Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii Linneaus, 1760) di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau, Kalimantan Tengah

(1)

1.1 Latar Belakang

Suaka Margasatwa Sungai Lamandau merupakan kawasan konservasi yang terdiri dari tipe ekosistem rawa air tawar dan tipe ekosistem hutan dataran rendah yang berfungsi sebagai perlindungan dan pelestarian terhadap jenis-jenis serta keanekaragaman satwa dan habitatnya termasuk jenis satwa yang memiliki nilai khas diantaranya orangutan kalimantan. SM Sungai Lamandau terletak di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Sukamara. Lokasi ini memiliki nilai penting karena merupakan salah satu kawasan yang digunakan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan hasil rehabilitasi.

Orangutan tergolong satwa yang langka (Anthony & Nayman 1978) karena hanya terdapat di Asia (Galdikas 1978). Saat ini orangutan kalimantan telah dilindungi oleh pemerintah melalui PP No.7 Tahun 1999 dan termasuk kedalam satwa dengan status kritis (Critically Endangered) yang merupakan status ancaman kepunahan tertinggi menurut IUCN Red List. Orangutan kalimantan juga terdaftar dalam APPENDIX 1 CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora). Status tersebut diperoleh karena kecenderungan menurunnya populasi orangutan kalimantan yang diakibatkan adanya degradasi lingkungan dan konversi lahan. Khusunya di SM Sungai Lamandau tekanan terhadap orangutan kalimantan bersumber dari kegiatan perambahan kawasan, pembakaran lahan, serta perburuan liar. Orangutan merupakan “umbrella species” yaitu berperan penting dalam pemencaran biji-biji dari tumbuhan yang dikonsumsinya. Sehingga, ketidakhadiran orangutan di hutan hujan tropis dapat mengakibatkan kepunahan suatu jenis tumbuhan. Pentingnya keberadaan orangutan dan banyaknya tekanan yang mengancam kehidupan orangutan maka dibutuhkan upaya konservasi untuk melindungi jenis ini agar terhindar dari ancaman kepunahan.

Upaya konservasi terhadap orangutan kalimantan telah banyak dilakukan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Penelitian mengenai orangutan kalimantan pun telah dimulai sejak tahun 1974. Penelitian


(2)

2

yang telah dilakukan meliputi aspek tingkah laku, aktivitas harian, pakan, habitat bahkan sampai aspek pengelolaan. Namun upaya penelitian lanjutan sangat dibutuhkan. Salah satu penelitian yang perlu dikembangkan khusunya di SM Lamandau adalah penelitian habitat, mengingat tekanan terhadap habitat orangutan terus terjadi dan perlunya informasi mengenai kesesuaian habitat orangutan bagi pelepasliaran orangutan dari upaya rehabilitasi. Penerapan Sistem Informasi Geografis (SIG), penginderaan jauh dan Global Positioning System

(GPS) dapat dikembangkan untuk penelitian habitat orangutan kalimantan. Sehingga, dari gabungan ketiga teknologi ini, didapatkan informasi mengenai model habitat serta pemetaan kesesuaian habitat orangutan kalimantan. Informasi ini diharapkan dapat dijadikan data dasar dalam pengelolaan maupun data acuan penelitian, serta sebagai dasar dari pengambilan langkah lanjutan untuk menjaga habitat orangutan kalimantan sebagai satwa penting di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian adalah untuk membuat model spasial kesesuaian habitat orangutan kalimantan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau dengan menggunakan aplikasi SIG dan penginderaan jarak jauh.

1.3 Manfaat

Hasil dari penelitian adalah data spasial orangutan kalimantan di SM Sungai Lamandau yang digambarkan dalam bentuk peta sehingga dapat digunakan sebagai data acuan penelitian lanjutan, data acuan untuk menentukan lokasi rehabilitasi, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan penerapan kebijakan bagi pengelola kawasan SM Sungai Lamandau, karena data analisis spasial tidak hanya menampilkan informasi mengenai kondisi habitat pada waktu tertentu. Namun, juga dapat digunakan untuk evaluasi terhadap perubahan yang terjadi berdasarkan faktor ekologi dan sosial.


(3)

2.1 Habitat Satwa Liar

Habitat adalah kawasan baik biotik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak satwa liar. Komponen abiotik dan biotik habitat, membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Komponen abiotik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Sedangkan komponen biotik adalah vegetasi, mikro dan makro. Habitat memiliki peranan bagi satwa liar sebagai tempat untuk mencari makan, minum dan tempat berlindung (Alikodra 2002). Habitat satwa liar penting dilakukan adanya pemetaan. Hal ini disebabkan karena data analisis spasial tidak hanya menampilkan informasi mengenai kondisi habitat pada waktu tertentu namun juga dapat digunakan untuk evaluasi terhadap perubahan yang terjadi berdasarkan faktor ekologi dan sosial.

2.2 Bio-ekologi Orangutan Kalimantan

Orangutan merupakan salah satu jenis kera besar yang tidak berekor (Anthony & Nayman 1978; Maple 1980 ). Nama ‘orangutan’ berasal dari bahasa melayu yang berarti orang yang hidup di dalam hutan. Masyarakat Kalimantan Barat sering menyebut ‘mayas’, sebutan ini pun sering digunakan oleh orang-orang melayu. Orangutan terbagi ke dalam dua sub spesies yaitu orang-orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus).

2.2.1 Taksonomi

Klasifikasi orangutan menurut F.E Poirier (1964) dalam Groves (1971) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Sub Kingdom : Metazoa

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Klas : Mamalia


(4)

4

Sub Ordo : Primata Famili : Pongidae Genus : Pongo

Spesies :Pongo pygmaeus wurmbii

Sub Spesies : Pongo pygmaeus wurmbiiLinneaus, 1760

Pongo pygmaeus abeliiLesson, 1872 2.2.2 Morfologi

Orangutan merupakan satwa yang besar dan dapat dibedakan antara jantan dan betina karena memiliki sexual dimorphismeyang jelas. Panjang badan jantan antar kepala sampai dengan kaki adalah 950 mm, dan memiliki berat 77 kg, sedangkan pada betina ukuran tubuhnya adalah 775 mm dan berat badannya 37 kg. Secara morfologi orangutan kalimantan dan sumatera sangat serupa, namun terdapat perbedaan yang mendasar pada warna bulunya (Napier & Napier 1985). Perbedaan tersebut bukan merupakan sifat yang mantap, namun digunakan sebagai penuntun kasar (Galdikas 1978).

Menurut Galdikas (1978) orangutan sumatera kadang-kadang memiliki bulu putih pada mukanya yang tidak pernah dijumpai pada orangutan kalimantan. Orangutan memiliki kulit yang kasar dan dengan warna bulu cokelat kemerah-merahan. Kulitnya liat dan tertutup papil-papil, warnanya cokelat tua sampai hitam dengan bercak-bercak tidak teratur warna biru dan hitam yang tampaknya menembus bulu-bulu terutama pada tubuh bagian bawah. Terdapat perbedaan warna antara orangutan sumatera dan kalimantan, warna bulu orangutan kalimantan lebih gelap dan lebih pendek dari pada orangutan sumatera (Napier & Napier 1985; Eckhardt 1975 diacu dalam Galdikas 1978). Bulu terdiri atas bulu kasar dan panjang, dibagian lengan dan bahu panjang bulu ini dapat mencapai 0,5 m. Bulu orangutan sumatera biasanya lebih lembut dan lemas, sedangkan bulu orangutan kalimantan lebih kasar dan jarang-jarang. Pada hewan muda dan setengah dewasa seikat bulu kasar dan tegak lurus di atas kepala. Pada hewan dewasa bulu ini lebih pendek, lebih rata dan berjumbai menutupi dahi. Bagian muka dan kantung tenggorokan tidak berbulu hanya pada jantan dewasa terdapat sedikit bulu berwarna jingga terang di bibir atas dan dagu (Uitgeverij & Hoeve 2003).


(5)

Pada sisi bagian muka terdapat gelambir pipi, terdiri dari jaringan ikat dan lemak. Gelambir ini merupakan ciri yang paling mencolok pada jantan dewasa. Seringkali kantung besar dan gelambir-gelambir pipi tadi hanya terdapat sebagian, terutama bila hewan tersebut kurang sehat atau kurus. Muka agak cekung dan lebih lebar pada yang jantan, rahang kuat dan menganjur ke depan, lengkung alis agak menonjol. Daun telinga kecil seakan akan menempel pada tengkorak. Mata kecil, lengan sebagai alat penting untuk hidup di pohon, sangat panjang dan terkuat di antara semua spesies kera. Tungkai-tungkai bawah agak pendek dan lemah. Kuku tangan dan kaki sangat melengkung, pada orangutan yang berasal dari Kalimantan ibu jari sering tidak berkuku. Hewan ini tidak berekor sama sekali. Oleh karena tungkainya pendek, maka tinggi saat berdiri tidak lebih dari 1.37 m dan betina kira-kira 1.15 m. Berat badan jantan 75-100 kg dan betina 35-45 kg tergantung umur, keadaan kesehatan dan situasi makanan di daerah tempat tinggalnya yang berubah-ubah sesuai keadaan musim (Uitgeverij & Hoeve 2003). Gambar morfologi orangutan kalimantan jantan dewasa dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi orangutan kalimantan jantan dewasa.

Menurut Suwandi (2000) tulang pinggul orangutan mengalami rudimentasi (perubahan fungsi anggota tubuh) seolah-olah tidak mempunyai pinggul. Perut sangat buncit dan leher sangat pendek. Tangan dan kaki selalu


(6)

6

mencengkeram sehingga berbentuk seperti kait. Kaki dapat berfungsi sebagai tangan, sehingga apabila sedang bergerak di atas pohon dapat digunakan untuk berpegangan kuat. Tulang pinggul yang tidak berkembang memungkinkan orangutan dapat bergelayutan dan memutar badannya hingga seratus delapan puluh deratajat.

2.2.3 Habitat

Orangutan hidup di daerah-daerah dataran rendah, hutan bergambut, dan orangutan hanya hidup di hutan hujan tropis yang yang telah klimaks (Puri 2001; Maple 1980). Orangutan merupakan satwa yang arboreal, satwa ini biasa membuat sarang di tajuk-tajuk pohon yang tertutup yang memiliki ketinggian 6-24 m di atas tanah (Napier & Napier 1985).

2.2.4 Penyebaran

Orangutan hidup di hutan-hutan tropis yang basah dan masih berada dalam kondisi primer, dalam batas-batas alam yang tidak dapat dilampaui seperti sungai atau gunung yang tingginya lebih dari 2000 m. Hewan ini hanya terdapat di dua pulau di Indonesia yakni di Sumatera dan Kalimantan. Orangutan paling banyak dapat ditemui di Propinsi Aceh tepatnya di bagian utara S. Wampu dan S. Simpang-Kanan serta di Peureulak. Selain itu di Sumatera dapat pula dijumpai di Meulaboh dan Singkel di Pantai Timur. Di pulau Kalimantan orangutan terdapat di hutan-hutan yang tidak dihuni dan lokasi hutan yang dilindungi di Serawak dan Sabah (Malaysia Timur) dan di Kalimantan (Indonesia) (Napier & Napier 1986), terutama di kedua sisi batas antara Serawak dan Kalimantan di tempat-tempat terisolir antara S. Sadong dan S. Batang Lupar di Serawak dan lebih ke utara dan timur Sabah termasuk Taman Nasional Kinabalu (Kinabalu National Park) (Uitgeverij & Hoeve 2003).

Uitgeverij dan Hoeve (2003) menyatakan bahwa tempat tinggal yang paling tidak terganggu adalah di pedalaman Kalimantan Timur, di daerah Sandakan sepanjang S. Lolan dan anak S. Kinabatang Hulu serta Segama Hulu. Sedangkan sebagian besar Kalimantan Selatan tidak dihuni orangutan.


(7)

2.2.5 Pakan

Menurut Uitgeverij dan Hoeve (2003) secara umum orangutan memakan segala macam buah-buahan yang tumbuh di hutan serta beraneka ragam bunga, kuncup bunga, dedaunan, kulit batang pohon, epifit, akar-akaran, gelagah, lumut, tanah humus, madu, lebah liar dan sebagainya. Kebiasaan memakan lumut dan menarik tunas tumbuhan, memeriksa potongan-potongan lepas kulit pohon, tanah dan humus, semuanya terdorong oleh kebutuhan untuk menghisap cairan dan mencari serangga serta larva yang dapat dimakan. Terkadang orangutan menggunakan tongkat sebagai ‘alat’ untuk memperoleh rayap dan makanan hewani yang lain.

Orangutan memenuhi kebutuhan pokok akan cairan melalui makanannya, kemudian menjilat bulu-bulunya sampai kering, memeras tanah basah dari pohon-pohon berongga dan menghisap tumbuhan yang mengandung air. Menurut Napier dan Napier (1985) pada saat musim kering mereka memakan kulit kayu dan memakan intisari dari tanaman.

Di Kalimantan orangutan sangat bersifat frugivorous. Dua jenis yang sangat mendominir makanan orangutan adalah Dracontomelon mangiferum dan

Koordersiodendron pinnatum. Daun-daun yang biasanya dimakan oleh orangutan adalah daun-daun muda yang berada di ujung-ujung tajuk. Daun berukuran kecil

Ficus sp dimakan dalam jumlah yang banyak, sedangkan daun yang berukuran besar diambil satu/dua lembar saja. Satwa ini juga suka memakan Pandanus ephiphyticus yang panjangnya 1,5 m yang tidak disukai oleh primata lain, sehingga dapat dijadikan suatu indikasi jika terdapat daun pandan yang jatuh, mengindikasikan bahwa daun pandan tersebut sisa makan orangutan. Dalam menyeleksi makanan orangutan seperti Hylobates, yaitu memilih pangkal daun atau pelilious sedangkan kulit kayu yang diambil hanya pada bagian ujung saja. Wilayah jelajah perhari untuk memenuhi kebutuhan makan mencapai 305 m di Kalimantan Timur, 800 m di Kalimantan Tengah dan 500 m di Sabah, hal ini tergantung pada keberadaan sumberdaya pakan (Bismark 1984). Terdapat perbedaan proporsi jenis-jenis makanan antara orangutan jantan dan betina menurut (Rodman 1977) dalam Bismark 1984, perbandingan proporsi jenis makanan antara orangutan jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 1.


(8)

8

Tabel 1 Proporsi jenis pakan orangutan jantan dan betina

Jenis %

Buah Daun Kulit kayu Bunga Insekta

Jantan 67,1 23,2 4,9 2,8 1,9

Betina 58,6 22,0 16,5 2,1 0,8

2.2.6 Perilaku

Maple (1980) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh aktivitas makan, selanjutnya istirahat, berjalan-jalan, bermain dan aktivitas yang dilakukan dalam prosentase waktu yang relatif sedikit adalah aktivitas mebuat sarang. Di alam liar secara umum orangutan turun dari sarang tidurnya sekitar 30 menit sebelum matahari terbit (MacKinnon 1974 diacu dalam Maple 1980). Orangutan masuk ke sarangnya ketika hari sudah mulai gelap. Setiap harinya orangtan selalu bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan jarak rata-rata 500 m. Aktivitas orangutan cukup lamban dan malas (MacKinnon 1974 diacu dalam Maple 1980) hal ini disebabkan karena berat badannya yang cukup besar dan pohon-pohon di dalam hutan yang sangat bervariasi baik tinggi maupun letaknya, sehingga mereka harus berhati-hati dalam pergerakannya.

MacKinnon (1974) diacu dalam Maple (1980) menyatakan bahwa orangutan setiap harinya membuat sarang minimal satu sarang setiap hari untuk beristirahat dan tidur dimalam hari atau 1,8 sarang perhari berdasarkan perhitungan Rijksen (1978) dengan sebaran 0-6 sarang per hari. Kegiatan membuat sarang membutuhkan waktu sekitar 2-3 menit. Pembuatan sarang dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Rimmingyaitu cabang dilekukkan secara horizontal untuk membentuk lingkaran sarang dan ditahan dengan cara melekukkan cabang lain. 2. Hanging yaitu cabang dilekukkan masuk ke dalam sarang untuk

membentuk mangkok sarang.

3. Pillaring yaitu cabang dilekukkan ke bawah sarang untuk menopang lingkaran sarang dan memberikan kekuatan ekstra.

4. Loose yaitu beberapa cabang diputuskan dari pohon dan diletakkan ke dalam dasar sarang sebagai alas atau di atas sarang sebagai atap. Orangutan umumnya membuat sarang baru pada pohon setiap malamnya (Galdikas 1984). Selain itu pernah terlihat orangutan menambahkan cabang-cabang segar pada cabang-cabang lama dan menggunakan sarang yang telah diperbaiki ini


(9)

sebagai tempat bermalam. Pada kejadian lain, pernah pula orangutan menggunakan sarang lama tanpa melakukan perbaikan sarang sedikit pun.

Orangutan umumnya tidak suka ribut. Jerit melengking dari seekor anak merupakan suatu bunyi yang mencolok jika suatu hewan tua ingin memberikan tanda bahaya maka akan terdengar suatu bunyi menderam-deram. Kalau mengadakan kontak dalam jarak dekat akan terdengar bunyi ciuman dan kenyaman. Melempar dengan dahan dan biasanya dilakukan baik jantan atau betina kalau ada manusia atau pendatang lain mendekat dan tidak disukai. Dahan dilemparkan ke bawah atau dikibas-kibaskan ke arah si pengganggu. Ada hewan yang lebih toleran dari pada yang lain, tetapi umumnya orangutan tidak suka dilihat atau diganggu manusia, walaupun sikap ini dapat berubah menjadi rasa ingin tahu, apabila manusia ramah atau sudah dikenal dengan baik (Uitgeverij & Hoeve 2003; Maple 1980).

2.2.7 Organisasi sosial

Menurut Napier dan Napier (1985) orangutan merupakan satwa yang soliter. Selanjutnya Maple (1980) menyebutkan bahwa orangutan hidup dalam kelompok keluarga kecil, jantan dewasa biasanya berkelana sendiri. Dua induk dengan anak-anaknya atau sejumlah kecil yang muda biasanya berkelana bersama. Kelompok orangutan menurut Rijksen (1978) diacudalamBismark (1984) dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu:

a. Kelompok sosial, dalam hal ini individu-individu bergerak brsama-sama dan menunjukkan adanya satu koordinasi.

b. Assosiasi temporer, dalam hal ini individu-individu yang membentuk suatu kelompok ketika makan pada satu pohon, setelah itu terpecah kembali setelah melakukan aktivitas tersebut.

Hasil pengamatan oleh Rijksen (1978) diacu dalamBismark (1984) bahwa perbandingan antara orangutan yang soliter dengan yang berkelompok adalah 46% dengan 54%. Di Kalimantan orangutan yang benar berkelompok adalah sekitar 4.3% dari populasi jauh lebih rendah dari pada di Sumatera (17%).

Hubungan sosial orangutan terbentuk pada saat terjadi kontak langsung antar individu dengan individu lain selama menjelajah atau pada saat di pohon (Rijksen 1978) dalam(Ihsan 2000). Menurut Galdikas (1978) orangutan jantan dan betina dewasa hidup hampir selalu soliter, sedangkan hewan muda yang


(10)

10

sudah mandiri yakni jantan pradewasa dan betina remaja bersifat jauh lebih sosial. Orangutan jantan dewasa yang tidak berpasangan melewatkan hampir sepenuh waktunya dalam kehidupan menyendiri, bahkan tidak dapat menerima kehadiran sesama jenisnya. Dan diantara pongidae yang lain orangutan jantan dewasa lah yang jelas-jelas mempunyai sifat tidak tenggang terhadap sesama jenisnya. Sedangkan orangutan betina juga merupakan betina pongidae yang memiliki sifat interaksi terhadap sesama yang paling rendah. Sehingga menurut Rodman (1973) diacu dalam Galdikas (1978) sistem sosial orangutan sangat berbeda dari sistem sosial chimpanze dan gorilla. Harisson (1962) dan Schaller (1961) diacu dalam

Galdikas (1978) menyatakan bahwa kesoliteran orangutan terbentuk akibat terlalu banyak orangutan yang diburu oleh manusia.

2.2.8 Ancaman yang dihadapi

Ancaman orangutan yang paling besar adalah manusia, terutama manusia yang menggunakan senjata. Ancaman orangutan terjadi sejak zaman batu sampai sekarang. Sejak zaman batu, manusia memburu hewan ini terutama untuk diambil dagingnya dan sejak akhir abad lalu keberadaan orangutan dinyatakan hampir punah terutama di Kalimantan dan Sumatera. Umumnya orangutan dari tempat tersebut dipindahkan ke tempat lain untuk keperluan kebun binatang atau untuk tujuan objek penelitian. Hewan ini ditangkap dalam jumlah yang besar dan pada saat pemindahan banyak yang mangalami kematian baik pada waktu dalam perjalanan maupun sesudahnya (Uitgeverij & Van Hoeve 2003). Selain itu Uitgeverij & Van Hoeve juga menyebutkan bahaya lain yang selalu mengancam hidup orangutan adalah tekanan yang datang terus menerus dari penduduk sekitar hutan tempat orangutan hidup. Konversi hutan menjadi area pertanian, perkebunan dan peruntukan lain terus meningkat, bahkan di Cagar Alam pun orangutan tidak bebas dari gangguan manusia.

2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.3.1 Definisi

SIG adalah suatu sistem berbasis komputer yang dirancang khusus, yang mempunyai kemampuan untuk mengelola data pengumpulan, penyimpanan, pengelohan, analisis, pemodelan dan penyajian data spasial (keruangan) dan non


(11)

spasial (tabular/tekstual), yang mengacu pada lokasi di permukaan bumi (data biorgeoreferensi) (Jusmady 1996 diacu dalam Soenarmo 2003). Pada dasarnya, sistem informasi geografis adalah suatu “sistem” yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berkait (berhubungan) dalam mencapai suatu sasaran, berdasarkan “informasi” (data, fakta, kondisi, fenomena) berbasis “geografis” (daerah, spasial, keruangan) yang dapat dicek posisinya di permukaan bumi (bergeoreferensi) (Soenarmo 2003). Prahasta (2001) menyebutkan dalam berbagai literatur, SIG dipandang sebagai hasil perkawinan sistem komputer uuntuk bidang kartografi (CAC) atau sistem kompter untuk bidang perancangan (CAD) dengan basis data (data base).

2.3.2 Komponen dasar dalam penggunaan SIG

SIG merupakan sistem yang kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sitem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Komponen SIG menurut Prahasta (2001) terdiri dari empat komponen yang meliputi perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografi dan manajemen yakni sumberdaya manusia atau brainware.

Soenarmo (2007) bagan komponen SIG terdiri dari prosedur yaitu organisasi yang mendukung dimungkinkannya pengembangan teknologi dan aplikasi SIG, data, perangkat keras dan perangkat lunak dan pelaksana. Sesuai dengan fungsinya, perangkat keras SIG dapat dimasukkan dalam empat kategori utama yaitu: alat masukan (digitizer, keyboard), alat penyimpanan (hardisk, CD ROM), alat untuk memproses (prosessor) dan alat untuk pengeluaran (printer, ploter). Perangkat lunak menunjukkan program dan fungsi analisis. Data secara spasial digolongkan ke dalam data atribut dan data geografi. SIG dapat menyimpan data geografi struktur dan vektor atau raster.

2.3.3 Subsistem SIG

Dari berbagai definisi mengenai SIG, maka SIG Prahasta (2001) menguraikan menjadi beberapa subsistem yakni, data input, data output, data management serta data manipulation & analysis. Jika subsistem di atas diperjelas berdasarkan uraian jenis masukan proses dan jenis keluaran yang ada di dalamnya, maka subsistem SIG dapat digambarkan sebagai berikut:


(12)

12 Tabel Data Lainnya Foto Udara Citra satelit Peta (tematik, Topografi, dll) Data Dijital lain Pengukuran Lapang Laporan Input

Gambar 2 Uraian subsistem SIG (Prahasta 2001).

Teknologi SIG dan teknologi inderaja, keduanya memberikan sejumlah informasi spasial yang berbasis kebumian. Oleh karenanya, semua informasi yang diperoleh dapat dipetakan (dua dimensi, koordinat x,y). Banyak ahli yang mengatakan bahwa integrasi kedua teknologi tersebut dapat membuahkan informasi terbaik. Informasi spasial yang diperoleh dari kedua teknologi secara konseptual mempunyai tiga komponen utama yaitu: data lokasi/spasial, data non-spasial (atribut) dan dimensi waktu. Data lokasi/non-spasial mempunyai koordinat x,y yang terdiri dari titik, garis dan poligon/permukaan serta lokasi bertopologi (mempunyai relasi) grid dan jaringan (networks) data non lokasi (atribut) mempunyai variabel, kelas, nilai dan nama, misalnya : variabel tanah, kelas 1 (satu) dengan nilai/harga tertentu namanya pasir dan sebagainya. Sedangkan dimensi waktu dapat menunjukkan perubahan informasi dari waktu ke waktu (dalam inderaja digunakan untuk monitoring) (Soenarmo 2003).

DATA INPUT

DATA MANAGEMENT & MANIPULATION

OUTPUT Storage (data

base) Peta Retrieval Tabel Output Laporan Processing Informasi Dijital (Softcopy)


(13)

2.3.4 Basis data SIG

Basis data SIG adalah kumpulan data yang saling berkaitan, yang diperlukan dalam SIG, baik data spasial (keruangan) maupun non spasial. Basis data didefinisikan sebagai suatu kumpulan file-file yang mempunyai kaitan antara file satu dan file yang lain hingga membentuk satu bangunan data untuk, menginformasikan sesuatu seperti wilayah, organisasi, perusahaan, instansi dalam batasan tertentu (Sulistyo 1998 diacu dalam Soenarmo 2007). Menurut Prahasta (2001) SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administratif, perkebunan dan hutan merupakan contoh-contoh

layer, dan selanjutnya kumpulann dari layer-layer akan membentuk suatu basis data. Sehingga perancangan basis data merupakan hal yang esensial dalam SIG yang akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan dan keluaran SIG.

2.3.5 Aplikasi SIG

Banyak sekali aplikasi-aplikasi yang dapat ditangani oleh SIG diantaranya adalah aplikasi SIG dalam habitat satwa liar. Beberapa pemakaian SIG untuk habitat satwa liar adalah:

1. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger, 1893) di Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat oleh Muhammad Irfansyah Lubis. Penelitian untuk membuat peta kesesuaian habitat katak pohon jawa dengan menggunakan layer kerapatan tajuk, kemiringan kelerengan, ketinggian, jarak dari sungai dan sebaran temperatur. Analisis menggunakan metode scoring, pembobotan dan overlay dengan model kesesuaian habitat tinggi memiliki luas 9% dengan validasi 93, 75% sehingga model kesesuaian habitat katak pohon jawa tersebut dapat diterima. Saran yang perlu diperhatikan adalah penambahan variabel untuk mendapatkan model habitat yang lebih baik dan lebih luas. Perlu lebih banyak titik untuk validasi. 2. Pemodelan Spasial Monyet Hitam Sulawesi (Macaca nigra Dasmarest, 1822)

oleh Maria Yohana Indrawati. Penelitian untuk membuat peta kesesuaian habitat monyet hitam sulawesi dengan menggunakan layer kelerengan,


(14)

14

ketinggian, jarak dari sungai, jarak dari banguanan dan NDVI (Normalization Difference Vegetation Index). Analisis menggunakan metode scoring, pengkelasan, pembobotan dan overlaydengan model kesesuaian habitat tinggi mencapai 52,64 % dengan validasi 76,67 % sehingga model kesesuaian monyet hitam sulawesi tersebut dapat diterima. Saran yang perlu diperhatikan adalah pembangunan model selanjutnya perlu dianalisis faktor LAI (Leaf Area Index) berdasarkan pengukuran langsung di lapang dan citra Landsat untuk mengetahui pengaruh tutupan vegetasi terhadap habitat monyet hitam sulawesi. 3. Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae

Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat oleh Rudiansyah. Pemodelan kesesuaian harimau sumatera berdasarkan tinjauan dan penilaian dari yaitu ketersediaan mangsa (Encounter Rate/ER harimau hasil camera trap), jarak ke sungai (buffer jarak sungai), topografi (peta kontur) dan kerapatan tajuk (menggunakan LAI). Pembobotan menggunakan PCA terhadap titik sebaran harimau. Hasilnya adalah terdapat tiga daerah kesesuaian yaitu rendah, sedang dan tinggi dengan hasil pada kesesuaian tinggi 95,85% dengan validasi 95,64% sehingga model dapat diterima untuk kesesuaian habitat tinggi. Saran yang perlu diperhatikan adalah perhitungan LAI sebaiknya dilakukan dengan analisis citra Landsat dan pengukuran langsung di lapangan.

2.4 Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh secara umum didefinisikan sebagai ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak langsung dengan benda atau target tersebut (Soenarmo 2003). Lo (1996) juga menyebutkan, penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik.

Menurut Soenarmo (2003) untuk memperoleh data dengan sensor jauh, sangat penting peranan media perantara, dalam hal ini adalah gelombang elektromagnetik yang berasal dari spektrum radiasi matahari. Selanjutnya Soenarmo juga menyebutkan, sistem sensor jauh yang digunakan ada dua macam,


(15)

yaitu sistem sensor pasif yakni dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik yang secara langsung dapat diperoleh dari alam dan sistem sensor aktif menggunakan gelombang elektromagnetik yang dipisahkan oleh rekayasa manusia sesuai dengan keperluan. Sistem sensor pasif pada umunya memanfaatkan gelombang cahaya tampak, infra merah dekat dan infra merah tengah serta panjang gelombang mikro tertentu. Sedangkan sistem sensor aktif pada umumnya menggunakan panjang gelombang mikro radar yang tidak dapat digunakan secara langsung dari alam, tetapi melalui tahap pemisahan.

Satelit penginderaan jauh yang sering digunakan untuk melihat penutupan lahan adalah satelit Landsat yang saat ini telah mencapai satelit Landsat 7. Konfigurasi satelit Landsat adalah tinggi orbit 705 km, inklinasi 98°, jenis orbit sunsynchronous dan semirecurrent, saat melewati ekuator sekitar pukul 09.39 dan lebar cangkupannya 185 km (Soenarmo, 2003).


(16)

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Sejarah dan Status Kawasan

Suaka Margasatwa Sungai Lamandau awalnya adalah kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dikonversi pada sebagian kelompok hutan Sungai Lamandau seluas ± 76.110 ha dengan dasar penunjukan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 162/Kpts-II/1998 tanggal 26 Februari 1998. Dasar atau latar belakang penunjukkan kawasan ini adalah, karena kawasan ini merupakan tipe ekosistem hutan rawa air tawar dan tipe hutan dataran rendah, yang berfungsi sebagai perlindungan dan pelestarian terhadap jenis-jenis serta keanekaragaman satwa dan habitatnya, termasuk jenis satwa yang mempunyai nilai khas. Sehingga satwa-satwa tersebut dapat dipertahankan kelangsungan hidupnya secara alami tanpa adanya gangguan manusia.

Pada tahun 2005 telah dilakukan Penataan Batas Definitif oleh BPKH Wilayah V Banjarbaru. Berdasarkan hasil tata batas tersebut dalam Laporan Nomor: 47/LAP/BPKH Bjb-1/2005 tentang Penataan Batas Definitif Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Sungai Lamandau pada Kabupaten Kotawaringin Barat dan Laporan Nomor: 48/LAP/BPKH Bjb-1/2005 tentang Penataan Batas Definitif Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Sungai Lamandau pada Kabupaten Sukamara, luas SM Lamandau yang berhasil ditata batas berkurang lagi hanya menjadi ± 56.584 ha dengan jumlah pal batas sebanyak 1.337 buah dan SK penetapannya belum ada sampai sekarang.

3.2 Letak dan Luas

Secara geografis SM Lamandau berada di 111º11’ - 111º30’ BT dan 2º33’-2º53’ LS. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan berada pada wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, termasuk ke dalam 4 (empat) kecamatan yang terbagi dalam 2 (dua) kabupaten yaitu: Kecamatan Arut Selatan dan Kecamatan Kotawaringin Lama di Kabupaten Kotawaringin Barat serta Kecamatan Jelai dan Kecamatan Sukamara di Kabupaten Sukamara. Adapun batas-batas kawasan adalah sebelah utara berbatasan dengan perkebunan kelapa


(17)

sawit PT. Sungai Rangit, bagian selatan berbatasan dengan hutan produksi, sebelah barat berbatasan dengan areal pengembangan produksi dan sebelah timur berbatsan dengan Sungai Lamandau dan Sungai Arut. Kawasan sungai lamandau memiliki luas ± 56.584 ha.

3.3 Kondisi Fisik Kawasan

Jenis tanah yang terdapat di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau adalah jenis tanah regosol, podsolik merah kuning dan organosol. Topografi pada daerah SM Sungai Lamandau berupa dataran rendah berawa dengan kelerengan 8% -15%, sedangkan ketinggian 0 – 100 mdpl. Curah hujan tahunan di daerah ini mencapai 2.466 mm – 4.370,3 mm/tahun. Tipe iklim A, kelembaban udara 79% – 90% dan suhu harian berkisar 21º C - 33º C.

3.4 Kondisi Biologi 3.4.1 Flora

Flora yang terdapat di kawasan konservasi ini terdiri dari beberapa jenis dengan status pelindungan yang berbeda-beda. Flora dengan jenis yang dilindungi yang ada di lokasi ini diantaranya adalah meranti (Shorea sp), ramin (Gonistylus bancanus), balangeran (Shorea blangeran) dan ulin (Eusideroxylon zwageri). Jenis-jenis flora yang dilindungi yakni kantong semar (Nepenthes sp), anggrek hitam (Coelogyne pandurata), anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum),

pinang merah kalimantan (Cystostachys lakka), anggrek bulan bintang (Paraphalaenopsis denevei). Sedangkan untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi adalah tumih (Cambretocarpus rotendatum), jejambu (Eugenia sp), cemara (Casuarina sp) dan kempas (Koompasia malaccensis).

3.4.2 Fauna

Suaka Margasatwa Sungai Lamandau juga merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman satwa. Keanekaragaman satwa ini terlihat dari kekayaan satwa yang terdapat di dalam kawasan ini. Jenis-jenis satwa yang dilindungi diantaranya adalah orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii), owa-owa (Hylobates mulleri), bekantan (Nasalis larvatus), kancil (Tragulus javanicus), beruang madu (Helarctos malayanus), burung raja udang (Anhinga sp) dan burung rangkong


(18)

18

(Buceros rhinoceros). Sedangkan untuk satwa yang tidak dilindungi seperti cucak rowo (Pygnonotus zaelanicus), penyu sisik (Erethmocelys imbricata), buaya muara (Crocodilus porosus) dan lain-lain.

3.5 Potensi dan Pemanfaatan Ekowisata

Sesuai dengan statusnya pembentukan Suaka Margasatwa ini adalah untuk kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan pemanfaatan wisata alam secara terbatas. Obyek yang paling menarik di dalam kawasan adalah menyusuri sungai dengan kendaraan air sambil menikmati pemandangan alam dan berbagai satwa primata di kanan kiri sungai. Di lokasi Danau Burung pada bulan Juli – September dapat dilihat berbagai macam burung migran. Selain itu, pada kawasan ini banyak tumbuh pohon jelutung(Dyera costulata)yang dapat disadap getahnya dan oleh karena letaknya yang dikelilingi oleh sungai, kawasan ini juga memiliki potensi ikan air tawar yang cukup berlimpah.


(19)

4.1 Lokasi dan Waktu Penel Pengambilan data kalimantan (Pongo pygmaeus

Lamandau. Area penelitian dilakukan di Suaka Margasatwa pemanfaatan terbatas yang data di lapang dilakukan penelitian dilakukan di

Spasial, Departemen Konservasi Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan

pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa penelitian untuk analisis spasial model kesesuaian Suaka Margasatwa Sungai Lamandau dan di area usulan terbatas yang disebut dengan zona buffer. Kegiatan penga

dilakukan pada bulan Agustus 2011. Pengolahan dan analisis dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi penelitian disajikan pada Gamba

Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

habitat orangutan argasatwa Sungai kesesuaian habitat area usulan zona Kegiatan pengambilan dan analisis data dan Pemodelan Ekowisata, Fakultas sajikan pada Gambar 3.


(20)

20

4.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan untuk pengamatan dan pengambilan data orangutan di lapang antara lain:

1. Global Positioning System (GPS) Garmin seri 76 CSx 2. Kamera digital

3. Alat tulis 4. Buku lapang 5. Penunjuk waktu

Untuk kegiatan pengolahan dan analisis data, alat dan bahan yang digunakan adalah:

1. Komputer atau laptop

2. Perangkat lunak Arc GIS 9.3

3. Perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 4. Pengolah data statistika SPSS 1.5 5. Perangkat lunak Microsoft Excell 2007 6. Peta batas kawasan SM.Sungai Lamandau 7. Peta jaringan jalan

8. Peta jaringan sungai

9. Peta administratif Kalimantan Tengah 10. Citra Landsat TM

4.3 Tahapan Penelitian

Penyusunan pemodelan spasial habitat orangutan ini dimulai dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, yang meliputi data observasi lapang, data peta digital, studi literatur dan wawancara terhadap pengelola, pengunjung dan masyarakat. Data input atau data masukan bersumber pada peta digital diperoleh dari analisis peta dan observasi lapang. Proses analisis peta ini menghasilkan 4 peta tematik (layer) yang digunakan dalam pemodelan spasial habitat, yaitu peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan, peta jarak dari desa dan peta nilai Normalization Difference Vegetation Index (NDVI). Kemudian data titik sebaran atau peta distribusi orangutan diidentifikasi (Summarize zone) komponennya terhadap tiap layer dan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama Principle Component Analysis(PCA) untuk mendapatkan nilai bobot pada masing-masing layer. Selanjutnya semua layer ditumpang tindihkan


(21)

(overlay) sesuai dengan bobotnya masing-masing sehingga didapatkan model berupa peta kesesuaian habitat.

Model yang telah didapatkan yang berupa peta kesesuaian habitat kemudian dilakukan validasi (pengujian) berdasarkan data dari observasi lapang. Observasi lapang dilakukan dengan metode jalur (transect). Validasi model dilakukan agar dapat ditentukan tingkat akurasinya dan sebagai dasar diterima atau tidaknya model. Secara umum bagan alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 4.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama yang diperlukan dalam penelitian, yaitu merupakan data spasial yang berupa peta batas kawasan penelitian, peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta administratif, citra landsat TM untuk menentukan nilai NDVI dan data lapang untuk pembuatan serta validasi model yaitu lokasi sebaran orangutan di SM Sungai Lamandau.

Lokasi sebaran orangutan ditentukan melalui identifikasi titik keberadaan orangutan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Idetifikasi keberadaan orangutan dilakukan dengan mendeteksi jejak. Dalam hal ini jejak yang dimaksud adalah sarang orangutan, karena menurut Meijard et al (2001) sarang adalah bukti keberadaan orangutan yang paling mudah diamati, karena sangat mencolok berada di atas pohon dengan bentuk berbeda dengan sekelilingnya. Terdapat 4 tipe sarang berdasarkan menurut (UNESCO-PanEco

dalamYEL 2009) yaitu sarang kelas A dicirikan dengan daun masih segar, sarang baru, semua daun masih hijau. Sarang kelas B ditandai dengan daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, bentuk sarang masih utuh, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang, belum ada lubang yang terlihat dari bawah. Sarang kelas C atau sarang tua yaitu semua daun sudah coklat bahkan sebagian daun sudah hilang, sudah terlihat adanya lubang dari bawah. Serta, sarang kelas D yaitu semua daun sudah hilang, sebagian besar hanya tinggal ranting. Gambar setiap kelas sarang disajikan pada Gambar 5.


(22)

Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian.


(23)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5 Kelas sarang orangutan kalimantan (a) sarang kelas A, (b) sarang kelas B, (c) sarang kelas C, (d) sarang kelas D.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data titik sarang untuk identifikasi keberadaan orangutan adalah metode transect. Transect dilakukan di sekitar 4 camp yang ada di SM Lamandau yaitu di sekitar Camp Rasak, Camp JL, Camp Gemini dan Camp Buluh. Transectdi sekitar camp tersebut dilakukan pada jarak minimal 2 km dari masing-masing camp untuk mengambil data titik sarang orangutan liar. Hal ini dikarenakan pada jarak 2 km dari camp merupakan wilayah jelajah orangutan rehabilitasi, sehingga sarang yang terdapat pada area tersebut merupakan sarang orangutan rehabilitasi yang dapat mempengaruhi keakuratan dalam pembuatan model. Titik hasil temuan lapang kemudian dikelompokkan menjadi dua dengan proporsi 2/3 atau 70% dari keseluruhan digunakan untuk


(24)

24

menyusun model, kemudian 1/3 atau 30% dari keseluruhan titik digunakan sebagai validasi.

Data sekunder yang dikumpulkan adalah data bio-ekologi orangutan kalimantan dan data kondisi umum lokasi penelitian. Data ini diperoleh dengan studi literatur dan wawancara dengan pengelola kawasan, pengunjung dan masyarakat.

4.5 Pengolahan Peta Tematik 4.5.1 Parameter yang digunakan

Pemodelan kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeusWurmbii, 1760) merupakan proses peninjauan dan penilaian kebutuhan hidup (life requisites) orangutan kalimantan terhadap faktor-faktor habitat dan faktor-faktor gangguan. Faktor-faktor habitat yang digunakan adalah ketersediaan air yang diwakilkan oleh jarak dari sungai dan ketersediaan cover yang diwakilkan oleh nilai Normalization Difference Vegetation Index(NDVI). Faktor gangguan berasal dari aktivitas manusia yang diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan jarak dari desa.

4.5.2 Pembuatan peta Buffer

Peta buffer yang dibuat adalah peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan dan peta jarak dari desa. Peta jarak dari jalan dibuat dari peta jaringan jalan, peta jarak dari sungai dibuat dari peta jaringan sungai, sedangkan peta jarak dari desa dibuat dari peta administratif yang dianalisis dengan menggunakan Arc Gis 9.3. Proses pembuatan peta buffer disajikan pada Gambar 6(a).

4.5.3 Pembuatan peta Normalization Difference Vegetation Index(NDVI) Peta Normalization Difference Vegetation Index(NDVI) dibuat dari citra landsat yang telah dilakukan koreksi geometri. Citra landsat tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan software Erdas imagine 9.1. Perhitungan NDVI dilakukan pada model maker Erdas menurut rumus:

=

Band − Band Band + Band


(25)

Gambar 6 (a) proses pembuatan peta buffer(b) pembuatan peta NDVI.

4.6 Analisis Komponen Utama / Principal Component Analysis (PCA)

Principal Component Analysis (PCA) merupakan teknik analisis multivariabel (menggunakan banyak variabel) yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel. Analisis ini merupakan teknik statistik yang mentransormasikan secara linier satu set variabel ke dalam variabel baru dengan ukuran lebih kecil namun representatif dan tidak saling berkorelasi (ortogonal) (Rosita 2008). PCA digunakan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi orangutan kalimantan, berdasarkan titik distribusi orangutan kalimatan yang ditemukan (baik langsung maupun tidak langsung) dengan masing-masing layer (jarak dari sungai, jarak dari jalan, jarak dari desa dan nilai NDVI). Adapun titik yang digunakan untuk pembangunan model yaitu 70% dari titik keseluruhan yang ditemukan di lapang, dan sisanya 30% digunakan sebagai validasi. Dari hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari masing-masing faktor yang mempengaruhi habitat orangutan kalimantan. Analisis PCA tersebut dilakukan dengan menggunkan perangkat lunak SPSS 1.5.

Hasil PCA yang digunakan untuk menentukan bobot masing faktor habitat dan untuk analisis spasial sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:


(26)

26

Keterangan :

Y = total nilai kesesuaian habitat a-e = nilai bobot setiap variabel Fk1 = faktor jarak dari sungai Fk2 = faktor NDVI

Fk3 = faktor jarak dari jalan Fk4 = faktor jarak dari desa

4.7 Analisis Spasial

Titik sebaran orangutan kalimantan dianalisis dengan faktor-faktor spasial yang meliputi jarak dari sungai, jarak dari jalan dan jarak dari desa dan nilai NDVI. Analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay), pembagian kelas (class), pembobotan (weighting) dan pengharkatan (skoring). Pemberian bobot didasarkan atas nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat orangutan kalimantan. Pemberian bobot terdiri dari 3 nilai bobot, dimana nilai tertinggi menunjukkan faktor habitat yang paling berpengaruh, nilai di bawahnya menunjukkan faktor habitat yang berpengaruh sedang dan nilai terendah menunjukkan faktor habitat yang kurang berpengaruh. Klasifikasi kelas kesesuaian terdiri dari tiga kelas yaitu: 1 (rendah), 2 (sedang) dan 3 (tinggi). Model Matematika yang digunakan adalah:

1. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan. SKOR = ΣWi * Fki

Keterangan:

SKOR = nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat Wi = bobot untuk setiap parameter

Fki = faktor kelas dalam parameter

2. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan ditentukan berdasarkan sebaran nilai piksel yang dihasilkan analisis spasial.

Selang = −

Keterangan :

Selang = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat Smaks = nilai piksel tertinggi


(27)

Smin = nilai piksel terendah

K = banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat 3. Nilai kesesuaian habitat orangutan kalimantan

KHn = Smin + SELANG dan/atau

KH = KHn-1 + SELANG Keterangan:

KHn = nilai kesesuaian habitat ke-n Smin = nilai skor terendah

KHn-1 = nilai kesesuaian habitat sebelumnya

SELANG = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat

4. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat orangutan kalimantan

Validasi = % Keterangan:

Validasi = persentase kepercayaan

n = jumlah titik pertemuan orangutan kalimantan yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian

N = jumlah total titik pertemuan orangutan kalimantan hasil survey


(28)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sebaran Sarang Orangutan Kalimantan

Suaka Margasatwa Sungai Lamandau terdiri dari dua tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan dataran rendah dan tipe ekosistem hutan rawa air tawar. Kedua tipe ekosistem tersebut merupakan habitat bagi orangutan kalimantan. Dalam penentunan titik distribusi keberadaan orangutan di SM Lamandau yang dilakukan dengan identifikasi tidak langsung yaitu melalui sarang, ditemukan tiga kelas sarang dari empat tipe sarang yang diketahui berdasarkan UNESCO-PanEco

dalam YEL (2009).Ketiga kelas sarang yang ditemukan adalah sarang kelas B, sarang kelas C dan sarang kelas D (Gambar 7).

(a) (b) (c)

Gambar 7 Sarang orangutan yang ditemukan di lokasi penelitian (a) sarang kelas B, (b) sarang kelas C, (c) sarang kelas D.

Sarang kelas B merupakan sarang yang memiliki bentuk masih utuh,daun sudah mulai tidak segar, semua daun masih ada, warna daun sudah mulai coklat terutama di permukaan sarang dan belum ada lubang yang terlihat dari bawah. Sarang kelas C ditandai dengan semua daun sudah berwarna coklat bahkan sebagian daun sudah hilang, sudah terlihat adanya lubang dari bawah. Serta, sarang kelas D ditandai dengan bentuk sarang yang sudah mulai tidak utuh, daun-daun penyusunnya rontok. Pada sarang kelas D ini hanya terdapat ranting-ranting penyusun sarang yang sudah mulai rusak. Dari hail survey di lapang didapatkan 72 titik sarang dari ke empat lokasi pengambilan data yang terdiri dari 11transek. Peta sebaran titik sarang orangutan di SM Lamandau dapat dilihat di Gambar 8.


(29)

Gambar 8 Peta sebaran sarang orangutan.

5.2 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial.

Pembangunan model spasial kesesuaian habitat orangutan kalimantan dilakukan dengan menganalisis penilaian kebutuhan hidup (life requisites) orangutan kalimantan terhadap faktor-faktor habitat dan faktor-faktor gangguan. Faktor-faktor habitat yang digunakan adalah ketersediaan air yang diwakilkan dari jarak dari sungai dan nilai Normalization Difference Vegetation Index (NDVI), sedangkan faktor-faktor gangguan berasal dari aktivitas manusia yang diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan jarak dari desa.

5.2.1 Peta jarak dari Sungai

Hasil data survey dan pustaka diketahui bahwa orangutan dari berbagai lokasi yang ada di Kalimantan maupun Sumatera lebih umum terdapat di dekat sungai-sungai kecil atau besar dan di dekat rawa-rawa. Kepadatan populasi tertinggi terdapat pada petak-petak hutan kecil yang berada di lembah-lembah sungai, hutan-hutan gambut di dekat rawa-rawa atau di antara sungai-sungai kecil. Hal ini disebabkan karena keanekaragaman jenis-jenis pohon di lembah-lembah lebih tinggi dibandingkan dengan di perbukitan(Mackinnon 1972). Selain itu hasil


(30)

30

penelitian Rijksen (1978) menunjukkan karakteristik habitat orangutan ditunjukkan dengan tidak adanya dominasi dari satu jenis pohon atau vegetasi.

Orangutan memenuhi kebutuhan pokok akan cairan melalui beberapa sumber yaitu dari makanannya, kemudian menjilat bulu-bulunya sampai kering, memeras tanah basah dari pohon-pohon berongga, menghisap tumbuhan yang mengandung air dan dari sungai (Napier & Napier 1985). Pada musim kemarau di lokasi penelitian yang merupakan hutan rawa mengalami kekeringan, beberapa sungai-sungai kecil juga mengalami pengeringan. Pada saat penelitian dilakukan, dijumpai kondisi lantai hutan yang kering dan sungai-sungai kecil yang mengalami pendangkalan. Kondisi sungai di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9 Kondisi sungai di lokasi penelitian (a) sungai besar yang surut (b)sungaikecil yang mengalami kekeringan.

Penentuan klasifikasi jarak dari sungai ditentukan pada jelajah harian orangutan. Galdikas (1988) menyatakan bahwa jelajah harian orangutan antara 90 m sampai 3050 m, dan rata-rata orangutan menempuh jelajah harian 790 m, sehingga selang setiap kelas kesesuaian untuk bufferditetapkan sebesar 800 m. Jarak dari sungai diklasifikasikan menjadi 5 kelas, yaitu 0-800 m, 800-1600 m, 1600-2400 m, 2400-3400 m dan lebih dari 3400 m. Kelas 0-800 m memiliki luasan paling besar yaitu sebesar 27803,07 ha, kelas 800-1600 m memiliki luasan 20996,82 ha, kelas 1600-2400 m memiliki luas sebesar 15659,61 ha, kelas 2400-3200 m memiliki luas sebesar 8818,20 ha dan kelas >2400-3200 m memiliki luas sebesar 6741,81 ha. Jarak kurang dari sama dengan 800 m dari sungai dianggap


(31)

habitat yang sesuai untuk orangutan kalimantan. Peta kelas jarak dengan sungai dapat dilihat pada Gambar 11. Adapun luas tiap kelas jarak dari sungai disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas setiap kelas jarak dari sungai

No Jarak sungai Luas (ha)

1. 2. 3. 4. 5.

Jarak 0-800 meter Jarak 800-1600 meter Jarak 1600-2400 meter Jarak 2400-3200 meter Jarak > 3200 meter

27803,07 20996,82 15659,61 8818,20 6741,81

5.2.2 Peta Normalized Difference Vegetation Index( NDVI)

Keberadaan orangutan erat kaitannya dengan kondisi vegetasi. Orangutan menggunakan vegetasi untuk kebutuhan makan dan membuat sarang. Maple (1980) menyatakan bahwa aktivitas utama orangtuan dipenuhi oleh aktivitas makan, selanjutnya istirahat, berjalan-jalan, bermain dan akitivitas yang dilakukan dalam presentase waktu yang relatif sedikit adalah aktivitas membuat sarang. Perilaku mencari pakan merupakan aktivitas harian yang sangat dominan dari keseluruhan aktivitas harian orangutan yaitu mencapai 60,1% (Galdikas 1978). Sebagian besar pakan orangutan berasal dari tumbuhan yaitu berupa buah, daun, kulit kayu, bunga dan hanya sebagian kecil orangtuan memakan serangga. Orangutan kalimantan sangat berifat frugivorous, dua jenis yang sangat mendominir makanan orangutan adalah Dracontomelon mengiferum dan

Koordersiodendron pinnatum(Rodman 1977).

Vegetasi terutama pohon yang berada disekitar pohon pakan juga digunakan oleh orangutan untuk membuat sarang. Hal ini sesuai dengan pernyataan MacKinnon (1974) dalamMaple (1980) yang meyebutkan bahwa orangutan setiap harinya membuat sarang minimal satu sarang setiap harinya untuk beristirahat dan tidur di malam hari atau sebagai pohon tidur. Penggunaan pohon sebagai sumber pakan dan tempat istirahat disajikan pada Gambar 10.


(32)

32

(a) (b)

Gambar 10 Pakan dan pohon tidur orangutan kalimantan. (a) Dracontomelon mangiferum (b) sarang di pohon tidur sebagai tempat istirahat. Beberapa tipe vegetasi yang terdapat di lokasi penelitian yaitu semak belukar dan hutan sekunder. Pada saat penelitian sarang yang ditemukan sebagian besar tidak terdapat di pohon pakan, namun keberadaan pohon pakan selalu terdapat disekitar pohon sarang (pohon tidur). Perilaku tersebut ditujukan untuk menghindari adanya konflik atau gangguan dengan orangutan lain atau dengan satwa lain dan memudahkan orangutan untuk mencari makan dihari berikutnya. Ketergantungan orangutan terhadap vegetasi mengakibatkan kuantitas vegetasi berupa tutupan lahan di lokasi penelitian memiliki pengaruh yang besar bagi keberlangsungan hidup orangutan kalimantan.

Pengukuran indeks vegetasi dengan menggunakan Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kuantitas vegetasi di lokasi penelitian. Perhitungan menggunakan NDVI ini umum dilakukan karena memiliki korelasi yang kuat dengan karakteristik vegetasi. Nilai NDVI menggambarkan penutupan vegetasi di atas permukaan tanah dengan nilai kecerahan yang berbeda-beda. Nilai NDVI ini didapatkan dari penerimaan gelombang elektromagnetik merah (red) dan inframerah dekat (near IR). Gelombang tersebut pada citra Landsat TM diperoleh dari band 4 (band inframerah dekat) dan band 3 (band merah).

Nilai NDVI di lokasi penelitian dibagi ke dalam 3 kelas, yaitu -1 – 0,0; 0,0-0,25; dan lebih dari 0,25. Nilai NDVI -1-0 menunjukkan tutupan lahan berupa badan air, nilai 0-0,1 menunjukkan lahan terbuka dan nilai >0,1 menunjukkan


(33)

vegetasi (Anonim 2002). Luasan dari masing-masing kelas diketahui: kelas -1-0,0 memiliki luasan 2663,68 ha, kelas 0,0-0,25 memiliki luasan paling kecil yaitu 15766,11 ha dan kelas lebih dari 0,25 memiliki luasan paling besar yakni 37617,17 ha. Luas tiap nilai NDVI disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas tiap kelas nilai NDVI

No Nilai NDVI Luas (ha)

1. 2. 3.

Nilai -1-0,0 Nilai 0,0 – 0,25 Nilai lebih dari 0,25

2663,68 15766,11 37617,17

Dalam pengukuran nilai NDVI dapat terjadi perbedaan digital number

akibat adanya beberapa faktor seperti kemiringan lereng, adanya awan dan adanya

stripingdaricitra. Citra Landsat TM path/row; 120/62 tanggal 18 Agustus 2006 yang digunakan untuk menghitung nilai NDVI mengalami striping. Sehingga, dalam pengkelasan nilai NDVI area yang mengalami stripingberkumpul kedalam kelas -1-0,0 yang menunjukkan nilai non vegetasi atau badan air. Peta kelas nilai NDVI di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12.

Adapun dari hasil observasi terdapat beberapa pohon pakan yang berada di lokasi penelitian dan jenis pohon yang teridentifikasi adalah 28 jenis diantaranya adalah ramin (Gonistyllus bancanus), ubar (Eugenia Sp), ubar merah (Syzygium sp.), beringin (ficus spp), bedaru (Cantleya corniculata), jelutung

(Dyera costulata) dan sebagainya.

5.2.3 Peta jarak dari jalan

Pembuatan model kesesuaian habitat orangutan tidak hanya didasarkan pada faktor habitat yang merupakan kebutuhan hidup, melainkan juga dari faktor ancaman atau gangguan. Orangutan merupakan satwa yang sensitive terhadap keberadaan masyarakat. Masyarakat sebagian besar menimbulkan tekanan terhadap keberadaan orangutan.

Menurut Primacket al(1998) populasi orangutan di habitatnya mengalami penurunan drastis, diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun terkahir ini menyusut 30% - 50%. Estimasi populasi orangutan yang dilakukan menemukan bahwa populasi orangutan di Pulau Sumatera hanya terdapat sekitar 9.200 ekor


(34)

34

sedangkan di Pulau Kalimantan hanya terdapat sekitar 10.000-15.000 ekor (Williams et al 1998).

Penurunan populasi orangutan tersebut terjadi karena tekanan masyarakat, baik tekanan terhadap habitat yang menjadi tempat tinggal maupun terhadap orangutan sendiri. Bentuk tekanan yang dilakukan oleh masyarakat yaitu berupa hutan yang menjadi habitatnya telah rusak dan hilang oleh penebangan liar, konversi lahan dan kebakaran. Selain itu penurunan populasi tersebut juga disebabkan oleh tingginya perburuan orangutan. Perburuan tersebut terjadi karena dipicu tingginya konsumsi daging orangutan oleh orang Dayak dan sebagian etnis Cina, serta maraknya perdagangan orangutan sebagai satwa peliharaan (Meijaard

et al 2001).

Jalan merupakan akses yang mempermudah adanya interaksi masyarakat dengan orangutan maupun dengan habitatnya yang mengakibatkan tekanan atau gangguan terhadap keberadaan orangutan. Adanya jalan akan mempermudah adanya perburuan, illegal loging, serta konversi hutan.

Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan jalan dikelompokkan menjadi lima kelas. Dasar yang digunakan dalam penentuan selang ini sama dengan penentuan selang kelas pada peta jarak dengan sungai yakni berdasarkan jelajah harian orangutan kalimantan yaitu 800 m. Peta jarak dengan jalan dibagi menjadi tiga kelas yakni 0-800 m, 800-1600 m dan lebih dari 1600 m. Luas masing-masing kelas jarak dengan jalan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Luas tiap kelas jarak dengan jalan

No Jarak dari Jalan Luas (ha)

1. 2. 3.

Jarak 0-800 meter Jarak 800 – 1600 meter Jarak lebih dari 1600 meter

16022,34 12680,91 51315,66

Keberadaan sarang terbanyak terdapat pada kelas lebih dari 1600 m. Hal ini disebabkan karena semakin jauh sarang orangutan kalimantan dari jalan maka tekanan atau gangguan yang diterima semakin sedikit. Peta kelas jarak dari jalan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13.


(35)

(36)

(37)

(38)

38

5.2.4 Peta jarak dari desa

Jarak dari desa juga merupakan faktor ancaman yang digunakan dalam penyusunan model kesesuaian habitat orangutan kalimantan selain jarak dari jalan. Jalan merupakan akses masyarakat untuk berinteraksi dengan hutan. Adapun desa merupakan suatu tempat berkumpulnya komunitas masyarakat untuk melakukan kehidupan sehari-hari. Keberadaan desa di sekitar lokasi penelitian sangat berpengaruh terhadap keberadaan orangutan. Semakin dekat dengan desa, maka interaksi terhadap kawasan atau lokasi penelitian pun semakin tinggi. Semakin tinggi interaksi dengan kawasan maka keberadaan orangutan pun semakin terancam.

Lokasi penelitian yakni Suaka Margasatwa Sungai Lamandau berada di dua kabupaten yaitu Kotawaringin dan Sukamara. Di lokasi penelitian ini terdapat desa-desa yang berada disekitar kawasan. Namun tidak semua desa berbatasan langsung dengan kawasan, rata-rata jarak dari desa ke kawasan lebih dari 3000 m.

Ancaman yang datang terhadap kawasan selain dari masyarakat yang berada di desa sekitar, ancaman juga datang dari mayarakat pendatang dari desa-desa yang berada jauh dari kawasan. Masyarakat dari luar, datang kekawasan untuk menyadap pohon jelutung (pematung) dan mencari ikan. Mereka tinggal dan membangun pondok di dalam hutan. Pada saat penelitian ditemukan beberapa spot-spot pondok pematung. Pematung ini setiap hari berinteraksi dengan hutan, setiap hari mereka masuk hutan untuk mencari dan menyadap pohon jelutung. Keberadaan pematung ini dianggap tidak menjadi ancaman bagi orangutan yang berada di dalam kawasan. Sehingga, oleh pengelola kegiatan menyadap jelutung masih diperbolehkan. Namun, berdasarkan hasil wawancara terhadap penjaga kawasan dan pegawai yang berada di lokasi penelitian, pernah terjadi konflik antara pematung dan orangutan.

Spot-spot pondok pematung tidak digunakan sebagai variabel penyusun model kesesuaian habitat orangutan kalimantan dikarenakan spot-spot pondok pematung tersebut bersifat temporer. Pematung yang berada didalam kawasan bersifat nomaden atau berpindah-pindah. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara terhadap pematung yang berada di dalam kawasan dan berdasarkan temuan lapang yakni terdapat beberapa bekas pondok pematung yang ditinggalkan karena pindah


(39)

kelokasi lain maupun pulang ke daerahnya masing-masing. Gambar pohon jelutung yang disadap oleh pematung disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14Pohon jelutung (Dyera costulata) yang disadap.

Peta jarak dari desa dibagi ke dalam lima kelas, yaitu 0-3000 m, 3000-6000 m, 3000-6000-9000 m, 9000-12000 m dan lebih dari 12000 m. Luas setiap selang kelas jarak dengan dengan desa dapat dilihat pada Tabel 5. Peta kelas jarak dari desa disajikan pada Gambar 15.

Tabel 5 Luas setiap kelas jarak dari desa

No Jarak Luas (ha)

1. 2. 3. 4. 5.

Jarak 0-3000 meter Jarak 3000-6000 meter Jarak 6000-9000 meter Jarak 9000-1200 meter Jarak > 1200 meter

311,13 3822,30 11678,76 18114,93 46091,79


(40)

Gambar 15 Peta kelas jarak daridesa.

4


(41)

5.3 Pembuatan Model Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan 5.3.1 Pembobotan dengan metode PCA

Penentuan bobot untuk membangun model kesesuaian habitat orangutan kalimantan diperoleh dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Componen Analysis/PCA) dengan software SPSS 1.5. Faktor bobot menggambarkan kepentingan relatif dari variabel yang digunakan dalam pemodelan spasial habitat (Indrawati 2010).

PCAmerupakan teknik analisis multivariabel (menggunakan banyak variabel) yang dilakukan untuk tujuan ortogonalisasi dan penyederhanaan variabel (Rosita 2008). PCA digunakan untuk meringkas variabel yang banyak jumlahnya menjadi beberapa komponen utama yang mengandung variabel-variabel tertentu. Hasil PCA berupa komponen utama yang sesuai dengan jumlah variabel yang digunakan, namun banyaknya komponen utama yang dijelaskan tergantung pada jumlah keragaman kumulatif yang mewakili total keragaman data. Jumlah komponen utama yang dapat digunakan dianggap mewakili jika keragaman kumulatifnya mencapai 70-80% (Timm 1975 diacudalamPereira 1999).

Variabel yang digunakan meliputi jarak darisungai, nilai NDVI, jarak dari jalan dan jarak dari desa. Data yang digunakan pada PCA adalah data titik sarang orangutan kalimantan yang dianalisis posisinya secara spasial terhadap empat variabel tersebut. Titik sarang orangutan kalimantan didapatkan dengan metode

transectdengan jarak minimal 2 km dari camp. Pemilihan lokasi transcet 2 km dari camp dimaksudkan agar titik sarang yang ditemukan merupakan sarang orangutan liar. Karena di jarak 2 km dari camp,sarang yang akan ditemukan adalah sarang orangutan rehabilitasi. Terdapat 72 titik sarang yang ditemukan dilapang dengan 49 titik yang digunakan untuk membangun model dan 23 titik digunakan untuk validasi. Analisis spasial titik sarang orangutan terhadap variabel habitat yang meliputi jarak dari sungai dan nilai NDVI dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17. Adapun analisis spasial titik sarang orangutan berdasarkan variabel gangguan yaitu jarak dari jalan dan jarak dari desa dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19.


(42)

Gambar 16 Peta jarak dari sungai.

4


(43)

(44)

Gambar 18Peta jarak dari jalan.

4


(45)

(46)

46

Hasil analisis spasial titik sarang orangutan kalimantan selanjutnya ditransformasikan dengan Log 10yang dilakukan agar nilai setiap variabel menjadi proporsional satu sama lain. Hasil transformasi dari masing-masing variabel dianalisis menggunakan metode PCA. Dari hasil analisis PCA kemudian didapatkan 2 komponen utama yang digunakan dengan keragaman kumulatifmya 74,051%. Nilai total dari akar ciri kedua komponen tersebut yang digunakan sebagai bobot dalam pembuatan model kesesuaian habitat. Nilai keragaman total komponen utama disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Keragaman total komponen utama Komponen

Utama

Akar Ciri

Total % Keragaman Kumulatif Keragaman %

1 2 3 4 1,747 1,215 0,600 0,438 43,664 30,386 15,008 10,941 43,664 74,051 89,059 100,00

Bobot dari masing-masing variabeluntuk membangun model kesesuaian habitat orangutan kalimantan didapatkan dari skor total PCA masing-masing komponen utama yang memiliki hubungan positif dengan variabel pemodelan kesesuaian habitat (Herdiyanti 2009). Dari hasil analisis di atas menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang memiliki hubungan positif dengan nilai tertinggi terhadap komponen pertama yaitu jarak dengan sungai dan nilai NDVI. Sedangkan untuk komponen ke dua terdapat dua variabel yang mempunyai hubungan positif dengan nilai tertinggi. Jarak dari jalan dan jarak dari desa memiliki hubungan positif dengan komponen ke dua. Keeratan hubungan antara keempat variabel habitat dengan komponen utama ditunjukkan oleh vektor ciri PCA yang disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Vektor ciri variabel PCA

No Variabel Komponen

1 2

1 2 3 4

Jarak dari sungai NDVI

Jarak dari jalan Jarak dari desa

0,832 0,786 -0,636 0,177 0,207 0,055 0,590 0,907


(47)

Bobot masing-masing variabel mempunyai hubungan positif dengan variabel pemodelan kesesuaian habitat. Dengan demikian besarnya bobot masing-masing variabel kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Nilai bobot tiap variabel

No Variabel Skor keragaman

PCA Nilai Bobot 1 2 3 4

Jarak dari sungai NDVI

Jarak dari jalan Jarak dari desa

1,747 1,747 1,215 1,215 1,747 1,747 1,215 1,215

Dengan hasil pembobotan terebut maka model kesesuaian habitat orangutan kalimantan dirumuskan sebagai berikut:

Y= (1,747 x FK Sungai) + (1,747 x Fk NDVI) + (1,215 x Fk Jalan) +

(1,215 x Fk Desa)

Keterangan :

Y = total score kesesuaian habitat FK Sungai = skor kesesuaian jarak dari jalan Fk NDVI = skor kesesuaian NDVI

Fk Jalan = skor kesesuaian jarak dari jalan Fk Desa = skor kesesuaian jarak dari desa

5.4 Peta Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan

5.4.1 Pembuatan peta kesesuaian habitat orangutan kalimantan

Pembuatan peta kesesuaian habitat orangtuan kalimantan berdasarkan kelas kesesuaian habitat. Kelas kesesuaian habitat diperoleh dari metode tumpang tindih (overlay) semua variabel atau peta tematik yang digunakan dalam pembutan model kesesuaian habitat. Sebelum dilakukan tumpang tindih, dilakukan proses pengekelasan (class)yaitu pengekelasan dari masing-masing variabel habitat untuk dilakukan pengharkatan (score/skor) tiap kelas variabel. Nilai skor dari tiap kelas dalam satu variabel berbeda antara variabel yang satu dengan variabel yang lain. Nilai skor masing-masing kelas dari setiap variabel disajikan pada Tabel 9.


(48)

48

Tabel 9 Skor tiap variabel

Jarak dari Sungai Jarak dari Jalan Nilai NDVI Jarak dari Desa

Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor

0-800 800-1600 1600-2400 2400-3200 >3200 5 4 3 2 1 0-800 800-1600 >1600 1 2 3 -1-0,0 0,0-0,25 0,25-1 1 2 3 0-3000 3000-6000 6000-9000 9000-12000 >12000 1 2 3 4 5

Hasil analisis spasial dengan metode pembobotan, pengkelasan, dan pengharkatan/skoring dan tumpang tindih (overlay) menghasilkan nilai pixel terendah adalah 5,92 dan nilai piksel tertinggi yaitu 23,69. Nilai standar deviasi 3,11 dan nilai rata-rata sebesar 16,01.

KelasKesesuaian Habitat (KKH) terdiri dari tiga kelas kesesuaian yaitu kelas kesesuaian rendah (KKH 1), kelas kesesuaian sedang (KKH2) dan kelas kesesuaian tinggi (KKH 3). Dalam menentukan kelas kesesuaian habitat orangutan, maka harus menentukan selang untuk setiap kelas kesesuaian habitat. Selang dalam setiap KKH didapat dengan membagi rata antara selisih piksel tertinggi dengan piksel terendah dengan jumlah kelas kesesuaian. Sehingga didapatkan nilai dari kelas kesesuaian rendah, kelas kesesuaian sedang dan kelas kesesuaian tinggi. Nilai piksel yang tinggi menunjukkan tigkat kesesuaian yang besar. KKH 1 memiliki selang nilai piksel yang kecil, sehingga kesesuaian habitat rendah. KKH 2 memiliki selang nilai piksel yang lebih tinggi daripada KKH 1, sehingga memiliki kesesuaian sedang dan KKH 3 memiliki selang nilai piksel yang tertinggi, sehingga kesesuaian habitat adalah tinggi. Selang dari masing-masing kelas kesesuaian disajikan pada Tabel 10.

Selang = , 9 − ,9 = ,9 Tabel 10 Selang dari masing-masing kelas kesesuaian

No Kelas Kesesuaian Habitat (KKH) Selang 1 2 3 KKH 1 KKH 2 KKH 3

5,924 s.d 11,939 11,939 s.d 17,924 17,924 s.d 23,696


(49)

Habitat orangutan kalimantan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau dengan kesesuaian habitat tinggi memiliki luas 21328,60 ha. Luasan tersebut mencakup 26,65% dari seluruh lokasi penelitian. Untuk kesesuaian sedang memiliki luas terbesar yaitu 52378,70 ha dari seluruh lokasi penelitian atau mencakup 65,46% dari seluruh luasan lokasi penelitian. Sedangkan untuk kelas kesesuaian rendah memiliki luas terkecil yaitu sebesar 6311,70 ha atau 7,88% dari seluruh lokasi penelitian. Luas tiap kelas kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 11 dan peta kesesuaian habitat orangutan kalimantan dapat dilihat pada Gambar 20.

Tabel 11 Luas tiap kelas kesesuaian habitat orangutan kalimantan

No Kelas Kesesuaian Selang Luas (ha) Presentase (%) 1 2 3 Rendah Sedang Tinggi

5,924 – 11,939 11,939 – 17,924 17,924 – 23,696

6311,7 52378,7 21328,6 7,88 65,46 26,65

Pada gambar peta kesesuaian habitat orangutan kalimantan dapat dilihat bahwa kelas kesesuaian tinggi menyebar diseluruh lokasi penelitan baik yang berada di dalam kawasan Suaka Margasatwa Sungai Lamandau maupun area yang direkomendasikan sebagai zona buffer. Namun, keberadaan wilayah dengan kelas kesesuaian tinggi terfragmentasi oleh wilayah kelas kesesuaian sedang. Kelas kesesuaian tinggi ini sebagian besar berada di sekitar Camp Buluh dan Camp Mangkung. Selain itu di zona buffer juga terlihat wilayah kelas kesesuaian tinggi memiliki luasan area yang luas.

Karakteritik habitat dengan kelas kesesuaian tinggi di wilayah SM Sungai Lamandau tersebut terdapat dijarak lebih dari 1600 m dari jalan, lebih dari 1200 m dari desa, jarak dari sungai bervariasi karena banyaknya aliran sungai yang menyebar di dalam kawasan dan nilai NDVI 0,0 – 1 yang didominai oleh nilai 0,25-1. Kelas kesesuaian tinggi sebagian besar berada di bagian utara, lokasi ini dekat dengan dua camp yaitu Camp Rasak dan Camp Mangkung. Selain di bagian utara juga terdapat dibagian selatan yaitu disekitar sekitar Camp Buluh. Selain itu telihat di zona buffer di bagian utara sampai tengah zona buffer memiliki kesesuaian yang tinggi. Pada saat penelitian juga diketahui kondisi vegetasi dan habitat di zona buffer masih baik ditandai dengan dominasi pohon yang besar


(50)

50

dibandingkan dengan tiang dan pancang, serta banyaknya sarang yang ditemukan di zona bufferini.

Habitat dengan kelas kesesuaian sedang memiliki karakteritik habitat yaitu berada pada jarak dari jalan bervariasi yaitu dari jarak lebih 800 m dari jalan, jarak dengan desa yang bervariasi yaitu lebih dari 3000 m dari desa, nilai NDVI yang bervariasi yang didominasi oleh nilai lebih dari 0,0-1 serta jarak dari sungai yang bervariasi karena banyak terdapat beberapa aliran sungai pada habitat dengan kesesuaian sedang tersebut.

Sedangkan kelas kesesuaian rendah sebagian besar terdapat di sekitar batas kawasan penelitian. Kelas kesesuaian rendah ini memiliki karakteristik habitat yaitu berada di 800 m dari jalan, jarak dari desa yang bervariasi yaitu 0-900 m, nilai NDVI juga bervariasi yang didominasi oleh -1-0,1 dan jarak dari sungai bervariasi yang didominasi oleh jarak lebih dari 1600 m dari sungai, karena beberapa sungai besar yang berada di sekitar penelitian juga merupakan jalan karena selain menggunakan jalur darat, masyarakat Kalimantan khususnya Kalimantan Tengah juga menggunakan jalur sungai.

5.4.2 Validasi Model

Validasi model kesesuaian habitat orangutan kalimantan dilakukan karena untuk menentukan diterima atau tidaknya model yang dibangun. Serta untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibagun. Model yang telah dibangun dapat diterima apabila hasil validasi memperoleh tingkat kepercayaan yang tinggi yaitu >85% pada kelas kesesuaian sedang dan tinggi. Data yang digunakan untuk melakukan validasi didapatkan dari sepertiga atau 30% dari jumlah keseluruhan titik sarang yang didapatkan di lapang. Pemilihan titik validasi dilakukan secara acak namun mewakili setiap tipe sarang. Titik sarang yang digunakan untuk validasi sebanyak 23 titik dari 72 titik sarang di lapang. Nilai validasi didapatkan dengan membagi banyaknya titik sarang dari setiap kelas kesesuaian terhadap jumlah keseluruhan.

Hasil validasi menunjukkan bahwa model kesesuaian habitat orangutan kalimantan yang dibangun dapat diterima 100% dari jumlah presentase validasi pada kelas kesesuaian sedang dan tinggi. Pada kelas kesesuaian tinggi memiliki


(51)

nilai validasi 39,13%, pada kelas kesesuaian sedang memiliki nilai validasi 60,87% dan kelas kesesuaian rendah memiliki nilai 0%. Validasi pada tiap kelas kesesuaian habitat orangutan kalimantan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Validasi tiap kelas kesesuaian habitat orangutan kalimantan

No Kelas Kesesuaian Titik Sarang Presentase (%)

1 2 3

Rendah Sedang Tinggi

0 14

9

0,00 60,87 39,13

Berdasarkan hasil validasi yang diperoleh menunjukkan bahwa model yang dibangun cukup representatif untuk menunjukkan daerah kesesuaian habitat orangutan kalimantan dengan kelas kesesuaian sedang dan tinggi. Namun, dilihat dari tingginya nilai validasi pada kelas kesesuaian sedang dibandingkan dengan kelas kesesuaian tinggi menunjukkan bahwa model yang diterima belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini disebabkan masih terdapatnya komponen habitat orangutan kalimantan yang lain yang berpengaruh selain empat komponen yang digunakan dalam pembangunan model kesesuaian habitat. Keempat komponen habitat yang digunakan dalam pembangunan model masih belum mewakili komponen habitat yang sensitif dan yang sangat diperlukan oleh orangutan kalimantan. Komponen habitat sensitif yang dimaksudkan diantaranya jenis pohon tidur/bersarang, keberadaan pohon buah/feeding tree, tinggi rendahnya pohon tidur untuk keperluan memudahkan keterjangkauan pandangan terhadap areal hutan, keterlindugan terhadap angin dimalam hari dan sebagainya.


(52)

(53)

(54)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Pembangunan model spasial kesesuaian habitat orangutan kalimantan dilakukan dengan menganalisis penilaian kebutuhan hidup (life requisites) orangutan kalimantan terhadap faktor-faktor habitat dan faktor-faktor gangguan. Faktor-faktor habitat yang digunakan adalah ketersediaan air yang diwakilkan dengan jarak dari sungai dan nilai NDVI (Normalization Difference Vegetation Index), sedangkan faktor-faktor gangguan berasal dari aktivitas manusia yang diidentifikasi melalui jarak dari jalan dan jarak dari desa.

Model spasial kesesuaian habitat orangutan kalimantan ( Pongo pygmaeus wurmbii, Linneaus 1760) yang dihasilkan pada penelitian ini adalah:

Y= (1,747 x FK Sungai) + (1,747 x Fk NDVI) + (1,215 x Fk Jalan) + (1,215 x Fk Desa)

Habitat orangutan kalimantan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau dengan kelas kesesuaian habitat tinggi memiliki luas 21328,60 ha. Luasan tersebut mencakup 26,65% dari seluruh lokasi penelitian. Pada kelas kesesuaian sedang memiliki luas terbesar yaitu 52378,70 ha atau mencakup 65,46% dari seluruh luasan lokasi penelitian. Sedangkan untuk kelas kesesuaian rendah memiliki luas terkecil yaitu sebesar 6311,70 ha atau 7,88% dari seluruh lokasi penelitian. Model kesesuaian habitat orangutan kalimantan dapat diterima dengan validasi 39,13% pada kelas kesesuaian tinggi, 60,87% pada kelas kesesuaian sedang dan kelas kesesuaian rendah memiliki nilai 0%.

6.2 Saran

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait keberadaan orangutan kalimantan di wilayah SM Lamandau untuk lebih meningkatkan kepercayaan terhadap model yang dibangun.

2. Mengidentifikasi komponen yang sensitif seperti jenis pohon tidur/bersarang, keberadaan pohon buah/feeding tree, tinggi rendahnya pohon tidur untuk keperluan memudahkan keterjangkauan pandangan terhadap areal hutan,


(55)

keterlindugan terhadap angin dimalam hari dan sebagainya untuk pembangunan model selanjutnya.

3. Perlu adanya pengawasan pada habitat dengan kesesuaian tinggi di seluruh kawasan SM Lamandau dari aktivitas masyarakat yang megakses SM Lamandau.

4. Perlu adanya perhatian terhadap zona buffer karena memiliki potensi kesesuaian habitat yang sama dengan kawasan SM Lamandau.

5. Meningkatkan pengamanan kawasan dari aktivitas yang dapat mengancam kelestarian orangutan di SM Lamandau, seperti illegal loging, kebakaran hutan, konversi lahan dan perburuan.


(56)

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT

ORANGUTAN KALIMANTAN

pygmaeuswurmbiiLinneaus, 1760)

SUNGAI LAMANDAU

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT

ORANGUTAN KALIMANTAN (Pongo

Linneaus, 1760) DI SUAKA MARGASATWA

LAMANDAU KALIMANTAN TENGAH

FIFIN FITRIANA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT

DI SUAKA MARGASATWA

KALIMANTAN TENGAH


(1)

Lampiran 2 Titik sarang untuk validasi.

No Kode GP X Y

1 SRC 1 550563 9696872

2 Srlr 92 543575 9689798

3 SRB 3 550460 9696876

4 SRD 7 549650 9696872

5 SR2 C5 550043 9696648

6 SR5 C13 548278 9700190

7 SR5 D14 548253 9700198

8 SR7 B3 549675 9689568

9 SR8 C6 546034 9691763

10 SR9 C1 543574 9686786

11 SR9 C2 543621 9686761

12 SR10 C3 549458 9709002

13 SR9 D4 543647 9686802

14 SR9 Luar 544205 9687561

15 Srlr 9 543753 9687078

16 Srlr 9 1 543750 9687075

17 SR10 C2 549452 9709007

18 SRC 2 550508 9696848

19 SR11 C2 548586 9712647

20 SR6 C1 549793 9699022

21 SR8 D4 546352 9692147

22 SR4 C3 549661 9699160


(2)

63

Lampiran 3 Hasil perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19 untuk menyusun model Analisis Komponen Utama (Principel Komponen Analisis).

Factor Analysis

Communalities

Initial Extraction

Sungai 1.000 .735 NDVI 1.000 .620 jalan 1.000 .753 desa 1.000 .853

Extraction Method: Principal Component Analysis.

Total Variance Explained

Compo nent

Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings

Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %

1 1.747 43.664 43.664 1.747 43.664 43.664 2 1.215 30.386 74.051 1.215 30.386 74.051 3 .600 15.008 89.059

4 .438 10.941 100.000

Extraction Method: Principal Component Analysis.

Component Matrixa

Component

1 2

Sungai .832 .207 NDVI .786 .055 jalan -.636 .590 desa .177 .907


(3)

(4)

(5)

FIFIN FITRIANA Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeuswurmbiiLinneaus, 1760) di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan DONES RINALDI.

Orangutan tergolong satwa yang langka karena hanya terdapat di Indonesia dan kecenderungan populasinya yang semakin menurun. Khususnya di SM Sungai Lamandau, penurunan populasi disebabkan akibat adanya degradasi lingkungan, konversi lahan dan peburuan. Status populasi orangutan telah masuk kategori status kritis (Critically Endangered)menurut IUCN Red List dan telah terdaftar dalamAPPENDIX 1 CITES serta oleh pemerintah dilindungi melalui PP No.7 Tahun 1999. Suaka Margasatwa Sungai Lamandau merupakan salah satu habitat orangutan kalimantan. Selain itu, lokasi ini memiliki nilai penting karena merupakan kawasan yang digunakan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan hasil rehabilitasi. Berkaitan dengan hal tersebut penelitian habitat orangutan kalimantan dengan penerapan Sistem Informasi Geografis (GIS) perlu dikembangkan untuk mendapatkan data spasial model habitat yang sesuai bagi orangutan kalimantan di SM Sungai Lamandau.

Pengambilan data dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau dan di lokasi usulan zona pemanfaatan terbatas (zona buffer). Pemodelan kesesuaian habitat orangutan kalimantan dilakukan dengan mengidentifikasi titik sarang orangutan kalimantan secara spasial terhadap faktor-faktor habitat yaitu jarak dengan sungai dan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation) dan faktor-faktor gangguan melalui jarak dari jalan dan jarak dari desa. Hasil identifikasi dianalisis dengan Principal Componen Anayisis (PCA) untuk mendapatkan nilai bobot masing-masing komponen habitat sehingga diperoleh model kesesuaian habitat orangutan kalimantan. Peta kesesuaian habitat diperoleh dengan tumpang tindih (overlay) komponen habitat terhadap model yang telah dibangun dan divalidasi dengan titik sarang yang ditemukan di lapang.

Model kesesuaian habitat orangutan kalimantan yang diperoleh adalah Y= (1,747 x Faktor Jarak dari Sungai)+(1,747 x Faktor Nilai NDVI)+(1,215 x Faktor Jarak dari Jalan )+(1,215 x Faktor Jarak dari Desa). Peta kesesuaian habitat orangutan kalimantan dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu kelas kesesuaian rendah 6311,70 ha atau 7,88% dari keseluruhan luas lokasi penelitian, kelas kesesuaian sedang 52378,70 ha atau 65,46% dari keseleruhan luas lokasi penelitian dan kelas kesesuaian tinggi 21328,60 ha atau 26,65% dari keseluruhan luas lokasi penelitian. Validasi untuk tingkat kelas kesesuaian rendah 0%, kelas kesesuaian sedang 60,87% dan kelas kesesuaian tinggi 39,13%. Model kesesuaian habitat orangutan kalimantan dapat diterima dengan validasi 100% pada kelas kesesuaian sedang dan tinggi.

Kata Kunci : Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii), kesesuaian habitat, pemodelan spasial, SM Sungai Lamandau.


(6)

SUMMARY

FIFIN FITRIANA Habitat Spatial Modeling of Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeuswurmbiiLinneaus, 1760) Habitat Suitability in Sungai Lamandau Wildlife Reserve of Mid-Kalimantan. Under Supervision of LILIK BUDI PRASETYO and DONES RINALDI.

Orangutan is categorized as a rare animal since it only exist in Indonesia and its populations tend to decrease, especially in Sungai Lamandau area. The population decreasing is caused by environmental degradation, land conversion, and also hunting. Orangutan population is grouped into critically endangered status according to IUCN Red Listand listed into APPENDIX 1 CITES also by government is protected by Government in Regulation Number 7 Year 1999. Sungai Lamandau Wildlife Reserve is one of the orangutan habitat in Kalimantan. Besides, this location has important value since it is a region which is used as wild conservation of orangutan from rehabilitation. Related to the fact, research of orangutan kalimantan habitat by applying Geographical Information System (GIS) needs to be developed to get spatial data of suitable habitat model for orangutan kalimantan in Sungai LamandauWildlife Reserve.

Data collection is done in Sungai Lamandau Wildlife Reserve and in limited usage suggestion zone (Buffer zone). Orangutan kalimantan habitat suitability modeling is done by identifying orangutan kalimantan nest points in spatial to the habitat factors, which is distance by the river and Normalized Difference Vegetation Index(NDVI) value, and disturbance factors via distance with road and distance with the villages. Identification result is analyzed by using Principal Componen Anayisis (PCA) to get value each habitat components so that would be found suitability model with orangutan kalimantan habitat. Habitat suitability map is found by overlaying habitat components to model had built and validated with nest points found in field.

Orangutan kalimantan habitat suitability model found is Y=(1,747 x distance with river factor)+(1,747 x NDVI value factor)+(1,215 x distance with road factor)+(1,215 x distance with village factor). Orangutan kalimantan habitat suitability map is divided by three, of suitability which is in low suitability class 6311,70 hectare or 7,88% from overall of research location width, mid suitability class 52378,70 hectare or 65,46% from overall of research location width and high suitability class 21328,60 hectare or 26,65% from overall research location. Validation for low suitability class 0%, mid-suitability class 60,87% and high suitability class 39,13%. Orangutan kalimantan suitability model can be accepted with 100% validation in mid and high suitability class.

Keywords: Orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbi), habitat suitability,spatial modeling, Sungai Lamandau Wildlife Reserve.