Pendugaan kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) dan karakteristik genetiknya di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat

(1)

i

KALIMANTAN (

Pongo pygmaeus pygmaeus

) DAN

KARAKTERISTIK GENETIKNYA DI

KABUPATEN KAPUAS HULU

KALIMANTAN BARAT

HARI PRAYOGO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pendugaan Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) dan Karakteristik Genetiknya Di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Hari Prayogo NIM E3610900031


(3)

iii

HARI PRAYOGO. Pendugaan Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) dan Karakteristik Genetiknya Di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Supervised by ACHMAD MACHMUD THOHARI, DEDY DURYADI SOLIHIN, LILIEK BUDI PRASETYO and JITO SUGARDJITO.

Orangutan merupakan salah satu jenis kera besar yang ada di Indonesia, yang sebarannya terbatas hanya di Sumatera bagian utara dan Kalimantan. Orangutan telah dibedakan menjadi dua jenis yang berbeda yaitu Pongo abelii untuk orangutan Sumatera danPongo pygmaeusuntuk orangutan Kalimantan.

Berdasarkan konsep phylogenetik (Phylogenetic Species Concept) orangutan Kalimantan telah dibedakan menjadi tiga anak jenis yang berbeda yaitu P.p. pygmaeus, P. p. wurmbii dan P. p. morio. Anak jenis di Kalimantan Barat terdiri atas P. p. pygmaeus dan P. p. wurmbii. Studi ini dilakukan untuk memahami dampak dari kebijakan tata guna lahan terhadap sebaran orangutan, karena sampai saat ini banyak terjadi alih fungsi lahan pada kawasan yang menjadi habitat orangutan. Hal ini mengakibatkan terjadinya fragmentasi habitat orangutan. Sebagai akibatnya adalah saat ini sebaran orangutan terbatas hanya di beberapa lokasi yang terpisah-pisah. Wilayah yang masih aman sebagai habitat orangutan adalah di dalam kawasan taman nasional.

Orangutan memerlukan habitat yang spesifik, tidak semua kawasan taman nasional cocok sebagai habitat bagi orangutan. Faktor yang penting sebagai habitat bagi orangutan adalah ketersediaan pakan berupa buah, kondisi tutupan lahan yang memiliki tajuk saling bersambungan untuk mengakomodasi pergerakanannya, tingkat gangguan dari aktivitas manusia yang sedikit, serta kelerengan yang landai dan ketinggian tertentu.

Hilangnya habitat menyebabkan banyak orangutan memasuki kawasan yang dihuni masyarakat sehingga ditangkap untuk berbagai tujuan dan pada akhirnya disita oleh pihak berwenang dan ditempatkan di tempat-tempat rehabilitasi. Asal usul yang tidak jelas menimbulkan masalah pelepasliaran kembali orangutan di habitat aslinya, untuk itu diperlukan penanda genetik handal dalam memverifikasi keaslian orangutan tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis sebaran spasial serta kesesuaian habitat orangutan anak jenisP. p. pygmaeusdi kawasan TNBK, TNDS dan kawasan koridor yang menghubungkan kedua kawasan taman nasional tersebut, mengungkapkan dan menganalisis keanekaragaman genetik antara populasi orangutan anak jenisP. p. pygmaeus dengan menggunakan sampel yang diambil secara invasive dan non invasive, dan mengungkapkan sebaran spasial berdasarkan keanekaragaman genetik orangutan serta kesesuaian habitatnya.

Penelitian ini dilakukan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh untuk memetakan sebaran dan kesesuaian habitat orangutan di Taman Nasional Betung Kerihun, Taman Nasional Danau Sentarum dan koridor yang menghubungkan kedua taman nasional ini, serta menggunakan teknologi biology molekuler untuk menganalisis DNA mitokondria dan DNA inti (terutama khromosom Y) yang dimiliki oleh orangutan.


(4)

iv

orangutan di lokasi penelitian dengan menggunakan GPS, dan analisis spasial dilakukan dengan menggunakan software Arcgis 9.3, Erdas Imagine 9.1 dan Excel 2007. Pada sebaran spasial digunakan tujuh parameter yaitu pemukiman (desa dan dusun), sungai besar, sungai kecil, jalan, kemiringan lereng (slope), ketinggian (elevasi) dan NDVI (Normalization Difference Vegetation Index).

Untuk analisis DNA didasarkan pada sampel orangutan secara non invasive berupa rambut dari sarang yang telah ditinggalkan oleh orangutan, selain itu dilengkapi pula sampel DNA dari pusat rehabilitasi (“pusat rehabilitasi Kobus” di

Kabupaten Sintang dan International Animal Resque (IAR) di Kabupaten Ketapang) yang berada di Kalimantan Barat berupa darah dan rambut (invasive dannon invasive).

Analisis berikutnya digunakan metode ekstraksi dan purifikasi DNA, PCR memakai marker DNA mitokondria Dloop dan DNA inti berupa gen sexing (gen SRY), dan sequencing dari sampel tersebut. Hasil akhir dari sequencing selanjutnya diolah dengan menggunakan software Mega 4.

Dari hasil penelitian spasial didapatkan bahwa ketiga lokasi penelitian TNBK, koridor dan TNDS memiliki tingkat kesesuaian habitat yang tinggi yaitu sebesar 53.72%, tingkat kesesuaian sedang sebesar 42.94% dan kesesuaian rendah sebesar 3.34%. dengan tingkat validasi sebesar 93.63%.

Daerah dengan kesesuaian yang tinggi berada di daerah rawa di TNBK dan di seluruh daerah sungai kecil. Di kedua daerah ini banyak dijumpai orangutan karena daerah ini banyak menyediakan sumber pakan bagi orangutan, selain itu daerahnya relatif lebih landai yang memudahkan pergerakan bagi orangutan. Daerah yang dekat dengan pemukiman dan ketinggian lebih dari 700 m dpl merupakan daerah yang memiliki kesesuaian yang paling rendah.

Berdasarkan hasil analisis DNA mitokondria dengan menggunakan penanda genetik Dloop dan sexing (gen SRY) dari sampel yang didapat baik secara invasive dan non invasive, didapatkan hasil pada pohon phylogeny dengan dua klaster yang berbeda. Satu klaster mewakili daerah TNDS, koridor dan TNBK artinya termasuk kedalam anak jenis P. p. pygmaeus dan satu lagi klaster yang bisa dianggap mewakili anak jenis lainnya yang berada di Kalimantan Barat. Hasil analisis dengan gen SRY menunjukkan bahwa sebaran orangutan jantan diketahui berada di daerah Camp Derian (TNBK), Pulau Mayas (koridor satwa) dan di daerah bukit selasih (TNDS).

Hasil analisis spasial dan genetik ini membantu pengelolaan konservasi agar pada saat dilakukan pelepasliaran orangutan hasil rehabilitasi dapat dilakukan dengan tepat, sehingga tidak terjadi kekeliruan pelepasliaran dilakukan bukan pada tempat suatu anak jenis awal berada.


(5)

v

HARI PRAYOGO. Habitat Suitability Estimation and Genetik Diversity of Borneo Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) in Kapuas Hulu, West Kalimantan. Supervised by ACHMAD MACHMUD THOHARI, DEDY DURYADI SOLIHIN, LILIEK BUDI PRASETYO and JITO SUGARDJITO.

Orangutan is one of the great apes which live in Indonesia. The distribution is limited only in Borneo and Northern Sumatera. Orangutan have been divided into two different species, Pongo abelii for Sumateran orangutan and Pongo pygmaeus for Bornean orangutan. Based on the Phylogenetic Species Concept (PSC), Bornean orangutans have been divided into three different subspecies, namely P.p. pygmaeus, P. p. wurmbii, and P. p. morio. Subspecies in West Borneo consists of P. p. pygmaeus and P. p. wurmbii. This study was conducted to understand the impact of land use policies on the distribution of orangutans, because until now there have been many land conversion in areas of orangutan habitat. Forest land has been converted into settlements, roads, fields, and large-scale plantations. This resulted in a fragmentation of orangutan habitat. As a result, the distribution of orangutans are now confined to a few discrete locations. Areas where orangutan habitat still safe are located inside the national park.

Orangutans require specific habitat whereas, there are not all of the national park areas as a suitable habitat for orangutans. The important factor for habitat of orangutan is the availability of food sources such as fruit, land cover

conditions that connects tree’s canopy to enable orangutan moves, as well as slopes and ramps at certain height.

Habitat loss affects orangutan to enter an area occupied by people. This might cause many orangutans were captured by people for various purposes. These orangutans were usually seized by the authorities and placed it in rehabilitation center. The place of origin of these captured animals did not clear however, and it could creates problem when these orangutans will be released into their natural habitat. Therefore, it is necessary to trace back their genetic relationships with their counterpart in the wild in order to maintain their genetic diversity.

The purpose of this study is to analyzed the spatial distribution and habitat suitability of orangutan subspecies P. p. pygmaeus in the BKNP, DSNP and corridor area that connects the two areas of the national parks. It has expressed and analyzed the genetic diversity among populations of orangutan subspecies P. p. pygmaeususing samples taken in the forms of invasive and non-invasive, and it will show the spatial distribution based on the genetic diversity and the habitat suitability of the orangutan.

This study was carried out through remote sensing technology for mapping the distribution and suitability of orangutan habitat in the Betung Kerihun National Park (BKNP), Danau Sentarum National Park (DSNP) and the corridor between those two national parks, whereas the molecular biology technique was


(6)

vi (especially Y chromosome).

Data collection was done by mapping the findings of traces or orangutan nests in the study area using GPS and used the software ArcGIS 9.3, ERDAS Imagine 9.1, and Excel 2007 for spatial analysis. Spatial distribution using seven parameters, that is settlements (villages and hamlets), large rivers, small streams, roads, slope, altitude (elevation), and NDVI (Normalization Difference Vegetation Index).

For DNA analysis has been done based on a sample of non-invasive form of

orangutans’ hair from a nest that has been abandoned by the orangutan. in addition it is also equipped DNA samples from rehabilitation center ("Kobus

Rehabilitation Center" in Sintang and “International Animal Resque” (IAR) in

Ketapang) which situated in West Kalimantan in the form of blood and hair (invasiveandnon-invasive).

Subsequent analyzes have been used the extraction method and the purification of DNA, the PCR has used Dloop DNA mitochondrial markers and core DNA sexing gene (SRY gene), and sequencing of these samples. The final results were processed using the software Mega 4.

The results revealed that the three study sites, TNBK, corridors, and TNDS have a high level of habitat suitability at 53.72%, concordance rate was at 42.94%, and low suitability at 3.34% with a validation level at 93.63% (moderate and high suitability class).

Areas with high suitability were in the swamp area in TNBK and in the

whole area of small streams. In both of these regions orangutans’ encountered

because these areas provide many sources of food for orangutans. In addition, the regions were relatively more flat, therefore it facilitates movement of orangutans. The areas close to residential with an altitude of more than 700 m above sea level was an area that has the lowest suitability.

Based on the analysis of mtDNA using genetic markers D-loop and sexing (SRY gene) from the samples of both invasive and non-invasive, and then analyzed using P-distance method, the results showed that the phylogeny tree were consisted of two distinct clusters. One cluster represents TNDS areas, corridors, and TNBK which means belonging to the subspecies P. p. pygmaeus and another cluster could be considered a representative of other subspecies residing in West Kalimantan. The results of the analysis using SRY gene showed that the distribution of male orangutans were known to be in the Camp Derian area (BKNP), Pulau Mayas (wildlife corridor), and in the Bukit Selasih area (DSNP).

The results of spatial and genetic analysis may help conservation management. It is therefore, when the rehabilitant orangutan will be released, it can be done properly, and it does not need make any mistakes to release in the different subspecies place .


(7)

vii

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

viii

KALIMANTAN (

Pongo pygmaeus pygmaeus

) DAN

KARAKTERISTIK GENETIKNYA DI

KABUPATEN KAPUAS HULU

KALIMANTAN BARAT

HARI PRAYOGO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Hutan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

ISNTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

ix

Dr. drh. Joko Pamungkas, MSc Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MS

Penguji pada Ujian Terbuka :

Jatna Supriatna, PhD DR. Entang Iskandar


(10)

x

pygmaeus pygmaeus) dan karakteristik genetiknya di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat

Nama : Hari Prayogo

NIM : E361090031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Liliek Budi Prasetyo, MSc Jito Sugardjito, PhD

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Konservasi Biodiversitas Hutan Tropika

Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr


(11)

xi

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuania-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian ini adalah konservasi genetik yang dilaksanakan pada Maret 2011 sampai Desember 2012 adapun judul disertasi ini adalah Pendugaan kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) dan karakteristik genetiknya di Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, DEA, Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Prof. Dr. Ir. Liliek Budi Prasetyo, MSc, dan Jito Sugardjito, PhD selaku pembimbing. Disamping itu terimakasih juga diucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud MSc, selaku ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Hutan Tropika Fakultas Kehutanan IPB beserta staf pengajar dan staf administrasinya, terimakasih juga kepada Bapak Heri Jumhaer dan rekan-rekan di Laboratorium Biologi Molekuler PPSHB IPB yang telah membantu dalam melakukan analisis DNA, rekan-rekan di Laboratorium Analisis Lingkungan Fahutan IPB (Irham, Ardhie, Reza dkk) yang telah banyak membantu dalam melakukan analisis spasial, serta rekan-rekan di WWF Kalimantan Barat (Albertus Tjiu, Dewi, Hermayani, Zulkifli dan Amri) yang membantu saat pengambilan data di lapangan. Terimakasih juga untuk Peter Widmann dari Katala Foundation Philipina, Bapak Hasudungan Pakpahan beserta staf dari Yayasan Kobus Sintang dan drh. Adi dari Yayasan IAR Ketapang.

Ungkapan terimakasih yang tak terhingga juga disampaikan kepada Ibunda, Istri (Dian Mustika Kurniati) dan anak-anak (Sekar Hadyani ‘Amirah, Dyah Shabrina Khairunnisa, dan Widati Adzkiya Qurrata‘aini) serta anggota keluarga lainnya atas doa, support dan kasih sayang yang tak putus-putus.

Semoga karya ilmiah ini memberi banyak manfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2014


(12)

xii

SUMMARY v

PRAKATA xi

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Tujuan Penelitian 5

1.4 Manfaat Penelitian 6

1.5 Novelty 6

II. METODOLOGI 7

2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 7

2.2 Teknik Pengambilan Data 8

2.3 Pemetaan sebaran orangutan 8

2.4 Tahapan Untuk Analisis Spasial 8

2.5 Tahapan Untuk Analisis DNA 12

1) Ekstraksi sampel DNA total 12

2) AmplifikasiDNA 13

3) Sequencing 14

2.6 Analisis Spasial 14

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 15

3.1 Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) Di Taman Nasional Betung Kerihun, Koridor Dan TN

Danau Sentarum, Kalimantan Barat 15

1) Luas daerah penelitian 15

2) Parameter kesesuaian habitat orangutan 15

3) Analisis data model kesesuaian habitat orangutan 29

4) Kesesuaian habitat bagi orangutan 33

5) Validasi 35

3.2 Sebaran Spasial Berdasarkan Karakteristik perbedaan genetik MtDNA Dloop dan DNA Inti berupa gen SRY pada kromosom Y Orangutan Kalimantan 37

1) Sampel yang berasal dari alam 37

2) Sampel yang berasal dari Pusat Rehabilitasi 39

3) Hasil PCR 42

4) Hubungan Kekerabatan antar individu. 43

IV. PEMBAHASAN UMUM 46

1) Sebaran spasial 46


(13)

xiii

1. Luas daerah penelitian di TNBK, koridor dan TNDS 15 2. Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari

pemukiman 16

3. Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari jalan 19 4. Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari

Sungai Besar 20

5. Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari

Sungai Kecil 21

6. Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas kemiringan

lereng 24

7. Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas ketinggian 27 8. Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan pembagian daerah

NDVI 29

9. Keragaman total komponen utama 31

10. Vektor ciri PCA habitat orangutan 31

11. Koefisien tiap variabel kesesuaian habitat orangutan (P. p. pygmaeus) 32 12. Skor yang digunakan dalam menentukan kesesuaian habitat bagi

orangutan di lokasi penelitian 32

13. Nilai Indeks Kesesuaian Habitat luas habitat untuk orangutan di

TNBK, Koridor dan TNDS 34

14. Hasil validasi model kesesuaian habitat orangutan di TNBK, koridor

dan TNDS 35

15. Hasil analisis sampel orangutan yang berasal dari sarang di alam 38 16. Nama dan asal individu orangutan di Pusat Rehabilitasi 39

17. Sampel orangutan yang dianalisis DNAnya 40

18. Hasil pengukuran konsentrasi DNA dengan menggunakan

nanophotometer 41

DAFTAR GAMBAR

19. Peta sebaran orangutan berdasarkan pembagian anak jenis di

Kalimantan 3

20. Peta lokasi penelitian di TN Betung Kerihun, TN Danau Sentarum dan

daerah koridor 7

21. Peta sebaran sarang Orangutan berdasarkan jarak dari pemukiman 17 22. Peta sebaran sarang orangutan berdasarkan jarak dari jalan 18 23. Peta sebaran sarang orangutan berdasarkan jarak dari sungai besar 22 24. Peta sebaran sarang orangutan berdasarkan jarak dari sungai kecil 23 25. Peta sebaran sarang berdasarkan kelerengan tempat 25 26. Peta sebaran orangutan berdasarkan ketinggian tempat 28 27. Peta sebaran sarang orangutan berdasarkan NDVI 30 28. Peta kesesuaian habitat untuk orangutan di TN Betung Kerihun,


(14)

xiv

mengandung folikel yang diambil dari dari sarang di alam 37 30. Kondisi rambut orangutan (P. p. pygmaeus) yang sudah rusak bagian

folikelnya yang diambil dari dari sarang di alam 37 31. Profil pita hasil amplifikasi fragmen D-loop orangutan (Pongo

pygmaeus pygmaeus) menggunakan primer DLOH_R dan DLOH_F

dengan menggunakan sampel darah 42

32. Profil pita hasil amplifikasi gen sexing orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) menggunakan primer SRY_R dan SRY_F dengan

menggunakan sampel rambut 42

33. Pohon phylogenetik yang didapat dari fragmen D-loop mtDNA orangutan Kalimantan Barat dan sebagai outgroup adalah Helarctos

malayanus 44

34. Pohon phylogenetik yang didapat dari fragmen D-loop mtDNA orangutan Kalimantan Barat dan sebagai standar pembanding adalah data dari NCBI berupa sampel orangutan yang berasal dari TN Danau Sentarum (OU-DSME1, OU-DSME2, OU-DSRA dan OU-DSLE1) 45 35. Pohon phylogenetik yang didapat dengan menggunakan primer

SRY_F dan SRY_R dari orangutan Kalimantan Barat dan sebagai outgroup adalah Pongo abelii dengan kode akses XM_003780571 (CD_1: berasal dari TNBK, PM.2: berasal dari koridor, 385.2, 387_1 dan 388_1 berasal dari TNDS, John, Mamat dan Ribang berasal dari

rehabilitasi). 46

36. Sebaran geografi orangutan berdasarkan hasil analisis sampel dengan


(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan pada bidang biologi konservasi (Allouche et al. 2008). Keunggulan teknologi ini diantaranya dapat mengetahui kondisi suatu habitat satwaliar seperti orangutan secara komprehensif. Perkiraan luas dan perbedaan kondisi suatu kawasan dapat dilihat secara jelas dan lebih mudah. Perkembangan teknologi satelit ini dapat membaca suatu wilayah yang luas dengan biaya yang lebih murah dan cepat bila dibandingkan harus dilakukan secara langsung ke lapangan.

Penentuan secara tepat sebaran suatu jenis satwa terancam punah pada suatu daerah merupakan faktor penting dalam biologi konservasi (Chefaoui dan Lobo 2006). Sebaran satwa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat mempengaruhi kondisi lingkungan disekitarnya termasuk habitat satwa yang terancam punah dan karena itu banyak negara di dunia melakukan perlindungan alam dan biodiversitasnya sebelum banyak satwa punah untuk selamanya.

Pengelolaan suatu kawasan menjadi tidak efektif tanpa informasi yang komprehensif pada data habitat dan distribusi suatu jenis satwa yang menjadi prioritas (Tole 2006). Pengelolaan yang terintegrasi diharapkan dapat berperanan penting dalam konservasi jenis satwa terancam punah (Bruffordet al. 2005). Dalam bidang teknologi pengelolaan untuk jenis satwa terancam punah seperti orangutan, restorasi ekosistem, re-introduksi orangutan, analisis viabilitas populasi dan habitat serta konflik antara manusia dan satwa liar, sering menggunakan pendekatan dengan suatu model kesesuaian habitat (Hirzelet al.2004, Larsonet al.2003, Long et al. 2008). Sistem informasi geografis (GIS) dikombinasikan dengan penghitungan multivariat biasanya digunakan untuk menentukan kesesuaian habitat dan memungkinkan pengelola untuk membuat peta distribusi potensial suatu jenis terancam punah seperti orangutan (Hirzel et al. 2004, Guisan dan Zimmermann 2000, Chefaoui 2005, Chefaoui 2007, Soares dan Brito 2007). Calenge (2008) menyebutkan bahwa peta kesesuaian habitat merupakan bagian esensial untuk membuat keputusan dalam pengelolaan satwaliar dan untuk membangun perencanaan konservasi. Longet al. (2008)menggunakan teknologi landsat untuk mengukur populasi dan status satwa yang terancam punah di Madagaskar, sedangkan Engler et al. (2004) menggunakan hasil dari suatu model penelitian spasial dalam suatu kawasan, habitat atau ekosistem untuk melihat kesesuaian dan ketidaksesuaian suatu habitat untuk jenis satwa yang menjadi target konservasi.

Pada penelitian ini yang menjadi obyek adalah orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus). Seperti diketahui orangutan merupakan salah satu kera besar yang sebarannya terbatas hanya di Pulau Sumatera dan Kalimantan (Warren et al. 2001, Steiper 2005, Nijman dan Meijaard 2008, Gossen et al. 2008, Locke et al. 2011). Jumlah populasinya terus menurun terutama karena kehilangan habitat dan perburuan. Menurut Rijksen dan Meijaard (1999), Singletonet al.(2004) dan Wich et al. (2008) populasi orangutan pada saat ini mengalami penurunan yang signifikan. Perkiraan jumlah individu orangutan Sumatra sekitar 12 770 individu pada tahun 1997 dan pada tahun 2004 jumlah ini menurun menjadi sekitar 7 500 individu (Ancrenaz et al. 2008). Perkiraan terakhir pada tahun 2008 jumlah populasi sekitar 6 600 individu. Jumlah populasi orangutan Kalimantan (P.


(16)

pygmaeus) diperkirakan sekitar 54 000 individu pada tahun 2008 dan untuk anak jenis P. pygmaeus pygmaeus diperkirakan tinggal 3 000–4 500 individu (Ancrenaz et al. 2008). Penurunan jumlah populasi yang besar ini menyebabkan orangutan dimasukkan kedalam satwa yang dilindungi, bahkan sejak tahun 2000 Red List IUCN telah memasukkan orangutan Kalimantan ke dalam kelompok satwa endangered dan orangutan Sumatera ke dalam kategori Criticaly Endangered (Ancrenazet al.2008, IUCN 2013).

Pada awalnya orangutan dikelompokkan ke dalam satu jenis yaitu Pongo pygmaeus, kemudian para ahli membaginya menjadi dua anak jenis (sub species) yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus yang sebaran wilayahnya berada di pulau Kalimantan dan P. p. abelii yang memiliki sebaran di pulau Sumatera (Van Bemmel 1968, Jones ML 1969, Muir et al.2000, Warrenet al.2001). Jika melihat lebih mendalam lagi maka pada dasarnya terdapat perbedaan dalam konsep klasifikasi orangutan, yaitu kelompok yang menganut Biological Species Concept (BSC) mengenal orangutan hanya ada satu jenis yaitu Pongo pygmaeus, dengan alasan orangutan yang berasal dari Sumatera dapat bereproduksi dengan orangutan Kalimantan dan menghasilkan keturunan yang fertil, sedangkan berdasarkan Phylogenetic Species Concept (PSC) telah dikenal ada dua jenis orangutan yaitu Pongo pygmaeusdanP. abelii(Xu dan Arnason 1996, Nijman dan Meijaard 2008).

Hasil penelitian Grooves (2001), Warren et al. (2001), dan Goossen et al. (2005) menyebutkan bahwa orangutan di Kalimantan terdiri dari 3 anak jenis yaitu : P.p pygmaeus, P. p. wurmbii, dan P. p. morio, dengan sebaran sebagai berikut (Gambar 1):

a. P. p. pygmaeus di bagian barat laut Kalimantan (Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, sampai ke sekitar Gunung Nyiut dan Sambas), bagian utara Sungai Kapuas sampai timur laut Serawak;

b. P. p. wurmbii di barat daya Kalimantan, bagian selatan sungai Kapuas (Kalimantan Tengah dan selatan Kalimantan Barat) dan bagian barat sungai Barito; dan

c. P. p. morio di Sabah dan bagian timur Kalimantan (Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara) sampai sejauh sungai Mahakam

Alih fungsi lahan untuk perkebunan dan perubahan kawasan untuk logging baik secara legal maupun illegal telah menimbulkan kehilangan habitat (habitat loss) yang massif bagi orangutan. Jika dilihat secara umum berdasarkan Status Lingkungan Hidup Ekoregion Kalimantan Tahun 2011 maka dapat dilihat perubahan tutupan lahan yang terjadi di Kalimantan dari tahun 2000 sampai 2009 di daerah yang menjadi habitat bagi orangutan. Diantaranya tutupan hutan lahan kering primer pada tahun 2000 memiliki luas 10 978 213 ha, dan berubah pada tahun 2009 menjadi 9 797 260 artinya terjadi perubahan pada tutupan lahan ini seluas 1 180 953 ha, selain itu perubahan tutupan lahan juga terjadi pada hutan rawa primer, pada tahun 2000 memiliki luas 121 178 ha berubah menjadi 108 892 ha pada tahun 2009, artinya telah berkurang seluas 12 286 ha, tutupan hutan rawa sekunder pada tahun 2000 memiliki luas 5 032 406 ha telah berubah menjadi 4,361,523 ha pada tahun 2009, telah berkurang seluas 670.883 ha. Sementara itu perubahan bertambah luas terjadi pada lahan perkebunan, pada tahun 2000


(17)

Sumber : World Atlas of Great Apes and Their Conservation, (Coldecott dan Miles 2005)

Gambar 1 Peta sebaran orangutan berdasarkan pembagian anak jenis di Kalimantan

memiliki luas 1 520 384 ha dan bertambah luas pada tahun 2009 menjadi 2 553 784 ha, artinya terjadi penambahan luas lahan perkebunan terutama di habitat ortangutan seluas 1 033 400 ha. Selain itu terjadi perubahan luas juga pada lahan hutan tanaman sebelumnya pada tahun 2000 memiliki luas 526 765 ha, pada tahun 2009 menjadi 2 553 784 ha, terjadi perluasan sebesar 2 027 019 ha.

Konsekuensi yang telah terjadi pada saat ini dari perubahan habitat orangutan (Yuwonoet al. 2007, National Geographic 2013), adalah:

a. orangutan terdesak di habitat yang lebih sempit

b. terjadi penangkapan dan pembunuhan orangutan di habitat aslinya yang masih tersisa terutama di lokasi yang berdekatan dengan perkebunan kelapa

sawit, karena orangutan “dianggap hama” oleh pihak perkebunan dengan

alasan memakan umbut sawit yang baru ditanaman sehingga terjadi penurunan populasi secara besar-besaran.

c. kenaikkan populasi orangutan di pusat-pusat rehabilitasi tanpa diketahui dengan jelas asal-usul mereka,


(18)

genetik karena jumlah populasinya kecil dan dengan derajat inbreeding semakin tinggi yang dapat berakibat pada orangutan menjadi mudah terserang penyakit, tidak memiliki daya kebal terhadap lingkungan atau perubahan iklim, steril atau akibat lainnya dan akan berujung pada kepunahan jenis ini (Frankham 1998, Yeager 1999, Taft dan Roff 2011, Nateret al.2012).

e. masalah baru muncul ketika akan menempatkan orangutan yang ada di pusat rehabilitasi ke habitat aslinya karena informasi asal-usul tidak jelas, kesalahan dalam penempatan akan merusak sumberdaya genetik hasil seleksi alam dan kemungkinan kepunahan akan semakin cepat.

Oleh karena itu untuk mengetahui termasuk ke dalam anak jenis yang mana orangutan yang berada di pusat rehabilitasi diperlukan penanda genetik yang mampu memilah ketiga anak jenis tersebut secara jelas. Sehingga dapat dipisahkan antara masing-masing anak jenis ini mulai dari pusat rehabilitasi. Penanda genetik D-loop (control region) pada mtDNA dapat digunakan dalam memilah individu atau populasi asal orangutan, selain itu penanda genetik kromosom Y yaitu gen SRY yang spesifik juga digunakan untuk individu jantan dan kemungkinan penelusuran asal usul berdasarkan kedua marka genetik tersebut.

Beberapa penelitian untuk mengetahui variasi genetik orangutan yang telah dilakukan dengan menggunakan sampel orangutan Sumatera dan Kalimantan diantaranya adalah oleh Zhi et al. (1996) dan Noda et al. (2001) menggunakan lokus 16S, Kaessmannet al. (2001) menggunakan lokus Xq13.3, Muiret al.(2000) menggunakan lokus ND3 dan CytB, Warren et al. (2001) menggunakan lokus Control Region, Steiper et al. (2005) menggunakan lokus Alpha-2 Globin, dan Zhanget al.(2001) menggunakan lokus ND5.

Penelitian spasial yang dipadukan dengan penelitian genetika menjadi penelitian di bidang konservasi yang sangat menarik. Penelitian spasial dengan menggunakan teknologi GIS memungkinkan pengelola kawasan konservasi dan satwa liar untuk memanfaatkan sumber-sumber data baru seperti tutupan lahan, vegetasi, dan data habitat lainnya, dikombinasikan dengan data dari foto udara, citra landsat dan sensor satelit serta database GIS lainnya seperti elevasi, permukaan air, data iklim, dan jenis tutupan lahan (Larson et al. 2003). Untuk mengetahui penyebaran orangutan di wilayah ini maka pemanfaatan teknologi satelit juga dilakukan, sehingga sebaran spasial dan kondisi serta kualitas habitat yang saat ini masih tersisa dapat dibaca dengan baik sehingga dapat memberikan informasi yang jelas untuk kelestarian orangutan di wilayah ini.

Penelitian genetika dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman genetik dengan menggunakan sampel yang diambil secara invasive maupun non invasive. Pengambilan sampel secara invasive yaitu dengan mengambil sampel secara langsung berupa darah dan rambut di pusat rehabilitasi yang tidak diketahui secara jelas asal-usulnya. Secaranon invasiveadalah dengan mengambil sampel dari alam berupa rambut di sarang orangutan, hanya saja pengambilan rambut dari alam memiliki kelemahan yaitu kondisi rambut terutama bagian yang mengandung DNA dan protein sudah hancur karena dimakan oleh organisme yang berada di dalam sarang orangutan. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pengelola konservasi untuk melepasliarkan kembali orangutan ke habitatnya secara tepat.

1.2 Rumusan Masalah

Orangutan yang menjadi ciri khas satwa Kalimantan mendiami secara luas wilayah TNBK dan TNDS serta wilayah di sekitarnya. Tekanan terhadap


(19)

keberadaan orangutan semakin meningkat baik terhadap populasinya maupun habitatnya. Sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti alih fungsi lahan hutan, pembalakan liar (illegal logging) dan perburuan. Kerusakan habitat karena alih fungsi lahan hutan telah menyebabkan terpisah-pisahnya kawasan hutan sebagai habitat orangutan. Hal ini mengakibatkan tidak adanya hubungan antara

orangutan dari suatu “pulau” hutan terhadap “pulau” hutan yang lain. Dengan

demikian tidak terjadi aliran gen orangutan yang dapat menghubungkan pulau-pulau hutan tersebut. Jika sudah demikian maka inbreeding dapat terjadi, yang akhirnya dapat menurunkan kualitas keragaman genetik suatu populasi orangutan. Orangutan yang memiliki keragaman genetik rendah akan menjadi rentan terhadap perubahan lingkungan, memiliki daya tahan yang rendah dan dapat menyebabkan kepunahan terhadap orangutan tersebut.

TNBK dan TNDS pada awalnya merupakan satu kesatuan hutan yang tidak terpisahkan. Kedua kawasan ini terletak di bagian utara sungai Kapuas Kalimantan Barat. Keberadaan orangutan di dalam kawasan ini tidak terlepas dari kemampuan kawasan tersebut untuk menyediakan komponen habitat penting bagi satwa tersebut. Ukuran tubuh orangutan yang besar memerlukan jumlah pakan yang besar. Selain populasi yang hidup bebas di alam, pada saat ini banyak juga orangutan yang berada di tempat rehabilitasi. Orangutan ini merupakan hasil sitaan yang dilakukan oleh pihak berwenang. Beberapa individu yang berada di tempat rehabilitasi ini memiliki asal usul yang jelas dan banyak juga individu yang tidak jelas asal-usulnya. Teknologi biologi molekuler dapat digunakan untuk melihat keragaman genetik yang dimiliki oleh individu orangutan rehabilitasi sehingga dapat ditelusuri kembali populasi asalnya dan reintroduksi ke alam daerah asalnya lebih mudah.

Beberapa peneliti telah membagi orangutan berdasarkan perbedaan variasi genetik menjadi dua jenis yang berbeda yaitu orangutan Sumatra (Pongo abelii) dan orangutan Kalimantan (P. pygmaeus), bahkan untuk orangutan Kalimantan telah dibagi menjadi 3 anak jenis yang berbeda.

Kajian terhadap habitat yang sesuai bagi orangutan dalam suatu kawasan yang sempit dapat dilakukan melalui survey lapangan secara langsung. Disisi lain kompleksitas permasalahan dalam pemanfaatan lahan dan hutan menuntut kajian habitat dalam skala luas dimana survey lapangan secara langsung dipandang tidak efisien. Teknologi GIS dapat dipergunakan untuk membantu melakukan kajian habitat dalam skala luas. Kawasan penelitian lebih dari 100.000 ha memerlukan kajian secara menyeluruh terkait fungsinya sebagai habitat orangutan Kalimantan. Kajian kesesuaian habitat dengan menggunakan teknologi informasi spasial yang diperkuat dengan survey lapangan diharapkan dapat mengetahui sebaran daerah yang dimiliki oleh orangutan, dan mengetahui pengaruh adanya gangguan terhadap keberadaan orangutan baik secara langsung maupun tidak langsung serta dapat memetakan sebaran spasial orangutan berdasarkan keragaman genetik antara suatu populasi dan populasi lain. Hal ini dilakukan sehingga tindakan konservasi yaitu perlindungan, pengawetan serta pemanfaatan orangutan dapat dilakukan berdasarkan pada keragaman genetik yang dimiliki orangutan.

1.3 Tujuan Penelitian

1) Mengungkapkan sebaran spasial serta kesesuaian habitat orangutan (P. p. pygmaeus) di kawasan TNBK, TNDS dan kawasan koridor yang menghubungkan kedua kawasan taman nasional tersebut,


(20)

2) Mengungkapkan dan menganalisis keanekaragaman genetik antara populasi orangutan sub anak jenis P. p. pygmaeusyang berada di TNBK dan TNDS serta daerah koridor dengan menggunakan sampel yang diambil secara invasivemaupunnon invasive,

3) Mengungkapkan sebaran spasial berdasarkan keragaman genetik serta kesesuaian habitat orangutan (P. p. pygmaeus) di kawasan tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan dapat diketahui sebaran spasial dan kesesuaian habitat orangutan berdasarkan keanekaragaman genetik yang berada di dua kawasan taman nasional ini serta daerah koridor secara tepat sehingga dapat menghasilkan suatu strategi konservasi yang tepat bagi pengelolaan orangutan anak jenisP. p. pygmaeusbaik secarain-situmaupuneks-situ.

1.5 Novelty

Kebaharuan penelitian ini adalah mengungkapkan peran koridor dalam menjaga stabilitas genetika populasi (gen flow) dan keragaman interpopulasi berdasarkan kesesuaian habitat dan pergerakan orangutan dari TNBK, koridor dan TNDS. Selain itu, penelitian ini dapat mengungkapkan jenis kelamin dari sampel orangutan anak jenis Pongo pygmaeus pygmaeusyang di dapat secaranon invasive dengan menggunakan primer SRY dan ini merupakan salah satu penelitian yang lebih mengarah ke bidang forensik. Beberapa penelitian yang telah menggunakan gensexingtelah dilakukan padaPongo abellidanPongo pygmaeus(Finstermeieret al. 2013) secara umum, akan tetapi belum dilakukan secara spesifik untuk anak jenis P. p. pygmaeus. Sampel yang digunakan adalah sampel rambut yang luruh dari badan orangutan yang ditemukan di sarang orangutan. Selain itu, hasil penelitian ini lebih menguatkan kembali adanya pembagian tiga anak jenis orangutan di Kalimantan. Sampel yang didapat dari alam adalah sampel yang termasuk kedalam anak jenis P. p. pygmaeus, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel yang berasal dari alam ini termasuk kedalam anak jenis yang dimaksud. Demikian juga dengan sampel yang diambil dari pusat rehabilitasi, terbukti terbagi menjadi dua cluster yang menunjukkan dua anak jenis yang ada di Kalimantan Barat yaituP. p. pygmaeusdanP. p. wurmbii.


(21)

II.

METODOLOGI

2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, Taman Nasional Danau Sentarum dan wilayah hutan yang menjadi kawasan penghubung kedua taman nasional ini (Gambar 2). Seluruh wilayah ini teletak di bagian utara sungai Kapuas, Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Menurut Ancrenaz (2006) jumlah populasi orangutan di dalam kawasan TNBK sekitar 1000 individu. Penelitian ini dilakukan pada Maret 2011 sampai Desember 2012.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian di TN Betung Kerihun, TN Danau Sentarum dan daerah koridor

Berdasarkan beberapa hasil penelitian orangutan di TNBK telah ditemukan di bagian barat dari kawasan tersebut, sedangkan di TNDS di bagian utara dan timur kawasan tersebut. Wilayah TNBK bagian barat merupakan salah satu kawasan yang memiliki topografi berbukit-bukit, didominasi oleh hutan hujan tropis dataran rendah, dan memiliki banyak sungai besar dan kecil. Sungai besarnya yaitu sungai Embaloh. Berbeda dengan TNBK, wilayah TNDS merupakan kawasan yang didominasi oleh daerah perairan, dan tinggi rendahnya perairan dipengaruhi oleh musim. Pada saat musim penghujan permukaan danau dapat naik hingga 8 meter dan menjadikan permukaan kawasan TNDS menjadi danau yang besar. Pada saat musim kemarau permukaan danau menurun drastis sampai dasar danau mengering dan air yang ada hanya membentuk danau yang berukuran kecil yang airnya mengalir di sungai-sungai di dalam danau. Selain itu kondisi daratan di dalam TNDS merupakan hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. Dalam kawasan TNBK tidak dijumpai adanya pemukiman, sebaliknya di dalam kawasan


(22)

TNDS dijumpai adanya pemukiman dari suku melayu dan suku dayak (dari suku dayak Iban, Kantuk dan Tamambaloh)

Kedua kawasan taman nasional ini dihubungkan oleh sebuah sungai yaitu sungai Leboyan (Labian). Sungai ini menjadi garis utama yang menjadikan kawasan ini sebagai derah koridor satwa antara TNBK dan TNDS. Beberapa tempat di kawasan ini masih berupa hutan alam, sebagian sudah mengalami penebangan karena penebangan liar, sebagian lagi sudah dialihfungsikan menjadi peladangan dan beberapa pemukiman dijumpai di dalam kawasan yang dialokasikan sebagai daerah koridor antara TNBK dan TNDS ini. Daerah yang sudah menjadi ladang ialah daerah yang dekat dengan pemukiman. Selain itu kawasan ini terpotong oleh adanya jalur jalan raya yang menghubungkan Putussibau di bagian timur dengan Badau di bagian barat.

2.2 Teknik Pengambilan Data

Pencarian sarang dan tanda bekas keberadaan orangutan dilakukan secara purposive yaitu mencari daerah yang diduga ada sarang orangutan berdasarkan informasi dari masyarakat setempat dan dari petugas taman nasional. Seperti diketahui bahwa orangutan membuat sarang malam untuk tidur setiap harinya dan membuat sarang istirahat pada siang hari. Pemilihan lokasi juga dilakukan dengan mempertimbangkan besar kecilnya sungai di lokasi penelitian karena pada sungai besar yang kanopinya tidak bersambungan orangutan tidak bisa menyeberang dari satu sisi ke sisi lainnya. Temuan sarang serta tanda-tanda bekas keberadaan orangutan ditandai (marking) dan dicatat koordinat tempat dengan menggunakan GPS. Kondisi habitat secara umum serta letak jalan, sungai, desa atau dusun yang berdekatan dengan lokasi penelitian juga dicatat.

2.3 Pemetaan sebaran orangutan

Data untuk membuat kesesuaian habitat dikumpulkan dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan mencatat bekas keberadaan orangutan dan sarang orangutan yang dipetakkan dengan menggunakan GPS. Data sekunder diperoleh dari literatur, peta digital dan dari informan. Selain mengumpulkan data-data primer tersebut, dilakukan juga dengan mengumpulkan data-data sekunder. Data lain yang digunakan yaitu daerah pemukiman, baik desa maupun dusun di sekitar lokasi penelitian, jalur jalan raya, sungai, dan kondisi lahan di dalam dan sekitar lokasi penelitian.

Dari data-data tersebut di atas dilakukan penyusunan data spasial untuk menyiapkan variabel yang digunakan dalam analisis spasial. Data variabel ini dikombinasikan dengan data keberadaan orangutan digunakan dalam analisis data dengan membangun model kesesuaian habitat orangutan Kalimantan, dan setelah dilakukan ekstrapolasi diantara data-data tersebut dapat diketahui luasan kesesuaian habitat untuk orangutan di wilayah penelitian.

2.4 Tahapan Untuk Analisis Spasial Pengumpulan data

Data dikelompokkan sesuai dengan fungsinya, untuk membangun peta sebaran orangutan dan kesesuaian habitat diperlukan data-data sebagai berikut:

1. Titik koordinat (GPS point) tempat ditemukannya orangutan atau pertanda yang ditinggalkannya berupa sarang atau dahan yang dipatahkan serta bekas makanan yang ditinggalkan sebagai data hasil survey lapangan


(23)

3. Peta Tata Batas Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum dan Betung Kerihun

4. Citra landsat 8 (OLI, TIRS) band 4 dan 5, path 120 row 059 dan path 119 row 059, akuisisi tahun 2013

5. SRTM resolusi 90 m. Pemetaan Sebaran Spasial

Untuk analisis sebaran spasial orangutan dilakukan dengan menggunakan semua titik koordinat yang didapat berdasarkan keberadaan orangutan, jejak yang ditinggalkan berupa sarang, jejak bekas makan, dan jejak bekas patahan. Semua data yang dicatat dilakukan berdasarkan angka koordinat yang diperoleh dari GPS. Sebagian data diperoleh dari tim survey WWF Kalimantan Barat. Data-data tersebut dapat diolah dengan software Microsoft Excell 2003 dan selanjutnya bisa dilakukan proses import dari software ArcGIS versi 9.3. dan Erdas Imagine 9.1.

Parameter Kesesuaian Habitat

Untuk kesesuaian habitat bagi orangutan, maka ada beberapa parameter utama yang digunakan, yaitu (1). Jarak dari pemukiman (sebaran pemukiman diperoleh dari peta pemukiman di Kalimantan Barat), (2). Jarak dari jalan raya (jalan raya yang menghubungkan Putussiabu dan Lubuk Antu dan jalan yang menghubungkan antar desa di lokasi penelitian yang dapat dilalui kendaraan roda empat), (3). Jarak dari sungai besar (sungai besar merupakan sungai yang biasa dijadikan akses masyarakat dan memiliki kanopi yang tidak bersambungan dengan lebar lebih dari 25 meter), (4). Jarak dari sungai kecil (sungai kecil memiliki kanopi yang saling bersambungan di beberapa tempat dengan lebar kurang dari 25 meter), (5). Kemiringan lereng, (6). Ketinggian lokasi, dan (7). Penutupan Lahan yang diperoleh dari nilai Normalization Difference Vegetation Index (NDVI). Pembobotan dilakukan dengan menggunakan data hasil penelitian dan berdasarkan parameter tersebut. Selain itu dicatat juga kondisi vegetasi di sekitar posisi sarang ditemukan.

Pembuatan Peta Jarak

Peta jarak dibuat berdasarkan dari variabel yang telah ditentukan dan merupakan daerah yang biasa dijangkau oleh masyarakat, terutama berhubungan dengan daerah perburuan dan aktivitas sehari-hari. Peta buffer yang dibuat merupakan peta jarak yang biasa menjadi akses masyarakat dari pemukiman, jaringan jalan, jaringan sungai primer dan jaringan sungai sekunder. Peta buffer ini dianalisis dengan menggunakan Arc Gis 9.3.

Pembuatan petaNormalization Difference Vegetation Index(NDVI)

Peta NDVI (Normalization Difference Vegetation Index ) digunakan untuk mengetahui kerapatan vegetasi yang diperoleh melalui metode pengukuran dan pemetaan warna hijau vegetasi. Nilai NDVI diukur melalui citra landsat yang diakuisisi pada tahun 2013, dengan mengambil band (saluran gelombang cahaya) warna merah (R = red light), dan infra merah (IR = Infra Red). Citra landsat tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan software Erdas imagine 9.1. Perhitungan NDVI dilakukan padamodel makerErdas menurut rumus:

(IR–R) NDVI =


(24)

Besaran nilai NDVI ini perlu diambil karena orangutan menggantungkan seluruh kebutuhan hidupnya pada vegetasi sebagai sumber pakan yang berada di habitatnya. Dari aktivitas hariannya diketahui bahwa orangutan selalu bergerak untuk mencari sumber pakan kemudian istirahat siang dan istirahat malam. Semua aktivitas ini dilakukan pada pohon-pohon disekitar primata ini tinggal. Nilai NDVI di lokasi penelitian ini dibagi kedalam 3 kelas yaitu kelas antara -1 sampai 0,0; 0,0 sampai 0,25 dan lebih dari 0,25. Kelas pertama menunjukkan tutupan lahan berupa badan air, kelas kedua menunjukkan lahan terbuka dan kelas ketiga menunjukkan vegetasi.

Analisis Komponen Utama /Principal Component Analysis(PCA)

Prosedur PCA pada dasarnya ialah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diperoleh dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component. Setelah beberapa komponen hasil PCA yang bebas multikolinearitas diperoleh, maka komponen-komponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap variabel tak bebas (Y) dengan menggunakan analisis regresi.

Teknik ini adalah sebuah transformasi linier yang biasa digunakan pada kompresi data dan merupakan sebuah teknik statistika yang berguna pada bidang pengenalan, klasifikasi dan kompresi data citra, juga merupakan teknik yang umum digunakan untuk menarik fitur-fitur dari data pada sebuah skala berdimensi tinggi. Teknik ini memproyeksikan citra ke dalam subspace, dan menghitung variasi dari citra tersebut. Analisis PCA adalah transformasi linear untuk menentukan sistem koordinat yang baru dari dataset yang dapat menyederhanakan dimensi dari dataset tanpa menghilangkan informasi penting dari dataset.

PCA digunakan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi orangutan kalimantan, berdasarkan titik distribusi orangutan kalimatan yang ditemukan (baik langsung maupun tidak langsung) dengan masing-masing layer (jarak dari sungai, jarak dari jalan, jarak dari pemukiman dan nilai NDVI). Adapun titik yang digunakan untuk pembangunan model yaitu 70% dari titik keseluruhan yang ditemukan di lapang, dan sisanya 30% digunakan sebagai validasi. Dari hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari masing-masing faktor yang mempengaruhi habitat orangutan kalimantan. Analisis PCA tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Minitab. Hasil PCA yang digunakan untuk menentukan bobot masing faktor habitat dan untuk analisis spasial sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:

Y= aFK1+bFk2+cFk3+dFk4+eFk5+fFk5+gFk7 Keterangan :

Y = total nilai kesesuaian habitat a-f = nilai bobot setiap variabel Fk1 = faktor jarak dari sungai besar FK2 = faktor dari sungai kecil Fk3 = faktor jarak dari jalan Fk4 = faktor jarak dari pemukiman Fk5 = faktor NDVI

Fk6 = faktor kemiringan lereng


(25)

Analisis Spasial

Dalam melakukan analisis spasial, beberapa faktor spasial yang digunakan meliputi titik sebaran orangutan yang dilihat dari jarak dari sungai, jarak dari jaringan jalan dan jarak dari desa serta besaran nilai NDVI. Metode analisis yang digunakan yaitu metode tumpang susun (overlay), pembagian kelas (class), pembobotan (weighting) dan pengharkatan (scoring) Pembobotan didasarkan atas nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat orangutan kalimantan. Pemberian bobot terdiri dari 3 nilai bobot, nilai tertinggi menunjukkan faktor habitat yang paling berpengaruh, nilai di bawahnya menunjukkan faktor habitat yang berpengaruh sedang dan nilai terendah menunjukkan faktor habitat yang kurang berpengaruh. Klasifikasi kelas kesesuaian terdiri dari tiga kelas yaitu: 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi).

Model Matematika yang digunakan adalah:

1. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan.

SKOR = ΣWi x Fki

Keterangan:

SKOR = nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat Wi = bobot untuk setiap parameter

Fki = faktor kelas dalam parameter

2. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan ditentukan berdasarkan sebaran nilai piksel yang dihasilkan analisis spasial.

Smaks - Smin Selang =

K Keterangan :

Selang = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat

Smaks = nilai piksel tertinggi Smin = nilai piksel terendah

K = banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat 3. Nilai kesesuaian habitat orangutan kalimantan

KHn = Smin + SELANG dan/atau

KH = KHn-1 + SELANG Keterangan:

KHn = nilai kesesuaian habitat ke-n Smin = nilai skor terendah

KHn-1 = nilai kesesuaian habitat sebelumnya

SELANG = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat

4. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan Validasi = (n–N) 100 %

Keterangan:


(26)

n = jumlah titik pertemuan orangutan kalimantan yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian

N = jumlah total titik pertemuan orangutan kalimantan hasil survey 2.5 Tahapan Untuk Analisis DNA

Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel rambut dari sarang orangutan yang tersebar mulai dari TNBK, koridor dan TNDS. Sampel diambil secara non invasive atau sampel diambil tanpa berjumpa langsung dengan satwa yang menjadi obyek penelitian (Taberlet et.al1999). Sampel rambut yang berhasil dikumpulkan dimasukkan kedalam kantong plastik kecil yang bisa disegel dan dimasukkan ke dalam amplop kertas, dan diberi catatan lengkap.

Sampel DNA Orangutan diambil secara langsung dari pusat rehabilitasi di Kabupaten Sintang yang dikelola oleh Yayasan Kobus dan di Kabupaten Ketapang yang dikelola oleh IAR (International Animal Rescue) Indonesia Kalimantan Barat berupa sampel darah dan rambut (invasive dan non invasive). Sampel ini diambil dengan tujuan memverifikasi

1. Karakteristik berdasarkan asal-usul dan sebaran orangutan yang ada di pusat rehabilitasi

2. Sinkronisasi data lapang dan gen bank dengan sebaran di tempat penelitian. Untuk sampel darah dimasukkan ke dalam tabung berukuran 15 ml, sampel darah diambil sebanyak 1-2 ml., kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang telah diisi larutan ethanol absolut sebanyak 3 ml. Selanjutnya segera dilakukan pengocokkan sehingga sampel darah larut dan tercampur dengan ethanol absolute. Setelah tercampur merata ditambah larutan ethanol lagi sampai penuh, dan disimpan di tempat penyimpanan pada suhu kamar (Duryadi pers. comm.). Sampel dianalisis di Laboratorium Biologi Molekuler-PPSHB IPB Bogor.

1) Ekstraksi sampel DNA total

Isolasi DNA mengikuti Duryadi (pers. comm. 2012), yaitu dengan mengambil sampel darah yang telah direndam dalam ethanol absolute, masukkan kedalam tabung ependorf 1,5 ml, selanjutnya masukkan larutan low TE sebanyak 1 000 ul sentrifuge 6 500 rpm selama 5 menit lakukan sebanyak 2 kali. Kering udarakan dengan menggunakan kertas saring pada suhu ruangan. Ambil sampel yang telah kering ini sebanyak 250 mg dan masukkan kedalam ependorf yang baru. Gerus dengan menggunakan pistil sambil tambahkan buffer ATL sebanyak 180 ul ke dalam tabung. Tambahkan proteinase K sebanyak 20 ul ke dalam tabung tadi.

Inkubasi pada suhu 56oC sedikitnya 1 jam dan lakukan vortex selama 10 detik setiap 10 menit. Setelah selesai angkat tabung dan swing sebentar, tambahkan buffer AL sebanyak 200 ul, dan vortex selama 10 detik, swing sebentar. Tambahkan ethanol absolute sebanyak 50 ul, vortex selama 15 detik, inkubasi pada suhu ruangan selama 3 menit, swing sebentar. Selanjutnya ambil supernatant dan masukkan kedalam spin kolom QIAamp MinElute (2 ml), sentrifuge 8 000 rpm selama 1 menit, buang larutan hasil sentrifuge.

Tambahkan larutan buffer AW1 sebanyak 500 ul ke dalam spin kolom, sentrifuge 8 000 rpm selama 1 menit, dan buang larutan yang dihasilkan. Secara hati-hati buka tutup spin kolom dan tambahkan larutan buffer AW2 sebanyak 500 ul ke dalam spin kolom, sentrifuge 8 000 rpm selama 1 menit, dan buang larutan yang dihasilkan. Selanjutnya tambahkan ethanol absolute sebanyak 700 ul dan sentrifuge 800 rpm selama 1 menit, dan buang larutan yang dihasilkan.


(27)

Sentrifuge pada kecepatan tinggi yaitu 14.000 rpm selama 3 menit untuk mengeringkan membran pada spin kolom secara sempurna, kemudian tempatkan kolom pada tabung ependorf 1,5 ml yang baru, buka tutup kolom dan inkubasi pada suhu ruangan selama 10 menit atau pada suhu 56oC selama 3 menit. Tambahkan 20-100 ul Elution Buffer, biarkan pada suhu kamar selama 10-15 menit, dan sentrifuge pada kecepatan tinggi (14 000 rpm) selama 1 menit. Hasil akhir bisa langsung dilakukan elektroforesis atau bisa disimpan dalam freezer.

Untuk isolasi DNA dari rambut menggunakan metode berikut (Duryadi pers.comm) sampel rambut diambil sedikitnya 10 helai dan dipotong sepanjang 0,5-1 cm dari pangkal rambut yang berfolikel, masukkan kedalam tabung 0,5-1,5 ml tambahkan larutan campuran buffer dan DTT sebanyak 100 ul inkubasi selama 2 jam pada suhu 38oC, kemudian tambahkan larutan inkubasi lengkap (incubation buffer + DTT + Proteinase K) sebanyak 100 ul, kocok untuk homogenisasi dan inkubasi semalam dengan sesekali dilakukan vortex. Selanjutnya tambahkan larutan lisis buffer (AL) sebanyak 100 ul dan putar manual selama 30 menit kemudian diinkubasi pada suhu 70oC selama 15 menit, setelah itu di putar dengan mesin sentrifuse sebentar dan ambil supernatant untuk ditempatkan kedalam tabung yang baru. Pada tabung ini kemudian ditambahkan larutan ethanol absolute sebanyak 500 ul dan dinginkan selama 2 jam. Dari pendingin kemudian di putar sebentar dan larutan diambil dimasukkan kedalam spin kolom, dan diputar dengan kecepatan 8 000 rpm selama 1 menit, larutan yang didapat dibuang, kemudian tambahkan larutan AW1 sebanyak 500 ul dan diputar dengan kecepatan 8 000 rpm selama 1 menit dan larutan yang dihasilkan dibuang. Tahapan selanjutnya adalah menambahkan larutan AW2 sebanyak 700 ul kemudian diputar dengan kecepatan 8 000 rpm selama 1 menit dan larutan yang didapat dibuang, untuk mengeringkan membrane pada spin kolom dilakukan pemutaran lagi dengan kecepatan 14 000 rpm selama 3 menit. Berikutnya masukkan spin kolom ke tabung baru secara hati-hati dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang, tambahkan larutan elusi (AE/elution buffer) sebanyak 50 ul dan dibiarkan selama 15 menit kemudian diputar dengan kecepatan 8 000 rpm selama 1 menit, penambahan larutan elusi dilakukan sebanyak dua kali. DNA total yang didapat kemudian dilihat kualitasnya dengan dimigrasikan pada gel agarosa 1,2% dengan menggunakan buffer 1xTBE (89 mM Tris, 89mM asam borat dan 2mM EDTA, pH8) dalam alat Submarine Electrophoresis(Hoefer, USA). Pengamatan dilakukan dengan bantuan sinar UV (λ

= 200-400 nm) setelah gel diwarnai dengan Ethidium Bromida (0,5 μ g/ml).

2) AmplifikasiDNA

DNA yang telah diekstraksi digunakan sebagai DNA cetakan untuk proses amplifikasi. Amplifikasi fragmen DNA di daerah D-loop mitokondria dan sexing

individu dilakukan dengan membuat 25μ l campuran larutan yang terdiri dari

ddH2O 6,8 μ l, buffer (5 μ l), enhancer 5μ l, 10mM dNTPs (1μ l), primer F (20-100

pm/1μ l), primer R (20-100 pm/1μ l), DNA template 5 μ l dan Taq polymerase

(1,25U, 0,2 μ l, Bio lab), Pencampuran dilakukan secara berurutan, kemudian

sentrifuse sebentar (± 20 detik). Primer yang digunakan yaitu untuk forward menggunakan OH-F 5’ TAA CTT CAC CAT CAG CCC CCA AAG C 3’ dan

untuk reverse menggunakan OH-R 5’ TAT GGG CCC GGA GCG AGG AGA GTA G 3’ dengan target pada 489 bp.


(28)

Adapun primer sexing yang digunakan adalah untuk Forward SRY_F 5’AGT GAA GCG ACC CAT GAA CG 3’ sedangkan untuk Reverse adalah SRY_R 5’ TGT GCC TCC TGG AAG AAT GG 3’ dengan target pada 168bp.

Amplifikasi DNA pada penelitian ini menggunakan mesin GeneAmpRPCR system 2400 (Perkin Elmer). Kondisi PCR dilakukan sebagai berikut: tahap pertama pra-PCR (denaturasi awal) pada suhu 94oC selama 10 menit, kemudian tahap kedua sebanyak 35 siklus dimulai dari denaturasi pada suhu 94oC selama 45 detik, selanjutnya pada suhu 60oC selama 90 detik untuk penempelan primer (annealing), kemudian 72oC selama 60 detik untuk untuk perpanjangan (elongation) dan diakhiri dengan post PCR berupaextentionpada suhu 72oC selama 7 menit dan penyimpanan pada suhu 20oC selama 10 menit.

3) Sequencing

Produk PCR hasil amplifikasi dimurnikan dengan menggunakan DNA purification kit (Qiagen), selanjutnya konsentrasi DNA diukur dengan menggunakan Spektrofotometer (Bio-Spectro Shimazu), setelah itu dilakukan cycle sequencing dengan melakukan reaksi PCR dengan menggunakan primer orangutan dengan reagent khusus untuk DNA sequencing (DIG Dye dari ABI). Kemudian hasil cycle sequencing dipurifikasi. Setelah itu dilakukan perunutan DNA dengan menggunakan alat perunut otomatis ABI Prismversi 3100-Avant Genetic Analyzer (USA). Hasil sequencing selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Mega4 (Tamuraet al. 2007).

Dari data yang diperoleh diketahui bahwa seluruh orangutan merupakan hewan peliharaan masyarakat dari beberapa daerah yang berbeda, dan tidak diketahui asal mereka ditangkap sebelumnya, sehingga tidak diketahui masuk kedalam anak jenis yang mana orangutan yang di pusat rehabilitasi tersebut. Beberapa lokasi terletak di bagian utara dari sungai Kapuas seperti Singkawang, Toho dan Nanga Pinoh, yang lainnya terletak di selatan sungai Kapuas yaitu Tempunak, akan tetapi tempat yang lainnya dipotong oleh sungai Kapuas seperti Putussibau, Penai dan Ngabang Landak sehingga sulit untuk mengetahui masuk kedalam anak jenis yang mana orangutan yang dipelihara tersebut.

2.6 Analisis Spasial

Untuk keperluan kajian analisis spasial, maka pada saat dilakukan pengumpulan sampel dari alam dilakukan juga pencatatan lokasi penemuan sampel tersebut dengan menggunakan GPS. Titik koordinat yang didapat dari masing-masing sampel kemudian dipetakan dan dianalisis dengan menggunakan program Arcgis 9.1. Sampel rambut orangutan yang diperoleh dari alam yang berhasil dianalisis DNAnya kemudian dipetakan sebarannya. Maka akan diperoleh data sebaran spasial berdasarkan kandungan genetiknya.


(29)

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) Di Taman Nasional Betung Kerihun, Koridor Dan TN Danau Sentarum, Kalimantan Barat

1) Luas daerah penelitian

Berdasarkan hasil analisis spasial diketahui bahwa luas seluruh daerah penelitian adalah sekitar 509 556.65 ha yang meliputi 127 562.33 ha di wilayah TNDS, 269 018.68 ha untuk wilayah TNBK dan 112 875.64 ha untuk wilayah koridor, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas daerah penelitian di TNBK, koridor dan TNDS

No. Lokasi Luas (ha)

1. TNBK 269 018.68

2. Koridor 112 875.64

3. TNDS 127 562.33

Luas Keseluruhan 509 556.65

Parameter kesesuaian habitat orangutan

Beberapa parameter menjadi penyusun habitat bagi orangutan, dan hubungan antara parameter ini dengan orangutan dapat dipetakan di dianalisis diantara keduanya dan dibuatkan suatu model kesesuaian habitat bagi orangutan. Pada penelitian ini parameter yang dianggap berpengaruh terhadap keberadaan orangutan ada 7 parameter yaitu pemukiman, jalan, sungai besar, sungai kecil, ketinggian, kelerengan, dan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index).

a. Distribusi sarang berdasarkan jarak dari pemukiman

Faktor pemukiman menjadi faktor yang berpengaruh terhadap habitat orangutan. Pemukiman hanya dijumpai di daerah koridor dan dalam kawasan TNDS yang penduduknya hidup sebagai nelayan. Di dalam kawasan TNBK yang merupakan daerah penelitian yaitu TNBK bagian barat juga tidak dijumpai adanya pemukiman (Gambar 3). Secara umum suku yang mendiami pemukiman di daerah koridor dan TNDS adalah suku Dayak Iban, Kantuk, Tamambaloh dan Melayu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya masyarakat Dayak secara umum melakukan perburuan di hutan sekitar tempat mereka tinggal, sehingga keberadaan masyarakat ini memberi pengaruh yang cukup besar terhadap orangutan. Masyarakat Melayu umumnya sebagai nelayan dan lebih sedikit melakukan perburuan didaerahnya, dan pada saat berburu juga tidak semua satwa akan diburu, mereka akan memburu sebatas yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.


(30)

Berdasarkan Tabel 2 tampak sebaran sarang orangutan berdasarkan jarak dari pemukiman. Daerah TNDS dan koridor telah dihuni oleh masyarakat tradisional sejak dulu. Walaupun TNDS memiliki status sebagai taman nasional akan tetapi banyak kampung di dalamnya yang terbentuk sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional. Hampir seluruh masyarakat yang berada di TNDS merupakan nelayan, pasokan ikan dari kawasan ini sangat melimpah. Untuk daerah koridor banyak juga dihuni oleh masyarakat terutama oleh suku Dayak yang memiliki mata pencaharian sebagai petani dan peramu. Wilayah TNBK merupakan wilayah yang bersih dari perkampungan, jarak kampung terdekat ke dalam kawasan ini adalah sekitar 4 jam perjalanan dengan menggunakan long boat.

Tabel 2 Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari pemukiman

Kelas (m) n Sarang (%) Luas (ha) Luas (%) Kepadatan sarang/ha

0-1000 4 0.50 11 852.93 2.33 0.034

1000-3000 84 10.47 47 187.74 9.26 0.178

3000-5000 378 47.13 53 706.54 10.54 0.704

5000-7000 246 30.67 46 637.54 9.15 0.527

>7000 90 11.22 350 171.89 68.72 0.026

Jumlah 802 100.00 509 556.64 100

Masyarakat biasa melakukan perburuan di sekitar pemukiman sehingga jarak 01000 meter bahkan 3 000 meter merupakan daerah yang tidak aman bagi orangutan, karena pada saat berburu babi dan rusa yang menjadi satwa buruannya, bisa saja masyarakat menjumpai orangutan dan menangkapnya. Soemarna et al. (1995) menyatakan bahwa orangutan adalah salah satu primata yang sangat sensitif terhadap perburuan dan menurut peta lokasi komunitas adat masyarakat pemburu, terungkap bahwa lokasi hutan tanpa dijumpai populasi orangutan di dalamnya merupakan pusat dari suku pemburu (Bugo 1995). Menurut Rijksen dan Meijaard (1999) orangutan dijumpai di semua habitat yang sesuai di Kalimantan, akan tetapi kemudian punah secara local di beberapa tempat. Di lokasi yang punah ini merupakan tempat tinggal masyarakat tradisional untuk beberapa suku pemburu dan pengumpul yang diduga juga berburu orangutan sehingga orangutan punah di lokasi tersebut. Wilayah TNBK relatif aman bagi orangutan, pemukiman jaraknya jauh dari TNBK yaitu > 7000 meter. Berdasarkan penjelasan tersebut, semakin dekat dengan pemukiman maka tingkat kesesuaian semakin rendah, sebaliknya semakin jauh dari pemukiman semakin tinggi kesesuaiannya (Tabel 2).

b. Distribusi sarang orangutan berdasarkan jarak dari jalan

Variabel lain yang berpengaruh yaitu jalan, karena menjadi akses transportasi untuk kegiatan masyarakat sehari-hari. Jalan juga menjadi faktor yang memutuskan jalur pergerakan satwa termasuk orangutan. Jalan besar hanya ditemukan di daerah koridor, jalur jalan ini menghubungkan desa-desa di dalam koridor dan juga menjadi penghubung utama dari Kota Putussibau ke Lanjak sampai ke badau dan ke Lubuk Antu Malaysia. Jalan ini sudah merupakan jalan aspal dengan lebar sekitar 6 meter (Gambar 4).


(31)

(32)

(33)

Tabel 3 Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari jalan

Kelas (m) n Sarang (%) Luas (ha) Luas (%) Kepadatan sarang/ha

0-1000 8 1.00 11 728.39 2.30 0.068

1000-3000 24 2.99 16 813.68 3.30 0.143

3000-5000 176 21.95 17 995.10 3.53 0.978

5000-7000 213 26.56 22 918.68 4.50 0.929

>7000 381 47.51 440 100.79 86.37 0.087

Jumlah 802 100.00 509 556.64 100.00

Tekanan manusia menjadi faktor utama terhadap kondisi habitat bagi orangutan, jaringan jalan menjadi akses bagi masyarakat untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayu termasuk kegiatan perburuan satwa (Gambar 4). Dalam melakukan perburuan kisaran jarak yang paling sering digunakan adalah antara 01 000 m dari tepi jalan, kemudian antara 1 0003 000 m, kisaran jarak ini menjadi daerah yang cukup berbahaya bagi orangutan, karena bisa saja pada saat perburuan dijumpai orangutan, mereka akan diburu. Benet dan Dahaban (1995 dalam Meijaard 2010) menyebutkan bahwa dalam melakukan perburuan setiap satwa biasanya ditembak termasuk primata, perburuan malam dengan kendaraan dan lampu sorot terjadi di setiap kawasan yang ada jalannya dan terutama lebih parah lagi menjelang pekan perayaan setempat.

Ketika terjadi penebangan liar secara besar-besaran di Kalimantan, hutan di daerah penelitian yang terletak di sekitar jalan juga menjadi sasaran penebangan liar. Kondisi ini menyebabkan dampak yang serius terhadap perubahan habitat orangutan di daerah ini dan menyebabkan orangutan melakukan perpindahan menjauhi daerah yang ditebang untuk menjaga keberlangsungan hidupnya (Meijaard 2001). Orangutan merupakan satwa yang membutuhkan habitat yang spesifik sehingga sangat rentan terhadap kehilangan, kemerosotan (degradasi) dan fragmentasi hutan yang merupakan habitatnya (Meijaard 2001).

Akses jalan hany dijumpai di daerah koridor, dan tidak dijumpai di TNDS dan TNBK. Akses ke kedua taman nasional ini adalah dengan menggunakan perahu sehingga tidak ada jalur jalan terdekat ke wilayah ini. Dari uraian ini diketahui bahwa jarak terdekat dengan jalan menjadi daerah yang memiliki kesesuaian rendah sedangkan jarak yang jauh dari sungai memiliki kesesuaian tinggi sebagai habitat orangutan. Keterangan kriteria pembagian jarak dapat dilihat pada Tabel 3.

c. Distribusi sarang orangutan berdasarkan jarak dari sungai besar

Seperti wilayah Kalimantan lainnya, maka di daerah TNBK, TNDS dan koridor juga banyak memiliki adanya sungai besar dan kecil. Untuk sungai besar yang ada di sekitar wilayah penelitian yaitu sungai Embaloh dan Kapuas. Sungai Embaloh berhulu di TNBK dan bermuara ke sungai Kapuas. Selain itu terdapat sungai Leboyan yang berhulu di TNBK mengalir melalui kawasan koridor dan bermuara di TNDS, karena itulah sungai Leboyan menjadi sungai utama sebagai unsur utama dijadikannya koridor yang menghubungkan antara TNBK dan TNDS (Gambar 5). Sungai Kapuas berhulu di TNBK dan mengalir di dekat TNDS, merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Kalimantan Barat.


(34)

Tabel 4 Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari Sungai Besar

Kelas (m) n Sarang (%) Luas (ha) Luas (%) Kepadatan sarang/ha

0-1000 4 0.50 13 502.70 2.65 0.030

1000-3000 22 2.74 26 803.28 5.26 0.082

3000-5000 2 0.25 32 076.94 6.30 0.006

5000-7000 61 7.61 32 114.86 6.30 0.190

>7000 713 88.90 405 058.87 79.49 0.176

Jumlah 802 100.00 509 556.64 100.00

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa daerah TNDS memiliki beberapa sungai yang tergolong besar, begitu juga dengan daerah koridor, akan tetapi berbanding terbalik dengan daerah TNBK. Secara umum tidak dijumpai sungai berukuran besar di TNBK yang termasuk ke dalam daerah penelitian, satu-satunya akses untuk menuju daerah penelitian di TNBK ini adalah melalui sungai Embaloh. Sungai ini di bagian hulunya berupa sungai kecil, akan tetapi semakin ke hilir yang mendekati daerah sungai Kapuas sungai ini semakin lebar dan besar. Sungai besar menjadi pembatas pergerakkan orangutan, jika sungainya dalam orangutan tidak akan bisa menyeberangi sungai tersebut, karena orangutan tidak bisa berenang, orangutan mengandalkan sambungan antar tajuk pohon diantara tepi sungai untuk pergerakan hariannya (Locke et al. 2011) Di Kalimantan Barat sungai Kapuas menjadi pembatas orangutan dalam jangka waktu yang lama sehingga populasi utara tidak bisa bercampur dengan populasi selatan, dan setelah terjadi sekian lama, kedua populasi ini menjadi dua anak jenis yang berbeda.

Selain menjadi pembatas pergerakkan, sungai besar menjadi akses utama masyarakat untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari, termasuk berladang dan berburu, pada prinsipnya sungai besar hampir serupa dengan jalan raya bagi masyarakat di sekitar lokasi penelitian, sehingga jarak terdekat dari sungai besar merupakan daerah yang tidak sesuai untuk orangutan, sebaliknya untuk wilayah yang jauh dari tepi sungai besar menjadi wilayah dengan kesesuaian yang tinggi. Dari penjelasan ini maka kriteria pembagian jarak dari sungai besar adalah sama dengan jarak dari jalan. Walaupun di pinggiran sungai merupakan daerah yang subur dan tutupannya masih bagus tapi aktivitas manusianya cukup tinggi biasanya orangutan tetap akan menghindari daerah tersebut.

Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa hanya dijumpai sedikit sarang orangutan (28 sarang) yang terletak dekat dengan sungai besar yaitu pada kelas jarak 05 000 m, dengan kepadatan sarang dari yang terdekat sebesar 0.03/ha, 0.082/ha dan 0.006/ha. Sebaran sarang orangutan pada jarak yang lebih jauh dari 5 000 m sangat tinggi yaitu lebih dari 90% dengan kepadatan 00.19/ha dan 0.176/ha. Hal ini menunjukkan bahwa orangutan tidak menyukai wilayah yang dekat dengan sungai besar. Sungai besar merupakan jalur transportasi masyarakat local sehingga banyak perahu bermotor di daerah yang menimbulkan kebisingan dan mengganggu orangutan. Di Sumatera dan Kalimantan sejumlah besar orangutan dijumpai menempati daerah dekat dengan sungai kecil dan daerah rawa, kepadatan tertinggi terdapat di bagian area hutan bertanah alluvial di lembah-lembah sungai dan hutan-hutan dekat dengan rawa atau diantara sungai (Meijaard et al. 2001).


(35)

d. Distribusi sarang berdasarkan jarak dari sungai kecil

Kalimantan sering disebut dengan sebutan pulau dengan seribu sungai, karena banyaknya sungai besar dan kecil. Dikelompokkan sebagai sungai kecil karena di beberapa wilayahnya memiliki tajuk yang saling bersambungan, dengan lebar yang bervariasi yang memungkinkan satwa primata dapat melakukan pergerakan dari satu sisi ke sisi sungai yang lain. Di sekitar sungai kecil biasanya banyak dijumpai tumbuhan yang memiliki tajuk saling bersambungan dan membantu pergerakan orangutan. Kondisi sungai yang dangkal dan banyak ditemukan bebatuan membantu orangutan dapat melakukan perpindahan dari satu sisi ke sisi lain dari sungai tersebut (Meijaard 2001).

Demikian juga dengan daerah penelitian, terutama di daerah TNBK memiliki banyak sungai kecil. TNBK memiliki daerah yang berbukit-bukit, dan hampir semua lembah diantara bukit-bukit tersebut merupakan daerah aliran sungai kecil (Gambar 6). Variasi jenis tumbuhan buah yang tinggi meningkatkan kemungkinan terjadinya musim buah yang terjadi secara terus-menerus. Kondisi ini dijumpai pada area hutan yang memiliki tanah alluvial termasuk di sekitar area hutan rawa (Leighton dan Leighton 1983, van Schaik et al.1995) atau di sungai-sungai yang terletak di lembah yang luas (Meijaard et al. 2001) dan frekuensi terjadinya musim buah ini tergantung pada kesuburan tanah dan ketersediaan air.

TNDS memiliki banyak sungai kecil terutama didaerah yang berbukit-bukit, pada saat musim kering lebih jelas terlihat sungai-sungai kecil tersebut, sebaliknya pada saat musim hujan akan sulit menemukan sungai kecil karena tingginya permukaan sungai danau yang bisa meninggi sampai 8 meter. Koridor memiliki sungai kecil juga diantara pebukitan yang mengitarinya. Sungai-sungai ini menjadi sumber air baku bagi masyarakat di sekitarnya. Sungai Leboyan sebagai sungai utama penghubung antara TNBK dan TNDS dikategorikkan sebagai sungai kecil, karena lebar sungai yang tidak terlalu besar, sebagian besar tajuk antara pohon di kiri dan kanan saling sambung, dan pada saat musim kemarau menjadi sungai yang sangat dangkat sehingga sulit untuk dilalui.

Tabel 5 Sebaran sarang (n) dan luas daerah berdasarkan kelas jarak dari Sungai Kecil

Kelas (m) n Sarang (%) Luas (ha) Luas (%) Kepadatan sarang/ha

0-2000 240 29.93 294 195.15 57.74 0.082

2000-4000 488 60.85 119 048.39 23.36 0.410

4000-6000 73 9.10 54 058.06 10.61 0.135

6000-8000 1 0.12 17 557.04 3.45 0.006

>8000 0 0.00 24 698.01 4.85 0.000


(36)

(37)

(1)

Locke DP, Hillier LW, Warren et al. 2011. Comparative and Demographic Analysis of Orang-utan Genomes. Nature Vol. 469:529-533. Doi: 10.1038/nature09687

Long PR, Zefania S, French-Constant RH, Szekely T. 2008. Estimating the population size of an endangered shorebird, the Madagascar plover, using a habitat suitability model. Anim. Conserv. 11:118–127. doi:10.1111/j.1469-1795.2008.00157.x

Marshall A.J., Nardiyono, Engstrom L.M., Pamungkas B., Palapa J., Meijaard E. and Stanley S.A. 2006. The blowgun is mightier than the chainsaw in determining population density of Bornean orangutans (Pongo pygmaeus morio) in the forests of East Kalimantan.Biological Conservation, 129:566-78 Meijaard E, Rijksen HD, Kartikasari SN. 2001. Di Ambang Kepunahan !, Kondisi

Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Penyunting S.N. Kartikasari. The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta.

Muir CC, Galdikas BMF, Beckenbach AT. 2000. mtDNA sequence diversity of orangutans from the islands of Borneo and Sumatra.J Mol Evoln, 51:471–480. DOI: 10.1007/s002390010110

Nater A, Nietlisbach P, Arora N, van Schaik CP, van Noordwijk MA, Willems EP, Singleton I, Wich SA, Goossens B, Warren KS, Verschoor EJ, Farajallah DP, Pamungkas J, Krutzen M, 2011. Sex-biased Dispersal and Volcanic Activities Shapped Phylogeographic Patterns of Extant Orangutans (genus:Pongo). http://mbe.oxfordjournals.org. Molecular Biology and Evolution.

National Geographic Indonesia. 2013. Susahnya Selamatkan Orangutan di Kalimantan. http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/susahnya-selamat kan-orangutan-di-kalimantan-ii

Nijman V, and Meijaard E, 2008. Zoogeography of Southeast Asian Primates, Contributions to Zoology, 77 (2): 117–126

Noda R, Kim CG, Takenaka O, Ferrell RE, Tanoue T, Hayasaka I, Ueda S, Ishida T, Saitou N. 2001. Mitochondrial 16S rRNA sequence diversity of hominoids. J Hered92:490–496

Ottaviani D, Lasinio GJ, Boitani L. 2004. Two statistical methods to validate habitat suitability models using presence-only data. Ecological Modelling 179: 417–443. doi:10.1016/j.ecolmodel.2004.05.016.

Payne J., 1987. Surveying orangutan populations by counting nests from a helicopter: A pilot survey in Sabah.Primate Conservation,8:92103

Rijksen HD, Meijaard E. 1999. Our Vanishing Relative: The status of Wild Orang-utans at the close the Twentieth Century. Kluwer Academic Publisher, Dordrecht.

Ryan L. 1997. Creating a Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) image Using MultiSpec. University of New Hampshire

Singleton I, Wich S, Husson S, Stephens S, Atmoko SU, Leighton M, Rosen N, Traylor-Holzer K, Lacy R, and Byers O (eds.). 2004. Orangutan Population and Habitat Viability Assessment: Final Report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN.

SK Menteri Pertanian No. 683/Kpts/Um/II/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Produksi


(2)

SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.

Soares CÆJ and Brito C. 2007. Environmental correlates for species richness among amphibians and reptiles in a climate transition area. Biodivers Conserv 16:1087–1102

Soemarna, K, Ramono WS, Tilson R. 1995. Introduction to the orangutan population and habitat viability analysis (PHVA) workshop. In: The Neglected Ape. Nadler RDet al. editors. New York. H. Pp 81-83.

Status Lingkungan Hidup Kalimantan Tahun 2011.

Steiper ME, Wolfe ND, Karesh WB, Kilbourn AM, Bosi EJ, Ruvolo M. 2005. The Population Genetics of the alpha-2 Globin Locus of Orangutans (Pongo pygmaeus).J. Mol. Evol60:400408. Doi:10.1007./s00239-004-0201-x

Steiper ME. 2005. Population history, biogeography and Taxonomy of orangutans (Genus :Pongo) based on a population genetic meta-analysis of multiple loci, J. of Human Evol., 50:509–522

Taberlet P, Waits LP, Luikart G. 1999. Non invasive genetic sampling: look before you leap.Trends in Ecology and Evolution14: 323 7.

Taft HR, Roff DA. 2011. Do bottlenecks increase additive genetic variance? Conserv Genet. Springer Science+Business Media B.V. DOI 10.1007/s10592-011-0285-y

Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0.Molecular Biol and Evol24: 15961599.

Timm, NH. 2002. Applied Multivariate Analysis, Springer_Verlag New York, Inc Tole L.2006.Choosing reserve sites probabilistically: A Colombian Amazon case

study.Ecol. Modelling194:344–356. doi:10.1016/j.ecolmodel.2005.10.027 Van Bemmel, A.C.V. 1968. Contribution to the knowledge of the geographical

races of Pongo pygmaeus (Hoppius). Bijdragen tot de Dierkunde 38:13-15 Dalam E. Meijaard, H.D. Rijksen, S.N. Kartikasari. Di Ambang Kepunahan! Kondisi orangutan liar di awal abad ke-21; disunting oleh S.N. Kartikasari, Jakarta; The Gibbon Foundation Indonesia 2001.

Van Schaik, C. P. dan Azwar, 1991. Orangutan Densities In Different Forest Types in the Gunung Leuser National Park (Sumatera). As Determined by Nest Count, Report to PHPA. LIPI and L. S. B. Lea Key Foundation, Durham Warren KS, Verschoor EJ, Langenhuijzen S, Heriyanto, Swan RA, Vigilant L,

Heeney JL. 2001. Speciation and Intra subspecific of Bornean Orangutans, Pongo pygmaeus pygmaeus. Mol. Biol. Evol.18(4): 472-480.

Wich S, Meijaard E, Marshall AJ, Huson S, Ancrenaz M, Robert CL, van Schaik CP, Sugardjito J, Simorangkir T, Kathy TH, Doughty M, Supriatna J, Dennis R, Gumal M, Knott CD, and Singleton I. 2008. Distribution and conservation status of the orang-utan (Pongo spp) on Borneo and Sumatra: how many remain?Oryx,43(3):329-339

Xu X, Arnason U. 1996. The Mitochondrial DNA Molecule of Sumatran Orangutan and a Molecular Proposal For Two (Bornean and Sumatran) Species of Orangutan.J. Mol. Evol 43: 431-437

Yeager C. 1999. Orangutan Action Plan. Report for Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, World Wildlife Fund for Nature Indonesia, and CERC.


(3)

Yuwono EH, Susanto P, Saleh C, Andayani N, Prasetyo D, Atmoko SSU. 2007. Guidelines for the better management practices on avoidance mitigation and management of human-orangutan conflict an and around oil palm plantations. WWF Indonesia

Zhang YW, Ryder OA, Zhang YP, 2001, Genetic divergence of orangutan subspecies (Pongo pygmaeus),J. of Mol. Evol., 52(6): 516526.

Zhi L, Karesh WB, Janczewski DN, Frazier-Taylor H, Sajuthi D, Gombek F, Andau M, Martenson JS, O’Brien SJ. 1996. Genomic Differentiation Among Natural Population of Orangutan (Pongo pygmaeus), http://www.sciencedirect.com/science?, download 23 July 2011.


(4)

Lampiran 1.

Summary statistics

Variable Observations

Obs. with missing data

Obs. without missing data

Minimu

m Maximum Mean

Std. deviation

kampung 534 0 534 660.682 36150.930 5585.478 5197.790

Sungai Kecil 534 0 534 0.500 5696.920 2493.979 1197.210

Sungai Besar 534 0 534 180.000 25167.000 13197.093 5145.678

Jalan 534 0 534 241.868 27148.670 9182.806 5997.431

Ketinggian 534 0 534 30.000 432.000 127.155 95.537

Slope 534 0 534 0.384 62.536 17.520 13.595

NDVI 534 0 534 0.246 0.546 0.428 0.048

Eigenvalue

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

Eigenvalue 2.435 1.575 1.314 0.797 0.394 0.315 0.170

Variability (%) 34.792 22.505 18.777 11.383 5.625 4.493 2.426


(5)

Eigenvectors:

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

Sungai Besar 0.385 0.231 0.545 0.092 -0.524 0.294 -0.363

kampung 0.062 0.756 -0.041 0.126 -0.135 -0.124 0.611

Sungai Kecil 0.244 -0.293 -0.460 0.700 -0.278 0.232 0.149

Jalan -0.408 0.428 -0.044 0.523 0.307 0.011 -0.529

SRTM/ketinggian 0.427 0.198 -0.505 -0.197 -0.160 -0.528 -0.425

Slope 0.522 0.188 -0.161 -0.146 0.594 0.540 -0.025


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 April 1968, sebagai anak ke tujuh dari delapan bersaudara dari pasangan Toekidjan Dwidjohardjono dan Liliek Satiyem. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran Bandung lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2003 penulis diterima di Program Studi Primatologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2006. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Hutan Tropika diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis pernah bekerja di WWF Indonesia Kalimantan Barat sampai tahun 1999, dan sejak tahun yang sama penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak sampai sekarang.

Sebelum mengikuti program S-3 penulis aktif melakukan penelitian di kawasan koridor satwa di Kabupaten Kapuas Hulu bersama dengan WWF yang karyanya diterbitkan pada buku Connecting Diversity, People and Nature of Labian-Leboyan Corridor In The Indonesian Heart of Borneo; WWF Indonesia. Selama mengikuti program S-3 penulis telah membuat publikasi yang diterbitkan pada Jurnal Bionatura Universitas Padjadjaran Bandung dengan judul Karakter Kunci pembeda orangutan Sumatera dan Kalimantan yang telah diterbitkan pada Maret 2014. Artikel lain merupakan bagian Bab 1 berjudul Habitat Suitability Modelling of Bornean Orangutan (Pongo pygmaeus pygmaeus) in Betung Kerihun National Park, Corridor and Danau Sentarum National Park, West Kalimantan masih dalam tahap revisi pada Jurnal of Tropical Forest Management Fakultas Kehutanan IPB, dan artikel lainnya merupakan Bab 2 dengan judul Pemodelan Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus) di Koridor Satwa Kapuas Hulu Kalimantan Barat pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis.