Keberlangsungan Kelembagaan di Subak yang Mengalami Alih Fungsi Lahan (Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar).

(1)

KEBERLANGSUNGAN KELEMBAGAAN DI SUBAK

YANG MENGALAMI ALIHFUNGSI LAHAN

(Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud,

Kabupaten Gianyar)

SKRIPSI

Oleh:

I GUSTI NGURAH GEDE HARYASTIKA

KONSENTRASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

i

KEBERLANGSUNGAN KELEMBAGAAN DI SUBAK

YANG MENGALAMI ALIHFUNGSI LAHAN

(Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Universitas Udayana

Oleh :

I Gusti Ngurah Gede Haryastika NIM. 1205315046

KONSENTRASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak ada terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Saya bersedia dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam aturan yang berlaku apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya Saya sendiri, atau mengandung tindakan plagiarism.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Denpasar, Juni 2016 Yang menyatakan,

I Gusti Ngurah Gede Haryastika NIM. 1205315046


(4)

iii ABSTRACT

I Gusti Ngurah Gede Haryastika. NIM 1205315046. Continuity of Subak Institution which Experienced Transfer Function Land (Subak Padang Tegal Case, Ubud District, Gianyar Regency). Supervised by: Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, M.Si. and Ir. I Wayan Sudarta, MS.

The total of transfer function agricultural land in Bali is very high. It can make peoples who work in agricultural industrial must be vigilant, especially for them which located at tourist destination. The purposes of this study are to describe a continuity of institution in Subak Padang Tegal, and to describe

farmer’s life as Subak members in Padang Tegal, Ubud District, Gianyar Regency. The scope of this study is a continuity of institution in Subak which experienced transfer function agricultural land. Besides that, this study can see

farmer’s life members of Subak Padang Tegal with every activity in Subak itself.

The method of this study is qualitative analyze.

Based on the result of study, we know that a continuity institution of Subak Padang Tegal is still works good. The score achievement of institution before transfer function agricultural land is 83,8%, and only 1,1% decrease in Subak

institution now. Farmer’s life as Subak Padang Tegal members if we look into

their social life is still good category with score 76,3%,but if we look into economic life, they are medium category with score 54,8%.

Although still in the good category, institutional expected in Subak Padang Tegal guarded from its own internal and external Subak Subak. Farmers are expected to do as a member of Subak Padang Tegal, is expected to better organize economic life.


(5)

iv ABSTRAK

I Gusti Ngurah Gede Haryastika. NIM 1205315046. Keberlangsungan Kelembagaan di Subak Yang Mengalami Alihfungsi Lahan (Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar). Dibimbing oleh: Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, M.Si. dan Ir. I Wayan Sudarta, MS.

Tingginya alihfungsi lahan di Bali, membuat pelaku-pelaku sektor pertanian harus mulai waspada, khususnya pelaku-pelaku pertanian yang ada di daerah tujuan wisata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberlangsungan kelembagaan di Subak Padang Tegal, dan untuk mengetahui kehidupan petani selaku angota Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.Ruang lingkup penelitian ini mencangkup keberlangsungan kelembagaan di subak yang mengalami alihfungsi lahan. Selain itu, penelitian ini akan melihat kehidupan dari petani anggota Subak Padang Tegal yang masih menjalankan kegiatan di subak. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keberlangsungan kelembagaan di Subak Padang Tegal masih dapat berjalan dengan baik. Pencapaian skor kelembagaan pada saat belum marak alihfungsi lahan 83,8% dan hanya terjadi penurunan 1,1% pada kelembagaan di subak pada saat ini. Kehidupan petani selaku anggota Subak Padang Tegal dari segi kehidupan sosial berada dalam kategori baik dengan pencapaian skor 76,3%, namun dari segi kehidupan ekonomi berada pada kategori sedang dengan pencapaian skor 54,8%.

Meskipun masih berada pada kategori baik, diharapkan kelembagaan di Subak Padang Tegal dijaga mulai dari internal subak sendiri maupun eksternal subak. Petani selaku anggota Subak Padang Tegal, diharapkan lebih menata hidup khususnya kehidupan ekonomi.


(6)

v

RINGKASAN

Indonesia masih merupakan negara pertanian, karena pertanain masih memegang peran penting dalam pergerakan perekonomian di Indonesia. Meningkatnya jumlah penduduk dan kemajuan pembangunan yang pesat diberbagai sektor, menimbulkan masalah bagi ketahanan pangan. Beralihfungsinya lahan pertanian menjadi lahan non pertanian menjadi fenomena yang sering terjadi. Implikasi alihfungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).

Ubud merupakan daerah tujuan wisata yang terkenal hingga mancanegara. Adanya potensi wisata yang tinggi di Ubud, membuat subak-subak yang berada di Ubud mengalami ancaman alihfungsi lahan. Ditunjukan oleh data Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Kecamatan Ubud (2014), terjadi 37 ha alihfungsi lahan dalam kurun waktu 2006 s.d. 2014 di subak yang berada di kawasan Ubud. Salah satu subak yang mengalami alihfungsi lahan di Ubud adalah Subak Padang Tegal yang mengalami alihfungsi lahan sebanyak enam hektar selama kurun waktu 2006 s.d. 2014. Kelembagaan di subak yang telah terpola dan turun temurun dilaksanakan dapat mengalami pergeseran dari kondisi yang terjadi saat ini.

Penelitian keberlangsungan kelembagaan di subak yang mengalami alihfungsi lahan dilakukan di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, sejak Januari s.d. April 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberlangsungan kelembagaan di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, dan untuk mengetahui kehidupan petani selaku angota Subak Padang Tegal yang masih bertahan dari fenomena yang terjadi.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani aktif di Subak Padang Tegal yang berjumlah 43 orang. Penentuan responden penelitian menggunakan teknik sensus, sehingga seluruh petani atau anggota aktif Subak Padang Tegal yang berjumlah 43 orang dijadikan sebagai responden penelitian. Penelitian ini juga menggunakan informan kunci yaitu Pekaseh Subak Padang Tegal. Pada praktik penelitian menggunakan data kualitatif dan kuantitatif yang sudah


(7)

vi

dihimpun melalui data primer dan data skunder. Hasil penghimpunan data kemudian diolah dengan metode analisis deskriptif dengan pengukuran menggunakan metode skor, yaitu pengukuran dengan memberikan skor 1 s.d. 5.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keberlangsungan kelembagaan di Subak Padang Tegal masih dapat berjalan dengan baik. Persentase pencapaian skor kelembagaan pada saat belum marak alihfungsi lahan 83,8% dan terjadi penurunan 1,1% kelembagaan di subak pada saat ini. Kehidupan petani selaku anggota Subak Padang Tegal dari segi kehidupan sosial berada dalam kategori baik dengan pencapaian skor 76,3%, namun dari segi kehidupan ekonomi berada pada kategori sedang dengan pencapaian skor 54,8%.

Meskipun masih berada pada kategori baik, namun melihat adanya penurunan kategori pada gotong-royong membuat perlu adanya kemauan dari segala pihak untuk menjaga agar kedepannya kelembagasan di Subak Padang Tegal tetap berada pada kondisi baik. Petani selaku anggota Subak Padang Tegal perlu lebih menata hidup khususnya kehidupan ekonomi.


(8)

vii

KEBERLANGSUNGAN KELEMBAGAAN DI SUBAK YANG MENGALAMI ALIHFUNGSI LAHAN

(Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar)

I Gusti Ngurah Gede Haryastika NIM. 1205315046

Menyetujui

Mengesahkan Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS NIP.19630515 198803 1 001

Tanggal Lulus: 09 Juni 2016

Pembimbing II

Ir. Wayan Sudarta, MS NIP. 19530924198103 1 001 Pembimbing I

Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, MSi NIP. 19601114198603 1 002


(9)

viii

KEBERLANGSUNGAN KELEMBAGAAN DI SUBAK YANG MENGALAMI ALIHFUNGSI LAHAN

(Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar)

Dipersiapkan dan diajukan oleh I Gusti Ngurah Gede Haryastika

NIM. 1205315046

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Pada tanggal: 09 Juni 2016

Berdasarkan SK Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana No : 109/UN14.1.23/DL/2016

Tanggal : 08 Juni 2016 Tim Penguji Skripsi adalah:

Ketua : Dr. Ir. Ni Wayan Sri Astiti, M.P Anggota :

1. Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, SU 2. Ida Ayu Listia Dewi, S.P., M.Agb 3. Ir. Wayan Sudarta, MS


(10)

ix

RIWAYAT HIDUP

I Gusti Ngurah Gede Haryastika lahir di Denpasar pada tanggal 03 Juni 1994, merupakan anak kedua dari tiga bersudara dari pasangan I Gusti Ngurah Yastika dan Gusti Ayu Oka Hayati.

Laki-laki yang biasa dipanggil Haryas, menjalani pendidikan formal mulai dari TK di TK Widya Karya Pelitan selama satu tahun, SD di SD N 2 Peliatan, SMP ditempuh di SMP N 1 Ubud, selanjutnya SMA di SMA N 1 Ubud, dan pendidikan tinggi dilanjutkan ke jenjang perkuliahan dengan masuk di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.

Selama menjadi mahasiswa, aktif mengikuti kegiatan keorganisasian di lingkungan kampus. Mengikuti kegiatan kepanitiaan dalam berbagai acara yang diselenggarakan Organisasi Kemahasiswaan Fakultas Pertanian (OKFP) dan menjadi fungsionaris HIMAGRI FP UNUD selama tiga periode kepengurusan (dari tahun 2013 s.d. 2016).


(11)

x

KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas asung kerta wara nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan kewajiban akademis penyusunan skripsi, sebagai tugas akhir semester mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Skripsi ini berjudul “Keberlangsungan Kelembagaan di Subak yang Mengalami Alihfungsi Lahan (Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud)”. Diharapkan kemudian skripsi ini dapat digunakan sebagai rujukan studi kepustakaan dimasa mendatang.

Penulis menyadari dalam penyususnan skripsi ini, penulis didukung oleh berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak tersebut.

1. Prof. Dr. I Nyoman Rai, MS. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana yang telah memberikan kemudahan dalam berbagai kebutuhan akademis Fakultas Pertanian.

2. Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, M.Si. Ketua Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana, yang telah membantu penulis dalam memenuhi kebutuhan akademis Program Studi Agribisnis.

3. Ketua Konsentrasi Pengembangan Masyarakat, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, atas kemudahan yang telah diberikan dalam pengajuan usulan proposal penelitian hingga skripsi ini rampung.


(12)

xi

4. Ir. Ratna Komala Dewi, MP. selaku Pembimbing Akademik atas segala bimbingannya dan masukkannya kepada penulis selama menjadi mahasiswa Program Studi Agribisnis.

5. Tim Penguji Skripsi meliputi, Dr. Ir. Ni Wayan Sri Astiti, M.P.; Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, SU.; Ida Ayu Listia Dewi, S.P., M.Agb.; Ir. Wayan Sudarta, MS.; Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, M.Si, yang telah memberikan kritik dan saran bersifat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. 6. Pembimbing I, Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, M.Si. dan Pembimbing II,

Ir.Wayan Sudarta, MS. yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan masukkan kepada penulis dalam perampungan skripsi. 7. Para dosen pembimbing seminar, yang telah memberi kritik dan saran yang

bersifat membangun penyelesaian skripsi ini.

8. Segenap dosen dan pegawai jurusan Program Studi Agribisnis dan Fakultas Pertanian yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi dan pemenuhan berkas untuk menuntaskan skripsi ini.

9. I Nengah Pageh Ardana, selaku Pekaseh Subak Padang Tegal sekaligus informan kunci penelitian yang bersedia berdiskusi dan memberikan keterangan dalam pelaksanaan penelitian.

10. Seluruh anggota Subak Padang Tegal selaku responden penelitian yang sukarela dan penuh ikhlas membantu dalam melaksanakan penelitian.

11. Kedua orang tua penulis, I Gusti Ngurah Yastika dan Gusti Ayu Oka Hayati atas dukungan moral dan rohani yang diberikan kepada penulis selama menjalankan kegiatan sebagai mahasiswa.


(13)

xii

12. Kakak penulis, Gusti Ayu Mirah Yasnita beserta suami Dewa Gede Setyawan yang selalu memberi motivasi selama penyususuan skripsi.

13. Adik penulis, I Gusti Ngurah Maha Yastrawan, yang memberi semangat dan motivasi selama penyusunan skripsi.

14. Anak Agung Putri Pradnyawati yang senantiasa menemani, memotivasi dan meberikan semangat selama penyusunan skripsi.

15. Anak Agung Riskha Anindita yang telah membantu dan memberi semangat serta motivasi selama penyusunan skripsi.

16. Semeton HMJ (Himpuanan Mahasiswa Jumiwa), Juni, Wira, Toni, Tessa, Kocong, Kadek, Bayu, Arta, Kana, Bedog, Angga, Manik, Bagus, yang telah memberi semangat dan pengalaman yang sangat berharga selama masa kuliah.

17. Seluruh teman Konsentrasi Pengembangan Masyarakat dan Konsentrasi Pengembangan Bisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana Angkatan 2012, yang mendukung dan memotivasi saya dalam perampungan skripsi. 18. Kawan-kawan KKN Desa Manukaya, Gianyar Tahun 2015, atas motivasi

dalam perampungan skripsi ini.

19. Teman-teman HIMAGRI yang selalu memberikan semangat dalam penuntasan skripsi.

20. Teman dekat dan seperjuangan, Risky, Teguh, Anom, Raka, Angga, Komang, Nova, Ade, Gita, Trisna, Ayuk, Ratna, Indra, Manyung, Deawan, Kupit, Ojan, Yoga, Budi, Edi, Wira, Wulan, Mirah, Bely dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.


(14)

xiii

21. Seluruh pihak yang telah membantu pengerjaan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih banyak atas segala bantuannya selama perampungan skripsi ini.

Seperti pribahasa “tak ada gading yang tak retak”, penulis menyakini bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, maka dari itu kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan skripsi ini. Dengan kerendahan hati, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan meberi motivasi untuk menjaga subak, khususnya di Subak yang berada di daerah tujuan wisata.

“Om Santih, Santih, Santih, Om”

Denpasar, Juni 2016


(15)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DEPAN ... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI ... ii

ABTRACT ... iii

RINGKASAN ... v

HALAMAN PERSETUJUAN ... vii

TIM PENGUJI ... viii

RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... ivx

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan ... 7

1.4 Manfaat ... 7

1.5 Ruang Lingkup ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Subak ... 9

2.1.1 Pengertian dan landasan subak ... 9

2.1.2 Tujuan subak ... 13

2.1.3 Fungsi subak ... 16

2.1.4 Fasilitas dalam subak ... 20

2.1.5 Kelembagaan di subak ... 25

2.2 Alihfungsi Lahan ... 31

2.2.1 Pengertian alihfungsi lahan ... 31


(16)

xv

2.3 Kehidupan Petani ... 32

2.4 Kerangka Pemikiran ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Lokasi dan Waktu ... 37

3.2 Data Penelitian ... 37

3.2.1 Jenis data ... 37

3.2.2 Sumber data ... 38

3.3 Metode Pengumpulan Data... 39

3.4 Instrumen Penelitian ... 40

3.5 Populasi, Responden dan Informan Kunci ... 43

3.6 Variabel, Indikator, Parameter, dan Pengukur... 44

3.7 Batasan Operasional ... 45

3.8 Analisis Data ... 48

BAB IV GAMBARAN UMUM ... 50

4.1 Kelurahan Ubud ... 50

4.1.1 Letak topografis ... 51

4.1.2 Letak geografis... 51

4.1.3 Batas wilayah Keluarahan Ubud ... 52

4.1.4 Keadaan penduduk Kelurahan Ubud ... 52

4.1.5 Potensi Pertanian ... 54

4.2 Subak Padang Tegal ... 55

4.2.1 Kepengurusan Subak Padang Tegal... 56

4.2.2 Batas wilayah Subak Padang Tegal ... 57

4.2.3 Kegiatan usahatani Subak Padang Tegal ... 57

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

5.1 Karakteristik Responden ... 58

5.1.1 Status perkawinan ... 58

5.1.2 Umur ... 58

5.1.3 Tingkat pendidikan formal ... 59

5.1.4 Jenis pekerjaan ... 60


(17)

xvi

5.1.6 Luas penguasaan lahan ... 61

5.2 Keberlangsungan Kelembagaan di Subak Padang Tegal ... 62

5.2.1 Paruman di Subak Padang Tegal ... 66

5.2.2 Gotong-royong di Subak Padang Tegal ... 69

5.2.3 Hubungan kerja pertanian di Subak Padang Tegal ... 71

5.2.4 Ritual keagamaan di Subak Padang Tegal ... 73

5.3 Kehidupan Petani Selaku Anggota Subak Padang Tegal ... 75

5.3.1 Kehidupan sosial anggota Subak Padang Tegal ... 76

5.3.2 Kehidupan ekonomi anggota Subak Padang Tegal ... 77

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 79

6.1 Simpulan ... 79

6.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 82


(18)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Luas wilayah subak di Subak di Kelurahan Ubud ... 4 3.1 Variabel, Indikator, Parameter, dan Pengukuran Variabel ... 44 3.2 Kategori keberlangsungan kelembagaan subak dan kehidupan petani

selaku anggota Subak Padang Tegal ... 49 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Gender di Kelurahan Ubud,

Tahun 2015 ... 54 4.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur di Kelurahan Ubud,

Tahun 2015 ... 54 4.3 Jenis Tanaman Yang Terdapat di Kelurahan Ubud, Tahun 2015 ... 55 5.1 Tingkat Pendidikan Formal Responden Pada Anggota Subak Padang

Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Tahun 2015 ... 59 5.2 Jenis Pekerjaan Pokok dan Sampingan Anggota Subak Padang Tegal,

Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Tahun 2016 ... 60 5.3 Jumlah Anggota Rumah Tangga Responden pada Subak Padang Tegal,

Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Tahun 2016 ... 61 5.4 Luas Lahan Responden pada Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud,

Kabupaten Gianyar, Tahun 2016 ... 62 5.5 Kelembagaan di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Tahun 2016 .... 64 5.6 Paruman di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Tahun 2016 ... 67 5.7 Gotong-royong di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud,

Tahun 2016 ... 70 5.8 Hubungan Kerja Pertanian di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud,

Kabupaten Gianyar, Tahun 2016... 72 5.9 Ritual Keagamaan di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud,

Tahun 2016 ... 74 5.10 Kehidupan Petani Selaku Anggota Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud,

Kabupaten Gianyar, tahun 2016 ... 75 5.11 Kehidupan Sosial Anggota Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud

Kabupaten Gianyar, tahun 2016 ... 76 5.12 Kehidupan Ekonomi Anggota Subak Padang Tega,l Kecamatan Ubud,


(19)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Hubungan yang terjadi dalam Tri Hita Karana ... 11 2.2 Hubungan timbal balik antar subsistem dalam sistem manajemen irigasi

masyarakat yang bersifat sosio-kultural ... 12 2.3 Kerangka pemikiran Keberlangsungan Kelembagaan Subak yang

Mengalami Alih Fungsi Lahan : Kasus Subak Padang Tegal,


(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kuesioner Penelitian ...86

2. Karakteristik Responden ...98

3. Uji Reabilitas dan Validitas ...100

4. Rekapitulasi Kuesioner ...104


(21)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara pertanian, karena pertanain masih memegang peran penting dalam pergerakan perekonomian Indonesia. Pertanian tidak hanya merupakan suatu pekerjaan namun telah menjadi budaya yang turun-temurun diwariskan untuk generasi selanjutnya. Hal ini ditunjukan dari masih banyaknya penduduk atau masyarakat yang bekerja di sektor pertanian dari dulu hingga sekarang (Mubyarto, 1984).

Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian dikenal dengan istilah alihfungsi lahan. Fenomena alihfungsi lahan tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius. Implikasi alihfungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).

Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa lampau karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah. Alihfungsi dari pertanian ke non pertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Widjanarko, dkk, 2006).


(22)

2

Kunjungan wisatawan mancanegara yang mengalami peningkatan membuat bisnis pariwisata terus berkembang di Indonesia. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada Agustus 2015 mencapai 850,5 ribu kunjungan atau naik 2,87% dibandingkan jumlah kunjungan wisman Agustus 2014 yang tercatat sebanyak 826,8 ribu kunjungan (BPS, 2015). Pertumbuhan pariwisata di Indonesia membuat perlu adanya pembangunan guna menunjang pariwisata di daerah tujuan wisata.

Bali sebagai barometer perkembangan pariwisata nasional menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Pulau Bali tidak hanya terkenal di dalam negeri tetapi juga di mancanegara. Pulau yang terkenal akan keindahan alam dan kebudayaan adat yang masih kental, menjadi tujuan wisata yang sangat diminati oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali pada bulan Juni 2015 mencapai 359.702 orang atau naik 21,53% dibanding Mei 2015 yang hanya 295.973 orang. Sementara negara penyumbang wisatawan mancanegara ke Bali, tertinggi Australia (26,32%), kemudian Tiongkok (17,83%), Singapura (5,44%), Malaysia (5,15%) dan Jepang (3,96%) (BPS, 2015).

Peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali membuka peluang investor untuk melakukan pembangunan fasilitas-fasilitas pariwisata agar mendapat keuntungan dari sektor pariwisata yang ada. Selain adanya investor sebagai pemilik modal, masyarakat Bali mulai berani mengembangkan sendiri lahan miliknya untuk dialihfungsikan ke sektor yang berkaitan dengan pariwisata. Pembangunan yang dilakukan, memerlukan pengorbanan lahan-lahan pertanian yang dialihfungsikan


(23)

3

untuk sektor lain. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2009 total lahan sawah di Bali tercatat seluas 81.931 ha, sedangkan pada tahun 2012 total lahan sawah tercatat 81.625 ha. Hal ini berarti dalam kurun waktu empat tahun dari 2009 s.d. 2012 tercatat alihfungsi lahan sawah sebesar 306 ha (0,37%) atau sekitar 76,5 ha/tahun (Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Bali, 2014).

Tingginya alihfungsi lahan di Bali, membuat pelaku-pelaku sektor pertanian harus mulai waspada, khususnya pelaku-pelaku pertanian yang ada di daerah tujuan wisata. Adanya investor yang ingin membeli atau menyewa lahan pertanian untuk dijadikan fasilitas pariwisata menjadi godaan para petani di daerah pariwisata. Tawaran harga yang tinggi membuat banyak pemilik lahan mulai berpikir untuk menjual atau menyewakan lahannya.

Subak-subak yang berada di Ubud tentu merasakan dampak dari pembangunan pariwisata. Ubud sabagai daerah tujuan wisata yang terkenal hingga mancanegara, masyarakatnya yang dulu mayoritas bekerja di sektor pertanian mulai mengubah profesinya. Potensi pariwisata yang ada membuat banyak masyarakat mulai menggantungkan diri pada sektor pariwisata. Mulai terjadi pergeseran pekerjaan masyarakat Ubud yang mulanya di sektor pertanian berubah menjadi pekerjaan di sektor pariwisata. Subak-subak yang ada di Ubud mulai terlalihfungsi untuk sektor pariwisata. Mulai berdiri banyak hotel, penginapan, villa, restaurant, dan fasilitas-fasilitas lain di daerah subak yang ada di Ubud. Luas wilayah subak yang ada di Ubud di tunjukan pada Tabel 1.1.


(24)

4

Tabel 1.1

Luas wilayah subak di Kelurahan Ubud

No. Subak Luas sawah (ha)

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

1 Landu 20 20 20 20 20 20 19 19 18

2 Legung 18 18 18 18 18 18 18 18 18

3 Junjungan 14 14 14 14 12 12 12 12 12

4 Pacung 17 17 17 17 15 15 15 15 15

5 Bungkuan 32 32 32 32 32 32 32 32 32

6 Sakti 6 6 6 6 6 6 6 6 6

7 Bonekaon 17 17 17 17 17 17 17 17 15

8 Juwuk manis 33 33 33 33 33 33 33 33 33

9 Sukawayah 32 32 32 32 32 32 32 32 32

10 Semujan 22 20 20 20 20 20 20 20 19

11 Muwa 3 3 3 3 3 3 3 3 3

12 Padang Tegal 46 41 41 41 41 41 41 41 40

13 Taman 13 13 13 13 11 8 8 8 8

14 Titi Buah 17 17 17 17 17 17 17 17 17

15 Binginambe 13 13 13 13 10 6 6 6 6

16 Lateng 15 15 15 15 15 15 15 15 15

17 Nyuh kuning 14 13 13 13 8 6 6 6 6

18 Jati 20 20 20 20 20 20 20 20 20

19 Babakan P. 16 16 16 16 16 16 16 16 16

20 Gunjatan 7 7 7 7 7 7 7 7 7

Total 375 367 367 367 353 344 343 343 338

Sumber : Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Kecamatan Ubud 2015.

Terjadi sebanyak 37 ha alihfungsi lahan dalam kurun waktu 2006 s.d. 2014. Total luas wilayah subak-subak yang berada di Kelurahan Ubud pada tahun 2014 mencapai 338 ha, dengan Subak Padang Tegal memiliki luas paling besar yaitu 40 ha dan Subak Muwa memiliki luas paling sedikit yaitu tiga ha. Dari 20 subak yang ada di Kelurahan Ubud, sembilan subak dari 2006 s.d. 2014 mengalami alihfungsi lahan. Luas areal subak yang mengalami alihfungsi dari 2006 s.d. 2014 bervariasi, mulai dari yang paling sedikit yaitu dua ha hingga yang paling banyak yaitu delapan ha (Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Kecamatan Ubud 2015).

Adanya alihfungsi lahan di Ubud, menunjukan tidak terjadinya keselarasan antara sektor pariwisata dengan sektor pertanian (subak). Berkurangnya areal


(25)

5

subak dapat menjadi ancaman keberlangsungan dari kegiatan-kegiatan yang telah turun-temurun dilaksanakan oleh subak. Kegiatan-kegiatan yang telah terpola dan melembaga di subak yang mengalami alihfungsi dapat mengalami pergeseran-pergeseran. Pergeseran inilah yang dapat mengancam keberlangsungan kelembagaan yang terdapat di subak. Memang tidak selamanya pembangunan atau alihfungsi yang ada dikategorikan hal negatif dan harus dihindari. Perlu pengkategorian dampak positif dan negatif dari adanya alihfungsi lahan yang mengancam subak.

Adanya pariwisata akan memunculkan dilema di kalangan petani yang masih mempertahankan lahannya. Petani yang masih bertahan menjalani kegiatan usahatani tentu menjadi pelaku yang masih tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang telah diwariskan dan melembaga di subak. Pelaku-pelaku inilah yang secara langsung merasakan pergeseran yang ada di subak. Seperti yang terjadi di Subak Padang Tegal. Sebagai subak yang berada di daearah pariwisata dan berada di jantung pariwisata Ubud, Subak Padang Tegal menjadi subak yang mengalami alihfungsi lahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pekaseh Subak Padang Tegal, pada tahun 2016 jumlah petani aktif di Subak Padang Tegal berjumlah 43 orang. Luas garapan sawah dari 43 petani yang aktif di Subak Padang Tegal 19,5 hektar. Terjadi penurunan yang sangat tinggi jika dibandingakan dengan data dari BBP tahun 2015. Penurunan ini disebabkan adanya alihfungsi lahan pertanian menjadi hotel, restaurant dan toko-toko, serta pembangunan areal parkir.

Subak sebagai organisasi yang telah ada turun-temurun menaungi urusan pertanian di Bali, secara tidak langsung menjadi korban kondisi pariwisata yang


(26)

6

ada. Subak merupakan sitem irigasi yang berbasis petani dan lembaga yang mandiri (Sutawan, 2008). Subak memiliki peran yang sangat besar dalam pembangunan pertanian yang ada di Bali. Subak memiliki bermacam-macam kegiatan yang telah turun-temurun dilakukan seperti kegiatan ritual keagamaan, pengelolaan jaringan irigasi, dan hubungan kerja pertanian. Organisasi dunia UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) telah menobatkan subak sebagai salah satu warisan budaya dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan. Sayangnya, pembangunan yang memicu alihfungsi lahan di Bali, menjadi ancaman bagi keberlangsungan kelembagaan yang ada di subak.

Seharusnya terjadi keselarasan antara sektor pertanian dan pariwisata. Pariwisata sebenarnya sangat bergantung pada sektor pertanian. Banyak bangunan pariwisata seperti restaurant, villa, atau hotel menggunakan sawah sebagai pemandangan untuk daya tarik pariwisatanya. Sayangnya masih jarang terjadi hubungan timbal balik yang baik dalam fenomena yang terjadi antara pariwisata dengan sektor pertanian. Perlu adanya penataan yang baik mengenai alihfungsi lahan yang terjadi di lahan-lahan pertanian. Sehingga, subak-subak terutama subak yang berada di daerah tujuan wisata tidak merasa terancam dengan adanya pembangunan untuk fasilitas pariwisata.

Berdasarkan uraian tersebut, maka menarik untuk dikaji keberlangsungan kelembagaan di subak yang ada di Subak Padang Tegal. Selain itu, kehidupan petani selaku anggota Subak Padang Tegal juga menarik untuk dilihat karena mereka masih bertahan menjalani kegiatan sebagai seorang petani di subak yang mengalami alihfungsi lahan.


(27)

7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas maka dapat ditarik rumusan masalah, sebagai berikut.

1. Bagaimana keberlangsungan kelembagaan di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar?

2. Bagaimana kehidupan petani selaku anggota Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, yang bertahan menjadi petani?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, dapat ditarik tujuan penelitian ini untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut.

1. Keberlangsungan kelembagaan di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

2. Kehidupan petani selaku anggota Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud, yang bertahan menjadi petani.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi berbagai pihak, sebagai berikut.

1. Sebagai salah satu masukan dan informasi pendukung atau pelengkap bagi dinas terkait dan sebagai rujukan pengambilan sikap untuk memutuskan suatu kebijakan dalam mengembangkan sektor pertanian.


(28)

8

2. Memberikan sumbangan pemikiran dan menjadi bahan kajian yang cukup bagi insan akademik dan pelaku bidang pertanian.

3. Sabagai masukan dan tambahan informasi mengenai keberlangsungan kelembagaan di subak dan kehidupan petani selaku anggota subak yang bertahan menjalani kehidupan menjadi petani.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini mencangkup keberlangsungan kelembagaan di subak yang mengalami alihfungsi lahan. Kelembagaan yang dimaksud dalam hal ini mencangkup norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota dalam melaksanakan setiap kegiatan yang ada. Keberlangsuang kelembagaan akan dilihat ketika belum marak alihfungsi lahan dan keadaan kelembagaan di subak pada saat ini. Selain itu, penelitian ini akan melihat kehidupan dari petani-petani selaku anggota Subak Padang Tegal yang masih menjalankan kegiatan-kegiatan di subak. Kehidupan petani akan dilihat dari sisi kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Kehidupan sosial petani selaku anggota subak dilihat dari interaksi yang dilakukan petani di dalam keluarga (keluarga batih) dan di lingkungan tempat tinggal. Kehidupan ekonomi akan dilihat dari kemampuan mengelola hasil panen, dan memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini, akan terlihat kemampuan dan ketahanan kelembagaan di subak yang mengalami alihfungsi lahan, tepatnya di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud sebagai lokasi penelitian.


(29)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Subak

2.1.1Pengertian dan landasan subak

Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik

sosio agraris-religius merupakan perkumpulan dari petani-petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah (Windia, 2006). Dikemukakan oleh Sutha (1978) bahwa persubakan sebagai suatu organisasi kemasyarakatan yang disebut dengan seka subak adalah suatu kesatuan sosial yang teratur karena para anggotanya merasa terkait satu sama lain dikarenakan adanya kepentingan bersama dalam hubungan dengan pengairan persawahan. Subak memiliki pemimpin (pengurus) yang bertindak kedalam maupun keluar serta mempunyai harta baik material maupun immaterial.

Subak adalah organisasi tradisional dibidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat

sosioagraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang (Peraturan Daerah Bali No. 9, tahun 2012). Subak menjadi suatu organisasi kemasyarakatan yang mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Subak biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani yang diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan Dewi Sri.


(30)

10

Dapat disimpulkan subak merupakan suatu organisasi dengan aturan atau norma yang menaungi petani-petani di Bali yang bertugas dalam pembagian air serta memiliki peranan dalam menjalankan dan mengatur upacara keagamaan yang ada di dalamnya. Subak dalam pertanian di Bali memiliki peran sentral dalam mengatur kegiatan-kegiatan pertanian yang ada.

Dinyataka oleh Windia (2006) Kereligiusan pada sistem irigasi subak merupakan ceriman konsep Hita Karana (THK). Tri Hita Karana terdiri dari tiga bagian, sebagai berikut.

1. Parahyangan (wujud hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan pencipta-Nya yaitu Sang Hyang Widhi Wasa).

2. Pawongan (wujud hubungan timbal balik yang harmonis antara sesama manusia, sebagai makhluk ciptaan-Nya).

3. Palemahan (wujud hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungan tempat tinggalnya).

Dinyatakan oleh Windia dkk (2015) sistem subak yang berdasarkan konsep

Tri Hita Karana merupakan salah satu bentuk sistem irigasi yang mampu mengakomodasikan dimanika sistem sosio-tenis masyarakat setempat. Tri Hita Karana menunjukkan hubungan antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Manusia menjadi titik poros utama dalam hubungan yang terjadi pada Tri Hita Karana. Manusia menjadi titik kunci dari hubungan keharmonisan dalam Tri Hita Karana. Manusia sebagai peran sentral dalam Tri Hita Karana, dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dalam melakukan hubungan dengan Tuhan, alam dan sesamanya. Lingkungan akan membentuk cara


(31)

11

dari manusia untuk menciptakan keharmonisan dengan ketiga unsur yang ada dalam Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana menunjukkan segala kegiatan yang dilakukan di subak tidak semata-mata karena ekonomi dan bisnis, tetapi lebih keharmonisasi terhadap alam sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadapTuhan Yang Maha Esa. Tri Hita Karana menunjukkan adanya hubungan yang harmonis dan serasi antar sesama umat manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan sebagai landasan filosofi subak. Konsep parahyangan dalam sistem subak ditunjukkan dengan adanya Pura pada wilayah subak dan pada komplek persawahan petani. Konsep palemahan, ditunjukkan dengan adanya kepemilikan sawah untuk setiap subak. Konsep pawongan ditunjukkan dengan adanya organisasi petani yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, adanya anggota subak, pengurus subak, dan pimpinan subak (Sutawan dkk dalam Windia, 2006). Hubungan yang terjadi dalam Tri Hita Karana dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Parahyangan

Lingkungan

Pawongan

Lingkungan Palemahan

Gambar 2.1


(32)

12

Dinyatakan oleh Pusposutarjo dan Arif (dalam Windia, 2006) subak sebagai sistem teknologi dari sistem sosio kultural masyarakat pada dasarnya memiliki tiga subsistem, sebagai berikut.

1. Subsistem budaya (pola pikir, norma, dan nilai) 2. Subsistem sosial (termasuk ekonomi)

3. Subsistem kebendaan (termasuk teknologi)

Semua subsistem tersebut memiliki hubungan timbal balik, dan juga memiliki hubungan dengan keseimbangan dan lingkungan. Adanya keterkaitan antar semua subsistem, maka secara teoritis konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah koordinasi dapat dihindari. Hubungan timbal balik antar subsistem yang terjadi di subak dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Lingkungan

Lingkungan

Gambar 2.2

Hubungan timbal balik antar subsistem dalam sistem manajemen irigasi masyarakat yang bersifat sosio-kultural

Sumber : Arif (dalam Windia, 2006) Subsitem

Kebendaan Subsitem

Sosial Subsitem Budaya


(33)

13

Dikemukakan oleh Windia (2006) keterkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan munculnya harmoni dan kebersamaan dalam pengelolaan air irigasi dalam sistem irigasi subak yang bersangkutan. Hal tersebut dapat terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota subak (misalnya, adanya sistem pelampias, dan sistem saling pinjam air irigasi). Kebijakan sistem pelampias dengan memberikan tambahan air bagi sawah yang ada di hilir pada lokasi-lokasi bangunan-bagi di jaringan tersier salah satunya di Subak Timbul Baru Kabupaten Gianyar. Besarnya pelampias tergantung dari kesepakatan anggota subak.

2.1.2Tujuan subak

Subak adalah suatu organisasi pertanian yang sekaligus memiliki nilai-nilai di dalamnya. Nilai-nilai yang ada di dalam organisasi subak membuat subak dapat dikatakan sebagai suatu lembaga. Nilai yang dimiliki subak di Bali yaitu Tri Hita Karana (THK). Tri Hita Karana menjadi dasar dari pembentukan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi subak. Dalam hal ini tujuan subak sesuai dengan asas-asas yang harus diemban, yakni sebuah tujuan yang berorientasi pada keadilan dan kebersamaan, sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Tri Hita Karana yang dianut oleh subak (Windia, dkk, 2015).

Berdasakan Peraturan Daerah Bali No. 9 tahun 2012 tentang subak, disebutkan terdapat lima tujuan dari subak, sebagai berikut.

1. Memelihara dan melestarikan organisasi subak. 2. Mensejahterakan kehidupan petani.


(34)

14

4. Melindungi dan mengayomi petani.

5. Memelihara serta memperbaiki saluran air ke sawah.

Dikemukakan oleh Windia, dkk (2015) pada dasarnya tugas dan tujuan yang seharusnya dicapai oleh subak di bawah kepemimpinan ketua/kelian subak

(pekaseh), sebagai berikut.

1. Merencanakan tujuan dan sasaran kegiatan yang merupakan wujud dari pelaksanaan yang taat asas menurut aturan yang diberlakukan.

2. Menjelaskan tujuan dan sasaran kepada anggota subak.

3. Menyusun kesepakatan tindakan pemecahan masalah dan pembagian tanggungjawab pada semua anggota subak.

4. Memberdayakan anggota untuk dapat berperan-serta sesuai dengna tujuan, hak, dan kewajiban yang dimiliki.

5. Mengkoordinasi pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan, agar tujuan sasaran kegiatan yang telah disepakati dapat tercapai dengan baik.

Tujuan adalah hasil akhir suatu tindakan yang hendak dicapai, baik melalui perubahan maupun dengan cara mempertahankan keadaan yang sudah ada. Dikemukakan oleh Sudarta (2005) bahwa indikator untuk mengetahui suatu tujuan dapat dilihat, sebagai berikut.

1. Kejelasan dan formalitas tujuan, yaitu adanya tujuan tertulis tentang tujuan kelompok sehingga tujuan kelompok bersifat formal dan dengan jelas dapat diterjemahkan oleh anggota.


(35)

15

3. Mudah dibayangkan, yaitu tujuan kelompok harus dapat dibayangkan dengan mudah oleh anggota, bersifat konkrit serta berjangka tidak terlalu panjang.

4. Polarisasi tujuan, yaitu tujuan kelompok memusat (searah) atau bertentangan dengan tujuan anggota.

5. Kaitan tujuan kelompok dengan tujuan kelompok lain (systemic linkage). 6. Pertumbuhan, yaitu tentang memungkinkannya kelompok tumbuh dengan

baik berkat adanya rumusan tujuan kelompok itu.

Dinyatakan oleh Windia dkk (2015) tujuan subak dapat dicapai dengan sebuah kesepakatan bersama (konsesus), yakni diadakan dalam sebuah rapat subak. Adanya rapat merupakan bentuk adanya komunikasi dan interaksi dari kegiatan yang ada di dalam subak. Rapat subak biasanya dilakukan menjelang musim tanam pada suatu musim tertentu. Tujuan rapat subak bermacam-macam tergantung situasi dan keadaan. Rapat subak umumnya diadakan untuk menentukan waktu tanam, jenis tanaman yang akan ditanam, waktu mengadakan gotong-royong membersihkan saluran irigasi, pelaksanaan upacara, jenis dan jumlah pupuk yang diperlukan, masalah denda, dan berbagai hal yang lain yang muncul dalam rapat subak.

Dinyatakan oleh Windia dkk (2015) pencapaian tujuan subak sering dicapai dengan cara-cara luwes atau dengan cara yang keras dan tegas. Cara yang luwes, misalnya pada saat air dalam kondisi terbatas, maka anggota subak tidak diijinkan ke sawah pada malam hari. Cara pencapain tujuan yang agak keras dengan menerapkan denda yang tinggi kepada petani yang melanggar kesepakatan


(36)

16

bersama. Sekitar era 20 s.d. 30 tahun yang lalu dalam pencapaian tujuan, dilakukan perampasan asset anggota subak yang tidak memenuhi kewajiban untuk tidak membayar denda atau hutang pada subak.

2.1.3Fungsi subak

Subak merupakan suatu organisasi petani sawah secara tradisional di Bali dengan satu kesatuan areal sawah, serta umumnya satu sumber air selaku kelengkapan pokoknya. Adapun fungsi yang dilakukan subak dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi eksternal dan fungsi internal.

Secara ekternal, subak mempunyai fungsi dalam peran pembangunan pertanian dan pedesaan. Subak sangat memegang peran dalam melaksanakan berbagai pembangunan pertanian lahan basah, menunjang pembangunan KUD, dan selain itu peran subak sangat nyata dalam pencapaian swasembada pangan.

Sedangakan secara internal, subak memiliki fungsi yang sangat penting dan mutlak dalam kehidupan organisasi subak, maupun anggotanya dalam hubungannya dengan pertanian. Dikemukakan oleh Sutawan (2008) bahwa teradapat lima fungsi utama yang harus dilakukan subak, sebagai berikut.

1. Pencarian dan distribusi air irigasi

Dalam usahanya mendapat air dari sumbernya, subak membangun berbagai fasilitas irigasi untuk menunjang pendistribusian air kepada anggotanya, seperti empelan saluran aungan, dan sebagainya. Secara umum, ada dua metode yang dikenal dalam subak, yaitu metode pengaliran kontinyu dan metode bergilir. Dalam metode kontinyu, semua anggota mendapat air secara merata, baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Sebaliknya pada metode bergilir, tidak


(37)

17

semua anggota mendapat air pada suatu waktu tertentu. Pada metode kedua ini, wilayah subak dibagi atas dua atau tiga kelompok dalam pembagian airnya pada waktu yang berbeda.

2. Operasi dan pemeliharaan sistem irigasi

Subak harus mengoperasikan fasilitas irigsi yang dimiliki untuk menjamin adanya pembagian air sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Kegiatan pengoprasian yang menonjol yaitu pengoprasian pintu-pintu air pada bangunan bagi (membuka, menutup, dan mengatur). Subak juga melakukan pemeliharaan secara berkala fasilitas irigasi yang dimiliki. Untuk perbaikan jaringan irigasi, subak mengerahkan sumberdaya dari anggotanya, baik berupa tenaga kerja, bahan-bahan, maupun uang.

Sejak adanya campur tangan pemerintah pada subak, beberapa bagian dari jaringan irigasi subak telah secara langsung dikelola oleh pemerintah (Dinas Pekerjaan Umum). Berdasarkan tanggungjawab operasi dan pemeliharaan jaringan ini, subak dapat dibedakan atas dua, sebagai berikut (Sutawan 2008). a. Subak yang sepenuhnya dikelola oleh petani, dikarenakan semua urusan

persubakan ditangani oleh petani, termasuk operasi dan pemeliharaan bendungan, jaringan utama, jaringan tersier.

b. Subak yang dikelola secara patungan, dikarenakan jaringan utama dikelola oleh pemerintah, sedangkan jaringan tersier dikelola oleh subak.

3. Mobilisasi sumberdaya

Pengelolaan sumberdaya adalah aktivitas mobilisasi sumberdaya subak untuk semua aktivitas subak. Kegiatan memobilisasi sumberdaya yang ada di


(38)

18

subak merupakan kegitatan mengelola sumberdaya baik tenaga, dana, maupun natura. Dalam menggerakan atau memobilisasi keberadaan subak, memerlukan sejumlah dana atau sumberdaya untuk perbaikan dan pemeliharaan terhadap fasilitas yang dimiliki subak. Umumnya dana tersebut dihimpun sendiri oleh subak secara internal. Sumber dana dalam subak, sebagai berikut (Sutawan 2008). a. Sarin tahun, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak setiap habis panen

padi. Besar iuran bervariasi antar subak yang biasanya diukur dengan gabah. b. Paturun, yaitu iuran yang dikeluarkan anggota subak secara dadakan,

berdasarkan kebutuhan. Peturun ini dapat berupa uang atau material.

c. Kontrak-bebek, sehabis panen, subak biasanya megontrakkan sawahnya kepada para pengembala itik selama dua minggu. Pada beberapa subak, nilai kontrak ini cukup besar.

d. Dedosan atau denda. Pelaku pelanggaran terhadap awig-awig atau perarem

didenda sesuai dengan besar kecil pelanggaran. Besar kecilnya dedosan

tersebut sudah diatur pula dalam awig-awig subak atau perarem.

e. Bantuan pemerintah. Dalam usaha peningkatan produksi dan produktivitas pertanian sawah, pemerintah banyak membantu subak dalam rehabilitasi sarana prasarana. Insentif juga diberikan kepada subak oleh Dispenda, apabila subak berhasil membayar pajak (PBB) tepat waktu.

4. Penanganan sengketa atau konflik

Konflik merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam tatanan masyarakat atau perkumpulan. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial ketika terjadi pergesekan yang memicu perkelahian dan rasa esmosi antara dua


(39)

19

orang atau lebih. Manajemen atau penangan konflik yang baik akan memunculkan konflik yang berujung positif dan tidak menimbulkan kerugian.

Konflik yang terjadi pada subak biasanya bersumber pada masalah air irigasi. Masalah ini biasanya sering muncul pada subak yang memiliki masalah mengenai kekurangan air. Selain itu, masalah lain yang timbul yaitu mengenai batas-batas tanah sawah, seperti pepohonan yang tumbuh diperbatasan sawah milik orang lain, hewan peliharaan yang merusak tanaman orang lain dan sebagainya. Konflik-konflik ini biasanya dapat diselesaikan sendiri oleh subak dengan penyelesaian secara mufakat atau kekeluarga atara pihak yang terkait, dengan pekaseh sebagai penengahnya. Apabila konflik yang tejadi tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, maka penyelesaiannya dilakukan berdasarkan

awig-awig yang ada (Windia dkk, 2015). 5. Upacara keagamaan

Salah satu keunikan subak dibandingkan dengan organisasi petani pemakai air yang berada di daerah lain, yaitu adanya upacara keagamaan dengan frekuensi yang cukup tinggi. Dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990) pengertian upacara ritual atau ceremony adalah sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat bersangkutan. Ada berbagai jenis upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak pada berbagai tingkat. Adapun tingkatan upacara dalam subak, yaitu tingkat petani individu, tingkat tempek, tingkat subak, tingkat Subak Gede, sampai


(40)

20

tingkat Pesedehan Agung. Jenis upacara yang dilakukan sangat berbeda antar daerah.

Ritual dalam subak dapat digolongkan menjadi dua bagian, sebagai berikut. 1. Ritual individual

Ritual individual merupakan ritual yang dilakukan sendiri atau individu oleh petani atau krama subak. Adapun ritual individual meliputi ritual ngendagin, ritual ngurit, ritual nandur, ritual mubuhin, kekambuhan/nyungsung, ritual ngulapin/wusan majukut, ngerestiti/pengantapan pari, ritual ngiseh/byakukung,ritual nyangket, ritual mantenin, dan ritual insidental.

Ritual insidental bersifat tidak menentu tergantung kejadian yang terjadi di subak. Adapun ritual insidental meliputi ritual ngingu kakul, ritual panulak paksi, ritual panulak bikul, ritual panulak walang sangit, candang, lanas, dan mati mucuk, ritual mabahin, ritual ngrasakin/mayah pangrasak, dan ritual rsi ghana. 2. Ritual kolektif

Ritual kolektif merupakan ritual yang dilakukan kumpulan petani atau

krama subak baik dalam tingkat tempek, tingkat subak, dan kumpulan subak. Ritual kolektif meliputi ritual mapag toya, ngaturang pekalem, ritual ngusaba, ritual magurupiduka, dan nangluk merana/neduh.

2.1.4Fasilitas dalam subak

Suatu sistem sosial tidak akan bisa mencapai tujuan seperti yang diharapkan, apabila tidak didukung oleh fasilitas yang dibutuhkan. Dikemukakan oleh Sudarta dalam Windia, dkk (2015) yang dimaksud fasilitas dalam subak seperti harta benda, barang-barang, dan kemudahan lainnya yang tersedia dan


(41)

21

digunakan oleh sistem sosial dalam mencapai tujuan. Tanah, danau, sungai, hutan, dan lainnya yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam sistem sosial, termasuk juga fasilitas.

Dikemukakan oleh Windia, dkk (2015) terdapat tiga fasilitas dalam subak. Adapun ketiga fasilitas yang ada dalam subak, sebagai berikut.

1. Fasilitas fisik jaringan irigasi

Fasilitas fisik jaringan irigasi milik subak yang dapat digunkan untuk mencapai tujuan subak diantaranya sebagai berikut.

1. Bendung atau dam (empelan) adalah bangunan utama atau pokok yang berfungsi sebagai penangkap air di sungai beserta buka (tempat air masuk atau intake).

2. Terowongan (aungan) adalah saluran irigasi utama (saluran primer) tertutup. Terowongan dibuat saat usaha mengalirkan air dari saluran irigasi melalui saluran terbuka (telabah) tidak memungkinkan dilakukan.

3. Telabah gede/telabah aya adalah saluran primer untuk mengalirkan air irigasi pada suatu areal sawah tertentu di subak yang bersangkutan.

4. Telabah pemaron gede/telabah pemaron adalah saluran sekunder yang mengairi satu bagian tertentu dari wilayah subak.

5. Telabah pemaron cenik/telabah cenik adalah saluran tersier yang mengairi bagian-bagian dari wilayah subak yang diairi oleh telabah pemaron gede. 6. Telabah pengalapan/telabah penyahcah adalah saluran kuarter yang

mengairi satu atau lebih blok sawah (satu atau lebih sikut/tuluk/cutak sawah) milik petani perorangan sekitar 35 are.


(42)

22

7. Talikunda/samakunda (saluran cacing) adalah saluran yang mendistribusikan air irigasi secara adil untuk satu sikut sawah.

8. Telabah pengutang (saluran pembuang) adalah saluran untuk membuang air irigasi yang berlebihan.

9. Tembuku aya/tembuku gede adalah bangunan bagi utama pada telabah gede sebagai pusat pembagian air irigasi antara beberapa subak apabila bendungnya mengairi banyak subak, atau antara wilayah-wilayah yang lebih kecil dari sebuah subak (tempek/munduk/banjaran) apabila bendungnya hanya mengairi satu subak.

10. Tembuku pemaron/tembuku pemaron gede adalah bangunan bagi sekunder yang terletak di saluran sekunder (telabah pemaron) sebagai pusat pembagian irigasi antara sub subak (tempek) atau antara kompleks sawah-sawah di lingkungan tempek yang irigasinya mengalir melalui telabah cenik

atau bngunan bagi tersier.

11. Tembuku pemaron cenik/tembuku cenik adalah bangunan bagi tersier (telabah pemaron cenik) sebagai tempat pengambilan air irigasi untuk berapa sikut sawah. Air irigasi dari bangunan ini mengalir menuju ke telabah pengalapan (saluran kuarter). Bangunan sadap ini kadang hanya berupa pipa dari bambu, disesuaikan dengan jatah air irigasi yang diterima oleh petani bersangkutan.

12. Tembuku pengalapan adalah bangunan bangunan bagi kuarter yang terletak di saluran kuarter (telabah pengalapan) sebagai bangunan sadap yang langsung dimanfaatkan untuk mengairi sawah milik petani perorangan.


(43)

23

2. Fasilitas fisik non jaringan irigasi

Di samping memiliki fasilitas jaringan irigasi tersebut, umumnya subak juga mempunyai fasilitas fisik non jaringan irigasi diantaranya sebagai berikut (Windia, dkk, 2015).

1. Pura

Subak memiliki fasilitas fisik berupa pura, baik pura milik bersama (milik tempek, subak atau milik beberapa/sejumlah subak) maupun pura milik perorangan. Pura milik bersama merupakan tempat suci untuk menyelenggarakan kegiatan ritual secara kolektif atau bersama-sama baik dengan petani di dalam satu tempek, petani dalam satu subak, maupun gabungan antar subak. Sedangkan pura milik perorangan merupakan tempat suci untuk menyelenggarakan kegiatan ritual secara individual. Keberadaan tempat suci antar subak bervariasi satu subak dengan yang lain. Tetapi, pada setiap subak, umumnya memiliki pura Bedugul

dan puran Ulun Empelan (milik bersama), dan pura Sanggah Catu (milik petani individual atau perseorangan).

2. Balai Subak

Fasilitas ini memiliki arti penting dalam pelaksanaan kegiatan administrasi sehari-hari, rapat-rapat subak, pembuatan sesajen untuk kegiatan ritual secara kolektif (baik ditingkat tempek/munduk/banjaran maupun tingkat subak) dan kegiatan penyuluhan pembangunan pertanian.

3. Balai Timbang

Setiap subak memiliki satu atau lebih Balai Timbang. Balai Timbang ini berukuran kecil sekitar 1,5m x 2m dan bertiang dua. Balai Timbang ini


(44)

24

dimanfaatkan untuk melakukan pertemuan informal dan beristirahat oleh beberapa petani, sehabis bekerja di sawah.

4. Jalan usaha tani/jalan subak

Setiap areal subak dilengkapi dengan jalan usahatani atau jalan subak. Subak-subak yang dilalui oleh jalan yang penghubung antar kota tentu keadaan jalannya akan lebih bagus karena beraspal, dibandingkan dengan subak yang berada di pedalaman atau tempat-tempat yang terisolasi. Jalan usahatani memegang peran penting dalam memperlancar proses transportasi dan komunikasi yang ada di subak.

3. Kemudahan-kemudahan lain

Dalam akselerasi pembangunan pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan, selain subak memiliki fasilitas fisik jaringan irigasi dan fasilitas fisik non jaringan irigasi, subak juga mempunyai beberapa kemudahan seperti berikut (Windia, dkk, 2015).

1. Umumnya subak memperoleh pembinaan dari instansi-instansi dinas terkait di Bali.

2. Subak memiliki beragam dana, seperti iuran anggota, denda-denda bagi pelanggar awig-awig dan perarem, pengoot/pengampel, upeti dari penebas, upeti atau kontribusi dari pengoprasian traktor, kontribusi dari pengembalaan ternak dan bantuan dari Pemerintah Provinsi Bali sebesar Rp30.000.000,00 per tahun. Dana tersebut digunakan untuk pelaksanaan beragam kegiatan keagamaan dan untuk pemeliharaan sarana fisik subak. Bagi subak yang memiliki koperasi tani, baik secara perorangan atau


(45)

25

melembaga, subak memperoleh sisa hasil usaha (SHU) setiap tahun. Anggota subak yang juga menjadi anggota koperasi tani, memperoleh kemudahan dalam mendapat sarana produksi (Saprodi) dan alat-alat mesin pertanian (alsintan) dengan mekanisme yang berbeda-beda antar subak, serta memperoleh kemudahan dalam meminjam modal baik untuk kepentingan usahatani maupun non usahatani.

3. Dalam upaya mengintensifikasikan budidaya tanaman pangan, subak memperoleh informasi inovasi di bidang pertanian melalui Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang merupakan kepanjangan tangan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Petugas Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT), mempunyai status dan menjalankan peranan yang sama dengan PPL, tapi khusus pada bidang hama dan penyakit tumbuhan terpadu, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai tradisional seperti Nangluk Merana.

4. Kemudahan lain yang dimiliki oleh subak (sebagai contoh di Kota Denpasar), berupa subsidi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari pemerintah dan Unit PelayananSarana Produksi Padi (UPS). Setiap daerah memiliki cara berbeda-beda dalam upaya melestarikan dan menjaga subak yang ada di Bali.

2.1.5Kelembagaan di subak

Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan


(46)

26

petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau

social interplay dalam suatu komunitas (Nasrul, 2012).

Kelembagaan dan lembaga pada hakekatnya mempunyai perbedaan. Dilihat dari aspek kajian sosial, lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang dan bersifat kokoh serta dihargai oleh masyarakat (Huntington,1968). Dinyatakan oleh Uphoff (1986) lembaga adalah sekumpulan norma dan perilaku yang telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama, sedangkan kelembagaan adalah suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang atau lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur atau pola.

Subak merupakan sistem irigasi yang berbasis petani dan lembaga yang mandiri (Sutawan, 2008). Subak merupakan sistem kelembagaan adat lokal Bali yang mengatur pengelolaan usaha tani secara komprehensif, khususnya dalam mengatur sistem irigasi berupa pengelolaan air. Subak secara resmi telah dinobatkan sebagai landscape warisan budaya dunia oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Penobatan itu menjadi alasan kuat bahwa sistem kelembagaan lokal subak dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk demokrasi tertua di dunia. Mulai dari sistem pembagian air, pola kelembagaan, hingga struktur organisasinya menggunakan filosofi demokrasi yang tidak diadopsi dari luar, namun tumbuh dan berkembang dari tradisi masyarakat Bali. Banyak yang berharap nantinya subak dapat menjadi konsep pembangunan berkelanjutan di dunia.


(47)

27

Sebagai suatu lembaga, meskipun tradisional, subak memiliki unsur-unsur pokok organisasi. Struktur organisasi subak umumnya disesuaikan dengan keadaan dari subak sendiri. Semakin kompleks kondisi jaringan irigasi dan fasilitas fisik lainnya selain jaringan irigasi, maka struktur organisasi akan makin kompleks (Windia dkk, 2015). Dalam lingkup organisasi paling sederhana, struktur organisasi subak hanya terdiri atas ketua atau yang biasa disebut kelian subak atau pekaseh, wakil ketua atau yang biasa disebut petajuh atau pangliman

dan anggota subak atau krama subak. Namun, ada pula struktur organisasi subak yang sudah memiliki karakteristik organisasi modern yang terdiri atas

kelian/pekaseh (setara ketua dalam organsasi), petajuh (wakil ketua), penyarikan

(sekretaris), juru raksa (bendahara), serta krama subak (anggota subak). Sturktur organisasi suatu subak tergantung kebutuhan dan keadaan dari organisasi subak sendiri (Windia dkk, 2015).

Suatu bentuk kelembagaan yang timbul di suatu daerah tidak lepas dari kondisi sumber daya setempat, lingkungan, dan norma yang berlaku di mayarakat (Gunawan, 1989). Subak sebagai suatu lembaga memiliki aturan atau norma yang disebut awig-awig dan perarem. Aturan dan norma-norma yang ada mengatur kegiatan-kegiatan yang ada di dalam subak. Masing-masing subak memiliki awig-awig dan perarem yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan, awig-awig dan

perarem yang dibuat berdasarkan kebiasaan dan kebudayaan yang telah ada di dalam subak (Windia dkk, 2015).

Subak juga memiliki sanksi untuk anggota sebagai bentuk apresiasi dari tindakan anggota subak. Sanksi merupakan bentuk imbalan atau balasan yang


(48)

28

diberikan kepada seseorang atas perilakunya. Sanksi dapat berupa sanksi positif, contohnya pemberian hadiah (reward) dan dapat pula berupa sanksi negaif, contohnya pemberian hukuman (punishment). Sanksi yang diterapkan setiap subak berbeda-beda, tergantung pada kesepakatan dan kebiasaan yang ada dalam subak yang telah diwariskan dan telah diatur dalam awig-awig atau perarem

subak (Windia dkk, 2015).

Dikemukakan oleh Windia, dkk, (2015) kekuatan subak pada dasarnya muncul dari kesepakatan yang dilaksanakan umumnya berdasarkan konsensus. Sangat jarang subak melaksanakan kesepakatan berdasarkan voting. Hal ini ditunjukkan ketika suatu subak melakukan rapat (paruman), setiap pengambilan keputusan dalam rapat atau paruman subak biasanya menggunakan kesepakatan bersama anggota subak. Hal ini dikarenakan subak berfungsi sosial. Komunikasi dan interaksi sosial menjadi peran penting dalam subak. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan subak selalu berdasarkan kesepakatan bersama dalam suatu rapat.

Kebersamaan di subak ditunjukkan dengan adanya gotong-royong baik untuk memelihara atau memperbaiki jaringan irigasi. Gotong-royong dalam subak juga biasa dilakukan dalam persiapan upacara keagamaan dalam Pura subak. Gotong-royong petani dalam subak menjadi bentuk hubungan sosial yang sangat kental dalam subak. Gotong-royong menjadi bentuk interaksi yang bersifat positif guna mencapai tujuan bersama. Gotong-royong merupakan implementasi dari Tri Hita Karana karena menunjukkan hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Kegitan gotong-royong


(49)

29

di dalam subak dapat pula dikatakan sudah melembaga dan menjadi kegiatan yang menjadi ciri khas dalam subak (Windia, dkk, 2015).

Bentuk kelembagaan dalam subak dapat dilihat dari hubungan kerja pertanian yang terjadi di dalam subak. Dikemukakan oleh Rachmat dan Muslim (2011) kelembagaan hubungan kerja pertanian merupakan institusi yang sudah mengakar di masyarakat petani, terutama pada usahatani padi. Subak sebagai suatu kelembagaan juga tidak lepas dari hubungan kerja pertanian. Terdapat beberapa hubungan kerja pertanian yang sering dijumpai di subak, meliputi sistem tolong-menolong, sistem bawon, sistem upah, sistem sewa, dan sistem sakap.

Sistem tolong-menolong di subak merupakan kegiatan antara petani dengan petani lainnya dalam melakukan suatu kegiatan di subak. Sistem tolong-menolong lebih cenderung pada sistem kekeluargaan. Timbal balik dari hubungan tolong-menolong ini tidak bersifat kekeluargaan atau tidak menentu. Tolong-tolong-menolong antar petani biasanya dilakukan dalam kegiatan mencabut dan menanam bibit, membersihkan gulma, dan membantu memanen.

Sistem bawon merupakan kegiatan bagi hasil dari proses panen antara tenaga panen dengan petani. Bawon berasal dari bahasa Jawa Nomina (kata benda) yang berarti pembagian upah memanen padi berdasarkan banyak sedikitnya padi yang dipotong (KBBI, 2012). Tenaga panen sistem bawon tidak dibayar dengan uang, namun dibayar menggunakan hasil panen itu sendiri.

Sistem upah merupakan hubungan antara petani dengan pekerja upahan yang dipekerjakan dalam membantu tugas petani. Tenaga upahan ini bekerja sesuai perintah dari petani yang mempekerjakannya. Upah yang didapat oleh


(50)

30

tenaga upahan tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Biasanya tenaga upahan ini diminta melakukan kegiatan-kegiatan seperti memanen, mencabut gulma, memperbaiki fasilitas irigasi, dan lain sebagainya.

Sistem sewa merupakan kegiatan petani yang melakukan kegiatan penyewaan dalam kegiatan usahatani. Penyewaan ini dapat berupa petani yang menyewa lahan lain yang akan dia garap sendiri. Penyewaan lahan ini biasanya dilakukan oleh petani yang ingin memperluas lahan garapannya. Selain menyewa lahan, petani juga biasanya melakukan penyewaan untuk alsinta seperti traktor. Hubungan penyewa dan pelaku yang menyewakan merupakan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Sistem sakap merupakan hubungan antara pemilik lahan dengan petani penyakap dengan pembagian hasil tertentu, sesuai kesepakatan. Sistem ini mampu menjembatani kebutuhan pemilik lahan terhadap tenaga kerja untuk mengelola lahannya dan kebutuhan terhadap lahan garapan dari kelompok petani yang tidak memiliki lahan (landless). Hubungan kerja pertanian di subak menjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.

Melaksanakan kegiata ritual di subak merupakan aktivitas yang telah melembaga di subak. Ritual keagamaan merupakan aktivitas yang sulit dipisahkan pada setiap kegiatan-kegiatan di subak. Ritual keagamaan merupakan penerapan konsep Tri Hita Karana, yang diharapkan menciptakan hubungan harmonis antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia sebagi ciptaan-Nya.


(51)

31

2.2 Alihfungsi Lahan

2.2.1 Pengertian alihfungsi lahan

Didefinisikan oleh Lestari (2009) bahwa alihfungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alihfungsi lahan mengubah fungsi lahan dari fungsi awal menjadi fungsi baru. Alihfungsi lahan juga dapat diartikan sebagai suatu pergeseran pemanfaatan lahan.

2.2.2 Faktor penyebab alihfungsi lahan

Setiap tindakan memerlukan faktor pendorong agar tindakan yang diinginkan dapat terjadi. Dikemukakan oleh Nasoetion, dkk, (2000) bahwa faktor yang berperan penting yang menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non pertanian meliputi perkembangan standar tuntutan hidup, fluktuasi harga pertanian, struktur biaya produksi pertanian, teknologi, aksesibilitas, resiko dan ketidakpastian dalam pertanian.

Alihfungsi lahan dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain yang disebabkan oleh beberapa faktor, meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Dinyatakan oleh Lestari (2009) proses alihfungsi lahan dapat terjadi karena tiga faktor, sebagai berikut.

1. Faktor eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika akibat pertumbuhan perkotaan, demografi, maupun ekonomi. Faktor eksternal


(52)

32

yang sangat dirasakan yaitu terjadinya peningkatan kebutuhan primer masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran lahan pertanian untuk dijadikan lahan lainnya, seperti pemukiman atau industri.

2. Faktor internal, yaitu faktor yang disebabkan oleh kondisi dari sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Kondisi ini biasanya muncul akibat petani merasa pekerjaan menjadi petani tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya sehingga memiliki pemikiran untuk menjual lahan yang mereka miliki.

3. Faktor kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, berkaitan dengan peraturan penggunaan lahan pertanin. Lemahnya peraturan yang mengatur fungsi dan penggunaan lahan pertanian membuat terjadinya alihfungsi lahan yang terkadang merugikan petani yang masih bertahan untuk melakukan usahatani.

2.3 Kehidupan Petani

Makna hidup menuntut keaktifan dan tanggung jawab individu untuk memenuhinya (Koswara, 1992). Makna hidup merupakan hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar sarta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Ketika berhasil menemukan dan memenuhi makna hidup, hal tersebut akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya individu yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996).


(53)

33

Petani sebagai mahkluk hidup perlu menemukan makna hidup sehingga terhindar dari keputus asaan. Kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadan seorang, keluarga atau angota masarakat tidak mempunyai kemanpuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagai mana angota lain pada umumnya (Abdulsyani 2002). Menurut Soejono (2006) terdapat faktor-faktor yang menyebabkan para petani hidup dan terperangkap di dalam garis kemiskinan, sebagai berikut.

1. Rusaknya sarana dan prasarana di daerah perdesaan. 2. Langkanya pestisida dan pupuk.

3. Para petani di daerah perdesaan masih banyak mengolah lahan pertanianya dengan peralatan yang masih tradisional.

4. Para petani kebanyakan tidak memiliki modal untuk biaya pengarapan lahan pertanian mereka.

5. Murahnya harga hasil pertanian pada saat musim panen tiba.

6. Kurangnya informasi-informasi yang mendukung guna meningkatkan mutu pertanian mereka.

7. Kebanyakan para petani di daerah perdesaan memiliki pendidikan yang rendah.

8. Masih langkanya bibit-bibit unggul yang tersedia di daerah perdesaan. 9. Langkanya teknologi yang modern di daerah perdesaan sehinga

menyulitkan para petani dalam mengakses informasi.

10. Pemerintah tidak selalu membimbing para petani miskin agar pemerintahan mengetahui perkembangan dan permasalahan yang timbul.


(54)

34

Menurut Suharto (2009) secara konseptual, kemiskinan bisa di akibatkan oleh empat faktor, sebagai berikut.

1. Faktor Individual

Faktor ini terkait dengan aspek potologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupanya.

2. Faktor Sosial

Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin, misalnya diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis yang menyebabkan orang menjadi miskin.

3. Faktor Kultur

Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjukan pada konsep kemiskinan kultural atau budaya kemiskinan yang menghubungkan kemiskinan dengan kebiasan hidup atau mentalitas.

4. Faktor Struktural.

Menunjuk pada struktur atau system yang tidak adil, tidak sensitif sehinga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.

2.4 Kerangka Pemikiran

Subak sebagai organisasi turun-temurun menaungi urusan pertanian di Bali, merupakan wadah bagi para petani di Bali. Subak sebagai suatu organisasi yang sudah lama ada di Bali memiliki norma atau kebiasaan yang terpola dan telah


(55)

35

mengakar serta diwariskan hingga menjadi suatu kelembagaan pertanian. Adanya perkembangan pariwisata dan kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat, memunculkan fenomena alihfungsi lahan khusunya alihfungsi lahan di areal subak. Fenomena ini membuat perlu melihat kembali kelembagaan yang ada di subak. Petani yang masih bertahan melakukan usahatani di subak merupakan pelaku yang paling merasakan berkurangnya lahan sawah akibat alihfungsi lahan. Dibalik fenomena alihfungsi lahan yang marak terjadi masih ada petani selaku anggota subak yang bertahan menjalankan kelembagaan yang ada di subak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberlangsungan kelembagaan di subak yang mengalami alihfungsi lahan dan untuk mengetahui kehidupan petani selaku anggota subak di daerah tujuan pariwisata yang bertahan menjalani kehidupan menjadi petani.

Subak Padang Tegal merupakan subak yang berada di daerah tujuan wisata tepatnya di Kecamatan Ubud. Berasarkan data dari Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Kecamtan Ubud, dari 2006 s.d. 2014 sebanyak enam hektar luas areal Subak Padang Tegal menghilang atau beralihfungsi. Penelitian ini akan melihat kelembagaan di Subak Padang Tegal sebagai subak yang mengalami aihfungsi lahan. Kelembagaan di Subak Padang Tegal akan dilihat dari sisi paruman, gotong-royong, hubungan kerja pertanian, dan ritual keagamaan. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan melihat kehidupan petani selaku anggota Subak Padang Tegal. Kehidupan petani selaku anggota subak akan dilihat dari segi kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Kelembagaan dan kehidupan anggota subak, dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif


(56)

36

kualitatif. Hasil dari analisis ini akan sangat berguna bagi subak dalam menghadapi fenomena alihfungsi lahan yang ada. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi Subak Padang Tegal untuk menjaga keberlangsungan kelembagaan yang ada di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3

Kerangka pemikiran Keberlangsungan Kelembagaan di subak yang Mengalami Alih Fungsi Lahan (Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud,

Kabupaten Gianyar), Tahun 2016 Simpulan

Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud

Alihfungsi Lahan

Rapat (paruman) subak

Gotong-royong

Hubungan kerja pertanian

Ritual keagamaan

Analisis Data

Kehidupan petani selaku anggotaSubak Padang

Tegal

Rekomendasi

Ekonomi Sosial


(1)

2.2 Alihfungsi Lahan

2.2.1 Pengertian alihfungsi lahan

Didefinisikan oleh Lestari (2009) bahwa alihfungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alihfungsi lahan mengubah fungsi lahan dari fungsi awal menjadi fungsi baru. Alihfungsi lahan juga dapat diartikan sebagai suatu pergeseran pemanfaatan lahan.

2.2.2 Faktor penyebab alihfungsi lahan

Setiap tindakan memerlukan faktor pendorong agar tindakan yang diinginkan dapat terjadi. Dikemukakan oleh Nasoetion, dkk, (2000) bahwa faktor yang berperan penting yang menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non pertanian meliputi perkembangan standar tuntutan hidup, fluktuasi harga pertanian, struktur biaya produksi pertanian, teknologi, aksesibilitas, resiko dan ketidakpastian dalam pertanian.

Alihfungsi lahan dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain yang disebabkan oleh beberapa faktor, meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Dinyatakan oleh Lestari (2009) proses alihfungsi lahan dapat terjadi karena tiga faktor, sebagai berikut.

1. Faktor eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika akibat pertumbuhan perkotaan, demografi, maupun ekonomi. Faktor eksternal


(2)

yang sangat dirasakan yaitu terjadinya peningkatan kebutuhan primer masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran lahan pertanian untuk dijadikan lahan lainnya, seperti pemukiman atau industri.

2. Faktor internal, yaitu faktor yang disebabkan oleh kondisi dari sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Kondisi ini biasanya muncul akibat petani merasa pekerjaan menjadi petani tidak mampu meningkatkan kesejahteraannya sehingga memiliki pemikiran untuk menjual lahan yang mereka miliki.

3. Faktor kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, berkaitan dengan peraturan penggunaan lahan pertanin. Lemahnya peraturan yang mengatur fungsi dan penggunaan lahan pertanian membuat terjadinya alihfungsi lahan yang terkadang merugikan petani yang masih bertahan untuk melakukan usahatani.

2.3 Kehidupan Petani

Makna hidup menuntut keaktifan dan tanggung jawab individu untuk memenuhinya (Koswara, 1992). Makna hidup merupakan hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar sarta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Ketika berhasil menemukan dan memenuhi makna hidup, hal tersebut akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya individu yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996).


(3)

Petani sebagai mahkluk hidup perlu menemukan makna hidup sehingga terhindar dari keputus asaan. Kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadan seorang, keluarga atau angota masarakat tidak mempunyai kemanpuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar sebagai mana angota lain pada umumnya (Abdulsyani 2002). Menurut Soejono (2006) terdapat faktor-faktor yang menyebabkan para petani hidup dan terperangkap di dalam garis kemiskinan, sebagai berikut.

1. Rusaknya sarana dan prasarana di daerah perdesaan. 2. Langkanya pestisida dan pupuk.

3. Para petani di daerah perdesaan masih banyak mengolah lahan pertanianya dengan peralatan yang masih tradisional.

4. Para petani kebanyakan tidak memiliki modal untuk biaya pengarapan lahan pertanian mereka.

5. Murahnya harga hasil pertanian pada saat musim panen tiba.

6. Kurangnya informasi-informasi yang mendukung guna meningkatkan mutu pertanian mereka.

7. Kebanyakan para petani di daerah perdesaan memiliki pendidikan yang rendah.

8. Masih langkanya bibit-bibit unggul yang tersedia di daerah perdesaan. 9. Langkanya teknologi yang modern di daerah perdesaan sehinga

menyulitkan para petani dalam mengakses informasi.

10. Pemerintah tidak selalu membimbing para petani miskin agar pemerintahan mengetahui perkembangan dan permasalahan yang timbul.


(4)

Menurut Suharto (2009) secara konseptual, kemiskinan bisa di akibatkan oleh empat faktor, sebagai berikut.

1. Faktor Individual

Faktor ini terkait dengan aspek potologis, termasuk kondisi fisik dan psikologis si miskin. Orang miskin disebabkan oleh perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupanya.

2. Faktor Sosial

Kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin, misalnya diskriminasi berdasarkan usia, jender, etnis yang menyebabkan orang menjadi miskin.

3. Faktor Kultur

Kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjukan pada konsep kemiskinan kultural atau budaya kemiskinan yang menghubungkan kemiskinan dengan kebiasan hidup atau mentalitas.

4. Faktor Struktural.

Menunjuk pada struktur atau system yang tidak adil, tidak sensitif sehinga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin.

2.4 Kerangka Pemikiran

Subak sebagai organisasi turun-temurun menaungi urusan pertanian di Bali, merupakan wadah bagi para petani di Bali. Subak sebagai suatu organisasi yang sudah lama ada di Bali memiliki norma atau kebiasaan yang terpola dan telah


(5)

mengakar serta diwariskan hingga menjadi suatu kelembagaan pertanian. Adanya perkembangan pariwisata dan kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat, memunculkan fenomena alihfungsi lahan khusunya alihfungsi lahan di areal subak. Fenomena ini membuat perlu melihat kembali kelembagaan yang ada di subak. Petani yang masih bertahan melakukan usahatani di subak merupakan pelaku yang paling merasakan berkurangnya lahan sawah akibat alihfungsi lahan. Dibalik fenomena alihfungsi lahan yang marak terjadi masih ada petani selaku anggota subak yang bertahan menjalankan kelembagaan yang ada di subak. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberlangsungan kelembagaan di subak yang mengalami alihfungsi lahan dan untuk mengetahui kehidupan petani selaku anggota subak di daerah tujuan pariwisata yang bertahan menjalani kehidupan menjadi petani.

Subak Padang Tegal merupakan subak yang berada di daerah tujuan wisata tepatnya di Kecamatan Ubud. Berasarkan data dari Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Kecamtan Ubud, dari 2006 s.d. 2014 sebanyak enam hektar luas areal Subak Padang Tegal menghilang atau beralihfungsi. Penelitian ini akan melihat kelembagaan di Subak Padang Tegal sebagai subak yang mengalami aihfungsi lahan. Kelembagaan di Subak Padang Tegal akan dilihat dari sisi paruman, gotong-royong, hubungan kerja pertanian, dan ritual keagamaan. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan melihat kehidupan petani selaku anggota Subak Padang Tegal. Kehidupan petani selaku anggota subak akan dilihat dari segi kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Kelembagaan dan kehidupan anggota subak, dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif


(6)

kualitatif. Hasil dari analisis ini akan sangat berguna bagi subak dalam menghadapi fenomena alihfungsi lahan yang ada. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi Subak Padang Tegal untuk menjaga keberlangsungan kelembagaan yang ada di Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3

Kerangka pemikiran Keberlangsungan Kelembagaan di subak yang Mengalami Alih Fungsi Lahan (Kasus Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud,

Kabupaten Gianyar), Tahun 2016 Simpulan

Subak Padang Tegal, Kecamatan Ubud

Alihfungsi Lahan

 Rapat (paruman) subak  Gotong-royong

Hubungan kerja pertanian  Ritual keagamaan

Analisis Data

Kehidupan petani selaku anggota Subak Padang

Tegal

Rekomendasi

Ekonomi Sosial