Efektivitas Briket Kulit Durian Dalam Menurunkan Kadar Besi (Fe) Air Sumur Di Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2014

(1)

EFEKTIVITAS BRIKET KULIT DURIAN DALAM

MENURUNKAN KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR

DI PERUMAHAN MILALA KELURAHAN

LAU CIH KECAMATAN

MEDAN TUNTUNGAN

TAHUN 2014

Oleh:

SISCA RAMAYANTI MAIBANG

NIM.121021017

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

EFEKTIVITAS BRIKET KULIT DURIAN DALAM

MENURUNKAN KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR

DI PERUMAHAN MILALA KELURAHAN

LAU CIH KECAMATAN

MEDAN TUNTUNGAN

TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh GelarSarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

SISCA RAMAYANTI MAIBANG

NIM.121021017

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

(4)

ABSTRAK

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Salah satu sumber air adalah air tanah seperti air sumur. Air sumur tergolong bersih dari segi mikrobiologis karena mengalami penyaringan alamiah. Tetapi dapat mengandung zat mineral dengan konsentrasi tinggi salah satunya adalah besi (Fe). Oleh karena itu diperlukan teknik pengolahan untuk menurunkan kadar Fe pada air. Salah satu caranya adalah teknik absorbsi, dengan media briket. Absorben yang digunakan adalah briket kulit durian sebagai salah satu media filter dalam penyaringan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas briket kulit durian dalam menurunkan kadar Fe air sumur di Perumahan Milala.

Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu dengan rancangan penelitian pre and post test design. Sampel berupa air sumur Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan dengan perlakuan penyaringan dengan media filter kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan briket kulit durian dengan ketebalan lapisan briket kulit durian 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm. Masing- masing dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Dimana air yang disaring sebanyak 6 L dan membutuhkan waktu 18 menit selama penyaringan.

Hasil penelitian menunjukkan pada sampel sebelum penyaringan air sumur kadar besinya adalah 6.48 mg/l. Pada penyaringan dengan ketebalan briket 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm masing- masing rata-rata kadar Fe adalah 1.78 mg/l, 1.02 mg/l, 0.70 mg/l dan 0.63 mg/l. Pada hasil penyaringan terjadi penurunan kadar Fe air sumur, sehingga penggunaan briket kulit durian sebagai media filter efektif dalam menurunkan kadar Fe.

Disarankan kepada masyarakat yang menggunakan sumber air dengan kadar besi yang tinggi dapat menggunakan briket kulit durian sebagai media filter dalam penyaringan untuk menurunkan kadar Fe dan sekaligus mengurangi volume sampah kulit durian.


(5)

ABSTRACT

Water is the most important in life after air . One source of water is ground water as well water. Water wellrelatively clean in terms of microbiological because of a natural filtering. But can contain minerals with high concentrations of one of which is ferrum ( Fe ). Therefore required processing techniques to reduce standards of ferrum in the water. One way is the absorption technique, with media briquettes. Absorbent used is the durian shell briquettes as one of the filters in the filter media.

The purpose of this research is to determine effectiveness of the durian shell briquettes reduce Fe water wells in housing Milala.

This type of research is quasy experiment with Pre and Post Test Design. Samples of well water housing Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan the filtration treatment with gravel filter media 15 cm, 20 cm and briquettes sand durian shell with a layer thickness shell briquettes durian 45 cm, 50 cm , 55 cm and 60 cm . Each performed a total of three repetitions. Where the filtered water as much as 6 L and takes 18 minutes during filtration.

The results showed the well water samples before filtering the ferrum concentration is 6.48 mg / l. In filtering with a thickness of 45 cm briquettes, 50 cm, 55 cm and 60 cm respectively average Fe content was 1.78 mg /l, 1.02 mg /l, 0.70 mg /l and 0.63 mg /l. In the result there is a decrease of Fe content filtering water wells, so the use of briquettes durian shell as an effective filter media in the lower standards of Fe.

It is recommended to people who use water sources with high standards of ferrum can use durian shell briquettes as a filter media in the filtration to reduce Fe and reducing waste volume durian shell.

Keywords : Effectiveness, Briquette Shell Durian, Ferrum Concentration, Water Well .


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Sisca Ramayanti Maibang

Tempat/ Tanggal Lahir : Tigabaru, 30 September 1989

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Menikah

Anak ke : 1 dari 4 bersaudara

Alamat Rumah : Jln SM.Raja No 80 Tigabaru Kecamatan Pegagan Hilir Kabupaten Dairi Sumatera Utara

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1997-2002 : SD Negeri 030328 Bandar Huta Usang 2. Tahun 2002-2005 : SMP Negeri 1 Pegagan Hilir

3. Tahun 2005-2008 : SMA Budi Murni 2 Medan

4. Tahun 2008-2011 : D-III Kesehatan Lingkungan Poltekes Kemenkes Medan 5. Tahun 2012-2015 : S1-Ekstensi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“EFEKTIVITAS BRIKET KULIT DURIAN DALAM MENURUNKAN

KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR DI PERUMAHAN MILALA KELURAHAN LAU CIH KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2014 ”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk memperkaya materi skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Ir. Indra Chahaya, M.Si dan Dra.Nurmaini, MKM, Ph.D selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis.


(8)

6. Asfriyati, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing akademik, yang telah memotivasi penulis agar mendapatkan nilai terbaik dalam perkuliahan.

7. Seluruh dosen serta staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, khususnya dosen dan staf departemen kesehatan lingkungan yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis selama mengikuti perkuliahan dan selama proses penulisan skripsi.

8. Jernita Sinaga, SKM selaku asisten Laboratorium Poltekes Kemenkes Medan Jurusan Kesehatan Lingkungan, yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

9. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tercinta Ayahanda T. Maibang, Ibunda R. Girsang dan adik-adikku Evrika Sanny Maibang, Indra Suveron Maibang dan Iwan Aliansi Maibang serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan doa, kasih sayang serta semangat yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Seluruh teman-teman FKM USU khususnya ekstensi 2012 dan peminatan Kesehatan Lingkungan yang telah membantu proses penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Medan, Desember 2014 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Riwayat Hidup Penulis ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Lampiran ... xi

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3.Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1.Tujuan Umum ... 4

1.3.2. Tujuan Khusus... 4

1.4. Manfaat ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Air ... 6

2.1.1. Pengertian Air ... 6

2.1.2. Siklus Hidrologi Air ... 6

2.1.3 .Sumber Air Di Alam ... 7

2.2. Air Bersih ... 10

2.2.1. Pengertian Air Bersih ... 10

2.2.2. Persyaratan Biologi ... 10

2.2.3. Persyaratan Fisik ... 11

2.2.4. Persyaratan Kimia ... 14

2.2.5. Persyaratan Radioaktif ... 15

2.3. Pengolahan Air Bersih ... 15

2.4. Besi (Fe) ... 16

2.4.1. Dampak Besi (Fe) Terhadap Kesehatan ... 17

2.4.2. Teknologi Penurunan Kandungan Besi Pada Air ... 18

2.4.3. Proses Pengolahan Air Dengan Filter Karbon Aktif ... 22

2.5. Tanaman Durian (Durio zibethinus) ... 23

2.6. Karbon Aktif ... 25

2.6.1. Pembuatan Karbon Aktif ... 29

2.6.2. Proses Aktivasi Karbon Aktif ... 31

2.7 Kerangka Konsep ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Jenis Dan Desain Penelitian ... 36

3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 36

3.3. Objek Penelitian dan Sampel ... 36


(10)

3.3.2. Sampel ... 37

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 37

3.4.1. Data Primer ... 37

3.4.2. Data Sekunder ... 37

3.5. Defenisi Operasional ... 37

3.6. Prosedur Pembuatan Briket Kulit Durian ... 38

3.7. Penyaringan Air Sumur Dengan Briket Kulit Durian ... 39

3.8. Metode Pemeriksaan Sampel ... 42

3.9. Analisa Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 44

4.1. Pemeriksaan Sampel ... 44

BAB V PEMBAHASAN ... 46

5.1. Hasil Pemeriksaan Kadar Besi (Fe) Air Sumur Di Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan ... 46

5.2. Pengaruh Penyaringan Dengan Berbagai Ketebalan Briket Terhadap Penurunan Kadar Besi (Fe) Air Sumur ... 47

5.3. Pemanfaatan Briket Kulit Durian Sebagai Media Filter ... 51

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 53

6.1. Kesimpulan ... 53

6.2. Saran ... 54

Daftar Pustaka ... 55


(11)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Kadar Besi (Fe) Sebelum dan Sesudah

Penyaringan ... ... 44 Tabel 4.2 Persentase Penurunan Kadar Besi (Fe) Sebelum dan Sesudah


(12)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Konsep ... 35 Gambar 3.1 Penampang Filter dan Susunan Media Penyaring ... 41


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

Lampiran 1. Surat Keterangan Penelitian ... 57

Lampiran 2. Surat Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 58

Lampiran 3. Permenkes Republik Indonesia No 416 Tahun 1990 ... 59


(14)

ABSTRAK

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Salah satu sumber air adalah air tanah seperti air sumur. Air sumur tergolong bersih dari segi mikrobiologis karena mengalami penyaringan alamiah. Tetapi dapat mengandung zat mineral dengan konsentrasi tinggi salah satunya adalah besi (Fe). Oleh karena itu diperlukan teknik pengolahan untuk menurunkan kadar Fe pada air. Salah satu caranya adalah teknik absorbsi, dengan media briket. Absorben yang digunakan adalah briket kulit durian sebagai salah satu media filter dalam penyaringan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas briket kulit durian dalam menurunkan kadar Fe air sumur di Perumahan Milala.

Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu dengan rancangan penelitian pre and post test design. Sampel berupa air sumur Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan dengan perlakuan penyaringan dengan media filter kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan briket kulit durian dengan ketebalan lapisan briket kulit durian 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm. Masing- masing dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Dimana air yang disaring sebanyak 6 L dan membutuhkan waktu 18 menit selama penyaringan.

Hasil penelitian menunjukkan pada sampel sebelum penyaringan air sumur kadar besinya adalah 6.48 mg/l. Pada penyaringan dengan ketebalan briket 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm masing- masing rata-rata kadar Fe adalah 1.78 mg/l, 1.02 mg/l, 0.70 mg/l dan 0.63 mg/l. Pada hasil penyaringan terjadi penurunan kadar Fe air sumur, sehingga penggunaan briket kulit durian sebagai media filter efektif dalam menurunkan kadar Fe.

Disarankan kepada masyarakat yang menggunakan sumber air dengan kadar besi yang tinggi dapat menggunakan briket kulit durian sebagai media filter dalam penyaringan untuk menurunkan kadar Fe dan sekaligus mengurangi volume sampah kulit durian.


(15)

ABSTRACT

Water is the most important in life after air . One source of water is ground water as well water. Water wellrelatively clean in terms of microbiological because of a natural filtering. But can contain minerals with high concentrations of one of which is ferrum ( Fe ). Therefore required processing techniques to reduce standards of ferrum in the water. One way is the absorption technique, with media briquettes. Absorbent used is the durian shell briquettes as one of the filters in the filter media.

The purpose of this research is to determine effectiveness of the durian shell briquettes reduce Fe water wells in housing Milala.

This type of research is quasy experiment with Pre and Post Test Design. Samples of well water housing Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan the filtration treatment with gravel filter media 15 cm, 20 cm and briquettes sand durian shell with a layer thickness shell briquettes durian 45 cm, 50 cm , 55 cm and 60 cm . Each performed a total of three repetitions. Where the filtered water as much as 6 L and takes 18 minutes during filtration.

The results showed the well water samples before filtering the ferrum concentration is 6.48 mg / l. In filtering with a thickness of 45 cm briquettes, 50 cm, 55 cm and 60 cm respectively average Fe content was 1.78 mg /l, 1.02 mg /l, 0.70 mg /l and 0.63 mg /l. In the result there is a decrease of Fe content filtering water wells, so the use of briquettes durian shell as an effective filter media in the lower standards of Fe.

It is recommended to people who use water sources with high standards of ferrum can use durian shell briquettes as a filter media in the filtration to reduce Fe and reducing waste volume durian shell.

Keywords : Effectiveness, Briquette Shell Durian, Ferrum Concentration, Water Well .


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun dapat bertahan hidup lebih dari empat sampai lima hari tanpa minum air. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65 % dari total berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang. Beberapa organ tubuh manusia yang mengandung banyak air, antara lain otak 74.5%, tulang 22%, ginjal 82.7%, otot 75.6%, dan darah 83% (Chandra, 2007).

Sumber-sumber air yang ada di bumi dapat berasal dari air permukaan yang merupakan air sungai dan danau. Air tanah tergantung kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Serta air angkasa, yaitu air yang berasal dari atmosfir, seperti hujan dan salju. Kualitas berbagai sumber air tersebut berbeda-beda sesuai dengan kondisi alam serta aktivitas manusia yang ada disekitarnya (Slamet, 2009).

Air tanah merupakan sebagian air hujan yang mencapai permukaan bumi dan menyerap ke dalam lapisan tanah dan menjadi air tanah (Chandra, 2007). Air tanah dalam pada umumnya tergolong bersih dilihat dari segi mikrobiologis, karena sewaktu proses pengaliran mengalami penyaringan alamiah dan dengan demikian kebanyakan mikroba sudah tidak lagi terdapat didalamnya. Namun demikian, kadar kimia air tanah dalam ataupun yang artesis tergantung sekali dari lapisan-lapisan


(17)

tanah yang dilalui (Slamet, 2009). Sebelum mencapai lapisan tempat air tanah, air hujan akan menembus beberapa lapisan tanah dan menyebabkan terjadinya kesadahan air (hardness of water). Kesadahan pada air ini menyebabkan air mengandung zat-zat mineral dalam konsentrasi tinggi. Zat-zat mineral tersebut, antara lain kalsium, magnesium dan logam berat seperti Fe dan Mn. Akibatnya, apabila kita menggunakan air sadah untuk mencuci, sabun tidak akan berbusa dan bila diendapkan akan terbentuk endapan semacam kerak (Chandra, 2007).

Kadar Fe yang berlebihan dalam air selain menimbulkan dampak kesehatan juga dapat menimbulkan warna kuning pada pakaian, wastafel dan lantai pada kamar mandi, rasa yang tidak enak pada air, pengendapan pada dinding pipa kekeruhan pada air. Sekalipun Fe itu diperlukan oleh tubuh, tetapi dalam dosis besar dapat merusak dinding usus. Kematian seringkali disebabkan oleh rusaknya dinding usus (Slamet, 2009). Menurut PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air, kadar Fe dalam air bersih maksimum yang diperbolehkan adalah 1,0 mg/L.

Oleh karena itu diperlukan teknik pengolahan untuk menurunkan kadar Fe pada air. Salah satu cara pengolahan air yaitu dengan teknik absorbsi, media yang digunakan adalah karbon aktif atau arang yang terbuat dari bahan apa saja. Karbon aktif adalah sejenis absorben (penyerap) berwarna hitam, berbentuk granula, pelet atau bubuk ( Kusnaedi, 2010).

Dalam penelitian ini absorben yang digunakan adalah kulit durian. Durian merupakan buah berpotensial tinggi karena seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan. Potensi durian di Indonesia dan hasil perkebunan durian terus meningkat. Dengan


(18)

banyaknya hasil perkebunan durian yang meningkat tiap tahunnya, maka limbah kulit durian pun meningkat. Buah durian memiliki bobot total terdiri dari tiga bagian. Bagian yang pertama adalah daging buah sekitar 20-35%; kedua, biji sekitar 5-15 %; sisanya berupa bobot kulit yang mencapai 60-75 % dari bobot total buah, maka sampah buah durian lebih besar berasal dari kulitnya (Untung, 2003).

Untuk mengatasi peningkatan produksi sampah tersebut maka upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan untuk mengolah sampah dari kulit durian tersebut. Kulit durian dapat dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kulit durian dapat diolah menjadi briket yang digunakan sebagai bahan bakar maupun sebagai absorben dalam penyaringan air. Berdasarkan penelitian dari University Chulalongkom Thailand yang menyebutkan bahwa kulit durian memiliki kandungan selulosa sekitar 50%-60% carboxymethylcellulose dan lignin 5%. Penggunaan selulosa ini dapat diaplikasikan karena bahan ini dapat mengikat bahan logam (Soekardjo, 1990).

Pemanfaatan limbah kulit durian sebagai karbon aktif akan mengatasi dua masalah sekaligus, yaitu akan mengurangi volume limbah kulit durian itu sendiri, serta dapat menghilangkan atau paling tidak mengurangi kadar besi (Fe) dalam air sampai ambang batas tertentu yang diinginkan. Penelitian tentang pemanfaatan kulit durian yang dijadikan sebagai karbon aktif sebagai bahan penyerap telah dilakukan sebelumnya yaitu sebagai penyerap zat warna Mthylene Blue (Ismadji, et al, 2006), sebagai peningkatan minyak jelantah (Hasibuan, 2008), sebagai adsorben logam Cu pada air dengan aktivator H2SO4 (Gultom, 2012) dan aktivator HCl (Wardani, 2012).


(19)

aktivator Kalium Hidroksida (KOH) terhadap kualitas karbon aktif kulit durian sebagai adsorben logam Fe pada air gambut, yang menurunkan konsentrasi logam Fe sebanyak 85,38%, dari 2,6 mg/L menjadi 0,38 mg/L dengan waktu kontak 24 jam.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengembangkan penggunaan kulit durian menjadi briket yang digunakan sebagai media dalam menurunkan kadar besi (Fe) air sumur. Dimana berdasarkan pengamatan yang dilakukan bahwa air sumur yang ada di Perumahan Milala Kelurahan Laucih Kecamatan Medan Tuntungan terlihat bercak kuning-coklat, menimbulkan bau yang kurang enak dan menyebabkan warna kuning pada dinding bak kamar mandi serta manimbulkan noda atau bercak-bercak kuning pada pakaian, sehingga penulis ingin menelitinya.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka timbul pertanyaan seberapa efektifkah briket kulit durian dalam menurunkan kadar besi (Fe) air sumur.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas briket kulit durian dalam menurunkan kadar besi (Fe) air sumur.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kadar besi (Fe) air sumur sebelum dilakukan penyaringan dengan media briket kulit durian.


(20)

2. Untuk mengetahui kadar besi (Fe) air sumur sesudah dilakukan penyaringan dengan media briket kulit durian dengan ketebalan lapisan briket adalah 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm.

3. Untuk mengetahui persentase penurunan kadar besi (Fe) setelah dilakukan penyaringan dengan media briket kulit durian.

4. Untuk mengetahui ketebalan media filter briket kulit durian yang paling efektif untuk menurunkan kadar besi (Fe) pada air sumur yang disesuaikan dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416/Menkes/Per/IX/1990.

1.4. Manfaat

1. Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa kulit durian dapat digunakan sebagai briket yang dapat digunakan sebagai media penyaringan dalam menurunkan kadar besi (Fe) air.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mencanangkan program penyediaan dan penyehatan air bersih.

3. Menambah wawasan penulis dan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air

2.1.1. Pengertian Air

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar tiga perempat bagian dari tubuh manusia terdiri dari air. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65 % dari total berat badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang. Beberapa organ tubuh manusia yang mengandung banyak air, antara lain otak 74,5%, tulang 22%, ginjal 82,7%, otot 75, 6%, dan darah 83%. Air digunakan untuk mendukung hampir seluruh kegiatan manusia. Sebagai contoh, air digunakan untuk minum, memasak, mandi,mencuci dan membersihkan lingkungan rumah. Air juga dimanfaatkan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi dan transportasi. Air dibutuhkan organ tubuh untuk membantu terjadinya proses metabolisme, sistem asimilasi, keseimbangan cairan tubuh, proses pencernaan, pelarutan dan pengeluaran racun dari ginjal, sehingga kerja ginjal menjadi ringan (Chandra, 2007).

2.1.2. Siklus Hidrologi Air

Siklus hidrologi merupakan suatu fenomena alam. Hidrologi sendiri merupakan suatu ilmu yang mempelajari siklus air pada semua tahapan yang dilaluinya (Chandra, 2007).

Menurut Sutrisno (2010), jumlah air di alam ini tetap ada dan mengikuti suatu aliran yang dinamakan siklus hidrologi. Dalam siklus ini dengan adanya


(22)

penyinaran matahari, maka semua air yang ada di permukaan bumi akan menguap. Penguapan terjadi pada air permukaan, air yang berada pada lapisan tanah bagian atas, air yang ada di dalam tumbuhan, hewan, dan manusia. Karena adanya angin, maka uap air ini akan bersatu dan berada di tempat yang tinggi yang sering dikenal dengan nama awan. Oleh angin, awan ini akan terbawa makin lama makin tinggi dimana temperatur di atas makin rendah, yang menyebabkan titik – titik air dan jatuh ke bumi sebagai hujan. Air hujan ini ada yang mengalir langsung masuk ke dalam air permukaan (run-off), ada yang meresap ke dalam tanah (perkolasi) dan menjadi air tanah yang dangkal maupun yang dalam, dan ada yang diserap oleh tumbuhan. Air tanah dalam akan timbul ke permukaan sebagai mata air dan menjadi air permukaan. Air permukaan yang mengalir di permukaan bumi, umumnya berbentuk sungai-sungai dan jika melalui suatu tempat rendah (cekung) maka air akan berkumpul, membentuk suatu danau atau telaga. Tetapi banyak diantaranya yang mengalir ke laut kembali dan kemudian akan mengikuti siklus hidrologi ini.

2.1.3. Sumber Air Di Alam

Menurut Chandra (2007), berdasarkan sumbernya air tawar dimuka bumi ini dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

1. Air hujan (air angkasa)

Walau pada saat prepitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer.

2. Air Permukaan

Air permukaan yang meliputi badan air semacam sungai, danau, telaga, waduk, rawa, air terjun dan sumur permukaan, sebagian besar berasal dari air hujan.


(23)

3. Air Tanah

Berasal dari air hujan yang jatuh kepermukaan bumi yang kemudian mengalami perlokasi atau penyerapan kedalam tanah dan mengalami proses filtrasi secara alamiah. Air tanah memiliki beberapa kelebihan dibanding sumber air lain, pertama air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit sehingga tidak perlu mengalami proses furifikasi atau penjernihan. Persediaan air tanah juga cukup tersedia sepanjang tahun. Sementara itu beberapa kelemahan dari air tanah dibanding air lainnya adalah mengandung zat-zat mineral dalam kosentrasi yang tinggi. Kosentrasi yang tinggi dari zat-zat mineral semacam magnesium, kalsium, dan logam berat seperti besi dapat menyebabkan kesadahan air (Chandra, 2007). Karakteristik air tanah kadang-kadang sangat berbeda dengan kualitas air permukaan. Pada saat infiltrasi kedalam tanah, air permukaan mengalami kontak dengan mineral-mineral yang terdapat dalam tanah dan melarutkannya, sehingga kualitas air mengalami perubahan karena terjadi reaksi kimia. Kadar oksigen air yang masuk kedalam tanah menurun, digantikan oleh karbondioksida yang berasal dari aktivitas biologis, yaitu dekomposisi bahan organik yang terdapat dalam lapisan tanah pucuk (top soil). Air tanah biasanya memiliki kandungan besi relatif tinggi sehingga jika kontak dengan udara, mengalami oksigenisasi. Ion ferri yang banyak terdapat dalam air akan teroksidasi menjadi ion ferro akan mengalami presipitasi serta membentuk warna kemerahan pada air (Effendi, 2003).


(24)

Air tanah terbagi menjadi 3 yaitu : air tanah dangkal, air tanah dalam dan mata air.

a. Air Tanah Dangkal

Terjadi karena proses peresapan air dari permukaan tanah. Lumpur akan tertahan, demikian pula dengan sebagian bakteri, sehingga air tanah akan jernih tetapi masih banyak mengandung zat kimia (garam-garam yang terlarut) karena melalui lapisan tanah yang mempunyai unsur-unsur kimia tertentu untuk masing-masing lapisan tanah. Lapis tanah disini berfungsi sebagai saringan. Disamping penyaringan, pengotoran juga masih terus berlangsung, terutama pada muka air yang dekat dengan muka tanah, setelah menemui lapisan rapat air, air akan terkumpul merupakan air tanah dangkal dimana air tanah ini dimanfaatkan untuk sumber air minum melalui sumur-sumur dangkal.

b. Air Tanah Dalam

Terdapat setelah lapis rapat air yang pertama. Pengambilan air tanah dalam, tak semudah pada air tanah dangkal. Dalam hal ini harus digunakan bor dan memasukan pipa kedalamnya sehingga dalam suatu kedalaman (biasanya antara 100-300 m) akan didapatkan suatu lapis air. Jika tekanan air tanah ini besar, maka air dapat menyembur ke luar dan dalam keadaan ini, sumur ini disebut dengan sumur artetis. Jika air tak dapat ke luar dengan sendirinya, maka digunakanlah pompa untuk membantu pengeluaran air tanah dalam ini. Kualitas dari air tanah dalam umumnya lebih baik dari air dangkal, karena penyaringannya lebih sempurna dan bebas dari bakteri.


(25)

c. Mata Air

Mata air adalah air tanah yang ke luar dengan sendirinya ke permukaan tanah. Mata air yang berasal dari dalam tanah, hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitas. Berdasarkan keluarnya (munculnya permukaan tanah) terbagi atas rembesan, dimana air keluar dari lereng-lereng dan umbul dimana air ke luar ke permukaan pada suatu dataran (Sutrisno, 2010).

2.2. Air Bersih

2.2.1. Pengertian Air Bersih

Air yang bersih mutlak diperlukan, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan penyakit. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 Tahun 1990, air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.

2.2.2. Persyaratan Biologi

Menurut Slamet (2009), sumber-sumber air di alam pada umumnya mengandung bakteri, baik air hujan (air angkasa), air permukaan maupun air tanah. Jumlah dan jenis bakteri berbeda sesuai dengan tempat dan kondisi yang mempengaruhinya. Bakteri yang bersifat patogen berbahaya bagi kesehatan manusia. Penyakit yang ditransmisikan melalui fecal material dapat disebabkan virus, bakteri, protozoa dan metazoan. Oleh karena itu air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari harus bebas dari bakteri patogen. Bakteri golongan Coli (Coliform bakteri) merupakan bakteri flora normal di usus manusia yang membantu proses pembusukan sisa-sisa makanan dan memadatkannya menjadi feses, namun bakteri ini juga


(26)

merupakan indikator dari pencemaran air oleh bakteri patogen seperti Salmonella typhi, dan lain-lain.

Selain bakteri patogen, bakteri non-patogen juga sebaiknya tidak terdapat di dalam air khususnya air minum. Bakteri non-patogen merupakan jenis bakteri yang tidak berbahaya bagi kesehatan tubuh. Namun, dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak enak, lendir dan kerak pada pipa. Beberapa bakteri non-patogen yang berada di dalam air antara lain Actinomycetes (Moldlikose bacteria), Fecal streptococci, dan Bakteri Besi (Iron Bacteria).

Menurut Permenkes RI No. 416 Tahun 1990, total coliform yang diperbolehkan dalam air perpipaan adalah 10 per 100 ml air sedangkan untuk non perpipaan adalah 50 per 100 ml air.

2.2.3. Persyaratan Fisik

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 416/Menkes/per/IX/1990, menyatakan bahwa air yang layak pakai sebagai sumber air bersih antara lain harus memenuhi persyaratan secara fisik yaitu tidak berbau, tidak berasa, tidak keruh dan tidak bewarna.

Adapun sifat-sifat air secara fisik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya sebagai berikut:

1. Suhu

Air yang baik mempunyai temperatur normal, 8º dari suhu kamar (27ºC). Suhu air yang melebihi batas normal menunjukkan indikasi terdapat bahan kimia yang terlarut dalam jumlah yang cukup besar (misalnya, fenol atau belerang) atau sedang terjadi proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Menurut


(27)

Permenkes No. 416 tahun 1990, suhu air yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebesar suhu udara ± 3 ºC.

2. Bau dan Rasa

Bau dan rasa air merupakan dua hal yang mempengaruhi kualitas air secara bersamaan. Bau dan rasa dapat dirasakan langsung oleh indra penciuman dan pengecap. Biasanya, bau dan rasa saling berhubungan. Air yang berbau busuk memiliki rasa kurang (tidak) enak. Bau dan rasa biasanya disebabkan oleh adanya bahan-bahan organik yang membusuk, tipe-tipe tertentu organisme mikroskopik, serta persenyawaan-persenyawaan kimia seperti fenol. Bahan-bahan yang menyebabkan bau dan rasa ini berasal dari berbagai sumber. Intensitas bau dan rasa dapat meningkat bila di dalam air dilakukan klorinasi. Karena pengukuran bau dan rasa itu tergantung pada reaksi individual, maka hasil yang dilaporkan tidak mutlak. Untuk standard air bersih dan air minum ditetapkan oleh Permenkes RI No. 416 Tahun 1990, yaitu tidak berbau dan tidak berasa (Depkes RI, 1997).

3. Warna

Banyaknya air permukaan khususnya yang berasal dari rawa-rawa dan daerah pasang surut, seringkali bewarna. Warna pada air terjadi karena adanya zat-zat substansi yang terlarut dalam air, dimana zat-zat tersebut dapat terjadinya karena proses dekomposisi dalam berbagai tingkat, asam humus dan bahan yang berasal dari bahan humus serta dekomposisi lignin dianggap sebagai bahan yang memberi warna yang paling utama, demikian juga unsur besi yang berkaitan dengan zat organik dapat menghasilkan warna sedemikian tinggi, warna yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang tersuspensi dikatakan sebagai apparent colour yang berbahaya bagi tubuh


(28)

manusia, sedangkan yang disebabkan oleh mikroorganisme atau kekentalan organis atau tumbuh-tumbuhan yang merupakan kolodial disebut sebagai true colour.

Untuk mengukur tingkat warna digunakan satuan TCU (True colour Unit). Berdasarkan Permenkes RI No. 416 tahun 1990 tingkat warna untuk air bersih dianjurkan 15 TCU dan yang diperbolehkan 50 TCU (Depkes RI, 1997).

4. Zat Padat Terlarut

Bahan padat adalah bahan yang tertinggal sebagai residu pada penguapan dan pengeringan pada suhu 103ºC-105ºC. Kebanyakan bahan padat terdapat dalam bentuk terlarut (dissolved) dalam air yang berupa bahan-bahan kimia anorganik dan gas-gas yang terlarut. Pengaruh yang menyangkut aspek kesehatan daripada penyimpangan standart dari total solit (padatan terlarut) yakni akan mengakibatkan air tidak enak pada lidah, rasa mual terutama yang disebabkan oleh natrium sulfat dan magnesium sulfat, penyebab serangan jantung (cardiacdisease) serta dapat menyebabkan toxemia pada wanita hamil. Standar untuk zat padat terlarut ditetapkan oleh Permenkes No. 416 Tahun 1990, yaitu dianjurkan 500 mg/l dan diperbolehkan 1500 mg/l (Depkes RI, 1997).

5. Kekeruhan

Kualitas air yang baik adalah jernih (bening) dan tidak keruh. Kekeruhan air disebabkan oleh partikel-partikel yang tersuspensi di dalam air yang menyebabkan air terlihat keruh, kotor, bahkan berlumpur. Bahan-bahan yang menyebabkan air keruh antara lain tanah liat, pasir dan lumpur. Air keruh bukan berarti tidak dapat diminum atau berbahaya bagi kesehatan. Namun, dari segi estetika, air keruh tidak layak atau tidak wajar untuk diminum.


(29)

Kekeruhan pada air merupakan satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyediaan air bagi umum, mengingat bahwa kekeruhan tersebut akan mengurangi segi estetika, menyulitkan dalam usaha penyaringan dan akan mengurangi efektivitas usaha desinfeksi (Sutrisno, 2010).

Tingkat kekeruhan air dapat diketahui melalui pemeriksaan laboratorium dengan metode Turbidimeter. Untuk standar air bersih ditetapkan oleh Permenkes RI No. 416 Tahun 1990, yakni kekeruhan yang dianjurkan 5 NTU (Nephelometric Turbidy Unit) dan yang diperbolehkan hanya 25 NTU (Depkes RI, 1997).

2.2.4. Persyaratan Kimia

Menurut Slamet (2000), air yang baik adalah air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan antara lain Air raksa (Hg), Aluminium (Al), Arsen (As), Barium (Ba), Besi (Fe), Flourida (F), Kalsium (Ca), Derajat keasaman (pH) dan zat-zat kimia lainnya. Kandungan zat kimia dalam air bersih yang digunakan sehari-hari hendaknya tidak melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan seperti tercantum dalam Permenkes RI No. 416 Tahun 1990. Penggunaan air yang mengandung bahan kimia beracun dan zat-zat kimia yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan berakibat tidak baik lagi bagi kesehatan dan material yang digunakan manusia, contohnya pH. Air yang baik sebaiknya bersifat netral yaitu tidak asam dan tidak basa untuk mencegah terjadinya pelarutan logam berat dan korosi jaringan distribusi air. Menurut Permenkes RI No. 416 tahun 1990, batas pH minimum dan maksimum untuk air bersih adalah 6,5-8,5. Khusus untuk air hujan, pH minimumnya adalah 5,5. Air merupakan pelarut yang


(30)

baik sekali maka dengan dibantu dengan pH yang tidak netral dapat melarutkan berbagai elemen kimia yang dilaluinnya.

2.2.5. Persyaratan Radioaktif

Warlina (2004) menyatakan bahwa tidak tertutup kemungkanan adanya pembuangan sisa zat radioaktif ke air lingkungan secara langsung. Ini dimungkinkan karena aplikasi teknologi nuklir yang menggunakan zat radioaktif pada berbagai bidang sudah banyak dikembangkan, sebagai contoh adalah aplikasi teknologi nuklir pada bidang pertanian, kedokteran, farmasi dan lain-lain. Adanya zat radioaktif dalam air lingkungan jelas sangat membahayakan bagi lingkungan dan manusia. Zat radioaktif dapat menimbulkan kerusakan biologis baik melalui efek langsung atau efek tertunda. Dari segi radioaktivitas, apapun bentuk radioaktivitas efeknya adalah sama, yakni menimbulkan kerusakan pada sel yang terpapar. Kerusakan dapat berupa kematian, dan perubahan komposisi genetik. Kematian sel dapat diganti kembali apabila sel dapat beregenerasi dan apabila tidak seluruh sel mati. Perubahan genetis dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker dan mutasi.

2.3. Pengolahan air bersih

Air yang dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan karena air merupakan media paling baik untuk berkembangnya mikroorganisme. Pengolahan air untuk memperoleh air yang memenuhi persyaratan perlu dilakukan. Tahapan-tahapan dalam proses pengolahan air adalah penyimpanan, penyaringan dan klorinasi (Chandra, 2007).

Air baku yang berupa air sungai, air hujan atau air tanah dialirkan ke dalam bak penampung dan disimpan. Air yang disimpan mengalami proses pemurnian


(31)

secara alami yang meliputi proses fisika, kimia dan biologis. Secara fisika partikel terlarut dengan ukuran cukup besar akan mengendap dan terpisah dari air. Oksigen bebas dalam air digunakan oleh bakteri aerobik untuk mengoksidasi bahan-bahan organik dan organisme patogen berangsur-angsur mati (Chandra, 2007).

Penyaringan dilakukan untuk memisahkan partikel-partikel yang tidak terendapkan selama penyimpanan. Proses penyaringan ini melibatkan proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi. Koagulasi dilakukan dengan penambahan koagulan, misal alum [Al2(SO4)3]. Tujuan flokulasi adalah untuk memperbesar ukuran gumpalan yang

terbentuk dengan cara memutar secara pelan. Sedangkan dalam proses sedimentasi terjadi pengendapan gumpalan yang juga mengikat bakteri. Penyaringan dilakukan untuk mengambil sisa-sisa partikel yang masih ikut dalam air (Chandra, 2007).

Proses pembunuhan kuman atau disinfeksi disebut klorinasi karena yang dilakukan selama ini adalah penambahan senyawa klor, baik berupa gas klor, senyawa hipoklorit, klor dioksida, bromine klorida ataupun kloramin. Senyawa klor yang sering digunakan adalah kalsium hipoklorit (Chandra, 2007).

2.4. Besi (Fe)

Besi atau ferrum adalah metal bewarna putih keperakan, liat dan dapat dibentuk. Unsur-unsur besi dalam air diperlukan untuk memenuhi akan unsur tersebut. Zat besi merupakan suatu unsur yang berguna untuk metabolisme tubuh. Untuk keperluan ini tubuh memerlukan 7-35 mg unsur tersebut perhari, yang tidak hanya di peroleh dari air (Sutrisno, 2010). Didalam air, Fe menimbulkan rasa, warna (kuning), pengendapan pada dinding pipa, pertumbuhan bakteri besi, dan kekeruhan.


(32)

Besi (Fe) seperti juga cobalt dan nikel didalam susunan berkala unsur termasuk logam golongan VII, dengan berat atom 55,85, berat jenis 7,86 dan mempunyai titik lebur 24500 C. Dialam biasanya banyak terdapat didalam biji besi hematile, magnetite, limonite dan pyrite (FeS), sedangkan didalam air umumnyadalam bentuk senyawa garam ferri atau garam ferro (valensi 2). Senyawa ferro yang sering dijumpai dalam air adalah FeO, FeSO4.7H2O, FeCO3, Fe(OH)2,

FeCl2, dan lainnya, sedangkan senyawa ferri yang sering dijumpai yakni FePO4,

Fe3O3, FeCl3, Fe(OH)3,dan lainnya. (Tatsumi, 1971). 2.4.1. Dampak Besi (Fe) terhadap Kesehatan

Unsur besi merupakan unsur yang penting dan berguna untuk metabolisme tubuh. Setiap hari tubuh memerlukan unsur besi 7-35 mg/hari yang sebagian diperoleh dari air. Tetapi zat besi (Fe) yang melebihi dosis yang diperlukan oleh tubuh dapat menimbulkan masalah kesehatan. Depkes RI menetapkan kadar maksimum unsur besi terdapat dalam air minum adalah 0,3 mg/l (Sutrisno, 2010).

Besi (Fe) dibutuhkan tubuh dalam pembentukan hemoglobin. Banyaknya besi dalam tubuh dikendalikan oleh fase adsorpsi. Tubuh manusia tidak dapat mengekskresikan besi (Fe), karenanya mereka yang sering mendapat transfusi darah, warna kulitnya menjadi hitam karena akumulasi Fe. Air minum yang mengandung besi cenderung menimbulkan rasa mual apabila dikonsumsi. Sekalipun Fe diperlukan oleh tubuh, tetapi dalam dosis yang besar dapat merusak dinding usus. Kematian sering disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini. Kadar Fe yang lebih dari 1 mg/l akan menyebabkan terjadinya iritasi pada mata dan kulit. Apabila kelarutan besi dalam air melebihi 10 mg/l akan menyebabkan air berbau seperti telur busuk. Debu


(33)

Fe juga dapat diakumulasi dalam alveoli dan menyebabkan berkurangnya fungsi paru-paru (Slamet, 2011).

Hemokromatis merupakan penyakit akibat kelebihan zat besi. Biasanya penyakit ini memiliki tanda-tanda diantaranya kulit berwarna merah, kanker hati, diabetes, impotensi, kelelahan dan gangguan jantung. Seseorang yang telah mendapat penyakit tersebut akan lebih rentan terhadap serangan jantung, stroke, dan gangguan pembuluh darah (Widowati, 2008).

Pada Hemokromatis primer besi yang diserap, disimpan dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh. Feritrin berada dalam keadaan jenuh akan besi sehingga kelebihan mineral ini akan disimpan dalam bentuk kompleks dengan mineral lain yaitu hemosiderin. Akibatnya terjadilah sirosis hati dan kerusakan pancreas sehingga menimbulkan diabetes. Hemokromatis sekunder terjadi karena transfusi yang berulang-ulang. Dalam keadaan ini besi masuk kedalam tubuh sebagai hemoglobin dari darah yang ditransfusikan dan kelebihan besi ini tidak disekresikan.

2.4.2. Teknologi Penurunan Kandungan Besi Pada Air

Pengolahan air secara fisika yang mudah dilakukan adalah penyaringan, pengendapan dan absorpsi (Kusnaedi, 2010). Beberapa Metode yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar Fe dalam air adalah :

a. Koagulasi

Koagulasi merupakan proses penggumpalan melalui reaksi kimia. Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membubuhkan zat pereaksi (koagulan) sesuai zat terlarut. Koagulan yang banyak digunakan adalah kapur, tawas dan kaporit.


(34)

Pertimbangannya karena garam-garam seperti Ca, Fe dan Al bersifat tidak larut dalam air sehingga mampu mengendap bila bertemu dengan sisa-sisa basa. b. Aerasi

Aerasi merupakan suatu sistem oksigenasi melalui penangkapam O2 dari udara pada air olahan yang akan diproses. Pemasukan oksigen ini bertujuan agar oksigen dapat bereaksi dengan kation yang ada di dalam air olahan. Reaksi kation dan oksigen menghasilkan oksidasi logam yang sukar larut dalam air sehingga dapat mengendap.

c. Oksidasi dengan khlorine (khlorinisasi)

Khlorin, CL2 dan ion hipokrit (OCL)- adalah merupakan oksidator yang kuat

meklipun pada kondisi Ph rendah dan oksigen terlarut sedikit tetap dapat mengoksidasi dengan cepat. Untuk melakukan khlorinasi, chlorine dilarutkan dalam air yang jumlahnya diatur dengan melalui flowmeter atau dosimeter yang disebut khlorinator. Pemakaian kaporit atau kalsium hipoklorit untuk mengoksidasi atau menghilangkan Fe relatip mudah, karena kaporit berupa serbuk atau tablet yang mudah larut dalam air.

d. Penghilangan Fe Dengan Cara Pertukaran Ion

Penghilangan besi dan mangan dengan cara pertukaran ion yaitu dengan cara mengalirkan air baku yang mengandung Fe melalui suatu media penukaran ion. Sehingga Fe akan bereaksi dengan media penukaran ionnya. Sebagai media penukaran ion yang sering dipakai zeolite alami yang merupakan senyawa hydrous silikat aluminium dengan calsium dan natrium (Na).


(35)

e. Penghilangan Fe dengan Mangan Zeolit

Air baku yang mengandung besi dan mangan dialirkan melalui suatu filter beda yang media filternya terdiri dari mangan-zeolite (K2Z.MnO.Mn2O7). Mangan Zeolit berfungsi sebagai katalis dan pada waktu yang bersamaan besi yang ada dalam air teroksidasi menjadi bentuk ferri-oksida yang tak larut dalam air. Reaksi penghilangan besi mangan zeolite tidak sama denganp roses pertukaran ion, tetapi merupakan reaksi dari Fe2+ dengan oksida mangan tinggi (higher mangan oxide). Filtrat yang terjadi mengandung mengandung ferri-oksida dan mangan-dioksida yang tak larut dalam air dan dapat dipisahkan dengan pengendapan dan penyaringan. Selama proses berlangsung kemampunan reaksinya makin lama makin berkurang dan akhirnya menjadi jenuh. Untuk regenerasinya dapat dilakukan dengan menambahkan larutan kalium permanganat kedalam zeolite yang telah jenuh tersebut sehingga akan terbentuk lagi mangan zeolit (K2Z.MnO.Mn2O7).

f. Filtrasi Penyaringan merupakan proses pemisahan antara padatan/koloid dengan cairan. Proses penyaringan bisa merupakan proses awal (primary treatment) atau penyaringan dari proses sebelumnya, misalnya penyaringan dari hasil koagulasi. Apabila air yang akan disaring berupa cairan yang mengandung butiran halus atau bahan-bahan yang larut sebelum proses penyaringan sebaiknya dilakukan proses koagulasi atau netralisasi yang menghasilkan endapan. Dengan demikian bahan-bahan tersebut dapat dipisahkan dengan filtrasi (Kusnaedi, 2010).


(36)

Dalam proses penjernihan air minum diketahui dua macam filter, yaitu saringan pasir lambat ( slow sand filter) dan saringan pasir cepat (rapid sand filter).

1). Saringan Pasir Lambat ( slow sand filter)

Saringan pasir lambat dapat digunakan untuk menyaring air keruh ataupun air kotor. Saringan pasir lambat sangat cocok untuk komunitas skala kecil atau skala rumah tangga. Hal ini tidak lain karena debit air bersih yang dihasilkan relatif kecil. Ada dua jenis proses penyaringan yang terjadi pada saringan pasir lambat, yakni secara fisika dan secara biologi. Partikel-partikel yang ada dalam sumber air yang keruh secara fisik akan tertahan oleh lapisan pasir, disisi lain, bakteri-bakteri dari genus pseudomonas dan trichoderma akan tumbuh dan berkembang biak. Saat proses filtrasi pathogen yang tertahan oleh saringan akan dimusnahkan oleh bakteri tersebut. Secara berkala pasir dan kerikil harus dibersihkan, hal ini untuk menjaga kualitas air bersih yang dihasilkan selalu terjaga dan yang terpenting adalah tidak terjadi penumpukan patogen/kuman pada saringan. Untuk disenfeksi kuman dalam air dapat digunakan berbagai cara seperti brominasi, ozonisasi, penyinaran ultraviolet ataupun menggunakan aktif karbon (Aimyaya, 2009).

2). Saringan Pasir Cepat ( rapid sand filter)

Merupakan saringan air yang dapat menghasilkan debit air hasil penyaringan yang lebih banyak daripada saringan pasir lambat. Walaupun demikian, saringan ini kurang efektif untuk mengatasi bau dan rasa yang ada pada air yang disaring. Secara umum bahan lapisan saringan pasir cepat sama dengan pasir lambat yakni pasir, kerikil dan batu. Perbedaan yang terlihat jelas adalah


(37)

pada arah aliran air ketika penyaringan. Saringan pasir lambat arah aliran airnya dari atas kebawah, sedangkan pada saringan pasir cepat dari bawah keatas (up flow). Selain itu saringan pasir cepat umumnya dapat melakukan backwash atau pencucian saringan tanpa membongkar saringan (Aimyaya, 2009).

2.4.3. Proses Pengolahan Air Dengan Filter Karbon Aktif

Penyaringan dengan karbon aktif adalah penyaringan dengan menggunakan karbon aktif sebagai media absorpsi yang merupakan proses penyerapan bahan-bahan tertentu. Dengan penyerapan tersebut air menjadi jernih karena zat-zat didalamnya diikat oleh absorben. Media filter yang digunakan adalah pasir, kerikil, dan karbon aktif.

Pengisian media filter kedalam saringan atau filter adalah sebagai berikut : lapisan paling bawah yakni kerikil (diameter 5-10mm) dengan ketebalan 10-15 cm. Di atas lapisan kerikil adalah lapisan pasir dengan ketebalan 20 cm , dan diatas lapisan pasir adalah lapisan karbon aktif dengan ketebalan 45-60 cm. Pengisian diusahakan agar merata dan lebih baik lagi sebelum dimasukkan kedalam filter media filter dicuci terlebih dahulu. Sedangkan ketebalan lapisan media filter yang efektif umumnya berkisar 80-120 cm (Asmadi, 2011).

Absorpsi dalah proses dimana suatu partikel terperangkap kedalam suatu media dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Karbon aktif memiliki pori-pori yang sangat banyak yang berguna untuk menangkap partikel partikel (molekul) dan menjebaknya disana (Puspita, 2008). Digunakan karbon aktif


(38)

karena berfungsi menghilangkan zat organik, bau, rasa serta polutan mikro lainnya, ( Said, 2005). Dengan mengkombinasikanya bersama pasir dapat menurunkan Fe sampai 92,57% ( Ridwan, 2005).

2.5. Tanaman Durian (Durio zibethinus)

Durian atau Durio zibethinus adalah nama tumbuhan tropik yang berasal dari asia tenggara sekaligus nama buahnya yang biasa dimakan. Nama ini diambil dari ciri khas kulit buahnya yang keras dan berlekuk-lekuk tajam sehingga menyerupai duri. Varian namanya yang juga populer adalah duren. Orang-orang menyebutnya kadu. Tanaman durian banyak tumbuh di hutan-hutan yang memiliki ketinggian kurang dari 800 m diatas permukaan laut, jenis tanah yang gembur, dan kedalaman lapisan tanah atas lebih dari 1 meter. Tanaman durian banyak diperbanyak secara generatif (biji) atau secara vegetatif (misalnya okulasi, sambung, dan susun). (Kanisius, 1997)

Kulit durian mengandung unsur selulose yang tinggi (50-60 %) dan kandungan lignin (5 %) serta kandungan pati yang rendah (5 %). Hasil utama tanaman durian ialah buahnya (Fadli, 2010).

Produksi buah durian terbanyak menurut provinsi per tahun adalah Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah produksi 128.803 ton, diikuti Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah masing-masing dengan jumlah produksi 91.097 ton, 91.078 ton dan 65.019 ton, sementara total produksi buah durian di Indonesia adalah 682.323 ton. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa sebagai daerah yang banyak memproduksi buah durian, berarti banyak pula sampah biji dan kulit durian yang dihasilkan.


(39)

Tanaman durian memberikan beberapa manfaat dan hasil ikutan, antara lain sebagai berikut.

1. Tanaman durian dapat dimanfaatkan sebagai pencegah erosi di lahan-lahan miring, terutama tanah yang miring ke timur karena intensitas sinar matahari pagi yang diterima akan lebih banyak. Perakaran durian akan mencengkram lapisan tanah atas sehingga tanah tersebut terbebas dari erosi. Adapun sisa-sisa tanaman akan tertahan oleh batang-batang durian sehingga dapat menyuburkan tanah.

2. Batang durian dapat digunakan untuk bahan bangunan atau perkakas rumah tangga. Kendati tidak termasuk kelas istimewa kayu durian dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Kulit durian setaraf dengan kayu sengon sebab kayu durian cenderung lurus. Disamping itu, kayu durian bisa diolah menjadi kayu lapis olahan dan mudah dibubut serta dibentuk menjadi perkakas rumah tangga, seperti rak gelas dan piring, sendok nasi, alu, lumpang, dan lain-lain.

3. Biji durian memiliki kandungan pati yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai alternatif pengganti bahan makanan. Biji durian sebagai bahan makanan memang belum dimasyarakatkan di Indonesia. Di Thailand, biji duria sudah cukup memasyarakat untuk dibuat bubur dengan cara diberi campuran daging buahnya. Bubur biji durian ini menghasilkan kalori yang cukup potenisal bagi manusia. 4. Kulit durian dapat dipakai sebagai bahan baku abu gosok dan briket yang bagus.

Caranya adalah dengan dijemur sampai kering, kemudian dibakar sampai hancur. Lalu dibentuk menjadi briket. Untuk menjadi abu gosok, harus dibakar hingga menjadi abu, kemudian abu itu dipakai untuk mencuci piring dan gelas. Abu ini


(40)

juga dapat digunakan sebagai media tanaman di dalam pot, baik tanaman indoor maupun bunga-bungaan (Kanisius, 1997).

Kulit durian adalah salah satu limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan kembali, dengan membuatnya menjadi briket. Menurut penelitian Samsudin, Anis (2006) dapat diketahui bahwa briket kulit durian mempunyai nilai kalor diatas nilai kalor briket arang kayu, yaitu 5.010 kal/gr.

Beberapa keunggulan briket kulit durian adalah nilai kalorinya relatif tinggi, tak berbau, tidak bersifat polutan, tidak menghasilkan gas SO, dan bisa langsung menyala jika digunakan sebagai bahan bakar (Green Action, 2009)

2.6. Karbon Aktif

Arang adalah padatan berpori yang terdiri dari karbon yang berbentuk amorf (Silalahi, 1996). Arang aktif adalah sejenis adsorben (penyerap) yang berwarna hitam dan berbentuk granula, bulat, pelet atau bubuk. Sumber arang aktif antara lain kayu lunak, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa, sabut kelapa, ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, kayu keras dan batubara (Sembiring, 2003). Arang aktif dipakai dalam proses pemurnian udara, gas, larutan, penyerap rasa dan bau dari air, menghilangkan senyawa-senyawa organik dalam air. Hanya dengan 1 g arang aktif akan didapatkan suatu material yang memiliki luas permukaan sekitar 500 m2. Dengan luas permukaan yang sangat besar, arang aktif memiliki kemampuan menyerap zat-zat yang terkandung dalam air dan sangat efektif dalam menyerap zat terlarut dalam air baik organik maupun anorganik (Kusnaedi, 2010).

Daya serap ditentukan oleh luas permukaan partikel dan kemampuan ini dapat menjadi lebih tinggi jika terhadap arang dilakukan aktivasi dengan bahan-bahan


(41)

kimia atau dengan pemanasan pada suhu tinggi sehingga akan mengalami perubahan sifat-sifat fisik dan kimia. Beberapa keuntungan arang aktif dibandingkan dengan adsorben – adsorben lain yaitu:

a. Penyerapan yang dilakukan untuk proses pemisahan dan pemurnian umumnya tanpa terlebih dahulu melakukan penghilangan kelembapan.

b. Karena luasnya untuk mencapai permukaan bagian dalam dapat menyerap dengan banyak molekul non polar.

c. Panas adsorpsi atau kekuatan ikatan, pada arang aktif lebih rendah dibandingkan penyerap yang lain karena kekuatan Vander Waals merupakan kekuatan utama dalam adsorpsi sehingga pelepasan molekul–molekul yang terserap relatif lebih mudah (Ralph, 2003).

Menurut Silalahi (1996), proses pembuatan arang dibagi atas 4 (empat) tahapan sebagai berikut :

1. Pada permulaan pemanasan, air menguap, kemudian selulosa terurai pada suhu antara 200-2600C.

2. Pada suhu 260-3100C selulosa terurai secara intensif, pada tingkatan ini banyak 3. dihasilkan cairan piroligneous, gas, dan ter.

4. Pada suhu 310-5000C lignin terurai dan ter yang dibentuk lebih banyak, sedangkan cairan piroligneous dan gas menurun.

5. Pada suhu lebih besar dari 5000C, diperoleh gas hidrogen yang sukar dikondensasikan dan tahapan ini merupakan proses pemurnian arang.

Arang dapat dibedakan menurut penggunaannya dan jenisnya, sebagai berikut (Kusnaedi, 2010) :


(42)

1. Bentuk Sebuk

Karbon aktif berbentuk serbuk dengan ukuran lebih keci dari 0,18 mm. Karbon aktif ini digunakan dalam aplikasi fase cair dan gas. Umumnya karbon aktif jenis ini dimanfaatkan pada indrustri pengolahan air minum , industri farmasi, terutama untuk pemurnian monosodium glutamat, bahan tambahan makanan, penghilang warna asam furan, pengolahan pemurnian jus buah, penghalus gula, pemurnian asam sitrat, asam tartarat, pemurnian glukosa, dan pengolahan zat pewarna kadar tinggi.

2. Bentuk Granula

Karbon aktif bentuk granula/tidak beraturan dengan ukuran 0,2-5mm. Jenis ini umumnya digunakan dalam aplikasi fase cair dan gas. Beberapa penggunaan dari karbon aktif ini adalah untuk pemurnian emas, pengolahan air, air limbah dan air tanah, pemurniaan pelarut, dan penghilang bau busuk.

3. Bentuk Pelet

Karbon aktif berbentuk pelet dengan diameter 0,8-5 mm. Kegunaannya adalah untuk aplikasi gas karena mempunyai tekanan rendah, kekuatan mekenik tinggi, dan kadar abu rendah. Karbon aktif bentuk pelet ini biasa digunakan untu pemurniaan udara, kontrol emisi, tromol otomotif, penghilang bau kotoran, dan pengontrol emisi pada gas buang.

Sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serap. Dalam hal ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap adsorpsi, yaitu :


(43)

1. Sifat Adsorben

Arang aktif yang merupakan adsorben adalah suatu padatan berpori, yang sebagian besar terdiri dari unsur karbon bebas dan masing-masing berkaitan secara kovalen. Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non polar. Selain komposisi dan polaritas, struktur pori juga merupakan faktor yang penting diperhatikan. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori arang aktif mengakibatkan semakin luas besar. Dengan demikian kecepatan adsorbsi bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorbsi, dianjurkan agar menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan. Jumlah atau dosis arang aktif yang digunakan juga harus diperhatikan.

2. Sifat Serapan

Banyak senyawa yang dapat diadsorpsi oleh arang aktif, tetapi kemampuannya untuk mengadsorpsi berbeda untuk masing-masing senyawa. Adsorbsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul serapan dari struktur yang sama, seperti deret homolog. Adsorbsi juga dipengaruhi oleh gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, struktur rantai dari senyawa serapan. 3. Temperatur

Dalam pemakaian arang aktif dianjurkan untuk mengamati temperatur pada saat berlangsungnya proses. Faktor yang mempengaruhi temperatur proses adsorbsi adalah viskositas dan stabilitas termal senyawa serapan. Jika pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, seperti terjadi perubahan warna maupun dekomposisi, maka perlakuan dilakukan pada titik didihnya.Untuk


(44)

senyawa volatile, adsorbsi dilakukan pada temperatur kamar atau bila memungkinkan pada temperatur yang lebih rendah.

4. pH (Derajat Keasaman)

Untuk asam-asam organik, adsorbsi akan meningkat bila pH diturunkan, yaitu dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan karena kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut. Sebaliknya bila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan menambahkan alkali, adsorbsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya garam.

5. Waktu Kontak

Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. Pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada partikel arang aktif untuk bersinggungan dengan senyawa serapan. Untuk larutan yang mempunyai viskositas tinggi, dibutuhkan waktu singgung yang lebih lama. Semakin lama waktu kontak dapat memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih baik. Konsentrasi zat-zat organik dan logam dalam air akan turun apabila kontaknya cukup. Waktu kontak biasanya sekitar 10-15 menit (Sembiring, 2003)

2.6.1. Pembuatan Karbon Aktif

1. Metode Tradisional

Pembuatan karbon aktif dengan metode tradisional sangat sederhana yaitu dengan menggunakan drum atau lubang bawah tanah dengan cara pengolahan sebagai berikut. Bahan yang hendak dibakar dimasukkan ke dalam drum yang terbuat dari


(45)

pelat besi atau lubang yang yang telah disiapkan, kemudian dinyalakan sehingga terbakar.

Pada saat pembakaran drum atau lubang ditutup sehingga hanya ventilasi yang dibiarkan terbuka, untuk sebagai jalan keluarnya asap, ketika asap yang keluar sudah berwarna kebiru-biruan, ventilasi ditutup dan dibiarkan selama lebih kurang 12 jam. Setelah itu dengan hati-hati tutup drum dibuka dan dicek apakah masih ada bara yang menyala jika masih ada tutup drum ditutup kembali, tidak dibenarkan menggunakan air untuk mematikan bara yang sedang menyala karena dapat menurunkan kualitas karbon yang dihasilkan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 1994).

Pembuatan karbon aktif dengan metode ini biasanya menghasilkan keaktifan yang rendah bahkan dibawah keaktifan menurut standar industri Indonesia (SII), hal ini disebabkan proses pembentukan karbon aktif tidak memungkinkan terbentuknya pori-pori dengan baik. Pada saat pembakaran, residu-residu yang ada pada bahan dasar berupa senyawa-senyawa hidrokarbon ikut terbakar tetapi masih ada tersisa dan tetap masih melekat pada karbon tersebut, residu yang terbakar ini menutupi pori-pori karbon sehingga menurunkan kualitasnya (Sudrajat, 1993)

2. Metode yang diperbaharui

Metode pembuatan karbon aktif yang diperbaharui dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap pengarangan (karbonisasi) dan tahap pengaktifan (aktivasi), dalam metode ini bahan baku dipanaskan dengan jumlah udara seminimal mungkin agar rendemen yang dihasilkan cukup besar. Hasil yang diperoleh dengan metode ini


(46)

berupa karbon yang memberi keaktifan dan rendemen yang cukup besar (Supeno, 1990).

Pada proses pengaktifan terjadi pemecahan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul pada permukaan karbon sehingga pori-pori atau 1uas permukaan menjadi lebih besar.Metode pengaktifan yang umum digunakan dalam pembuatan karbon aktif ada dua cara, yaitu pengaktifan secara kimia dan pengaktifan secara fisika (Sembiring, 2003).

2.6.2. Proses Aktivasi Karbon Aktif

1. Proses Kimia

Bahan baku dicampur dengan bahan-bahan kimia tertentu, kemudian dibuat padat. Selanjutnya padatan tersebut dibentuk menjadi batangan yang dikeringkan serta dipotong-potong. Aktivasi dilakukan pada temperatur 100 ºC. Arang aktif yang dihasilkan, dicuci dengan air selanjutnya dikeringkan pada temperatur 300 ºC. dengan proses kimia, bahan baku dapat dikarbonisasi terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan bahan-bahan kimia.

4. Proses Fisika

Bahan baku terlebih dahulu dibuat arang. Selanjutnya arang tersebut digiling, diayak untuk selanjutnya diaktivasi dengan cara pemanasan pada temperatur 1000 ºC yang disertai dengan pengaliran uap. Proses fisika banyak digunakan dalam aktivasi arang antara lain :

a. Proses Briket yaitu bahan baku atau arang terlebih dahulu dibuat briket, dengan cara mencampurkan bahan baku atau arang halus dengan ter. Kemudian, briket yang dihasilkan dikeringkan pada 550 ºC untuk selanjutnya diaktivasi dengan uap.


(47)

b. Destilasi kering yaitu merupakan suatu proses penguraian suatu bahan akibat adanya pemanasan pada temperatur tinggi dalam keadaan sedikit maupun tanpa udara. Hasil yang diperoleh berupa residu yaitu arang dan destilat yang terdiri dari campuran methanol dan asam asetat. Residu yang dihasilkan bukan merupakan karbon murni, tetapi masih mengandung abu dan ter. Hasil yang diperoleh seperti methanol, asam asetat dan arang tergantung pada bahan baku yang digunakan dan metoda destilasi (Sembiring, 2003).

Diharapkan daya serap arang aktif yang dihasilkan dapat menyerupai atau lebih baik dari pada daya serap arang aktif yang diaktifkan dengan menyertakan bahan-bahan kimia. Dengan cara ini, pencemaran lingkungan sebagai akibat adanya penguraian senyawa-senyawa kimia dari bahan-bahan pada saat proses pengarangan dapat dihindari. Selain itu, dapat dihasilkan asap cair sebagai hasil pengembunan uap hasil penguraian senyawa-senyawa organik dari bahan baku.

Menurut Hawley dalam Sembiring (2003), ada empat hal yang dapat dijadikan batasan dari penguraian komponen kayu yang terjadi karena pemanasan pada proses destilasi kering, yaitu :

1. Batasan A adalah suhu pemanasan sampai 200 ºC. Air yang terkandung dalam bahan baku keluar menjadi uap, sehingga kayu menjadi kering, retak-retak dan bengkok. Kandungan karbon lebih kurang 60 %.

2. Batasan B adalah suhu pemanasan antara 200-280 ºC. Kayu secara perlahan-lahan menjadi arang dan destilat mulai dihasilkan. Warna arang menjadi coklat gelap serta kandungan karbonnya lebih kurang 70 %.


(48)

3. Batasan C adalah suhu pemanasan antara 280-500 ºC. Pada suhu ini akan terjadi karbonisasi selulosa, penguraian lignin dan menghasilkan ter. Arang yang terbentuk berwarna hitam serta kandungan karbonnya meningkat menjadi 80 %. Proses pengarangan secara praktis berhenti pada suhu 400 ºC.

4. Batasan D adalah suhu pemanasan 500 ºC, terjadi proses pemurnian arang, dimana pembentukan ter masih terus berlangsung. Kadar karbon akan meningkat mencapai 90 %. Pemanasan di atas 700 ºC, hanya menghasilkan gas hidrogen.

Namun Cheremisinoff dan A. C. Moressi (1978) dalam Sembiring (2003) mengemukakan secara umum dan sederhana proses pembuatan arang aktif terdiri dari tiga tahap, yaitu :

1. Dehidrasi yaitu proses penghilangan air dimana bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170 ºC.

2. Karbonisasi yaitu pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon. Suhu di atas 170 ºC akan menghasilkan CO, CO2 asam asetat. Pada suhu 275 ºC, dekomposisi menghasilkan ter, methanol dan hasil samping lainnya. Pembentukan karbon terjadi pada temperatur 400-600 ºC.

3. Aktivasi yaitu dekomposisi ter dan perluasan pori-pori. Dapat dilakukan dengan uap atau CO2 sebagai aktivator.

Proses aktifasi merupakan hal yang penting diperhatikan disamping bahan baku yang digunakan. Yang dimaksud dengan aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan


(49)

sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorbsi.

Metode aktifasi yang umum digunakan dalam pembuatan arang aktif adalah (Rajagukguk, 2011) :

1. Aktifasi Kimia

Aktifasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan pemakaian bahan kimia. Aktifator yang digunakan adalah bahan-bahan kimia seperti hidroksida logam alkali, garam-garam karbonat,klorida, sulfat, fosfat dari logam alkali tanah dan khususnya ZnCl2, asam-asam anorganik seperti H2SO4 dan H3PO4 .

2. Aktifasi Fisika

Aktifasi ini merupakan proses pemutusan rantai karbon dari senyawa organik dengan bantuan panas, uap dan CO2. Umumnya arang dipanaskan di dalam tanur pada temperatur 800-900 ºC. Oksidasi dengan udara pada temperatur rendah merupakan reaksi isotherm sehingga sulit untuk mengontrolnya. Sedangkan pemanasan dengan uap atau CO2. Sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serap pada temperatur tinggi merupakan reaksi endoterm sehingga lebih mudah dikontrol dan paling umum digunakan.


(50)

2.7. Kerangka Konsep

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penyaringan Dengan Ketebalan

Berbagai Lapisan Briket Kulit Durian

1. 45 cm 2. 50 cm 3. 55 cm 4. 60 cm

Kadar Besi (Fe) Sesudah Perlakuan Kadar Besi (Fe)

Sebelum Pelakuan

Memenuhi Syarat

(Permenkes RI No. 416 tahun 1990)

Tidak Memenuhi Syarat

(Permenkes RI No. 416 tahun 1990)


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah analitik dengan rancangan penelitian eksperimen semu. Eksperimen semu digunakan karena kelompok kontrol tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Dengan desain penelitian pre test-post test design, dimana pada tahap awal sebelum dilakukan perlakuan air sampel sumur diuji untuk mengetahui kadar Besi (Fe). Selanjutnya air sampel diberikan perlakuan dengan penyaringan menggunakan media briket kulit durian. Dimana ketebalan lapisan briket kulit durian yang digunakan adalah 45cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm. Kemudian dilakukan kembali pemeriksaan kadar besi pada air sampel setelah dilakukan perlakuan.

3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan dan Laboratorium Kemenkes Poltekes Medan Jurusan Kesehatan Lingkungan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Desember 2014.

3.3. Objek Penelitian dan Sampel 3.3.1. Objek Penelitian

Yang menjadi objek penelitian adalah sumur yang terdapat di Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan.


(52)

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah air sumur Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling pada 1 sumur , kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap sampel sebelum dan sesudah perlakuan.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pengukuran kadar Besi (Fe) air sumur yang diukur di Laboratorium sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan.

3.4.2. Data Sekunder

Data diperoleh dari penelusuran kepustakaan berupa hasil penelitian sebelumnya dan buku yang terkait dengan penelitan ini.

3.5. Defenisi Operasional

1. Kadar besi (Fe) sebelum perlakuan adalah banyaknya kadar besi (Fe) yang terdapat pada air sumur sebelum dilakukan pengolahan dengan cara penyaringan dengan berbagai ketebalan lapisan briket kulit durian .

2. Briket kulit durian adalah bahan yang berupa serbuk atau potongan-potongan kecil yang dipadatkan yang diperoleh dari hasil pembakaran kulit durian dan dibentuk dengan ukuran yang sama.

3. Kadar besi (Fe) sesudah perlakuan adalah banyaknya kadar besi (Fe) yang terdapat pada air sumur sesudah dilakukan pengolahan dengan cara penyaringan dengan berbagai ketebalan lapisan briket kulit durian.


(53)

3.6. Prosedur Pembuatan Briket Kulit Durian

Pembuatan briket dilakukan dengan metode tradisional sangat sederhana. Bahan :

1. Kulit Durian 2. Tepung kanji 3. Air

Prosedur Kerja :

1. Kulit durian dipotong-potong agar terbentuk bagian-bagian yang lebih kecil.

2. Jemurlah kulit durian yang telah dipotong-potong hingga kering.

3. Selanjutnya adalah tahap pembakaran, dimana kulit durian yang telah dijemur diletakkan diatas seng. Tetapi sebelum kulit durian terlebih dahulu letakkan jerami atau ranting kemudian diatasnya kulit durian dan selanjutnya dibakar hingga menjadi arang.

4. Setelah proses pembakaran selesai, hasil pembakaran tadi diangkat dan dipisahkan kemudian arang kulit durian tersebut ditumbuk agar menjadi halus dan besarnya merata. Langkah selanjutnya adalah mengadon perekat kanji dengan arang hasil pembakaran.

5. Tepung kanji dicampur dengan air selanjutnya dimasak hingga berubah warna.

6. Jika sudah siap, lem didinginkan terlebih dahulu, lalu dimasukkan kedalam wadah yang berisi arang yang sudah ditumbuk. Perbandingannya


(54)

adalah 600 cc cairan lem dicampur dengan satu kilogram arang yang telah ditumbuk.

7. Tahap selanjutnya adalah pencetakan, cetakan terbuat dari pipa pvc ukuran 1 inc yang dipotong sepanjang 5 cm.

8. Adonan atau campuran lem dengan arang yang telah ditumbuk dimasukkan sedikit demi sedikit kedalam cetakan sampai penuh.

9. Kemudian keluarkan dengan cara didorong, kemudian jemurlah hasil cetakan dibawah sinar matahari selama 2-3 hari atau hingga kering. Selama penjemuran briket dibolak-balik agar keringnya bersamaan.

3.7. Penyaringan Air Sumur Dengan Briket Kulit Durian

Bahan

1. Pipa PVC, ukuran 4 inc 2. Pipa PVC ukuran 1/4 inc

3. Stop Kran ukuran 1/2 inc

4. DOP (Tutup) PVC 4 inc 5. Briket kulit durian 6. Pasir Kerikil 7. Air sumur Prosedur Kerja:

1. Potong pipa PVC 4” dipotong dengan panjang 1- 1,2 meter.

2. Pada salah satu sisi dibuat lubang dengan diameter 1/2” dengan jarak 10

cm dari bagian bawah pipa. Lubang ini untuk tempat memasang stop kran 1/2”.


(55)

3. Pasang DOP (tutup) pipa PVC 4” pada bagian dasar pipa.

4. Setelah itu lakukan pengisian media filter karbon aktif sebagai berikut : lapisan paling bawah adalah kerikil (diameter 5-10 mm) dengan ketebalan 10-15 cm. Diatas lapisan kerikil adalah lapisan pasir dengan ketebalan 20 cm, dan diatas lapisan pasir adalah briket kulit durian dengan berbagai ketebalan sebagai berikut:

1) Ketebalan briket kulit durian 45 cm sehingga ketebalan lapisan media filter adalah 80 cm.

2) Ketebalan briket kulit durian 50 cm sehingga ketebalan lapisan media filter adalah 85 cm.

3) Ketebalan briket kulit durian 55 cm sehingga ketebalan lapisan media filter adalah 90 cm.

4) Ketebalan briket kulit durian 60 cm sehingga ketebalan lapisan media filter adalah 95 cm.

5. Alirkan/ masukkan air kedalam saringan lalu buka kran pada saringan kemudian ambil air sebagai sampel untuk diperiksa kadar besi (Fe) di laboratorium.


(56)

Briket Kulit Durian 45 cm

20 cm Pasir

Kerikil

15 cm 10 cm

Kran

Tempat Penampungan Air


(57)

3.8. Metode Pemeriksaan Sampel

Alat:

1. photometer water test kit AYI-IO

2. Tabung uji Bahan:

1. air sumur

2. 1 botol reagent Fe-1k

3. 1 lembar bulatan stiker untuk penomoran tabung uji 4. Tissue

Prosedur kerja

1. Periksa pH air sampel dalam hal ini air sumur (pH air sampel harus berkisar antara 1-10).

2. Jika pH tidak berada pada kisaran di atas dapat ditambahkan larutan

sodium hydroxid solution atau sulfuric acid

3. Sampel yang memiliki kadar Fe lebih dari 4 mg/l harus dillakukan pengenceran dengan aquades.

4. Masukkan 5 ml air sampel ke dalam masing-masing tabung uji, tutup dengan tutup ulir dan campur.

5. Tambahkan 1 takar microspoon biru Fe-1K, tutup tabung dengan penutup ulir.

6. Guncangkan tabung uji dengan kuat untuk melarutkan padatan 7. Biarkan larutan bereaksi selama 3 menit


(58)

8. Tempatkan tabung uji ke dalam ruang tabung uji sejajarkan tanda pada tabung dengan tanda pada photometer water test kit AYI-IO

9. Baca hasilnya

3.9. Analisa Data

Analisis univariat untuk menggambarkan kadar Fe air sumur sebelum perlakuan. Data yang diperoleh akan dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416/Men.Kes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air yaitu 1,0 mg/L.


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Pemeriksaan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari salah satu sumur masyarakat di Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan. Untuk mengetahui besarnya kadar besi (Fe) yang terdapat pada air sumur tersebut, peneliti terlebih dahulu mengadakan survei awal dengan mengamati secara fisik air sumur tersebut. Untuk selanjutnya peneliti melakukan pemeriksaan sampel pada air sumur tersebut di laboratorium.

Hasil penelitian berupa data yang didapat dari hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap air sumur, sebelum dan sesudah dilakukan penyaringan dengan menggunakan briket kulit durian. Yang dimaksud dengan hasil penelitian adalah hasil-hasil yang diperoleh dari percobaan yang dilakukan. Dalam hal ini adalah data tentang penurunan kadar Fe pada air sumur yang disaring dengan media filter kerikil, pasir dan briket kulit durian.

Adapun data yang didapat dari hasil percobaan pemeriksaan kadar besi (Fe) air sumur dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :

Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Kadar Besi (Fe) Sebelum dan Sesudah Penyaringan

No Ketebalan Briket Kadar Besi (Fe) mg/l Rata- Rata (mg/l) Kadar Baku Mutu Fe (mg/l) Pengulangan

1 2 3

1 Tanpa Perlakuan 6.48 - - 6.48

1.00

2 45 cm 1.77 1.78 1.81 1.78

3 50 cm 1.05 1.10 0.92 1.02

4 55 cm 0.70 0.71 0.69 0.70


(60)

Untuk melihat hasil persentase penurunan kadar besi (Fe) setelah penyaringan dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut :

Tabel 4.2. Persentase Penurunan Kadar Besi (Fe) Sebelum dan Sesudah Penyaringan

Ketebalan Briket

Kadar Fe (mg/l) Perbedaan

Kadar Fe (mg/l)

Perbedaan Kadar Fe (%) Sebelum

Penyaringan

Sesudah Penyaringan

45 cm

6.48

1.78 4.7 72.53

50 cm 1.02 5.46 84.25

55 cm 0.70 5.78 89.19

60 cm 0.63 5.85 90.77

Berdasarkan tabel 4.1 dan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kadar besi (Fe) sebelum penyaringan adalah 6.48 mg/l. Penyaringan dilakukan dengan susunan media filter kerikil 15 cm, pasir 20 cm, briket kulit durian 45 cm, 50 cm, 55 cm dan 60 cm. Dimana rata-rata penurunan kadar besi (Fe) masing- masing adalah 1.78 mg/l, 1.02 mg/l, 0.70 mg/l dan 0.63 mg/l dengan persentase penurunan kadar besi adalah 72.53%, 8425 %, 89.19% dan 90.77%.


(61)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Pemeriksaan Kadar Besi (Fe) Air Sumur Di Perumahan Milala Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan

Berdasarkan tabel 4.1 dan tabel 4.2 diatas dapat diketahui bahwa kadar besi (Fe) pada air sumur sebelum perlakuan atau sebelum dilakukan penyaringan adalah 6.48 mg/l dan tidak memenuhi baku mutu sesuai Permenkes RI No.416 Tahun 1990. Penyaringan air sumur yang dilakukan menyebabkan rata-rata kadar Besi (Fe) mengalami penurunan.

Penyaringan air sumur yang dilakukan dengan ketebalan kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan ketebalan briket 45 cm kadar besi (Fe) mengalami penurunan sebesar 72.53 % sehingga rata-ratanya menjadi 1.78 mg/l. Kondisi fisik air yang terlihat juga sudah semakin jernih dan bau sudah berkurang. Tetapi penurunan ini belum memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan Permenkes RI No.416 Tahun 1990 tentang air bersih dimana kadar besi (Fe) yang diperbolehkan adalah 1.0 mg/l.

Pada tabel juga terlihat bahwa penyaringan air sumur dengan ketebalan kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan briket 50 cm kadar besi (Fe) air sumur mengalami penurunan yaitu 84.25 % dengan rata-rata 1.02 mg/l. Secara fisik air juga terlihat lebih jernih dibanding pada perlakuaan sebelumnya. Penurunan ini juga sudah sesuai dengan syarat kesehatan yang ditetapkan dalam Permenkes RI No.416 Tahun 1990.

Penyaringan air sumur dengan ketebalan kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan briket 55 cm penurunan kadar besi (Fe) adalah 89.19% dengan rata-rata 0.70 mg/l. Kondisi fisik air sudah terlihat jernih dan tidak berbau lagi. Penurunan ini juga sudah


(62)

memenuhi syarat kesehatan untuk kadar besi (Fe) sesuai dengan Permenkes RI No.416 Tahun 1990 tentang air bersih yaitu kadar yang diperbolehkan adalah 1.0 mg/l.

Kadar besi juga mengalami penurunan dengan penyaringan dengan ketebalan media kerikil 15 cm, pasir 20 cn dan briket 60 cm yaitu dengan rata-rata penurunan 90.77 % dengan rata-rata 0.63 %. Secara fisik air sudah terlihat jernih dan tidak berbau lagi sehingga air juga sudah memenuhi syarat kesehatan dimana kadar besi (Fe) yang diperbolehkan untuk air bersih adalah 1.0 mg/l sesuai dengan Permenkes RI No.416 Tahun 1990.

5.2. Pengaruh Penyaringan Dengan Berbagai Ketebalan Briket Terhadap Penurunan Kadar Besi (Fe) Air Sumur

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat adanya perbedaan kadar Fe air sebelum perlakuan dibandingkan setelah mendapat perlakuan dengan penyaringan. Sebelum penyaringan kadar besi (Fe) adalah sebesar 6.48 mg/l. Setelah dilakukan penyaringan dengan ketebalan kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan briket 45 cm rata-rata kadar besi (Fe) adalah 1.78 mg/l dengan persentase penurunan adalah 72.53 % , ketebalan briket 50 cm rata-rata kadar besi (Fe) adalah 1.02 mg/l dengan persentase penurunan adalah 84.25 %, ketebalan briket 55 cm rata-rata kadar besi (Fe) adalah 0.70 cm dengan persentase penurunan adalah 89.19 % dan dengan ketebalan briket 60 cm rata-rata kadar besi (Fe) adalah 0.63 mg/l dengan persentase penurunan adalah 90.77 % .

Pada saringan yang menggunakan briket dengan ketebalan briket 45 cm rata-rata kadar besi (Fe) air sumur belum sesuai dengan syarat kesehatan yaitu 1.78 mg/l.


(63)

Dimana kadar besi (Fe) yang diperbolehkan untuk air bersih sesuai dengan Permenkes RI No.416 Tahun 1990 adalah 1.0 mg/l. Tetapi air terlihat lebih jernih bila dibandingkan dengan kadar besi (Fe) sebelum dilakukan penyaringan. Sehingga kadar besi (Fe) air sumur yang telah disaring dengan ketebalan briket 50 cm, 55 cm, dan 60 cm telah sesuai dengan baku mutu yaitu 1.02 mg/l, 0.70 mg/l dan 0.63 mg/l.

Dalam penelitian ini terjadi penurunan kadar besi (Fe) setelah dilakukan penyaringan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Apriani (2013) tentang pengaruh konsentrasi aktivator Kalium Hidroksida (KOH) terhadap kualitas karbon aktif kulit durian sebagai adsorben logam Fe pada air gambut, yang menurunkan konsentrasi logam Fe sebanyak 85.38 %, dari 2.6 mg/l menjadi 0.38 mg/l dengan waktu kontak 24 jam. Selain itu masih banyak penelitian yang menggunakan kulit durian yaitu sebagai penyerap zat warna Mthylene Blue (Ismadji, et al, 2006), sebagai adsorben logam Cu pada air dengan aktivator H2SO4 (Gultom,

2012) dan aktivator HCl (Wardani, 2012).

Sifat yang paling utama dari karbon aktif adalah kemampuannya untuk menyerap. Sifat ini didasarkan pada sifat padatan karbon aktif yang memiliki luas permukaan atau pori-pori yang besar. Daya serap karbon aktif erat hubungannya dengan sifat keaktifan karbon tersebut. Kemampuan karbon aktif untuk mengadsorpsi sejumlah besar adsorbat adalah karena struktur pori yang sangat berkembang yang dimiliki karbon aktif (Siregar, 2009).

Ketebalan lapisan media filter juga sangat berpengaruh terhadap kualitas air yang disaring. Dimana ketebalan lapisan media filter yang efektif umumnya berkisar antara 80-120 cm (Asmadi, 2011). Dalam penelitian ini ketebalan media filter adalah


(64)

berkisar 80-95 cm, dengan susunan kerikil 15 cm, pasir 20 cm dan briket 45cm, 50 cm, 55cm dan 60 cm. Dengan waktu yang diperlukan untuk menghabiskan air yang dimasukkan kedalam saringan sebanyak 6 L adalah 18 menit.

Data di atas menunjukkan bahwa saringan yang paling efektif menurunkan kadar besi (Fe) adalah saringan dengan susunan media kerikil 15 cm, pasir 20 cm, dan briket 60 cm mampu menurunkan kadar besi (Fe) hingga 90.77 % yaitu dari 6.48 mg/l menjadi 0.63 mg/l. Kadar besi (Fe) air sumur yang telah disaring tersebut telah sesuai dengan Permenkes RI No.416 Tahun 1990 dengan kadar besi (Fe) yang diperbolehkan adalah 1.0 mg/l. Sehingga semakin tebal lapisan media yang dilalui air sumur semakin kecil kadar besinya.

Adanya unsur-unsur besi dalam air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan unsur tersebut. Zat besi merupakan unsur yang penting dan berguna untuk metabolisme tubuh, untuk keperluan ini tubuh membutuhkan 7-35 mg unsur tersebut perhari, yang tidak hanya diperoleh dari air. Kosentrasi unsur ini dalam air yang melebihi ± 2 mg/l dapat menimbulkan noda-noda pada peralatan dan bahan-bahan yang bewarna putih, menimbulkan bau, menyebabkan warna pada air minum dan warna koloid pada air. Kosentrasi lebih besar dari 1 mg/l dapat menyebabkan warna air menjadi kemerah-merahan, memberi rasa yang tidak enak pada air minum, dapat membentuk endapan pada pipa-pipa logam dan bahan cucian (Kusnaedi, 2006). Keracunan Fe juga sering terjadi pada anak-anak. Keracunan ini terjadi tidak disengaja pada saat anak memakan makanan atau benda yang mengandung Fe, sedangkan pada orang dewasa kasus ini jarang terjadi. Walaupun toksisitas Fe jarang menyebabkan kematian, tetapi dapat menyebabkan gangguan mental serius.


(1)

Gambar Lampiran 5 : Arang Kulit Durian Yang Telah Dihaluskan (Bubuk Arang Kulit Durian)


(2)

Gambar Lampiran 7 : Proses Pencampuran Bahan Perekat dan Bubuk Arang Kulit Durian

Gambar Lampiran 8 : Proses Pencetakan Briket Kulit Durian


(3)

Gambar Lampiran 9 : Proses Penjemuran/Pengeringan Briket Kulit Durian


(4)

Gambar Lampiran 11 : Sampel Air Sumur Sebelum dan Sesudah Penyaringan

Gambar Lampiran 12 : Pemeriksaan pH Air Sumur Yang Akan Diperiksa Kadar Besinya


(5)

Gambar Lampiran 13 : Sampel Yang Akan Diperiksa Kadar Besinya

Gambar Lampiran14 : Pemeriksaan Kadar Besi Menggunakan Water Test Kit


(6)

Dokumen yang terkait

Efektivitas Biji Kelor (Moringa oleifera) dalam Menurunkan Kadar Besi (Fe) dan Mangan (Mn) Air Sumur Gali di Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan Tahun 2012

18 149 84

Analisis Kadar Besi (Fe) Pada Air Sumur Bor Dikelurahan Gedung Johor, Medan Johor, Medan

12 114 61

Perbedaan Penurunan Kadar Besi (Fe) Pada Air Sumur Dengan Cara Aerasi Bertingkat, Aerator Dan Oksidator (KMnO4)

5 56 79

Perbedaan Kadar Besi (Fe) Pada Air Sumur Bor Yang Disaring Dengan Zeolit Dan Karbon Aktif

4 99 67

Efektivitas Alat Pemurni Air Dalam Menurunkan Kadar Besi (Fe) Bedasarkan Variasi Waktu Tinggal Pada Air Sumur Gali.

0 3 14

KEEFEKTIFAN WAKTU AERASI MENGGUNAKAN BUBBLE AERATOR DALAM MENURUNKAN KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR Keefektifan Waktu Aerasi Menggunakan Bubble Aerator Dalam Menurunkan Kadar Besi (Fe) Air Sumur Desa Kebarongan Kemranjen Banyumas Tahun 2016.

0 3 14

KEEFEKTIFAN WAKTU AERASI MENGGUNAKAN BUBBLE AERATOR DALAM MENURUNKAN KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR Keefektifan Waktu Aerasi Menggunakan Bubble Aerator Dalam Menurunkan Kadar Besi (Fe) Air Sumur Desa Kebarongan Kemranjen Banyumas Tahun 2016.

0 3 16

KEEFEKTIFAN MEDIA FILTER SPON DALAM MENURUNKAN KADAR BESI (Fe) PADA AIR SUMUR DI Keefektifan Media Filter Spon Dalam Menurunkan Kadar Besi (Fe) Pada Air Sumur Di Desa Pabelan Kartasura Sukoharjo.

1 2 12

Efektivitas Biji Kelor (Moringa oleifera) dalam Menurunkan Kadar Besi (Fe) dan Mangan (Mn) Air Sumur Gali di Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan Tahun 2012

0 0 14

EFEKTIVITAS BRIKET KULIT DURIAN DALAM MENURUNKAN KADAR BESI (Fe) AIR SUMUR DI PERUMAHAN MILALA KELURAHAN LAU CIH KECAMATAN MEDAN TUNTUNGAN TAHUN 2014 SKRIPSI

0 0 13