Studi hadis-hadis pembacaan basmalah dalam salat: kajian hadis tematik

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Muhammad Syaman

NIM: 109034000072

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Skripsi ini membahas tentang studi hadis-hadis pembacaan basmalah dalam salat. Mengenai basmalah, para ulama sepakat bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Naml. Namun mereka berbeda pendapat tentang membaca basmalah di awal bacaan al-Qur’an dalam salat. Perbedaan membaca basmalah ketika salat ini menjadikan umat Islam terpecah-pecah, dan yang lebih memprihatinkan lagi, ada anggapan bahwa masyarakat yang terbiasa membaca basmalah dalam salat di masjid yang imamnya tidak membaca basmalah salatnya tidak sah. Sebenarnya apa yang menyebabkan perbedaan ini? Bagaimana perspektif hadis terhadap masalah ini?

Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, penulis sepenuhnya menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan merujuk kepada sumber-sumber primer yang diketahui dari kitab-kitab hadis yaitu al-Kutub al-Sittah sedangkan data sekunder merupakan pendukung yang masih ada relevansinya dengan pembahasan skripsi ini.

Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis yang melalui pengumpulan data dan pendapat para ulama untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulan.

Penelitian ini membuahkan kesimpulan bahwa yang menyebabkan perbedaan di kalangan ulama terkait dengan pelafalan basmalah ketika salat adalah bermacam-macamnya hadis yang saling bertentangan satu sama lain, perbedaan dalam menentukan kedudukan basmalah dalam al-Qur’an, dan perbedaan dalam menafsirkan hadis-hadis yang terkait dengan masalah ini.


(6)

ii

Tiada untaian kata yang patut untuk dilafadzkan dan lebih indah kecuali rasa syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT. atas segala nikmat dan karunia-Nya. Teriring untaian salam semoga terlimpah ke pangkuan Nabi Muhammad SAW., keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Sebuah karunia yang begitu besar ketika penulis telah menyelesaikan skripsi ini walaupun dengan melalui proses yang begitu panjang dan berliku, meski semua ini masih jauh dari kesempurnaan.

Terselesainya penulisan skripsi ini, tentu tidak merupakan hasil pribadi penulis, namun keterlibatan berbagai pihak yang memberikan kontribusi dalam terselesaikannya penulisan ini, baik itu berupa motivasi, bantuan pikiran, material dan moral serta spiritual. Untuk itu ucapan terimakasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Bustamin, M. Si., selaku pembimbing yang telah banyak membantu , membimbing, dan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, saran-saran, serta pengalaman yang sarat ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah untuk Bapak sekeluarga.

2. Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan Jauhar Azizy, MA. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.


(7)

iii Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dr. Rifqi Muhammad Fathi, MA. Selaku Dosen Penasehat Akademik.

6. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen di jurusan Tafsir Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, seluruh staf dan karyawan Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan dengan kesabaran dan keramahan.

7. Yang terhormat dan tercinta, Ayahanda Syafi’ih dan Ibunda Namah yang senantiasa memberi motivasi, bimbingan, kasih sayang, dan selalu

mendo’akan demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini, semoga Allah menghadiahi mereka surga dan mengganjar kebaikan mereka dengan pahala yang berlipat ganda.

8. Kepada kakak saya Abdul Shiddiq dan adik-adik penulis (Ahmad Mahfuddin, Dewi Safitri dan Ahmad Rafiq) yang senantiasa memberi keceriaan, mendoakan dan memberikan support-nya. Teriring doa semoga kelak menjadi generasi yang saleh, penyejuk mata bagi orang tua, dan bermanfaat bagi ummat.

9. Terimakasih kepada Nenek angkat tercinta, Siti Romlah (Almh) semoga beliau diterima segala amal ibadahnya dan diampuni segala dosanya oleh Allah SWT. serta di tempatkan di surganya Allah SWT., dan tak lupa pula kepada cucu-cucunya (Kiki, Jojo, dan Ezi), teriring doa semoga kelak


(8)

iv

banyak membantu memberikan dukungan moril maupun materil serta doa demi lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah untuk Bapak dan Ibu sekeluarga.

11.Terimakasih juga kepada Ust. H. M. Suhendra al-Fata sekeluarga, yang telah banyak membantu baik tenaga, motivasi, dan juga yang telah meminjamkan motor & laptopnya hingga terselesaikannya skripsi ini.

12.Kepada teman-teman Ta’mir Masjid al-Mughirah (Kang Yadi, Aziz, ubay, Suprima & Ridwan) serta segenap Pengurus Masjid al-Mughirah (Pakjo, Pak Tamim, dll..)

13.Teman-teman penulis di mana pun berada, khususnya sahabatku (Azizatul Iffah/Ipeh) yang telah rela & ikhlas meminjamkan laptopnya kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. seluruh Mahasiswa Tafsir Hadis angkatan 2009, khususnya kelas TH-C yang ganteng-ganteng & cantik-cantik (Zainal, Taufiq, Dimas, Madun, Heri, Agus, Misbah, Mu’min,Mahdi, Rahmah, Ayu, Lia, Nasroh, Ipeh) terimakasih untuk kebersamaannya selama ini.

14.Teman-teman KKN Hero (Dirly, Mahfudin, Ubay, Abror, Mufthi, Faiz, Fitmau, Mila, May, Lulu, Neng Ratih, Dita dan Eka) teman di kala suka maupun duka yang selalu setia memberikan bantuannya, memberi motivasi dan semangat kepada penulis.


(9)

v

skripsi ini. Untuk itu kritik dan saran kiranya dapat memperbaiki skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.

Jakarta , 9 November 2014


(10)

vi

ABSTRAK………...……… i

KATA PENGANTAR………. ii

DAFTAR ISI………...………. vi

PEDOMAN TRANSLITERASI……… viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…...……… 7

C. Tinjauan Pustaka……… 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..… 9

E. Metodologi Penelitian………...………. 9

F. Sistematika Penulisan………...……. 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BASMALAH A. Makna Basmalah………..……..……….. 15

B. Keutamaan Basmalah………...………. 19

C. Penafsiran Ulama Tafsir Terhadap Basmalah 1. Tafsiran Huruf al-Jâr (

ب

)……..………..………. 25

2. Tafsiran Lafal “

مسا

”…………..………...………. 27

3. Tafsiran Lafal “

ها

”..………..……...………. 30


(11)

vii

1. Teks Hadis……… 37

2. Asbâbul Wurûd Hadis……….……….…. 41

3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis………...…..…. 41

4. Analisa Hadis………..…..… 48

B. Hadis Tentang Tidak Menyaringkan Basmalah 1. Teks Hadis………..………….. 50

2. Asbâbul Wurûd Hadis ………..…… 55

3. Syarah dan Komentar Ulama Hadis ………….……… 55

4. Analisa Hadis……… 59

C. Pandangan Fuqaha Terhadap Basmalah………...……. 61

D. Pendapat Mufasir Tentang Masalah Pembacaan Basmalah Dalam salat………..……….. 70

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan……… . 76 B. Saran………...………... . 77 DAFTAR PUSTAKA……….. 79


(12)

viii

berpedoman pada buku pedomanakademik UIN SyarifHidayatullah Jakarta 2013/2014.

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak dilambangkan

ب

B Be

ت

T Te

ث

Ts Te dan es

ج

J Je

ح

H H dengan garis bawah

خ

Kh Ka dan ha

د

D Da

ذ

Dz De dan zet

ر

R Er

ز

Z Zet

س

S Es


(13)

ix

ط

T Te dengan garis bawah

ظ

Z Zet dengan garis bawah

ع

Koma terbalik keatas, menghadap kekanan

غ

Gh Ge dan ha

ف

F Ef

ق

Q Ki

ك

K Ka

ل

L El

م

M Em

ن

N En

و

W We

ه

H Ha

ء

Apostrop


(14)

x alihaksaranya adalah sebagaiberikut :

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ﹷ a Fathah

ﹻ i Kasrah

u Dammah

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alihaksaranya sebagai berikut :

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ﻱ_______ ai a dan i

و_______ au a dan u

Vokal Panjang(Madd)

Ketentuan alihaksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ـــــ

â a dengan topi diatas

ـــــ

î i dengan topi diatas

ــــــ


(15)

xi

Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijâl bukan ar-rijal, al-diwân bukan ad-diwan.

Syaddah (Tashdid).

Syaddah atau tasydid yang dalam system bahasa tulisan arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al -darûrah”, demikian seterusnya.

Ta Marbutah

Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh :

No Kata Arab Alih Aksara


(16)

xii Huruf kapital

Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi.


(17)

1

Hadis Rasulullah merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an. Bagi umat Islam hadis menjadi pedoman dalam menjalankan agamanya setelah al-Qur’an, karena itu sudah merupakan keharusan baginya untuk mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan yang terkandung di dalamnya.

Hadis sering dikonotasikan dengan sunnah, secara definisi adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. baik berupa perbuatan, perkataan maupun persetujuan beliau atas segala permasalahan yang terjadi dikalangan kaum muslimin.1 Pada pengertian ini dapat dipahami bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah yang merupakan respon terhadap segala persoalan yang dihadapi umat Islam pada waktu itu.

Dalam agama Islam hadis memiliki peranan sangat penting, karena bagaimanapun juga untuk memperoleh pemahaman keagamaan yang sempurna diperlukan adanya petunjuk yang tidak hanya dari al-Qur’an saja, sebagaimana diketahui al-Qur’an itu merupakan petunjuk yang universal oleh karenanya dibutuhkan hadis sebagai petunjuk berikutnya. Bila ditinjau dari segi urutan dan fungsinya, maka hadis menempati urutan kedua setelah al-Qur’an, yang merupakan sumber dalam mengambil segala keputusan yang menyangkut persoalan-persoalan hidup umat manusia.2 Secara teknis dapat dijelaskan bahwa

1

Subhî al-Sâliḥ, „Ulûm al-Hadîts wa Musṯalahuhu, (Bayrût: Dâr al-‘Ilmi Lilmayîn, 1988), h. 3.

2

M. Syuhudi Ismail, Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemandunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 72.


(18)

hadis merupakan penjabaran lebih lanjut tentang makna-makna yang ada dalam al-Qur’an, karena kenyataannya yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat banyak sekali hal-hal yang secara langsung tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an, akan tetapi hal tersebut ada dalam penjelasan Rasulullah yaitu hadis.

Rasulullah SAW. selalu mengajarkan kepada umatnya untuk mencari nilai lebih dalam beribadah, dalam menjalankan ibadah yang memang diwajibkan dan juga menjalankan ibadah-ibadah yang tidak diwajibkan (ibadah sunnah). Bahkan tidak hanya dalam hal ibadah, melainkan di dalam beraktivitas sehari-hari Rasulullah SAW. mengajarkan kepada umatnya untuk mencari nilai lebih sekaligus mencari keberkahan dalam melakukan setiap pekerjaan, yaitu dengan cara mengawalinya dengan membaca basmalah. Seorang muslim dianjurkan membaca basmalah sebelum memulai sesuatu pekerjaan yang baik. Yang demikian itu adalah untuk mengingatkan bahwa pekerjaan itu dikerjakannya karena perintah Allâh, atau karena telah diizinkan-Nya. Maka karena Allâh-lah dia mengerjakan pekerjaan itu dan kepada-Nya dia meminta pertolongan supaya pekerjaan itu terlaksana dengan baik dan berhasil.3 Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :

ََُُُوَُةَبميَشُ ِبَأُُنمبُِرمكَبُوُبَأُاََ ثَدَح

ُُنمبَُِللاُُدميَ بُعُاََ ثَدَحُاوُلاَقُي ِّ َََقمسَعملاُ ٍفَلَخُُنمبُُدَمََُُوُ َيمََُُنمبُُدَم

ُمنَعُىَسوُم

َُلاَقَُةَرم يَرُُ ِبَأُمنَعَُةَمَلَسُ ِبَأُمنَعُِيِرميزلاُمنَعَُةَرُ قُمنَعُِيِعاَزموَمْا

َُُللاُىَلَصَُِللاُُلوُسَرَُلاَق

ُِميَلَع

ُ

ُُأَدمبُ يُ ََُ ٍلاَبُيِذٍُرممَأُيلُكَُمَلَسَو

ُُعَطمقَأُِميِحَرلاُِنَمَْرلاَُِللاُِممسِبِبُ يِف

4

3

Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1983), h. 16.

4

Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth), jilid 6, hadis no. 4881, h. 5


(19)

“…Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Setiap pekerjaan yang baik, yang tidak dimulai dengan (membaca) „Bismillâhirrahmânirrahîm‟, niscaya terputus [berkahnya] (HR. Ibnu Mâjah)

Ketika seseorang membaca basmalah, maka makna-makna di atas yang diharapkan menghiasi jiwanya. Ini membawa kepada kesadaran akan kelemahan diri serta kebutuhan kepada Allâh. Orang yang membaca basmalah seharusnya juga menghayati kekuatan dan kekuasaan Allâh, serta rahmat dan kasih sayang-Nya yang tercurah bagi seluruh makhluk. Kalau yang demikian itu tertanam di dalam jiwa, maka pasti nilai-nilai luhur terjelma keluar dalam bentuk perbuatan, karena perbuatan merupakan cerminan dari suasana kejiwaan. Seorang yang sedang dirundung kesedihan atau sakit, keindahan baginya menjadi hampa, sedang yang dimabuk asmara, segala sesuatu akan tampak indah di pelupuk

matanya. Ini karena “setiap wadah menumpahkan isinya”. Yang membaca

basmalah akan mencurahkan rahmat dan kasih sesuai pola Tuhan mencurahkan rahmat-Nya yang tidak hanya menyentuh sang muslim, tetapi juga yang kafir, bahkan seluruh makhluk tanpa kecuali.5

Dapat ditegaskan di sini bahwa apabila seseorang memulai pekerjaannya dengan nama Allâh atau atas nama Allâh, maka pekerjaan tersebut akan menjadi baik, indah dan benar, atau paling tidak akan terhindar pelakunya dari godaan nafsu, atau dorongan ambisi dan kepentingan pribadi. Apabila seseorang menjadikan pekerjaannya bertitik tolak dari pangkalan Ilahi dan demi karena Dia Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu, maka pastilah pekerjaannya tidak akan mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Ia bahkan akan membawa manfaat bagi

5M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an

(Jakarta: Lentera Hati, 2002)Vol. 1, h. 23


(20)

diri, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, bahkan kemanusiaan secara keseluruhan.6

Pengucap basmalah ketika mengaitkan ucapannya dengan kekuasaan dan pertolongan Allâh – bagi yang mengaitkannya dengan kata itu – maka

seakan-akan ia berkata: “Dengan kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya pekerjaan yang

saya lakukan dapat terlaksana”. Maka dari itu, apa pun aktivitas yang kita

lakukan, termasuk menarik dan menghembuskan nafas, makan atau minum, gerak refleks atau sadar, diam atau bergerak, semuanya tidak dapat terlaksana tanpa kekuasaan dan pertolongan Allâh.7 Karena sebelum datang Islam orang Arab mengerjakan sesuatu pekerjaan adalah dengan menyebut al-Lâta dan al-„Uzza, yaitu nama-nama berhala mereka. Sebab itu Allâh SWT. mengajarkan kepada penganut-penganut agama Islam yang telah meng-Esa-kan Nya, supaya mereka mengerjakan dengan menyebut nama Allâh.8

Di dalam al-Qur’an ada 114 surat, semuanya dimulai dengan basmalah, kecuali surat al-Taubah. Surat al-Taubah ini tidak dimulai dengan basmalah karena memang tidak serasi kalau dimulai dengan basmalah. Di samping pada permulaannya, basmalah ada disebutkan satu kali dipertengahan surat al-Naml (ayat 30).9 Surat yang menempati urutan kedua puluh tujuh dalam susunan

al-Qur’an. Dalam ayat ini, diceritakan bagaimana Nabi Sulaiman AS. memulai

suratnya yang dikirim dengan perantara seekor burung Hudhud kepada ratu Saba’,

6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 23 7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 24l

8 Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. 16 9 Departemen Agama R.I., Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. 13-14


(21)

konon bernama Balqis yang berisi ajakan untuk mengesakan Tuhan, dengan basmalah.

Dari penjelasan singkat tentang basmalah di atas, para ulama sepakat bahwa basmalah adalah firman Allâh SWT. yang tercantum dalam al-Qur’an, paling tidak pada surat al-Naml (QS 27:30). Tidak pula seorang ulama pun mengingkari pentingnya mengucapkan basmalah pada awal setiap kegiatan.10 Tetapi mereka berbeda pendapat apakah basmalah merupakan ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat, ataukah merupakan bagian dari awal masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya? Apakah basmalah itu merupakan salah satu ayat dari setiap surat, atau bagian dari surat al-Fâtihah saja dan bukan surat-surat lainnya? Apakah basmalah yang ditulis di awal masing-masing surat itu hanya untuk pemisah antara surat semata dan bukan merupakan ayat?.11

Selain terjadi perbedaan pendapat tentang penetapannya sebagai ayat tersendiri (di dalam surat al-Fâtihah), terjadi juga perbedaan pendapat tentang pembacaan secara jahr (nyaring) di dalam salat.12

Umat Muslim sepakat bahwa ketika salat wajib membaca surat al-Fâtiẖah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi SAW. :

اََ ثَدَح

ُُنَسَمْا

ُُنمب

ُ يِلَع

ُيِّاَوملُمْا

اََ ثَدَح

ُُبوُقمعَ ي

ُُنمب

َُميِاَرم بِإ

ُِنمب

ٍُدمعَس

اََ ثَدَح

ُِبَأ

ُمنَع

ٍُحِلاَص

ُمنَع

ُِنمبا

ٍُباَهِش

َُنَأ

َُدوُممَُ

َُنمب

ُِبَرلا

ُِعي

يِذَلا

َُجَم

ُُلوُسَر

َُِللا

ىَلَص

َُُللا

ُِميَلَع

َُمَلَسَو

ُِف

ُِِهمجَو

ُمنِم

ُممِِرمئِب

َُُرَ بمخَأ

10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 25

11 Muhammad Caff, Tafsir Populer Fâtihah; Menyelami Makna Lahir dan Batin al-Fâtihah Secara Mudah dan Sederhana (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011) cet. Ke-1, h. 87

12 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fat Qadîr (Mesir: Dâr al-Hadîts, 1413 H/1993 M) juz 1, h. 64


(22)

َُنَأ

َُةَداَبُع

َُنمب

ُِتِماَصلا

َُُرَ بمخَأ

َُنَأ

َُلوُسَر

َُِللا

ىَلَص

َُُللا

ُِميَلَع

َُمَلَسَو

َُلاَق

ََُ

َُة َََص

ُمنَمِل

ُمَل

ُمأَرمقَ ي

ُِمُأِب

ا

ُِنآمرُقمل

13

“... Dari ‘Ubâdah bin Shâmit r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda

bahwa tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca ʹUmmul Qur’an.” (HR. Muslim)

Namun umat muslim berbeda dalam prakteknya ketika salat. Ketika kita melaksanakan salat berjamaah misalnya, terkadang kita mendengar ada imam yang membaca dan mengeraskan bacaan basmalah di awal surat al-Fâtihah dan surat al-Qur’an sesudahnya, namun terkadang kita tidak mendengarnya pada imam yang lain. Perbedaan basmalah pada surat al-Fâtihah dalam salat menjadikan umat Islam terpecah-pecah. Di Indonesia perbedaan tersebut memaksa umat Islam untuk membangun dua masjid di satu kampung yang penduduknya tidak lebih dari 100 kepala keluarga. Yang lebih memprihatinkan lagi, ada anggapan bahwa masyarakat yang terbiasa membaca basmalah dalam salat di masjid yang imamnya tidak membaca basmalah salatnya tidak sah. Realita ini sangat mencengangkan bagi siapa saja memahami Islam sacara tepat, terlebih kondisi tersebut dipertahankan oleh kebanyakan tokoh agama dan dilestarikan turun-temurun. Sebenarnya apa yang menyebabkan perbedaan ini? Apa yang mendasari atau yang menjadi hujjah bagi masing- masing pendapat? Bagaimana perspektif hadis terhadap masalah ini?

Agar lebih mendalam dalam penelitian skripsi ini, penulis bermaksud menelusuri dan mengkaji hadis-hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat dan mengangkat sebagai judul skripsi yaitu: “STUDI HADIS-HADIS

PEMBACAAN BASMALAH DALAM SALAT (Kajian Hadis Tematik).”

13 Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahîh Muslim, (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth( hadis no. 597, juz 2, h. 351


(23)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memudahkan pada skripsi ini, kiranya perlu dibuat pembatasan dan perumusan masalah, penulis akan membatasi masalah pada skripsi ini dengan hanya membahas tentang pembacaan basmalah dalam salat, dan menguraikan hadis-hadis yang berkaitan dengannya yang ada di dalam kitab-kitab hadis ( al-kutub al-sittah) saja.

Serta untuk melengkapi kajian ini penulis juga mengungkapkan beberapa pandangan fuqaha dan juga pendapat mufasir. Dari pernyataan tersebut maka dapat dirumuskan perincian masalah yang menjadi penunjang dalam pembahasan yaitu, sebagai berikut:

1. Apa yang menyebabkan perbedaan dalam masalah ini?

2. bagaimana perspektif hadis terhadap masalah pembacaan basmalah dalam salat?

C. Tinjauan Pustaka

Sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, ada satu buku yang membahas tentang masalah basmalah, yaitu: Buku karya Saiful Anwar al-Batawy

dengan “Rahasia Kedahsyatan Basmalah.”

Selain itu, ada juga beberapa skripsi yang membahas tentang masalah basmalah, diantaranya yaitu: Skripsi yang ditulis mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat, penulis menemukan tiga judul yang membahas tentang basmalah, yaitu:

1. Skripsi yang ditulis oleh Novi Kamelia, program studi Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Ta‟wil Mullâ Shadrâ terhadap


(24)

basmalah dalam Ta’wil Mullâ Shadrâ memiliki makna yang sentral karena di dalamnya dijelaskan tentang ketauhidan, hingga benar adanya bahwa basmalah merupakan induk dari al-Qur’an karena tauhid adalah puncak dari

keimanan.

2. Skripsi yang ditulis oleh Harry Firmansyah, program studi Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Pemikiran Quraish Shihab

tentang Ketiadaan Lafaz Basmalah pada Awal Surat al-Taubah”.Dalam

skripsi ini dijelaskan bahwa surat ini masih bagian dari surat sebelumnya yaitu surat al-Anfâl, oleh karenanya tidak perlu tertulis basmalah pada awal surat ini yang akan menjadi pemisah antara surat ini dan surat sebelumnya. 3. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Gunawan, program studi Tafsir Hadis UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 dengan judul “Pemaknaan

Basmalah pada Surat-surat Juz „Amma dalam Tafsir al-Jîlani”. Skripsi

ini menjelaskan bahwa al-Jîlani memaknai basmalah pada setiap surat sebagai bentuk dakwahnya bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan basmalah.

Dari tinjauan pustaka di atas, maka posisi skripsi ini adalah membahas basmalah dalam perspektif hadis yang disusun dalam skripsi yang berjudul

“Studi Hadis-hadis Pembacan Basmalah dalam Salat (Kajian Hadis

Tematik)”. Skripsi ini akan mencoba meneliti basmalah dalam perspektif hadis


(25)

Dari sebagian kajian pustaka yang telah dipaparkan di atas, belum ada yang membahas penelitian ini khususnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Maka peneliti ingin mengkaji pembahasan ini lebih lanjut.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut dapat diketahui tujuan yang dicapai dalam penulisan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kandungan hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat.

2. Untuk menambah kajian keilmuan hadis.

3. Sebagai Tugas Akhir, guna memperoleh gelar Sarjana (SI) dalam bidang Tafsir Hadis pada Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Untuk menjawab persoalan yang telah diuraikan pada pokok masalah, maka dalam penelitian ini dibutuhkan data-data deskriptif, yakni berupa kata-kata tertulis bukan berupa angka ataupun lapangan. Dengan demikian, penelitian ini tergolong pada penelitian kualitatif14 deskriptif, atau bisa disebut dengan metode dokumentasi. Sementara, jika dilihat dari tempatnya, penelitian ini termasuk kategori penulisan konsep, yaitu jenis penelitian studi kepustakaan (library research), yaitu melalui data yang lebih memerlukan olahan filosofik dan teoritik

14

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penulisan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Lihat Lexy J. Moleong. Metodologi Penulisan Kualitatif. (Bandung: Rosdakarya, 2005), h. 3.


(26)

daripada uji empirik. Dalam hal ini, penulis menggunakan serta memanfaatkan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

Untuk itu dalam penelitian ini, penulis menempatkan diri sebagai instrumen, bertindak sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analis, penafsir data tentang kajian pembacaan basmalah dalam salat dalam perspektif hadis, yang pada akhirnya menjadi pelopor dari hasil penelitian ini.

2. Pendekatan Penelitian

Untuk menjawab persoalan yang termuat dalam pokok masalah, maka dibutuhkan sebuah pendekatan yang relevan sebagai perangkat analisisnya. Dalam hal ini, penulis menggunakan tiga pendekatan, yaitu:

a. Pendekatan kesehatan (fisik, mental [psikologi] dan sosial), digunakan untuk melacak kebenaran tentang implikasi hadis pembacaan basmalah dalam salat.

b. Pendekatan tekstual, dipergunakan sebagai pisau analisis terhadap pemaknaan hadis secara tekstual baik melalui pemaknaan terhadap makna gramatikal ataupun makna leksikalnya.

c. Pendekatan kontekstual, digunakan untuk melihat latar belakang baik eksternal maupun internal, yaitu menyelidiki keadaan khusus yang dialami saat kemunculannya.15 Kaitannya dengan penelitian ini, secara khusus digunakan untuk mengkaji Asbâb al-Wurûd hadis.

15


(27)

3. Sumber Data

Menurut Sugiyono dalam bukunya “Memahami Penulisan Kualitatif”, membagi jenis data menjadi dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.16 Adapun yang termasuk sumber primer dalam penelitian, yaitu kitab-kitab hadis yang termuat dalam al-Kutub al-Sittah17 beserta kitab-kitab syarah-nya.18

Dengan alasan bahwa hadis yang diteliti oleh penulis semuanya terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, karena hadis yang tercantum dalam kitab-kitab tersebut telah diakui otentitasnya oleh para ulama. Dalam penelitiannya, penulis menggunakan kamus hadis “al-Mu‟jam al-Mufahrâs li al-Fâẓ al-Hadîts”,19 karya A.J. Wensinck sebagai alat untuk mengetahui letak dimana redaksi-redaksi hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat termuat dalam kitab-kitab tersebut. Kemudian untuk mengolah data primer dan mempertajam analisis, penulis juga menggunakan data-data sekunder, yaitu berupa buku, kitab, artikel, tulisan ilmiah, dan lain sebagainya yang dapat mendukung penelitian dalam skripsi ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Seperti diketahui bahwa penelitian ini tergolong ke dalam penelitian studi kepustakaan (library research), sehingga data yang dibutuhkan adalah data yang diperoleh dari hasil tela’ah terhadap berbagai literatur, maka instrumen

16

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, atau data yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat otentik karena sudah diperoleh dari sumber kedua dan ketiga. Sugiyono. Memahami penulisan Kualitatif. (Bandung: CV Alfabeta, 2005) h. 62.

17 Yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan Abû Dâwud, Sunan al-Tirmîdzî, Sunan

al-Nasâ‟î, dan Sunan Ibnu Mâjah. Kitab-kitab tersebut disebut dengan al-Kutub al-Sittah.

18

Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan satu kitab syarah dari kitab-kitab tersebut. Yaitu kitab „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abû Dâwud, karya Muhammad Syamsul Haq al-‘azîm.

19

A. j. Wensinck. al-Mu‟jam al-Mufahrâs li al-Fâẓ al-Hadîts. (Leiden: Maktabah Bril, 1936).


(28)

pengumpulan terhadap data-data tersebut adalah dengan menggunakan metode dokumentasi.

Dalam melakukan pengumpulan terhadap data-data yang dibutuhkan, terlebih dahulu mengidentifikasi sumber data yang dapat dijadikan sebagai objek tela’ah dalam penelitian, kemudian dilanjutkan dengan upaya pengumpulan data-data dari berbagai sumber yang telah ditentukan baik sumber primer maupun sumber sekunder dengan cara menghimpun hadis-hadis yang sesuai dengan tema sentral yang sedang diteliti melalui kamus hadis al-Mu‟jam al-Mufahras. Selain penelusuran terhadap kamus tersebut, digunakan juga program Maktabah al-Syâmilah.

5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan atas data-data tersebut. Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif20 analitik.21 Metode deskriptif penulis gunakan untuk memaparkan data dan memberikan penjelasan secara mendalam mengenai sebuah data dan juga untuk menyelidiki dengan menuturkan, menganalisa data-data kemudian menjelaskannya.22 Dalam hal ini penulis mengambil penjelasan dari para ulama melalui kitab-kitab syarah, serta mengungkapkan beberapa pandangan fuqaha dan juga pendapat mufasir. Sedangkan metode analitik yang

20

Metode deskriptif adalah menguraikan secara teratur seluruh konsep yang akan dikaji. Lihat Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. Metode Penulisan Filsafat. (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.65.

21

Metode analitik adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan secara konseptual atas data-data yang ada, kemudian diklasifikasikan sesuai permasalahan, dengan maksud untuk memperoleh kejelasan atas data yang sebenarnya. Lois O Katsoff. Pengantar Filsafat. Penerjemah Suyono Sumargono. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992) h. 18.


(29)

dimaksud adalah menjelaskan hadis-hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat.

Selain itu, penulis juga menggunakan metode deduktif (deduksi)23 dan induksi. Metode deduktif digunakan untuk menguraikan data dari suatu pendapat yang bersifat umum kemudian diuraikan menjadi hal-hal yang bersifat khusus. Sedangkan metode induksi merupakan alur pembahasan yang berangkat dari realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa konkrit, kemudian ditarik secara general sehingga bersifat umum.

Setelah mengelola data-data tersebut, maka diharapkan penelitian ini dapat terlaksana secara rasional, sistematis dan terarah. Sementara, terkait dengan teknik penulisan, skripsi ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012-2013.24

F. Sistematika Penulisan

Mengacu pada penelitian di atas, maka pembahasan dalam penelitian ini akan disistematisasikan sebagai berikut:

Pembahasan diawali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi seputar signifikasi studi ini, bagian ini merupakan bab pertama yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

23

Deduktif atau deduksi merupakan alur pembahasan yang berangkat dari realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat khusus. Sutrisno Hadi. Metode Research 1. (Yogyakarta: Andi Offset, 1987), h. 42.

24

Tim AAK UIN Jakarta. Pedoman Akademik: Program Strata 1 2012-2013. (Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012).


(30)

Selanjutnya, bab kedua diisi dengan pembahasan mengenai tinjauan umum tentang basmalah yaitu meliputi makna basmalah, keutamaan basmalah, penafsiran ulama tafsir terhadap basmalah.

Pada bab ketiga penulis akan menguraikan hadis-hadis tentang pembacaan basmalah dalam salat, pada bab ini diisi dengan teks dan terjemahan, asbâb al-wurûd hadis, syarah dan komentar ulama hadis, pandangan fuqaha terhadap basmalah dan pendapat mufasir tentang maslah pembacaan basmalah dalam salat. Akhirnya studi skripsi ini akan ditutup dengan kesimpulan dan saran-saran yang mengisi bab keempat.


(31)

15

Kata basmalah

(

ةلمسبلا (

adalah maṣdar dari kata basmala

(

لمسب

)

yang artinya mengucapkan bismillâh atau membaca basmalah.1 Dalam penggunaan kebahasaan terdengar pemakaian kata basmalah tersebut seperti basmala ar-rajulu

(

لج لا لمسب

)

artinya orang itu mengucapkan atau menulis

ِنَمْحه لا ِ هَ ِمْسِب

ِميِحه لا

. Selain disebut basmalah juga disebut tasmiyah

(

ةيمست

)

.

Kalimat itu disebut tasmiyah karena orang yang mengucapkannya menyebut nama Allâh dengan sifat-sifat-Nya yang mulia.2

Imam al-Qurthubi berkata: basmalah adalah sumpah Tuhan kita yang Dia turunkan di awal setiap surat. Dia bersumpah kepada hamba-hamba-Nya: ‘Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya lafazh yang Aku letakan untuk kalian di surat ini adalah suatu kebenaran, dan Aku akan memenuhi semua yang Aku jamin dalam surat ini, yaitu janji, kelembutan-Ku dan kebaikan-Ku. Selanjutnya beliau menambahkan, bahwa basmalah adalah sesuatu yang Allâh turunkan di dalam

1

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) cet. Ke-2, h. 85; lihat juga di Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1996) h. 327; dan lihat juga di Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2010) h. 65

2 H. Ahmad Annuri, Panduan Tahsin Tilawah Al-Qur‟an & Ilmu Tajwid

(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010) cet. Ke-1, h. 36


(32)

kitab kita, dan diberikan kepada umat ini, khususnya setelah diberikan kepada Sulaiman.3

Di dalam kalimat basmalah terdapat beberapa kata kunci, yaitu:

1. Allâh merupakan lambang untuk Rabb, yakni nama untuk Rabb Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.4

2. Ar-Rahmân yaitu nama atau sifat dari Allâh yang diambil dari kata ar-Rahmah, yang berarti Maha Pengasih. Yang mempunyai kasih sayang yang mencakup dan meliputi untuk semua makhluk yang ada di dunia ini.5

3. Ar-Rahîm yaitu nama Allâh yang diambil dari kata ar-Rahmah yang berarti Maha Penyayang, hanyalah diperuntukkan kepada orang-orang yang beriman di akhirat kelak. Artinya bahwa Allâh mempunyai sifat kasih sayang bagi orang-orang yang beriman kelak di hari kiamat.

Basmalah merupakan pembuka kitab Ilâhi. Basmalah bukan hanya terdapat dalam permulaan al-Qur’an, namun dalam seluruh kitab samawi.6 Basmalah adalah kunci pembuka perbuatan dan pekerjaan seluruh nabi. Ketika perahu Nabi Nuh as. berhadapan dengan gelombang angin topan, beliau berkata kepada para pengikutnya, sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an:



















3

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Ansari Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi, Al-Jâmi‟ li Ahkâmil Qur‟ân (Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyah, tth) jilid 1, h. 237

4Isma’il bin ‘Amr al

-Qurasyi bin Kasir al-Basri ad-Dimasyqi ‘Imâduddîn Abul Fidâ’ al-Hâfiz al-Muhaddis asy-Syafi’i (Ibn Katsîr), Tafsîrul Qur‟ânil „Azîm (Kairo: Matba’ah al -Istiqâmah, 1958) jilid 1, h. 57

5

H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas; tafsir lengkap dan menyentuh ayat-ayat seputar Islam, Iman dan Ihsan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012) cet. Ke-1, h. 38

6


(33)

“Dan Nuh berkata: "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allâh di waktu berlayar dan berlabuhnya." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Huud[11] : 41).

Ali bin Abi Thalib berkata, “Basmalah adalah penyebab datangnya

keberkahan dan meninggalkannya menyebabkan kekacauan dalam segala urusan.” Ali juga berkata, “Sesungguhnya seorang hamba jika ingin membaca atau mengerjakan suatu pekerjaan, lalu ia membaca lafadz Bismillâhirrahmânirrahîm,

maka ia akan diberkati dalam perbuatan tersebut.”

Basmalah merupakan ikrar dari seorang hamba dalam penyerahan dirinya bulat-bulat kepada Allâh SWT. dalam segala aktivitasnya. Seorang ulama berpendapat bahwa basmalah itu adalah wujud dari keingin-dekatannya seorang hamba dengan Penciptanya dengan pengharapan apa yang dikerjakannya ini akan selalu dilindungi oleh Allâh, sehingga dia tidak hanya menterjemahkan basmalah

secara harfiah: “Dengan menyebut nama Allâh...” tetapi diartikannya sebagai:

“Aku bersamaMu ya Allâh... dalam melakukan segala aktivitas kehidupanku

ini...”.

Adapun makna basmalah pada setiap pembukaan surat al-Qur’an menjadi syiar kaum muslimin dalam mengekspresikan daya kekuatan untuk melakukan

semua kegiatan. Contoh, “Saya memulai suatu pekerjaan dengan menyebut nama

Allâh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, (Bismillâhirrahmânirrahîm).” Suatu pekerjaan yang dimulai dengan nama Allâh, memiliki arti bahwa semata-mata karena perintah Allâh dan hanya untuk Allâh.7

7

Ahmad Musṯafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Musṯafa al-Bâbî al-Halabî, 1974) jilid 1, h. 13


(34)

Dengan mengucapkan basmalah pada setiap pekerjaan menunjukkan sikap untuk mengingatkan akan kebesaran Allâh, dan menyadari keagungan akan Allâh di permulaan suatu pekerjaan yang akan mempunyai pengaruh.

Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abduh sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shidiqi yaitu, “Sesungguhnya pengucapan basmalah adalah manifestasi pembaca dalam usaha melepaskan diri dari perbuatan buruk yang dilakukan oleh dirinya pula sebagai pernyataan bahwasanya perbuatan itu dialamatkan kepada Allâh dan atas perintah-Nya dengan takdir-Nya”.8

Quraish Shihab menambahkan makna basmalah yaitu, bahwa Allâh memulai al-Qur’an dengan basmalah dan memerintahkan Nabi-Nya sejak dini pada wahyu pertama agar melakukan pembacaan dan semua aktivitas dengan nama Allâh, iqra‟ bismi Rabbika, maka tidak keliru jika basmalah merupakan pesan pertama Allâh kepada manusia agar memulai setiap aktivitasnya dengan nama Allâh.9

Begitu juga dengan pendapat Sayyid Qutub dalam tafsirnya bahwa memulai dengan nama Allâh adalah adab dan bimbingan pertama yang diwahyukan Allâh kepada Nabi-Nya, Iqra‟ bismi Rabbika. Permulaan itu sesuai dengan kaidah utama ajaran Islam yang menyatakan bahwa Allâh adalah al-Awwâl wa al-Âkhîr wa az-Zâhir wa al-Bâtin. Dia Yang Maha Suci itu yang merupakan wujud yang haq, yang dari-Nya semua wujud memperoleh wujudnya, dan dari-Nya bermula semua yang memiliki permulaan. Karena itu dengan

8

Hasbi ash-Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur‟an (Jakarta: Bulan Bintang, 1994) h. 25


(35)

Nya segala sesuatu harus dimulai dengan nama-Nya terlaksana setiap gerak dan arah.10

Allamah Kamal Faqih Imani dalam tafsirnya menambahkan bahwa membaca basmalah setiap memulai suatu pekerjaan semestinya tidak hanya dilakukan dengan lisan belaka, tapi mesti dilakukan dengan benar dan bermakna agar berhasil dan diberkati.11

Karena itu, ketika hendak memulai setiap pekerjaan, kita dianjurkan untuk membaca basmalah: saat makan, minum, tidur, mengendarai kendaraan, dan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Bahkan, binatang yang disembelih tidak dengan nama Allâh , dagingnya menjadi haram untuk dimakan. Dalam hadis disebutkan ,

“Hendaklah anda tidak tidak melupakan basmalah meskipun hanya sekadar

menulis satu bait puisi.”12

B. Keutamaan Basmalah

Setelah membicarakan segala sesuatu tentang basmalah, maka mengertilah kita bagaimana pentingnya menyebut Bismillâhirrahmânirrahîm pada permulaan tiap-tiap pekerjaan yang kita kerjakan. Karena di dalam kalimat basmalah itu terdapat tiga nama yang terbesar dari nama-nama Allâh yang banyak dan termasuk dalam Asmaul Husna yaitu Allâh, ar-Rahmân , ar-Rahîm. Sebab itu

10

Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân (Kairo: Dâr al-Ihya al-Tijari al-‘Arabiyah, 1386) jilid 1, h. 30

11

Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an; sebuah tafsir Sederhana menuju Cahaya al-Qur‟an (Jakarta: al-Huda, 2003) vol 1, h. 25


(36)

maka kalimat basmalah ini dinamakan oleh Rasulullah SAW. sendiri dengan nama Asmaul-A‟zam, yaitu nama teragung dari Allâh SWT.13

Selain itu, basmalah juga mempunyai keutamaan-keutamaan yang berlandaskan beberapa hadis. Keutamaan-keutamaan tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Pembukaan al-Qur’an.14

Basmalah adalah kalimat yang sangat indah yang berada di awawal

al-Qur’anul Karim dibuka.

2. Penghalang antara pandangan jin dan aurat manusia.15

ُاََ ثَدَحَُناَمملَسُِنمبُِِْشَبُُنمبُُمَكَمْاُاََ ثَدَحٍُدميَُُُْنمبُُدَمَُُُاََ ثَدَح

ُِمَكَمْاُ منَعُ ُراَفَصلاٌُد َََخ

َُلَسَوُِميَلَعَُُللاُىَلَصَُِللاُ ُلوُسَرُ َلاَقُ َلاَقُ يِلَعُمنَعَُةَفم يَحُجُ ِبَأُمنَعَُقَحمسِإُ ِبَأُمنَعُِيِرَصَلا

َُم

ُِبُ َلوُقَ يُمنَأَُفيَِكملاَُلَخَدُاَذِإَُمَدآُ ِنَبُِتاَرموَعَوُِنِمْاَُميَ بُاَمُُرم تِس

َُِللاُِممس

16

“… Dari Ali ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Penghalang antara jin dan aurat

anak Adam adalah mengucapkan bismillâh ketika ingin masuk ke kamar mandi.” (HR. Ibnu Mâjah)

3. Rasulullah SAW. mengawali surat yang beliau kirim ke raja-raja, untuk mengajak mereka masuk Islam, dengan lafadz basmalah.Seperti surat yang beliau kirim ke raja Heraklius.

4. Basmalah merupakan isi surat yang dikirim oleh Nabi Sulaiman AS. kepada

Ratu Saba’ yang ketika itu masih menyembah matahari. Allah SWT. berfirman, menceritakan kisah mereka :

13Saiful Anwar Al-Batawy, Rahasia Kedahsyatan Basmalah (Jakarta: Kunci Iman, 2012) cet. Ke-1, h. 17

14 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 25 15 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 30


(37)























































“Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, Sesungguhnya telah dijatuhkan

kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi) nya: "Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". (QS. An-Naml [27]: 29-31)

5. Bacaan basmalah menjadi pemula untuk berbagai bentuk ibadah, seperti wudhu, mandi dan tayamum menurut pendapat sebagian ulama. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda:

اََ ثَدَح

ُُةَبميَ تُ ق

ُُنمب

ٍُديِعَس

اََ ثَدَح

َُُُ

ُُدَم

ُُنمب

ىَسوُم

ُمنَع

َُبوُقمعَ ي

ُِنمب

َُةَمَلَس

ُمنَع

ُِيِبَأ

ُمنَع

ُِبَأ

َُةَرم يَرُ

َُلاَق

َُلاَق

ُُلوُسَر

َُِللا

ىَلَص

َُُللا

ُِميَلَع

َُمَلَسَو

ََُ

َُة َََص

ُمنَمِل

ََُ

َُءوُضُو

َُُل

َََُو

َُءوُضُو

ُمنَمِل

ُمَل

ُمرُكمذَي

َُممسا

َُِللا

َُلاَعَ ت

ُِميَلَع

17

“…Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Nabi SAW. bersabda: Tidak sah salat orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah (membaca basmalah).” (HR. Abû Dâwud)

Hadis ini berbicara tentang wudhu, namun ulama mengqiyaskannya untuk mandi dan tayamum, karena semuanya adalah kegiatan bersuci.

6. Basmalah sebagai perlindungan dari setan ketika makan.

Orang yang makan atau minum dengan didahului membaca basmalah sebelumnya maka setan tidak mampu untuk turut memakannya. Rasulullah SAW. bersabda:

17

Abû Dâwud Sulaymân bin al-Asy‘ats al-Sijistânî, Sunan Abû Dâwud , (Bayrūt: Dâr al -Fikr, tt), jilid 1,hadis no. 99, h. 114


(38)

اََ ثَدَح

ُُلَمَؤُم

ُُنمب

ٍُماَشِ

ََُ ثَدَح

ا

ُُليِعَمِْإ

ُمنَع

ٍُماَشِ

ُِنمعَ ي

َُنمبا

ُِبَأ

ُِدمبَع

َُِللا

َُيِئاَوُ تمسَدلا

ُمنَع

ٍُلميَدُب

ُمنَع

ُِدمبَع

َُِللا

ُِنمب

ٍُدميَ بُع

ُمنَع

ٍُةَأَرمما

ُممُهم ِم

ُُلاَقُ ي

اََُ

ُيمُأ

ٍُموُثملُك

ُمنَع

َُةَشِئاَع

َُيِضَر

َُُللا

اَهم َع

َُنَأ

َُلوُسَر

َُِللا

ىَلَص

َُُللا

ُِميَلَع

َُمَلَسَو

َُلاَق

اَذِإ

َُلَكَأ

ُممُكُدَحَأ

ُمرُكمذَيملَ ف

َُممسا

َُِللا

َُلاَعَ ت

ُمنِإَف

َُيِسَن

ُمنَأ

َُرُكمذَي

َُممسا

َُِللا

َُلاَعَ ت

ُِف

ُِِلَوَأ

ُملُقَ يملَ ف

ُِممسِب

َُِللا

َُُلَوَأ

َُُرِخآَو

18

… Dari ‘Aisyah ra. ia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda:

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah SWT., jika ia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaklah ia

mengucapkan: “Bismillâhi awwalahu waa âkhirahu (dengan nama Allah pada awal

dan akhirnya)”.(HR. Abû Dâwud)

Dari Huzaifah Nabi SAW. bersabda:

َُنِإ

َُناَطميَشلا

ُيلِحَتمسَيَل

َُماَعَطلا

يِذَلا

ُمَل

ُمرَكمذُي

ُُممسا

َُِللا

ُِميَلَع

19

“Sesungguhnya setan dibolehkan makan makanan yang tidak dibacakan nama

Allah ketika hendak dimakan.” (HR. Abuû Dâwud)

7. Penjagaan dari gangguan setan ketika berhubungan badan.

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi SAW. bersabda:

اََ ثَدَح

ُُةَبميَ تُ ق

ُُنمب

ٍُديِعَس

اََ ثَدَح

ٌُريِرَج

ُمنَع

ٍُروُصمَم

ُمنَع

ٍُِلاَس

ُمنَع

ٍُبميَرُك

ُمنَع

ُِنمبا

ٍُساَبَع

َُيِضَر

َُُللا

اَمُهم َع

َُلاَق

َُلاَق

ُُلوُسَر

َُِللا

ىَلَص

َُُللا

ُِميَلَع

َُمَلَسَو

ُموَل

َُنَأ

ُممُكَدَحَأ

اَذِإ

َُداَرَأ

ُمنَأ

َُِتمأَي

َُُلمَأ

َُلاَقَ ف

ُِممساِب

َُِللا

َُللا

َُمُه

اَم بَِج

َُناَطميَشلا

ُمبَِجَو

َُناَطميَشلا

اَم

اََ تم قَزَر

َُُنِإَف

ُمنِإ

ُمرَدَقُ ي

اَمُهَ م يَ ب

ٌُدَلَو

ُِف

َُكِلَذ

ُمَل

ُُيرُضَي

ٌُناَطميَش

اًدَبَأ

20

“…Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah SAW. bersabda: Sekiranya salah seorang di antara kalian ingin mendatangi isterinya, maka panjatkanlah doa: “Dengan nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan yang

engkau anugerahkan kepada kami”, jika ditakdirkan memperoleh anak dari keduanya, maka setan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” (HR. Al-Bukhârî)

18 Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 10, hadis no. 3275, h. 219 19 Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, jilid 10, hadis no. 3274, h. 218 20

Muḥammad bin ‘Ismā‘īl Abū ‘Abdillāh al-Bukhārī al-Ju‘fī, Sahîh al-Bukhârî, (Bayrūt:


(39)

8. Penghalang setan untuk membuka tempat barang berharga.

Beberapa harta berharga yang kita simpan di malam hari, juga akan menjadi incaran setan. Dia berusaha mengganggu kita dengan mengotori makanan atau mengambil barang berharga itu. Untuk mengatasi hal ini, Rasulullah SAW. mengajarkan umatnya agar ketika menutup semua makanan dengan membaca basmalah.

اََ ثَدَح

ُُةَبميَ تُ ق

ُُنمب

ٍُديِعَس

اََ ثَدَح

ٌُثميَل

ح

و

اََ ثَدَح

ُُدَمَُُ

ُُنمب

ٍُحممُر

اَنَرَ بمخَأ

ُُثميَللا

ُمنَع

ُِبَأ

ُِمَْ بيزلا

ُمنَع

ُمنَعٍرِباَج

ُِلوُسَر

َُِللا

ىَلَص

لا

َُُل

ُِميَلَع

َُمَلَسَو

َُُنَأ

َُلاَق

اويطَغ

َُءاَنِمْا

اوُكموَأَو

َُءاَقِسلا

اوُقِلمغَأَو

َُباَبملا

اوُئِفمطَأَو

َُجاَرِسلا

َُنِإَف

َُناَطميَشلا

ََُ

ُيلََُ

ًُءاَقِس

َََُو

ُُحَتمفَ ي

اًباَب

َََُو

ُُفِشمكَي

ًُءاَنِإ

ُمنِإَف

ُمَل

ُمدََِ

ُممُكُدَحَأ

ََُِإ

ُمنَأ

َُ ي

َُضُرمع

ىَلَع

ُِِئاَنِإ

اًدوُع

َُرُكمذَيَو

َُممسا

َُِللا

ُملَعمفَ يملَ ف

21

“… Dari Jabir ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda: Tutuplah bejana, ikatlah geribah (tempat menyimpan air yang terbuat dari kulit), tutuplah pintu, matikanlah lentera (lampu api), karena sesungguhnya setan tidak mampu membuka geribah yang terikat, tidak dapat membuka pintu, dan tidak juga dapat menyingkap bejana yang tertutup. Bila engkau tidak mendapatkan tutup kecuali hanya dengan melintangkan di atas bejananya sebatang ranting, dan menyebut nama Allah, hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim)

9. Menghalangi setan menginap di dalam rumah

Bacaan basmalah diucapkan ketika masuk rumah, bisa menjadi penghalang bagi setan untuk ikut memasukinya atau menginap di dalamnya.

اََ ثَدَح

ُُدَمَُُ

ُُنمب

ََُّ ثُمملا

ُييِزََعملا

اََ ثَدَح

ُُكاَحَضلا

ُِنمعَ ي

َُأاَب

ٍُمِصاَع

ُمنَع

ُِنمبا

ٍُجميَرُج

َُِّرَ بمخَأ

وُبَأ

ُِمَْ بيزلا

ُمنَع

ُِرِباَج

ُِنمب

ُِدمبَع

َُِللا

َُُنَأ

َُعَِْ

ََُِّلا

ىَلَص

َُُللا

ُِميَلَع

َُمَلَسَو

ُُلوُقَ ي

اَذِإ

َُلَخَد

ُُلُجَرلا

َُُتميَ ب

َُرَكَذَف

ََُللا

َُدمِع

ُِِلوُخُد

َُدمِعَو

ُِِماَعَط

َُلاَق

لا

ُُناَطميَش

ََُ

َُتيِبَم

ُممُكَل

َََُو

َُءاَشَع

اَذِإَو

َُلَخَد

ُممَلَ ف

ُمرُكمذَي

21

Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabur, Sahîh Muslim, (Bayrût: Dâr al-Fikr, tth ( hadis no. 3755, jilid 10, h. 285


(40)

ََُللا

َُدمِع

ُِِلوُخُد

َُلاَق

ُُناَطميَشلا

ُممُتمكَرمدَأ

َُتيِبَمملا

اَذِإَو

ُمَل

ُمرُكمذَي

ََُللا

َُدمِع

ُِِماَعَط

َُلاَق

ُممُتمكَرمدَأ

َُتيِبَمملا

َُءاَشَعملاَو

22

“… Dari Jabir bin Abdillah, sesungguhnya aku telah mendengar Nabi SAW. bersabda: Jika seseorang masuk rumahnya dan dia mengingat nama Allah ketika

masuk dan ketika makan, maka setan akan berteriak: ‘Tidak ada tempat menginap

bagi kalian dan tidak ada makan malam.’ Namun jika dia tidak mengingat Allah ketika masuk maka setan mengatakan, ‘Kalian mendapatkan tempat menginap’ dan jika dia tidak mengingat nama Allah ketika makan maka setan mengundang temannya, ‘Kalian mendapat jatah menginap dan makan malam’.” (HR. Muslim)

10.Menjadi syarathalalnyahewansembelihan23

Di antara keberkahan basmalah, orang yang menyembelih binatang dengan membaca basmalah, hewan sembelihannya bisa menjadi halal. Sebaliknya, orang yang menyembelih binatang tanpa mengucapkan basmalah, baik disengaja maupun lupa, sembelihannya batal, dan hewan itu tidak boleh dimakan.

Allah SWT. berfirman:













































“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik..” (QS. Al-An’âm[6]: 121)

22 Imam Muslim, Sahîh Muslim, jilid 10, hadis no. 3762, h. 293 23 H. Darwis Abu Ubaidah, Tafsir Al-Asas, hal. 26


(41)

C. Penafsiran Ulama Tafsir terhadap Basmalah

Bismillâhirrahmânirrahîm adalah kalimat yang pertama-tama tertulis nama Allâh yang teragung lalu kemudian diikuti oleh Rahmân dan diakhiri Rahîm adalah bahwa yang pemula dari segalanya adalah sang pencipta (khâliq), lalu muncul kekuatan dan sifat-sifatnya yang memanifestasikan makna karunia dan ampunan.24

Kalimat basmalah terdiri atas 19 huruf dalam lima komponen. Satu bearasal dari kata bantu (huruf) yaitu huruf al-jâr

( )

yang terletak di permulaan basmalah, dan empat lainnya berasal dari kata benda yaitu:

مسا

,

َ

,

نمح لا

, dan

ميح لا

.25

1. Penafsiran Huruf al-Jâr (

ب

)

Ba‟ atau yang dibaca bi yang diterjemahkan dengan kata “dengan” mengandung satu kata/kalimat yang tidak terucapkan tetapi harus terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata “memulai”. Sehingga

bismillâh berarti “Saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini – dalam konteks surat ini adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an – dengan nama Allâh”.

Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi semacam do’a atau pernyataan dari

pengucap bahwa ia memulai pekerjaannya atas nama Allâh. Atau dapat juga diartikan sebagai perintah dari Allâh (walaupun kalimat tersebut tidak berbentuk

perintah) yang menyatakan, “Mulailah pekerjaanmu dengan nama Allâh”. Kedua

24

Mansur bin Mashadi, khasiat dan Mu‟jizat surat al-Fâtihah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), cet. Ke-3, h. 58

25

H. Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fâtihah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. Ke-1, h. 16


(42)

pendapat yang menyisipkan dalam benak kata “memulai” pada basmalah ini memiliki semangat yang sama, yakni menjadikan (nama) Allâh sebagai pangkalan tempat bertolak.26

Ada juga yang mengaitkan kata bi/dengan, dengan memunculkan dalam

benaknya “kekuasaan”. Pengucap basmalah, seakan-akan berkata, “Dengan

kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya, pekerjaan yang sedang saya lakukan ini

dapat terlaksana”. Pengucapnya ketika itu (seharusnya) sadar bahwa tanpa

kekuasaan Allâh dan pertolongan-Nya, apa yang sedang dikerjakannya itu tidak akan berhasil. Dengan demikian ia menyadari kelemahan dan keterbatasan dirinya, tetapi dalam saat yang sama pula (setelah menghayati arti basmalah ini) ia memiliki kekuatan dan rasa percaya diri, karena ketika itu dia telah menyandarkan dirinya kepada Allâh dan memohon bantuan Yang Maha Kuasa itu.27

Imam asy-Syaukani berkata, bahwa huruf (Ba‟) yang bergantung kepada ba‟ dalam lafazh bismillâh adalah sesuatu yang mahdzuf (dibuang atau tidak ditampakkan), yaitu: Aqra‟ atau atlu (aku membaca), karena inilah yang sesuai dengan konteks basmalah sebagai permulaannya. Maka, orang yang memperkirakan bahwa yang mahdzuf itu didahulukan –sebelum lafazh bismillâh, maka maksudnya adalah untuk menunjukkan didahulukannya yang mahdzuf itu daripada perhatian terhadap perihal perbuatan, sedangkan orang yang memperkirakan bahwa mahdzuf itu dikemudiankan, maka maksudnya adalah untuk menunjukkan dikemudiankannya yang mahdzuf itu secara khusus, dengan

26 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 12 27 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 12


(43)

tetap mencapai apa yang dikandungnya, yaitu mengutamakan nama, dan mengisyaratkan bahwa mengawali aktifitas dengannya adalah lebih penting, karena tabarruk (mencari berkah) bisa dicapai dengannya. Dengan demikian tampaklah keunggulan pendapat yang memperkirakan dikemudiankan fi‟lmahdzuf pada posisi ini, dan yang demikian ini tidak kontradiktif dengan firman Allâh

Ta’ala:

قلخ ي لا كب مس ب أ قا

(Bacalah dengan [menyebut] nama Rabbmu Yang menciptakan). (QS. Al-‘Alaq [96]: 1), karena posisi itu adalah posisi membaca, maka perintah pelaksanaannya lebih penting.28

2. Penafsiran Lafal

مسا

Basmalah diawali dengan

مسب

(bismi) ungkapan ini terdiri dari dua kosa kata, yaitu kata benda

مساا

„nama‟ yang didahului partikel (huruf ba‟) kata benda

مساا

adalah lafal yang menunjukkan zat atau makna. Ulama bahasa berbeda pendapat tentang asal kata

مسا

dalam dua pendapat golongan Basrah, memandang bahwa kata itu berasal dari kata

مسلا

(as-sumuw) yang bermakna kemuliaan dan ketinggian

ةعق لا لعلا

oleh karena itu ada yang berpendapat bahwa nama seseorang mengangkat derajatnya sehingga ia dapat mengatasi orang lain. Sedangkan golongan Kufah berpendapat bahwa kata

مساا

berasal dari kata

همسلا

yang bermakna

ةماعلا

‘tanda’. dikatakan demikian karena nama sesuatu menjadi tanda yang dimuat atau diberikan untuknya.29

28Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsîr Fat Qadîr (Mesir: Dâr al-Hadîts, 1413 H/1993 M) juz 1, h. 67

29 Abd. Muin Salim, jalan Lurus menuju Hati Sejahtera; Tafsir surat al-Fâtihah (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), cet. Ke-1, h. 19


(44)

Lafal

سب"

(dengan menyebut nama), Imam ath-Thabari berkata:

“Sesungguhnya Allâh telah mengajarkan kepada Nabi-Nya SAW. agar mendahulukan nama-Nya yang mulia atas sekalian perbuatan-Nya, dan menjadikan apa yang telah diajarkan kepada Nabi-Nya tersebut sebagai sunnah yang patut diikuti oleh semua makhluk-Nya dalam memulai setiap pembicaraan, penulisan surat, buku dan aktifitas mereka; sehingga makna yang zhahir dari indikasi

َ مسب

mencukupi makna yang tersembunyi dari maksud pengucapnya. Hal itu karena huruf ba‟ pada kata

َ مسب

menghendaki adanya suatu pekerjaan, dan tidak ada pekerjaan yang tampak padanya, sehingga sekedar mendengar kata

َ مسب

diucapkan, maka orang yang mendengarnya telah memahami maksud

pengucapnya. Hal ini seperti orang yang ditanya, “Apakah yang kau makan hari ini?” Ia menjawab, “Makanan.” Tanpa harus menjawab, “Aku makan makanan.”30

Dengan demikian jika ada seseorang yang mengucapkan lafazh

َ مسب

ميح لا نمح لا

kemudian ia memulai sebuah surat, maka artinya secara logis: “Aku membaca dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang.” Demikian juga jika ada orang yang mengucapkan lafazh

َ مسب

ketika hendak berdiri atau duduk atau apa saja, maka maksudnya, “Aku hendak berdiri dengan menyebut nama Allâh, aku hendak duduk dengan menyebut nama Allâh.31

30

Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far Ath-Thabari, Jâmi‟ul

Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, (Bayrut: Dâr al-Kutbi al-Ilmiyah, 1426 H/2005 M) jilid 1, h. 201

31


(45)

Penulisan kata Bismi dalam basmalah tidak menggunakan huruf alif berbeda dengan kata yang sama pada awal surat al-„Alaq atau Iqra‟, yang tertulis dengan tata cara penulisan baku yakni menggunakan huruf alif persoalan ini menjadi bahasan para pakar dan ulama. Al-Qurtubi (w. 671 H) berpendapat sebagaimana dikutip oleh M. quraish Shihab, bahwa penulisan tanpa huruf alif pada basmalah adalah karena pertimbangan praktis semata-mata. Kalimat ini sering ditulis dan diucapkan, sehingga untuk mempersingkat tulisan ia ditulis tanpa alif.32

Az-Zarkasyi menambahkan dalam kitab al-Burhân, bahwa tata cara penulisan al-Qur’an mengandung rahasia-rahasia tertentu. Dalam hal menanggalkan huruf alif pada tulisan satu kata dalam al-Qur’an mengisyaratkan bahwa ada sesuatu dalam rangkaian katanya yang tidak terjangkau oleh panca indera. Rasyad Khalifah (w. 1990 M) menambahkan bahwa ditanggalkannya huruf alif pada basmalah, adalah agar jumlah huruf-huruf ayat ini menjadi sembilan belas huruf, tidak dua puluh. Karena angka 19 mempunyai rahasia yang berkaitan dengan al-Qur’an. Demikian yang dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah. 33

Menurut penafsiran M. Quraish Shihab bahwa Ba‟ atau bi pada basmalah tanpa huruf alif, yang diterjemahkan dengan kata dengan mengandung satu kata atau kalimat yang tidak terucap tetapi terlintas di dalam benak ketika mengucapkan basmalah, yaitu kata „memulai‟, sehingga bismillâh berarti “Saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini, yaitu membaca al-Qur‟an”.

32M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 15 33 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 16


(46)

Dengan demikian kalimat tersebut menjadi semacam doa atau pernyataan dari pengucap, bahwa ia memulai pekerjaan atas nama Allâh.

Berbeda dengan pendapat Ibn ‘Arabi, bahwa ketika ia menanyakannya

kepada Nabi Muhammad melalui mimpi, tentang keberadaan alif setelah ba‟, Nabi Muhammad menjawab, bahwa huruf alif-nya dicuri setan.34

3. Penafsiran Lafal

ه

Kata Allâh merupakan nama Tuhan yang paling popular. Apabila anda

berkata, “Allâh” maka apa yang anda ucapkan itu, telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain. Tetapi jika hanya mengucapkan nama atau sifat-Nya saja, maka hanya menggambarkan sifat atau nama-Nya saja. Di sisi lain, tidak satupun dapat dinamai Allâh, baik secara hakikat maupun majaz, sedang sifat dan nama-Nya secara umum dapat disandangkan oleh makhluk-makhluk-nama-Nya.

Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata Allâh tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tetapi ia adalah nama yang menunjuk kepada Dzat yang wajib wujudnya. Kata Allâh asalnya adalah

(

هلإ

)

ilah, yang dibubuhi huruf alif dan lam, dan dengan demikian Allâh merupakan nama khusus karena tidak dikenal bentuk jamaknya, sedang ilah adalah nama yang bersifat umum dan dapat berbentuk jamak atau plural

(

ةهلأ

)

alihah. Alif dan lam yang dibubuhkan pada kata ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ilah yang darinya terbentuk kata Allâh berakar dari kata

(

ةهلإا

)

al-ilahah,

(

ةه لأا

)

al-uluhah, dan

(

ةيه لأا

)

al-uluhiyah yang kesemuanya menurut mereka

34Ibn ‘Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim,


(47)

bermakna ibadah dan penyembahan, sehingga Allâh secara harfiah bermakna Yang disembah.35

Rasyid Ridha menambahkan bahwa

َ

adalah lafal yang disebut al-Jalalah, karena menunjukkan nama Zat yang mulia dan dimuliakan dan yang berhak disembah manusia. Ibnu Malik berpendapat bahwa lafal Allâh adalah nama yang mulia yang khusus ditujukan kepada Allâh.36

Sedangkan menurut Ibn ‘Arabi, Allâh adalah sebuah nama yang memiliki sifat-sifat, yang termanifestasikan dari Zat Uluhiyyah yang mutlak, yang tidak memiliki sifat dan tidak dapat diketahui dengan akal dan indera.37

Lafal

َ

, Imam ath-Thabari berkata: “kata

َ

menurut makna yang

diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas adalah: “Yang di Tuhan-kan oleh segala

sesuatu dan disembah oleh seluruh makhluk.” Jika ada yang mengatakan , “Apakah secara bahasa kata

َ

mempunyai akar kata?” jawabannya: Secara pendengaran tidak ada, namun secara indikasi ada. Jika ia berkata lagi, “apakah

dalil yang menunjukkan bahwa Tuhan berarti Yang berhak disembah, dan

memiliki akar kata secara bahasa?” Jawabannya: Tidak ada larangan dan

perselisihan pendapat di antara orang Arab dalam hal ini. Sebagaimana ucapan

Ru’bah bin al-Ajjaj38 dalam syairnya:

ىُأتُنمُنعجرساوُنحبسُ#ُ دماُتايناغلاُردُه

“Alangkah baiknya wanita cantik yang tidak berdandan, mereka bertasbih dan beristirja‟kepada Tuhan.”

35 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, h. 18

36 M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 1, h. 19 37Ibn ‘Arabi, Tafsir Qur‟anul Karim,

h. 7 38Yaitu Ru’bah bi

n Abdullah al-Ajjaj bin ru’bah at-Tamimi Abu Jahaf, penyair tersohor beraliran rajaz, hidup dalam dua masa pemerintahan; Umawiyah dan abbasiyah.


(48)

Dan tidak diragukan bahwa kata

هلأتلا

memiliki akar kata

هلأي

هلأ

, dan makna

هلأ

jika diucapkan berarti menyembah Allâh. Ia memiliki kata sifat yang menunjukkan bahwa orang Arab menggunakannya dengan bentuk kata

لعفي

لعف

tanpa tambahan.39

Jadi, lafazh Allâh

َ

berasal dari perkataan orang Arab:

هلإا

, dimana huruf hamzah dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan huruf lam tambahan, lalu keduanya melebur menjadi satu dan jadilah lafazh

َ

.40

Imam Musthafa al-Maraghi juga mengatakan, bahwa

)َ(

adalah isim

„alam, khusus ditujukan kepada yang wajib disembah secara benar, dan nama ini tidak boleh digunakan untuk selain Allâh. Pada masa Jahiliyyah, jika bangsa Arab ditanya mengenai siapakah yang menciptakan bumi dan langit, mereka

memberikan jawaban “Allâh”. Dan jika mereka ditanya apakah “tuhan’ Lata dan

„Uzza dapat menciptakan suatu seperti Allâh, mereka menjawab “tidak”. Sedangkan kata Ilah, adalah isim (nama) yang ditujukan setiap yang disembah haq maupun batil. Kemudian, kata ini banyak digunakan untuk sesembahan yang haq.41

4. Penafsiran Lafal

نمحرل

ا

dan

ميحرلا

Kata Allâh demikian juga ar-Rahmân pada basmalah tidak terjangkau hakikatnya. Kedua kata itu tidak dapat digunakan kecuali untuk menunjuk Tuhan

Yang Maha Esa. Ibn ‘Arabi menambahkan bahwa ar-Rahmân adalah

39

Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 207-208 40

Imam at-Tabari, Jâmi‟ul Bayân fî Tafsîril Qur‟ân, jilid 1, h. 209 41

Ahmad Musṯafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Musṯafa al-Bâbî al-Halabî, 1974) jilid 1, h. 33


(1)

memilih di antara keduanya (dibaca keras atau samar), pendapat tersebut adalah pendapat Ishak bin Rahawaih dan Ibnu Hazm.

Jadi kesimpulannya, salat orang yang membaca basmalah secara sirr (tidak dikeraskan) dan jahr (dikeraskan) adalah sah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi SAW. dan kesepakatan para imam.

B. SARAN

Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa masing-masing kelompok mempunyai dalil yang dijadikan hujjah bagi mereka. Terlepas dari kebenaran hujjah kelompok-kelompok di atas, hendaknya ini tidak menjadikan alasan terpecah-belahnya umat Islam. Karena perlu dipahami bahwa ini adalah permasalahan furu’iyah yang sangat wajar, jika terdapat perbedaan di dalamnya. Asalkan tidak merusak yang asal atau yang inti, maka tidaklah jadi persoalan. Masing-masing bisa mengamalkan sesuai dengan keyakinan dan hujjah masing-masing dan tidak menjadikan perbedaan ini sebagai alat untuk merusak ukhuwah islamiyah di antara sesama muslim.

Hasil penelitian ini merupakan sekelumit dari disiplin ilmu pengetahuan. Terkait hadis-hadis yang penulis telusuri hanya terbatas pada al-Kutub al-Sittah, sehingga bahan kajian sangat terbatas sekali. Adapun harapan penulis kepada pembaca adalah dapat mengkaji hadis yang lainnya untuk lebih memperkaya perbendaharaan kitab hadis, sehingga akan banyak bahan analisa yang dapat diperbincangkan.

Demikian juga dengan kitab-kitab syarh dan buku referensi yang asngat minim, penulis juga berharap kepada pembaca agar dapat melengkapi referensi


(2)

lebih banyak lagi. Dan bagi umat Islam hendaklah dalam menjalani hidup di dunia ini mengacu pada dalil-dalil yang absolut kebenarannya, yakni al-Qur’an dan hadis sahîh.

Saran terakhir, umat Islam jangan pernah berhenti untuk terus mengkaji aspek kehidupan Nabi, karena penulis yakin, dengan demikian akan menambah rasa cinta dan kerinduan kita kepada beliau. Sehingga yang diharapkan kelak adalah dapat bersanding dengannya.


(3)

79 DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Abdul Malik. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.

Abu Ubaidah, Darwis. Tafsir al-Asas; tafsir lengkap dan menyentuh ayat-ayat seputar Islam, Iman dan Ihsan. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012.

Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj. Sahîh Muslim. Bayrût: Dâr al-Fikr, tth.

Agama R.I, Departemen. al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1983.

Ali, Atabik. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1996.

Annuri, Ahmad. Panduan Tahsin Tilawah al-Qur’an & Ilmu Tajwid. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010.

‘Arabi, Ibnu. Tafsir Qur’anul Karim. Dâr al-‘Arabiyah, 1968.

Baidan, Nashruddin. Tafsir Kontemporer Surat al-Fâtihah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Bakker dan Jubair. Metode Penulisan Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulughul Maram terj. Aan

Anwariyah dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.

Al-Batawy, Saiful Anwar. Rahasia Kedahsyatan Basmalah. Jakarta: Kunci Iman, 2012.

Al-Bukhârī al-Ju‘fī, Muḥammad bin ‘Ismâ‘īl Abū ‘Abdillâh. Sahîh al-Bukhârî. Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994.


(4)

Al-Caff, Muhammad. Tafsir Populer al-Fâtihah; Menyelami Makna Lahir dan Batin al-Fâtihah Secara Mudah dan Sederhana. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2011.

Faqih Imani, Allamah Kamal. Tafsir Nurul Qur’an; sebuah tafsir Sederhana menuju Cahaya al-Qur’an. Jakarta: al-Huda, 2003.

Hadi , Sutrisno. Metode Research 1. Yogyakarta: Andi Offset, 1987.

Hazm, Ibnu. Al-Muhalla terj. Abu Usamah Fathurrahman. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Husnan, Djaelan. Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam. Jakarta: Yayasan Wakaf Baitussalam Billy Moon, 2013.

Ibn Katsîr, Isma’il bin ‘Amr al-Qurasyi bin Kasir al-Basri ad-Dimasyqi ‘Imâduddîn Abul Fidâ’ al-Hâfiz al-Muhaddis asy-Syafi’i. Tafsîrul Qur’ânil ‘Azîm. Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1958.

Ibnu Mâjah, Abu Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini. Sunan Ibnu Mâjah. Bayrût: Dâr al-Fikr, tth.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemandunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Katsoff, Lois O. Pengantar Filsafat. Penerjemah Suyono Sumargono. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.

J. Moleong , Lexy. Metodologi Penulisan Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2005.

Al-Marâghî, Ahmad Musṯafa. Tafsîr al-Marâghî. Mesir: Musṯafa Bâbî al-Halabî, 1974.


(5)

81 Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi, Abu Ath-Thayyib. Aunul Ma’bud; Syarah Sunan Abû Dâwud terj. Anshari Taslim. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir; Kamus arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Al-Nasâ’î, Aḥmad bin Syu‘âb Abū ‘Abdirrahmân. Sunan al-Nasâ’î. Bayrût: Dâr al-Fikr, t.th.

Nasib Ar-Rifa’i, Muhammad. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Ansari al-Khazraji al-Andalusi. Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân. Mesir: Dâr al-Kutub al-Misriyah, tth.

Quthb, Sayyid. Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân (Kairo: Dâr Ihya Tijari al-‘Arabiyah, 1386)

Ridha, M. Rasyid. Tafsîr al-Manâr. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid terj. Beni Sarbeni, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Al-Ṣâliḥ, Ṣubhî. ‘Ulûm al-Hadîts wa Muṣṭalaḥuhu. Bayrūt: Dâr al-‘Ilmi Lilmayîn, 1988.

Salim, Abd. Muin. Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera; Tafsir surat al-Fâtihah. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999.

Ash-Shan’anī. Terjemahan Subulus Salam terj. Abu Bakar Muhammad.


(6)

Ash-Shidiqi, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Softwere “al-Maktabah al-Syâmilah”, bagian 2.

Sugiyono. Memahami penulisan Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta, 2005.

Sulaymân bin al-Asy‘ats al-Sijistânî, Abû Dâwud. Sunan Abû Dâwud. Bayrût: Dâr al-Fikr, tth.

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Tafsîr Fatẖ al-Qadîr. Mesir: Dâr al-Hadîts, 1413 H/1993 M.

At-Tabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir Abu Ja’far. Jâmi’ul Bayân fî Tafsîril Qur’ân. Bayrut: Dâr al-Kutbi al-Ilmiyah, 1426 H/2005 M.

Tafsir al-Qur’an, Majlis. Tafsir al-Qur’an Surat al-Fâtihah dan al-Baqarah ayat 1-39. Solo: Percetakan al-Abror.

Tim AAK UIN Jakarta. Pedoman Akademik: Program Strata 1 2012-2013. Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2012.

Al-Tirmîdzî, Muhammad bin Isa Abu Isa. Sunan al- Tirmîdzî. Bayrût: Dâr al-Fikr, tth.

Wensinck, A. J. Al-Mu'jam al-Mufahras li al-fâz al-Hadîs. Leiden: E. J. Brill, 1943.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2010.