Mikropropagasi Tembesu (Fagraea Fragrans Roxb.).

MIKROPROPAGASI TEMBESU (Fagraea fragrans ROXB)

RHOMI ARDIANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Mikropropagasi Tembesu
(Fagraea fragrans Roxb.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015


Rhomi Ardiansyah
NIM E451120091

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama terkait

RINGKASAN
RHOMI ARDIANSYAH. Mikropropagasi Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.).
Dibimbing oleh SUPRIYANTO dan ARUM SEKAR WULANDARI.
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) merupakan jenis pohon yang penting
untuk furniture dan kayu konstruksi, tetapi perbanyakan jenis ini masih
menemukan masalah dalam pengadaan benih baik secara kuantitas maupun
kualitas karena tegakan sumber benihnya belum dibangun. Penanaman tembesu
hanya mengandalkan anakan alami yang jumlahnya masih terbatas. Oleh karena
itu diperlukan teknik perbanyakan tembesu dengan menggunakan metode
mikropropagasi. Tahap-tahap pada metode mikropropagasi terdiri dari seleksi
eksplan, sterilisasi eksplan, induksi dan pemanjangan tunas, dan induksi perakaran
secara in vitro dan ex vitro. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendapatkan
teknologi produksi bahan eksplan yang tepat untuk mikropropagasi tembesu, (2)
mendapatkan teknik sterilisasi explan yang tepat untuk memperoleh eksplan

aseptik, (3) mendapatkan komposisi media tumbuh yang tepat pada induksi tunas
tembesu secara in vitro, (4) mendapatkan dosis arang aktif yang tepat untuk
pertumbuhan akar planlet secara in vitro, dan (5) mendapatkan zat pengatur
tumbuh (ZPT) yang tepat untuk induksi perakaran tembesu secara ex vitro.
Penelitian ini dilakukan di Tissue Culture Laboratory, Rumpin Seed Source and
Nursery Center, Kementerian Kehutanan, Bogor. Metode yang digunakan pada
penelitian ini meliputi produksi bahan eksplan, sterilisasi eksplan, induksi tunas,
pemanjangan tunas, dan induksi perakaran secara in vitro dan ex vitro. Perlakuan
pada tahap produksi bahan eksplan (kebun pangkas) adalah kombinasi antara
pemupukan dan pelengkungan. Tahap sterilisasi eksplan menggunakan larutan
natrium hipoklorit 0.5% (v/v) dengan berbagai waktu perendaman (5, 10, 15, dan
20 menit). Induksi tunas dilakukan dengan menggunakan media MS, MS
modifikasi, dan MS dengan tambahan air kelapa muda 15% yang dikombinasikan
dengan ZPT BAP 1.5 ppm. Pemanjangan tunas dan perakaran secara in vitro
menggunakan media ½ MS yang ditambahkan dengan arang aktif 1 g/L dan 2 g/L.
Induksi perakaran secara ex vitro dilakukan dengan menggunakan ZPT bubuk
(Rootone F) sebagai ZPT sintetik dan air kelapa muda 100% sebagai ZPT alami.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pelengkungan atau pemupukan
dapat meningkatkan produksi bahan eksplan terbanyak untuk mikropropagasi
tembesu. Eksplan yang direndam dengan natrium hipoklorit 0.5% (v/v) selama 15

dan 20 menit menghasilkan eksplan aseptik tertinggi dengan persentase hidup
sebanyak 26.67% dan 33.3%. Kombinasi perlakuan antara BAP 1.5 ppm dengan
media MS dan MS modifikasi merupakan media kultur terbaik untuk induksi
tunas tembesu dengan menghasilkan 8.67 tunas/eksplan dan 11.86 tunas/eksplan.
Media ½ MS tanpa penambahan arang aktif dapat digunakan untuk pemanjangan
tunas, 11.33 mm, dan induksi perakaran secara in vitro, 11.11%. Induksi akar
secara ex vitro dengan menggunakan ZPT Rootone F menghasilkan persentase
tumbuh dan berakar sebanyak 93.33% dan 50% sedangkan dengan air kelapa
muda menghasilkan planlet yang berakar sebanyak 33.33%.
Kata kunci: Fagraea fragrans, teknik perbanyakan, metode mikropropagasi

SUMMARY
RHOMI ARDIANSYAH. Micropropagation of Tembesu (Fagraea fragrans
Roxb.). Supervised by SUPRIYANTO and ARUM SEKAR WULANDARI.
Tembesu (Fragraea fragrans Roxb) is important tree species for furniture
and wood construction due to its decorative structure and durability, but its
propagation is facing to the problems on seed availability either quantitatively or
qualitatively due to lack of seed sources. Tembesu plantation commontly use the
seedlings coming from natural regeneration. Therefore, it is necessary to develop
a propagation technique using micropropagation techniques.The steps of

micropropagation method includes explant production and selection, sterilization,
shoot induction and elongation, and root induction, both in vitro and ex vitro
conditions. The objectives of this research were (1) to find out the production
technology of explant for micropropagation of tembesu, (2) to find out the best
method for explant sterilization in micropropagation of tembesu, (3) to find out
the apropriate growth medium composition for shoot induction of tembesu in in
vitro condition, (4) to find out the best activated charcoal amendement for root
induction in Tembesu plantlets, and (5) to find out the appropriate plant growth
regulator for rooting induction of tembesu in ex vitro conditions. Research was
conducted at Tissue Culture Laboratory, Rumpin Seed Source and Nursery
Center, The Ministry of Forestry, Bogor. Methods used in this research consisted
of explant production and preparation, sterilization, shoot inductions, shoot
elongation, rooting induction either in in vitro or ex vitro conditions. Combination
treatments of banding and fertilization were use for explant production. Sodium
hypochlorites 0.5% (v/v) in various durations (5, 10, 15, and 20 minutes) were
used for explant sterilization. Shoot induction was done in MS0 medium, MS
modified medium, and MS added with 15% coconut water combined with 1.5
ppm of BAP. Shoot elongation and in vitro root induction were done using a halfstrength MS medium, and half-strength MS medium that were added with
activated charcoal at 1 g/L and 2 g/L. Ex vitro root induction were done using
plant growth regulation (PGR) powder (Rootone F) as sinthetic PGR and coconut

water 100% as natural PGR. The result showed that fertilizer and banding
treatment produced the most numerous explant materials that can be used for
tembesu micropropagation. Explants that soaked in sodium hypochlorite 0.5%
(v/v) within 15 and 20 minutes produced the highest aseptic explant amounting to
26.67 % and 33.3%, respectively. Combination treatment between BAP 1.5 ppm
with MS and MS modified medium was the most favorable culture medium for
shoot induction of tembesu and produced 8.67 shoots/explant and 11.86
shoots/explant. A half strength MS added without adding activated charcoal is
recommended for shoot elongation, 11.33 mm in shoot length, and root induction
in in vitro, 11.11% in rooting. Root induction in ex vitro condition using Rootone
F as synthetic PGR produced 93.33% growth percentage and 50% rooting, while
the coconut milk produced 33.33 % rooting.
Keyword: Fagraea fragrans, propagation technique, micropropagation method

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

MIKROPROPAGASI TEMBESU (Fagraea fragrans ROXB)

RHOMI ARDIANSYAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ervizal A. M. Zuhud, MS


Judul Tesis
Nama
NIM

: Mikropropagasi Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.)
: Rhomi Ardiansyah
: E451120091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Supriyanto
Ketua

Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 19 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014
ini ialah perbanyakan tanaman hutan, dengan judul Mikropropagasi Tembesu
(Fagraea fragrans Roxb.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Supriyanto dan Dr Ir Arum
Sekar Wulandari, MS selaku dosen pembimbing atas segala ilmu dan

bimbingannya selama ini dan dengan sangat sabar membimbing penulis. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ir Benny Subandi, MSc
selaku Project Director of Rumpin Seed Source and Nursery Center yang telah
memberikan banyak masukan pada penelitian ini dan memberikan kesempatan
pada penulis untuk melakukan penelitian pada instansi yang dipimpinnya, dan
Yuli Fitriani, S.Hut dan seluruh staff Rumpin Seed Source and Nursery Center
atas semua saran pada penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kehutanan di masa yang akan datang.

Bogor, Februari 2015

Rhomi Ardiansyah

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL


xii

DAFTAR GAMBAR

xii

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
2 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan
Alat

Prosedur Kerja
3 HASIL
Teknik Produksi Bahan Eksplan
Sterilisasi Eksplan
Tahap Elongasi dan Induksi Perakaran In Vitro
Induksi Perakaran Secara Stek Pucuk
4 PEMBAHASAN
Teknik Produksi Bahan Eksplan
Sterilisasi Eksplan
Induksi Tunas/Multiplikasi
Elongasi dan Induksi Perakaran Secara In Vitro
Induksi Perakaran Secara Ex Vitro (Stek Pucuk)
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

1
4
4
6
6
6
6
6
7
7
7
12
12
15
21
24
27
27
30
31
35
36
38
38
38

DAFTAR PUSTAKA

39

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil perlakuan pemupukan dan pelengkungan terhadap panjang tunas, jumlah
tunas, jumlah daun, dan warna daun pada bibit tembesu
13
2 Pengaruh durasi waktu perendaman eksplan dalam larutan natrium hipoklorit
0.5% (v/v) terhadap persentase eksplan hidup, kontaminasi, dan pencokelatan
pada eksplan tembesu
16
3 Pengaruh komposisi media tumbuh terhadap jumlah tunas, panjang tunas,
jumlah daun dan warna daun pada mikropropagasi tembesu
17
4 Pengaruh perlakuan penambahan arang aktif terhadap panjang tunas,
persentase berakar, jumlah akar, jumlah tunas, jumlah daun, dan warna daun
22
5 Pengaruh ZPT terhadap persentase hidup, persentase hidup berakar, jumlah
tunas, jumlah pucuk, panjang pucuk, jumlah daun, dan warna daun stek
tembesu
25
6 Kandungan hormon yang terdapat pada air kelapa muda
36

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

4
5

6
7
8
9
10
11
12
13

14

15

Halaman
Kerangka pemikiran penelitian (garis putus-putus: ruang lingkup penelitian)
5
Regresi hubungan antara jumlah tunas dengan panjang tunas pada produksi
bahan eksplan
13
Pola pertumbuhan bibit tembesu: a. dipupuk, dilengkungkan, b. tidak dipupuk,
dilengkungkan, c. dipupuk, dilengkungkan, d. tidak dipupuk, tidak
dilengkungkan
14
Ilustrasi struktur daun tembesu dan pola pertumbuhan tunas: a. diagram daun,
b. pola pertumbuhan tunas pada perlakuan pemangkasan, dan c. pelengkungan
15
Eksplan tembesu hasil sterilisasi; (a) eksplan terkontaminasi fungi, (b) awal
munculnya kontaminasi pada bagian pucuk eksplan, (c) eksplan
terkontaminasi bakteri, dan (d) fungi yang tumbuh pada lokasi bakteri
16
Regresi hubungan jumlah tunas dengan panjang tunas pada kondisi in vitro
18
Pertumbuhan tunas yang terdapat pada daun pada awal dan akhir pengamatan;
a. perlakuan MS+BAP, b. Perlakuan MS-mod+BAP
18
Organogenesis tunas adventif dari kalus tembesu: a. kalus pada eksplan, b.
kalus irisan melintang, c. tunas irisan melintang
19
Stomata pada daun tembesu: a. sumber eksplan, b. hasil mikropropagasi
20
Pertumbuhan eksplan pada perlakuan MS+CW 15%+BAP 1.5 ppm
21
Regresi hubungan antara panjang tunas dengan jumlah tunas pada tahap
elongasi dan induksi perakaran secara in vitro
22
Pertumbuhan pemanjangan tunas pada berbagai dosis arang aktif: a. kontrol, b.
arang aktif 1 g/L, c. arang aktif 2 g/L
23
Pertumbuhan akar pada induksi perakaran secara in vitro: a. dan b.
pertumbuhan perakaran tampak bawah, c. pertumbuhan perakaran tampak
samping, d. irisan melintang pada titik tumbuh perakaran
24
Pola pertumbuhan akar pada planlet tembesu: a. pertumbuhan akar pada
perlakuan Rootone F, b. pertumbuhan perakaran pada perlakuan perendamana
air kelapa muda
26
Pola pertumbuhan perakaran tembesu: a. bentuk perakaran, b. titik tumbuh
akar, c. irisan membujur pada bagian titik tumbuh akar
27

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Deforestasi yang terjadi di dalam dan di luar kawasan hutan periode tahun
2009–2010 mencapai angka 0.83 juta ha. Deforestasi terbesar di Indonesia terjadi
di Pulau Sumatera dan Kalimatan dengan total luasan masing-masing 0.41 juta ha
dan 0.33 juta ha (Kemenhut 2012). Deforestasi tersebut terjadi karena beberapa
faktor, seperti perluasan lahan pertanian, penebangan kayu, dan pembangunan
infrastruktur (pembangunan jalan) perubahan fungsi kawasan (APL), dan
kebakaran hutan (Sumergo et al. 2011). Hal ini dapat berakibat hilangnya habitat
asli serta jenis-jenis flora yang ada di lokasi tersebut, termasuk jenis tembesu.
Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) merupakan jenis pohon lokal yang
tumbuh dan tersebar di daerah Jambi, Sumatera Selatan, Lampung (Asmaliyah et
al. 2012) dan Kalimantan Barat (Rosalia 2008). Jenis ini mempunyai keunggulan
dari sisi ekologi dan ekonomi (Asmaliyah et al. 2012). Secara ekologi, tembesu
merupakan jenis tanaman pionir yang dapat tumbuh di areal bekas terbakar dan
padang rumput, sedangkan secara ekonomi kayu tembesu dapat digunakan untuk
kayu konstruksi bangunan, jembatan, tiang listrik, dan furniture serta bagian kulit
batang dan daun dari jenis ini dapat digunakan sebagai obat-obatan (Putra et al.
2011). Kayu tembesu memiliki kelas awet I dan kelas kuat I-II (Martawijaya et al.
1992).
Hingga tahun 2011, permintaan kayu tembesu, khususnya di Kota
Palembang, Sumatera Selatan, mencapai 3 120 m3 per tahun (Sofyan et al. 2013).
Potensi total kayu tembesu di alam, untuk diameter ≥ 40 cm sebesar 38.84 m3/ha.
Pohon tembesu termasuk jenis yang tingkat kerapatan jenisnya rendah yaitu 16.25
individu/ha (Rosalia 2008). Hal ini yang menyebabkan suplai bahan baku kayu
tembesu sangat sulit diperoleh sehingga penggunaan kayu tembesu sangat
berkurang dan akhirnya digantikan oleh jenis-jenis kayu lainnya dengan kualitas
di bawah kayu tembesu seperti medang batu, gerunggang, dan malabira (Sofyan et
al. 2013). Sulitnya mendapatkan bahan baku kayu tembesu diakibatkan karena
terjadinya eksploitasi yang berlebihan yang tidak diikuti dengan kegiatan
penanaman.
Sampai saat ini, di Kalimantan Barat, tembesu secara intensif dieksploitasi,
sebagai akibat tingginya permintaan kayu tembesu (Anshari 2006). Kegiatan
eksploitasi tembesu yang tidak diimbangi dengan kegiatan penanaman membuat
regenerasi tembesu semakin berkurang dan ketersediaan benih menjadi terbatas
(Sofyan dan Muslimin 2007). Hasil penelitian tingkat regenerasi tembesu di
Taman Nasional Danau Sentarum, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, menunjukkan
kerapatan tembesu pada tingkat semai sebesar 2.5 individu/ha, pancang 8.75
individu/ha, tiang 5.62 individu/ha, dan pohon 16.25 individu/ha (Rosalia 2008).
Jumlah individu tembesu tingkat semai yang rendah menunjukkan bahwa tembesu
memiliki kemampuan regenerasi yang rendah.
Selain rendahnya tingkat regenerasi tembesu di alam, berkurangnya tegakan
tembesu di alam yang menghasilkan benih yang berkualitas sebagai sumber benih
akibat eksploitasi, menjadi kendala yang dihadapi dalam pengadaan benih dan
bibit tembesu sementara kebutuhan kayu tembesu semakin meningkat. Benih

2
tembesu yang baik dapat diperoleh dari tegakan yang telah memenuhi syarat yaitu
sehat dan cukup umur (>50 tahun) (Buharman et al. 2011). Sementara itu, untuk
keperluan kegiatan rehabilitasi dan penanaman dibutuhkan bibit dalam jumlah
besar, berkualitas, seragam, dan tepat waktu.
Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik perbanyakan vegetatif untuk
mengatasi permasalah persediaan bibit yang siap tanam. Perbanyakan vegetatif
memiliki kelebihan karena semua karakteristik tanaman induk dapat diturunkan
sepenuhnya ke anakan melalui duplikasi yang tepat dari sistem kromosom yang
berlangsung selama pembelahan sel (Hartmann dan Kester 1959).
Sampai saat ini, perbanyakan vegetatif jenis tembesu dilakukan melalui stek
batang dengan persentase keberhasilannya sebesar 92% (Sofyan dan Muslimin
2007) sedangkan perbanyakan secara kultur jaringan masih terbatas antara lain
oleh Lee dan Rao (1986) yang menggunakan media Murashige dan Skoog (MS)
dengan tambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) BAP 8.8 µM dan 2,4-D 0.5 µM
menghasilkan tunas adventif yang tumbuh dari kultur in vitro, namun teknik
perbanyakan kultur jaringan jenis ini tidak dijelaskan secara rinci. Untuk itu
pengembangan tembesu melalui mikropropagasi diharapkan dapat menghasilkan
tunas aksilar lebih banyak dan memiliki stabilitas genetik yang tetap.
Pada kegiatan perbanyakan tanaman secara vegetatif, ketersedian sumber
eksplan dalam jumlah banyak dan tepat waktu sangat dibutuhkan. Ketersediaan
sumber eksplan ini harus berkelanjutan dan dapat memenuhi kriteria eksplan yang
dibutuhkan antara lain dengan membuat kebun pangkas. Tujuan dari pembuatan
kebun pangkas sebagai sumber eksplan adalah untuk memproduksi bahan eksplan
yang bersifat juvenil dalam jumlah yang memadai. Perbanyakan tanaman
menggunakan bahan tanam juvenil memiliki tingkat keberhasilan yang lebih
tinggi daripada bahan tanam yang sudah tua. Jaringan tanaman juvenil memiliki
sel-sel yang mudah membelah sedangkan sel-sel pada jaringan tanaman tua
memiliki dinding sel yang lebih liat. Selain itu juga, untuk membebaskan tanaman
induk dari hama dan penyakit diperlukan kegiatan karantina tanaman indukan
dengan cara penyemprotan pestisida secara teratur. Hal ini dapat mengurangi
kemungkinan kegagalan pertumbuhan tanaman pada saat kegiatan perbanyakan,
baik dengan metode stek ataupun mikropropagasi. Bahan tanaman yang tumbuh
dari tanaman induk diharapkan bebas dari hama dan penyakit, sehingga, ketika
diperbanyak, klon dapat tumbuh dengan baik.
Mikropropagasi merupakan suatu bentuk aplikasi teknik kultur jaringan
yang bertujuan untuk perbanyakan tanaman. Teknik mikropropagasi dimulai dari
bagian tanaman yang terorganisasi, sering kali berupa mata tunas, yang
selanjutnya proses kultur dilakukan dengan memelihara organisasi jaringan sambil
mengarahkan pertumbuhan ke arah penggandaan dan regenerasi tanaman lengkap
(Zulkarnain 2011). Keuntungan mikropropagasi dibandingkan dengan propagasi
benih konvensional adalah memungkinan multiplikasi tanaman secara klonal
dengan genotipe yang diharapkan. Salah satu keuntungan yang paling penting dari
teknik mikropropagasi adalah dapat menghasilkan suatu varietas baru ke pasaran
lebih cepat dari metode perbenihan konvensional. Hasil dari produk, seperti kayu,
buah, dan minyak, lebih tinggi dari material klonal. Beberapa hasil pekerjaan
menunjukkan lebih dari 60 000 planlet dapat dihasilkan dari satu tunas dalam
waktu lebih dari 8 bulan periode kultur (Dodds 1983).

3
Ada tiga teknik mikropropagasi yang sering digunakan untuk produksi bibit
tanaman yaitu kultur tunas, organogenesis, dan embriogenesis somatik. Kultur
tunas adalah perbanyakan tanaman dengan cara merangsang (proliferasi)
pertumbuhan tunas aksilar atau lateral yang sudah ada pada eksplan. Umumnya
ada empat tahap dalam teknik kultur tunas, antara lain tahap induksi tunas,
multiplikasi tunas, induksi perakaran, dan aklimatisasi. Pada saat ini teknik
mikropropagasi yang sering digunakan untuk produksi bibit secara komersial
adalah teknik kultur tunas (Sulistiani dan Yani 2012). Tingkat keberhasilan
metode mikropropagasi sangat ditentukan oleh tahapan yang ada di dalamnya,
seperti seleksi eksplan, sterilisasi eksplan dan lingkungan kerja, induksi tunas dan
perakaran. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dan
menganalisis teknik dan metode rinci dari setiap tahapan mikropropagasi tembesu.
Eksplan yang digunakan pada teknik mikropropagasi harus bebas dari
kontaminan, seperti fungi dan bakteri. Teknik sterilisasi permukaan adalah teknik
yang banyak digunakan untuk menghilangkan kontaminan yang terdapat pada
permukaan eksplan. Selama proses sterilisasi, eksplan harus tetap hidup dan hanya
kontaminan yang dieliminasi (Oyebanji et al. 2009). Sterilisasi permukaan
dilakukan dengan merendam eksplan dalam larutan disinfektan dengan
konsentrasi tertentu selama periode tertentu.
Sterilan, atau disinfektan, yang biasa digunakan untuk sterilisasi permukaan
eksplan adalah natrium hipoklorit (NaOCl) atau kalsium hipoklorit (Ca[OCl]2)
(Dodds dan Roberts 1985). Senyawa hipoklorit sangat efektif dalam mengurangi
kontaminasi pada teknik mikropropagasi (Bhojwani dan Razdan 1996; Oyebanji
et al. 2009). Penggunaan Ca(OCl)2 atau NaOCl mempunyai kelebihan dan
kekurangan dan memberikan hasil yang berbeda untuk setiap jenis eksplan yang
digunakan. Sterilan Ca(OCl)2 memiliki pH yang stabil namun dapat merusak
jaringan pada bagian eksplan yang dipotong sedangkan NaOCl memiliki pH yang
tidak stabil, bersifat toksik, namun tidak merusak jaringan. Sterilan NaOCl
digunakan sebagai sterilan dalam berbagai teknik sterilisasi eksplan dengan
konsentrasi dan waktu perendaman yang berbeda (Dumani et al. 2007; Khan et al.
2007; Peiris et al. 2012; Goswami dan Handique 2013; Olowe et al. 2014).
Eksplan yang aseptik, bebas dari kontaminan fungi dan bakteri, merupakan
persyaratan utama dalam kegiatan mikropropagasi.
Keberhasilan induksi tunas juga dipengaruhi oleh komposisi media kultur
yang digunakan. Umumnya media kultur yang ditujukan untuk induksi tunas
menggunakan penambahan ZPT yang mengandung hormon sitokinin yang
dikombinasikan dengan ZPT yang mengandung hormon auksin dengan rasio yang
tepat. Hormon sitokinin eksogen yang paling banyak digunakan pada
mikropropagasi adalah kinetin dan benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin.
Kinetin dan benziladenin merupakan ZPT sitokinin sintetik yang biasanya lebih
aktif daripada zeatin (Salisbury dan Ross 1995). Pada kultur in vitro, tipe
morfogenesis tergantung rasio serta kondisi auksin dan sitokinin, seperti yang
disebutkan di atas. Inisiasi akar, embriogenesis, dan induksi pembentukan kalus
umumnya terjadi apabila terdapat rasio tinggi antara auksin dan sitokinin,
sedangkan poliferasi tunas adventif dan tunas aksilar terjadi apabila rasio tersebut
rendah (Zulkarnain 2011). Penentuan konsentrasi ZPT pada media kultur
mempengaruhi tingkat keberhasilan proliferasi tunas pada metode

4
mikropropagasi. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap keberhasilan induksi
perakaran planlet, baik secara in vitro maupun ex vitro.
Pertumbuhan tunas pada pasca induksi tunas dengan menggunakan zat
pengatur tumbuh biasanya akan mengalami penghambatan dalam hal
pemanjangan tunas, terutama jika menggunakan ZPT benzilaminopurin (BAP).
Zat pengatur tumbuh BAP dapat menghambat pemanjangan tunas walaupun ini
merupakan proses yang berbeda (George et al. 2008). Pada teknik
mikropropagasi, penggunaan ZPT yang mengandung hormon sitokinin sintetik,
khususnya BAP, sering ditambahkan pada media kultur untuk merangsang induksi
tunas. Tunas yang muncul dapat berupa tunas aksilar dan/atau adventif. Namun,
tunas yang tumbuh memiliki ukuran yang kecil akibat penghambatan oleh ZPT
BAP (Ali 2009; Namh et al. 2010; Machado et al. 2011; Boga et al. 2012). Untuk
mengurangi pengaruh hormon sitokinin eksogen, dalam hal ini ZPT BAP,
dilakukan pemindahan planlet ke media pemanjangan tanpa tambahan ZPT.
Pengaruh hormon sitokinin di dalam planlet dapat dikurangi dengan menggunakan
arang aktif yang ditambahkan ke dalam media kultur. Arang aktif merupakan
penyerap yang kuat. Arang aktif juga dapat menurunkan konsentrasi zat pengatur
tumbuh dan suplemen organik lainnya yang terdapat di dalam media kultur
jaringan (Ahmadian et al. 2013).
Perumusan Masalah
Deforestasi di Indonesia paling besar terjadi di Kalimantan dan Sumatera
yang merupakan daerah persebaran alami jenis tembesu. Hal ini menyebabkan
sulit ditemukannya jenis tembesu di alam. Pembiakan jenis tembesu menggunakan
benih memiliki masalah dalam hal mendapatkan sumber benih karena benih
tembesu yang baik adalah benih yang berasal dari pohon yang berumur di atas 50
tahun. Konsekuensinya, sulit mendapatkan benih yang baik dan memiliki
viabilitas yang tinggi dalam kegiatan pembibitannya. Untuk itu perlu adanya suatu
teknik perbanyakan jenis tembesu melalui teknik mikropropagasi. Permasalahan
yang akan dijawab pada penelitian ini antara lain:
1. Apakah dengan teknik pelengkungan dan pemupukan pada tahap produksi
eksplan tembesu dapat meningkatkan produksi bahan eksplan dalam jumlah
yang memadai?
2. Apakah dengan perlakuan perendaman eksplan dalam larutan NaOCl dapat
meningkatkan jumlah eksplan aseptik dengan persentase yang tinggi?
3. Apakah perlakuan hormon sitokinin dengan menggunakan ZPT BAP dapat
meningkatkan perbanyakan tunas dan pertumbuhan plantlet hasil
mikropropagasi?
4. Apakah penambahan arang aktif dapat meningkatkan pemanjangan planlet dan
induksi perakaran secara in vitro?
5. Apakah perlakuan hormon auksin sintetik dan alami dapat meningkatkan
persentase perakaran planlet tembesu secara ex vitro?
Kerangka Pemikiran
Jenis tembesu terdapat di ekosistem hutan rawa air tawar dan tanah kering
(Rosalia 2008). Kondisi persebarannya di alam mengalami kemunduran yang
diakibatkan oleh kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan. Jika kondisi ini terus
menerus terjadi tanpa ada suatu tindakan preventif maka akan terjadi kepunahan

5
jenis tembesu dan rusaknya habitat asli dari jenis ini. Kondisi tersebut
memerlukan suatu strategi pembiakan bibit tembesu agar ketersediaan bibit
tembesu yang berkualitas dan tersedia dalam jumlah yang memadai dapat terjaga.
Pembiakan tembesu dapat dilakukan dengan benih, stek batang, dan stek pucuk.
Tingkat keberhasilan teknik perbanyakan jenis tembesu sampai sekarang ini masih
belum memuaskan sehingga perlu adanya teknik perbanyakan yang dapat
meningkatkan ketersediaan bibit tembesu, antara lain dengan teknik
mikropropagasi.
Teknik mikropropagasi memiliki tiga teknik, yaitu kultur tunas,
organogenesis, dan embriogenesis somatik. Teknik kultur tunas adalah yang
paling sering digunakan dalam kegiatan perbanyakan tanaman hutan dengan
metode mikropropagasi. Pada teknik ini terdapat lima tahapan, yaitu produksi
bahan eksplan, sterilisasi, induksi/multiplikasi tunas, elongasi tunas, dan induksi
perakaran planlet. Setiap tahapan memiliki metode dan perlakuan tertentu yang
dapat mendukung pertumbuhan tembesu. Teknik perbanyakan ini akan
menghasilkan bibit-bibit tembesu dalam jumlah yang banyak yang nantinya dapat
digunakan untuk kegiatan penanaman dan rehabilitasi (Gambar 1).
Eksploitasi pohon
tembesu di alam
Menurunnya keberadaan
jenis tembesu alami
Kegiatan penanaman dan rehabilitasi
Kegiatan budidaya
Perbanyakan jenis tembesu

Generatif
Perbenihan

Organogenesis

Produksi
bahan eksplan

Sterilisasi

Eksplan

Eksplan aseptik

Vegetatif
Mikropropagasi

Kultur tunas

Induksi tunas
(Multiplikasi)
Planlet

Stek dan
lain-lain
Embriogenesis
somatik

Elongasi

Induksi
perakaran
Bibit tembesu

.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian (garis putus-putus: ruang lingkup
penelitian)

6
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan teknik
perbanyakan jenis tembesu (F. fragrans) dengan metode mikropropagasi. Tujuan
khusus dari penelitian ini antara lain untuk:
(1) Mendapatkan teknologi produksi bahan eksplan yang tepat untuk
mikropropagasi tembesu,
(2) Mendapatkan teknik sterilisasi eksplan yang tepat untuk memperoleh
eksplan aseptik,
(3) Mendapatkan komposisi media tumbuh yang tepat pada induksi tunas
tembesu secara in vitro,
(4) Mendapatkan dosis arang aktif yang tepat untuk pemanjangan tunas dan
pertumbuhan akar planlet secara in vitro,
(5) Mendapatkan zat pengatur tumbuh (ZPT) yan tepat untuk induksi perakaran
tembesu secara ex vitro.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk kegiatan
perbanyakan tembesu (F. fragrans) dan dapat bermanfaat untuk kegiatan
penanaman dan rehabilitasi serta dapat mendukung ekonomi masyarakat
pengguna tembesu.
Hipotesis
Pada penelitian ini terdapat lima hipotesis yang digunakan, yaitu:
1. Penggunaan metode pemupukan dan pelengkungan berpengaruh terhadap
produksi bahan eksplan untuk mikropropagasi tembesu.
2. Sterilisasi eksplan menggunakan larutan natrium hipoklorit (NaOCl) dengan
konsentrasi 0.5% (v/v) berpengaruh terhadap persentase eksplan tembesu
aseptik.
3. Penambahan ZPT BAP pada media kultur MS berpengaruh terhadap
pertumbuhan tunas pada eksplan tembesu di dalam botol kultur.
4. Penambahan arang aktif pada media kultur pada tahap elongasi berpengaruh
terhadap pertumbuhan panjang tunas planlet tembesu dan induksi perakaran
secara in vitro.
5. Penggunaan Rootone F dan air kelapa muda berpengaruh terhadap induksi
perakaran tembesu secara ex vitro.

2 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Tissue Culture Laboratory, Rumpin Seed Source
and Nursery Center, Kementerian Kehutanan, Bogor. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Februari sampai dengan Juni 2014.

7
Bahan
Bahan yang digunakan untuk tahap produksi eksplan yaitu bibit tembesu
dengan ukuran 20–50 cm, fungisida sistemik (benomil 50.4%), bakterisida
sistemik (streptomisin sulfat 20%), insektisida (imidakloprid 5%), dan pupuk
tunggal Urea, TSP, dan KCl. Bahan yang digunakan untuk tahap sterilisasi
eksplan yaitu eksplan bagian tunas aksilar dan tunas lateral (2–3 cm), fungisida
kontak (propineb 70%), bakterisida (streptomisin sulfat 6.41%), akuades steril,
deterjen, tween 20, dan NaOCl 0.5% (v/v). Bahan yang digunakan untuk
pembuatan media yaitu stok media MS (Murashige dan Skoog), agar-agar, gula
pasir, air steril, arang aktif, air kelapa muda, dan ZPT BAP (Benzilaminopurin).
Bahan yang digunakan untuk tahap induksi perakaran ex vitro yaitu planlet
tembesu, media tanam cocopeat dan sekam bakar dengan rasio 2:1 (v/v) zeolit,
Rootone F, dan air kelapa muda.
Alat
Alat yang digunakan pada tahap produksi eksplan yaitu polibag, sprayer,
dan gunting stek. Pada pembuatan media, alat yang digunakan yaitu labu
erlenmeyer, gelas ukur, pipet volumetrik, neraca analitik (ketelitian 0.001 g), pH
meter, oven, automatic media dispenser electric, dan autoklaf. Alat-alat yang
digunakan pada tahap sterilisasi eksplan, induksi tunas, elongasi, dan induksi
perakaran secara in vitro yaitu laminar air flow, cawan petri, tabung kultur, rak
tabung kultur, rak kultur, alumunium foil, stopwatch, plastik wrap, dan
handsprayer. Alat untuk induksi perakaran ex vitro yaitu bak plastik, gelas ukur,
dan gunting stek.
Prosedur Kerja
Ada lima tahapan prosedur kerja yang dilaksanakan pada penelitian ini,
yaitu tahap produksi bahan eksplan (kebun pangkas), sterilisasi eksplan, induksi
tunas/multiplikasi, elongasi dan induksi perakaran secara in vitro, dan induksi
perakaran secara ex vitro (stek pucuk). Data yang diperoleh dan dievaluasi di
setiap tahapan didapatkan teknik yang tepat untuk mikropropagasi tembesu.
Tahap produksi bahan eksplan (kebun pangkas)
Pada tahapan ini dilakukan persiapan kebun pangkas sebagai sumber
eksplan tembesu. Indukan yang dipersiapkan adalah bibit tembesu dengan tinggi
20–50 cm, batang belum berkayu, dan memiliki pertumbuhan yang baik. Bibit
hasil seleksi kemudian dipindahkan ke rumah kaca untuk dikarantina. Kegiatan
karantina dilakukan selama 8 minggu. Bibit juga diberikan pupuk tunggal urea,
TSP, dan KCl dengan rasio pemberian 4:2:3 (g/g/g) pada awal karantina.
Tanaman indukan disemprot dengan fungisida dan bakterisida sebanyak 1–3 g/L
dengan jarak aplikasi 14 hari sekali. Penyemprotan menggunakan insektisida juga
dilakukan sebanyak 1 mL/L dengan jarak aplikasi 14 hari sekali. Hal ini dilakukan
supaya bibit pada saat karantina dapat tumbuh dengan baik dan bebas dari hama
dan penyakit, dan mengurangi kegagalan dan kontaminasi bakteri dan fungi pada
saat penanaman di media kultur. Untuk memperbanyak tunas sebagai sumber
eksplan, dilakukan metode pemangkasan dan pelengkungan. Metode

8
pemangkasan dilakukan dengan memotong bagian tunas apikal yang bertujuan
untuk membentuk tunas lateral yang bersifat plagiotrop sehingga pada satu bibit
dapat diperoleh lebih dari satu tunas. Metode berikutnya dilakukan dengan
pelengkungan yaitu dengan cara memangkas tunas apikal bibit kemudian bibit
dilengkungkan dan dilakukan pemangkasan beberapa daun pada bibit agar dapat
membentuk tunas-tunas aksilar yang bersifat ortotrop.
Pada tahap ini, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dua faktor yaitu pemupukan (dipupuk dan tidak dipupuk) dan pelengkungan
(dilengkungkan dan tidak dilengkungkan). Kombinasi perlakuan yang terdiri dari:
dipupuk dilengkungkan (P1L1), dipupuk tidak dilengkungkan (P1L0), tidak
dipupuk dilengkungkan (P0L1), dan tidak dipupuk tidak dilengkungkan (P0L0).
Setiap perlakuan terdiri atas 3 ulangan dengan setiap ulangan terdiri atas 5 bibit.
Total bibit adalah 2x2x3x5=60 bibit.
Pengamatan dilakukan selama 8 minggu. Parameter yang diamati antara lain
panjang tunas, jumlah tunas, jumlah daun, dan warna daun. Panjang tunas
merupakan selisih antara panjang tunas di akhir pengamatan dengan di awal
pengamatan. Jumlah tunas merupakan selisih jumlah tunas di akhir pengamatan
dan di awal pengamatan. Jumlah daun merupakan total jumlah daun yang terdapat
pada objek pengamatan. Warna daun merupakan pengukuran warna daun
menggunakan BWD dengan skala 1–6 (Ardiyani dan Arimarsetiowati 2012). Data
kemudian dianalisis menggunakan software Microsoft Excel, dan SAS Version 9.1.
Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda
Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2000).
Tahap sterilisasi
Proses sterilisasi dalam kegiatan mikropropagasi terdiri atas sterilisasi
lingkungan kerja, sterilisasi alat dan medium kultur, serta sterilisasi eksplan.
Sterilisasi lingkungan kerja untuk kultur in vitro terdiri atas lingkungan umum
(ruang transfer secara keseluruhan) dan lingkungan khusus (lingkungan di dalam
laminar air flow cabinet). Alat-alat kerja yaitu pinset, skalpel, gunting, dan tabung
kultur dicuci menggunakan deterjen sampai bersih kemudian dikeringkan. Alatalat tersebut dibungkus menggunakan kertas koran kemudian disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121–126 ⁰C dan tekanan 1.5 atm selama 1 jam.
Alat-alat yang telah disterilisasi kemudian dimasukkan ke dalam laminar air flow
cabinet untuk disinari ultraviolet (UV). Sterilisasi pada laminar air flow cabinet
yaitu dengan menyemprot permukaan meja kerja dengan alkohol 70% dan
menghidupkan blower pada laminar air flow cabinet. Lampu ultraviolet dalam
laminar air flow cabinet dinyalakan selama 1–2 jam sebelum dilakukan kegiatan
di laminar air flow cabinet, ini bertujuan untuk mengurangi kontaminan di tempat
kerja. Pinset dan mata pisau yang digunakan pada proses inisiasi dicelupkan ke
dalam alkohol 70% dan dibakar di atas api bunsen sebelum kegiatan pemotongan
dan penanaman eksplan.
Media kultur yang digunakan disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu
121–126 ⁰C dengan tekanan 1.5 atm selama 20–40 menit. Untuk mengetahui
perubahan atau kontaminasi yang terjadi sebelum digunakan, media perlu
disimpan selama 2–3 hari.
Sterilisasi juga dilakukan pada eksplan. Sterilisasi eksplan dilakukan di luar
dan di dalam laminar air flow cabinet. Sterilisasi di luar laminar air flow cabinet

9
dilakukan dengan cara pengambilan eksplan dari sumber eksplan yang sudah
dikarantina yang kemudian diambil bagian tunas lateral dari bibit tembesu. Bagian
tunas lateral yang diambil adalah tunas yang masih menguncup dari bahan induk
dengan panjang 1–2 cm. Eksplan pucuk yang telah dipotong dari bahan induk
dicuci bersih pada air mengalir dan diusap dengan kapas basah untuk
menghilangkan kotoran yang menempel. Eksplan dicuci dengan deterjen sebanyak
2 g/L selama 10 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir sampai bersih.
Eksplan yang sudah dibilas kemudian direndam dengan fungisida dengan takaran
1–3 g/L dan dikocok menggunakan shaker selama 1 jam kemudian dicuci bersih
dengan aquades sampai tiga kali. Eksplan yang telah dibilas kemudian direndam
dengan bakterisida dengan takaran 1–3 g/L dan dikocok dengan shaker selama 1
jam kemudian dibilas dengan aqudes sampai tiga kali.
Proses sterilisasi lanjutan dikerjakan di dalam laminar air flow cabinet yaitu
pencucian eksplan menggunakan air steril sebanyak tiga kali selama 5 menit.
Selanjutnya, perendaman eksplan di dalam larutan natrium hippoklorit dengan
konsentrasi 0.5% (v/v) yang ditambahkan satu tetes tween 20 dan dikocok
menggunakan shaker dengan waktu yang beragam. Tween 20 berfungsi sebagai
sebagai pelembab permukaan eksplan supaya bahan sterilan dapat menyerap
dengan baik. Eksplan yang telah direndam kemudian dibilas menggunakan air
steril sebanyak tiga kali masing-masing selama 5 menit.
Selanjutnya, eksplan yang telah disterilisasi diletakkan di dalam cawan petri.
Cawan petri yang digunakan untuk penanaman terdiri dari dua macam yaitu
cawan petri berdiameter 95 mm yang berisi tisu steril dan cawan petri berukuran
101 mm. Cawan petri terlebih dahulu disterilisasi menggunakan autoklaf dan
cawan petri tersebut dimasukkan ke laminar air flow cabinet. Untuk peletakan
eksplan dilakukan dengan dua cara yaitu cawan petri yang berukuran 95 mm
bertujuan untuk mengurangi air yang menempel pada eksplan sedangkan cawan
petri berukuran lebih besar 101 mm bertujuan untuk memotong eksplan yang
berukuran 1–2 cm. Pemotongan eksplan dilakukan pada bagian eksplan yang luka
dan terkena bahan sterilan.
Eksplan dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Eksplan yang telah
dibilas dimasukkan ke dalam tabung kultur. Media yang digunakan adalah media
MS. Tabung kultur yang telah ditanam eksplan ditutup rapat dengan
menggunakan aluminium foil dan plastik kemudian diikat dengan karet dan
dilapisi dengan plastik wrap. Setelah penanaman eksplan, tabung kultur yang telah
berisi eksplan aseptik diletakkan di ruang kultur yang suhu dan cahaya telah
diatur. Cahaya yang digunakan adalah cahaya lampu TL 5 watt. Suhu pada ruang
kultur ditetapkan pada suhu 27 oC.
Rancangan yang digunakan untuk tahap sterilisasi adalah rancangan acak
lengkap satu faktor yaitu waktu perendaman di dalam larutan natrium hipoklorit
0.5% (v/v) dengan 4 tingkat perlakuan (5, 10, 15, dan 20 menit). Setiap perlakuan
terdiri atas 3 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 10 eksplan. Total eksplan adalah
4x3x10=120 eksplan.
Pengamatan dilakukan selama 4 minggu. Paramater yang diamati antara lain
persentase hidup eksplan, persentase kontaminasi, persentase pencokelatan
(browning). Persentase hidup eksplan merupakan jumlah eksplan yang dapat
hidup, dengan kriteria memiliki pertumbuhan pucuk dan/atau akar dibandingkan
dengan jumlah seluruh eksplan. Persentase kontaminasi merupakan jumlah

10
eksplan yang mengalami kontaminasi bakteri dan/atau fungi dibandingkan dengan
seluruh jumlah eksplan. Persentase pencokelatan (browning) merupakan jumlah
eksplan yang mengalami pencokelatan dibandingkan dengan jumlah seluruh
eksplan. Data yang diambil kemudian dianalisis menggunakan software Microsoft
Excel, dan SAS Version 9.1. Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan
dilakukan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2000).
Pembuatan media kultur
Pembuatan media kultur yaitu membuat larutan stok yang terdiri atas larutan
stok A, larutan stok B, larutan stok C, larutan stok D, larutan stok E, larutan stok
F, stok myo-inositol, stok vitamin dan stok ZPT. Masing-masing unsur
pembentuk larutan stok ditimbang kemudian dilarutkan ke dalam aquades
sebanyak satu liter dengan konsentrasi 100 kali dari konsentrasi awal dan
disimpan di tempat bersuhu rendah (lemari es). Komposisi masing-masing larutan
stok dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tahapan selanjutnya adalah pembuatan larutan media kultur MS (Murashige
dan Skoog). Larutan stok A–F masing-masing diambil 10 mL, vitamin 10 mL, dan
gula pasir 30 g dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dicampurkan dengan
aquades sampai volume menjadi 1000 mL. Nilai pH larutan diukur sampai
berkisar pH 5.8. Jika pH < 5 maka ditambahkan larutan NaOH secara bertahap
sehingga media mencapai pH 5.8 dan jika pH > 6 maka ditambahkan larutan HCl
secara bertahap sehingga media mencapai pH 5.8. Agar-agar bubuk dimasukkan
sebanyak 7 g ke dalam larutan dan diaduk hingga rata kemudian larutan media
dimasukkan dalam panci dan dimasak hingga mendidih.
Media yang telah mendidih dimasukkan dalam tabung kultur dengan ukuran
masing-masing 10 mL. Tabung yang telah diisi media, ditutup menggunakan
plastik dan diikat menggunakan karet sampai tertutup rapat. Tabung yang telah
berisi media disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 121–126 oC dan
tekanan 1.5 atm selama 20–40 menit. Tabung berisi media yang telah disterilisasi
dibungkus menggunakan plastik yang telah disemprot dengan alkohol 70%
kemudian disimpan di dalam lemari pada suhu ruangan.
Pembuatan media perlakuan diawali dengan proses yang sama pada
pembuatan media kontrol (MS0). Penambahan BAP 1.5 ppm, air kelapa muda
15%, dan arang aktif (1 g/L dan 2 g/L) dilakukan setelah pengenceran dengan air
aquades hingga menjadi volume akhir satu liter. Larutan yang telah diencerkan
diukur kadar pH menggunakan pH meter, sehingga diperoleh pH 5.8. Setelah itu,
dituang ke dalam gelas ukur dan dicampur dengan agar-agar. Larutan yang telah
dicampur agar-agar dimasak hingga mendidih dan dituang ke dalam tabungtabung kultur yang telah steril masing-masing sebanyak 10 mL. Tabung yang
telah dituang media, ditutup menggunakan plastik dan diikat menggunakan karet
sampai tertutup rapat dan disusun di rak tabung kultur. Tabung yang telah berisi
media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121–126 oC dan tekanan 1.5
atm selama 20–40 menit. Tabung kultur yang berisi media dan telah disterilisasi
kemudian disimpan di dalam lemari pada suhu ruangan. Pembuatan media MS
modifikasi dilakukan dengan penambahan jumlah KNO3 sebanyak 11.26 mL dari
volume awal.

11
Tahap induksi tunas/multiplikasi
Pada tahap induksi tunas, kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan
penanaman eksplan aseptik ke dalam tabung kultur. Media yang digunakan adalah
media MS, media MS yang dimodifikasi, dan MS dengan tambahan air kelapa
muda 15% yang masing-masing ditambahkan dengan zat pengatur tumbuh BAP
dengan beberapa variasi konsentrasi yang bertujuan untuk merangsang
pertumbuhan tunas aksilar. Tabung kultur yang telah ditanam eksplan ditutup
rapat dengan menggunakan aluminium foil dan plastik kemudian diikat dengan
karet dan dilapisi dengan plastik wrap. Setelah tahap induksi tunas, tabung kultur
yang telah berisi eksplan aseptik diletakkan di ruang kultur yang suhu dan cahaya
telah diatur. Cahaya yang digunakan adalah cahaya lampu TL 5 watt. Suhu pada
ruang kultur ditetapkan pada suhu 27 oC.
Eksplan yang telah aseptik kemudian dipindahkan ke media induksi tunas
dan multiplikasi. Media yang digunakan yaitu MS, MS dengan penambahan BAP
1.5 ppm, dan MS modifikasi. Media MS modifikasi yang digunakan adalah
dengan menaikan total konsentrasi nitrogen menjadi 80 mmol dengan
perbandingan NO3-:NH4+ = 3:1. Rancangan percobaan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah racangan acak lengkap satu faktor perlakuan komposisi
media MS yaitu MS0, MS modifikasi, MS0+air kelapa muda 15%, MS0+BAP 1.5
ppm, MS modifikasi+BAP 1.5 ppm, dan MS0+air kelapa 15%+BAP 1.5 ppm.
Setiap perlakuan terdiri atas 3 ulangan dan setiap ulangan terdiri atas 5 eksplan,
sehingga total eksplan berjumlah 3x6x5=90 eksplan.
Pengamatan dilakukan selama 4 minggu. Paramater yang diamati antara lain
panjang tunas, jumlah tunas, jumlah daun, dan warna daun. Panjang tunas
merupakan panjang tunas baru yang tumbuh. Jumlah tunas merupakan selisih
jumlah tunas di akhir pengamatan dan di awal pengamatan. Jumlah daun
merupakan total jumlah daun yang terdapat pada objek pengamatan. Warna daun
merupakan pengukuran warna daun menggunakan BWD dengan skala 1–6
(Ardiyani dan Arimarsetiowati 2012). Data yang diambil kemudian dianalisis
menggunakan software Microsoft Excel dan SAS Version 9.1. Untuk menentukan
perbedaan antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan
Sumertajaya 2000).
Tahap elongasi dan induksi perakaran in vitro
Planlet yang berasal dari tahap induksi tunas kemudian dipindahkan ke
media elongasi. Media elongasi yang digunakan adalah media ½ MS (media MS
dengan ½ konsentrasi) dan media ½ MS menggunakan tambahan arang aktif
sebanyak 1 g/L dan 2 g/L. Tunas hasil perbanyakan dipindahkan ke media
pemanjangan (elongasi) tunas. Rancangan percobaan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah racangan acak lengkap satu faktor dengan perlakuan
komposisi media 3 taraf perlakuan yaitu ½ MS, ½ MS+arang aktif 1 g/L, dan ½
MS+arang aktif 2 g/L. Setiap perlakuan terdiri atas 3 ulangan dan setiap ulangan
terdiri atas 5 planlet, sehingga total planlet berjumlah 3x3x5=45 planlet.
Pengamatan dilakukan selama 8 minggu. Paramater yang diamati antara lain
panjang tunas, jumlah tunas, persentase berakar, jumlah akar, jumlah daun, dan
warna daun. Panjang tunas merupakan selisih panjang tunas di akhir pengamatan
dengan di awal pengamatan. Jumlah tunas merupakan selisih jumlah tunas di akhir
pengamatan dan di awal pengamatan. Persentase berakar merupakan jumlah

12
planlet yang berakar dibandingkan dengan jumlah total planlet. Jumlah akar
merupakan jumlah akar yang tumbuh pada planlet. Jumlah daun merupakan total
jumlah daun yang terdapat pada objek pengamatan. Warna daun merupakan
pengukuran warna daun menggunakan BWD dengan skala 1–6 (Ardiyani dan
Arimarsetiowati 2012). Data yang diambil kemudian dianalisis dengan
menggunakan software Microsoft Excel dan SAS Version 9.1. Untuk menentukan
perbedaan antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan
Sumertajaya 2000).
Tahap induksi perakaran secara stek pucuk
Induksi perakaran secara ex vitro dilakukan dengan metode stek pucuk.
Bahan stek yang digunakan berasal dari tunas lateral tembesu yang berukuran 10–
15 cm. Media tanam dari cocopeat dan sekam bakar dicampur dengan
perbandingan 2:1 (v/v). Pada bagian bawah bak media dilapisi dengan zeolite
setebal 1 cm kemudian di atasnya diletakkan campuran media cocopeat dan
sekam bakar. Air disiramkan di atas media tanam sampai jenuh. Stek pucuk
tembesu diolesi dengan ZPT Rootone F yang sudah berbentuk pasta kemudian
ditanam di media tanam. Sebagian stek pucuk direndam dengan air kelapa muda
100% selama 5 jam kemudian ditanam di media tanam. Pengamatan dilakukan
selama 8 minggu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
racangan acak lengkap. Perlakuan zat pengatur tumbuh (ZPT) terdiri atas 3 tingkat
yaitu kontrol, Rootone F, dan air kelapa muda 100%. Setiap perlakuan terdiri dari
3 ulangan dan setiap ulangan memiliki 10 stek pucuk, sehingga total eksplan
berjumlah 3x3x10=90 stek pucuk.
Pengamatan dilakukan selama 8 minggu. Paramater yang diamati antara lain
persentase hidup, persentase hidup berakar, jumlah tunas, panjang akar, jumlah
akar, jumlah daun, dan warna daun. Persentase hidup merupakan jumlah stek
pucuk yang hidup dengan kriteria memiliki pertumbuhan tunas dan kondisi segar,
dibandingkan dengan jumlah total stek pucuk. Persentase hidup berakar
merupakan jumlah stek pucuk yang berakar dibandingkan dengan jumlah total
stek pucuk. Jumlah tunas merupakan selisih jumlah tunas di akhir pengamatan dan
di awal pengamatan. Panjang akar merupakan panjang akar utama yang tumbuh
dari batang stek pucuk. Jumlah akar merupakan jumlah akar yang tumbuh dari
batang stek pucuk. Jumlah daun merupakan total jumlah daun yang terdapat pada
objek pengamatan. Warna daun merupakan pengukuran warna daun menggunakan
bagan warna daun (BWD) dengan skala 1–6 (Ardiyani dan Arimarsetiowati
2012). Data yang diambil kemudian dianalisis menggunakan software Microsoft
Excel dan SAS Version 9.1. Untuk menentukan perbedaan antar perlakuan
dilakukan uji jarak berganda Duncan (Mattjik dan Sumertajaya 2000).

3 HASIL
Teknik Produksi Bahan Eksplan
Teknik produksi bahan eksplan merupakan bagian dari tahap persiapan
mikropropagasi tembesu yang sangat menentukan kuantitas dan kualitas eksplan
untuk mikropropagasi. Kuantitas eksplan ditentukan oleh produktivitas sumber
eksplan sedangkan kualitas eksplan ditentukan oleh rendahnya tingkat

13
kontaminasi eksplan. Produktivitas eksplan dapat diperoleh pada tahap
pembangunan sumber eksplan antara lain melalui kebun pangkas. Salah satu
metode yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas eksplan adalah dengan
menggunakan teknik pelengkungan. Teknik pelengkungan dapat mendorong
pertumbuhan tunas aksilar atau menghambat pengaruh dominansi apikal sehingga
nutrisi dapat disalurkan ke tunas aksilar yang terdapat pada setiap ruas.
Pertumbuhan tunas aksilar akan lebih baik jika ditambahkan nutrisi melalui
pemupukan.
Tabel 1 Hasil perlakuan pemupukan dan pelengkungan terhadap panjang tunas,
jumlah tunas, jumlah daun, dan warna daun pada bibit tembesu

Dipupuk
Tidak dipupuk

Panjang
tunas
79.17tn
55.22tn

Jumlah
tunas
4.89tn
4.78tn

Jumlah daun
(helai)
29.79a
20.66b

Warna
daun
4.62a
3.34b