Syarah Hadis ANALISA KANDUNGAN HADIS TENTANG
                                                                                46 Sa‟îd dan Abû  Huraîrah dinukil  Ibnu  Hibbân dalam kitab  sahih-nya. Hadis
Ibnu Umar dan Ibnu Abbâs adalah sama, yang dinukil al-Tabarânî dari jalur Ibrâhîm  bin  Abî  Albah,  dari  At
a‟  dari  keduanya.  Dari  hadis  ini  tidak menyebutkan salat kecuali pada hadis Jâbir, hanya saja redaksi riwayat Abû
Ayyûb adalah,
ل ها  ت    ّص  ث ء ض لا  ح ف  ًض ت   ط لا  ت ا
Sembunyikan lamaran  dan  berwudhulah,  lalu  baguskanlah  wudhu-mu,  kemudian
laksanakanlah salat yang telah Allah wajibkan kepada kamu. Disebutkannya dua  raka‟at  adalah  khusus  dalam  hadis  Jabir.  Penyebutan  Istikhârah
dicantumkan dalam hadis Sa‟ad secara marfu’ , ها  ت تسا  ا  ا  س  Di
antara  kebahagiaan  anak  Adam  adalah  beristikhârah  [meminta  pilihan  yang terbaik] kepada Allah, dinukil Imam Ahmad dan Sanad
-nya hasan. Asalnya terdapat  dalam  riwayat  al-
Tirmidzî namun dengan menyebutkan “keridhaan dan kemurkaan”, bukan “Istikhârah”. Disebutkan dalam hadis Abû Bakar al-
Siddiq,
ل ق اً ا  ا أ ا     س ها  ص  لا  أ
: ل تخا   ل خ  لأ
bahwa
Nabi  SAW  apabila  menghendaki  sesuatu  perkara,  Beliau  mengucapkan,  Ya Allah baikkanlah untukku dan pilihkanlah yang baik untukku, yang dinukil
al-Tirmidzi dengan sanad yang lemah. Disebutkan dalam hadis Anas secara marfu’,
تسا    خ   tidak akan kecewa orang yang beristikhârah, hadis
ini  dinukil  al-Tabarânî  dalam  al- Mu‟jam  al-Saghîr  dengan  sanad  yang
lemah.
58
58
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009,
Jilid 30, hal. 631
47
تس لا س
لا  ص  لا ل س    Nabi SAW mengajarkan Istikhârah  kepada  kami,
Dalam  riwayat  Ma‟an  disebutkan  dengan  redaksi,
حصا
mengajarkan  kepada  sahabatnya.  Demikian  juga  dalam  jalur Bisyr bin Umar.
ألا  ف  Dalam segala urusan. Ibnu Abî Hamzah mengatakan, “
ini  redaksi  umum  tapi  yang  dimaksud  adalah  khusus,  karena  untuk  perkara yang wajib dan sunnah tidak perlu Istikhârah untuk melakukannya, demikian
juga yang haram dan  makruh tidak perlu Istikhârah untuk meninggalkannya. Jadi  masalahnya  terbatas  pada  hal-hal  yang  mubah  saja,  yaitu  bila  ada  dua
perkara  mubah  dan  ingin  menetapkan  mana  yang  harus  dilakukan  terlebih dahulu atau mana yang dipilih.
59
آ لا ل   sebagaimana halnya [beliau mengajarkan] sûrah al-
Qur‟an. Disebutkan dalam riwayat Qutaîbah dari „Abdurrahmân yang telah dikemukakan pada bab salat malam,
آ لا لا
sebagaimana beliau mengajarkan  surah  al-
Qur‟an  kepada  kami.  Ada  pendapat  menyebutkan bahwa  letak  keserupaannya  adalah  perlunya  segala  urusan  terhadap
Istikhârah seperti perlunya salat terhadap al- Qur‟an.
حأ   ا  apabila seseorang di antara kalian hendak. Pada kalimat ini
ada kalimat  yang tidak  disebutkan secara  redaksional,
حأ   ا ائ ق
: mengajarkan kepada kami dengan mengatakan, apabila seseorang di  antara
seseorang  hendak.  Redaksi  ini  disebutkan  dalam  riwayat  Qutaibah,
ا
59
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, Jilid 30, hal. 632
48
ل :
Beliau  bersabda,  “Apabila  hendak.  Dalam  riwayat  Abû  Dâud  dari Qutaîbah ada tambahan,
ل kepada kami.
60
Ibnu Abî Jamrah mengatakan , “Urutan yang terbesit dalam hati adalah
di  mulai  dari  kehendak,  langkah,  pikiran,  niat,  keinginan  dan  tekad.  Tiga yang  pertama  tidak  diperhitungkan,  beda  halnya  dengan  tiga  yang  lainnya.
Jadi  sabda  beliau,
ا  apabila hendak mengisyaratkan untuk  Istikhârah
pada  proses  pertama  yang  terbesit  dalam  hati,  sehingga  dengan  keberkahan salat dan do‟a tersebut akan tampak yang baik baginya. Beda halnya dengan
suatu  perkara  sudah  mantap  dalam  hatinya,  keinginannya  sudah  kuat  dan tekadnya  pun  telah  bulat,  sehingga  petunjuk  yang  telah  tergambar
dikhawatirkan akan samar karena didominasi oleh kecenderungannya”.
61
ت ف  Maka  hendaklah  ia  salat  dua  raka‟at.  Kalimat  ini
membatasi  hadis  Abu  Ayyub  yang  menyebutkan,
ل ها  ت    ّص
Laksanakanlah  salat  yang  diwajibkan  Allah  kepadamu.  Bisa  juga dipadukan,  bahwa  yang  dimaksud  adalah  tidak  h
anya  satu  raka‟at,  karena nashnya  menyebutkan  dua  raka‟at,  sehingga  penyebutan  dua  raka‟at  ini
sebagai  pemberitahuan  tentang  jumlah  minimal.  Seandainya  melaksanakan lebih  dari  dua  raka‟at,  maka  itu  diperbolehkan.  Secara  zhahir  disyaratkan
salam  pada  setiap dua  raka‟at  sehingga  tercapailah  sebutan  dua  raka‟at.
60
Al-Nawawi,  Syarah  Sahih  al-Muslim,  Penerjemah  Hazim  Muhammad,  Jakarta: Jakarta: Pustaka Azzam, 2009, 149
61
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 633
49 Dengan begitu, tidak sah jika salat empat raka‟at  – misalnya - dengan satu
salam. Namun, pendapat al-Nawâwî menunjukan itu sah.
ض فلا  غ    Selain  salat  Fardu.  Ini  mengeluarkannya  dari  salat
Subuh. Kemungkinan juga bahwa yang dimaksud dengan faridah adalah yang fardu  dan  yang  terkait  dengannya,  sehingga  tidak  termasuk  salat  sunnah
rawatib,  seperti  dua  raka‟at  salat  fajar.  Tampaknya  yang  lebih  tepat  adalah jika  seseorang  meniatkan  salat  tersebut  salat  sunnah  tersebut  dan  salat
Istikhârah bersamaan, maka itu sah.  Ini  berbeda halnya jika tidak diniatkan
demikian.  Hal  ini  juga  dibedakan  dari  salat  Tahiyatul  Masjid,  karena maksudnya  adalah  mengisi  tempat  dengan  do‟a,  sedangkan  yang  dimaksud
dengan  salat  Istikhârah adalah  menempatkan  do‟a  setelahnya  atau  di
dalamnya. Jika melaksanakan salat sebelum adanya perkara yang dimaksud, maka tidak sah, karena konteks kalimatnya menunjukan bahwa salat dan do‟a
itu setelah adanya perkara yang dimaksud. Al-
Nawâwî  menyatakan  bahwa  pada  dua  raka‟at  salat  Istikhârah dibacakan surat Al-Kâfirûn dan surat al-Ikhlâs. Guru kami mengatakan dalam
Syarh Al-Tirmidzî
,  “Aku  tidak  menemukan  dalilnya.  Kemudian mengaitkannya  dengan  dua  raka‟at  fajar  dan  dua  raka‟at  setelah  maghrib”.
Al- Nawâwî  mengatakan,  “Kedua  surat  itu  sangat  cocok  dengan  kondisinya
karena  mengandung  keikhlasan  dan  tauhid,  sementara  orang  yang beristikharah
memang  memerlukan  hal  itu”.  Guru  kami  mengatakan, “Cocoknya adalah dengan membaca misalnya surah Al-Qasas ayat 68,
ٓ ٓ ٓ ٓت ٓٓ  ء ٓشٓ  ٓ  ق ٓ Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan
50 memilihnya dan surah Al-Ahzâb ayat 36,
لا  ضق ا ٳ ل
ل ٲ اً ٲ  ل س   Dan  tidakkah  patut  bagi  laki-laki  yang  mukmin  dan  tidak
pula  bagi  perempuan  yang  mukmin,  apabila  Allah  dan  rasul-Nya  telah menetapkan  suatu  ketetapan,  akan  ada  bagi  mereka  pilihan  [yang  lain]”
62
. Saya Ibnu Hajar katakan, yang lebih sempurna adalah membaca surah dan
ayat pertama  tadi  pada  raka‟at  pertama  dan  yang  lainnya  pada  raka‟at
kedua.
63
Disimpulkan  dari  sabda  beliau,
ض فلا  غ    selain  yang  fardu,
bahwa perintah melaksanakan dua raka‟at salat Istikhârah adalah tidak wajib. Guru  kami  mengatakan  dalam  Syarh  Al-Tirmidzî
,  “Saya  belum  pernah melihat  orang  yang  menyatakan  wajibnya  Istikhârah  dengan  alasan  adanya
perintah untuk melakukannya diserupakannya dengan mengajarkan surah al- Qur‟an,  sebagaimana  dia  berdalil  yang  seperti  itu  dalam  mewajibkan
tasyahhud dalam  salat  karena  adanya  perintah  ungkapan,
ّ ف  hendaklah
mengucapkan  yang juga diserupakan dengan mengajarkan surah al- Qur‟an.
Jika  ada  yang  mengatakan  bahwa  perintah  tersebut terikat  dengan  syarat
condition,  yaitu  ucapan  beliau,
أل   حأ   ا ٳ  Apabila  seseorang  dari
kalian  hendak  [melakukan]  suatu  perkara,  maka  kami  katakana,  Demikian juga  tasyahhud,  karena  itu  juga  diperintahkan  bagi  orang  yang  salat.  Jadi
62
Muhyiddin Abî Zakariyyâ Yahya Ibn Syaraf al-Nawâwî, Al-Adzkâr, Surabaya: al- Hidayah, 1995, h. 111
63
Syihaduddin Ahmad Ib n „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 635
51 walaupun keduanya serupa tapi bisa dibedakan, karena tasyahhud merupakan
bagian  dari  salat,  maka  landasan  yang  mewajibkannya  adalah  sabda  beliau SAW,
صٲ ت أ    ا ص  Salatlah  kalian  sebagaimana  kalian  melihatku
salat,  sedangkan  yang  menunjukan  tidak  wajibnya  salat  Istikharah  adalah dalil  yang  menunjukan  tidak  wajibnya  salat  selain  yang  lima  waktu,  yaitu
yang  disebutkan  dalam  hadis,
ل ق ؟   غ ّ
: ,
طت  أ  ل
Adakah  yang wajib atasku selain itu? Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau
bertatawwu ”.    Walaupun  dapat  menggunakan  dalil  tersebut  untuk
menyatakan tidak wajibnya dua raka‟at Istikhârah, namun tidak menghalangi untuk  dijadikan  dalil  akan  wajibnya  doa  Istikhârah.
64
Tampaknya  yang mereka  pahami  bahwa  perintah  itu  sebagai  anjuran  sehingga  mereka
mengalihkannya  dari  status  wajib,  tetapi  karena  mengandung  zikir  kepada
Allah dan menyerahkan perkara kepada-Nya, maka itu menjadi sunnah.
Kami katakan, secara zhahir menunjukan untuk berdo‟a setelah salat, tapi  bila  do‟a  itu  di  tengah,  maka  itu  pun  sah.  Jadi  kemungkinan  maksud
pengurutannya adalah memulai salat sebelum do‟a, karena letak do‟a setelah salat  adalah  saat  sujud  atau  tasyahhud.  Ibnu  Abî  Jamrah  mengatakan,
“Hikmah mendahulukan salat daripada do‟a, adalah karena tujuan Istikhârah adalah  tercapainya  kebaikan  dunia  dan  akhirat,  maka  perlu  mengetuk  pintu
Yang Maha Raja.  Untuk itu, tidak ada yang lebih manjur daripada salat yang
64
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 636
52 di  dalamnya  mengandung  pengagungan  Allah,  pujian  kepada-Nya  dan
menampakan kebutuhan terhadap- Nya”
65
تسأ  أ  لا   Ya  Allah,  sesungguhnya  aku  meminta  pilihan
kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Huruf ba di sini berfungsi menunjukan alasan. Maksudnya,  aku  minta  pilihan  kepada-Mu  karena  Engkau  lebih
mengetahui. Demikian juga pada kalimat
ت dengan kekuasan-Mu, bisa
juga  berfungsi  untuk  meminta  pertolongan  seperti  firman-Nya  dalam  surah Huud  ayat  41,
ا ج   لا    Dengan  menyebut  nama  Allah  di  waktu
berlayar, dan bisa juga  sebagai  penggabung seperti pada firman-Nya sûrah al-Qasas  ayat  17,
ت أ     ل ق  Musa  berkata,  “Ya  Tuhanku,  demi
nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku .
تسأ     Dan  aku  mohon  kekuatan  dari-Mu.  Maksudnya,  aku
memohon  dari-Mu  agar  memberikan  kemampuankekuatan  untuk menghadapi
perkara  tersebut.  Bisa  juga  maknanya  adalah  “Aku  memohon dari-Mu agar memudahkan perkara itu untukku
”.
أ ا   ت  ، قأ ا   ت  ف  Karena  sesungguhnya  Engkau  Maha
Kuasa  sedang  aku  tidak  kuasa,  Engkau  mengetahui  sedang  aku  tidak mengetahui. Ini mengisyaratkan bahwa ilmu dan kekuasaan hanyalah milik
Allah  semata,  tidak  ada  hamba  yang  memiliki  itu  kecuali  apa  yang  telah ditetapkan  Allah  untuknya.  Seakan-
akan  dia  mengatakan,  “Engkau  wahai
65
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 637
53 Tuhanku,  telah  menetapkan  sebelum  Engkau  menciptakan  kemampuan
padaku, ketika menciptakan padaku dan setelah menciptakannya”.
66
أا ا   أ  ت ت     لا  Ya  Allah,  jika  Engkau  mengetahui  bahwa
perkara ini. Dalam riwayat  ini dan  yang lainnya disebutkan,
ا   أ  ت ت أا jika Engkau mengetahui perkara ini. Abû Dâud menambahkan dalam
riwayat  Abdurrahmân  bin  Muqatil  dari  Abdurrahmân  bin  Abî  al-Mawwal,
لا yang hendak, dan menambahkan dalam riwayat Ma‟an, ث
kemudian menyebutkan perkaranya, ini juga disebutkan di akhir hadis bab ini. Secara zhahir konteks redaksinya menunjukan bahwa apa  yang menjadi
hajatnya itu diucapkan. Bisa juga hanya dengan menghadirkannya dalam hati saat  berdo‟a.  Berdasarkan  pendapat  pertama,  maka  yang  jadi  hajatnya  itu
diucapkan  setelah  do‟a,  dan  berdasarkan  pendapat  kedua,  maka  diucapkan saat  berdo‟a.  Kalimat
ت ت       Jika  Engkau  mengetahui  disini  pernah
ditanyakan  kepada  al-Karmani  karena  bernada  ragu,  padahal  tidak  boleh keraguan karena Allah Maha Mengetahui. Ia menjawab, bahwa keraguannya
karena pengetahuan itu terkait dengan kebaikan atau keburukan.
ش Dan  kehidupanku.  Abu  Daud  menambahkan,
Dan
tempat  kembaliku,  ini  menegaskan  bahwa  yang  dimaksud  dengan
لا
disini  adalah
حلا  kehidupan.  Mungkin  juga  dimaksud  dengan لا
adalah  kehidupan  yang  dijalani,  karena  itulah  yang  disebutkan  dalam  hadis Ibnu  Mas‟ud  pada  salah  satu  jalur  periwayatannya  yang  dikemukakan  oleh
66
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah,  hal. 638
54 al-Tabarânî di dalam al-
Mu’jam al-Aûsat, ف dalam agamaku dan
duniaku. Disebutkan dalam hadis Abû Ayyûb yang dinukil oleh al-Tabarânî,
ت خآ ف  dalam  duniaku  dan  akhiratku.  Ibnu  Hibbân  menambahkan
dalam riwayatnya,
dan agamaku, dan dalam hadis Abû Sa‟îd, ف
تش
dalam agamaku dan penghidupanku.
67
أ  ق –
جآ أ ّج   ف ل ق أ
Serta akibatnya terhadap diriku - atau beliau mengatakan: di dunia atau akhirat. Ini keraguan dari riwayat dan
tidak  ada  perbedaan  pada  jalur-jalur  periwayatannya.  Sementara  dari  hadis Abû  Sa‟îd  hanya  disebutkan,
أ  ق ,  demikian  juga  pada  hadis  Ibnu Mas‟ûd. Ini menguatkan salah satu kemungkinannya, bahwa  ّج لا dan ّج ا
Disebutkan  sebagai  ganti  ketiga  kata  itu,  atau  pengganti  kata  terakhir. Berdasarkan  ini  al-
Karmanî mengatakan, “Tidaklah seseorang  yang berdo‟a dengan do‟a Rasulullah SAW dianggap serius, kecuali dia berdo‟a tiga kali,
yaitu sekali mengucapkan
ف  ش أ  ق , dan sekali lagi dengan
mengucapkan,
ف أ ّج   جآ ”.
ل  ق ف  Maka  mudahkan  untukku.  Abû  al-Hasan  al-Qabisî
mengatakan,  “Orang-orang  negeri  kami  mengucapkan  Faqdir,  sedangkan orang-orang Masyriq al-
Faqdur‟. Al-karmanî mengatakan, “Maknanya adalah ‟jadikanlah  itu  ditetapkan  untukku,  atau  tetapkanlah  itu”.  Ada  juga  yang
mengatakan,  bahwa  maknanya  adalah „Mudahkanlah  untuk-ku‟.  Ma‟an
67
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 639
55 menambahkan  dalam  riwayatnya,
ف  ل ل
Dan  mudahkan  itu untuku, serta berkahilah aku padanya
ف صا ف ص ف  Maka  palingkanlah  perkara  itu  dariku,  dan
palingkanlah  darinya.  Maksudnya,  sampai  hatiku  tidak  terpaut  dengan perkara  itu.  Ini  sebagai  dalil  bagi  Ahlussunnah,  bahwa  keburukan  itu
termasuk  takdir  Allah  terhadap  hamba,  karena  jika  hamba  itu  bisa membuatnya, tentu dia pun bisa memalingkannya sendiri.
ث ح  لا  ل  قا   Dan  takdirkanlah[mudahkanlah]  kebaikan
untukku  di  mana  saja  ia  berada.  Dalam  hadis  Abu Sa‟id, setelah redaksi
ث ح  لا  ل  قا  disebut ل  ا   ق ا  ل ح ا tidak ada daya dan upaya
kecuali dengan [kehendak] Allah. ض أ  ث  kemudian  jadikanlah  aku  ridha.  Dalam  riwayat  Qutaibah
disebutkan,
ض ا  ث  Jadikanlah  aku  ridha  [rela]  dengannya.  Pada
sebagian jalur periwayatannya hadis Ibnu Mas‟ud yang dinukil al-Thabarani
dalam al-
Mu’jam al-Ausath disebutkan,  ء  ض   ض  Dan jadikanlah aku
ridha dengan ketetapan-Mu.
68
Dalam hadis Abû Ayyûb disebutkan,
ض  Dan jadikanlah aku
ridha dengan takdir-Mu. Rahasia yang terkandung adalah, agar hatinya tidak terus  terpaut  dengan  perkara  itu  sehingga  perasaannya  tidak  tenteram.
Keridhaan adalah ketenangan jiwa terha dap qadha‟.
69
68
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 639
69
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 640
56 Hadis  ini  menunjukan  kasih  sayang    Nabi  SAW  terhadap  umatnya
sehingga  beliau  mengajarkan  kepada  mereka  semua  yang  bermanfaat  bagi agama  dan  dunia.  Pada  salah  satu  jalur  periwayatannya  yang  dinukil  al-
T abarânî  pada  hadis  Ibnu  Mas‟ûd  disebutkan  bahwa  Nabi  SAW  berdoa
dengan  doa  ini  bila  hendak  membuat  suatu  keputusan.  Hadis  ini  juga menunjukan  bahwa  seorang  hamba  tidak  akan  memiliki  kemampuan  dan
kekuatan  kecuali  disertai  perbuatan.  Allah-lah  yang  menciptakan pengetahuan  tentang  sesuatu  pada  hamba-Nya,  keinginannya  terhadap
sesuatu itu dan keberhasilannya meraih  sesuatu itu, maka sudah seharusnya seorang hamba mengembalikan segala urusan kepada Allah dan menyatakan
bahwa  tidak  ada  daya  dan  kekuatan  kecuali  dengan  kehendak  Allah,  serta senantiasa memohon kepada Allah dalam segala urusan.
70
Hadis  ini  sebagai  dalil  bahwa  perintah  melakukan  sesuatu  bukan sebagai  larangan  melakukan  yang  sebaliknya.  Sebab  jika  demikian,  maka
cukuplah  dengan  ungkapan,
لٌ خ  أ  ت ت     Jika  Engkau  mengetahui
bahwa itu baik untukku dan tidak perlu menyatakan ungkapan,
أ  ت ت لٌ ش dan jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, karena jika tidak
baik sudah pasti buruk. Kemudian  ada  perbedaan  pendapat  mengenai  apa  yang  dilakukan
setelah  melakukan  salat  Istikhârah.  Ibnu  Abdussalâm  mengatakan, “melakukan apa  yang sesuai dengannya”. Dia berdalil dengan redaksi  pada
70
Syihaduddin Ah mad Ibn „Alî Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sahih
al-Bukhârî , Penerjemah: Amiruddin dan Amir Hamzah, hal. 641
57 salah  satu  jalur  periwayatan  hadis  Ibnu  Mas‟ûd,  yang  dibagian  akhir
disebutkan,
ز   ث  kemudian  hendaklah  bertekad,  yang  di  awal  hadisnya
disebutkan,
ّ ف اً أ  حأ  ا أ ا   Apabila  seseorang  diantara  kalian  hendak
[melakukan]  suatu  perkara,  maka  hendaknya  mengucapkan.  Al-Nawawi mengatakan,  Setelah  ber-Istikhârah  hendaknya  melakukan  apa  yang
menentramkan  hatinya.  Hal  ini  berdasarkan  hadis  anas  sunni,
ت  ا ف  لا  ف ، ق  ف ق   لا  ل   ا  ث ، ً س    تس ف Jika engkau hendak
[melakukan]  suatu  perkara,  maka  beristikharahlah  kepada  Tuhanmu  tujuh kali,  kemudian  lihatlah  apa  yang  muncul  di  hatimu,  karena  di  situ  ada
kebaikan.  Jika  hadis  ini  akurat  tentu  bisa  dijadikan  sandaran,  sayangnya sanad-nya  sangat  lemah.  Adapun  yang  bisa  dijadikan  sandaran,  hendaknya
tidak melakukan apa yang terdetik dalam hatinya yang berupa keinginan kuat sebelum  melakukan  Istikhârah.  Itulah  yag  diisyaratkan  dengan  ucapan,
ا ّٓل   ٓاٳ  ٓ ق ا  ل ح
ٗ
tidak ada daya dan upaya,  kecuali dengan [kehendak] Allah di akhir hadis Abû Sa‟îd.
71
                