelompok lainnya. Keseluruhan masalah etnik mengacu pada aspek
biologis, kepercayaan, pengetahuan budaya, bahasa, adat istiadat yang diwarisi dan
keagamaan.
Kampung Adat Cikondang berada di Desa Lamajang, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung. Batas daerah Desa Lamajang dari utara
perbatasan dengan Desa Cipinang Kecamatan Cimaung, dari selatan Hutan
Lindung Gunung Tilu dan Desa Pulau Sari Kecamatan Pangalengan, dari timur Sub
Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisangkuy Desa Cikalong dan Desa Tribakti, sebelah
Barat Desa Suka Maju Kecamatan Cimaung, dan Barat Laut Hutan Gunung Tilu
berbatas Perkebunan Teh Pasir Jambu Gambung (Gambar 1).
Secara administratif, kampung ini terdiri dari dua RW, yaitu RW 03 dan 04.
Dua hal yang paling unik dari kampung ini, adalah keberadaan hutan keramat yang
di dalamnya berisi Spesies-spesies tumbuhan yang ada di hutan Gunung Tilu
sebagai miniatur hutan Gunung Tilu, dan upacara adat “tirakat solokan” yaitu

8

upacara syukuran di saluran air pesawahan yang menjadi tumpuan sumber air bagi
pertanian.

Gambar 1.

Wilayah perkampungan Masyarakat Adat Cikondang dengan
berbagai penggunaan lanskap menjadi Hutan Awisan ( ),
Rumah Adat ( ), Sawah Adat ( ), Makam (
),
), Jalan (
), Sungai (
), dan Sawah
Perkampungan (
( ) (Sumber: Ilustrasi Peneliti).

9

Wilayah Kampung Adat Cikondang secara Monografi terbagi menjadi
beberapa wilayah keramat, antara lain :
1. Keramat Embah Dalem Lamajang, dengan luas lahan 0. 25 Ha. yang
merupakan miniatur Hutan Gunung Tilu.
2. Keramat Talun, dengan luas lahan 0,15 Ha.
3. Keramat Bojong, dengan luas lahan 0,10 Ha.
4. Keramat Jamandingan, dengan luas lahan 0,25 Ha.
5. Keramat Eyang Balung Tunggal, dengan luas lahan 0,25 Ha. digunakan
sebagai lokasi kolam tando Cikalong PLTA sektor Saguling.
6. Keramat Ciguriang, dengan luas lahan 0,10 Ha.
7. Keramat Cikondang seluas dua Ha.
8. Lahan Sawah dan Palawija seluas satu Ha.

Sejarah
Menurut sejarahnya, Masyarakat Adat Cikondang termasuk masyarakat
peladang padi ‘huma’ yang selalu berpindah-pindah. Letak perkampungan berawal
dari daerah batu nanjeb (sebelah utara kampung sekarang, antara Desa CipinangCikalong), kemudian berpindah ke wilayah kedua adalah daerah embah dalem
(miniatur Gunung Tilu) yang ditandai dengan adanya Batu Nanceb dan Pohon Lame
(Alstonia scholaris), dan akhirnya pindah ke tempat yang sekarang dihuni. Di
Kampung Adat Cikondang terdapat seke (mata air) yang ditumbuhi pohon besar
yang bernama Pohon Kondang (Ficus variegata) (Gambar 2). Oleh karena itu
selanjutnya tempat ini dinamakan Cikondang atau kampung Cikondang. Nama itu
perpaduan antara sumber air dan Pohon Kondang. "Ci" berasal dari kependekan
kata "cai" artinya air (sumber air), dan "kondang" adalah nama pohon Ficus
variegata (Darsyah 2012 April 12, komunikasi pribadi).
Untuk menyatakan kapan dan siapa yang mendirikan Kampung Adat
Cikondang sangat sulit untuk dipastikan. Namun, masyarakat meyakini bahwa
karuhun (leluhur) mereka adalah salah seorang wali yang menyebarkan agama
Islam di daerah tersebut. Mereka memanggilnya dengan sebutan Uyut Pameget dan
Uyut Istri yang diyakini membawa berkah dan dapat ngauban (melindungi) anak
dan cucunya.

10

Gambar 2.

c
a
b
Beberapa pohon yang bernilai sejarah di Kampung Adat
Cikondang, sampel herbarium Lame (Alstonia scholaris) (a), pohon
Lame (Alstonia scholaris) sebagai batas kampung (b), dan Kondang
(Ficus variegata) sebagai asal usul nama kampung (c)

Profil Sosial Budaya Masyarakat
Keadaan Penduduk Kampung Adat Cikondang yang terdiri dari RW 03 dan
04 berjumlah 991 jiwa dengan jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki
(Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kampung Adat Cikondang Berdasarkan Jenis
Kelamin
Jenis Kelamin
Total
Jumlah
RW
KK
Laki-laki Perempuan Penduduk
3

176

4
311
Total
487
Sumber: Data Sensus 2012

179

355

105

325

636

504

991

185
290

Masyarakat Kampung Adat Cikondang menganut agama Islam. Sumber
kehidupan Masyarakat Kampung Adat Cikondang adalah pertanian. Komoditas
pertanian unggulannya adalah Bawang Beureum (Allium cepa) dan Jagong (Zea
mays). Selain pertanian masyarakat Kampung Adat Cikondang juga berpenghasilan
dari berdagang. Tingkat pendidikan masyarakat cukup tinggi, dibuktikan dari

11

banyaknya anggota masyarakat yang berpendidikan sampai perguruan tinggi.
Keadaan sosial ekonomi Kampung Adat Cikondang relatif makmur karena tingkat
pendapatan yang relatif cukup, hal tersebut dapat dilihat dari fisik bangunan rumah
masyarakat yang sebagian besar sudah bangunan permanen dan layak, sehingga
keadaan sosial Kampung Adat Cikondang relatif sejahtera. Suku bangsa yang
menghuni Kampung Adat Cikondang bersifat heterogen, namun mayoritas
warganya adalah orang sunda.
Pola permukiman masyarakat di Kampung Adat Cikondang adalah
mengelompok dengan jarak antar rumah rapat, hanya dipisahkan oleh gang atau
jalan setapak. Rumah-rumah penduduk sebagian permanen dan sisanya semi
permanen. Letak dan orientasi bangunan pada umumnya menghadap ke jalan desa
atau gang. Di tengah perkampungan terdapat dua buah mesjid yang merupakan
bangunan modern. Sarana jalan berupa jalan desa, melintasi kampung di bagian
utara. Adapun jalan-jalan setapak atau gang banyak dijumpai di sudut-sudut
kampung (BKDJB 2009) (Gambar 1).
Bumi Adat dan Beberapa Situs Budaya
Darsyah (2012 April 12, komunikasi pribadi) menjelaskan bahwa Bumi
Adat diperkirakan telah berusia 200 tahun. Jadi, Uyut Pameget dan Uyut Istri
diperkirakan mendirikan pemukiman di kampung Cikondang kurang lebih pada
awal abad ke-XIX atau sekitar tahun 1800. Pada awalnya bangunan rumah asli di
Kampung Adat Cikondang memiliki pola arsitektur tradisional seperti yang
digunakan pada bangunan Bumi Adat (Gambar 1). Menurut informasi dari
masyarakat setempat, pada tahun 1940-an, rumah di kampung ini berjumlah kurang
lebih 60 rumah. Namun demikian pada tahun 1942 disebutkan pernah terjadi
kebakaran besar yang menghanguskan semua rumah kecuali Bumi Adat. Namun,
penyebab kebakaran itu tidak diketahui secara pasti. Kampung Adat Cikondang
diduga dulunya dijadikan persembunyian atau markas para pejuang yang berusaha
membebaskan diri dari cengkeraman Belanda, dan lokasi itu kemungkinan
diketahui oleh Belanda dan dibumihanguskan.
Secara rinci Darsyah (2012 April 12, komunikasi pribadi) mendeskripsikan
bahwa orientasi bumi adat mengarah ke utara, kemudian hutan keramat terletak di
belakang bumi adat berupa lereng bukit. Hutan keramat ini sangat dijaga

12

keasliannya sehingga pohon-pohon tidak boleh ditebang secara sembarangan.
Hutan keramat dibagi dalam lima area (halaman), dan dikelilingi pagar bambu serta
sebuah pintu masuk yang terletak di tengah halaman (kandang jaga). Di bagian
halaman yang teratas, terletak pemakaman keramat dan pemakaman umum. Posisi
makam keramat membujur dari arah utara-selatan dengan orientasi ke arah utara
(Gambar 1).
Keramat Embah Dalem Lamajang merupakan situs budaya kedua yang
masih dikeramatkan oleh masyarakat. Daratan berbukit seluas 0,25 Ha merupakan
miniatur Hutan Gunung tilu, karena sebagian besar Spesies yang ada di Hutan
Gunung Tilu terdapat pula di Keramat Embah Dalem Lamajang. Pada awalnya,
daerah ini adalah perkampungan pertama sebelum Masyarakat Adat Cikondang
menempati lokasi sekarang. Wilayah ini ditandai dengan adanya batu nanceb dan
pohon Lame (Alstonia scholaris).
Sawah dan Kebon Adat adalah lahan yang ditanami padi dan berbagai
palawija. Lahan seluas 1 Ha ini ditanami beberapa varietas padi, ketan putih, ketan
hitam, dan ketan merah yang ditanam secara berulang, sehingga menjadi kultivar
lokal yang tidak dapat digantikan oleh kultivar dari luar. Begitu pula dengan
palawija. Hasil dari lahan ini menjadi hak dari ketua adat dan dimaksudkan untuk
mendukung logistik upacara adat.
Potensi Wisata Alam dan Kesenian
Beberapa obyek wisata yang terdapat di wilayah Kampung Adat
Cikondang, ialah: 1) Penyulingan Air dari Turbin PLTA Cikalong oleh Perusahaan
Air Minum (PDAM) untuk Kotamadya Bandung. 2) Turbin Generator PLTA
Cikalong. 3) Situs Batu Eon di tengah kolam Tando PLTA Cikalong. 4) Air terjun
Curug Cimalawindu, Cisadawindu, dan Curug Ciruntah. 5) Lokasi Panjat Tebing
di Cadas Gantung Batu Korsi, serta obyek wisata kesenian yang terdiri dari
kesenian tradisional dan modern. Adapun jenis-jenis kesenian yang dijumpai di
kampung ini adalah Seni Gamelan, Seni Tarawangsa, Seni Beluk Pupuh Wawasan
Berkah, dan Seni Pencak Silat. Beberapa upacara adat yang menjadi daya tarik
wisata adalah:
1. Seren Taun Mapag Taun (Musiman/Wuku Taun).
2. Ngaruat Lembur (Hajat Lembur).

13

3. Ngaruat Kandang Hayam.
4. Rasulan.
5. Ngabungbang.
6. Tirakatan.
7. Tujuh Bulanan.
8. Ngalahirkeun.
9. Marhabaan.
10. Upacara Kematian.
11. Upacara bertani dan panen
Penelitian Etnobotani pada Masyarakat Sunda
Penelitian etnobotani pada masyarakat Sunda terhitung masih sedikit.
Dokumentasi pengetahuan lokal masyarakat Sunda yang tersebar pada sembilan
kampung adat (BKDJB 2009) belum seluruhnya dieksplorasi. Penelitian
Etnobotani pada Masyarakat Adat Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat melaporkan bahwa
Masyarakat kampung Naga memanfaatkan 118 Spesies tanaman yang termasuk ke
dalam 50 famili. Dari keseluruhan tumbuhan yang dimanfaatkan tersebut, 35
Spesies diantaranya dimanfaatkan sebagai tanaman obat, 61 Spesies sebagai
tanaman pangan, 40 Spesies sebagai bahan bangunan dan kayu bakar, 3 Spesies
tanaman hias, dan 16 Spesies untuk upacara adat (Yulianingsih 2002). Penelitian
serupa di Masyarakat Adat Kampung Dukuh, Garut, Jawa Barat mencatat sebanyak
137 Spesies tumbuhan dari 52 Genera dimanfaatkan oleh penduduk Kampung
Dukuh untuk mengobati penyakit biasa, penyakit karena magis dan penyakit karena
makanan (Santhyami dan Sulistyawati 2008).
Beberapa penelitian etnobotani di masyarakat Sunda mengkaji pula tentang
pengetahuan masyarakat di luar kampung adat, seperti kajian Struktur Komunitas
dan Profil Vegetasi dalam Sistem Pekarangan Di Desa Jabon Mekar, Kecamatan
Parung, Bogor (Prasetyo 2006). Penelitian komparatif yang bermaksud
membandingkan dua kelompok masyarakat Jawa dan Sunda di Brebes-Jawa
Tengah memperlihatkan bahwa masyarakat Sunda relatif kurang maksimal
memanfaatkan lahan pekarangan (Yuniati 2004). Pada masyarakat pasundan
cenderung lebih mengutamakan tanaman hias dibanding dengan masyarakat Jawa

14

yang bertanam Spesies-spesies yang bernilai ekonomi atau produktif. Hal tersebut
diperkuat oleh hasil penelitian Prasetyo (2006) yang memperlihatkan bahwa
struktur vegetasi pekarangan masyarakat Sunda di Desa Jabon didominasi oleh
tanaman hias.
Banyak penelitian etnobotani di berbagai daerah dengan kelompok
masyarakat tertentu selalu mengindikasi bahwa modernisasi menyebabkan semakin
melemahnya pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola lingkungannya. Oleh
karena itu sesegera mungkin perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan bahwa
pengetahuan masyarakat lokal yang dilakukan secara empiris dari waktu kewaktu
terbukti secara ilmu pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan.
Walaupun penelitian di Kampung Adat Cikondang telah dilakukan oleh
para ahli, terutama para pakar ilmu-ilmu sosial, namun penelitian etnobotani belum
pernah dilakukan. Penelitian tentang Rumah Adat Cikondang mengungkapkan
bentuk rumah adat berupa vernakuler telah beradaptasi dengan terhadap bahaya
gempa (Triyadi et al. 2008). Masyarakat Adat Cikondang memiliki ikatan budaya
yang cukup kuat untuk mempersatukan masyarakatnya ditengah globalisasi dan
arus budaya luar (Andriana 2011). Kearifan lokal Masyarakat Adat Cikondang
memiliki peranan penting dalam menjaga lingkungan hidup agar tetap dalam
kondisi yang baik didasarkan atas nilai leluhur yang senantiasa menjaga
keseimbangan antara manusia dengan sesama dan manusia dengan lingkungan (Sari
2012). Kalaupun ada penelitian etnobotani mengungkap bahwa masyarakat
disekitar CA Gunung Tilu memanfaatkan tumbuhan obat-obatan yang diracik
sendiri untuk kepentingan kesehatan sehari-hari (Oktaviana 2008), akan tetapi
dalam penelitian tersebut tidak memasukkan Kampung Adat Cikondang sebagai
obyek penelitiannya.

15

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara eksploratif dengan menggunakan pendekatan
emik dan etik. Pendekatan emik dilakukan untuk menggali dan mendapatkan data
tentang pengetahuan masyarakat atas obyek yang sedang diamati dari sudut
pandang dan bahasa mereka (Waluyo 2004). Selanjutnya melalui system of
knowledge and cognition, pengetahuan masyarakat yang berupa kaidah konseptual,
kategori, kode, dan aturan kognitif (emik) dibahas dan dianalisis berdasarkan
kategori konseptual yang diperoleh dengan latar belakang ilmiah (etik).
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan pada bulan November Tahun 2012 sampai dengan
bulan Mei Tahun 2013 di Kampung Adat Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan
Pangalengan, Kabupaten Bandung (Gambar 3). Identifikasi tumbuhan dan analisis
data dilakukan di Herbarium Bogoriense Bogor Puslit Biologi LIPI.

Gambar 3. Peta Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung
dan wilayah Kampung Adat Cikondang ( ) (Sumber: Arsip Kantor
Desa Lamajang)

16

Teknik Pengambilan Sampel
Masyarakat Kampung Adat Cikondang yang menjadi objek penelitian ini
berjumlah 290 KK dengan total penduduk 991 jiwa (Lampiran 1). Jumlah sampel
untuk responden adalah 30 % (Waluyo 2004) dari total 290 Kepala Keluarga (KK),
yaitu 87 KK (Tabel 1). Kriteria penetapan responden dilaksanakan dengan cara
sampling kuota untuk menentukan target responden pada setiap Rukun Warga
(RW) dan sampling insidental untuk menentukan responden yang akan
diwawancara di wilayah RW tersebut. Selanjutnya responden yang didapat,
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, dan pekerjaan, sedangkan informan
kunci adalah tokoh adat serta masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan yang
lebih yang ditentukan oleh ketua adat. Sampling keanekaragaman sumber daya
tumbuhan di lahan adat didasarkan atas informasi yang berasal dari masyarakat,
informan kunci, dan eksplorasi.
Koleksi Data
Pengumpulan data primer mengenai pengetahuan masyarakat lokal
dilaksanakan melalui teknik wawancara berencana (standardized interview) untuk
dijadikan sebagai dasar dalam analisis Indeks Signifikasi Kultural (ICS) dan Nilai
Indeks Kepentingan Lokal (LUVI) agar didapatkan nilai kegunaan untuk setiap
Spesiesnya. Wawancara tidak berencana (unstandardized interview) dilaksanakan
untuk memperoleh data tentang pengolahan dan pemanfaatan lain. Data sekunder
tentang

pengolahan

dan

pemanfaatan

tumbuhan

dikumpulkan

dengan

menggunakan wawancara sambil lalu (casual interview) dengan menggunakan
lembar wawancara Semistructured Interview dan Structured Interview (Waluyo
2004).
Analisis Data
Identifikasi Spesies tumbuhan dilakukan berdasarkan spesimen acuan di
Herbarium Bogoriense dan kemudian memanfaatkan buku Flora of Java (Backer
and Van den Brink 1963, 1965, 1968) untuk memperkaya diskripsi tumbuhannya,
sedangkan validasi nama ilmiah dicek melalui IPNI. Data sosial budaya diuraikan
secara deskriptif. Valuasi tumbuhan dilakukan untuk dapat menentukan nilai atau
manfaat dari satu Spesies tumbuhan sehingga dapat dijadikan referensi dan sumber

17

informasi penting tentang potensi dan arah pengembangan pertanian dan
agroforestry. Analisis penilaian tumbuhan dilakukan dengan ICS dan LUVI. Data
pemanfaatan tumbuhan dibuat kategori nilai kegunaan etnobotani menurut Turner
(1988) untuk selanjutnya dihitung Indeks Signifikasi Kultural (ICS) melalui
formula di bawah ini.

Keterangan:

�� = ∑



�=1

� × � × � ��

ICS

: indeks signifikasi cultural

i

: nilai intensitas (intensity value), menunjukkan nilai 1 hingga ke n
secara berurutan.

q

: Nilai kualitas (quality value)

e

: Nilai eksklusivitas (exclusivity value)

Catatan : nilai intensitas (i), nilai kualitas (q), dan nilai eksklusivitas (e)
menggunakan kategori nilai guna menurut Turner (1988)
(Lampiran 2-4).
Dalam mengaplikasikan rumus di atas, tiga tahapan dilakukan sebagai
berikut:
a.

Dilakukan wawancara tentang tumbuhan apa saja yang dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk menentukan daftar Spesies yang dimanfaatkan.

b.

Setiap Spesies yang dimanfaatkan dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai
manfaat (q), intensitas pemanfaatan (i), dan ada tidakya alternatif pengganti
(e).

c.

Setelah diketahui nilai intensitas (i), nilai kualitas (q), dan nilai eksklusivitas
(e) maka diaplikasikan ke dalam rumus ICS untuk setiap Spesiesnya.

Perhitungan Nilai Indeks Kepentingan Lokal (LUVI) menggunakan rumus
dari Sheil et. al (2004) yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan karakter
responden. Kepentingan suatu jenis atau indeks nilai bagi kepentingan lokal
merupakan jumlah keseluruhan dari nilai Gij suatu jenis, dengan rumus sebagai
berikut:

18

Keterangan
LUVI
i

: nilai indeks kepentingan lokal
: Spesies

j

: kegunaan

Gij

: nilai individu

RWj

: bobot yang diberikan untuk kelas kegunaan di mana kegunaan tertentu
(j) berada

Rwij

: bobot relatif dalam kategori j dalam pemanfaatan Spesies (i) yang
memenuhi syarat anggota j.
Dalam mengapalikasikan rumus tersebut dilakukan tiga langkah sebagai

berikut:
a.

Menentukan bobot kelas kegunaan dengan cara perhitungan distribusi PDM
yang dimodifikasi untuk berbagai kelas kategori. Misalnya untuk kelas
makanan pokok bernilai 8 dari skor total 100, maka skor makanan pokok
berarti 8/100.

b.

Menentukan untuk Spesies tumbuhan dengan cara perhitungan distribusi PDM
yang dimodifikasi untuk 10 Spesies tumbuhan. Misalnya Oryza sativa dinilai
oleh masyarkat sebesar 21 dari total skor 100, maka skor Spesies tumbuhannya
adalah 21/100.

c.

Setelah diketahui bobot kelas kegunaan dan bobot relatif Spesies dalam
kegunaan maka ditentukan nilai LUVI dengan cara 8/100 x 21/100 = 0,0168.

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Satuan Lanskap dalam Konsepsi Masyarakat Adat Cikondang
Kampung Adat Cikondang berada pada koordinat 6 43’ 0” S, 107 13’ 33”
E. Masyarakat kampung tersebut mengenali lanskap sebagai wilayah atau ruang
terbuka yang memiliki fungsi tertentu untuk menyokong kehidupan sehari-hari,
selain itu juga memiliki sejarah yang berkaitan erat dengan keberadaan Masyarakat
Adat Cikondang. Dalam mengenali tempat, masyarakat mampu membedakan
satuan lanskap dari fungsi, ciri vegetasi dan kepemilikannya. Setiap satuan lanskap
memiliki makna yang besar bagi kehidupan Masyarakat Adat Cikondang, baik
untuk menopang kehidupan mereka ataupun sebagai bentuk pengabdian dan
identitas jati dirinya. Masyarakat Adat Cikodang mengenal empat lanskap, yaitu:
Hutan Gunung Tilu, Lamping, Perkampungan, dan Pesawahan. Selain lanskap
tersebut, masyarakat mengenal wilayah yang menjadi identitas dan warisan adat,
yaitu: hutan awisan, dan sawah adat. Seiring dinamika masyarakat dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, maka lahir pula beberapa satuan lanskap
seperti hutan bukaan tutupan, parabon, dan kebon (Gambar 4). Lebih lengkapnya
tentang sifat, fungsi, ciri vegetasi, dan tumbuhan indikator pada setiap lanskap
diuraikan sebagai berikut:
1.

Hutan Gunung Tilu
Hutan Gunung Tilu berupa hutan alami seluas 8.000 Ha yang pengelolaannya