Analisis Pendapatan Usahatani Padi dengan Memanfaatkan Sistem Resi Gudang Studi Kasus Gapoktan Jaya Tani Indramayu

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

[Depdag] Departemen Perdagangan. 2008. Buku Saku Sistem Resi Gudang. Jakarta : BAPPEBTI, Departemen Perdagangan.

Gandhi. 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Unggul (Studi Kasus Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hasian, DE. 2008. Usahatani dan Tataniaga Kacang Kapri di Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya.

Hidayat. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Tataniaga Jambu Getas Merah Studi Kasus Kelurahan Sukaresmi Tanahsareal Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Indrayani 2008. Analisis Pola Kemitraan Dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat. [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Mariani 2007. Analisis Perbandingan Keuntungan Usahatani Bebas Pestisida dan Padi Anorganik di kecamatan Cigombong. [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Murdani. 2008. Analisis Usahatani dan Pemasaran Beras Varietas Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru (Kasus Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Pemerintah Desa Mangunjaya Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu. 2010. Monografi Desa Mangunjaya Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu. Bogor : Pemerintah Desa Mangunjaya.

Pratama. 2008. Efektivitas Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) (Kasus Petani Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rachmawati. 2003. Analisis Usahatani dan Pemasaran Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang dan Cugenang. [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor


(2)

Saheda, AA. 2008. Preferensi dan Kepuasan Petani Terhadap Benih Padi Varietas Lokal Pandan Wangi di Kabupaten Cianjur [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rachmawati, S. 2003. Analisis Usahatani dan Pemasaran Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang dan Cugenang. [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Soeharjo, A dan D Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Bogorr: Departemen Ilmu-ilmu Sosial ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Soekartawi dan Soeharjo, A. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Perkembangan Petani Kecil. Dillon JL, Hardaker JB, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Farm Management Research for Small Development.

Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia.

Tirtayasa, M.F. 2009. Analisis Pendapatan Usahatani Jambu Biji Petani Primatani di Kota Depok Jawa Barat. [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.


(3)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional dewasa ini salah satunya diprioritaskan pada bidang ketahanan pangan, sehingga pemerintah selalu berusaha untuk menerapkan kebijakan dalam peningkatan hasil produksi pertanian1. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa negara kita dikenal sebagai negara agraris yang mempunyai areal pertanian yang cukup luas, dengan sumber daya alam yang masih perlu digali, dan dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia.

Sasaran utama pembangunan pertanian dewasa ini adalah peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani, karena itu kegiatan di sektor pertanian diusahakan agar dapat berjalan lancar dengan peningkatan produk pangan yang baik. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut, antara lain melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup petani.

Tingkat pendapatan petani secara umum dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu jumlah produksi, harga jual, dan biaya-biaya yang dikeluarkan petani dalam usahataninya. Biaya-biaya tersebut banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang pertanian, sehingga diharapkan pemerintah dapat memberikan perhatian yang lebih intensif terhadap sektor pertanian dalam usaha untuk memperbaiki taraf kehidupan petani.

Pendapatan petani di Indonesia secara umum masih rendah, tetapi petani masih melakukan usaha di bidang petanian seperti sayuran ataupun tanaman pangan, salah satunya adalah padi. Alasan padi masih diusahakan oleh petani di Indonesia karena Indonesia adalah negara dengan penduduk yang mengkonsumsi beras sebagai makanan utama. Dengan demikian, usahatani padi merupakan salah satu komoditi yang mempunyai prospek menambah pendapatan para petani. Hal tersebut dapat memberi motivasi tersendiri bagi petani untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksinya, dengan harapan pada saat panen dapat memperoleh hasil penjualan tinggi guna memenuhi kebutuhannya. Setiap

1

www.batan.go.id/.../ARNBabIIFokusAreaPembangunanNasionalIptek.pdf. Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional IPTEK 2005-2009 [8 Desember 2010]


(4)

musim panen petani sering menghadapi masalah yang sama yaitu anjloknya harga komoditi di pasaran, padahal mereka membutuhkan uang untuk menutupi modal dan pinjaman yang telah dikeluarkan sebelumnya serta untuk memenuhi kebutuhannya.

Untuk memperoleh pendapatan yang memadai, maka petani dituntut kecermatannya dalam mempelajari perkembangan harga agar dapat menentukan pilihan dalam memutuskan untuk menjual atau menahan hasil produksinya. Selain itu, petani juga harus memahami fungsi penyimpanan, fungsi standarisasi mutu dan grading pada produk pertanian agar mampu meningkatkan posisi tawar petani yang akan berdampak pada meningkatnya pendapatan petani.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang berhasil menjadi lumbung padi yang mampu memenuhi kebutuhan akan konsumsi beras dalam negeri setiap tahunnya. Pada tahun 2009, Jawa Barat menjadi provinsi penghasil padi terbanyak di Indonesia sebesar 11.322.681 ton, dengan luas lahan 1.950.203 hektar. Sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 1, dari segi produktivitas, Jawa Barat berada di atas rata±rata produktivitas provinsi di Indonesia, yaitu sebesar 58,06 kuintal per hektar, sedangkan produktivitas rata± rata provinsi di Indonesia hanya 49,99kuintal per hektar. Berdasarkan luas lahan yang digunakan secara produktif untuk usahatani padi, Provinsi Jawa Barat adalah provinsi yang memiliki luas lahan terbesar jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Tabel 1. Lima Besar Provinsi Penghasil Padi di Indonesia dengan Luas Lahan, Produktivitas, dan Total Produksinya Tahun 2009

No Provinsi Luas Lahan(Ha) Produktivitas(Kuintal/Ha)

Produksi (Ton)

1 Sumatera Utara 768.407 45,91 3.527.899

2 Jawa Barat 1.950.203 58,06 11.322.681

3 Jawa Tengah 1.725.034 55,65 9.600.415

4 Jawa Timur 1.904.830 59,11 11.259.085

5 Sulawesi Selatan 862.017 50,16 4.324.178

Sumber : Badan Pusat Statistik, 20102

2


(5)

Berdasarkan data BPS, Indramayu merupakan salah satu wilayah sentra padi di Jawa Barat dengan produksi sekitar 1,03 juta ton atau sekitar 11 persen total produksi padi di Jawa Barat pada tahun 2006. Indramayu selama ini dikenal dengan lumbung padi Jawa Barat. Tingginya produksi padi di Indramayu ini disebabkan oleh luasnya lahan sawah yang ada. Berdasarkan luas wilayah Indramayu yang mencapai 204 ribu ha, sekitar 114 ribu ha (55 persen) di antaranya adalah lahan sawah. Indramayu menempati urutan pertama untuk luas lahan dan produksi padi di Jawa Barat.

Sektor pertanian merupakan salah satu pilar penting penggerak perekonomian Indramayu. Pada tahun 2006 menunjukkan kontribusi sektor ini mencapai 13,37 persen dari total Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Indramayu3. Pembangun sektor ini, selain akan meningkatkan pendapatan perkapita, juga akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat.

Dalam usahatani padi, harga jual menjadi salah satu masalah bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraannya. Selama ini petani dihadapkan dengan permasalahan harga yang mereka terima dirasa lebih rendah dibandingkan dengan harga pasaran yang berlaku. Hal ini dikarenakan informasi harga yang mereka terima terkadang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Selain itu petani tidak memiliki posisi tawar yang tinggi karena petani harus langsung menjual gabahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini menyebabkan petani tidak memiliki pilihan selain menjual hasil taninya tanpa bisa menunggu sampai mendapatkan tawaran harga yang menurut mereka menguntungkan.

Dalam rangka peningkatan posisi tawar petani dan untuk melindungi kepentingan konsumen, pemerintah saat ini mencoba menawarkan suatu sistem pemasaran baru yaitu melalui Sistem Resi Gudang (SRG) dan Pasar Lelang. Sistem Resi Gudang berdasarkan UU No. 9 Tahun 2006 memiliki fungsi penyimpanan dalam sistem pemasaran komoditi pertanian. Resi Gudang (warehouse receipt) merupakan dokumen yang membuktikan bahwa suatu komoditas (contoh : gabah) dengan jumlah dan kualitas tertentu telah disimpan dalam suatu gudang.

3

http://bpmpindramayu.or.id/index.php?module=articles&func=display&ptid=18&aid=16 5. Profil Perekonomian Indramayu. [23 Februari 2011]


(6)

Berdasarkan skema SRG, petani tidak lagi terpaksa harus menjual hasil panennya dengan harga yang rendah, melainkan dapat melakukan tunda jual dengan menyimpan hasil panennya di gudang, memperoleh resi gudang, dan memanfaatkan sebagai agunan untuk memperoleh pinjaman dari perbankan atau lembaga keuangan non bank. Pinjaman tersebut dapat dimanfaatkannya untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, atau membeli bibit melanjutkan kegiatan usahanya, sambil menunggu harga komoditas membaik. Saat harga komoditas membaik, petani dapat menjual atau mengalihkan SRG miliknya, sehingga petani dapat merasakan dan memperoleh keuntungan optimal dari usahanya.

Dalam pelaksanaan skema SRG, cara untuk memanfaatkan SRG tersebut adalah dengan mengikuti beberapa proses terlebih dahulu sebelum dikeluarkan surat dokumen SRG atas komoditas tertentu. Pertama pemilik barang mengajukan permohonan penyimpanan barang kepada pengelola gudang. Jika masih ada ruang yang tersedia untuk meletakkan barang di gudang, maka pengelola gudang akan mengkonfirmasi untuk kepada pemohon SRG. Tahap selanjutnya adalah pembuatan surat perjanjian yang isinya adalah waktu pengujian mutu barang. Setelah disepakati waktu pengujian maka barang diuji oleh Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK). Jika hasil uji mutu sudah sesuai standar yang ditentukan maka barang tersebut siap untuk dimasukkan ke gudang dengan terlebih dahulu sudah mendapat kepastian waktu untuk memasukkan barang. Setelah barang masuk ke gudang, pihak pengelola akan membantu menerbitkan polis asuransi untuk barang yang dititipkan ke gudang. Setelah polis asuransi telah diterbitkan, dokumen SRG akan diterbitkan dan diberikan kepada penyewa gudang.

Pada tahun 2008 di Indramayu telah diresmikan dua buah gudang Sistem Resi Gudang yang dikelola oleh PT. Pertani. Pemilihan Indramayu sebagai percontohan pelaksanaan SRG berdasarkan pertimbangan luas lahan, sehingga Indramayu memiliki potensi yang besar di bidang pertanian yang sangat tepat sebagai prototype penerapan SRG. Pelaksanaan SRG ini dilakukan Menteri Perdagangan bekerjasama dengan Menteri Negara BUMN, Menteri Pertanian dan PT Pertani.


(7)

1.2 Rumusan Masalah

Salah satu desa yang berdekatan dengan lokasi gudang SRG adalah Desa Mangunjaya yang diharapkan memanfaatkan skema SRG tersebut. Bertani di Desa Mangunjaya merupakan mata pencaharian utama penduduk desa. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk Indonesia maka permintaan konsumsi akan beras juga akan meningkat. Meskipun demikian, pendapatan yang diterima oleh petani belum cukup untuk memenuhi kehidupan mereka. Hal ini dikarenakan rata-rata petani di Desa Mangunjaya merupakan petani kecil dengan luas lahan rata-rata kurang dari 0,4 ha.

Petani-petani di Desa Mangunjaya ini kemudian tergabung dalam Gapoktan Jaya Tani untuk mengatasi kendala-kendala yang muncul dalam menjalankan usahatani mereka. Salah satu kendala yang muncul adalah masalah pendanaan usahatani. Di lokasi penelitian petani yang menggunakan metode tebas dalam penjualannya, terkadang tidak mendapat hasil yang sesuai dengan keadaan sebenarnya dari jumlah padi yang dipanen. Hal ini dikarenakan padi petani dalam penjualannya hanya dikira-kira oleh pembeli. Penjualaan kepada tengkulak juga dirasakan petani kurang membantu petani dalam pembiayaan usahatani karena seringnya keterlambatan pembayaran dari waktu yang dijanjikan. Berdasarkan kondisi tersebut, pembangunan SRG yang dikelola oleh PT Pertani diharapkan mampu menjadi salah satu instrumen penting dan efektif sebagai solusi dalam sistem pembiayaan usahatani, khususnya dengan memberikan payung hukum pemberian kredit bagi petani atau pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) terkait dengan kesulitan yang dialami petani dalam pendanaan usahataninya.

Pada tahun 2010 beberapa petani yang tergabung dalam Gapoktan Jaya Tani sudah memanfaatkan SRG dengan mendapatkan harga yang lebih baik daripada petani yang tidak memanfaatkan SRG. Meskipun begitu masih banyak petani lain yang belum mau memanfaatkan SRG karena menurut petani yang belum memanfaatkan SRG mereka tidak melihat perbedaan yang signifikan dari petani yang telah memanfaatkan SRG.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat adalah apakah ada manfaat bagi petani dalam penerapan Sistem Resi Gudang?


(8)

1.3. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah : 1. Membandingkan tingkat pendapatan usahatani padi yang menerapkan Sistem

Resi Gudang dan yang tidak memanfaatkannya.

2. Mengidentifikasi manfaat dari penerapan Sistem ResiGudang bagi petani.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah khususnya dalam hal ini

adalah Pemerintah Daerah Indramayu untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan posisi tawar petani.

2. Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan penulis tentang masalah pertanian khususnya sektor tanaman padi.

3. Sebagai bahan referensi dan perbandingan bagi peneliti berikutnya yang akan melakukan pengkajian masalah yang relevan.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan dengan lingkup regional yaitu di Desa Mangunjaya, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu dengan gabah sebagai komoditi yang diteliti. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah petani yang sudah memanfaatkan SRG dan petani yang belum memanfaatkan SRG yang tergabung dalam Gapoktan Jayatani. Analisis kajian dibatasi untuk melihat perbandingan tingkat pendapatan usahatani padi yang belum dan yang sudah memanfaatkan Sistem Resi Gudang dan melihat manfaat yang diperoleh petani yang telah memanfaatkan SRG.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Usahatani di Indonesia

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor ekonomi yang tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi pada tahun 1998 karena dalam kondisi krisis, sektor ini masih memberikan pertumbuhan yang positif. Menurut data BPS 1999 pertumbuhan nilai ekspor komoditi hasil sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif sebesar 0,22 persen di tahun 1998. Sementara pertumbuhan sektor lain negatif, misalnya pertumbuhan sektor pertambangan dan migas negatif 4,16 persen, dan pertumbuhan sektor industri negatif 12,74 persen (BPS, 1999). Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi.

Pengembangan sektor pertanian termasuk pengembangan industri yang berbasis pertanian merupakan andalan potensial untuk membangkitkan dinamika ekonomi masyarakat di tengah penurunan ekonomi dewasa ini. Pengembangan sektor pertanian beserta program lanjutannya, dalam hal ini agroindustri, memiliki nilai strategis untuk keluar dari krisis ekonomi.

Salah satu sasaran dari pengembangan sektor pertanian adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang sebagian besar masih tergolong penduduk miskin. Berbagai cara telah dilakukan dalam upaya memperbaiki kesejahteraan petani. Beberapa upaya yang telah dilakukan baik dari segi teknis usahatani, seperti sistem bertani organik, penggunaan bibit ungul dan sistem penjualan hasil usahatani. Upaya tersebut dilakukan agar terjadi peningkatan pendapatan petani. Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani adalah dengan menerapkan konsep sistem pertanian terpadu, yaitu mengkombinasikan berbagai macam spesies tanaman dan hewan dan penerapan beraneka ragam teknik untuk menciptakan kondisi yang cocok untuk melindungi lingkungan juga membantu petani menjaga produktivitas lahan mereka dan meningkatkan pendapatan mereka dengan adanya diversifikasi usaha tani. Penggunaan bibit berkualitas bersertifikat juga dapat membantu petani dalam usaha peningkatan pendapatan petani.


(10)

6DKHGD GDODP SHQHOLWLDQQ\D \DQJ EHUMXGXO ³3UHIHUHQVL dan Kepuasan Petani Terhadap Benih Padi Varietas Lokal Pandan Wangi di .DEXSDWHQ &LDQMXU´ \DQJ EHUWXMXDQ XQWXN PHQJLGHQWLILNDVL SURVHV SHQJDPELODQ keputusan para petani terhadap penggunaan benih padi pandan wangi, menganalisis kepuasan para petani terhadap atribut-atribut benih padi pandan wangi, dan menentukan alternatif strategi dalam rangka pencapaian tujuan kepuasan terhadap atribut-atribut benih padi pandan wangi.

Berdasarkan analisis tahap proses pengambilan keputusan petani terhadap pembelian benih bersertifikat dan penggunaan benih tidak bersertifikat padi pandan wangi, diketahui bahwa yang menjadi motivasi para petani untuk menanam benih bersertifikat padi pandan wangi adalah karena harga jual yang tinggi, dan para petani menganggap bahwa penggunaan benih bersertifikat penting untuk digunakan. Sedangkan para petani yang tidak menggunakan benih bersertifikat menganggap bahwa penggunaan benih bersertifikat biasa saja dan sebagian besar petani mengetahui informasi benih padi pandan wangi dan sumber yang dipercaya untuk penggunaan benih berasal dari kelompok tani, diri sendiri dan lainnya yaitu keluarga. Atribut harga jual gabah dijadikan dasar dalam pertimbangan untuk pembelian dan penggunaan benih tidak tidak bersertifikat.

Keputusan dalam cara penjualan hasil usahatani juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam pendapatan usahatani. Pratama (2008) melakukan penelitian yang berjudul Efektivitas Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) (Kasus Petani Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur) dengan tujuan menganalisis efektivitas program DPM-LUEP terhadap stabilitas harga gabah di tingkat petani di Provinsi Jawa Barat, menganalisis dampak kebijakan program DPM-LUEP terhadap tingkat pendapatan petani di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam menjual gabahnya ke LUEP. Dengan membandingkan perkembangan harga yang diterima petani di kecamatan yang mendapat DPM-LUEP dan yang tidak mendapat program diketahui bahwa harga GKP pada kecamatan yang mendapatkan program DPM-LUEP lebih tinggi daripada kecamatan yang tidak mendapatkan program DPM-LUEP.


(11)

Indrayani (2008) dalam penelitiann\D \DQJ EHUMXGXO ³$QDOLVLV 3ROD .HPLWUDDQ 'DODP 3HQJDGDDQ %HUDV 3DQGDQZDQJL %HUVHUWLILNDW´ PHQ\HEXWNDQ bahwa salah satu contoh kegiatan kemitraan agribisnis dibidang pertanian khususnya tanaman pangan adalah antara Gapoktan Citra Sawargi dengan CV. Quasindo. Kemitraan yang terjalin merupakan kemitraan dalam pengadaan beras pandan wangi brsertifikat. Kemitraan ini terjalin sejak April 2007, dengan melibatkan tiga pelaku utama yakni Gapoktan, CV. Quasindo serta Lembaga Sertifikasi Beras.

2.2. Sistem Resi Gudang

Resi Gudang (warehouse receipt) adalah surat berharga berupa dokumen bukti kepemilikan atas barang yang di simpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang yang dapat diperdagangkan, dipertukarkan dalam sistem pembiayaan perdagangan suatu negara. Selain itu, resi gudang juga dapat digunakan sebagai jaminan atau diterima sebagai bukti penyerahan barang dalam rangka pemenuhan kontrak deribatf yang jatuh tempo, sebagaimana terjadi dalam kontrak berjangka. Dengan demikian, SRG dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang. Resi gudang dapat digunakan sebagai agunan karena resi gudang dijamin dengan komoditas tertentu yang berada dalam pengawasan pihak ketiga (Pengelola Gudang) yang terakreditasi. Sistem ini telah dipergunakan secara luas di negara-negara maju atau di negara-negara-negara-negara dimana pemerintah telah mulai mengurangi perannya dalam menstabilisasi harga komoditi, terutama komoditi agribisnis. Beberapa negara yang telah menerapkan SRG antara lain adalah India, Malaysia, Filipina, Ghana, Mali, Turki, Polandia, Meksiko dan Uganda.

Di Indonesia, dalam hal ini Departemen Perdagangan yang diwakili oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) telah menyusun rencana Undang-undang (RUU) tentang Sistem Resi gudang. Pada tanggal 20 Juni 2006, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah menyetujui RUU tersebut menjadi Undang-undang (UU). Presiden RI telah mensahkan UU tersebut sebagai UU nomor 9 tahun 2006 tentang SRG pada tanggal 14 Juli 2006.


(12)

Tujuan diberlakukannya UU tentang SRG adalah untuk memberikan dan meningkatkan akses masyarakat terhadap kepastian hukum, melindungi masyarakat dan memperluas akses mereka untuk memanfaatkan fasilitas pembiayaan usaha. UU Sistem Resi Gudang memberikan manfaat terutama bagi pengusaha kecil dan menengah, petani dan kelompok tani, perusahaan pengelola gudang, perusahaan pemberi pinjaman dan bank untuk mengakses permodalan guna meningkatkan usahanya.

SRG merupakan terobosan instrument penjamin pengganti fixed asset. Hal ini dikarenakan resi gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang dan dapat digunakan sebagai dokumen penyerahan barang, sebagai document of title, maka resi gudang dapat dijadikan sebagai jaminan utang sepenuhnya tanpa perlu dipersyaratkan adanya jaminan lain. Ketentuan ini diharapkan akan sangat membantu usaha kecil dan menengah, petani serta kelompok tani yang selama ini mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses kredit, karena pada umumnya mereka tidak memiliki fixed asset untuk dijadikan sebagai agunan.

Dalam penerapan SRG, terdapat beberapa pihak yang terkait dalam penerbitan resi gudang. Lembaga pertama adalah pengelola gudang. Pengelola gudang adalah pihak yang melakukan usaha perdagangan, baik gudang milik sendiri maupun milik orang lain yang melakukan penyimpanan, pemeliharaan dan pengawasan yang disimpan oleh pemilik barang. Lembaga ini dipersyaratkan harus berbentuk badan usaha hukum dan telah mendapat persetujuan dari BAPPEBTI. Dalam pelaksanaanya, pengelola gudang wajib membuat perjanjian pengelolaan secara tertulis baik dengan pemilik barang, yang sekurang-kurangnya memnuat identitas serta hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu penyimpanan, deskripsi barang dan asuransi. Daftar pengelola SRG yang telah mendapat persetujuan dari BAPPEBTI dapat dilihat di Tabel 2.


(13)

Tabel 2. Daftar Pengelola Gudang SRG yang Mendapat Persetujuan BAPPEBTI. No Pengelola Gudang Alamat Kantor Pusat

1. PT. Bhanda Ghara Reksa (BGR)

Jalan Kali Besar Timur Nomor 5-7, Jakarta 11110.

2. PT. Pertani Jalan Pertani Nomor 1 ± 7 Durentiga Pancoran Jakarta Selatan 12760

3. PT. Petindo Daya Mandiri Jalan Cempaka Putih Timur No. 3 Jakarta Pusat 10510.

4. PT. Sucofindo Graha Sucofindo, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 DKI Jakarta 12780

5. PT. Reksa Guna Interservice

Gd. Dana Graha Lt. 2 Jl. Gondangdia Kecil No. 12-14 Jakarta Pusat 10350

6. Koperasi Tani Bidara Tani Jalan A. Yani Nomor 84, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur

Sumber : BAPPEPTI 2008

Lembaga kedua adalah Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK). LPK adalah suatu lembaga terakreditasi yang melakukan kegiatan penilaian untuk membuktikan bahwa persyaratan tertentu mengenai produk, sistem, proses, dan atau sumber daya manusia yang dimiliknya telah terpenuhi dan sesuai dengan standar. Kegiatan penilaian kesesuaian ini mencakup lembaga inspeksi, laboratorium penguji dan lembaga sertifikasi sistem mutu. LPK yang mendapat persetujuan dari BAPPEBTI seluruhnya diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Kegiatan penilaian kesesuaian yang dilakukan mencakup kegiatan sertifikasi, inspeksi dan pengujian yang berkaitan dengan barang, gudang dan pengelola gudang.

Penyimpanan barang di gudang sangat erat kaitannya dengan konsistensi mutu barang yang disimpan, sehingga perlu disiapkan sistem penilaian kesesuaian yang dapat menjamin konsistensi mutu barang yang disimpan. Sertifikat yang diterbitkan oleh LPK memuat nomor dan tanggal penerbitan, identitas pemilik barang, jenis dan jumlah barang, sifat barang, metode pengujian mutu barang, tingkat mutu dan kelas barang, jangka waktu mutu barang dan tanda tangan pihak yang berhak mewakili lembaga. Daftar Daftar Lembaga Penilaian Kesesuaian yang telah mendapat persetujuan dari BAPPEBTI bisa dilihat pada Tabel 3.


(14)

Tabel 3. Daftar Lembaga Penilai Kesesuaian yang mendapat persetujuan dari BAPPEBTI.

NO LPK Alamat

1 Inspeksi Gudang (Penunjukan

Kabappebti)

a. PT. Bhanda Ghara Reksa (Persero)

Jalan Kali Besar Timur Nomor 5-7, Jakarta 11110.

b. PT. SUCOFINDO Graha Sucofindo, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 Jakarta 12780 2. Sertifikat

Manajemen Mutu

PT. SUCOFINDO Graha Sucofindo, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 Jakarta 12780 3. Uji Mutu

Komoditi

a. PT. SUCOFINDO (Lada, Kopi, Kakao)

Graha Sucofindo, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 Jakarta 12780

b. BPSMB

&TEMBAKAU SURABAYA

(Kopi, Lada, Kakao dan Karet)

Jl. Gayung Kebonsari Dalam No. 12 A Surabaya

c. BPSMB

MAKASSAR (Kopi, dan Lada)

Jl. A. Pattarani Makassar 90222

4. Uji Mutu Komoditi Penunjukan Kabappebti a. BPSMB &TEMBAKAU SURABAYA (Gabah)

Jl. Gayung Kebonsari Dalam No. 12 A Surabaya b. UJASTASMA PROBIS PERUM BULOG SUBDIVRE KAB. BANYUMAS (Gabah)

Jl. Jend. Sudirman No. 829 Purwokerto ± Jateng

Sumber : BAPPEBTI 2008

Lembaga ketiga adalah pusat registrasi yang melakukan penatausahaan Resi Gudang dan Derivatif resi Gudang yang meliputi pencatatan, penyimpanan, pemindah bukuan kepemilikan, pembebanan hak jaminan, pelaporan, seta penyediaan sistem dan jaringan informasi. Penatausahaan dilakukan untuk menjamin keamanan dan keabsahan setiap pengalihan dan pembebanan hak jaminan atas Resi gudang, karena setiap pihak yang menerbitkan, mengalihkan dan melakukan pembebanan hak jaminan atas resi gudang wajib melaporkannya kepada Pusat Registrasi. Berdasarkan sistem ini, pemerintah melalui Pusat


(15)

Registrasi dapat memantau pengalihan dan pembebanan hak jaminan atas resi gudang, mencegah terjadinya penjaminan ganda dan melakukan tersediannya stok nasional untuk komoditi tertentu. Pusat Registrasi yang telah mendapat Persetujuan dari BAPPEBTI adalah PT. Kliring Berjangka Indonesia.

Lembaga terakhir adalah Badan Pengawas Resi Gudang. Badan ini merupakan unit organisasi di bawah Menteri Perdagangan yang diberi wewenang untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan SRG. Badan ini antara lain berwenang memberikan persetujuan sebagai Pengelola Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian dan Pusat Registrasi. Saat ini tugas, fungsi dan kewenangan tersebut dilaksanakan oleh BAPPEBTI.

Adapun syarat komoditi yang dapat diresi gudangkan antara lain memiliki daya tahan simpan minimal tiga bulan, memilik standar mutu nasional dan memiliki struktur pasar terbuka. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 26/M-DAG/PER/6/2007 tentang Barang Yang Dapat Disimpan di Gudang Dalam Penyelenggaraan Sistem Resi Gudang hingga saat ini baru terdapat delapan komoditi yang dapat diresi gudangkan yaitu: Gabah, Beras, Jagung, Kopi, Kakao, Lada, Karet, dan Rumput Laut. Setiap komoditi yang akan disimpan di gudang harus memenuhi persyaratan standar mutu tertentu yang berlaku untuk komoditi yang bersangkutan untuk memperoleh Resi Gudang. Contoh nilai standar mutu gabah berdasarkan SNI bisa dilihat pada Tabel 4.


(16)

Tabel 4. Standar Mutu Komoditi Gabah Seperti Tercantum dalam SNI 01-0224-1987.

No Jenis Uji Satuan

Persyaratan

MUTU I MUTU II MUTU III

1 Kadar Air % maks. 14.0 14.0 14.0 2. Gabah Hampa % maks. 1.0 2.0 3.0 3. Butir Rusak + Butir

Kuning

% maks. 2.0 5.0 7.0

4. Butir Mengapur + Gabah Muda

% maks. 1.0 5.0 10.0

5. Butir Merah % maks. 1.0 2.0 4.0 6. Benda Asing % maks. - 0.5 1.0 7. Gabah Varietas lain % maks. 2.0 5.0 10.0 Sumber : BAPPEBTI 2008

Untuk mendapatkan Resi Gudang Petani terlebih dahulu mendatangi Pengelola Gudang dengan membawa komoditi yang akan diresigudangkan. Sebelum masuk gudang, komoditi tersebut terlebih dahulu diuji mutu dan kuantitasnya oleh LPK yang ada di Gudang atau Kantor Pengelola Gudang. Sementara itu Pengelola Gudang akan membuat perjanjian pengelolaan barang yang berisi deskripsi barang dan asuransi. Diskripsi barang dibuat berdasarkan sertifikat hasil uji mutu yang dikeluarkan oleh LPK.

Surat perjanjian pengelolaan barang yang telah ditandatangani, selanjutnya Pengelola Gudang akan menghubungi Pusat Registrasi untuk meminta kode registrasi. Pengelola Gudang dapat langsung menerbitkan Dokumen Resi Gudang tepat setelah menerima kode registrasi dari Pusat Registrasi. Dokumen Resi Gudang yang sah akan mencantumkan informasi antara lain judul dan jenis komoditi, nama pemilik komoditi, lokasi gudang, tanggal penerbitan, nomor penerbitan, nomor registrasi, deskripsi barang (kuantitas dan kualitas), waktu jatuh tempo, biaya simpan, nilai barang dan harga pasar.

2.3. Kajian Empiris Mengenai Usahatani

Rachmawati (2003) dan Gandhi (2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa usahatani padi yang dilakukan oleh petani pemilik lahan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan petani penggarap. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rasio R/C atas biaya tunai maupun biaya total petani


(17)

pemilik (3,14 dan 1,35) yang lebih besar dari petani penggarap (1,19 dan 1,18) pada penelitian Rachmawati dan nilai rasio R/C atas biaya tunai maupun biaya total petani pemilik (2,42 dan 1,19) yang lebih besar dari petani penggarap (1,07 dan 1,88) pada penelitian Gandhi. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat diketahui bahwa usahatani yang dilakukan, baik oleh petani pemilik maupun petani penggarap, masih menguntungkan karena rasio R/C atas biaya tunai maupun biaya totalnya lebih besar dari satu.

Hidayat (2010) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa pendapatan usahatani jambu getas merah di Kelurahan Sukaresmi dikelompokkan berdasarkan status penguasaan lahan yaitu petani pemilik lahan dan petani penyewa lahan. Pendapatan atas biaya tunai per hektar per tahun yang diterima petani pemilik lahan yaitu Rp 12.727.000,00 lebih besar daripada pendapatan atas biaya tunai per hektar per tahun yang diterima petani penyewa lahan yaitu Rp 9.056.000,00. Begitu pula berdasarkan perhitungan pendapatan atas biaya total, maka pendapatan atas biaya total per hektar per tahun yang diterima petani pemilik lahan yaitu Rp 8.146.666,67 lebih besar daripada pendapatan atas biaya total per hektar per tahun yang diterima petani penyewa lahan yaitu Rp 8.047.333,33. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani pemilik lahan dan petani penyewa lahan menguntungkan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rasio R/C atas biaya tunai maupun biaya total petani pemilik lahan yang lebih tinggi (2,69 dan 1,67) dari biaya tunai petani maupun biaya total penyewa lahan (1,81dan 1,66).

Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pada penelitian Rachmawati, Gandhi dan Hidayat. Persamaan penelitian yang diteliti oleh Rachmawati, Gandhi dan Hidayat adalah analisis usahatani dengan rasio R/C petani pemilik lahan lebih besar daripada rasio R/C petani penggarap baik atas biaya tunai maupun biaya total. Perbedaan penelitian ini adalah jenis komoditi yang diteliti yaitu jambu merah yang diteliti oleh Hidayat, dan padi yang diteliti oleh Rachmawati dan Gandhi.

Terdapat beberapa persamaan dalam metode penelitian yang digunakan pada beberapa studi terdahulu seperti pada Rachmawati (2003) dan Murdani (2008). Pada Rachmawati (2003) menggunakan metode analisis R/C rasio, margin tataniaga, dan IDUPHU¶V 6KDUHdalam menganalisis penelitiannya mengenai topik


(18)

penelitian usahatani dan tataniaga. Pada penelitian mereka tidak menggunakan analisis lembaga dan fungsi tataniaga, sehingga kurang memberikan gambaran kondisi tataniaga karena penelitian lebih kuantitatif. Begitu pula pada penelitian Murdiani (2008) yang menggunakan metode analisis yang sama dalam menganalisis penelitiannya yaitu analisis pendapatan usahatani, rasio R/C, marjin tataniaga,dan IDUPHU¶V VKDUHWalaupun pada kedua penelitian tersebut analisis usahatani lebih dalam karena menambahkan analisis pendapatan usahatani, namun analisis tataniaga terutama kondisi kualitatif seperti fungsi tataniaga dan analisis lembaga tataniaga kurang dibahas secara komperhensif.

Pada penelitian Gandhi (2008) dan Hidayat (2010), merupakan penelitian yang menggunakan metode analisis yang paling lengkap dalam menganalisis penelitian untuk topik usahatani dan tataniaga. Keduanya melakukan analisis kuantitatif yang baik dalam analisis usahatani dan tataniaga, juga melakukan analisis kualitatif tataniaga dengan baik.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah alat analisis yang digunakan sama dengan yang digunakan oleh Gandhi (2008) dan Hidayat (2010). Perbedaan ini dengan penelitian terdahulu adalah jenis komoditas yang dianalisis yaitu gabah, dan juga metode penjualan yang digunakan yaitu metode tunda jual dengan memanfaatkan Sistem Resi Gudang. Penelitian ini berusaha menganalisis perbandingan tingkat pendapatan usahatani petani yang tidak memanfaatkan Sistem Resi Gudang dan yang sudah memanfaatkannya, pendapatan usahatani dengan pendekatan penerimaan dan biaya usahatani, dan R/C rasio untuk melihat tingkat efisiensi usahatani padi yang sudah memanfaatkan Sistem Resi Gudang dan sistem konvensional. Melalui analisis efisiensi dapat diketahui metode mana yang memberikan lebih banyak keuntungan bagi petani.


(19)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Usahatani

Menurut Hernanto (1989) mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini ketatalaksanaanya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat genologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolanya. Menurut Soeharja dan Patong (1973), usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan atau sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan. Menurut Hernanto (1989) ada empat unsur pokok dalam usahatani yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi yaitu :

1. Tanah

Tanah merupakan faktor produksi yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lain, distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu, tanah memiliki beberapa sifat yaitu : (1) luasnya relatif tetap atau dianggap tetap, (2) tidak dapat dipindah-pindahkan dan (3) dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Tanah usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan dan sawah. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur atau tumpangsari.

2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam usahatani digolongkan kedalam tiga jenis yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan,


(20)

ketrampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam. Oleh karena itu dalam prakteknya, digunakan satuan ukuran yang umum untuk mengatur tenaga kerja yaitu jumlah jam dan hari kerja total. Ukuran ini menghitung seluruh pencurahan kerja mulai dari persiapan hingga pemanenan dengan menggunakan inventarisasi jam kerja (1 hari = 7 jam kerja) lalu dijadikan hari kerja total (HK total). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu : 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP) ; 1 wanita = 0,7 HKP ; 1 ternak = 2 HKP dan 1 anak = 0,5 HKP. Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam dan luar keluarga.

3. Modal

Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta manajemen menghasilkan barang-barang baru yaitu produksi pertanian. Dalam usahatani, yang dimaksud dengan modal adalah tanah, bangunan, alat-alat pertanian, tanaman, ternak, ikan di kolam, bahan-bahan pertanian, piutang di bank, serta uang tunai. Menurut sifatnya, modal dibedakan menjadi dua yakni modal tetap yang meliputi tanah bangunan dan modal tidak tetap yang meliputi alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman, ternak, ikan di kolam. Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/keluarga/tetangga), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa.

4. Manajemen

Manajemen usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dengan sebaik-baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sedemikian rupa sebagaimana yang diharapkan. Pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknik dan ekonomis perlu dilakukan untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil. Prinsip teknis tersebut meliputi : (a) perilaku cabang usaha yang diputuskan; (b) perkembangan teknologi; (c) tingkat teknologi yang dikuasai; (d) daya dukung faktor yang dikuasai dan (e) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasar pengalaman orang lain. Prinsip ekonomis antara lain : (a) penentuan


(21)

perkembangan harga; (b) kombinasi cabang usaha; (c) pemasaran hasil; (d) pembiayaan usahatani; (e) penggolongan modal dan pendapatan dan (f) ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim.

Pengelolaan usahatani pada dasarnya terdiri dari pemilihan antara berbagai alternatif penggunaan sumberdaya yang terbatas yang terdiri dari lahan, kerja, modal, waktu dan pengelolaan. Hal ini dilakukan agar ia dapat mencapai tujuan sebaik²baiknya dalam lingkungan yang penuh resiko dan kesukaran-kesukaran lain yang yang dihadapi dalam melaksanakan usahataninya (Soekartawi, 1986). Seorang penyuluh pertanian memiliki peran yang penting dalam memberikan petunjuk kepada petani dengan cara membantu petani melihat permasalahannya, menganalisis permasalahan tersebut dan mengambil keputusan dengan benar.

Lebih lanjut Soekartawi (1986) menambahkan bahwa terdapat kaitan yang sangat erat antara ilmu usahatani dengan ilmu ekonomi. Hal ini dikarenakan ilmu usahatani pada dasaranya memperhatikan cara-cara petani dalam memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu dan pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya, maka disiplin induknya adalah ekonomi. Penelitian usahatani dianggap mempunyai sifat multi disiplin karena harus memperhatikan informasi, prinsi dan teori dari ilmu yang sangat erat kaitannya, seperti sosiologi dan psikologi maupun berbagai bidang ilmu tanaman dan ilmu hewan. Menurut Soekartawi (1986) umumnya penelitian usahatani merupakan penelitian terapan dan mempunyai salah satu atau kedua tujuan umum di bawah ini:

1. Menyediakan informasi yang dapat membantu petani dalam mengelola usahataninya sehingga mereka lebih mampu mencapai tujuannya.

2. Memberikan informasi kepada pemerintah mengenai petani dan pengelolaannya sehingga membantu di dalam perumusan kebijsanaan dan perencanaan pembangunan yang lebih baik.

3.1.2. Keuntungan Usahatani

Terdapat dua jenis keuntungan suatu usahatani, yaitu yang dapat dihitung secara ekonomi (tangible) dan yang tidak dapat dihitung ke dalam satuan uang


(22)

(intangible). Keuntungan ekonomi adalah keuntungan berupa besar atau tidaknya pendapatan dan efisien atau tidaknya suatu penelitian yang digambarkan oleh nilai rasio R/C nya. Keuntungan non ekonomi terdiri dari kesuburan lingkungan, pemandangan yang menjadi indah dan sebagainya.

Keberhasilan suatu usahatani dapat dilihat dari besarnya pendapatan yang diperoleh petani dalam mengelola usahataninya. Pendapatan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai selisih pengurangan dari nilai penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan dalam proses usahatani. Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh dari penggunaan faktor-faktor produksi, karena itu pendapatan usahatani merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dipakai untuk membandingkan keragaan beberapa usahatani (Mariani, 2007).

Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua komponen pokok yaitu penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditentukan. Kegunaan anailisi ini adalah untuk menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan dan menggambarkan keadaan di masa yang akan datang dari perencanaan atau tindakan (Soeharjo dan Patong, 1973)

Menurut Soekartawi (1986), penerimaan usahatani adalah suatu nilai produk total dalam jangka waktu tertentu baik untuk dijual maupun untuk dikonsumsi sendiri. Penerimaan usahatani mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, untuk pembayaran dan yang disimpan. Penerimaan dinilai berdasarkan perkalian antara total produk dengan harga pasar yang berlaku, sedangkan pengeluaran atau biaya usahatani merupakan nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang dibebankan kepada produk yang bersangkutan. Selain biaya tunai yang harus dikeluarkan ada pula biaya yang diperhitungkan, yaitu nilai pemakaian barang dan jasa yang dihasilkan dan berasal dari usahatani itu sendiri. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk memperhitungkan berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.

Penerimaan usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, sedangkan pengeluaran usahatani adalah nilai semua input yang habis terpakai dalam proses produksi tetapi tidak termasuk biaya tenaga kerja kerluarga. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayar dengan uang,


(23)

seperti biaya pembelian saran produksi, biaya untuk membayar tenaga kerja. Pengeluaran yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika bunga modal dan nilai kerja kerluarga diperhitungkan (Soeharjo dan Patong, 1973).

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Salah satu masalah yang dihadapi negara Indonesia sekarang ini adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang dilakukan melalui pembangunan di berbagai bidang, salah satunya adalah bidang pertanian. Hal ini bisa dilihat dengan semakin banyak digalakkannya pembangunan di bidang pertanian utamanya sub sektor pangan. Salah satu sub sektor pangan adalah usahatani padi. Petani padi dalam melakukan proses produksi untuk menghasilkan output, diperlukan biaya pengeluaran-pengeluaran yang digunakan dalam mempertahankan kelangsungan proses produksi tersebut.

Dalam usahatani padi diharapkan adanya peningkatan pendapatan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan petani padi pada khususnya. Hal ini menjadi salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat yaitu adanya peningkatan pendapatan dari petani tersebut.

Dalam usaha meningkatkan pendapatan usaha tani padi, pemerintah mengeluarkan salah satu kebijakan baru yaitu Sistem Resi Gudang (SRG). Namun pada pelaksanaannya belum banyak petani di Indonesia yang sudah memanfaatkan peraturan ini. Salah satu Resi Gudang tersebut berada di daerah Indramayu, Jawa Barat. Tujuan dibangunnya Gudang tersebut di Indramayu karena Indramayu merupakan sentra penghasil padi di Jawa Barat, dimana Jawa Barat merupakan wilayah penghasil padi terbanyak di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah terdapat perbedaan pendapatan usahatani petani padi di Kecamatan Anjatan Indramayu yang telah memanfaatkan SRG dengan petani yang belum memanfaatkannya. Oleh karena itu, dengan adanya penelitian yang membandingkan konsep usahatani konvensional dan yang memanfaatkan Resi Gudang ini diharapkan dapat membantu pihak terkait khususnya petani dalam pengambilan keputusan untuk menjalankan atau menerapkan sistem usahatani yang mana yang lebih


(24)

menguntungkan bagi petani. Adapun bagan kerangka operasional dapat dilihat pada Gambar 1.


(25)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Usahatani Gabah dengan Memanfaatkan Sistem Resi Gudang Studi Kasus Gapoktan Jayatani Indramayu

Pendapatan yang diperoleh petani gapoktan Jayatani rendah.

Petani SRG

Manfaat non ekonomis Manfaat ekonomis

Analisis Pendapatan Usahatani

xAnalisis keragaan usahatani

xAnalisis pendapatan usahatani

- Penerimaan usahatani

- Biaya usahatani

xAnalisis efisiensi usahatani

Rekomendasi kepada petani dan pemerintah tentang pemanfaatan Sistem Resi Gudang dalam usahatani di Desa Mangunjaya Indramayu

xUpaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

xPembangunan di bidang pertanian sub sektor pertanian pangan.

xPeraturan pemerintah tentang Sistem Resi Gudang.

xJawa Barat merupakan sentra penghasil padi di Indonesia.

xPembangunan Gudang di Indramayu J B t


(26)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mangunjaya, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat dengan responden para petani yang sudah memanfaatkan Sistem Resi Gudang dan para petani yang belum memanfaatkan sitem tersebut yang tergabung dalam Gapoktan Jayatani. Pemilihan lokasi ditentukan atas dasar pertimbangan bahwa daerah tersebut dekat dengan letak Gudang Resi Gudang yang ada di Indramayu. Penelitian lapang dilakukan selama tiga bulan, dimulai pada bulan April 2011 sampai bulan Juli 2011 untuk pengumpulan data. Karena pada saat tersebut di wilayah Desa Mangunjaya dalam musim panen dan menunggu hasil penjualan gabah yang ada di gudang SRG.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan digunakan sebagai sumber data dan informasi adalah sebagai berikut :

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat dari pengamatan langsung ke lapangan, yaitu hasil wawancara dengan petani responden yang belum dan sudah memanfaatkan SRG dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner).

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan pendukung data primer yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu, PT. Pertani selaku pengelola gudang, dan instansi-instansi terkait lainnya. Data sekunder juga diperoleh melalui beberapa literatur berupa data pemanfaatan SRG yang pernah dilakukan berkaitan dengan kegiatan penelitian.


(27)

4.3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara melalui pengisian kuisioner yang pertanyaanya disampaikan kepada petani responden. Penentuan petani responden dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu pengambilan contoh secara acak (stratified sampling) untuk petani yang belum memanfaatkan SRG dan metode teknik sensus untuk petani yang sudah memanfaatkannya.

Pengambilan petani responden didasarkan pada petani yang tergabung didalam suatu gabungan kelompok tani. Jumlah responden yang diambil sebanyak 33 orang petani responden yang terdiri dari 29 petani yang belum memanfaatkan SRG dan empat orang petani responden yang sudah memanfaatkan SRG. Jumlah responden untuk petani yang belum memanfaatkan SRG diambil berdasarkan kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Jaya Tani yang menanam padi. Kemudian setelah dibagi menjadi lima kelompok tani, untuk menentukan contoh di tiap kelompok tani dilakukan dengan cara acak dan didapat 29 orang petani responden. Sementara itu pemilihan petani yang telah memanfaatkan SRG sebanyak empat petani karena dalam Gapoktan tersebut hanya empat petani tersebut saja yang memanfaatkan SRG dengan menggunakan metode teknik sensus.

4.4. Teknik Analisa Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif, kemudian dilalanjutkan dengan pengolahan dan analisis data. Analisis kualitatif dilakukan bertujuan untuk menganalisis keragaan usahatani gabah di Desa Cipancuh sedangkan analisis kuantitatif bertujuan untuk menganalisis pendapatan usahatani yang sudah memanfaatkan Sistem Resi Gudang dan yang belum memanfaatkanya berdasarkan penerimaaan dan biaya usahatani yang dikeluarkan, sedangkan R/C rasio digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani.

Penerimaan total usahatani (total farm revenue) merupakan nilai produk dari usahatani yaitu harga produk dikalikan dengan total produksi periode tertentu. Total biaya atau pengeluaran adalah semua nilai faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan suatu produk dalam periode tertentu. Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dengan


(28)

pengeluaran total. Rumus penerimaan, total biaya dan pendapatan adalah (Soekartawi, 1986) :

TR = P x Q

TC = biaya tunai + biaya diperhitungkan ʌDWDVELD\DWXQDL = TR - biaya tunai

ʌDWDVELD\DWRWDO = TR ± TC Keterangan :

TR : total penerimaan usahatani yang dijual dalam bentuk gabah (Rp) TC : total biaya usahatani (Rp)

P : harga output (Rp/Kg) Q : jumlah output (Kg)

ʌ : pendapatan atau keuntungan (Rp)

Pendapatan dianalisis berdasarkan biaya tunai dan biaya tidak tunai atau biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai digunakan untuk melihat seberapa besar likuiditas tunai yang dibutuhkan petani untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Biaya tidak tunai digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika penyusutan, sewa lahan dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.

Salah satu ukuran efisiensi penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio) adalah analisis R/C. Analisis R/C rasio dalam usahatani menunjukkan perbandingan antara nilai output terhadap nilai inputnya yang bertujuan untuk mengetahui kelayakan dari usahatani yang dilaksanakan. Selain itu R/C rasio juga merupakan perbandingan antara penerimaan dengan pengeluaran usahatani. Rasio R/C yang dihitung dalam analisis ini terdiri dari R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total. Rasio R/C atas biaya tunai dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya tunai dalam satu periode tertentu. Rasio R/C atas biaya total dihitung dengan membandingkan antara penerimaan total dengan biaya total dalam satu periode tertentu. Rumus analisis imbangan penerimaan dan biaya usahatani adalah sebagai berikut (Soekartawi, 1986) :

R/C rasio atas biaya tunai = TR / biaya tunai R/C rasio atas biaya total = TR / TC


(29)

Keterangan :

TR : total penerimaan usahatani (Rp) TC : total biaya usahatani (Rp)

Secara teoritis R/C menunjukkan bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan memperoleh penerimaan sebesar nilai R/C. Suatu usaha dapat dikatakan menguntungkan dan layak untuk diusahakan apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu (R/C > 1), makin tinggi nilai R/C menunjukkan bahwa penerimaan yang diperoleh semakin besar. Namun apabila nilai R/C lebih kecil dari satu (R/C < 1), usaha ini tidak mendatangkan keuntungan sehingga tidak layak untuk diusahakan (Soekartawi, 1986).

Tabel 5. Contoh Perhitungan Pendapatan Usahatani dan R/C Rasio per Hektar per Tahun Tanaman Tahunan

No Keterangan Jumlah Harga per

Satuan (Rp)

Total (Rp) A Penerimaan

B Biaya tunai

1 Bibit 2 Pupuk 3 Obat-obatan

4 Tenaga kerja luar keluarga 5 Irigasi

Total biaya tunai

C Biaya yang diperhitungkan

1 Penyusutan

2 Sewa lahan

3 Tenaga kerja keluarga

Total biaya yang diperhitungkan D Total biaya (B+C)

E Pendapatan atas biaya tunai (A-B) F Pendapatan atas biaya total (A-D) G R/C atas biaya tunai (A/B)


(30)

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Wilayah dan Topografi

Desa Mangunjaya memiliki wilayah administratif dengan batas wilayah yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Cilandak, sebelah selatan dengan Desa Bugis Tua, sebelah barat dengan Mekarjaya Kabupaten Subang, dan sebelah timur dengan Desa Bugis. Desa Mangunjaya memiliki luas wilayah sebesar 11.063,37 hektar dan dihuni oleh 6.428 jiwa penduduk (Monografi Desa Mangunjaya, 2010).

Topografi Desa Mangunjaya memiliki rata-rata ketinggian 200 meter dari permukaan laut. Desa Mangunjaya memiliki kondisi iklim yang cukup tinggi dengan suhu rata-rata tiap bulan mencapai 29,5°C dengan suhu terendah 25°C dan suhu tertinggi 34°C. Tingkat kelembaban udara yang dimiliki yaitu sebesar 70 persen dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 2000 mm dan curah hujan tertinggi berada pada bulan Januari dan Februari. Kondisi alam tersebut mendukung potensi agribisnis pada Desa Mangunjaya, seperti padi dan tanaman palawija.

Padi merupakan salah satu potensi agribisnis yang sangat potensial untuk dikembangkan di Desa Mangunjaya dimana luas lahan sawah di Desa Mangun jaya yang mencapai 480 hektar atau sekitar 4,3 persen dari total luas wilayah. Selain padi, hortikultura merupakan salah satu potensi agribisnis yang dapat dikembangkan lagi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

5.2 Sosial Ekonomi Masyarakat

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa persebaran jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Mangunjaya terdapat 12 jenis pekerjaan, dimana sektor pertanian menempati peringkat pertama dengan total 4.213 penduduk atau 65,64 persen dari total penduduk Desa Mangunjaya. Hal ini menunjukkan bahwa bidang pertanian memiliki potensi yang besar dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM) untuk dapat berkembang lagi. Jumlah penduduk paling banyak terdapat pada tingkat usia kerja di bidang pertanian dan diikuti dengan penduduk di usia sekolah.


(31)

Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan Warga Desa Mangunjaya Berdasarkan Lokasi Dusun Tahun 2010 (Orang)

Jenis Pekerjaan

Lokasi

Persentase (%)

No Mangunsari Bodas Karangjaya Jumlah

1 PNS 7 9 6 22 0,37

2 TNI/Polri 0 0 2 2 0,04

3 Pensiunan 0 0 1 1 0,02

4 Wiraswasta 2 31 41 73 1,14

5 Industri kecil 7 1 5 13 0,20

6 Pedagang 14 51 50 115 1,80

7 Nelayan 0 0 0 0 0

8 Petani 708 644 699 2.051 31,94

9 Buruh tani 793 674 695 2.162 33,70

10 Pelajar 362 504 491 1.357 21,20

11 Mahasiswa 16 12 11 39 0,64

12 Lain-lain 294 129 152 575 8,95

Total 6.428 100

Sumber: Badan Keswadayaan Masyarakat Desa Mangunjaya 2010

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa di Desa Mangunjaya masih banyak warga yang tidak bersekolah, yaitu sebanyak 444 orang (20,96 persen). Jumlah penduduk paling banyak terdapat pada tingkat pendidikan SD, yaitu sebanyak 706 orang (33,33) warga. Tingkat pendidikan paling tinggi adalah perguruan tinggi sebanyak 139 orang (6,56 persen). Hal ini menunjukkan bahwa di Desa Mangunjaya kesadaraan akan pentingnya pendidikan masih rendah.


(32)

Tabel 7. Data Usia Sekolah Warga Desa Mangunjaya Berdasarkan Lokasi Dusun Tahun 2010 (Orang).

Tingkat Pendidikan

Lokasi

Jumlah

Persentase (%) No Mangunsari Bodas Karangjaya

1 Belum Sekolah 66 182 78 326 15,40

2 TK 12 18 20 50 2,36

3 SD 254 190 262 706 33,33

4 SLTP 48 29 96 173 8,17

5 SLTA 160 85 35 280 13,22

6 PT 16 112 11 139 6,56

7 Tidak Sekolah 39 141 264 444 20,96

Jumlah 595 757 766 2118 100

Sumber: Badan Keswadayaan Masyarakat Desa Mangunjaya 2010

Aktivitas usahatani yang dilakukan oleh petani di Desa Mangunjaya terdiri dari dua jenis komoditas utama, yaitu padi dan hortikultura. Tanaman hortikultura yang menjadi produk andalan adalah tanaman jeruk nipis.

5.3. Gudang Sistem Resi Gudang Indramayu

Gudang SRG terletak di Desa Cipancuh, Kecamatan Haurgeulis Kabupaten Indramayu. Gudang SRG ini dibangun pada tahun 2008 sebanyak dua gudang yang dikelola oleh PT Pertani. Dalam pelaksanaannya gudang SRG ini dibagi menjadi dua, yang pertama dijadikan gudang untuk menyimpan komoditi beras dan yang satu lagi dijadikan sebagai tempat penyimpanan komoditi gabah. Kapasitas gudang SRG di Indramayu sebesar 3500 ton untuk masing-masing gudang. Pada tahun 2011 jumlah komoditi yang disimpan di gudang SRG telah mencapai 861,6 ton dengan perincian 350 ton beras milik petani, 200 ton gabah milik petani, 53,6 ton gabah milik gapoktan, 98 ton gabah milik poktan dan 160 ton gabah milik koperasi.

Untuk bisa menjadi gudang SRG suatu gudang harus memiliki persyaratan umum seperti adanya akses jalan, bebas banjir dan longsor. Adapaun berdasarkan peraturan Kepala BAPPEBTI 03/ BAPPEBTI/ PER-SRG/ 7/2007, suatu gudang harus memiliki persyaratan teknis sebagai berikut:


(33)

1. Konstruksi : Kerangka, atap, dinding, talang air, pintu dan lantai.

2. Fasilitas : Lorong-lorong air, listrik, hydrant, penangkal petir dan kantor. 3. Peralatan : Timbangan, palet, hygrometer, thermometer, tamgga staple dan

pemadam.

Dalam penerapan SRG, pengelola gudang bertugas untuk menjaga barang yang dititipkan baik dari segi keamanan dan kualitas. Dalam upaya menjaga kualitas brang, pengelola gudang melakukan perawatan dengan fumigasi dan spraying untuk mencegah munculnya kutu pada beras dan gabah yang dilakukan setiap satu bulan sekali. Gabah dan beras di gudang diletakkan di atas palet atau alas dari kayu. Hal ini dilakukan agar gabah dan beras tidak bersentuhan langsung dengan lantai yang menyebabkan gabah dan beras menjadi lembab. Perawatan yang dilakukan oleh pengelola gudang dilakukan unuk menjaga mutu barang yang dititipkan. Kondisi fisik gudang SRG Indramayu dapat dilihat pada Lampiran 12.

5.4. Profil Gabungan Kelompok Tani Jaya Tani

Gabungan kelompok tani (Gapoktan) Jaya Tani merupakan suatu organisasi petani yang dibentuk pada 4 Januari 2006 di Desa Mangunjaya sebagai wadah menampung aspirasi para petani yang terdapat di Desa Mangunjaya. Gapoktan Jayatani terdiri dari enam kelompok tani dimana lima kelompok tani mengusahakan padi dan satu kelompok tani mengusahakan palawija.

Gapoktan Jaya Tani didirikan dengan tujuan sebagai wadah bagi para petani untuk mengembangkan potensi pertanian di Desa Mangunjaya sehingga jika ada permasalahan tentang pertanian di Desa Mangunjaya maka Gapoktan Jaya Tani akan menjadi lembaga yang akan memberikan bantuan dan solusi bagi para petani dalam menghadapi permasalahan yang muncul. Salah satu peranan utama yang diharapkan dapat dilakukan oleh Gapoktan Jaya Tani adalah meningkatkan posisi tawar petani dalam pemasaran hasil panennya. Pada umumnya, tanpa adanya sebuah mekanisme pemasaran yang baik maka posisi tawar petani cenderung rendah dibandingkan dengan para pembeli produk hasil pertanian tersebut. Keberadaan Gapoktan Jaya Tani diharapkan posisi tawar petani padi dapat meningkat. Gapoktan Jaya Tani memiliki visi untuk


(34)

mensejahterakan petani anggotanya. Untuk mewujudkan visi tersebut maka Gapoktan Jaya Tani menyusun beberapa misi, yaitu :

1) Mendorong peningkatan produksi, produktivitas dan mutu hasil pertanian 2) Mendorong kemandirian dan peran serta petani, kelembagaan tani, dan

pengusaha pertanian dalam pembangunan pertanian.

3) Meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan posisi tawar.

Tabel 8. Nama Kelompok Tani, Luas Lahan Garapan dan Jenis Tanaman yang Diusahakan Gapoktan Jaya Tani Tahun 2011.

No Nama Kelompok Tani Luas lahan (ha) Jenis Tanaman

1 Bidun Utara 142 Padi

2 Bidun Selatan 100 Padi

3 Sahartepak Barat 78 Padi

4 Sahartepak Tengah 75 Padi

5 Karya Tani Mandiri 85 Padi

6 Karya Tani Bakti 75 Hortikultura Sumber: Badan Keswadayaan Masyarakat Desa Mangunjaya 2010

Berdasarkan Tabel 8 hanya kelompok tani Karya Tani Bakti saja yang mengusahakan tanaman hortikultura sebagai komoditas utamanya, sedangkan sisanya mengusahakan padi sebagai komoditas utamanya. Padi yang ditanam mencapai 86,49 persen luas lahan dari total lahan yang diusahakan oleh petani yang tergabung di dalam Gapoktan Jaya Tani di Desa Mangunjaya.

Gapoktan Jaya Tani dibagi menjadi beberapa macam unit, yaitu unit pengelolaan usahatani, unit pengelolaan sarana produksi pertanian, unit pengolahan, unit pengelolaan permodalan dan unit pemasaran. Unit pengelolaan usahatani bertugas membantu unit lain mulai dari sub sistem hulu hingga hilir. Unit pengelolaan sarana produksi bertugas untuk mendata kebutuhan sarana produksi pertanian untuk usahatani yang diperlukan petani gapoktan. Unit pengolahan bertugas untuk membantu petani lainnya dalam pengolahan lahan sawah, mulai dari penentuan pola tanam dan penanggulangan hama. Unit pengelolaan permodalan bertugas untuk membantu petani yang kesulitan modal dalam menjalankan usahataninya. Unit pemasaran bertugas untuk memasarkan produk dari hasil usahatani yang dilakukan.


(35)

Gambar 2. Struktur Organisasi Gapoktan Jaya Tani Tahun 2010 Sumber : Gapoktan Jaya Tani Desa Mangunjaya 2010

5.5. Karakteristik Petani Responden

Karakteristik petani responden yang akan dijelaskan diklasifikasikan menurut usia, tingkat pendidikan baik formal maupun informal, status usahatani, pengalaman usahatani dan status kepemilikan lahan. Keragaman karakteristik tersebut akan mempengaruhi keputusan petani responden dalam melakukan usahatani.

Unit Pengelolaan Saraana Produksi

Unit Pengelolaan Pengolahan

Unit Pengelolaan usahatani

Unit Perngelolaan Permodalan

Unit Pemasaran Ketua


(36)

Karakteristik responden secara umum meliputi umur, tingkat pendidikan, lama bertani, dan luas lahan. Karakteristik responden tersebut dianggap penting karena mempengaruhi cara petani responden dalam menjual hasil usahataninya.

Tabel 9 menunjukkan jenjang usia petani responden. Usia rata-rata responden dari hasil penelitian dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu responden berusia 21-30 tahun, 31-40 tahun, 41-50 tahun dan usia lebih dari 50 tahun.

Tabel 9. Sebaran Usia Responden Golongan

Usia (tahun)

Petani SRG Petani Konvensional Jumlah

(orang) Persentase

Jumlah

(orang) Persentase

21-30 0 0 5 17,24

31-40 2 50 14 48,28

41-50 1 25 5 17,24

>50 1 25 5 17,24

Jumlah 4 100 29 100

Petani responden di tempat penelitian memulai usahataninya di atas 20 tahun karena usahatani dijadikan sebagai sumber utama pencarian petani. Hal ini dilakukan karena hampir seluruh petani melakukan usahatani setelah mereka menikah pada usia 20 tahun. Pada petani responden yang telah berusia lebih dari 50 tahun banyak petani yang tidak berani menerapkan teknologi baru yang ada karena mereka takut untuk mengambil resiko dari menerapkan teknologi baru. Berbeda dengan petani pada jenjang usia 30-40 tahun, mereka berani untuk menerapkan teknologi baru yang ada pada cara bercocok tanam.

Tabel 10 menunjukkan tingkat pendidikan petani responden. Tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan usahatani. Hal ini terkait dengan metode yang digunakan dalam menjalankan usahatani dan keputusan petani dalam menentukan metode penjualan hasil panennya.

Tabel 10. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden Tingkat

Pendidikan

Petani SRG Petani Konvensional Jumlah (orang) % Jumlah (orang) %

Tidak Tamat SD 1 25 7 24,14

Tamat SD 2 50 15 51,72

Tamat SMP 1 25 7 24,14


(37)

Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan tertinggi petani responden hanya hingga tingkat SMP saja. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani responden berpengaruh terhadap cara petani responden melakukan usahataninya, baik dari segi teknis seperti penerapan cara bertanam dan juga penyerapan informasi terhadap inovasi teknologi pertanian yang baru. Pada petani responden yang telah berusia lebih dari 50 tahun, banyak petani yang tidak berani menerapkan teknologi baru yang ada karena mereka takut untuk mengambil resiko dari penerapan teknologi baru tersebut. Berbeda dengan petani pada jenjang usia 30-40 tahun, mereka berani untuk menerapkan teknologi baru yang ada pada cara bercocok tanam.

Tabel 11 menunjukkan tingkat pengalaman usahatani padi. Hal ini merupakan karakateristik yang cukup penting karena tingkat pengalaman usahatani dapat mempengaruhi tingkat pengambilan keputusan terhadap cara menjalankan usatani dan pemilihan cara penjualan hasil usahatani.

Tabel 11. Sebaran Tingkat Pengalaman Usahatani Padi Petani Responden Tingkat

Pengalaman (tahun)

Petani SRG Petani Konvensional Jumlah

(orang) Persentase

Jumlah

(orang) Persentase

1-5 - - - -

6-10 - - 8 27,59

11-15 - - 5 17,24

> 15 4 100 16 55,17

Jumlah 16 100 29 100

Tingkat pengalaman usahatani petani responden berpengaruh terhadap cara petani dalam menjalankan usahataninya baik dari penerapan teknologi dan cara penjualan hasil usahatani. Petani yang memiliki tingkat pengalaman lebih 15 tahun telah paham bagaimana cara menangani permasalahan teknis yang muncul dalam pengolahan lahannya karena mereka memiliki tingkat pengalaman yang lebih lama dibandingkan dengan petani yang tingkat pengalaman usahatani lebih rendah. Petani yang memiliki tingkat pengalaman lebih lama juga menerapkan metode penjualan yang berbeda dibandingkan dengan yang tingkat pengalaman yang lebih rendah. Pada petani yang memiliki tingkat pengalaman lebih dari 10


(38)

tahun lebih memilih menjual hasil padinya kepada tengkulak dibandingkan menjualnya kepada

Tabel 12 menunjukkan penguasaan luas lahan padi. Namun demikian, penguasaan luas lahan tidak dapat menentukan jumlah hasil panen yang akan didapat oleh petani responden. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti modal, jumlah pupuk yang digunakan, serangan hama dan jenis pengairan sawah.

Tabel 12. Sebaran Penguasaan Luas Lahan Padi Luas Lahan

(ha)

Petani SRG Petani Konvensional Jumlah

(orang) Persentase

Jumlah

(orang) Persentase

0,0001-0,5 1 25 13 41,38

0,5001-1 - - 4 17,25

1,0001-1,5 1 25 6 20,69

1,5001-2 1 25 3 10,34

>2 1 25 3 10,34

Jumlah 4 100 29 100

Luas lahan tidak berpengaruh terhadap keputusan petani responden dalam pemilihan metode penjualan gabah dan penerapan teknologi dalam bercocok tanam, seperti pada pemilihan SRG sebagai metode penjualan. Tidak semua petani yang memanfaatkan SRG memiliki luas lahan lebih dari satu hektar, begitu juga dengan teknik becocok tanam. Sebagai contoh, penggunaan pestisida oleh petani responden yang memiliki luas lahan lebih kecil ada yang lebih banyak dibandingkan dengan petani yang memiliki luas lahan lebih besar. Hal ini dikarenakan oleh kebiasaan dari petani responden dalam penggunaan jumlah pestisida yang selalu habis digunakan dalam satu periode tanam. Luas lahan hanya berpengaruh terhadap cara penggunanan tenaga kerja pada tahap penanaman padi oleh petani. Petani responden dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar biasanya menerapkan metode tanam ceblok yaitu metode penanaman dimana pekerja yang menanam hanya diberi upah makan namun mendapatkan kepastian akan dipekerjakan kembali pada saat proses pemanenan. Pada petani yang memiliki luas lahan lebih dari 0,5 hektar, petani responden menerapkan menggunakan sistem borongan pada proses penanaman, dimana pekerja mendapat upah berdasar luas lahan yang ditanam kemudian dibagi jumlah pekerja yang menanam.


(39)

Tabel 13 menunjukkan jenis pengairan lahan petani. Jenis pengairan akan mempengaruhi besarnya pengeluaran oleh petani responden. Terdapat dua jenis sistem pengairan yang dilakukan oleh petani responden, yaitu pengairan teknis dan diesel.

Tabel 13. Sebaran Jenis Pengairan Lahan Padi Jenis

Pengairan

Petani SRG Petani Konvensional Jumlah

(orang) Persentase

Jumlah

(orang) Persentase

Teknis 3 75 22 75,86

Diesel 1 25 7 24,14

Jumlah 4 100 29 100

Pengairan teknis adalah jenis pengairan dimana lahan petani tidak memerlukan alat tambahan untuk mengairi sawahnya. Pengairan diesel memerlukan bantuan alat tambahan untuk mengairi lahannya karena lahan tersebut jauh dari sumber air. Jenis pengairan akan berpengaruh terhadap pendapatan petani, dimana petani yang menggunakan jenis pengairan teknis hanya perlu membayar iuran berupa hasil panen sebanyak 75 kg per hektar dan 450 kg per hektar untuk jenis pengairan diesel.


(40)

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

6.1. Keragaan Usahatani Padi

Keragaan usahatani padi menjelaskan tentang kegiatan usahatani padi di Gapoktan Jaya Tani Desa Mangunjaya, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Usahatani padi merupakan usaha yang telah lama diusahakan oleh warga di Desa Mangunjaya. Hal ini terlihat dari tingkat pengalaman petani yang rata-rata telah mengusahakan padi lebih dari 15 tahun. Keragaan usahatani dilakukan dengan mengidentifikasikan penggunaan input produksi, teknik budidaya, dan output yang dihasilkan dari usahatani padi.

6.1.1. Pola Tanam

Padi merupakan produk utama yang diusahakan oleh anggota Gapoktan Jayatani di Desa Mangujaya. Usahatani padi yang dilakukan oleh anggota Gapoktan Jaya Tani dilakukan dalam dua periode tiap tahunnya, yaitu pada periode Januari-April pada musin rendeng atau penghujan dan pada periode Juni-Oktober pada musim rendeng atau kemarau. Pola tanam yang hanya dilakukan dua kali dalam setahun dikarenakan di Desa Mangunjaya selalu diadakan acara-acara hajatan dan semacamnya pada saat selang waktu antara musim tanam satu dan yang lainnya sehingga para petani tidak menanam padi.

6.1.2. Input Produksi

Sarana produksi atau input yang digunakan pada usahatani padi terdiri dari bibit; pupuk; pestisida; tenaga kerja; dan alat-alat pertanian. Perincian penggunaan bibit, pupuk dan pestisida per hektar pada periode Januari-April 2011 pada usahatani padi di Gapoktan Jaya Tani antara petani SRG dan petani konvensional dapat dilihat pada Tabel 14.


(41)

Tabel 14. Rata-Rata Penggunaan Input Usahatani Padi Petani SRG dan Konvensional per Hektar Periode Januari-April 2011

No Komponen

Input

Petani SRG Petani Konvensional

Jumlah Harga

(Rp) Nilai (Rp) Jumlah

Harga (Rp)

Nilai (Rp)

1. Bibit 23,25 9000 209.250 18,81 9000 169293

2. Pupuk

Urea (kg) 289,73 1650 478.054,5 280.39 1650 462.643,50

SP 36 (kg) 49,67 2100 104.307 98.51 2100 206.871

NPK (kg) 32.64 2350 76.704

Phonska (kg) 226,82 2350 533.027 204.58 2350 480.763

Za (kg) 66,22 1450 96019 13.35 1450 19.357,50

. Kompos (kg) 198,68 800

3 Pestisida

Cair (L) 0,83 51.695,77 5,16 330.593,70

Padat (kg) 2,15 64.072,85 2,22 64.563,98

6.1.2.1. Bibit

Bibit yang digunakan oleh petani baik petani SRG dan konvensional adalah bibit yang dibeli dari kios saprotan yang ada di Desa Mangunjaya. Varietas bibit yang digunakan adalah jenis padi ciherang. Pemilihan jenis padi ciherang dikarenakan menurut petani di lokasi penelitian, harga jual yang didapat relatif lebih tinggi di banding varietas padi yang lainnya seperti padi IR 64. Selain harga yang lebih tinggi, petani memilih menanam padi jenis ciherang karena varietas ini merupakan varietas yang cocok untuk ditanam di musim hujan maupun musim kemarau. Alasan utama petani memilih menanam jenis padi ciherang adalah karena jenis padi ini memiliki umur masa tanam yang lebih pendek dibanding varietas lain seperti IR 64.

Jumlah rata-rata bibit per hektar yang digunakaan oleh petani SRG pada periode tanam Januari-April 2011 adalah sebanyak 15,40 kilogram per hektar. Sedangkan Jumlah rata-rata bibit per hektar yang digunakaan oleh petani konvensional pada periode tanam Januari-April 2011 adalah sebanyak 16,45 kilogram per hektar. Penggunaan jumlah bibit padi akan mempengaruhi total pengeluaran untuk input produksi padi.

6.1.2.2. Pupuk

Pupuk yang digunakan oleh petani responden terdiri dari dua macam, yaitu pupuk organik (pupuk kompos) dan pupuk anorganik (pupuk urea, SP36, NPK, Phonska dan Za). Pupuk kompos yang digunakan adalah pupuk yang dibeli dari


(42)

kios saprotan yang ada di Desa Mangunjaya. Begitu juga dengan pupuk (pupuk urea, SP36, NPK, Phonska dan Za) diperoleh petani dengan membelinya di kios saprotan yang ada di Desa Mangunjaya. Penggunaan pupuk organik (pupuk kompos) hanya dilakukan oleh seorang petani SRG. Dimana petani lainnya baik petani SRG maupun konvensional masih bergantung terhadap pupuk anorganik saja. Jumlah penggunaan pupuk oleh petani SRG dan konvensional bisa dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Jenis Pupuk, Harga Pupuk dan Penggunaan Pupuk Rata-rata Petani Berdasar Sistem Penjualan Periode Januari-April 2011.

No. Jenis Pupuk

Harga per Kg(Rp)

Petani SRG (Kg)

Petani Konvensional (Kg)

1. Urea 1.650 289,74 280,39

2. Sp36 2.100 49,67 98,51

3. NPK 2.350 - 32,64

4. Phonska 2.350 262,82 204,58

5. Za 1.450 66,22 13,35

6. Kompos 800 198,68 -

6.1.2.3. Pestisida

Pestisida yang digunakan oleh petani tergantung dari petani itu sendiri. Pada saat penelitian dilakukan banyak lahan sawah petani yang terserang hama wereng sehingga menyebabkan banyaknya jumlah pestisida yang digunakan oleh petani. Banyaknya pestisida yang digunakan juga dikarenakan menurut petani hama wereng yang menyerang sawah mereka sudah kebal terhadap pestisida yang diberikan oleh petani, baik itu pestisida bubuk dan pestisida cair. Hal ini dikarenakan petani di Desa Mangunjaya sering memberikan pestisida terhadap tanaman padinya meskipun tanaman padi tersebut tidak sedang dijangkiti hama wereng. Petani responden di Desa Mangunjaya beranggapan dengan memberikan pestisida ke tanamannya maka akan menyebabkan tanamannya tahan terhadap hama.

Pestisida yang digunakan oleh petani terdiri dari dua jenis yaitu pestisida cair dan bubuk. Penggunaan pestisida dilakukan dengan cara mencampurkan


(43)

konsentrat padat ataupun cair tersebut kemudian disemprotkan ke tanaman padi. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari. Rata-rata penyemprotan pestisida oleh petani dilakukan sesuai dengan keinginan petani tersebut. Jika oleh petani dinilai tanaman padinya memerlukan pestisida, penyemprotan bisa dilakukan hingga empat kali dalam satu masa tanam.

Jumlah rata-rata pestisida yang digunakan oleh petani pemilik SRG per hektar lahan pada periode tanam Januari-April 2011 sebanyak 0,828 liter pestisida cair dan 2,15 kilogram pestisida bubuk. Untuk rata-rata jumlah pestisida yang digunakan oleh petani konvensional adalah sebanyak 5,16 liter pestisida cair dan 2,22 kilogram pestisida bubuk. Dengan demikian, rata-rata penggunaan pestisida yang digunakan oleh petani konvensional lebih banyak dibandingkan dengan petani SRG.

6.1.2.4. Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang digunakan oleh petani SRG dan petani konvensional terbagi menjadi dua kelompok yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Tenaga kerja yang digunakan dalam semua kegiatan usahatani padi yang dilakukan di lokasi penelitian seluruhnya dikerjakan oleh tenaga kerja laki-laki. Penggunaan tenaga kerja baik tenaga kerja dalam keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga digunakan dalam kegiatan usahatani mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemupukan, penyemprotan pestisida dan pemanenan.

Pada jenis kegiatan penanaman terdapat dua cara dalam pembayaran tenaga kerja yang dilakukan. Cara pertama adalah dengan cara ceblok, yaitu petani hanya membayar upah makan dengan kisaran biaya Rp 10.000,00-Rp 15.000,00 dengan kondisi tenaga kerja yang digunakan akan mendapat kepastian akan dipekerjakan kembali ketika kegiatan pemanenan. Hal ini biasanya dilakukan oleh petani yang memiliki lahan kecil. Cara kedua adalah dengan cara borongan, yaitu petani akan membayar upah kepada tenaga kerja sesuai dengan luas lahan yang akan ditanam. Besar upah untuk cara borongan berkisar dari Rp 400.000,00 sampai Rp 500.000,00 per satu bahu atau 0,66 hektar. Untuk kegiatan pemanenan, baik petani SRG maupun konvensional menerapkan cara yang sama dalam pembayaran upah tenaga kerja, yaitu dengan menggunakan cara bawon.


(44)

Cara pembayaran bawon adalah cara pembayaran bagi hasil dimana tenaga kerja akan mendapatkan satu per enam dari hasil panen petani. Jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam analisis usahatani padi menggunakan satuan HKP (Hari Kerja Pria). Di lokasi penelitian lama jam kerja tidak ditentukan oleh petani. Petani hanya menginginkan dengan upah yang dibayar suatu jenis pekerjaan bisa selesai dalam satu hari dimana untuk satu HKP adalah delapan jam per hari.

Rata-rata penggunaan tenaga kerja petani padi per hektar periode Januari-April 2011 untuk petani SRG adalah 29,761 HKP untuk tenaga kerja luar keluarga yang terdiri dari 7,53 HKP pada proses penanaman, 14,081 HKP pada proses pemanenan dan 8,15 HKP untuk proses lainnya. Pada penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh petani SRG adalah 3,92 HKP. Rata-rata penggunaan tenaga kerja petani padi per hektar periode Januari-April 2011 untuk petani konvensional adalah 41,49 HKP untuk tenaga kerja luar keluarga yang terdiri dari 10,86 HKP pada proses penanaman, 15,85 HKP pada proses pemanenan dan 7,39 HKP untuk proses lainnya untuk tenaga kerja luar keluarga. Pada penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh petani konvensional adalah 4,24 HKP. Dengan demikian, jumlah penggunaan tenaga kerja petani konvensional lebih banyak daripada petani SRG.

6.1.2.5. Alat-Alat Pertanian

Jenis alat pertanian yang digunakan dalam kegiatan padi adalah cangkul, arit, ember, linggis, pompa air, alat semprot hama dan traktor. Cangkul digunakan untuk menggemburkan tanah, arit digunakan untuk menyiangi ilalang yang ada di sekitar lahan sawah, linggis digunakan untuk membalikkan tanah dan memecah tanah keras, pompa air digunakan untuk membantu mengairi sawah, alat semprot hama digunakan sebagai wadah penyemprot pestisida untuk memberantas hama dan traktor digunakan untuk membajak sawah dan menggemburkan tanah. Peralatan yang digunakan oleh petani responden adalah milik pribadi.

Metode perhitungan penyusutan alat pertanian yang digunakan adalah metode penyusutan garis lurus. Nilai biaya penyusutan peralatan pertanian yang digunakan dalam kegiatan usahatani padi dihitung ke dalam komponen biaya yang diperhitungkan. Nilai rata-rata penyusutan alat pertanian petani SRG adalah


(1)

84 Jenis Sarana

Produksi Sumber

1) Sistem Pemabayaran2) Jumlah (kilogram) Harga (Rp/Kg) Nilai (Rp) 1. Bibit/Benih

2. Pupuk kimia : - UREA

- Kcl - NPK - SP 36 - ...

3. Pupuk buatan : - Pupuk kandang - Pupuk kompos - Pupuk organik

2. Pestisida

-

-

3. Lainnya

-

Ket : 6XPEHU6HQGLUL3HWDQLODLQ.LRVVDSURWDQ*DSRNWDQ/DLQQ\D««« &DUD3HUROHKDQ%D\DUWXQDL.UHGLWSLQMDP/DLQQ\D««««

2.4. Input tenaga kerja usahatani padi Jenis Kegiatan Upah

(Rp/pekerja)

Keluarga Luar Keluarga

HOK Nilai

(Rp) HOK

Nilai (Rp) Borongan (Rp) 1. Pembenihan a. Cara/Frekuensi

b. Jumlah tenaga kerja - Pria

- Wanita 2. Penanaman a. Cara/Frekuensi

b. Jumlah tenaga kerja - Pria

- Wanita

3. Pengendalian HPT a. Cara/Frekuensi

b. Jumlah tenaga kerja - Pria

- Wanita 4. Pemupukan a. Cara/Frekuensi

b. Jumlah tenaga kerja - Pria


(2)

85 5. Pemanenan

a. Cara/Frekuensi

b. Jumlah tenaga kerja - Pria

- Wanita

6/DLQQ\D««

a. Cara/Frekuensi

b. Jumlah tenaga kerja - Pria

- Wanita

2.5 Biaya lain-lain untuk usahatani padi (Rp/musim)

Uraian Nilai (Rp)

1. Sewa pompa

2. Iuran kelompok tani 3. Iuran keluarahan 4. Iuran pengairan 5. Sewa Traktor 6. Sewa Ternak 7/DLQQ\D«««

2.6 Total dan nilai produksi per musim

Bentuk Produksi Volume (kg) Harga (Rp/kg) Nilai (Rp)

1. Padi 2. Gabah

/DLQQ\D«««

III. INFORMASI PENJUALAN

3.1 Hasil yang dijual

Hasil Produksi Jumlah Harga

1. Gabah Kering Panen 2. Gabah Kering Giling 3. Lainnya...

3.2 Hasil yang disimpan

Hasil Produksi Jumlah Harga

1. Gabah Kering Panen 2. Gabah Kering Giling 3. Lainnya...


(3)

86

KUISIONER

ALASAN DAN MANFAAT DARI PENERAPAN SISTEM RESI GUDANG BAGI PETANI

Pertanyaan

1. Apakah alasan anda dalam kegiatan usahatani padi anda memanfaatkan Sistem Resi Gudang yang dikelola PT Pertani?

( ) Mengikuti petani yang lain ( ) Peningkatan pendapatan

( ) Saran dari PPL ( ) Lainnya

«««««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««««« ««««««

2. Apakah dalam pelaksanaan kerjasama ini anda mengetahui dan memahami peraturan yang ada?

( ) Ya ( ) Tidak

Apa alasan anda tidak mengetahui dan memahaminya

«««««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««««« ««««««

3. Apa hak dan kewajiban yang dimiliki anda sebagai pihak yang memanfaatkan Resi Gudang?

... ... ... ...

4. Apa manfaat yang anda dapatkan dengan memanfaatkan Sistem Resi Gudang? ( ) Mendapatkan harga lebih baik dengan tunda jual ketika harga rendah

( ) Mendapatkan kepastian mutu dan kuantitas karena komoditi yang disimpan digudang diuji oleh LPK yang terakreditasi.


(4)

87 ( ) Mendapatkan jaminan keamanan karena komoditi yang disimpan di Gudang

otomatis diasuransikan.

( ) Mendapatkan kemudahan akses pembiayaan dari perbankan karena Resi Gudang dapat dijadikan sebagai agunan/jaminan kredit.

( ) Meningkatkan posisi tawar petani dan mendorong mereka untuk bekerja secara berkelompok

5. Masalah dan kendala apa saja yang anda dapatkan selama proses penerapan Resi Gudang?

... ... ... ...

6. Bagaimana cara penyelesaian yang dilakukan bila ada masalah yang terkait dengan Resi Gudang?

... ««««««««««««««««««««««««««««««««« «««««««««««««««««««««««««««««««««


(5)

2

RINGKASAN

ADI FEBRIAN. Analisis Pendapatan Usahatani Padi dengan Memanfaatkan

Sistem Resi Gudang Studi Kasus Gapoktan Jaya Tani Indramayu. Skripsi.

Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA).

Salah satu sasaran utama pembangunan pertanian dewasa ini adalah peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani, karena itu kegiatan di sektor pertanian diusahakan agar dapat berjalan lancar dengan peningkatan produk pangan yang baik. Padi adalah tanaman pangan utama di Indonesia karena Indonesia adalah negara dengan penduduk yang mengonsumsi beras sebagai makanan utama. Dengan demikian, padi merupakan salah satu komoditi yang mempunyai prospek menambah pendapatan para petani. Untuk memperoleh pendapatan yang memadai, maka petani dituntut kecermatannya dalam mempelajari perkembangan harga agar dapat menentukan pilihan dalam memutuskan untuk menjual atau menahan hasil produksinya.

Untuk membantu petani dalam meningkatkan pendapatan usahatani pemerintah mengeluarkan sistem pemasaran, yaitu Sistem Resi Gudang (SRG) untuk membantu peningkatan posisi tawar petani dan Pasar Lelang Resi Gudang. Sistem Resi Gudang merupakan dokumen yang membuktikan bahwa suatu komoditas dengan jumlah dan kualitas tertentu telah disimpan dalam suatu gudang. Salah satu gudang yang dibangun pemerintah adalah gudang SRG di Indramayu Jawa Barat, karena Jawa Barat merupakan provinsi dengan produksi padi tertinggi di Indonesia dengan Indramayu sebagai salah satu sentra padi di Jawa Barat. Berdasarkan skema SRG, petani tidak lagi terpaksa harus menjual hasil panennya dengan harga yang rendah, melainkan dapat melakukan tunda jual dengan menyimpan hasil panennya di gudang, memperoleh resi gudang, dan memanfaatkan sebagai agunan untuk memperoleh pinjaman dari perbankan atau lembaga keuangan non bank. Pinjaman tersebut dapat dimanfaatkannya untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, atau membeli bibit melanjutkan kegiatan usahanya, sambil menunggu harga komoditas membaik. Saat harga komoditas membaik, petani dapat menjual atau mengalihkan SRG miliknya, sehingga petani dapat merasakan dan memperoleh keuntungan optimal dari usahanya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manfaat dari penerapan Sistem Resi Gudang bagi petani dan membandingkan tingkat pendapatan usahatani padi yang menerapkan Sistem Resi Gudang dan yang tidak memanfaatkannya. Informasi dan data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengisian kuesioner oleh petani responden baik yang telah memanfaatkan SRG maupun belum memanfaatkannya. Data sekunder diperoleh melalui beberapa literatur berupa data pemanfaatan SRG yang pernah dilakukan berkaitan dengan kegiatan penelitian dan data lain yang diperoleh dari perpustakaan dan instansi-instansi terkait seperti Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu, PT. Pertani selaku pengelola gudang, dan instansi-instansi terkait lainnya. Penentuan petani responden dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu pengambilan contoh secara acak (sstratified sampling) untuk petani yang belum memanfaatkan Sistem


(6)

3 Resi Gudang sebanyak 29 petani dan metode teknik sensus untuk petani yang sudah memanfaatkan SRG sebanyak empat petani.

Sistem Resi Gudang yang disediakan pemerintah untuk membantu petani dalam upaya meningkatkan pendapatan petani memiliki beberapa manfaat, yaitu manfaat secara non ekonomi dan manfaat ekonomi. Manfaat non ekonomi yang dirasakan oleh petani yang memanfaatkan SRG adalah manfaat penyimpanan, manfaat jaminan mutu, manfaat pemasaran dan manfaat pembiayaan

Manfaat ekonomi yang dirasakan oleh petani adalah petani yang memanfaatkan SRG memperoleh harga jual yang lebih baik dibandingkan petani yang tidak memanfaatkan sistem resi gudang. Pendapatan atas biaya tunai per hektar per tahun yang diterima petani yang memanfaatkan SRG yaitu Rp 10.727.502,11 lebih besar daripada pendapatan atas biaya tunai per hektar per tahun yang diterima petani penyewa lahan yaitu Rp 7.626.303,5. Berdasarkan perhitungan pendapatan atas biaya total dapat disimpulkan pula bahwa pendapatan atas biaya total per hektar per tahun yang diterima petani yang memanfaatkan SRG yaitu sebesar Rp 9.815.895,51 lebih besar daripada pendapatan atas biaya total per hektar per tahun yang diterima petani konvensional yaitu sebesar Rp 6.864.010,22. Kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani yang memanfaatkan SRG lebih baik bila dibandingkan dengan petani konvensional.

Nilai rasio R/C atas biaya tunai petani yang memanfaatkan SRG adalah 2,31 sedangkan nilai rasio R/C atas biaya tunai petani konvensional adalah 2,01. Untuk rasio R/C atas biaya total petani yang memanfaatkan SRG adalah 2,08 sedangkan nilai rasio R/C atas biaya total petani konvensional adalah 1,83.

Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan untuk meningkatkan pendapatan usahatani petani di Gapoktan Jaya Tani di Desa Mangunjaya, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu yaitu: (1) Mengikuti anjuran penyuluh pertanian lapang (PPL) agar mendapat kualitas padi yang baik, (2) Petani yang belum memanfaatkan SRG beralih memanfaatkan SRG, (3) meningkatkan peran pemerintah daerah Indramayu dalam mensosialisasikan program SRG, dan (4) Meningkatkan peran gapokttan dalam penerapan SRG agar petani kecil mampu memnuhi quota penyimpanan.