Pola Lokomosi Dalam Aktivitas Bergerak Orangutan Kalimantan (Pongo Pygmaeus Pygmaeus Linnaeus, 1760) Di Wildlife Rescue Centre (Wrc) Yogyakarta

POLA LOKOMOSI DALAM AKTIVITAS BERGERAK ORANGUTAN
KALIMANTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus Linnaeus, 1760) DI
WILDLIFE RESCUE CENTRE (WRC) YOGYAKARTA

FITRIA NAWANGSARI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Lokomosi dalam
Aktivitas Bergerak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus Linnaeus, 1760)
di Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta adalah benar karya saya denganarahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Fitria Nawangsari
NIM E34120034

ABSTRAK
FITRIA NAWANGSARI. Pola Lokomosi dalam Aktivitas Bergerak Orangutan
Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus Linnaeus, 1760) di Wildlife Rescue
Centre (WRC) Yogyakarta. Dibimbing oleh DONES RINALDI.
Orangutan kalimantan merupakan spesies primata yang mengalami
penurunan populasi di alam dan terancam punah. Keterancaman orangutan
memerlukan upaya konservasi eksitu, salah satunya di Wildlife Rescue Centre
(WRC) Yogyakarta. Pola lokomosi dalam aktivitas bergerak dan kebutuhan
perkandangan orangutan kalimantan perlu diperhatikan di habitat eksitu. Tujuan
penelitian ini adalah mengidentifikasi proporsi pola lokomosi dalam aktivitas
bergerak dan kebutuhan perkandangan pada orangutan kalimantan yang berada di
Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta. Penghitungan proporsi pola lokomosi

dilakukan dengan menghitung frekuensi empat pola lokomosi (quadrapedal,
leaping, climbing dan brachiasi) pada setiap pergerakannya. Metode yang
digunakan adalah observasi lapang, wawancara, dan studi literatur. Ketiga
orangutan kalimantan menunjukkan proporsi lokomosi terbesar pada pola
lokomosi berayun (brachiasi). Kebutuhan perkandangan sudah memadai yaitu
dengan luas kandang dan jenis pengkayaan (enrichment) kandang yang cukup
untuk mendukung aktivitas bergerak orangutan.
Kata kunci: kebutuhan perkandangan, orangutan kalimantan, pola lokomosi

ABSTRACT
FITRIA NAWANGSARI. The Pattern of Locomotion in Moving Activities of Borneo
Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus Linnaeus, 1760) in Wildlife Rescue Centre
(WRC) Yogyakarta. Supervised by DONES RINALDI.
Borneo orangutan is endangered primate species due to the declining of its
populations in the wild. The treat of orangutan require an ex-situ conservation
efforts, one of them at the Wildlife Rescue Centre (WRC) in Yogyakarta. The
pattern of locomotion in moving activities and their cage requires a consideration
in ex-situ management. The objectives of this research was to identify the pattern
of locomotion in moving activities proportion and cage requirements of Borneo
orangutan at the Wildlife Rescue Centre (WRC) in Yogyakarta. The calculation of

the proportion of the pattern of locomotion in moving activities is done by
calculating the frequency of the four locomotion system (quadrapedal, leaping,
climbing and brachiasi) on each movement. Method is used by field observation,
interview, and literature study. All of Borneo orangutan showed the largest
proportion of swinging locomotion system (brachiasi). Cage requires was
adequate, namely with spacious cages and type of enrichment enclosure sufficient
to support the orangutan moving activities.
Keyword: borneo orangutan, cage require, the pattern of locomotion

POLA LOKOMOSI DALAM AKTIVITAS BERGERAK ORANGUTAN
KALIMANTAN (Pongo pygmaeus pygmaeus Linnaeus, 1760) DI
WILDLIFE RESCUE CENTRE (WRC) YOGYAKARTA

FITRIA NAWANGSARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Judul Skripsi: Pola Lokomosi dalam Aktivitas Bergerak Orangutan Kalimantan

(Pongo pygmaeus pygmaeus
Centre (WRC) Yogyakarta.
Nama

: Fitlia Nawangsari

NIM

: E34120034

Linnaeus, 1760) di


Disetujui oleh

��
Dones Rinaldi, MScF
Pembimbing

MS

Tanggal Lulus:

\

3 SP 20\B

Wildlfe Rescue

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil terselesaikan dengan baik.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2016 dengan judul Pola Lokomosi
dalam Aktivitas Bergerak Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus
Linnaeus, 1760) di Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Dones Rinaldi, MScF selaku
pembimbing atas arahan dan pelajaran yang diberikan. Rasa terima kasih juga
penulis sampaikan kepada staf dan/atau pegawai, dokter hewan dan para keeper di
Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta yang telah banyak membantu penulis
dalam proses pengambilan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Bapak Suhariyanto dan Ibu Teguh Budi Astuti atas doa dan motivasinya. Tak lupa
ucapan terima kasih kepada keluarga Cantigi Gunung DKSHE 49 (terutama
kepada Siti Khasanah, Irsalina Nurin Oktafiani, Amalia Nadhilah, Ulfah Pungki
Tiarasari, Dwitantian Hawa Brilianti, Kiki Nawan Mulasari, Surati, Olga Julieta
Vikarina, Hany Zuyyina Luthfah dan Elsha C Dewi), keluarga FORKOMA
Kebumen, Himakova, KPM-Tarsius dan Tim PKLP Taman Nasional Gunung
Merbabu atas dukungan, kebersamaan, kekeluargaan, canda tawa, suka duka dan
pengalaman berharga yang penulis dapatkan selama mengikuti perkuliahan,
kegiatan organisasi serta kegiatan lapang di Institut Pertanian Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016


Fitria Nawangsari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat

2


Alat dan Bahan

2

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

2

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Lokomosi
Kebutuhan Perkandangan
SIMPULAN DAN SARAN

4
4
14

21

Simpulan

21

Saran

21

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN

23

DAFTAR TABEL
1 Data register orangutan kalimantan di Wildlife Rescue Centre

Yogyakarta
2 Proporsi pola lokomosi orangutan kalimantan di Wildlife Rescue Centre
Yogyakarta
3 Jenis, konstruksi dan fasilitas kandang orangutan kalimantan di Wildlife
Rescue Centre Yogyakarta
4 Ukuran kandang orangutan berdasarkan beberapa sumber acuan

2
6
15
16

DAFTAR GAMBAR
1 Proporsi penggunaan keempat pola lokomosi Ucokwati, Mungil dan
Joko berdasar waktu pengamatan.
2 Suhu dan kelembaban rata-rata harian di sekitar kandang orangutan.
3 Pola lokomosi berayun oleh Mungil.
4 Pola lokomosi memanjat oleh Ucokwati.
5 Pola lokomosi berjalan dengan keempat tungkai oleh Ucokwati.
6 Individu orangutan betina dewasa (Ucokwati).
7 Proporsi penggunaan pola lokomosi pada individu betina dewasa.
8 Ucokwati memperhatikan aktivitas anaknya (a) dan Ucokwati
mengikuti perpindahan anaknya (b).
9 Individu orangutan anak (Mungil).
10 Proporsi penggunaan pola lokomosi pada individu anak.
11 Aktivitas Mungil mengikuti aktivitas induknya.
12 Individu orangutan jantan dewasa (Joko).
13 Proporsi penggunaan pola lokomosi pada individu jantan dewasa.
14 Aktivitas berjalan dengan menggunakan kedua tungkai bawah pada
Joko dalam menjangkau pakan.
15 Sketsa kandang orangutan di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta.
16 Kandang Ucokwati dan Mungil dengan pengkayaan ban gantung dan
batang pohon.
17 Tempat istirahat orangutan dilengkapi dengan ban bekas.
18 Pengkayaan berupa dedaunan dan batang pohon bagi induk orangutan.

5
5
7
7
8
9
9
10
11
11
11
12
13
14
15
17
19
19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Frekuensi pola lokomosi yang dilakukan oleh Ucokwati.
2 Frekuensi pola lokomosi yang dilakukan oleh Mungil.
3 Frekuensi pola lokomosi yang dilakukan oleh Joko.

23
24
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus Linnaeus, 1760)
merupakan satwa endemik Pulau Kalimantan yang masuk dalam Appendiks I
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) dan tergolong
dalam status critically endagered species menurut IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources). Populasi orangutan di habitatnya
saat ini mengalami penurunan drastis, diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir populasi tersebut telah menyusut 30% - 50%. Penurunan populasi
disebabkan kerusakan habitat oleh penebangan dan perburuan liar, serta
kebakaran hutan (Meijaard et al. 2001).
Orangutan memiliki pola hidup aktif di pagi hari hingga sore hari (diurnal).
Orangutan termasuk hewan pemakan buah (frugivora) yang lebih banyak
mengonsumsi buah sebagai pakan utamanya. Selain itu orangutan juga makan
dedaunan, pucuk, kulit kayu, semut, rayap, biji-bijian, dan lain sebagainya.
Aktivitas bergerak merupakan salah satu aktivitas harian yang dilakukan oleh
satwa liar. Aktivitas bergerak pada satwaliar dapat meliputi pergerakan berpindah
dari satu tempat ke tempat yang lain dan pergerakan anggota tubuh dalam
mendukung setiap aktivitasnya (Zanuansyah 2013). Menurut Gebo dan Chapman
(1991) lokomosi satwa terdiri atas quadrapedal, leaping, climbing, dan brachiasi.
Keadaan kandang baik dari segi ukuran kandang, jenis kandang serta kelengkapan
kandang akan mempengaruhi pola lokomosi dalam aktivitas bergerak orangutan.
Keterancaman populasi orangutan kalimantan di alam memerlukan upaya
konservasi baik secara insitu maupun eksitu agar keberadaan orangutan
kalimantan tetap lestari. Salah satu lembaga konservasi eksitu yang memelihara
dan merehabilitasi orangutan kalimantan adalah Wildlife Rescue Centre (WRC)
Yogyakarta. Jika mengacu pada pasal 10 dan pasal 11 Menteri Kehutanan
P.53/Menhut-II/2006 Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta juga dapat
dikategorikan sebagai Pusat Penyelamatan Satwa dan Pusat Rehabilitasi Satwa.
Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta memiliki program utama yaitu
rehabilitasi dan pemeliharaan satwa terutama orangutan yang salah satu tujuannya
yaitu melepasliarkan orangutan yang memiliki kesempatan untuk kembali ke
habitat aslinya.
Untuk dapat kembali ke habitat aslinya, satwa yang berada di Pusat
Penyelamatan Satwa harus memiliki kemampuan untuk bertahan di habitat aslinya.
Salah satu faktor penentu keberhasilan satwa yang akan dilepasliarkan yaitu
kemampuan yang baik dalam melakukan semua aktivitas bergeraknya baik untuk
lokomosi dan mencari makan agar dapat mempertahankan hidupnya di alam.
Kondisi kandang dan pengkayaan yang optimal sangat diperlukan untuk
mempertahankan kemampuan alami satwa agar dapat dilepasliarkan ke habitat
aslinya.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:
1. Mengidentifikasi proporsi pola lokomosi dalam aktivitas bergerak orangutan
kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) di Wildlife Rescue Centre
Yogyakarta.
2. Mengidentifikasi kebutuhan perkandangan orangutan kalimantan (Pongo
pygmaeus pygmaeus) di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi mengenai
proporsi pola lokomosi serta masukan dan pertimbangan bagi pihak pengelola
dalam pengelolaan orangutan kalimantan di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta.

METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian dilakukan di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta yang
terletak di Jalan Kawijo, Sendangsari, Pengasih, Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan pada 17 – 30 April 2016.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain termometer, meteran,
kamera, jam tangan, laptop, tally sheet, dan alat tulis, sedangkan bahan yang
digunakan sebagai objek penelitian adalah tiga individu orangutan kalimantan
yang masing-masing merupakan individu betina dewasa, jantan dewasa dan anak.
Orangutan betina dewasa (Ucokwati) dan orangutan jantan dewasa (Joko) berasal
dari hasil penyerahan pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa
Tengah pada tahun 2011 yang didapat dari hasil sitaan sebuah restoran di daerah
Solo, Jawa Tengah yang dijadikan sebagai display, sedangkan anak orangutan
(Mungil) merupakan anak dari Ucokwati dan Joko yang lahir pada tahun 2013.
Data register dari ketiga orangutan kalimantan yang terdapat di Wildlife Rescue
Centre Yogyakarta tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Data register orangutan kalimantan di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta

1

Ucokwati

Jenis
Kelamin
P

2

Mungil

P

Anakan

3

Joko

L

Dewasa

No.

ID

Umur
Dewasa

Asal
BKSDA Jateng
Anak dari Joko dan
Ucokwati
BKSDA Jateng

Tanggal
Datang
08/10/2011
19/05/2013
08/10/2011

Pada saat dijadikan sebagai hewan peliharaan atau display di restoran
tersebut, dikhawatirkan kedua orangutan mengalami perubahan perilaku atau

3
kehilangan sifat asli mereka. Hal ini dapat disebabkan oleh ruang gerak atau
kandang yang tersedia tidak mencukupi dan pakan yang diberikan tidak sesuai
dengan pakan yang ada di habitat aslinya. Diperlukan upaya khusus untuk
mengembalikan sifat asli dari kedua orangutan tersebut antara lain dengan
pemberian kandang yang mencukupi untuk memenuhi aktivitas hariannya
khususnya aktivitas bergerak dan pemberian pakan yang sesuai dengan pakan
alaminya.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data primer
Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung di lokasi
penelitian. Data primer yang diambil selama penelitian ini yakni aktivitas
bergerak orangutan serta data perkandangan orangutan (jenis kandang, jumlah dan
ukuran kandang, konstruksi kandang, perlengkapan kandang, suhu dan
kelembaban kandang, perawatan dan pengelolaan kandang, dan pengelolaan air
dan pembuangan limbah). Metode pengambilan data meliputi pengamatan
langsung, pengukuran dan wawancara kepada pengelola.
a. Data aktivitas bergerak
Proporsi penggunaan pola lokomosi pada orangutan kalimantan yang berada
di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta dibatasi menjadi empat aspek yaitu
quadrapedal dan bipedal yaitu pergerakan dengan menggunakan keempat tungkai
secara langsung dan kedua tungkai bawahnya untuk bejalan di dasar kandang,
leaping yaitu pergerakan melompat dari salah satu bagian kandang ke bagian
kandang lainnya, climbing yaitu pergerakan memanjat pada kandang ke arah
vertikal maupun horizontal dengan menggunakan keempat tungkainya, serta
brachiasi yaitu pergerakan dengan cara mengayunkan kedua tungkai bagian
atasnya ke arah depan untuk berpindah.
Selain mengamati pola lokomosi yang dilakukan oleh orangutan, pengamat
juga melakukan pengukuran jarak perpindahan dan merekam pola lokomosi untuk
mengetahui rata-rata penggunaan waktu dari masing-masing pola lokomosi.
Metode yang digunakan adalah focal animal sampling yaitu pengamatan yang
terfokus pada satu individu dalam batas waktu yang telah ditentukan (selama 1030 menit) (Martin 1987). Pengamatan dilakukan pada pagi hari, siang hari dan
sore hari masing-masing selama 1 jam yaitu pada pukul 08.00-09.00, 13.00-14.00,
dan 16.00-17.00 WIB.
b. Data perkandangan
Jenis data yang dikumpulkan adalah data yang terkait dengan pengkayaan
sistem perkandangan orangutan kalimantan, meliputi: (a) jenis kandang, (b)
jumlah dan ukuran kandang, (c) konstruksi kandang, (d) perlengkapan kandang,
(e) suhu dan kelembaban kandang yang dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari
pada saat dilakukannya pengamatan dengan pengulangan sebanyak tiga kali dan
dengan cara menggantungkan termometer di dalam kandang. Pengumpulan data
perkandangan masing-masing dilakukan dengan metode observasi, wawancara
dan studi literatur.

Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang didapat secara tidak langsung dari
objek penelitian dan merupakan data yang sudah ada yang dikumpulkan oleh
pihak lain dengan berbagai metode. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi
studi literatur yang mendukung mengenai data aktivitas bergerak dan data
perkandangan.
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan meliputi data perkandangan dan data proporsi
penggunaan pola lokomosi.
a.
Proporsi penggunaan pola lokomosi
Persentase proporsi pola lokomosi dari orangutan kalimantan didapatkan
dengan perhitungan setiap pola lokomosi yang dilakukan.
Proporsi pola lokomosi =

Frekuensi pola lokomosi ke-i
x 100%
Frekuensi seluruh pola lokomosi

Data proporsi penggunaan pola lokomosi tersebut kemudian dianalisis untuk
mengetahui persentase dari setiap pola lokomosi yang dilakukan orangutan
kalimantan di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta dengan menampilkan data
dalam bentuk tabel maupun grafik.
b.

Kebutuhan perkandangan
Data pengkayaan perkandangan orangutan kalimantan di Wildlife Rescue
Centre Yogyakarta diuraikan dalam bentuk penjelasan singkat maupun sketsa atau
gambar dari kandang orangutan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Lokomosi
Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) merupakan spesies arboreal yang
tinggal di habitat alami dengan kecenderungan lebih bebas bergerak dibanding
dengan orangutan yang berada di penangkaran. Hal ini disebabkan oleh ruang
geraknya yang terbatas. Demikian dengan Pusat Penyelamatan Satwa di Wildlife
Rescue Centre Yogyakarta yang menjadikan orangutan tidak dapat hidup
sepenuhnya secara arboreal, sehingga pengkayaan seperti batang pohon dan ban
gantung yang terdapat di dalam kandang diperlukan orangutan untuk
mempertahankan kemampuan hidupnya secara arboreal. Di dalam kandang
pemeliharaan orangutan di Wildlife Rescue Centre terdapat pengkayaan seperti
batang pohon yang sudah mati dan ban yang digantung yang diletakkan di dalam
kandang yang memungkinkan orangutan untuk hidup arboreal.

5

16.46%

20%

Ucokwati

7.07%

52.03%

49.87%

40.90%

9.03%

40%

33.67%

60%

32.26%

Persentase Pola
Lokomosi

80%

58.71%

Waktu aktif dalam penggunaan keempat pola lokomosi
Persentase frekuensi pola lokomosi ketiga individu orangutan di Wildlife
Rescue Centre diamati selama 36 jam pengamatan. Masing-masing individu
orangutan diamati dalam 4 kali pengulangan dengan waktu 3 jam setiap
pengulangan. Pengamatan terhadap ketiga orangutan tersebut dilakukan pada pagi
hari (pukul 08.00 – 09.00 WIB), siang hari (13.00 – 14.00 WIB) dan sore hari
(pukul 16.00 – 17.00 WIB). Persentase frekuensi proporsi penggunaan keempat
pola lokomosi pada ketiga orangutan berdasarkan waktu pengamatan tersaji pada
Gambar 1.

Mungil
Joko

0%
08.00-09.00

13.00-14.00

16.00-17.00

Waktu Pengamatan

Gambar 1 Proporsi penggunaan keempat pola lokomosi Ucokwati, Mungil dan
Joko berdasar waktu pengamatan.

32

95

30

90

28

85

26

80

24

75
Pagi

Siang
Suhu ⁰

Kelembaban (%)

Suhu (⁰)

Persentase frekuensi dari penggunaan keempat pola lokomosi terbesar yang
dilakukan oleh ketiga orangutan terdapat pada waktu pengamatan pukul 13.00 –
14.00 WIB. Hal ini disebabkan oleh penggunaan waktu di pagi hari dan sore hari
sebagian besar dilakukan untuk aktivitas makan dan beristirahat di sarang untuk
orangutan betina dewasa (Ucok) bersama anaknya (Mungil), dan di atas ban
gantung untuk orangutan jantan dewasa (Joko). Hal ini berbeda dengan pendapat
Maple (1980) yang mengemukakan bahwa orangutan yang hidup di penangkaran
memiliki waktu aktif yang berkorelasi positif dengan waktu pemberian pakan.
Pada siang hari, ketiga orangutan tersebut cenderung memanfaatkan waktunya
untuk melakukan aktivitas bergerak.
Hasil pengukuran suhu di sekitar kandang orangutan kalimantan di Wildlife
Rescue Centre Yogyakarta menunjukkan kondisi suhu yang cukup tinggi. Suhu
rata-rata harian di sekitar kandang sebesar 28.6⁰C. Suhu di pagi hari sebesar
27.2⁰C, siang hari sebesar 30.2⁰C, dan sore hari sebesar 28.6⁰C sedangkan
kelembaban rata-rata harian di sekitar kandang orangutan di Wildlife Rescue
Centre Yogyakarta sebesar 83% - 91% (Gambar 2).

Sore
Kelembaban (%)

Gambar 2 Suhu dan kelembaban rata-rata harian di sekitar kandang orangutan.

Hal ini sesuai dengan Commission on Life Sciences National Research
Council (1996), suhu lingkungan yang direkomendasikan untuk satwa primata
dalam kandang berkisar antara 18⁰ - 29⁰C dan kelembaban relatif berkisar antara
30% - 70% untuk beberapa spesies mamalia. Berdasarkan hasil penelitian terlihat
aktivitas lokomosi justru terlihat semakin tinggi ketika suhu udara tinggi. Seperti
yang terdapat pada Gambar 1 sebelumnya, hasil pengamatan menunjukkan
aktivitas lokomosi tertinggi justru diamati pada siang hari pukul 13.00 – 14.00
WIB dengan suhu 30⁰C.
Menurut Hill dan Barret (2004) aktivitas makan akan menurun ketika suhu
udara tinggi, aktivitas istirahat akan meningkat ketika suhu udara tinggi,
sedangkan lokomosi tidak memperlihatkan pengaruh yang signifikan. Hasil
pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa aktivitas istirahat lebih banyak
terlihat pada sore hari. Banyaknya aktivitas bergerak di siang hari dengan suhu
udara lebih tinggi salah satunya dapat disebabkan oleh kondisi sekitar kandang
yang ternaungi oleh berbagai jenis tumbuhan antara lain pohon bunga kupu-kupu
(Bauhinia purpurea), bambu (Bambusa vulgaris), dan pisang (Musa paradisiaca).
Faktor kenyamanan lingkungan cukup mempengaruhi aktivitas bergerak yang
dilakukan oleh ketiga orangutan yang berada di Wildlife Rescue Centre. Menurut
Hakim (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenyamanan antara lain
sirkulasi, cuaca atau iklim, kebisingan, aroma atau bau-bauan, bentuk, keamanan,
kebersihan, keindahan dan penerangan.
Proporsi penggunaan pola lokomosi
Proporsi penggunaan pola lokomosi dari ketiga orangutan kalimantan
didapatkan dengan menghitung frekuensi dari setiap terjadinya pola lokomosi,
yaitu berjalan dengan keempat tungkai atau kedua tungkai bawah, melompat,
memanjat, dan berayun. Persentase frekuensi pola lokomosi yang dilakukan oleh
ketiga orangutan yaitu sebagai berikut: berjalan dengan keempat tungkai atau
kedua tungkai bawah (5.32% - 9.68%), melompat (1.52% - 7.07%), memanjat
(27.59% - 47.74%), dan berayun (37.42% - 65.57%) (Tabel 2). Hal ini
menunjukkan bahwa berayun merupakan pola lokomosi yang paling sering
dilakukan setiap individu orangutan dibandingkan dengan pola lokomosi lainnya
yaitu berjalan dengan menggunakan empat tungkai atau berjalan dengan
menggunakan dua tungkai bawah, melompat dan memanjat.
Tabel 2 Proporsi pola lokomosi orangutan kalimantan di Wildlife Rescue Centre
Yogyakarta
No.

Individu
(ID)

1 Ucokwati
2 Mungil
3 Joko

Perilaku (%)
Quadrapedal
/ Bipedal
9.68
5.32
7.92

Leaping
5.16
1.52
7.07

Climbing
47.74
27.59
32.55

Brachiasi
37.42
65.57
52.46

Total
(%)
100.00
100.00
100.00

Berayun merupakan pola lokomosi utama yang digunakan orangutan
kalimantan di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta yang dilakukan dengan
menggunakan kedua tungkai depan yang menempel pada atap konstruksi kandang

7
yang terbuat dari besi, kemudian menggerakkan kedua tungkai depannya baik
secara bergantian dengan mengayunkan tubuhnya ke depan. Rata-rata waktu yang
dibutuhkan oleh orangutan kalimantan di Wildlife Rescue Centre untuk melakukan
perpindahan dengan pola lokomosi ini sebesar 5-10 detik. Di habitat aslinya,
orangutan melakukan aktivitas harian seperti beristirahat dan tidur di sarang,
makan, bermain, menelisik, berpindah dengan cara berayun dari pohon satu ke
pohon lainnya (Mawarda 2010). Pola lokomosi berayun (Gambar 3) biasa
digunakan individu orangutan di Wildlife Rescue Centre sebagai lontaran atau
awalan ketika akan melakukan pola lokomosi melompat dalam aktivitas
bergeraknya.

Gambar 3 Pola lokomosi berayun oleh Mungil.
Memanjat merupakan pola lokomosi terbanyak yang digunakan orangutan
kalimantan di Wildlife Rescue Centre setelah pola lokomosi berayun. Pola
lokomosi ini dilakukan pada sisi kandang dengan cara menggunakan keempat
tungkainya untuk memanjat baik secara vertikal (ke atas dan ke bawah) atau
secara horizontal (ke arah samping kanan atau kiri) (Gambar 4). Pola lokomosi ini
juga digunakan pada saat orangutan turun menuju dasar kandang untuk
menjangkau pakan dengan salah satu tungkai atas atau tungkai bawah. Hal ini
sesuai dengan Zanuansyah (2013) bahwa pada saat aktivitas makan, pola
lokomosi ini dilakukan agar satwa dapat menjangkau sumber-sumber pakan yang
tersembunyi dengan mudah baik di tajuk bagian atas, tengah maupun bawah.

Gambar 4 Pola lokomosi memanjat oleh Ucokwati.
Penggunaan keempat tungkai dan kedua tungkai bawah dalam aktivitas
bergerak orangutan yang berada di Wildlife Rescue Centre merupakan pola
lokomosi yang dilakukan di dasar kandang maupun di tempat istirahat (sarang).
Pola perpindahan dengan menggunakan keempat tungkai pada dasar kandang

lebih banyak dilakukan orangutan dibandingkan dengan perpindahan dengan
menggunakan kedua tungkai bawah (Gambar 5). Penggunaan dari keempat
tungkai orangutan dilakukan di dasar kandang (terestrial) dan di atas batang
pohon pengkayaan (arboreal), sedangkan dalam penggunaan dua tungkai bawah
hanya dilakukan di dasar kandang. Penggunaan pola lokomosi secara terestrial
atau di dasar kandang digunakan oleh ketiga individu dalam menjangkau atau
mengambil makanan dan dalam melakukan perpindahan jarak dekat. Hal ini
sesuai dengan Baroya (2012) yang menyatakan bahwa orangutan dapat
menggunakan keempat alat geraknya untuk berbagai aktivitas, seperti lokomosi
ataupun makan.

Gambar 5 Pola lokomosi berjalan dengan keempat tungkai oleh Ucokwati.
Melompat merupakan pola lokomosi terendah dibandingkan ketiga pola
lokomosi lainnya yang dilakukan orangutan kalimantan yang berada di Wildlife
Rescue Centre. Pola lokomosi ini lebih banyak terlihat pada individu orangutan
jantan dewasa (Joko), yaitu saat perpindahan dari bagian depan kandang menuju
tempat istirahat dengan melakukan lontaran cukup keras dengan perantara ban
yang digantung pada atap kandang. Pola lokomosi ini biasa dimulai dengan
ancang-ancang pergerakan awal sebagai lontaran maupun sebagai persiapan
sebelum melakukan lompatan. Aba-aba tersebut dapat berupa pergerakan lain
seperti berayun kemudian melompat, berjalan dengan kedua tungkai bawah
kemudian melompat dan duduk sebagai titik awal lontaran kemudian melompat
(Zanuansyah 2013).
Pola lokomosi berdasarkan tingkat umur dan jenis kelamin
Orangutan betina dewasa (Ucokwati)
Ucokwati merupakan orangutan pertama yang diamati dengan jenis kelamin
betina dengan umur sekitar 13 tahun (Gambar 6). Ucokwati merupakan orangutan
hasil serahan pihak BKSDA Jateng pada tahun 2011. Dalam setiap pengamatan,
dibutuhkan jarak sekitar 9 meter dari kandang untuk mengamati aktivitas bergerak
Ucokwati. Pengamatan terhadap individu ini dilakukan dengan cara bersembunyi
di balik rumpun bambu yang terdapat di sekitar kandang orangutan. Ucokwati
merupakan individu orangutan yang sangat peka terhadap aktivitas manusia yang
ada di sekitar kandang dibandingkan dengan kedua orangutan lainnya yaitu Joko
dan Mungil, sehingga dalam proses pengamatannya dibutuhkan kondisi yang
tenang dan tidak terlalu banyak terlihat pergerakan.

9

Gambar 6 Individu orangutan betina dewasa (Ucokwati).

Pola Lokomosi

Orangutan betina dewasa memiliki bobot tubuh sekitar 70 kg. Hal ini
mempengaruhi aktivitas bergerak dari orangutan tersebut. Berdasarkan hasil
pengamatan, Ucokwati lebih banyak menggunakan pola lokomosi memanjat
dalam melakukan aktivitas bergerak sebagaimana tersaji dalam Gambar 7.
Ucokwati lebih banyak menggunakan pola lokomosi memanjat dalam aktivitas
bergeraknya di dalam kandang yaitu sebesar 47.74% dari total seluruh pola
lokomosi. Pola lokomosi ini termasuk dalam perpindahan secara vertikal (ke atas
dan ke bawah) maupun horizontal (ke samping kanan atau kiri). Dalam aktivitas
memanjat ini, Ucokwati menggunakan keempat tungkainya untuk memompa
tubuhnya dan berpindah dari datu tempat ke tempat lain. Hal ini sesuai dengan
Gebo dan Chapman (1991) bahwa gerakan climbing yaitu pergerakan vertikal
baik ke atas maupun ke bawah secara bertahap. Gerakan naik atau turun secara
vertikal atau curam cenderung melalui dukungan kecil tidak teratur dan saling
terkait; empat kaki bergerak dalam pola yang sering tidak teratur dengan lengan
dan lutut dengan variabel posisi tangan dan kaki; lengan yang digunakan untuk
menarik tubuh sementara kaki bergantian mendorong tubuh ke atas atau ke depan.
Brachiasi

37.42%

Climbing

47.74%

Leaping

5.16%

Quadrapedal…
0

9.68%
20

40

60

Persentase

Gambar 7 Proporsi penggunaan pola lokomosi pada individu betina dewasa.
Pola lokomosi lainnya yang paling sering digunakan adalah berayun sebesar
37.42%. Dalam melakukan perpindahan dengan berayun rata-rata waktu yang
dibutuhkan Ucokwati untuk berpindah dari sisi kandang bagian depan menuju
sarang (tempat beristirahat) atau sebaliknya berkisar antara 8-10 detik, sedangkan
panjang jarak yang terbentuk dari ayunan kedua tungkai atasnya sebesar 70-100
cm. Proporsi penggunaan pola lokomosi berjalan dengan menggunakan keempat
tungkai dan kedua tungkai bawah serta melompat merupakan pola lokomosi yang
jarang dilakukan oleh Ucokwati. Penggunaan pola lokomosi berjalan dengan

menggunakan keempat tungkai lebih banyak dilakukan Ucokwati di dalam sarang
atau tempat istirahat, sedangkan penggunaan pola lokomosi berjalan dengan
kedua tungkai bawah sesekali terlihat pada saat Ucokwati turun ke dasar kandang
untuk mengambil makanan. Pola lokomosi melompat merupakan aktivitas yang
paling jarang dilakukan oleh Ucokwati. Pola lokomosi ini biasa dilakukan
Ucokwati untuk menjatuhkan tubuhnya di atas sarang atau tempat istirahat dan
sesekali terlihat pada saat memompa tubuhnya ke bagian atas kandang untuk
kemudian dilanjutkan dengan pola lokomosi lainnya.
Pada proses lokomosi yang dilakukan di dalam kandang, Ucokwati
cenderung bergerak lebih lambat dibandingkan individu lainnya. Ucokwati
cenderung melakukan lokomosi secara perlahan dan menggunakan waktunya
untuk mengamati sekitar termasuk memperhatikan aktivitas yang dilakukan oleh
anaknya (Gambar 8a). Selain itu Ucokwati juga melakukan lokomosi mengikuti
perpindahan anaknya (Gambar 8b). Hal ini sesuai dengan Rangkuti (2012) bahwa
proporsi penggunaan pola lokomosi orangutan betina cukup berpengaruh terhadap
kegiatan anaknya. Individu betina cenderung mengikuti pergerakan anaknya dan
selalu berada di sekitar anaknya. Begitu pula saat anak orangutan melakukan
aktivitas bergerak seperti bergelantungan, memanjat ataupun bermain individu
betina terlihat hanya diam dan memperhatikan tingkah laku anaknya tersebut.

(a)
(b)
Gambar 8 Ucokwati memperhatikan aktivitas anaknya (a) dan Ucokwati
mengikuti perpindahan anaknya (b).
Orangutan anak (Mungil)
Mungil merupakan orangutan kedua yang diamati dengan jenis kelamin
betina dengan umur sekitar 3 tahun. Mungil merupakan anak orangutan dari
Ucokwati dan Joko yang lahir pada tahun 2013. Setiap pengamatan dibutuhkan
jarak sekitar 6 meter dari kandang untuk mengamati aktivitas bergeraknya.
Pengamatan terhadap individu ini dilakukan dengan cara bersembunyi di balik
semak dan perdu yang terdapat di sekitar kandang orangutan. Mungil termasuk
anak orangutan yang cukup aktif dalam melakukan perpindahan di dalam
kandang, sehingga tidak banyak kesulitan yang dihadapi dalam mengamati
individu ini (Gambar 9).

11

Gambar 9 Individu orangutan anak (Mungil).
Anak orangutan memiliki bobot tubuh yang berkisar antara 10-30 kg. Hal
ini mempengaruhi aktivitasnya dalam bergerak. Dalam ativitas bergeraknya,
Mungil lebih banyak menggunakan pola lokomosi berayun seperti yang terdapat
pada Gambar 10. Dari seluruh aktivitas bergerak yang diamati, proporsi
penggunaan pola lokomosi berayun merupakan aktivitas terbesar yang dilakukan
Mungil dalam melakukan perpindahan yaitu sebesar 65.57%.

Pola Lokomosi

Brachiasi

65.57%

Climbing

27.59%

Leaping

1.52%

Quadrapedal / Bipedal

5.32%
0

20

40

60

80

Persentase

Gambar 10 Proporsi penggunaan pola lokomosi pada individu anak.
Rata-rata waktu untuk berayun yang dibutuhkan Mungil untuk berpindah
dari sisi kandang bagian depan menuju sarang (tempat beristirahat) atau
sebaliknya berkisar antara 6-8 detik, sedangkan panjang jarak yang terbentuk dari
ayunan kedua tungkai atasnya sebesar 40-60 cm. Penggunaan pola lokomosi
berayun ini termasuk pada saat Mungil melakukan aktivitas bermain pada ban
yang digantungkan menggunakan besi di dalam kandang. Sering juga terlihat
bahwa perpindahan yang dilakukan oleh Mungil mengikuti aktivitas yang
dilakukan induknya (Gambar 11).

Gambar 11 Aktivitas Mungil mengikuti aktivitas induknya.

Salah satu faktor besarnya proporsi penggunaan pola lokomosi berayun dan
memanjat antara lain disebabkan oleh semakin kuatnya otot pada kedua tungkai
atas dan tungkai bawahnya, sehingga Mungil semakin aktif dalam bergerak. Hal
tersebut didukung oleh Saczawa (2005) yang menyatakan bahwa semakin kuatnya
otot gerak pada anak orangutan, maka akan semakin aktif dan bervariasi dalam
bergerak. Proporsi penggunaan pola lokomosi berjalan dengan menggunakan
keempat tungkai dan kedua tungkai bawah serta melompat merupakan pola
lokomosi yang jarang dilakukan oleh Mungil. Penggunaan pola lokomosi berjalan
dengan menggunakan keempat tungkai dan kedua tungkai bawah dengan
persentase 5.32% sesekali terlihat digunakan oleh Mungil pada saat turun ke dasar
kandang untuk mengambil makanan, selain itu biasanya pola lokomosi ini
digunakan Mungil untuk mengikuti aktivitas induknya dalam mengambil
makanan. Pola lokomosi dengan persentase terendah yang dilakukan Mungil yaitu
aktivitas melompat sebesar 1.52%. Aktivitas melompat ini paling jarang
dilakukan oleh Mungil dan dapat disebabkan oleh ukuran tubuh dan anggota gerak
Mungil yang belum cukup untuk menjangkau tempat yang lebih tinggi.
Orangutan jantan dewasa (Joko)
Joko merupakan orangutan ketiga yang diamati dengan jenis kelamin jantan
dengan umur sekitar 13 tahun (Gambar 12). Sama halnya dengan Ucokwati, Joko
merupakan orangutan hasil serahan pihak BKSDA Jateng pada tahun 2011. Joko
merupakan individu jantan yang sangat aktif dengan pergerakannya di dalam
kandang. Dalam setiap pengamatan, dibutuhkan jarak yang cukup jauh untuk
mengamati Joko dibandingkan dengan individu lainnya, yaitu sekitar 12 meter
dari kandang. Pengamatan terhadap individu ini dilakukan dengan cara
bersembunyi di balik semak dan perdu yang terdapat di sekitar kandang
orangutan. Hal ini disebabkan oleh sifat Joko yang cenderung suka
memperhatikan aktivitas manusia yang ada di sekitar kandang.

Gambar 12 Individu orangutan jantan dewasa (Joko).
Orangutan jantan dewasa memiliki bobot tubuh yang mencapai 150 kg. Di
habitat aslinya orangutan dengan bobot tubuh yang besar membutuhkan jumlah
pakan yang lebih banyak dibandingkan dengan orangutan betina maupun anak,
sehingga dalam memenuhi kebutuhan pakannya diperlukan pergerakan yang
cukup tinggi untuk mencari dan mendapatkan pakan tersebut. Berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan, Joko lebih banyak menggunakan pola lokomosi
berayun seperti yang terdapat pada Gambar 13. Dari seluruh aktivitas bergerak
yang diamati, proporsi penggunaan pola lokomosi berayun merupakan aktivitas
terbesar yang dilakukan Joko dalam melakukan perpindahan yaitu sebesar

13
52.46%. Dalam melakukan perpindahan dengan berayun rata-rata waktu yang
dibutuhkan Joko untuk berpindah dari sisi kandang bagian depan menuju sarang
(tempat beristirahat) atau sebaliknya sekitar 5 detik, sedangkan panjang jarak yang
terbentuk dari ayunan kedua tungkai atasnya sekitar 100 cm. Penggunaan pola
lokomosi berayun yang dilakukan Joko selain digunakan untuk berpindah dari sisi
kandang bagian depan menuju sarang (tempat beristirahat) atau sebaliknya, juga
digunakan Joko dalam melakukan pergerakan yang dilakukan berulang-ulang di
salah satu bagian kandang. Orangutan jantan dewasa cenderung melakukan
banyak perpindahan karena sifatnya yang lebih aktif dan agresif dibandingkan
dengan individu betina maupun anaknya. Di habitat aslinya, orangutan jantan
dewasa lebih agresif dalam hal menjelajah dengan pergerakan yang begitu cepat
terutama bila mengejar betina untuk berhubungan seksual (Rangkuti 2012).

Pola Lokomosi

Brachiasi

52.46%

Climbing

32.55%

Leaping

7.07%

Quadrapedal / Bipedal

7.92%
0

10

20

30

40

50

60

Persentase

Gambar 13 Proporsi penggunaan pola lokomosi pada individu jantan dewasa.
Proporsi penggunaan pola lokomosi terbanyak selain berayun adalah
memanjat yaitu dengan persentase sebesar 32.55%. Pola lokomosi ini biasa
digunakan Joko sebagai awalan atau lontaran dalam melakukan perpindahan
secara berayun dengan gerakan yang relatif lambat. Tingginya proporsi
penggunaan pola lokomosi berayun dan memanjat yang dilakukan Joko di dalam
kandang disebabkan oleh sifat alami orangutan jantan yang senang berpindah
tempat dari satu pohon ke pohon lainnya untuk mencari makan dan memperluas
wilayah jelajahnya. Selain itu, pergerakan orangutan kemungkinan disebabkan
oleh faktor jenis kelamin. Orangutan jantan di alam harus mencari makanannya
sendiri dengan cara berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya, sedangkan
orangutan betina di alam setelah mencari makan akan kembali ke sarang bersama
dengan anaknya (Rijksen 1978).
Proporsi penggunaan pola lokomosi berjalan dengan menggunakan keempat
tungkai dan kedua tungkai bawah serta melompat memiliki persentase terendah
yang digunakan Joko dalam aktivitas bergeraknya dibandingkan dengan aktivitas
berayun dan memanjat yaitu sebesar 7.92% dan 7.07%. Namun jika dibandingan
dengan kedua individu lainnya, proporsi pola lokomosi melompat yang dilakukan
oleh Joko adalah yang paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh ukuran tubuh
dan kekuatan yang dimiliki Joko lebih besar dari pada Ucokwati dan Mungil.
Aktivitas melompat yang dilakukan oleh Joko terjadi dalam waktu yang relatif
cepat, yaitu dengan cara melontarkan tubuhnya dengan keras setelah sebelumnya
diawali dengan aktivitas berayun. Joko cenderung lebih sering turun ke dasar
kandang untuk mengambil dan memilah makanannya yang kemudian akan dibawa
menuju ban yang digantung di atap kandang dengan cara berjalan dengan

menggunakan kedua tungkai bawah dengan sesekali berpegangan pada besi
kandang menggunakan salah satu tangan atau tungkai bagian atasnya (Gambar
14).

Gambar 14 Aktivitas berjalan dengan menggunakan kedua tungkai bawah pada
Joko dalam menjangkau pakan.
Kebutuhan Perkandangan
Data perkandangan
Sistem perkandangan orangutan kalimantan di Wildlife Rescue Centre
Yogyakarta menggunakan sistem intensif, yaitu merupakan sistem yang seluruh
pengelolaan, baik kandang, pakan dan satwa seluruhnya diatur oleh pengelola.
Salah satu bentuk pengelolaan pakan dalam sistem intensif ini antara lain
pemberian pakan orangutan yang diberikan oleh pengelola melalui keeper untuk
diberikan kepada orangutan, sehingga orangutan yang berada dalam kandang
tidak memungkinkan untuk mencari makan sendiri seperti orangutan yang tinggal
di habitat aslinya. Data mengenai kebutuhan perkandangan ketiga orangutan
kalimantan yaitu meliputi data pengkayaan yang dibutuhkan pada setiap kandang
untuk masing-masing individu orangutan yang mendukung aktivitas bergeraknya.
Kandang berfungsi sebagai habitat buatan bagi satwa. Sebagai habitat
buatan kandang harus memenuhi semua kebutuhan hidup satwa, seperti luas
kandang harus cukup agar satwa dapat bergerak secara bebas, suhu dan
kelembaban yang cukup, adanya komponen pendukung dalam kandang seperti
tempat berlindung dan tempat beristirahat, dan terjaganya sanitasi kandang
(Nawangsari 2014). Kebutuhan kandang harus mempertimbangkan kebiasaan
orangutan di habitat aslinya, seperti kebiasaan memanjat pohon, berayun dari satu
pohon ke pohon lain, berjalan dengan menggunakan kedua tungkai atau keempat
tungkainya, dan melompat dari satu tempat ke tempat lain.
Ketiga individu orangutan yang berada di Wildlife Rescue Centre
menempati dua kandang permanen. Kandang pertama digunakan untuk individu
jantan dewasa (Joko) dan kandang kedua digunakan untuk individu betina dewasa
(Ucokwati) dan anaknya (Mungil). Jenis, konstruksi dan fasilitas kandang
orangutan kalimantan di Wildlife Rescue Centre tersaji pada Tabel 3.

15
Tabel 3 Jenis, konstruksi dan fasilitas kandang orangutan kalimantan di Wildlife
Rescue Centre Yogyakarta.
No.

Jenis kandang

1.

Kandang
utama

2.

Kandang
isolasi

Konstruksi kandang
Besi beton
berdiameter 8 mm,
ukuran kandang 5.5 x
3.6 x 3.65 m3, lantai
terbuat dari semen.
Besi beton
berdiameter 8 mm,
ukuran kandang 2.8 x
2.0 x 3.65 m3, lantai
terbuat dari semen.

Jumlah
kandang
2

2

Pengkayaan kandang
Ban gantung, bak minum
permanen, pohon
pengkayaan, saluran
pembuangan, tempat
beristirahat.
Ban gantung dan pohon
pengkayaan.

Kandang pemeliharaan berfungsi sebagai tempat tinggal orangutan di
Wildlife Rescue Centre Yogyakarta. Kandang pemeliharaan ini terdiri atas
kandang utama dan kandang isolasi yang dipisahkan oleh pintu pembatas.
Hubungan antara kondisi kandang dengan pola lokomosi yaitu ukuran kandang
yang meliputi panjang, lebar serta tinggi kandang akan mempengaruhi aktivitas
bergerak dari orangutan kalimantan tersebut. Ukuran serta luas kandang harus
memenuhi standar agar orangutan dapat bergerak dengan nyaman seperti di
habitat aslinya dan dapat terhindar dari stress akibat perubahan habitat, dari
habitat alami ke habitat buatan (kandang). Kandang utama orangutan berukuran
5.5 x 3.6 x 3.65 m3 dan kandang isolasiberukuran 2.8 x 2.0 x 3.65 m3 dengan
konstruksi terbuat dari besi berdiameter 0.8 cm dan lantai kandang yang terbuat
dari semen. Tempat bergerak orangutan dalam kandang pemeliharaan seluas 19.8
m2 dengan tinggi kandang 3.65 m. Sketsa kandang orangutan yang terdapat di
Wildlife Rescue Centre tersaji pada Gambar 15.

Gambar 15 Sketsa kandang orangutan di Wildlife Rescue Centre Yogyakarta.
Menurut Cocks (2011) setiap tujuan dalam manajemen penangkaran harus
menyesuaikan kondisinya sedekat mungkin dengan keadaan lingkungan satwa di
habitat aslinya. Dalam hal ini tidak ada aturan mengenai ruang yang harus
terpenuhi, namun pada dasarnya setiap penangkaran tidak dapat menggantikan

ruang yang tersedia di alam liar sebagai habitat bagi satwa. Meskipun keberadaan
pengkayaan yang ada dapat mengurangi efek dari keterbatasan ruang dan alat
pada satwa untuk melakukan aktivitasnya, pengelola harus memperhatikan bahwa
ruang yang serupa dengan habitat aslinya tidak dapat tersedia. Oleh karena itu
lebih besar ukuran kandang yang dimiliki penangkaran akan lebih baik untuk
keberadaan satwa. Ukuran kandang orangutan berdasarkan beberapa sumber
acuan tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Ukuran kandang orangutan berdasarkan beberapa sumber acuan.
No.
1

2
3
4
5
6

Sumber Acuan
Guide for The Care and Use of
Laboratory
Animals
(Eighth
Edition)
International Guideline for the
Acquisition Care and Breeding of
Nonhuman
Primates
(Second
Edition)
Primate Policy Welfare
Auckland Zoo, Australia
Guideline for Care and Use of
Nonhuman Primates (Third Edition)
Wildlife Rescue Centre Yogyakarta*

Ukuran kandang
Luas (m2)
Tinggi (m)
2.32

2.13

2.25

2.13

137.75
98.80

4.50
5.00

2.25

2.13

19.80

3.65

* Penelitian yang dilakukan oleh penulis

Berdasarkan beberapa sumber data acuan yang dijadikan pembanding
terhadap ukuran kandang, Wildlife Rescue Centre Yogyakarta telah menyediakan
kandang orangutan dengan ruang yang cukup, namun dalam aktivitas bergeraknya
orangutan memerlukan ukuran yang lebih besar untuk memenuhi semua
kebutuhan sehari-harinya. Ukuran kandang harus mencukupi semua kebutuhan
orangutan dalam melakukan aktivitas bergeraknya untuk mendukung
mempertahankan kemampuan alaminya, sehingga luas kandang akan berpengaruh
terhadap perpindahannya secara horizontal dan tinggi kandang akan berpengaruh
terhadap kemampuannya hidup secara arboreal. Dari data acuan ukuran kandang
diatas, ukuran kandang yang disarankan untuk orangutan di Wildlife Rescue
Centre yaitu dengan panjang 6 m, lebar 6 m dan tinggi kandang 5 m. Hal ini
dipertimbangkan dari keadaan lokasi kandang dan lingkungan sekitar serta untuk
membantu orangutan agar tetap dapat mempertahankan kemampuan alaminya,
sehingga orangutan memiliki kesempatan untuk kembali ke habitat aslinya.
Pengkayaan (enrichment) kandang
Pengkayaan lingkungan memiliki tujuan utama untuk meningkatkan
kesejahteraan satwa dengan tetap mempertahankan kemampuan stimulasi sensorik
dan motorik (Commission on Life Sciences National Research Council 1996).
Pengkayaan lingkungan yang perlu dilakukan salah satunya adalah pengkayaan
kandang. Kondisi kandang yang baik dengan ukuran yang cukup serta
perlengkapan yang memadai dapat mendukung aktivitas bergerak satwa di dalam
kandang. Dirjen PHKA (2011) menyatakan bahwa syarat kandang dalam
pengelolaan dan perawatan satwa diantaranya luas kandang harus cukup untuk

17
satwa bergerak secara bebas, enrichment (tersedia pohon), konstruksi kandang
harus kuat dan tidak membahayakan satwa, terdapat tempat untuk berlindung
satwa, ketersediaan udara yang segar dan ketersediaan kualitas air. Kandang
orangutan yang terdapat di Wildlife Rescue Centre telah dilengkapi dengan
beberapa alat yang bisa membantu mempertahankan sifat asli orangutan di habitat
alaminya seperti ayunan yang terbuat dari ban bekas yang digantung pada atap
kandang dan batang pohon yang diletakkan di beberapa sudut kandang.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Wildlife Rescue Centre,
kandang orangutan cukup menyediakan ruang bagi orangutan dalam melakukan
aktivitas bergeraknya, tersedianya enrichment yang ada di dalam kandang yaitu
ban gantung dan pohon, terdapat tempat berlindung seperti tempat istirahat yang
tertutup oleh atap seng, ketersediaan udara segar karena kandang orangutan
dikelilingi oleh kebun yang ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan, dan kualitas
air untuk kebutuhan minum yang baik karena selalu diganti setiap harinya, namun
untuk konstruksi kandang orangutan yang memiliki diameter besi sebesar 0.8 cm
masih dianggap kurang kuat untuk menjaga orangutan yang cukup pintar dan
memiliki kekuatan yang besar. Ukuran diameter besi kandang yang disarankan
yaitu sekitar 2 cm, hal ini untuk mencegah orangutan untuk merusak kandang
dengan mudah pada saat-saat tertentu.
Kandang harus disesuaikan dengan habitat satwa di alam. Kehidupan
orangutan di habitat alaminya sangat tergantung pada pohon untuk melakukan
aktivitasnya sehari-hari (Nawangsari 2014). Kandang orangutan yang ditempati
oleh Ucokwati dan Mungil dilengkapi dengan 5 buah ban gantung dan 4 batang
pohon yang digunakan sebagai enrichment di dalam kandang, sedangkan untuk
kandang yang ditempati oleh Joko hanya dilengkapi dengan 4 buah ban gantung
(Gambar 16). Hal ini dikarenakan sifat Joko yang cenderung lebih agresif
dibandingkan dengan Ucokwati dan Mungil, sehingga enrichment pohon yang
pernah diberikan oleh pengelola dapat dihancurkan dengan mudah.

Gambar 16 Kandang Ucokwati dan Mungil dengan pengkayaan ban gantung dan
batang pohon.
Pemberian pengakayaan kandang berupa batang pohon bertujuan untuk
mendukung sifat asli orangutan untuk memanjat pohon yang ada di habitat aslinya.
Tidak tersedianya batang pohon di kandang Joko dapat digantikan dengan batang
pohon buatan yang terbuat dari semen dengan tujuan agar Joko tidak kembali
merusak pengkayaan yang diberikan dan mencegah cidera pada Joko. Dengan
adanya batang pohon buatan tersebut diharapkan Joko tetap dapat

mempertahankan sifat aslinya dalam memanjat pohon seperti di habitat aslinya
untuk melakukan aktivitas lokomosi.
MacKinnon (1974) menyatakan orangutan merupakan hewan arboreal,
yakni hewan yang segala aktivitasnya dilakukan di atas pohon. Menurut Povinelli
dan Cant (1995) tajuk pohon orangutan di habitat aslinya digunakan dalam
kegiatan yang bersifat arboreal. Sebagai satwa pemakan buah (frugivora)
orangutan memiliki tiga kegiatan utama, yaitu pergerakan secara vertikal
(memanjat pohon atau liana), pergerakan secara horizontal (berpindah dari satu
pohon ke pohon yang lain) dan posisi untuk makan (baik dalam mengakses atau
memperoleh makanan, terutama buah-buahan yang banyak ditemukan di ujung
cabang pohon).
Dalam hasil pengamatan didapatkan bahwa ketiga orangutan yang diamati
cenderung lebih banyak melakukan aktivitas bergeraknya seperti berayun dan
memanjat di bagian atas kandang baik di ban gantung dan di pohon enrichment,
dan jarang melakukan aktivitasnya di dasar kandang. Ban gantung dan pohon
enrichment yang terdapat di dalam kandang orangutan digunakan sebagai
pengganti tajuk pohon yang ada di habitat aslinya. Hal ini dapat dikatakan bahwa
kondisi kandang orangutan di Wildlife Rescue Centre dengan berbagai enrichment
sudah cukup memenuhi kebutuhan orangutan dalam melakukan berbagai aktivitas
bergeraknya seperti yang biasa dilakukan orangutan di habitat aslinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Russon (2015) menyatakan bahwa
penggunaan alat gerak orangutan untuk kondisi arboreal yang dilakukan di
beberapa tempat penelitian di Kalimantan dan Sumatera baik yang berada pada
alam liar, lokasi rehabilitasi dan penangkaran menunjukkan jumlah penggunaan
aktivitas arboreal yang berbeda. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa jenis
kegiatan arboreal orangutan yang berada di alam liar dan di rehabilitasi lebih
banyak melakukan pergerakannya secara horizontal (berayun) dibandingkan
dengan pergerakan secara vertikal (memanjat), sedangkan orangutan yang berada
di penangkaran lebih banyak melakukan pergerakan secara vertikal (memanjat),
dibandingkan dengan pergerakan horizontal (berayun).
Jenis kandang orangutan di Wildlife Rescue Centre merupakan kandang
yang bentuknya hampir serupa dengan penangkaran yang sifatnya membatasi
ruang gerak orangutan, yaitu setiap aktivitas yang dilakukan oleh orangutan hanya
dilakukan di dalam kandang dengan dukungan beberapa pengkayaan yang dibuat
untuk mempertahankan perilaku alaminya di habitat aslinya. Berbeda dengan hasil
pengamatan yang dilakukan di Wildlife Rescue Centre, jumlah pergerakan ketiga
orangutan secara horizontal (berayun) lebih banyak dibandingkan dengan
pergerakan secara vertikal (memanjat). Hal ini dapat dikatakan bahwa dukungan
dari berbagai jenis pengkayaan di dalam kandang dapat membantu orangutan
untuk tetap menggunakan dan mempertahankan sifat alaminya untuk melakukan
aktivitas bergeraknya di dalam kandang. Tem