Induction of Embryogenic Callus and Somatic Embryo of Durian (Durio zibethinus Murr) on Various Media Composition

INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DAN EMBRIO
SOMATIK DURIAN (Durio zibethinus Murr.)
PADA BERBAGAI KOMPOSISI MEDIA

NUR ARIFIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Induksi Kalus
Embriogenik dan Embrio Somatik Durian (Durio zibethinus Murr.) pada
Berbagai Komposisi Media adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Nur Arifin
NIM A253090111

RINGKASAN
NUR ARIFIN. Induksi Kalus Embriogenik dan Embrio Somatik Durian
(Durio zibethinus Murr.) pada Berbagai Komposisi Media. Dibimbing oleh
DARDA EFENDI, DEWI SUKMA dan RAGAPADMI PURNAMANINGSIH.
Durian merupakan komoditas hortikultura yang disukai banyak orang dan
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Agribisnis durian di Indonesia masih
tertinggal dari negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia, padahal Indonesia
mempunyai potensi lahan, iklim, dan sumberdaya genetik durian yang lebih baik
daripada kedua negara tersebut. Kultur jaringan durian dapat dijadikan terobosan
dalam perbaikan genetik untuk menghasilkan varietas unggul durian dan
perbanyakan massal bibit durian guna menunjang perbaikan agribisnis durian di
Indonesia. Walaupun demikian penelitian tentang kultur jaringan durian sampai
sekarang masih sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan
kombinasi jenis eksplan, media, dan zat pengatur tumbuh (ZPT) terbaik dalam
induksi kalus dan induksi embrio somatik pada kultur jaringan durian.

Penelitian dilakukan dalam 2 percobaan berkelanjutan. Percobaan pertama
adalah induksi kalus dari 4 macam eksplan dan percobaan kedua adalah induksi
embriogenesis somatik dari kalus yang diperoleh dari percobaan pertama. Jenis
eksplan yang digunakan pada percobaan induksi kalus adalah dasar bunga, petal,
endosperm dan embrio zigotik muda durian. Percobaan induksi kalus dengan
eksplan dasar bunga dan petal menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Faktorial 2 faktor. Faktor pertama adalah genotipe durian, yaitu aksesi Dramaga,
varietas Matahari dan varietas Simas; dan faktor kedua adalah 14 komposisi
media yang tersusun atas 2 jenis media dasar (MS dan B5) dan 7 taraf ZPT (tanpa
ZPT; NAA 2, 4, 6 ppm; dan pikloram 2, 4, 6 ppm). Percobaan induksi kalus
dengan eksplan endosperm dan embrio zigotik muda menggunakan 1 genotipe
yaitu Otong. Percobaan pada eksplan endosperm disusun sebagai percobaan dua
faktor yaitu perlakuan benziladenin (BA) 0 dan 1 ppm dan tidiazuron (TDZ) 0.0,
0.01, 0.05, 0.5 ppm pada media dasar MS + vitamin media B5 yang dilengkapi
dengan glutamina 100 ppm, asparagina 100 ppm, kasein hidrolisat 500 ppm, dan
pikloram 0.5 ppm. Perlakuan pada induksi kalus dari eksplan embrio zigotik muda
adalah pemberian pikloram 5, 10, 15, dan 20 ppm pada media dasar MS.
Percobaan kedua adalah induksi embriogenesis somatik kalus yang didapat dari
eksplan petal pada percobaan pertama dengan perlakuan konsentrasi BA 0.0, 0.3,
0.5, 1.0, dan 2.0 ppm pada media dasar MS dengan vitamin media B5 yang

dilengkapi dengan glutamina 100 ppm, asparagina 100 ppm, kasein hidrolisat 500
ppm, dan pikloram 0.5 ppm.
Komposisi media terbaik pada induksi kalus dari eksplan dasar bunga
adalah media dasar B5 dengan tambahan NAA 2 ppm, sedangkan komposisi
media terbaik pada induksi kalus dari eksplan petal adalah media dasar B5 dengan
tambahan pikloram 2 ppm. Dari variabel persentase eksplan berkalus dan
kecepatan munculnya kalus pada eksplan dasar bunga dan eksplan petal didapat
kecenderungan genotipe Matahari lebih responsif daripada varietas Simas dan
aksesi Dramaga.

Tipe kalus yang diperoleh dari eksplan dasar bunga pada awal
kemunculannya merupakan kalus remah berair (kalus tipe 3) yang sel-selnya
mudah dipisahkan satu sama lain. Dalam satu sampai dua minggu setelah tumbuh
kalus, kalus remah berair tersebut berubah menjadi kalus kompak berwarna putih
keruh sampai agak kekuningan (kalus tipe 1) atau kalus kompak berwarna putih
bersih (kalus tipe 2). Ketiga tipe kalus tersebut, dari pengamatan morfologi dan
histologi diduga bukan kalus embriogenik. Tipe kalus yang tumbuh dari eksplan
petal sejak awal waktu munculnya merupakan kalus tipe 1 dan kalus tipe 2.
Seluruh kalus dari eksplan endosperm adalah kalus tipe 1.
Embrio somatik tahap globular telah diperoleh dari eksplan embrio zigotik

muda berukuran 6 mm yang dikulturkan pada media dasar MS + pikloram 15 ppm
mulai 18 hari setelah tanam (HST). Semua kalus yang tumbuh dari eksplan
embrio zigotik muda selain perlakuan tersebut merupakan kalus tipe 2.
Perlakuan konsentrasi BA 0.0, 0.3, 0.5, 1.0, dan 2.0 ppm pada media dasar
MS dengan vitamin media B5 yang dilengkapi dengan glutamina 100 ppm,
asparagina 100 ppm, kasein hidrolisat 500 ppm, dan pikloram 0.5 ppm tidak
berpengaruh nyata pada semua variabel pengamatan percobaan 2. Kalus tipe 1
asal eksplan petal genotipe Simas yang ditanam pada percobaan 2 ini tidak
membentuk embrio somatik maupun kalus yang bersifat embriogenik.
Kata kunci : dasar bunga, embrio zigotik muda, endosperm, kalus embriogenik,
petal

SUMMARY

NUR ARIFIN. Induction of Embryogenic Callus and Somatic Embryo of
Durian (Durio zibethinus Murr.) on Various Media Composition. Supervised by
DARDA EFENDI, DEWI SUKMA and RAGAPADMI PURNAMANINGSIH.
Durian is a valuable tropical fruit. Durian agribusiness in Indonesia is still
lags behind neighboring countries such as Thailand and Malaysia, whereas genetic,
land and climatic resources for durian in Indonesia are better than those of other

countries. Durian tissue culture can be applied for durian genetic improvement and
mass propagation of elite varieties which finally can promote durian agribusiness
in Indonesia. However, researches on durian tissue culture are still very limited.
The objective of this study is to obtain the suitable type of explants, media, and
plant growth regulator in embrogenic callus and somatic embryo induction of
durian.
The study was conducted in 2 successive trials. The first experiment was
callus induction and the second trial was somatic embryogenesis induction of
callus obtained from the first experiment. There were 4 type of explants used on
callus induction experiment, namely flower receptacle, petal, endosperm and
immature zygotic embryo of durian. Callus induction from flower receptacle and
petal explants were arranged as a factorial two factors experiment. The first factor
was durian genotype, namely Dramaga, Matahari and Simas, and the seond factor
was 14 media composition which were composed of two types of basal media
(MS and B5) and 7 level of plant growth regulator (PGR ), i.e., without PGR, 2, 4,
6 ppm of NAA and 2, 4, 6 ppm of picloram. Callus induction with endosperm and
immature zygotic embryo explants using 1 genotype, viz. Otong. Experiments on
endosperm explant was arranged as a factorial two factors experiment, that is
benziladenin (BA) treatment (0 and 1 ppm) and thidiazuron (TDZ) treatment (0.0,
0:01, 0:05, 0.5 ppm) in the MS basal medium + B5 media vitamin with 100 ppm

glutamine, 100 ppm asparagine, 500 ppm casein hydrolysate, and 0.5 ppm
picloram. The treatments on callus induction from immature zygotic embryo
explant were 5, 10, 15, and 20 ppm of picloram on MS basal medium. The second
experiment was the induction of somatic embryogenesis of petal explants derived
calluses by treatment with 0.0, 0.3, 0.5, 1.0, and 2.0 ppm BA on MS basal
medium with B5 vitamin, 100 ppm glutamine, 100 ppm asparagine, 500 ppm
casein hydrolysate, and 0.5 ppm picloram.
The best medium composition on callus induction from flower receptacle
explant was B5 basal medium with addition 2 ppm of NAA. The best one for petal
explant was B5 basal medium with addition 2 ppm of picloram. Based on the
result of percentage of explant producing calluses and callus emergence rate on
petal and flower receptacle explants, it was indicated that Matahari variety was
more responsive than Dramaga accession and Simas variety.
The type of calluses derived from flower receptacle explant at the beginning
of its emergence was watery friable callus (type 3 callus) which the cells were
easily separated from one another. In one to two weeks after the callus emergence,
this type of callus turned into a whitish to yellowish compact callus (type 1 callus)

or pure white compact callus (type 2 callus). All three type of calluses, from
morphological and histological observations, were supposed to be nonembryogenic ones. The type of calluses that grew from petal explants since the

beginning of their emergence were of type 1 and type 2 calluses. All calluses
produced from endosperm explant were of type 1 callus.
Globular stage somatic embryos have been obtained from 6 mm immature
zygotic embryo explant cultured on MS basal medium + 15 ppm picloram at 18
days after culture. All calluses originated from immature zygotic embryo explants
other than that medium composition were type 2 calluses.
The treatment of 0.0, 0.3, 0.5, 1.0, and 2.0 ppm of BA on MS basal medium
with B5 vitamin, 100 ppm glutamine, 100 ppm asparagine, 500 ppm casein
hydrolysate, and 0.5 ppm picloram did not give significant effect on all variables
observed on second trial. The type 1 callus derived from petal explant of Simas
genotype that were cultured on those media did not form somatic embryo or
embryogenic callus.

Key words: embryogenic callus, endosperm, flower receptacle, immature zygotic
embryo, petal.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DAN EMBRIO
SOMATIK DURIAN (Durio zibethinus Murr.)
PADA BERBAGAI KOMPOSISI MEDIA

NUR ARIFIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr.

Judul Tesis : Induksi Kalus Embriogenik dan Embrio Somatik Durian (Durio
zibethinus Murr.) pada Berbagai Komposisi Media
Nama
: Nur Arifin
NIM
: A253090111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si.
Ketua

Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si.
Anggota


Dr. Ir. Ragapadmi Purnamaningsih, M.Si.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 14 Juni 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis yang berjudul “Induksi Kalus Embriogenik dan Embrio
Somatik Durian (Durio zibethinus Murr.) pada Berbagai Komposisi Media”
dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada:
 Dr. Ir. Darda Efendi, Msi., Dr. Dewi Sukma, SP. Msi., dan Dr. Ir Ragapadmi
Purnamaningsih, Msi. selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan
arahannya selama perencanaan penelitian, pelaksanaan, hingga penulisan tesis.
 Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. selaku ketua Program Studi Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman IPB.
 Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr. selaku peguji luar komisi pada saat Ujian Tesis.
 Seluruh tenaga pengajar, staf akademik, dan teknisi yang telah memberikan
bantuan selama penulis belajar di IPB.
 Dr. Diny Dinarti selaku Penanggungjawab Laboratorium Kultur Jaringan 3, Ibu
Siti Kholifah, Ibu Juju Juariah dan teman-teman peneliti di Laboratorium
Kultur Jaringan 1 dan 3, atas bantuan dan kebersamaannya.
 Forum Mahasiswa Pascasarjana AGH-IPB (FORSCA AGH – IPB) atas
kebersamaan dan dukungannya.
 Universitas Tanjungpura Pontianak atas beasiswa yang diberikan.
 Pimpinan dan karyawan Kebun Durian Warso Farm, Kebun Buah Mekarsari,
dan Kebun Percobaan Cipaku atas bantuan bahan eksplan untuk penelitian.
 Kedua orang tua, istri, dan anak tercinta atas bimbingan, doa, pengertian, dan
motivasinya selama penulis menempuh pendidikan pascasarjana di IPB.
Semoga Allah melipatgandakan kebaikan yang diberikan dan semoga tesis ini
bermanfaat. Aamiin Ya Robbal „aalamin.
Bogor, Juli 2013

Nur Arifin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xviii

DAFTAR GAMBAR

xviii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi durian
Kultur Jaringan
Embriogenesis Somatik

5
5
7
9

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Percobaan
Analisis Data

15
15
15
16
23

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Induksi Kalus Embriogenik Durian dari Berbagai Eksplan pada
Berbagai Komposisi Media
Respon Kalus Tipe 1 Durian terhadap Konsentrasi BA pada Media
Induksi Embriogenesis Somatik
Pembahasan Umum

23

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

37
37
38

DAFTAR PUSTAKA

38

RIWAYAT HIDUP

45

23
34
36

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13
14
15
16
17

Produksi, impor dan ekspor durian di Indonesia tahun 2005-2011
Komposisi nutrisi daging buah durian (per 100 gr)
Komposisi berbagai media dasar kultur jaringan
Daftar komposisi media pada kultur kakao
Daftar komposisi media pada kultur nangka
Daftar komposisi media pada kultur kopi
Daftar komposisi media pada kultur jambu monyet
Daftar komposisi media pada kultur mangga.
Komposisi media percobaan induksi kalus dengan eksplan dasar
bunga dan petal
Komposisi ZPT pada media induksi untuk kultur endosperm
Pengaruh genotipe terhadap waktu muncul kalus dan persentase
eksplan berkalus pada eksplan dasar bunga
Pengaruh komposisi media terhadap persentase eksplan berkalus,
waktu muncul kalus, tipe kalus dan skor ukuran kalus pada eksplan
dasar bunga
Pengaruh genotipe terhadap waktu muncul kalus dan persentase
eksplan berkalus pada eksplan petal
Pengaruh komposisi media terhadap persentase eksplan berkalus,
waktu muncul kalus, tipe kalus dan skor ukuran kalus pada eksplan
petal
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan kalus dari eksplan
endosperm durian
Pengaruh tambahan pikloram pada media dasar MS terhadap
pertumbuhan kalus dari eksplan embrio zigotik durian.
Pengaruh tambahan BA terhadap pertambahan ukuran kalus, jumlah
kalus embriogenik dan jumlah embrio somatik dari kalus tipe 1 asal
petal varietas Simas.

1
6
8
11
12
13
14
15
18
20
23
24
26

27
32
33
35

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Konsep hubungan komponen utama pada induksi embriogenesis
somatik
Diagram alir pelaksanaan penelitian
Eksplan dasar bunga dan petal
Kondisi kalus penampakan langsung dan mikroskopis
Embriogenesis somatik dan regenerasi tanaman pada Dianthus
caryophillus
Tipe kalus berbeda dihasilkan pada eksplan yang sama
Kalus dari eksplan endosperm
Perkembangan kalus dan embrio somatik globular dari eksplan
embrio zigotik durian
Perkembangan kondisi kalus asal eksplan petal dalam percobaan
induksi embriogenesis dengan perlakuan BA

10
17
19
22
29
29
32
34
35

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Durian merupakan komoditas hortikultura yang disukai banyak orang dan
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Harga durian dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Pengembangan perkebunan durian mempunyai prospek
yang baik karena masih terdapat kesenjangan antara pasokan dengan permintaan.
Impor durian Indonesia cenderung meningkat baik volume maupun nilainya
(Tabel 1), sementara pasokan dari produksi dalam negeri bersifat musiman dan
fluktuatif, tidak dapat memenuhi permintaan konsumen yang kontinu akan buah
durian dengan kualitas baik.
Tabel 1 Produksi, impor dan ekspor durian di Indonesia tahun 2005-2011
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

Produksi (ton) 1
566.205
747.848
594.842
682.323
797.798
492.139
883.969

1

2

Impor
Volume (ton) 2 Nilai (US$)3
11.3
16.3
23.149
24.679
28.935
24.368
27.149

7,500,000
15,400,000
28,681,993
30,829,557
35,955,390
34,704,684
38,192,411
3

Nilai ekspor
(US$)4
6,455
84,130
16,239
14,849
4

Sumber: : BPS (2013); : Dirjen Hortikultura (2013a); : Dirjen Hortikultura (2013b); : Dirjen
Hortikultura (2013c).

Durian tersebar di Asia Tenggara dengan pusat keragaman berada di pulau
Kalimantan (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001). Indonesia mempunyai kekayaan
genetik durian yang tinggi yang dapat dijadikan sumber plasma nutfah dalam
pencarian dan perakitan varietas unggul baru. Tanpa upaya pencarian dan
perakitan varietas unggul, keragaman genetik yang tinggi tersebut merupakan
kelemahan karena akan membuat kualitas produk yang tidak seragam sehingga
sering membuat konsumen kecewa. Indonesia semestinya menjadi negara
eksportir durian terbesar di dunia karena selain keragaman genetik yang tinggi,
Indonesia mempunyai wilayah dengan agroekosistem yang sesuai untuk budidaya
durian lebih luas daripada negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Namun
kenyataannya teknologi budidaya dan agribisnis durian di Indonesia masih belum
maju, tertinggal dari Thailand dan Malaysia. Produksi durian di Indonesia lebih
banyak berasal dari hutan dengan kualitas yang beragam. Petani atau pengusaha
yang membudidayakan durian unggul dalam skala besar sangat terbatas.
Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah mencanangkan Revolusi
Oranye, yaitu revolusi kebijakan, pengembangan, kelembagaan dan penetrasi
pasar buah nusantara. Pengembangan buah nusantara dengan Revolusi Oranye
melibatkan BUMN, perusahaan swasta, dan kelompok tani atau gabungan
kelompok tani. Durian merupakan salah satu komoditas utama yang akan
dikembangkan dalam Revolusi Oranye. (Tim Inisiator Revolusi Oranye IPB 2013).

2
Pengembangan perkebunan durian oleh BUMN, perusahaan swasta maupun
petani akan memerlukan berbagai sarana produksi, termasuk bibit durian unggul
yang sehat dan berkualitas baik dalam jumlah yang cukup pada waktu diperlukan.
Perlu dilakukan upaya pencarian dan perakitan varietas durian unggul baru serta
teknologi perbanyakan bibit durian yang memungkinkan perbanyakan secara
cepat dan seragam untuk mendukung ketersediaan bibit durian unggul yang sehat
dan bermutu di Indonesia.
Perbanyakan bibit durian unggul selama ini umumnya dilakukan dengan
penyambungan dan okulasi. Metode perbanyakan ini masih mempunyai
keterbatasan untuk produksi massal, yaitu ketersediaan batang bawah yang tidak
kontinu karena tergantung musim buah durian dan keterbatasan entres (batang
atas) berkaitan dengan tahap perkembangan pucuk, gangguan hama dan penyakit,
dan sebagainya. Keseragaman bibit yang dihasilkan juga relatif rendah. Selain itu
metoda perbanyakan ini juga berpeluang menularkan organisme pengganggu
tanaman baik yang berasal dari batang bawah maupun dari batang atas. Distribusi
bibit dari satu daerah ke daerah lain dengan demikian berpeluang menyebarkan
bibit penyakit atau hama yang tidak kita inginkan.
Teknik kultur jaringan dapat diterapkan untuk mengatasi faktor pembatas
tersebut karena dengan kultur jaringan kita dapat memperoleh propagul (bahan
tanam) yang banyak dengan produksi yang kontinu dalam waktu relatif singkat
(Bhojwani dan Razdan 1996). Keuntungan lain perbanyakan tanaman durian
menggunakan teknik kultur jaringan antara lain dapat dilakukan kapan saja tidak
tergantung musim buah durian, bahan perbanyakan tidak harus banyak sehingga
tidak merusak tanaman induk, kecepatan perbanyakan tinggi, bibit yang
dihasilkan seragam dan bebas patogen (cendawan, bakteri, bisa juga virus).
Seleksi calon batang bawah terkait ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik
dapat dilakukan lebih cepat dengan kultur jaringan durian melalui prosedur seleksi
in vitro. Kultur jaringan durian juga dapat diterapkan untuk program pemuliaan
yang sulit dilakukan dengan pemuliaan konvensional, misalnya perakitan tanaman
durian triploid. Selain itu, dengan didapatkan protokol regenerasi tanaman durian
secara in vitro akan membuka peluang pengembangan rekayasa genetika durian
yang memungkinkan studi dan modifikasi gen pengendali sifat-sifat penting
seperti pembungaan, perkembangan biji, ketahanan simpan, dan sebagainya.
Penelitian tentang kultur jaringan tanaman durian sampai sekarang masih
sangat terbatas. Brown (1997) telah melaporkan keberhasilan membentuk kalus
dari kultur pucuk Durio lowianus, namun belum berhasil membentuk planlet.
Chartisathian (2001) telah melaporkan induksi kalus embriogenik dari eksplan
nuselus durian, namun juga baru didapatkan kalus, belum didapatkan embrio
somatik maupun planlet. Oleh karena itu, penelitian untuk mendapatkan teknik
perbanyakan durian dengan kultur jaringan perlu terus dilakukan.
Perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan dapat dilakukan dengan
beberapa tipe dasar mikropropagasi, yaitu kultur meristem, proliferasi tunas
aksilar, induksi pucuk adventif, organogenesis dan embriogenesis somatik
(Hartmann et al. 1990). Embriogenesis somatik telah berkembang menjadi jalur
perbanyakan yang banyak diteliti karena keunggulannya yaitu efisiensi yang
tinggi untuk perbanyakan klonal, seleksi sel, penyelamatan embrio, hibridisasi
somatik, produksi galur homozigot, produksi metabolit sekunder, eliminasi
penyakit, teknik benih sintetik, dan sebagai bahan yang baik untuk kryopreservasi

3
plasma nutfah. Embriogenesis somatik merupakan suatu proses kunci dalam
perbanyakan tanaman dan produksi tanaman transgenik, serta merupakan suatu
sistem model untuk memahami pertumbuhan dan differensiasi tanaman dalam
penelitian dasar (Neumann et al. 2009).
Mengingat masa juvenil tanaman durian yang panjang, perbanyakan
tanaman durian dengan embriogenesis somatik layak diterapkan untuk
perbanyakan batang bawah durian. Planlet yang dihasilkan dari perbanyakan ini
dapat digunakan untuk penyambungan mikro (micrografting) maupun
penyambungan dan okulasi konvensional. Penerapan perbanyakan ini dapat
mengatasi permasalahan perbanyakan batang bawah secara konvensional dari biji
yang hanya dapat dilakukan pada saat musim buah durian. Bibit hasil
perbanyakan dengan embriogenesis somatik tetap memiliki keunggulan seperti
perbanyakan asal biji dalam hal keberadaan akar tunggang.
Penelitian tentang induksi embriogenesis somatik dan pematangan embrio
somatik pada berbagai spesies tanaman telah banyak dilakukan. Pada umumnya
induksi embriogenesis somatik memerlukan kandungan nutrisi media, zat
pengatur tumbuh (ZPT), pencahayaan dan suhu yang sesuai. ZPT yang umum
digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik bisa dari kelompok auksin
(Pareek dan Kothari 2003), sitokinin (Singh et al. 2003; Mujib et al. 2005), atau
kombinasi auksin dan sitokinin (Thomas dan Jiménez 2005; Bhattacharya et al.
2010; Lin et al. 2011). Indrianto et al. (1999) melaporkan beberapa kondisi
cekaman dapat merangsang embriogenesis somatik.
Regenerasi tanaman melalui jalur embriogenesis somatik juga telah
dilaporkan berhasil pada beberapa spesies tanaman berkayu, antara lain pada
jambu monyet (Nadgauda dan Gogate 2005), nangka (Roy dan Debnath 2005),
kopi (Etienne 2005), kakao (Maximova et al. 2005), mangga (Ara et al. 2005) dan
lain-lain. Protokol regenerasi tanaman melalui jalur embriogenesis somatik yang
telah berhasil tersebut dapat dijadikan acuan dalam upaya mengembangkan
protokol induksi embriogenesis somatik tanaman berkayu lain yang sementara ini
belum pernah dikembangkan, termasuk durian.

Perumusan Masalah
Agribisnis durian di Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengejar ketertinggalan dari
agribisnis durian negara-negara tetangga. Untuk itu perlu dilakukan pembangunan
perkebunan durian unggul skala besar, baik oleh pemerintah, perusahaan swasta
maupun petani perseorangan. Banyak faktor pendukung yang perlu disediakan,
termasuk upaya untuk mendapatkan varietas durian yang lebih unggul dan
penyediaan bibit durian unggul yang sehat dan bermutu dengan jumlah yang
cukup pada waktu diperlukan. Teknik kultur jaringan dapat diterapkan untuk
memenuhi kedua hal tersebut.
Kultur jaringan melalui jalur embriogenesis somatik lebih menguntungkan
daripada jalur regenerasi yang lain karena efisiensi perbanyakan yang lebih tinggi
dan lebih baik dalam menunjang bioteknologi tanaman. Keberhasilan
perbanyakan melalui jalur embriogenesis somatik ditentukan oleh banyak faktor,
meliputi komposisi media, ZPT dan bahan eksplan. Media MS dan B5 atau

4
kombinasi keduanya merupakan media yang banyak digunakan dalam kultur
jaringan berbagai spesies tanaman. ZPT yang paling banyak digunakan dalam
induksi embriogenesis somatik adalah ZPT dari kelompok auksin. Maka dalam
penelitian ini digunakan media dasar MS dan B5 dengan ZPT pikloram dan NAA
untuk induksi embriogenesis somatik pada durian.
Jenis eksplan menentukan kemudahan pembentukan embrio somatik.
Eksplan yang paling mudah membentuk embrio somatik adalah embrio zigotik
muda. Walau demikian, embrio zigotik merupakan individu baru hasil
rekombinasi gamet. Proses segregasi dalam pembentukan gamet dari pasangan
alela tetua maupun proses rekombinasi gamet membentuk zigot terjadi secara
acak sehingga konstitusi genetik maupun performa/penampilan fenotipik individu
hasil kultur embrio zigotik belum diketahui. Penggunaan embrio zigotik sebagai
eksplan dapat dilakukan untuk tujuan perbanyakan batang bawah untuk keperluan
penyambungan mikro (micrografting) ataupun penyambungan konvensional,
perbanyakan hasil persilangan terkontrol dan tujuan lain yang relevan.
Tiap bagian tanaman dapat memberikan respon berbeda terhadap regenerasi
tanaman melalui jalur embriogenesis somatik in vitro. Dalam penelitian ini
digunakan eksplan dasar bunga, petal, endosperm, dan embrio zigotik muda
durian.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan kombinasi media, ZPT, dan
eksplan terbaik dalam induksi kalus embriogenik dan induksi embrio somatik
pada kultur jaringan durian.

Hipotesis
Diduga keberhasilan induksi embriogenesis somatik pada durian tertinggi
akan didapatkan pada media MS dengan ZPT pikloram dengan eksplan embrio
zigotik muda.

Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan dua tahap penelitian yaitu 1) induksi kalus
embriogenik dan 2) induksi embriogenesis kalus yang didapatkan dari percobaan
pertama. Tahap induksi kalus dilakukan untuk mendapatkan kalus atau massa
embriogenik. Pada tahap ini dilakukan empat percobaan terpisah dengan bahan
eksplan berbeda, yaitu dasar bunga, petal, dan embrio zigotik muda. Percobaan
tahap 2 menggunakan kalus tipe 1 dari eksplan petal varietas Simas hasil
percobaan 1. Percobaan ini bertujuan menginduksi embriogenesis bahan kalus
yang digunakan. Perlakuan yang diberikan adalah konsentrasi BA 0.0 sampai 2.0
ppm pada media MS dengan vitamin media B5 yang dilengkapi dengan glutamina
100 ppm, asparagina 100 ppm, kasein hidrolisat 500 ppm, dan pikloram 0.5 ppm.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biologi durian
Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan tanaman buah tropika yang
berasal dari Asia Tenggara, meliputi Semenanjung Malaya dan Indonesia. Buah
durian mempunyai cita rasa yang khas dan nilai ekonomi yang tinggi sehingga
dijuluki raja buah-buahan tropika (King of tropical fruits). Nama „Durio ‟ diambil
dari bahasa melayu „duri‟ dan „zibethinus‟ diambil dari bahasa italia „zibetto‟ yang
berarti berbau tajam (Nakasone dan Paul 1998). Dewasa ini pertanaman durian
telah menyebar ke daerah lain, diantaranya Madagaskar, Kongo, Queensland,
Australia bagian utara, Florida dan Hawaii (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001).
Durian termasuk dalam Kingdom Plantae, Subkingdom Viridaeplantae,
Infrakingdom Streptophyta, Divisi Tracheophyta, Subdivisi Spermatophytina,
Infradivisi Angiospermae, Kelas Magnoliopsida, Superordo Rosanae, Ordo
Malvales, Family Malvaceae, Genus Durio, Spesies Durio zibethinus Murray
(ITIS 2013). Walaupun demikian dalam beberapa literatur disebutkan durian
termasuk Famili Bombacaceae, subfamili Helicteroideae, tribe Durioneae
(Subhadrabandhu dan Ketsa 2001; USDA 2013). Terdapat 28 spesies dalam genus
Durio, 19 spesies diantaranya terdapat di Pulau Kalimantan. Dari 28 spesies
tersebut hanya 8 spesies yang menghasilkan buah yang layak dimakan, yaitu
Durian (Durio zibethinus Murr.), Lai (D. kutejensis (Hassk.) Becc.), Keratogan (D.
oxleyanus Griffith.), Tabelak (D. graveolens Becc.), Lahong (D. Dulcis Becc.),
durian kura-kura (D. testudinarum Becc.), durian monyet (D. grandiflorus (Mast.)
Kosterm.) dan chaarian (D. lowianus Scort.). Hanya D. zibethinus yang
dikembangkan secara komersial karena mempunyai kualitas buah dan nilai
ekonomi paling tinggi. Terdapat banyak varietas D. zibethinus yang
dikembangkan, diantaranya Mon Thong, Chanee, Kradum Thong dan sebagainya
di Thailand; D2, D10, D24, D99, D123, MDUR78, MDUR88, dan sebagainya di
Malaysia; Matahari, Petruk, Sunan, Simas, Kalapet, Aspar, Raja Mabah, dan
sebagainya di Indonesia (Subhadrabandhu dan Ketsa 2001).
Durian merupakan tanaman tahunan berbentuk pohon yang dapat berumur
sampai dengan 150 tahun. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 meter atau lebih,
dengan diameter batang dapat mencapai 50 sampai 120 cm. Cabang utama
tumbuh dari batang utama ke segala arah. Bentuk tajuk adalah kerucut atau kubah
(columnar), tergantung genotipe dan cara perbanyakan. Daun durian berupa daun
tunggal, tersusun berseling, berbulu, menjuntai, bentuk oval atau elip, panjang 8
sampai 12 cm dan lebar 4 sampai 6 cm. warna permukaan atas daun adalah hijau
muda sampai hijau tua, sementara permukaan bawah coklat keperakan
(Subhadrabandhu dan Ketsa 2001).
Bunga durian muncul pada cabang utama, kadang-kadang juga pada batang
utama dan cabang sekunder atau tersier yang cukup besar. Inisiasi perbungaan
terjadi setelah mengalami musim kering yang cukup. Etephon, NAA, dan
diaminozide tidak dapat menginduksi pembungaan, sementara GA3 menunda
pembungaan (Nakasone dan Paul 1998). Bunga mekar pada sore sampai malam
hari sehingga penyerbukan terjadi pada malam hari. Penyerbukan diduga terjadi
dengan bantuan kelelawar. Durian merupakan tanaman yang secara alami

6
menyerbuk silang, bahkan terdapat klon yang menunjukkan gejala ketakserasian
sendiri (self incompatibility) sehingga memerlukan serbuk sari dari varietas lain
untuk pembentukan buah yang normal (George et al. 1994; Nanthachay 1994).
Penyerbukan yang tidak sempurna dapat menyebabkan adanya ruang buah
(loculus) kosong yang berakibat bentuk buah tidak simetris dan menurunkan
kualitas buah (Nanthachay dan Sapii 1994).
Buah durian berbentuk bulat sampai lonjong, ukuran bervariasi antar
varietas, diameter melintang 13 sampai 16 cm dan diameter membujur 15 sampai
25 cm. Tangkai buah cukup panjang, 5 sampai 6 cm berdiameter 1 sampai 1.2 cm.
Kulit buah tebal, tertutup oleh duri-duri berbentuk piramid yang runcing, keras
dan tajam. Di dalam buah biasanya terdapat 5 ruang, kadang-kadang ada yang 6.
Dalam tiap ruang terdapat 7 sampai 9 bakal biji. Perkembangan buah sejak
penyerbukan sampai buah masak memerlukan waktu 90 sampai 115 hari
(Subhadrabandhu dan Ketsa 2001). Selama perkembangan buah tersebut terdapat
hubungan yang erat antara diameter tangkai buah dengan bobot kering seluruh
bagian buah (Ogawa et al. 2007). Dengan demikian ukuran tangkai buah dapat
dijadikan penanda tingkat perkembangan buah durian. Buah durian mempunyai
kandungan nutrisi yang tinggi, walaupun terdapat variasi yang tinggi antara buah
dari pohon yang berlainan (Tabel 2). Selain itu, daging buah durian juga
mengandung senyawa volatil yang mencakup 22 jenis ester, 9 jenis alkana
mengandung belerang, 3 jenis tioasetal, 2 jenis tioester, 2 jenis tiolana dan 1 jenis
alkohol (Chin et al. 2007).
Tabel 2 Komposisi nutrisi daging buah durian (per 100 g)
Komponen
Air (g)
Kalori (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Serat (g)
Abu (g)
Kalsium (mg)
Pospor (mg)
Besi (mg)
Vit, A (IU)
Tiamina (mg)
Riboflavin (mg)
Niasin (mg)
Asam askorbat (mg)

a

b

c

d

e

f

59.9
147
2.0
1.2
36.1
1.9
0.8
18
56
1.1
0.32
0.28
1.1
44

58.0
2.8
3.9
34.1
10
50
0.1
20

65
134
2.5
3.0
28.9
7.4
44
1.3
0.10
53

70.9
3.3
4.3
19.3
1.2
49
27
2.0
890
1.08
0.11
1.0
62

68.0
15.0
23

66.8
2.5
1.6
28.3
1.4
20
63
0.9
0.27
0.29
57

Sumber: a–e Nanthachay (1994); f. Subhadrabandhu dan Ketsa (2001).

Lingkungan optimum untuk pertumbuhan dan produksi durian adalah suhu 27
sampai 30 oC dan kelembaban udara 75% sampai 80%. Walaupun demikian durian
relatif tahan suhu tinggi (sampai 40 oC) dan suhu rendah (sampai 22 oC)
(Subhadrabandhu dan Ketsa 2001). Pengaruh suhu rendah (≤9 oC) pada tanaman
durian adalah pengguguran daun yang hebat dan kematian bibit (Zappala dan

7
Zappala 1994). Curah hujan optimum 1500 sampai 2500 mm per tahun yang
tersebar merata sepanjang tahun, dan akan lebih baik pada daerah dengan curah
hujan diatas 3000 mm per tahun.
Ketinggian tempat (altitude) yang optimum untuk durian adalah 50 sampai
500 meter dari permukaan laut. Jenis tanah yang ideal adalah tanah yang subur,
lapisan tanahnya dalam dengan drainase yang baik dan pH 4.5 sampai 6.5.
Topografi datar sampai berlereng dengan kemiringan sedang dibawah 35 o
(Subhadrabandhu dan Ketsa 2001).

Kultur Jaringan
Kultur jaringan tanaman adalah suatu metode perbanyakan vegetatif yang
dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman (protoplas, sel, jaringan,
organ) dan menumbuhkannya dalam wadah yang kondisinya terkontrol agar
bagian tanaman tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi
tanaman lengkap (Hartmann et al. 1990). Istilah kultur jaringan berlaku umum,
walau yang dikulturkan sebenarnya adalah sel, protoplas, jaringan, atau organ.
Kultur jaringan tanaman telah berkembang dari percobaan untuk pembuktian teori
totipotensi menjadi metode perbanyakan tanaman yang mempunyai banyak
keunggulan. Keuntungan perbanyakan tanaman menggunakan teknik kultur
jaringan antara lain dapat dilakukan kapan saja, bahan perbanyakan tidak harus
banyak sehingga tidak merusak tanaman induk, kecepatan perbanyakan tinggi,
bibit yang dihasilkan seragam dan bebas patogen (cendawan, bakteri, bisa juga
virus), dan dapat memperbanyak tanaman yang perbanyakannya secara alami sulit
contohnya anggrek. Penerapan teknik kultur jaringan tanaman telah berkembang
lebih luas lagi yakni untuk perbanyakan massal tanaman yang unik, perakitan
tanaman transgenik, sebagai sistem model dalam fisiologi sel tanaman,
penyelamatan tanaman langka, dan rekayasa metabolisme senyawa kimia tertentu
(Loyola-Vargas dan Vázquez-Flota 2006). Dewasa ini kultur jaringan tanaman
sudah menjadi salah satu bidang ilmu dalam bioteknologi tanaman, bersama dua
bidang ilmu lain yaitu rekayasa genetika dan marka (penanda) molekuler tanaman
(Aladele et al. 2012).
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan tanaman,
antara lain komposisi nutrisi dalam media, ZPT, eksplan, dan kondisi lingkungan.
Media kultur jaringan mengandung beberapa komponen, antara lain: Unsur hara
makro dan mikro dalam bentuk garam. meliputi unsur N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn,
Cu, Zn, Co, B, dan Mo; sumber karbon dan sumber energi terutama sukrosa dan
atau glukosa; mio inositol dan vitamin terutama tiamina, asam nikotinat dan
piridoksina; asam-asam amino sebagai sumber N-organik, dan bahan pemadat jika
diperlukan. Sekarang telah dikembangkan banyak macam media dasar kultur
jaringan yang dirancang untuk komoditas tertentu atau tujuan tertentu (Saad dan
Elshahed 2012, Tabel 3).

8
Tabel 3 Komposisi berbagai media dasar kultur jaringan
Komposisi media
(ppm)
Unsur makro
Ca3(PO4)2
NH4NO3
KNO3
CaCl2.2H2O
MgSO4.7H2O
KH2PO4
(NH4)2SO4
NaH2PO4.H2O
CaNO3.4H2O
Na2SO4
KCl
K2SO4
Unsur mikro
KI
H3BO3
MnSO4.4H2O
MnSO4.H2O
ZnSO4.7H2O
Na2MoO4.2H2O
CuSO4.5H2O
CoCl2.6H2O
Co(NO3)2.6H2O
Na2EDTA
FeSO4.7H2O
MnCl2
Fe(C4H4O6)3.2H2O
Vitamin dan suplemen
Inositol
Glisina
Tiamina HCl
Piridoksina HCl
Asam nikotinat
Ca-pantotenat
Sisteina HCl
Riboflavin
Biotin
Asam folat

MS

B5

W

LM

VW

Km

M

NN

1650
1900
440
370
170
-

2500
150
250
134
150
-

80
720
16.5
300
200
65
-

400
96
370
170
556
990

200
525
250
250
500
-

180
250
150
100
200
-

180
250
150
100
200
-

720
950
166
185
68
-

0.83
6.2
22.3
8.6
0.25
25
25
37.3
27.8
-

0.75
3
10
2
0.25
25
25
37.3
27.8
-

0.75
1.5
7
2.6
-

6.2
29.43
8.6
0.25
0.25
37.3
27.8
-

0.75
28

80
6.2
75
0.25
25
25
74.6
25
3.9
-

3
0.6
5
5
5
37.3
27.8
0.4
-

10
25
10
0.25
25
37.3
27.8
-

100
2
0.1
0.5
0.5
-

100
2
10
-

3
0.1
0.1
0.5
1
1
-

100
2
1
0.5
0.5
-

-

0.3
0.3
0.3
-

0.3
0.3
1.25
5
5
0.3

100
2
0.5
0.5
5
5
0.5

Sumber: Saad dan Elshahed. (2012). Media: MS Murashige and Skoog; B5: Gamborg ; W: White;
LM: Lloyd and McCown; VW: Vacin and Went; Km:Kudson modified; M: Mitra; NN: Nitsch and
Nitsch.

9
Hormon tanaman adalah sekelompok senyawa organik alami yang
mempengaruhi proses-proses fisiologi tanaman dalam konsentrasi rendah (Arteca
1996; Davies 2004), sedangkan zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa kimia
sintetis yang mempunyai karakteristik yang sama dengan hormon tanaman atau
senyawa kimia yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Ada 5 kelompok
ZPT dan hormon yang telah dikenal dalam mempengaruhi dan mengatur
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam
absisat dan etilen. Perkembangan terbaru telah memasukkan brassinosteroid, asam
salisilat, dan jasmonat ke dalam kelompok hormon tanaman (Davies 2004).
ZPT kelompok auksin berperan merangsang pemanjangan sel, terutama di
daerah meristem, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif. Senyawasenyawa yang termasuk dalam kelompok auksin yang banyak digunakan dalam
kultur jaringan antara lain α-naphtalenacetic acid (NAA), indole-3-acetic acid
(IAA), 2,4-diclorophenoxyacetid acid (2,4-D), dan 4-amino-3,4,5, trichloropicolinic acid (pikloram). Senyawa lain yang termasuk auksin adalah 2,4,5triclorophenoxyacetid acid (2,4,5-T), indole-3-butyric acid (IBA) dan ρchloropenoxyacetid acid (4-CPA) (Arteca 1996).
Sitokinin merupakan ZPT yang berperan meningkatkan pembelahan sel
serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di dalam kultur
jaringan, sitokinin berperan dalam proliferasi dan morfogenesis pucuk. Senyawa
kelompok sitokinin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin,
benziladenin atau benzilaminopurin (BA/BAP), zeatin dan 2-isopenteniladenina
(2-iP). Selain itu air kelapa juga banyak dipakai sebagai sumber sitokinin alamiah
dalam kultur jaringan.
Kombinasi auksin dan sitokinin dalam media akan memberikan pengaruh
terhadap morfogenesis eksplan dalam kultur. Rasio auksin terhadap sitokinin yang
tinggi umumnya menginduksi akar, embriogenesis dan pembentukan kalus,
sementara rasio auksin yang rendah umumnya menginduksi proliferasi tunas
adventif dan tunas aksilar (Van Staden et al. 2008).
Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan kultur jaringan antara
lain genotipe, jenis eksplan, dan kondisi lingkungan kultur yang meliputi suhu,
kelembaban, cahaya, keasaman media (pH), dan kondisi aerasi kultur.

Embriogenesis Somatik
Embriogenesis somatik merupakan suatu proses berkembangnya sel somatik
membentuk individu baru melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik
tanpa melalui fusi gamet. Tahap-tahap perkembangan embrio somatik tersebut
mirip dengan embrio zigotik hasil fusi gamet, pada kelas tanaman dikotil melalui
tahap globular, torpedo, hati dan tahap kotiledon dan akhirnya berkecambah
membentuk individu baru. Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur,
yaitu embriogenesis somatik langsung dan embriogenesis somatik tidak langsung.
Embriogenesis somatik langsung terjadi jika embrio terbentuk langsung pada
eksplan yang dikulturkan sedangkan embriogenesis somatik secara tidak langsung
adalah jika pembentukan embrio somatik didahului oleh fase kalus
(Purnamaningsih 2002). Dari kedua jalur ini, embriogenesis somatik tidak
langsung lebih sering diterapkan (Rose et al. 2010).

10
Proses pembentukan embrio somatik dari sel non embriogenik dapat dibagi
menjadi 2 tahap, yaitu tahap induksi dan tahap ekspresi. Selama tahap induksi,
sel-sel yang telah terdiferensiasi mengalami perubahan arah pertumbuhan dan
perkembangan sehingga mendapatkan kemampuan embriogenik dan
memperbanyak diri sebagai sel embriogenik. Selanjutnya pada tahap ekspresi selsel embriogenik menampilkan kemampuan embriogeniknya membentuk embrio
somatik (Namasivayam 2007). Tahap induksi pada umumnya memerlukan auksin,
yang paling banyak digunakan adalah 2,4-D. Keberadaan cekaman seperti
cekaman pelukaan, cekaman ZPT, kelaparan nitrogen dan karbohidrat, dan
cekaman suhu juga merupakan faktor kunci dalam menginduksi embrio somatik.
Hormon/ZPT dan cekaman bersama-sama menginduksi dedifferensiasi sel dan
menginisiasi embriogenesis pada genotipe yang responsif (Gambar 1, Rose et al.
2010). Perkembangan embrio somatik umumnya memerlukan penghilangan
auksin berangsur-angsur atau penurunan konsentrasinya
Eksplan + cekaman + ZPT
Redeterminasi arah pertumbuhan/perkembangan
Program perkembangan embrionik
Gambar 1 Konsep hubungan komponen utama pada induksi embriogenesis
somatik
Faktor-faktor yang mempengaruhi embriogenesis somatik antara lain
eksplan, genotipe, zat pengatur tumbuh (ZPT), sumber nitrogen, polyamine,
kandungan oksigen terlarut, stimulasi elektrik, dan subkultur selektif (Bhojwani
dan Razdan 1996). Faktor lain, seperti kandungan kalsium tinggi, antibiotik
cefotaxim, inhibitor etilen, dicamba dan sebagainya telah dilaporkan dapat
menginduksi embriogenesis somatik pada jenis tanaman tertentu.
Embrio zigotik muda merupakan eksplan terbaik untuk jenis tanaman yang
termasuk kategori rekalsitran secara in vitro seperti serealia, biji-bijian legum dan
tanaman hutan berkayu. Sejalan dengan itu, Neumann et al. (2009) menyatakan
urutan eksplan dalam hal kemudahan induksi embrio somatik adalah embrio
zigotik, hipokotil, tangkai daun, helaian daun, dan akar. Terdapat perbedaan
respon terhadap induksi embriogenesis somatik antar genotipe (varietas, kultivar
atau klon) dalam satu spesies yang sama, dan karakter ini diwariskan. ZPT yang
paling umum digunakan dalam induksi embriogenesis somatik pada kebanyakan
tanaman adalah 2,4-D. Kandungan nitrogen yang cukup dalam bentuk NH4+ dalam
media lebih bersifat induktif, sementara media yang hanya mengandung NO3kurang atau tidak bersifat induktif. Keberadaan polyamine diperlukan dalam
embriogenesis somatik maupun embriogenesis zigotik. Subkultur selektif yaitu
hanya kalus yang bersifat embriogenik saja yang dipilih untuk dilanjutkan pada
tiap tahap subkultur dapat meningkatkan keberhasilan regenerasi tanaman melalui
embriogenesis somatik (Bhojwani dan Razdan 1996).
Embriogenesis somatik tanaman berkayu telah dilaporkan berhasil pada
beberapa spesies. Beberapa ringkasan protokol propagasi in vitro melalui
embriogenesis somatik tanaman berkayu adalah sebagai berikut:

11
1. Kakao (Maximova et al. 2005)
Protokol regenerasi kakao dengan jalur embriogenesis somatik
menggunakan eksplan pangkal petal dan staminodium. Eksplan ditanam pada
media PCG (primary callus growth, Tabel 4) selama 2 minggu dalam keadaan
gelap. Selanjutnya dipindahkan ke media SCG (secondary callus growth, Tabel 4)
selama 2 minggu. Setelah dua minggu dalam media SCG kalus mulai berkembang,
selanjutnya eksplan dipindahkan ke media ED (embryo development, Tabel 4).
Dua minggu setelah ditanam dalam media ED eksplan akan membengkak
dan akan dijumpai dua tipe kalus. Tipe kalus pertama terdiri atas sel-sel yang
memanjang dan berwarna putih. Kalus tipe pertama ini hampir tidak pernah
menghasilkan embrio somatik. Tipe kalus kedua berstruktur remah, terdiri atas
sel-sel berbentuk bulat, berwarna coklat muda sampai coklat tua. Kalus tipe kedua
ini sering menghasilkan embrio somatik. Subkultur eksplan ke media ED yang
baru dilakukan tiap 2 minggu. Embrio somatik banyak dihasilkan selama kultur
pada media ED. Embrio somatik yang didapatkan tetap disubkultur pada media
ED sampai tahap kotiledon dewasa berukuran ± 2 cm.
Tabel 4 Daftar komposisi media pada kultur kakao
Tahap Kultur
PCG
SCG
ED
PEC
RD

Komposisi Media
DKW + 250 ppm glutamina + 2 ppm 2,4-D + 0.005 ppm TDZ +
20 g/l glukosa + 2 g/l fitagel
WPM + 2 ppm 2,4-D + 0.05 ppm BA + 20 g/l glukosa + 2.2 g/l
fitagel
DKW + 1 g/l glukosa + 30 g/l sukrosa + 2 g/l fitagel
DKW + 20 g/l glukosa + 10 g/l sukrosa +0.435 ppm arginin +
0.328 ppm leusina + 0.456 ppm lisina + 0.511 ppm triptofan +
300 ppm KNO3+ 1.75 g/l fitagel
½ DKW tanpa vitamin + 300 ppm KNO3 +10 g/l glukosa + 5 g/l
sukrosa+ 1.75 g/l fitagel

Keterangan : PCG: primary callus growth; SCG: secondary callus growth; ED: embryo
development; PEC: primary embryo conversion; RD: root development.

Embrio somatik dewasa disubkultur ke media PEC (primary embryo
conversion, Tabel 4) dengan posisi tegak. Embrio somatik disubkultur ke media
PEC yang baru tiap 30 hari sampai berkecambah mengeluarkan 1 atau 2 daun.
Kecambah embrio somatik normal berukuran minimal 1 cm yang telah
mempunyai akar utama dipindahkan ke media RD (root development, Tabel 4).
Kecambah disubkultur ke media RD yang baru tiap 2 bulan hingga mempunyai
akar sempurna dan 4 sampai 5 daun untuk aklimatisasi.
2. Nangka (Roy dan Debnath 2005)
Perbanyakan nangka dengan embriogenesis somatik menggunakan eksplan
epikotil dan kotiledon dari kecambah in vitro. Biji segar dari buah masak
disterilkan dengan alkohol dan klorok, kemudian dibuang bagian kulit biji (exine)
dan ditanam dalam media MS tanpa ZPT dalam kondisi gelap selama 2 mingu.
Setelah epikotil berukuran 4 sampai 5 cm, epikotil dan kotiledon dipotong-potong

12
dengan ukuran 0.5 sampai 0.7 cm untuk ditanam pada media induksi kalus (callus
induction medium - CIM, Tabel 5). Kultur dipelihara dalam kondisi terang dengan
suhu 24 oC selama 9 minggu dengan subkultur tiap 3 minggu. Dalam kultur ini
akan dihasilkan kalus remah dan embrio somatik sampai tahap globular. Embrio
globular selanjutnya disubkultur ke media perkembangan embrio (embryo
development medium – EDM, Tabel 5) dan disubkultur pada media yang sama
setiap 3 minggu hingga membentuk embrio somatik tahap kotiledon matang.
Embrio tahap kotiledon selanjutnya disubkultur ke media perkecambahan embrio
(embryo germination medium – EGM, Tabel 5).
Tabel 5 Daftar komposisi media pada kultur nangka
Tahapan
CIM
EDM
EGM

Komposisi media
MS + 2.5 ppm 2,4-D + 30 g/l sukrosa + 30 g/l sukrosa + 0.7% agar
bakto
MS + 30 ppm glutamina + 3 ppm BA + 1 ppm IBA + 30 g/l sukrosa
+ 0.7% agar bakto
MS + 10% air kelapa + 1 ppm GA3 + 30 g/l sukrosa + 0.7% agar
bakto

Keterangan : CIM: callus induction medium; EDM: embryo development medium; EGM:
embryo germination medium.

3. Kopi (Etienne 2005)
Perbanyakan tanaman kopi dengan jalur embriogenesis somatik in vitro
menggunakan eksplan daun muda. Daun muda disterilkan dengan kalsium
hipoklorit dan dibilas dengan air steril. Selanjutnya daun ddipotong-potong
berukuran 1 cm2 dan ditanam pada media induksi kalus (C, Tabel 6) dengan posisi
terbalik (daun bagian atas menyentuh media). Kultur dipelihara dalam kondisi
gelap dengan suhu 26 oC selama satu bulan hingga muncul kalus primer berwarna
putih pada bekas luka dan tulang daun utama. Selanjutnya eksplan disubkultur ke
media produksi kalus embriogenik (ECP, Tabel 6). Setelah 4 minggu dalam media
ECP, kalus dan eksplan berangsur mencoklat. Setelah 13-16 minggu dalam media
yang sama, terbentuk kalus kuning remah embriogenik yang berkembang selama
3 sampai 4 minggu. Kalus embriogenik dapat diperbanyak dengan disubkultur ke
media cair untuk proliferasi kalus (CP, Tabel 6) dalam bioreaktor untuk produksi
massal bibit kopi.

13
Tabel 6 Daftar komposisi media pada kultur kopi (satuan dalam ppm)
Komponen
Media dasar
Tiamina
Asam nikotinat
Piridoksina
Mioinositol
Glisina
Sisteina
Adenin sulfat
Kasein hidrolisat
Ekstrak malt
2,4-D
IBA
2IP
BA
Kinetin
Sukrosa
Fitagel
pH

C

ECP

CP

M

½ MS
10
1
1
100
1
100
400
0.5
1
2
30000
2500
5.6

½ MS
20
200
20
40
60
200
800
1
4
30000
2500
5.6

½ MS
5
0.5
0.5
50
10

MS
10
100
0.3
40000
5.6

100
200
1
1
15000
5.6

Keterangan : C: callus induction medium; ECP: embriogenic callus production medium; CP: callus
proliferation medium; M: embryo maturation medium.

Kalus embriogenik tersebut akan berkembang menjadi embrio somatik jika
disubkultur ke media pendewasaan (M, Tabel 6). Setelah embrio mencapai tahap
kotiledonari matang yang ditandai dengan terbukanya kotiledon dan adanya aksis
embrio yang berwarna hijau, embrio disemai pada campuran tanah, pasir dan pulp
kopi yang telah disterilkan hingga berkembang menjadi planlet.
4. Jambu monyet (Nadgauda dan Gogate 2005)
Propagasi jambu monyet in vitro dengan jalur embriogenesis somatik dapat
dilakukan dengan eksplan embrio zigotik muda. Eksplan ditanam pada media
induksi (M1, Tabel 7). Embrio somatik muncul langsung dari ujung radikula
eksplan pada 3 sampai 5 minggu setelah tanam (MST). Embrio somatik
berkembang normal pada media yang sama sampai tahap kotiledonari.
Pematangan embrio somatik dilakukan dengan subkultur embrio somatik tahap
kotiledonari tersebut ke media pematangan (M2, Tabel 7) dan diinkubasi selama 3
sampai 4 minggu. Selanjutnya embrio somatik disubkultur ke media
perkecambahan (M3, Tabel 7) hingga berkecambah. Efisiensi regenerasi jambu
monyet dengan protokol ini masih rendah.

14
Tabel 7 Daftar komposisi media pada kultur jambu monyet
Bahan
Media dasar
2,4-D (ppm)
GA3 (ppm)
BA (ppm)
ABA (ppm)
Sukrosa (%)
Maltosa (%)
Agar (%)
Gelrit (%)
Arang Aktif(%)

M1

M2

M3

MS
1.1
1.04
1.13
3
6
0.5

MS
5.28
3
0.2
-

MS
3
0.2
0.5

Keterangan : M1: media induksi embrio somatik; M2: media pematangan embrio somatik; M3:
media perkecambahan embrio somatik.

5. Mangga (Ara et al. 2005)
Eksplan yang digunakan untuk perbanyakan mangga secara in vitro melalui
jalur embr