Pengaruh Sistem Resi Gudang Terhadap Pendapatan Usahatani Padi di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang

PENGARUH SISTEM RESI GUDANG TERHADAP PENDAPATAN
USAHATANI PADI DI KECAMATAN PERAK
KABUPATEN JOMBANG

ATIKA AZARIAWATI SUGIONO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Sistem Resi
Gudang Terhadap Pendapatan Usahatani Padi di Kecamatan Perak Kabupaten
Jombang Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014

Atika Azariawati Sugiono
NIM H34100116

ii

ABSTRAK
ATIKA AZARIAWATI SUGIONO. Pengaruh Sistem Resi Gudang Terhadap
Pendapatan Usahatani Padi di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang. Dibimbing
oleh DWI RACHMINA.
Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan sistem yang berkaitan dengan
penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi resi gudang. SRG
yang termuat dalam UU Nomor 9 Tahun 2006 memperluas akses masyarakat
untuk memanfaatkan fasilitas pembiayaan. Tujuan dari penelitian ini yaitu
menganalisis penerapan SRG dan mengidentifikasi faktor-faktor yang
memengaruhi penerapan SRG, serta menganalisis peranan SRG dalam
peningkatan pendapatan petani. Penelitian ini dilakukan di Desa Plosogenuk

Kecamatan Perak Kabupaten Jombang, Jawa Timur dengan jumlah responden
sebanyak 40 petani. Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan pada saat
melaksanakan SRG dan sesudah pada saat tidak melaksanakan SRG. Hasil
penelitian menunjukkan penerapan SRG di Kecamatan Perak secara umum sesuai
dengan rata-rata tingkat kesesuaian 69%. Beberapa komponen yang belum sesuai
adalah sosialisasi yang masih kurang dan spesifikasi gudang SRG yang belum
sesuai. Namun pelaksanaan SRG membantu petani dalam meningkatkan
pendapatan petani sebesar 22.46% yang bersumber dari peningkatan harga jual
sebesar 6.46%.
Kata kunci: kebijakan pemerintah, komoditi agribisnis, pembiayaan pertanian,
sistem resi gudang

ABSTRACT
ATIKA AZARIAWATI SUGIONO. The Influence of Warehouse Receipt System
to paddy farming income at Perak Subdistrict Jombang Country. Supervised by
DWI RACHMINA.
Warehouse Receipt System is a system relates to issuance, transfer, loaning,
and warehouse receipt transaction settlement. WRS contained in the Law Number
9 of 2006 expanding public accesss to capitalize upon financing facility. The
purposes of the research are to analyze the implementation of WRS, to identify

the affecting factors in implementing WRS, and to analyze the role of WRS in
increasing the farmers’ income. The research was conducted in Plosogenuk
Village Perak Subdistrict Jombang District, East Java by respondents of 40
farmers. The research was conducted by comparing the ongoing study that
showed the implementation of WRS in Perak Subdistrict in general was
conformed with the average rate by 69% of conformity. Some less-conformed
components were the lack of socialization and the less-appropriate specification of
warehouse. However, the implementation of WRS helped farmers in income
increase by 22.46% which derived from the increase of the selling price by 6.46%.
Keywords: agricultural commodities, agricultural finance, government policy,
warehouse receipt system

iii
PENGARUH SISTEM RESI GUDANG TERHADAP PENDAPATAN
USAHATANI PADI DI KECAMATAN PERAK
KABUPATEN JOMBANG

ATIKA AZARIAWATI SUGIONO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iv

v
Judul Skripsi : Pengaruh Sistem Resi Gudang Terhadap Pendapatan Usahatani
Padi di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang
Nama
: Atika Azariawati Sugiono
NIM
: H34100116


Disetujui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, M Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, M Si
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

vi

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah
Pengaruh Sistem Resi Gudang Terhadap Pendapatan Usahatani Padi di
Kecamatan Perak Kabupaten Jombang Jawa Timur
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Rachmina, MSi selaku
dosen pembimbing, kepada Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji
utama serta Dr. Ir. Wahyu Budi Priatna, Msi selaku dosen penguji komisi
pendidikan. Disamping itu penulis sampaikan terima kasih juga kepada Dr. Ir.
Hermanto, MS dan Dr. Ir. Sumaryanto, MS yang telah banyak memberi saran dan
arahan. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada pihak Kelompok Tani Ngaren
di Desa Plosogenuk selaku responden dan pihak PT Pertani (Persero) selaku
pengelola gudang yang telah memberikan waktu, kesempatan, dan informasi
kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada sahabat-sahabat saya di keluarga besar Agribisnis 47 atas
segala doa, semangat, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014


Atika Azariawati Sugiono

viii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6

Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
7
Potensi SRG Untuk Pembiayaan Usaha Di Sektor Pertanian
7
Perkembangan Pelaksanaan SRG
8
Manfaat SRG
8
Manfaat Bantuan Permodalan dalam Peningkatan Pendapatan Pertanian 9
Kendala Penerapan SRG
9
KERANGKA PEMIKIRAN
10
Kerangka Pemikiran Teoritis
10
Kerangka Pemikiran Operasional

14
METODOLOGI PENELITIAN
17
Lokasi dan Waktu Penelitian
17
Jenis dan Sumber Data
17
Metode Pengambilan Contoh
17
Metode Pengolahan dan Analisis Data
18
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
21
Karakteristik Wilayah
21
Sosial Ekonomi Masyarakat
21
Profil Kelompok Tani Ngaren
22
Karakteristik Petani Responden

23
Resi Gudang
24
Struktur Organisasi SRG
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
26
Keragaan Pelaksanaan SRG Kecamatan Perak
26
Analisis Usahatani Padi Kecamatan Perak
37
SIMPULAN DAN SARAN
48
Simpulan
48
Saran
48
DAFTAR PUSTAKA
49
LAMPIRAN

52
RIWAYAT HIDUP
60

ix

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Target dan realisasi SRG tahun 2010-2014 (sd. April)
Jumlah gudang SRG di Indonesia tahun 2010-2014
(sd. April)
Pendapatan realisasi SRG tahun 2010-2014 (sd. April)
Data penduduk menurut mata pencaharian
Sebaran usia responden
Sebaran tingkat pendidikan responden
Sebaran tingkat pengalaman usahatani padi petani responden
Sebaran penguasaan luas lahan padi responden
Sebaran jenis pengairan lahan padi responden
Standar mutu komoditi gabah
Rata-rata penggunaan input usahatani padi Kelompok Tani Ngaren pada
saat dan sudah tidak melaksanakan SRG
Jumlah penggunaan HOK pada setiap kegiatan usahatani padi pada saat
melaksanakan SRG di Desa Plosogenuk tahun 2013
Jumlah penggunaan HOK yang digunakan pada tiap kegiatan usahatani
padi pada saat tidak melaksanakan SRG di DesaPlosogenuk tahun 2014

3
3
4
22
23
23
24
24
24
37
39
41
42

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Keseimbangan pasar pada saat panen raya
Kerangka pemikiran operasional
Struktur organisasi Kelompok Tani Ngaren
Struktur organisasi SRG
Persentase implementasi SRG di Kecamatan Perak jika dibandingkan
dengan realisasi sebenarnya
Persentase realisasi anjuran sosialisasi SRG di Kecamata Perak
Bagan koordinasi kelembagaan SRG
Prosedur penyimpanan dan penerimaan barang SRG
Prosedur penerbitan resi gudang
Prosedur penyerahan barang SRG
Sumber peminjaman modal usahatani padi tanpa SRG

11
16
22
25
26
28
30
31
32
34
46

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi keadaan gudang SRG di Kecamatan Perak

54

x
2 Komponen penilaian sosialisasi SRG
3 Komponen penilaian keragaan kelembagaan SRG
4 Komponen penilaian keragaan prosedur pelaksanaan SRG
5 Komponen penilaian keragaan spesifikasi gudang SRG
6 Komponen penilaian persyaratan komoditas yang disimpan di gudang
7 Komponen penilaian persyaratan bagi kelompok tani atau petani untuk
mengikuti SRG
8 Komponen penilaian persyaratan umum permohonan kredit
9 Komponen penilaian persyaratan mutu barang

55
55
57
58
60
60
60
61

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Panen raya merupakan masa di mana petani melakukan pemanenan hasil
taninya dalam skala besar. Pada saat panen raya, persediaan hasil panen yang
melimpah menyebabkan petani sering dihadapkan pada masalah anjloknya harga
gabah hingga pada tingkat yang tidak menguntungkan petani. Petani kerap
dihadapkan masalah tidak adanya pilihan dalam menjual hasil panennya, sehingga
petani terpaksa harus menjualnya pada saat panen raya. Penjualan dengan harga
yang buruk pada saat panen raya tentu akan mengakibatkan kesejahteraan petani
tidak dapat dimaksimalkan. Sesuai dengan teori ekonomi mengenai supply dan
demand menurut Nicholson (1999), bahwa secara umum apabila persediaan atau
jumlah barang yang ditawarkan produsen melimpah maka harga pasar akan turun,
dan apa bila persediaan barang terbatas maka harga pasar akan naik. Untuk
mengatasi anjloknya harga gabah saat panen raya, perlu adanya terobosan
kebijakan dalam pola pemasaran sehingga petani masih berpeluang memetik
harga yang baik sehingga dapat memperoleh keuntungan. Salah satu alternatif
kebijakan untuk memperbaiki harga panen raya yang dapat digunakan adalah
dengan Sistem Resi Gudang (SRG).
Sistem Resi Gudang (SRG) didefinisikan sebagai seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi
resi gudang. Resi gudang (Warehouse Receipt) merupakan surat berharga yang
digunakan sebagai jaminan atau tanda bukti kepemilikan barang dalam gudang
yang diawasi oleh pengelola gudang sebagai pihak ketiga terakreditasi. SRG ini
dapat dapat memperkuat daya tawar menawar petani serta menciptakan efisiensi
di dunia agribisnis, dimana petani bisa menunda penjualan setelah panen, sambil
menunggu harga membaik, dengan menyimpan di gudang-gudang tertentu yang
memenuhi persyaratan. Yang dimaksud dengan menunggu harga pasar gabah
panen raya membaik adalah saat dimana SRG sebagai pihak yang dapat
melakukan sistem tunda jual menyimpan hasil panen raya yang kondisi supply
gabahnya berlimpah agar tidak dijual langsung, namun disimpan di gudang SRG
untuk menjaga supply barang dipasar agar tidak berlimpah sehingga memperbaiki
harga jual yang dapat diperoleh oleh petani. Selain itu SRG membantu petani
untuk memperoleh informasi harga pasar yang transparan sehingga membantu
petani untuk menentukan harga yang terbaik untuk petani tersebut. Manfaat
lainnya adalah apabila petani ingin melanjutkan bercocok tanam pada musim
berikutnya, maka kebutuhan modal petani dapat dicukupi dengan adanya
mekanisme pembiayaan dari SRG, sehingga pada saat harga di pasaran sudah
mulai membaik, petani dapat menjual barangnya sambil melunasi kewajibannya
kepada bank. Pembiayaan SRG yang dapat diakses oleh pemilik barang dapat
berasal dari perbankan maupun lembaga keuangan non-bank. Sistem ini telah
dipergunakan secara luas di negara-negara maju atau di negara-negara dimana
Pemerintah telah mulai mengurangi perannya dalam menstabilitasi harga komoditi,
terutama komoditi agribisnis (BAPPEBTI 2012).

2
Berbeda dengan Indonesia, SRG sudah dikenal lama di manca negara
sebagai sebuah skim pembiayaan pertanian. India, Uganda, Polandia, Nigeria,
Tanzania, dan Ghana adalah beberapa negara yang sudah menjalankan program
ini lebih dulu. Di negara-negara tersebut, program SRG bahkan sudah
memberikan pengaruh besar bagi sektor pertanian maupun perbankan.
Berdasarkan data dari konferensi Warehouse Receipt System (WRS) di
Amsterdam pada tanggal 9-11 Juli tahun 2001, negara-negara berkembang yang
tercatat cukup berhasil menerapkan sistem resi gudang ini adalah Rumania,
Hungaria, Afrika Selatan, Zambia, Ghana, Rusia, Slovakia, Bulgaria, Cesnia,
Polandia, Kazakstan, Turki, dan Meksiko.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan yang diwakili oleh
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), sejak tahun
1999 mengambil prakarsa untuk menyusun Rencana Undang-Undang (RUU)
tentang SRG. Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada tanggal 20 Juni
2006, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menyetujui RUU tentang
SRG menjadi Undang-Undang (UU). Presiden RI mensahkannya sebagai UU
Nomor 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang pada tanggal 14 Juli 2006. Tujuan
diberlakukannya UU tentang SRG adalah untuk memberikan dan meningkatkan
akses masyarakat terhadap kepastian hukum, melindungi masyarakat dan
memperluas akses mereka untuk memanfaatkan fasilitas pembiayaan. UU tersebut
menjawab kebutuhan akan suatu instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat yang selama ini terkendala untuk memperoleh pembiayaan usaha. UU
SRG memberikan manfaat terutama bagi petani, kelompok tani atau gapoktan,
pengusaha kecil dan menengah, pedagang, perusahaan, pengelola gudang,
eksportir maupun lembaga keuangan (bank atau non-bank) untuk mengakses
permodalan guna meningkatkan usahanya.
Dalam rangka penggalakkan SRG untuk memperbaiki harga jual gabah
yang anjlok saat panen raya dan juga mempermudah serta memperluas akses
terhadap permodalan petani di Indonesia, diperlukan penetapan target yang
digunakan sebagai tolak ukur pelaksanaan SRG. PT Pertani sebagai salah satu
pengelola gudang menetapkan target jumlah penyimpanan SRG diberbagai daerah
di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, dan
Sumatera Bagian Utara. Selain sebagai alat yang digunakan sebagai tolak ukur
pelaksaan, target penyimpanan SRG juga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi
pelaksanaan SRG di berbagai daerah. PT Pertani (Persero) bukanlah satu-satunya
pengelola gudang SRG di Indonesia. Namun menurut BAPPEBTI (2014), PT
Pertani (Persero) menguasai sebagian besar (70%) gudang SRG di Indonesia,
sehingga data yang dimiliki PT Pertani (PERSERO) sudah dapat menggambarkan
data SRG di Indonesia.
Target yang ditetapkan tiap wilayah pelaksana SRG berbeda-beda, hal ini
dikarenakan jumlah produksi tiap wilayah berbeda. Penetapan target tertinggi
berada pada wilayah Jawa Timur sebesar 35 000 000 kg. Dari hasil realisasi yang
diperoleh, terlihat bahwa kemampuan SRG dalam mencapai pemenuhan target
penyimpanan barang belum optimal. Hal tersebut tercermin dalam jumlah
realisasi penyimpanan barang yang masih berada dibawah target yang ditetapkan
oleh PT Pertani (Persero). Realisasi yang masih jauh dari target diduga
dikarenakan sosialisasi SRG ke stakeholder yang masih lemah, fasilitas gudang
yang belum merata dan memadai, kesiapan pengelola, kontinuitas pasokan

3
komoditas, lemahnya kelembagaan di tingkat petani, belum jelasnya off taker atau
penjamin pasar, transaction cost yang relatif tinggi, dan sinergi antar stakeholder
yang masih lemah (Ashari 2012). Dalam kasus SRG di Jombang, yang dimaksud
dengan stakeholder adalah lembaga-lembaga yang berkepentingan dalam SRG di
Jombang yaitu pengelola gudang, kelompok tani, dan petani. Hal tersebut dapat
dilihat lebih jelas pada Tabel 1.
Tabel 1 Target dan realisasi SRG tahun 2010-2014 (sd. April)
Resi Gudang
(lembar)
Wilayah
Jabar
734
Jateng
55
Jatim
360
Sulawesi
94
Sumbagut
3
Jumlah
1 246
Sumber: PT Pertani (Persero)

Target Jumlah
Barang (kg)
25 000 000
7 500 000
35 000 000
15 000 000
1 000 000
83 500 000

Realisasi Jumlah
Barang (kg)
17 881 446
3 161 217
26 143 108
9 808 754
42 487
57 037 003

Persentase
Realisasi (%)
71.53
42.15
74.69
65.39
4.25

Diantara wilayah-wilayah tersebut, Jawa Timur memiliki persentase
realisasi tertinggi yaitu sebesar 74.69%. Hal tersebut dapat dikarenakan Jawa
Timur memiliki jumlah unit gudang terbanyak yang berjalan dengan baik, yaitu
sebesar 27 unit gudang BAPPEBTI dengan kapasitas penyimpanan 33 750 ton
dan 7 unit gudang PT Pertani (Persero) dengan kapasitas penyimpanan sebesar 11
500 ton. Jumlah gudang SRG di Indonesia dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah gudang SRG di Indonesia tahun 2010-2014 (sd. April)
Wilayah
Jabar
Jateng
Jatim
Sulawesi
Sumbagut
Sumbagsel
Kalimantan
Jumlah

Gudang Bappebti
Jumlah
Kapasitas
(unit)
(ton)
13
16.250
13
16.250
27
33.750
18
22.500
13
16.250
11
13.750
3
3.750
98
122.500

Jumlah
(unit)

Gudang Pertani
Kapasitas
(ton)
3
10.500
2
4.000
7
11.500
3
3.750
1
2.000
16
31.750

Jumlah Gudang SRG
Jumlah
(unit)

Kapasitas (ton)
16
15
34
21
14
11
3
114

26.750
20.250
45.250
26.250
18.250
13.750
3.750
154.250

Sumber: PT Pertani (Persero)
*Keterangan: Belum termasuk Gudang Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebanyak 2 (dua) unit
masing-masing di Banyuwangi dan Tulungagung dengan kapasitas 4 000 ton.

Berdasarkan pemenuhan realisasi jumlah penyimpanan SRG pada tahun
2010 sampai dengan April 2014 dari masing-masing daerah, dapat terlihat bahwa
pendapatan yang diperoleh sangat bervariasi. Pendapatan di sini merupakan
pendapatan kotor dari pengelola gudang dan marjin merupakan pendapatan bersih
dari pengelola gudang, yaitu PT Pertani (Persero). Pendapatan tertinggi yang
diperoleh dari hasil penyimpanan terdapat pada daerah Jawa Timur dengan
pendapatan sebesar Rp 1 960 733 100 dengan persentase pendapatan tertinggi
sebesar 45.80% dan marjin sebanyak Rp 915 008 780. Besar pendapatan realisasi
SRG dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 3.

4
Tabel 3 Pendapatan realisasi SRG tahun 2010-2014 (sd. April)
Wilayah
Jabar
Jateng
Jatim
Sulawesi
Sumbagut
Jumlah

Gabah (kg)
17 881 446
3 161 217
26 143 108
9 808 754
42 487
57 037 003

Nilai Barang (Rp)
100 430 555 200
18 595 602 497
116 189 228 106
46 593 101 499
144 455 800
281 952 943 102

Kredit RG (Rp)
51 859 516 300
10 168 210 250
57 953 272 500
19 802 538 200
101 073 000
139 884 574 250

Pendapatan
1 341 108 450
237 091 275
1 960 733 100
735 655 875
3 186 525
4 277 775 225

Marjin
625 850 610
110 642 595
915 008 780
343 306 075
1 487 045
1 996 295 105

% Pendapatan
31.40%
5.50%
45.80%
17.20%
0.10%
100%

Sumber: PT Pertani (Persero)

Keberhasilan Jawa Timur dalam memperoleh realisasi target terbaik
berdasarkan pendapatan, margin, dan persentase pendapatan didukung oleh
wilayah Jawa Timur yang merupakan salah satu wilayah pelaksana SRG di
Indonesia dengan jumlah barang terbesar dibanding wilayah lain dan juga sebagai
salah satu wilayah dengan jumlah produksi padi terbesar di Indonesia. Terdapat
tiga puluh empat gudang yang terdapat di Jawa Timur, salah satunya adalah yang
terdapat di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang. Gudang tersebut disahkan dan
digunakan pada tahun 2011. Komoditas gabah merupakan komoditas unggulan
Kabupaten Jombang. Menurut data pertanian Kabupaten Jombang 2012, sekitar
42% lahan di Jombang digunakan untuk areal persawahan, dengan luas lahan
seluas 72 585 Ha produksi tanaman padi dengan produktivitas mencapai 464 000
ton setiap tahunnya. Keberhasilan Jombang dalam mencapai keberhasilannya
sebagai salah satu wilayah penyokong pertanian khususnya pertanian padi di Jawa
Timur tidak terlepas dari kerja keras petani-petani dan juga kelompok tanikelompok tani di sana sebagai wadah bagi para petani untuk pengembangkan
potensi pertanian yang ada, sehingga akan menjadi lembaga yang akan
memberikan bantuan dan solusi bagi para petani dalam menghadapi permasalahan
yang muncul.
Kelompok tani kerap dihadapkan dengan berbagai masalah, salah satunya
adalah daya tawar mereka yang rendah dan ketidakmampuan mereka dalam
menentukan harga jual yang layak bagi mereka pada saat panen raya. Salah satu
kelompok tani yang merasakan permasalahan tersebut adalah Kelompok Tani
Ngaren di mana mereka kesulitan dalam menentukan harga jual saat panen raya.
Selain itu Kelompok Tani Ngaren juga memiliki keunikan dalam pengalaman
penggunaan SRG dimana mereka sempat merasakan kondisi panen raya tanpa
SRG, kondisi dengan adanya SRG, dan pada akhirnya kembali tanpa SRG.
Berbeda dengan SRG di wilayah lain yang dapat memberikan manfaat kepada
pengusaha kecil dan menengah, pedagang, pabrikan, perusahaan, pengelola
gudang, eksportir maupun lembaga keuangan (bank atau lembaga keuangan nonbank) untuk mengakses permodalan guna meningkatkan usahanya.
Perumusan Masalah
Kestabilan harga komoditi merupakan salah satu dari serangkaian manfaat
penerapan SRG bagi petani dan kelompok tani. Sistem ini bermanfaat dalam
menstabilkan harga pasar, melalui fasilitas penjualan sepanjang tahun. Dengan
begitu, berguna untuk perbaikan pola pemasaran gabah saat ini, dimana harga
gabah jatuh pada saat panen raya dan naik tinggi saat tidak ada panen. Kestabilan
harga dapat diperoleh dengan salah satu cara yaitu dengan stabilisasi jumlah
supply dari gabah yang ada di pasaran. Supply gabah dijaga agar tidak melimpah
yang menyebabkan harga jatuh saat panen raya dan juga agar supply tidak

5
mengalami kekurangan yang mengakibatkan haraga melambung tinggi saat
paceklik. Penerapan mekanisme SRG diharapkan oleh petani akan mendapatkan
pendanaan dari pola Resi Gudang di periode panen raya. Perolehan perbaikan
haraga dapat dilakukan dengan pemasaran lebih luas melalui jaringan pasar lelang
sehingga harga yang didapat jauh lebih baik. Selain itu, adanya sumber
pembiayaan bagi petani untuk keterjaminan modal produksi, dimana pemegang
komoditi mempunyai modal usaha untuk produksi berkelanjutan karena adanya
pembiayaan dari lembaga keuangan. SRG dibanyak negara dianggap sebagai
instrumen penjaminan kredit tanpa risiko. Adanya ketersediaan sumber
pembiayaan dapat berpengaruh positif bagi petani agar tidak lagi meminjam dana
permodalan kepada pihak yang merugikannya sehingga pendapatan petani pun
dapat meningkat. Selain hal-hal yang sudah disebutkan diatas, dalam rangka
meningkatkan pendapatan petani juga memerlukan adanya sumber informasi
terpercaya.
Namun saat ini manfaat-manfaat SRG tersebut belum dapat dirasakan secara
optimal oleh petani maupun kelompok tani dikarenakan pengaplikasian SRG yang
belum mencukupi serta masih terdapatnya berbagai kendala pelaksanaan SRG
bagi wilayah yang telah melakukan SRG yang menyebabkan jalannya SRG yang
tidak optimal dalam mengantarkan manfaat-manfaatnya seperti yang tejadi di
SRG Jombang Jawa Timur. Kondisi panen raya yang mengakibatkan menurunnya
harga jual gabah, tidak adanya sumber informasi terpercaya yang dapat
diandalkan oleh petani guna mengetahui informasi harga mengakibatkan petani
hanya menerima harga jual yang rendah pada saat panen raya. Harga jual yang
rendah berpengaruh pada pendapatan petani yang rendah pula. Selain itu, sedikit
dari petani yang dapat menunda hasil penjualannya. Hal ini dikarenakan tidak
adanya lantai jemur dan tidak adanya tempat penyimpanan gabah, sehingga petani
terpaksa menjual langsung hasil panennya. Keterbatasan modal pun menjadi
alasan yang kerap muncul yang mengakibatkan petani menjual cepat hasil
panennya.
Hasil penerimaan dari penjualan langsung pada saat panen raya digunakan
petani untuk modal pada musim tanam selanjutnya. Tidak sedikit petani yang
mengalami keterbatasan modal yang dapat mengakibatkan terhambatnya para
petani dalam pengelolaan dan pengembangan usahataninya. Meski ada sejumlah
lembaga keuangan formal yang dapat menjadi sumber pembiayaan, hanya sedikit
petani yang memanfaatkannya. Ketiadaan jaminan kredit berupa aset tetap (fixed
asset) menjadi salah satu penyebabnya. Akses ke lembaga keuangan tidak saja
terasa “jauh” bagi petani, tapi juga sejumlah prosedur yang diterapkan lembaga
keuangan formal, tingkat bunga komersial yang tidak sesuai dengan beban petani,
serta atas nama prinsip kehati-hatian perbankan, membuat petani tidak
menjadikannya pilihan dalam pembiayan.
Pelaksanaan SRG di lapang masih menemukan banyak hambatan seperti
ketidakinginan petani untuk melaksanakan SRG pada musim panen April 2014.
Hal tersebut menimbulkan tanda tanya mengapa SRG di Kecamatan Perak
Kabupaten Jombang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedikitnya petani yang
menggunakan SRG di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang pun menjadi
pertanyaan, padahal seharusnya SRG sangat dibutuhkan bagi petani untuk
menjawab permasalahannya. Faktor yang dianggap crucial menjadi penyebab

6
lambatnya implementasi SRG adalah masih terbatasnya SRG terutama di daerahdaerah sentra penghasil komoditas pertanian.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, dapat disimpulkan perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan SRG di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang?
2. Bagaimana pengaruh SRG terhadap pendapatan usahatani padi di Kecamatan
Perak Kabupaten Jombang?
Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah:
1. Mendeskripsikan keragaan pelaksanaan SRG di Kecamatan Perak Kabupaten
Jombang.
2. Menganalisis pengaruh SRG terhadap pendapatan usahatani padi di
Kecamatan Perak Kabupaten Jombang.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi beberapa
lapisan masyarakat, antara lain:
1. Penulis, untuk menambah kemampuan menganalisa pengetahuan dan
wawasan mengenai analisis kemungkinan penerapan SRG gabah oleh petani
di daerah penelitian.
2. Pembaca, dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi untuk penelitian
selanjutnya.
3. Pengelola Resi Gudang, sebagai bahan masukan untuk pengembangan SRG
ke depannya.
4. Petani, sebagai bahan masukan dalam melaksanakan SRG.
5. Pemerintah, sebagai rekomendasi implementasi SRG yang lebih baik.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Mengingat begitu luasnya ruang lingkup pada penelitian ini, maka penulis
membatasi permasalahan dengan melihat sejauh mana penerapan SRG di
Kecamatan Perak dengan cara membandingkan SOP dan anjuran dengan
pelaksanaan SRG di lapang. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini
adalah petani yang pernah melaksanakan SRG dan sekarang sudah tidak
melaksanakan SRG. Analisis kajian dibatasi untuk melihat pengaruh pelaksanaan
SRG terhadap pendapatan petani.

7

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi SRG Untuk Pembiayaan Usaha Di Sektor Pertanian
Potensi manfaat yang dapat diperoleh dengan implementasi SRG relatif
cukup besar. Misalnya dalam peningkatan kapasitas sektor pertanian untuk
mendukung perekonomian nasional, SRG dapat memainkan peranan yang
signifikan. Menurut Bank Rakyat Indonesia, dengan dilaksanakan SRG
berpeluang untuk meningkatkan produksi, menambah perputaran ekonomi, dan
menyerap tenaga kerja atau mengurangi pengangguran (BRI 2008). Selanjutnya,
menurut BRI (2011) penerapan SRG sangat prospektif untuk meningkatkan
pendapatan usahatani. Melalui SRG akan diperoleh beberapa manfaat melalui: (1)
tunda jual, yaitu saat panen raya petani menyimpan hasil pertanian di gudang, (2)
penjualan dilakukan pada saat harga komoditas pertanian telah tinggi, serta (3)
meminimalisir penimbunan barang oleh pedagang pengumpul. Dengan Resi
Gudang yang dapat diagunkan petani akan mendapatkan dana tunai untuk
kebutuhan modal usaha maupun untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
Sementara itu, menurut Sadarestuwati (2008), resi gudang memiliki posisi
yang penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha di sektor
pertanian dengan argumentasi sebagai berikut: (a) Resi gudang merupakan salah
satu bentuk sistem tunda jual yang menjadi alternatif dalam meningkatkan nilai
tukar petani, (b) Di era perdagangan bebas, resi gudang sangat diperlukan untuk
membentuk petani menjadi petani pengusaha dan petani mandiri, dan (c) SRG
bisa memangkas pola perdagangan komoditas pertanian sehingga petani bisa
mendapatkan peningkatan harga jual komoditi. Selanjutnya, keberadaan SRG
tidak hanya bermanfaat bagi kalangan petani tetapi juga pelaku ekonomi lainnya
seperti dunia perbankan, pelaku usaha dan serta bagi pemerintah. Diantara
manfaat SRG adalah: (1) Ikut menjaga kestabilan dan keterkendalian harga
komoditas, (2) Memberikan jaminan modal produksi karena adanya pembiayaan
dari lembaga keuangan, (3) Keleluasaan penyaluran kredit bagi perbankan yang
minim risiko, (4) Ada jaminan ketersediaan barang, (6) Ikut menjaga stok nasional
dalam rangka menjaga ketahanan dan ketersediaan pangan nasional, (7) Lalu
lintas perdagangan komoditas menjadi lebih terpantau, (8) Bisa menjamin
ketersediaan bahan baku industri, khususnya agroindustri, (9) Mampu melakukan
efisiensi baik logistik maupun distribusi, (10) Dapat memberikan kontribusi fiskal
kepada pemerintah, dan (11) Mendorong tumbuhnya industri pergudangan dan
bidang usaha yang terkait dengan Sistem Resi Gudang lainnya.
Sedangkan dalam aspek ketersediaan dana, menurut BRI (2008) secara teori
peluang pengembangan SRG sebagai alternatif pembiayaan pertanian dengan
dukungan perbankan sangat terbuka. Hal ini didasarkan pada argumen sebagai
berikut: (1) secara kumulatif potensi pertanian besar, (2) jangka waktu kredit SRG
relatif pendek, (3) analisis kelayakan nasabah dilaksanakan oleh Lembaga Penilai
Kesesuaian (LPK), pengelola gudang dan asuransi, serta (4) bank hanya deal
dengan dokumen resi gudang.

8
Perkembangan Pelaksanaan SRG
Perkembangan pelaksanaan SRG pada masa-masa awal terbilang sangat
lambat. Sebagaimana dilaporkan oleh Suhendra (2008), bahwa sejak UU SRG
diperkenalkan pada tahun 2007 sebagai sebuah alternatif pembiayaan keuangan
bagi para petani, ternyata penerimaannya masih terbilang rendah. Setidaknya hal
ini dapat dilihat berdasarkan proyek percontohan SRG di empat daerah, yaitu di
Indramayu, Banyumas, Jombang untuk komoditas gabah dan Gowa untuk
komoditas jagung. Dari proyek tersebut, hanya 305 ton komoditas dikeluarkan
sebagai surat berharga (resi) gudang yang mencakup 15 resi gudang dengan nilai
kurang lebih Rp 1 miliar.
Laporan Bappebti 2011 menunjukkan bahwa sejak diundangkannya
Undang-Undang No 9 Tahun 2006 tentang SRG dan diimplementasikan tahun
2008 pemanfaatan SRG sampai dengan tahun 2010 terus mengalami peningkatan.
Hal tersebut ditunjukkan dengan penerbitan resi gudang yang mencapai 57 resi
gudang untuk komoditas gabah di enam kabupaten (Indramayu, Banyuwangi,
Sidrap, Pinrang, Subang dan Barito Kuala) dengan volume 2 299.94 ton dan total
nilai Rp 8.7 milyar. Pemanfaatan resi gudang untuk agunan pembiayaan sebanyak
36 resi gudang dengan nilai Rp 4.2 milyar.
Walaupun tren perkembangan SRG cukup positif yaitu tercermin dari
peningkatan volume dan nilai resi gudang, namun dibandingkan dengan jumlah
total komoditas pertanian yang ada serta keikutsertaan petani atau stakeholder lain
maka SRG terbilang masih minim. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010 produksi
gabah nasional mencapai 66.41 juta ton GKG. Sementara pada tahun tersebut
SRG hanya mampu menyerap 2 299 ton atau 0.003 persen dari total produksi.
Nampaknya masih ada beberapa kendala yang dihadapi SRG sehingga dalam
implementasinya belum dapat optimal (BAPPEBTI 2011).
Manfaat SRG
Hasil kajian empiris dan ilmiah tentang manfaat SRG, terutama untuk petani,
masih sangat terbatas. Namun dari studi Kurniawan (2009) di Kabupaten
Majalengka tentang SRG menyimpulkan bahwa dari hasil struktur pendapatan
usahatani padi, petani yang berpartisipasi di SRG memiliki pendapatan lebih
tinggi dibandingkan dengan petani Non SRG. Dengan demikian, SRG memiliki
kemampuan menghasilkan penerimaan tunai yang lebih baik. Hasil studi Yudho
(2008) juga menunjukkan SRG cukup efektif dan memberikan manfaat lindung
nilai bagi petani. Biaya untuk resi gudang masih lebih rendah dibandingkan
penerimaan yang diterima dengan mengikuti SRG.
Febrian (2011) juga menunjukkan SRG yang disediakan pemerintah untuk
membantu petani dalam upaya meningkatkan pendapatan petani memiliki
beberapa manfaat, yaitu manfaat secara non ekonomi dan manfaat ekonomi.
Manfaat non ekonomi yang dirasakan oleh petani yang memanfaatkan SRG
adalah manfaat penyimpanan, manfaat jaminan mutu, manfaat pemasaran dan
manfaat pembiayaan. Manfaat ekonomi yang dirasakan oleh petani adalah petani
yang memanfaatkan SRG memperoleh harga jual yang lebih baik dibandingkan
petani yang tidak memanfaatkan SRG. Pendapatan petani yang memanfaatkan
SRG lebih besar daripada petani konvensional. Kegiatan usahatani yang dilakukan

9
oleh petani yang memanfaatkan SRG lebih baik jika dibandingkan dengan petani
konvensional.
Manfaat Bantuan Permodalan dalam Peningkatan Pendapatan Pertanian
Modal merupakan salah satu faktor penting dalam suatu usaha termasuk
usahatani. Modal ekonomi dalam pertanian merupakan modal uang atau barang
yang bersama-sama dengan faktor produksi lahan, alat-alat pertanian, bibit, pupuk
dan tenaga kerja untuk menghasilkan produk-produk pertanian. Namun banyak
kalangan petani yang memiliki permasalahan dalam mendapatkan modal, oleh
sebab itu pemerintah melakukan berbagai macam tindakan untuk membantu
kesulitan modal tersebut. Salah satu jenis bantuan permodalan yang dilakukan
oleh pemerintah adalah Kredit Usaha Penunjang Ekonomi Masyakat (KUPEM)
yang merupakan sistem kredit yang memainkan peranan penting dalam
pembangunan yakni menyediakan modal bagi rumah tangga dan merupakan salah
satu upaya mengurangi kemiskinan. Taryoto (1992) menyatakan tambahan modal
tersebut sangat berarti bagi usaha rumah tangga pedesaan yang menghadapi
keterbatasan modal dan kepemilikan asset, sehingga banyak membantu dan
menunjang modal usaha (Syafa’at dan Djauhari 1992), dan juga dapat memacu
adopsi teknologi (Sumaryanto et al. 1992). Oleh karena itu, penyediaan kredit
bagi rumah tangga di pedesaan adalah mutlak (Syukur et al. 1999) yaitu melalui
kredit produksi dengan bunga dan tenggang waktu pengembalian kredit
disesuaikan dengan kemampuan rumah tangga.
Kredit selain berfungsi sebagai faktor pelancar dalam pembangunan, sistem
pendukung pengembangan teknologi, juga merupakan salah satu “critical point of
development” atau simpul kritis pembangunan yang efektif (Syukur et al. 1999).
Kredit merupakan salah satu instrumen utama untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan masyarakat (Seibel dan Parhusip, 1998), karena kredit
untuk tujuan produktif memberikan kesempatan rumah tangga untuk memulai
atau mengembangkan usaha rumah tangga (Feder et al. 1990), sehingga dapat
meningkatkan pendapatan rumah tangga (Zeller et al. 1997), karena kesediaan
petani menanggung resiko (Zeller et al. 1998) bilamana kredit digunakan untuk
tujuan produktif.
Kendala Penerapan SRG
Masih minimnya implementasi SRG, harus dipandang sebagai “pekerjaan
rumah” bagi semua pihak yang concern dalam masalah ini. Salah satu poin
penting dari rancangan awal penerapan resi gudang adalah sebagai sarana
membantu petani untuk terhindar dari kerugian pada saat harga komoditas yang
diproduksinya turun dengan cara menjaminkan produknya ke resi gudang. Dari
penjaminan itu para petani akan mendapatkan surat berharga atau resi jaminan
yang bisa diagunkan ke perbankan atau non bank untuk mendapatkan kredit.
Ariyani (2008) mengungkapkan bahwa implementasi resi gudang masih
menemukan banyak hambatan di lapangan. Hambatan tersebut antara lain
terbatasnya jumlah gudang penyimpan hasil pertanian dan sikap petani yang tidak
sabar dengan sistem tunda jual produk yang diagunkan tersebut. Faktor yang
dianggap crucial menjadi penyebab lambatnya implementasi SRG adalah masih

10
terbatasnya sosialisasi mengenai SRG terutama di daerah-daerah sentra penghasil
komoditas pertanian.
BRI (2008) telah mengidentifikasi berbagai kendala yang dapat
menghambat implementasi SRG, diantaranya: (1) biaya yang harus dikeluarkan
oleh pemilik komoditas relatif lebih besar dibanding skema Collateral
Management Agreement (CMA), mengingat banyaknya lembaga yang terlibat
pada SRG, (2) kuantitas komoditas petani relatif kecil sehingga apabila
diresigudangkan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan, (3) belum
adanya pihak yang berfungsi sebagai off taker, dan (4) kuantitas, independensi dan
profesionalisme LPK perlu ditingkatkan. Peran sektor perbankan juga masih
belum dapat optimal.
Hasil studi Riana 2010 mengungkapkan bahwa sektor perbankan sebagai
komponen pendukung SRG belum banyak yang menggunakan resi gudang
sebagai hak jaminan. Hal tersebut dikarenakan timbul beberapa masalah dalam
pelaksanaannya. Masalah-masalah tersebut antara lain biaya yang cukup besar,
belum meratanya pembangunan fasilitas pendukung, pembiayaan dikucurkan
untuk jangka waktu yang pendek, keraguan sektor perbankan untuk menggunakan
SRG dan kurangnya pemahaman mengenai arti penting dan manfaat resi gudang.
Sementara itu, menurut Sadarestuwati (2008) sebagai instrumen yang relatif baru,
keberadaan SRG masih menghadapi sejumlah permasalahan, diantaranya: (1)
minimnya sarana dan prasarana, (2) kualitas barang masih rendah
(mutu/keseragaman), (3) beban biaya, (4) kurangnya tingkat kepercayaan dari
lembaga keuangan atau bank, (5) tingkat suku bunga yang masih terlalu tinggi
serta (6) hubungan antar lembaga yang kurang sinergis.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Hubungan Supply dan Demand Komoditas Pertanian
Secara umum apabila persediaan atau jumlah barang yang ditawarkan
produsen melimpah maka harga pasar akan turun, dan apa bila persediaan barang
terbatas maka harga pasar akan naik. Permintaan terhadap barang dan jasa
merupakan jumlah total permintaan konsumen terhadap barang dan jasa pada
tingkat harga dan periode waktu tertentu. Teori permintaan menerangkan
hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Dalam menganalisa permintaaan
perlu dibedakan perbedaan antara permintaan dan jumlah barang yang diminta.
Permintaan merupakan keadaan keseluruhan hubungan diantara harga dan jumlah
permintaan. Sedangkan jumlah barang yang diminta merupakan banyaknya
permintaan pada tingkat harga tertentu. Hubungan antara jumlah permintaan dan
harga ini menimbulkan adanya hukum permintaan. Hukum permintaan merupakan
hipotesis yang menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu barang, maka

11
semakin banyak permintaan atas barang tersebut, begitupun sebaliknya
(Nicholson 1999).
Teori penawaran menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah
penawaran dan harga. Hubungan jumlah penawaran dan harga ini menimbulkan
adanya hukum penawaran, yang menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu
barang, maka semakin banyak jumlah barang tersebut yang akan ditawarkan oleh
penjual. Sebaliknya, semakin rendah harga suatu barang, maka semakin sedikit
jumlah barang tersebut yang ditawarkan oleh penjual (Nicholson 1999). Salah satu
faktor yang menyebabkan meningkatnya permintaan atas hasil produksi pertanian
yaitu bertambahnya jumlah penduduk dan perubahan perilaku konsumen.
Disamping itu adanya kenaikan jumlah pendapatan mengakibatkan konsumen
cenderung untuk meningkatkan pola konsumsinya. Faktor lain yang menentukan
bertambahnya jumlah permintaan adalah harga dari komoditas pertanian tersebut
serta harga barang subtitusi dan harga barang komplementer.
Namun di lain sisi, kondisi supply komoditas pertanian yang melimpah
mengakibatkan harga komoditas tersebut turun karena para petani tidak memiliki
pilihan lain selain menjual hasil panen raya saat itu juga, hal tersebut dapat dilihat
lebih jelas dalam Gambar 1. Pada saat panen raya, kuantitas supply komoditas
pertanian yang meningkat mengakibatkan kurva supply bergeser dari kurva S
menuju kurva S’dan pada kurva demand yang tidak berubah menyebabkan harga
bergerak turun dari harga P menuju harga P’. Berbeda dengan pada saat panen
raya dengan adanya program SRG, petani melakukan tunda jual dengan cara
menyimpan supply yang ada di dalam gudang SRG, sehingga tidak adanya over
supply. Hal ini menyebabkan kurva S yang tidak bergeser dan harga P tetap.

Gambar 1 Keseimbangan pasar pada saat panen raya
Pembiayaan Usaha pertanian
Secara umum pembiayaan merupakan salah satu kegiatan dari manajemen
keuangan dan disebut pula sebagai Financing. Pembiayaan merupakan kegiatan
penentuan kebutuhan modal, jenis-jenis permodalan, sumber-sumber permodalan,
dan menyalurkannya secara efektif dan efisien kedalam kegiatan usaha yang telah
direncanakan. Usaha pertanian disebut juga sebagai usaha agribisnis yaitu
rangkaian kegiatan usaha pertanian yang terdiri atas empat sub sistem, yaitu (a)
subsistem hulu yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi
(input) pertanian; (b) subsistem pertanian primer yaitu kegiatan ekonomi yang
menggunakan sarana produksi yang dihasilkan subsistem hulu; (c) subsistem
agribisnis hilir yaitu yang mengolah dan memasarkan komoditas pertanian; (d)

12
subsistem penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa penunjang antara lain
permodalan, teknologi dan lain-lain (Kementerian Pertanian 2008). Dengan
demikian maka pembiayaan usaha pertanian adalah merupakan kegiatan
penentuan kebutuhan modal, menentukan sumber-sumber permodalan, dan
menyalurkannya secara efektif dan efisien untuk kegiatan usaha pertanian.
Permodalan merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usaha pertanian.
Dalam operasionalisasi usaha pertanian seringkali pelaku agribisnis mengalami
kesulitan didalam memenuhi kebutuhan modal usahanya seperti tidak
terpenuhinya jumlah modal yang dibutuhkan dan terbatasnya aksesibilitas
terhadap sumber-sumber permodalan. Permodalan untuk mendukung kegiatan
usaha pertanian dapat berasal dari dua sumber yaitu modal sendiri dan modal
pinjaman. Modal sendiri diperoleh dari pemilik usaha pertanian yang diperoleh
dari penjualan saham, sedangkan modal pinjaman diperoleh dari pihak luar dalam
bentuk pinjaman atau kredit (Mubyarto 1972).
Pada musim panen raya, harga komoditi umumnya mengalami penurunan.
Karena terdesak kebutuhan hidup dan memerlukan modal usaha untuk kelanjutan
musim tanam berikutnya, petani biasanya tidak punya pilihan dengan menjual
komoditi yang dimilikinya. Disamping itu, petani juga biasanya menghadapi
kesulitan untuk meminjam dana dari lembaga perbankan karena tidak mempunyai
jaminan. Akibatnya, petani mengadaikan/ mengijonkan komoditi yang dimiliki
dengan harga jual yang rendah. Sebagai solusi, maka petani dapat melakukan
tunda jual komoditi pada saat harga jatuh melalui mekanisme SRG. Dengan
skema SRG, komoditi yang disimpan tetap menjadi milik petani dengan
dibuktikan adanya penerbitan surat bukti kepemilikan penyimpanan komoditi di
gudang. Dokumen resi gudang pun dapat diagunkan petani ke bank sebagai
jaminan untuk mendapatkan pembiayaan. Resi gudang sendiri berarti dokumen
atau surat bukti kepemilikan barang yang disimpan di gudang. Dokumen ini
diterbitkan oleh pengelola gudang yang telah mendapat persetujuan dari
BAPPEBTI (BAPPEBTI 2012).
Konsep Usahatani
Ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam
sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya.
Keberhasilan dalam suatu usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
faktor-faktor pada usahatani itu sendiri (faktor internal) dan faktor-faktor di luar
usahatani (faktor eksternal). Faktor-faktor internal usahatani terdiri dari petani
pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, jumlah
keluarga, dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan penerimaan keluarga.
Sedangkan faktor eksternal terdiri dari sarana transportasi dan komunikasi, harga
output, harga faktor produksi, fasilitas kredit, dan penyuluhan bagi petani
(Suratiyah 2008).
Sementara itu, usahatani diklasifikasikan menurut corak dan sifat,
organisasi, pola dan tipe usahataninya;
1. Corak dan Sifat
Berdasarkan corak dan sifat, usahatani dibagi menjadi usahatani
subsisten dan usahatani komersil. Usahatani subsisten adalah usahatani yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan usahatani komersil

13
adalah usahatani yang dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, melainkan juga untuk memperoleh keuntungan.
2. Organisasi
Berdasarkan organisasinya, usahatani dibagi menjadi usahatani
individual, kolektif dan kooperatif. Usahatani individual merupakan usahatani
yang seluruh prosesnya dilakukan oleh petani sendiri beserta keluarganya
mulai dari perencanaan, mengolah tanah, hingga pemasaran ditentukan sendiri.
Usahatani kolektif merupakan usahatani yang seluruh proses produksinya
dikerjakan bersama oleh suatu kelompok kemudian hasilnya dibagi dalam
bentuk natura maupun keuntungan. Sedangkan usahatani kooperatif merupakan
usahatani yang setiap prosesnya dikerjakan secara individual, namun kegiatan
yang penting dikerjakan oleh kelompok, seperti pembelian saprodi,
pemberantasan hama, pemasaran hasil, dan pembuatan saluran.
3. Pola
Berdasarkan polanya, usahatani dibagi menjadi usahatani khusus, tidak
khusus dan campuran. Usahatani khusus merupakan usahatani yang hanya
mengusahakan satu cabang usahatani saja, seperti usahatani peternakan,
perikanan, dan tanaman pangan. Usahatani tidak khusus merupakan usahatani
yang mengusahakan beberapa cabang usaha bersama namun terdapat batas
yang tegas. Usahatani campuran merupakan usahatani yang mengusahakan
beberapa cabang secara bersama-sama dalam sebidang lahan tanpa batas yang
tegas, seperti tumpang sari dan mina padi.
4. Tipe
Berdasarkan tipenya, usahatani dibagi menjadi usahatani berdasarkan
komoditas yang diusahakan, seperti usahatani ayam, usahatani kambing, dan
usahatani jagung. Setiap komoditas dapat menjadi tipe usahatani.
Konsep Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani merupakan hasil pengurangan antara penerimaan total
dari kegiatan usahatani dengan biaya usahatani, dimana besar pendapatan sangat
tergantung pada besarnya penerimaan dan biaya usahatani tersebut dalam jangka
waktu tertentu. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan usahatani dilihat dari pendapatan yang diterima. Pendapatan yang
semakin besar mencerminkan keberhasilan petani yang semakin baik. Dengan
dilakukannya analisis tersebut, petani dapat melakukan perencanaan kegiatan
usahatani yang lebih baik di masa yang akan datang.
Soekartawi et al. (2002) menjelaskan bahwa terdapat beberapa istilah yang
dipergunakan dalam menganalisis pendapatan usahatani, yaitu: (1) Penerimaan
tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani,
(2) Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk
pembelian barang dan jasa bagi usahatani, (3) Pendapatan tunai usahatani adalah
produk usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang
tidak dijual, (4) Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis
terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang
diperhitungkan, (5) Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan
kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani.
Dalam melakukan analisis
usahatani, diperlukan data-data yang terkait dengan penerimaan dan biaya
usahatani selama jangka waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil

14
perkalian antara jumlah produksi yang diperoleh dengan harga jual dari hasil
produksi tersebut selama jangka waktu tertentu. Sedangkan biaya usahatani adalah
total pengeluaran petani yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani selama jangka
waktu tertentu.
Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost)
dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang
jumlahnya tetap dan dikeluarkan terus menerus tanpa terpengaruh oleh faktorfaktor produksi yang digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Salah satu
contoh dari biaya tetap adalah pajak. Sementara biaya variabel didefinisikan
sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang
digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Salah satu contoh dari biaya
variabel adalah biaya untuk tenaga kerja, dimana penggunaan tenaga kerja yang
lebih banyak akan menyebabkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Pendapatan
usahatani terbagi menjadi pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total
usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan
usahatani dengan biaya tunai usahatani. Sedangkan pendapatan total usahatani
mengukur pendapatan kerja petani dari seluruh biaya usahatani yang dikeluarkan.
Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih penerimaan usahatani dengan
biaya total usahatani.
Analisis R/C rasio merupakan salah satu metode yang dapat digunakan
untuk mengetahui pendapatan usahatani. Dengan dilakukannya analisis R/C rasio,
maka akan diketahui besar penerimaan usahatani yang diperoleh petani untuk
setiap satuan biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Nilai R/C rasio
yang dihasilkan dapat bernilai lebih satu atau kurang dari satu. Jika nilai R/C rasio
lebih besar dari satu, maka setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya
tersebut. Sebaliknya jika nilai R/C rasio lebih kecil dari satu, maka setiap
tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang
lebih kecil daripada tambahan biaya tersebut. Sedangkan jika nilai R/C rasio sama
dengan satu, maka tambahan biaya yang dikeluarkan akan sama besar dengan
tambahan penerimaan yang didapat, sehingga diperoleh keuntungan normal. Pada
dasarnya semakin besar nilai R/C rasio yang didapat menggambarkan semakin
besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap satuan biaya yang
dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani tersebut layak dan
menguntungkan untuk dilakukan.
Kerangka Pemikiran Operasional
Kabupaten Jombang merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur
yang memiliki produksi komoditas padi yang cukup besar, dimana seharusnya hal
tersebut dipertahankan dan bahkan dapat ditingkatkan lagi. Meski demikian,
masih terdapat kendala yang menjerat para petani dan kelompok tani khususnya
Kelompok Tani Ngaren, diantaranya adalah tidak adanya sumber informasi yang
dapat dijadikan referensi oleh petani guna mengetahui informasi harga. Petani
hanya menerima harga jual pada saat panen raya, dimana pada saat panen raya
harga gabah turun dikarenakan stok gabah yang berlimpah. Penurunan harga
gabah saat panen raya juga disebabkan oleh sedikitnya petani yang dapat menunda
hasil penjualannya. Hal in