Gambaran Psychological Well-Being pada Lesbian

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA LESBIAN
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi Oleh:
Cindy Angelina 051301083
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2011
Universitas Sumatera Utara

Gambaran psychological well-being pada lesbian Cindy Angelina dan Arliza Juairiani Lubis, M.Si., Psikolog
ABSTRAK
sebagai lesbian yang hidup di Indonesia banyak tekanan yang dihadapi karena sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa homoseksual adalah prilaku yang menyimpang , dan tidak sesuai dengan norma agama. Sehingga lesbian sering mengalami penolakan, hinaan dan kecaman. Ketidak mengertian orang lain atas orientasi seksual lesbian, membuat banyak lesbian cenderung menilai diri mereka secara negatif, hidup dalam kepura-puraan, merasa terisolasi, depresi dll yg akhirnya bermuara pada rendahnya Psychological Well-Being.
Penelitian bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran Psychological Well-Being pada lesbian. Dengan sampel sebanyak 32orang yang diperoleh dengan teknik snow ball. Alat ukur berupa Psychological Well-Being scale yang dikonstruksi oleh Ryff (1989) dengan jumlah aitem sebanyak 55.
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas psychological well-being pada lesbian tergolong sedang mengarah kerendah terutama pada dimensi penerimaan diri dan penguasaan terhadap lingkungan. Sedangkan dimensi yang mendapatkan skor yang cukup baik adalah dimensi perkembangan pribadi. hasil penelitian juga menunjukan bahwa psychological Well-Being pada lesbian lebih rendah dari yang non lesbian.
Kata kunci : Psychological Well-Being, lesbian
Universitas Sumatera Utara

The Description of Psychological well-being of lesbians Cindy Angelina and Arliza Juairiani Lubis, M.Si., Psikolog
ABSTRACT
In Indonesia, lesbians come into many challenges because its major society still believe that homosexual is a disorder behaviour and against religious norm. The belief leads to rejection, insults and condemnation . lack of knowledge about sexual orientation of lesbian causes many of lesbian tend to live in disguese, be isolated, depressed,etc. And eventually end up with poor Psychological Well-being.
This descriptive research is intended to figure out the desciption of Psychological well-bing of lesbians. It involved 32 women as the samples that collected using snow ball technique. The instrument applied is psychological well-being scale which formulated by Ryff (1995), and has 55 items.
The result of the research showed that most of lesbians have averange to low Psychological well-being specially in self acceptance and enviromental mastery dimensions. On the other hand in personal growth dimension displayed the highest score. The result also uncovered that the Psychological well being of lesbians is lower than hetero sexual women.

Keyword : Psychological well-being, lesbian
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Tak tertbatas kuasa Mu Tuhan, semua dapat Kau lakukan Apa yang kelihatan mustahil bagi ku, itu sangat mungkin bagi Mu
Disaat ku tak berdaya, kuasa Mu yang sempurna Ketika ku percaya , mujizat itu nyata
Bukan karna kekuatan , Namun Roh Mu yah Tuhan Ketika ku pecaya,Ketika ku berdoa Mujizat itu nyata ( Mujizat itu nyata – Nikita )
Puji dan syukurlah yang selalu kupanjatkan kepada Yesus Kristus, my GOD, my Saviour, My Daddy. Engkaulah penolong yang dapat memberiku kekuatan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Di tengah kondisi fisik dan materi yang terbatas, ketika aku tidak berdaya, ketika aku ingin menyerah, Engkaulah yang tetap mampukanku untuk terus semangat dan melihat pengharapan jauh di depan. Sungguh pertolongan dan kebaikan Mu tidak pernah terlambat. Thank you Dad. Adapun skripsi ini berjudul “Gambaran Psychological well-being pada lesbian”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk lulus sarjana psikologi.
Penulis sangat mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Terutama kepada Papa dan Mama yang tercinta (bapak Eko Suprapto dan Ibu Monica Angkasa) yang selama ini tidak pernah menyerah untuk mendukung dan
Universitas Sumatera Utara

memotivasi baik melalui doa dan materi. Biarlah kiranya perjuanganku dapat menjadi kebanggaan bagi kalian. Saya juga tidak lupa ingin mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak yang telah membantu langkah penulis dalam menggapai gelar sarjana Psikologi. Izinkan saya menyebutkan mereka yaitu:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati , psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
2. kepada Dosen Pembimbing Akademik penulis yaitu Ibu Filia Dina Anggaraeni, M. Pd yang selalu dengan sabar menasehati saya dan membantu dan selalu menyemangati saya ketika saya hampir putus asa.
3. Kepada kak Arliza J Lubis selaku dosen pembimbing saya. Terima kasih untuk semua hal yang telah kakak berikan selama membimbing saya. Terima kasih untuk saran dan komentar, dukungan, perhatian, kesabaran dan waktu yang telah kakak sediakan buat saya.
4. Kepada seluruh dosen-dosen yang ada di Fakultas Psikologi USU khususnya di departemen klinis. Terima kasih atas dukungan , masukan serta bimbingan yang diberikan kepada saya.
Universitas Sumatera Utara

5. Kepada teman-teman psikologi USU yang sudah membantu saya , memberi masukan , dan mendukung saya, juga menyemangati saya. Khususnya Derwin Tambunan, dan Meiliana yang selama ini sudah membantu dan memberikan dukungan kepada saya.
6. Kepada orang-orang yang kusayangi yang terus mendukung aku, aku yang berkali-kali hampir putus asa tapi mereka yang terus memberiku semangat, dan terus mendorong untuk bangkit. Terima kasih Lini, dan Susan atas segala dukungan, perhatian , dan doadoa yang kalian panjatkan.

7. Kepada teman-teman di Gereja Mawar sharon dan Connect Group 13. Terima kasih buat doa dan dukungan kalian. Kalian mengajariku banyak hal.
8. Kepada keluarga SELERA tercinta, nenek, kakek, tante, om, adikku, sepupuku. Yang terus mendukung aku, terima kasih.
9. Kepada anak-anak yang ku sayangi dan ku cintai sepenuh hati, Dido Fernando, Max Gacello, Mandy Gracella, O‟bee, Wesley Fernando, Torrez Fernando, Cassilas Fernando, Yakumi Gracella, Xakumi Gracella, Zakumi Gracella, Dexter Morgan,whiskey dan Myron kalian yang membuat hidupku berwarna, dan kalianlah motivasi ku untuk segera menyelesaikan kuliah ini.
Universitas Sumatera Utara

10. Kepada seluruh teman-teman yang ada di departemen klinis dan teman-teman yang ada di Fakultas Psikologi USU yang membantu dan mendukung saya selama kuliah, terima kasih atas semua yang kalian berikan.
11. Kepada seluruh teman lesbian yang telah membantu peneliti untuk melakukan pengambilan data, terima kasih atas kesediaan kalian untuk meluangkan waktu bagi peneliti sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa keberadaan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang dapat membantu mengurangi kesalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Medan, November 2011
Penulis
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR……………………………………………………..i DAFTAR ISI……………………………………………………………...v BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………...1
A. Latar Belakang………………………………………………...1 B. Rumusan Masalah……………………………………………12 C. Tujuan Penelitian…………………………………………….13 D. Manfaat Penelitian…………………………………………...13 E. Sistematika Penulisan………………………………………..15
BAB II. LANDASAN TEORI…………………………………………...17 A. Psychological well-being……………………………..……...17 1. Defenisi PWB……………………………………………17 2. Dimensi-dimensi PWB…………..………………………19 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi………………………30
Universitas Sumatera Utara

B. Lesbian……………………………………………………….33 1. Defenisi lesbian…………………………………………..33 2. Masalah yang dialami lesbian……………………………34 3. Proses penerimaan diri …………………………………..36 4. Proses coming out……………………………………………..38 5. Masalah-masalah perkembangan lesbian dewasa muda…44
BAB III. METODE PENELITIAN A. Indentifikasi Variabel Penelitian……………………………..46 B. Definisi Operasional…………………………………………46 C. Populasi dan metode pengambilan sampel…………………..49 D. Instrumen / Alat ukur yang digunakan………………………51 E. Uji Coba Alat Ukur…………………………………………..55 F. Hasil Uji Coba Alat Ukur……………………………………59 G. Prosedur Pelaksanaan penelitian……………………………..60 1. Tahap Persiapan …………………………………………60 2. Pelaksanaan penelitian…………………………………...61 3. Tahap pengolahan data ………………………………….62 H. Metode Analisa Data…………………………………………62

Universitas Sumatera Utara

BAB IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN……………………64 A. Analisa Data………………………………………………….64 1. Gambaran subjek penelitian……………………………...64 a. Gambaran subjek berdasakan pendidikan……………64 b. Gambaran subjek berdasarkan usia…………………..65 c. Gambaran subjek berdasarkan pendapatan…………..65 2. Uji Normalitas……………………………………………66 3. Uji homogenitas………………………………………….67 4. Hasil utama………………………………………………68 a. Gambaran umum PWB lesbian………………………68 b. Gambaran dimensi-dimensi PWB……………………69 5. Hasil tambahan…………………………………………...71 a. Perbedaan PWB pada lesbian dan non lesbian………71 b. Perbedaan PWB Lesbian dan non lesbian berdasakkan dimensi PWB…………………………..72 c. Gambaran PWB berdasakam atribut-atribut…………73 B. Pembahasan…………………………………………………..82
Universitas Sumatera Utara

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………...91 A. Kesimpulan…………………………………………………..91 B. Saran ………………………………………………………...94
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………96 LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara

Gambaran psychological well-being pada lesbian Cindy Angelina dan Arliza Juairiani Lubis, M.Si., Psikolog
ABSTRAK
sebagai lesbian yang hidup di Indonesia banyak tekanan yang dihadapi karena sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa homoseksual adalah prilaku yang menyimpang , dan tidak sesuai dengan norma agama. Sehingga lesbian sering mengalami penolakan, hinaan dan kecaman. Ketidak mengertian orang lain atas orientasi seksual lesbian, membuat banyak lesbian cenderung menilai diri mereka secara negatif, hidup dalam kepura-puraan, merasa terisolasi, depresi dll yg akhirnya bermuara pada rendahnya Psychological Well-Being.
Penelitian bersifat deskriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran Psychological Well-Being pada lesbian. Dengan sampel sebanyak 32orang yang diperoleh dengan teknik snow ball. Alat ukur berupa Psychological Well-Being scale yang dikonstruksi oleh Ryff (1989) dengan jumlah aitem sebanyak 55.
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas psychological well-being pada lesbian tergolong sedang mengarah kerendah terutama pada dimensi penerimaan diri dan penguasaan terhadap lingkungan. Sedangkan dimensi yang mendapatkan skor yang cukup baik adalah dimensi perkembangan pribadi. hasil penelitian juga menunjukan bahwa psychological Well-Being pada lesbian lebih rendah dari yang non lesbian.
Kata kunci : Psychological Well-Being, lesbian
Universitas Sumatera Utara

The Description of Psychological well-being of lesbians Cindy Angelina and Arliza Juairiani Lubis, M.Si., Psikolog
ABSTRACT
In Indonesia, lesbians come into many challenges because its major society still believe that homosexual is a disorder behaviour and against religious norm. The belief leads to rejection, insults and condemnation . lack of knowledge about sexual orientation of lesbian causes many of lesbian tend to live in disguese, be isolated, depressed,etc. And eventually end up with poor Psychological Well-being.

This descriptive research is intended to figure out the desciption of Psychological well-bing of lesbians. It involved 32 women as the samples that collected using snow ball technique. The instrument applied is psychological well-being scale which formulated by Ryff (1995), and has 55 items.
The result of the research showed that most of lesbians have averange to low Psychological well-being specially in self acceptance and enviromental mastery dimensions. On the other hand in personal growth dimension displayed the highest score. The result also uncovered that the Psychological well being of lesbians is lower than hetero sexual women.
Keyword : Psychological well-being, lesbian
Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH ...............dalam hatiku yang terdalam aku menjerit, tak pernah
sedetikpun dalam hidupku aku menginginkan perasaan ini, aku berusaha membuang naluri ”gila” ini akan tetapi tak kunjung hilang. Aku terkadang melatih pikiranku, dan mengatakan bahwa aku wanita sejati yang mencintai laki-laki, tapi naluriku dengan kuat berkata bahwa aku mencinta wanita lain, yang membuatku tahan berjam-jam lamanya untuk berbincang dari telefon dengannya. Andai saja ada tongkat ajaib untuk membuang semua rasa ini. Aku sungguh menderita, andai saja aku bisa meninggalkan perasaan ini....................(Gay and Lesbian Center, 2007)
Menyadari diri sendiri sebagai lesbian adalah hal yang menyakitkan (Carroll, 2005). Balsam dan Beauchaine (2005) meyakini bahwa hal ini terjadi sebagai respon psikologis kaum lesbian terhadap tekanan sosial dan stigma yang mereka dapatkan dari lingkungan sosial. Sementara Russer dan Joyner (2001) mengatakan bahwa penolakan yang kuat terhadap kaum lesbian oleh masyarakat terjadi karena kaum lesbian dianggap melawan agama, moral, etika dan kewajaran dalam kehidupan masyarakat. Gay and Lesbian Centre (2007) menambahkan bahwa penolakan yang didapatkan oleh kaum lesbian seperti di atas disinyalir sebagai prediktor munculnya gangguan psikis bagi kaum lesbian.
Universitas Sumatera Utara

Penolakan masyarakat yang sedemikian kuat membuahkan beragam perlakuan yang menyakitkan bagi kaum lesbian (D‟Augelly, 2000; King & McKeown, 2003). Perlakuan yang menyakitkan yang diterima oleh kaum lesbian mulai dari kecaman terhadap kaum lesbian bahwa mereka harus dibuang dari lingkungan sosial, dilecehkan, dihina, dilabel sebagai orang yang memiliki karakteristik yang negatif, diasingkan, dianggap sebagai orang yang “sakit”, dan sumber penyakit terutama penyakit seksual menular seperti HIV (Dohrenwed, 2000).
Di Indonesia yang menganut nilai norma dan budaya yang tinggi. Masih banyak keluarga menutup mata dan telinga saat mengetahui anggota keluarganya adalah lesbian. Keluarga malah menekan dan menyadarkan, seolah-olah lesbian adalah aib dan sesuatu yang bertentangan dengan agama ( Kompas, 2009 ), sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa homoseksual, biseksual serta perilaku seks lainnya yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya sebagai perilaku yang menyimpang karena perilaku seksual seperti ini belum berlaku secara umum dimasyarakat (Puspitosari & Pujileksono, 2005). Perilaku ini memunculkan apa yang disebut dengan labeling yang merupakan pengindentifikasian seseorang sebagai seorang penyimpang, yang sering diikuti oleh adanya perubahan perlakuan orang lain terhadap
Universitas Sumatera Utara

orang tersebut (Horton & Hunt, 1996 ). Melalui labeling ini, masyarakat luas sering sekali memandang kaum homoseksual dengan penuh prasangka dan membangun stereotype yang menyesatkan. Diskriminasi dan tekanan sosial menyebabkan mereka hidup dengan identitas ganda di kaum heteroseksual. Mereka tidak bebas mengekspresikan dirinya sebagai lesbian, seperti juga manusia kebanyakan yang hidup, belajar, bekerja, bersosialisasi, mempunyai pasangan dan menikah.
Kurang paham dan labeling atas orientasi seksual lesbian, membuat banyak lesbian pada awalnya tidak mau menerima keaadan mereka. Mereka mencoba untuk mengembangkan ketertarikannya pada lawan jenis, karena hal tersebut sesuai dengan pola seksualitas yang berlaku dimasyarakat umum. Keadaan ini menurut Zera (dalam Brannon 1996), biasanya dialami sebelum mereka memasuki usia dewasa. Mereka biasanya berkutat dengan pertentangan didalam diri mereka yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri mereka, dan hal utama yang biasanya terjadi adalah hilangnya harga diri, yaitu disaat tidak adanya keberanian untuk membuka diri tentang perbedaan orientasi seksual mereka kepada keluarga dan teman-teman mereka. Wells (1989) juga menambahkan bahwa mereka mengingkari dorongan untuk menjadi
Universitas Sumatera Utara

lebih asertif , karena perilaku ini sering dihubungkan dengan lesbianisme ,


yang hanya akan menambah ketakutan dan kebencian.

Ketakukan dan kebencian tersebut sesuai dengan hasil penelitian

Morh (dalam Finterbusch 1999), yang menemukan sebanyak 86% dari gay

dan lesbian yang mengakui orientasi seksual mereka menjadi objek

kekerasan dan pelecehan, kebanyakan satu dari lima orang gay atau

lesbian pernah mengalami tonjokan, pukulan, tendangan , sedangkan 14%

pernah diludahi. Laporan dari suatu lembaga yang menangani masalah

remaja di Amerika (dalam Kelly 2001), juga menyebutkan banyaknya

remaja gay dan lesbian yang melakukan bunuh diri, karena mereka dilihat

sebagai kaum minoritas. Mereka cenderung untuk melakukan perilaku


merusak diri (self-destructive behaviors), dengan minum minuman keras

dan pemakaian obat-obatan terlarang (substance abuse).

Perlakuan yang menyakitkan yang diterima oleh kaum lesbian

adalah penolakan dan penganiayaan dari keluarga seperti orang tua,

saudara, teman sebaya dan sahabat mereka,

( Stirratt, Kertzner, &

Meyer, 2009 ) mengatakan bahwa kaum lesbian memiliki dukungan yang

sangat rendah dan sering diabaikan oleh keluarga dan teman-teman

mereka karena orientasi seksual mereka. Mereka dianggap sebagai

kutukan Tuhan dan dibuang dari keluarga mereka (Common Wealth of


Universitas Sumatera Utara

Australia, 2008). Padahal kehidupan lesbian dalam lingkungan keluarga penting dan mempengaruhi psychological well-being . Pada kenyataannya kaum lesbian yang membeberkan dirinya kepada orang tua dan temanteman cenderung menerima perlakuan yang buruk (Cramer & Roach, 1998). Sekitar 46% dari mereka kehilangan teman dekat setelah membeberkan orientasi seksualnya dan sekitar 48% dari mereka mendapat penolakan, siksaan bahkan diusir dari rumah dan banyak orangtua kaum lesbian menolak bahkan menghindari untuk berhubungan dengan anak mereka setelah mereka memberitahukan kepada orang tua mereka orientasi seksual mereka (D‟Augelli, 2000). Menurut Allen (2008 ), yang juga didukung oleh Russer dan Joyner (2001), perlakuan yang demikian bermuara pada rendahnya Psychological Well-being pada lesbian.
Menurut Jones dan Hill (2005), rendahnya Psychological WellBeing yang dimiliki oleh lesbian disebabkan karena kaum lesbian tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan leluasa. mereka juga tidak dapat mengungkapkan identitas mereka yang sebenarnya sebagai lesbian karena penolakan masyarakat , stigma, dan pertentangan yang kuat yang mereka dapatkan dari masyarakat, sehingga mereka merasa terkukung dan takut kalau ada orang lain yang mengetahui orientasi seksual mereka.
Universitas Sumatera Utara

Pernyataan Ellison (2008) yang didukung oleh Daniels (2007) mengemukakan penolakan masyarakat, stigma, kecurigaan berdasarkan dengan anggapan bahwa kaum lesbian melakukan perbuatan cabul dan kotor, dan adanya pandangan masyarakat bahwa hubungan percintaan yang wajar adalah dengan lawan jenis, situasi ini terkadang membuat kaum lesbian berusaha berpura-pura menjadi heteroseksual dengan berpacaran dengan laki-laki. Akan tetapi, justru hal ini menjadi sumber yang dapat memperburuk psychological well-being mereka, karena hidup dalam keberpura-puraan adalah cerminan dari tidak dapat menikmati dan menerima kehidupan dan keadaan diri mereka (Hershberger, 2000). Padahal penerimaan keadaan diri sendiri bagi lesbian, menurut Diamond (2000) adalah transisi yang penting, yang menunjukan adanya perubahan identitas heteroseksual ke arah homoseksual. Keadaan tersebut digambarkan sebagai penemuan diri yang sesungguhnya, setelah terjadinya perubahan pada identitas, ketertarikan, dan perilaku seksualnya. Menurut Monteflores & Schultz (dalam Brannon 1996), penerimaan keadaan diri sendiri biasanya akan lebih mudah , daripada kemudian harus membuka orientasi atau perilaku seksual mereka kepada keluarga dan teman, yang lebih sering disebut dengan coming out.
Istilah coming out sendiri, menurut Monteflores & Schultz (dalam
Universitas Sumatera Utara

Brannon 1996), berasal dari kata “coming out of the closet” dimana menggambarkan keadaan yang tersembunyi (hidden or closeted). Maka proses coming out adalah proses dari penemuan atau penerimaan diri sendiri dan pemberitahuan tentang orientasi lesbian atau gay seorang individu kepada orang lain. Untuk banyak lesbian hal tersebut merupakan beban sangat berat , sesuatu yang sangat sulit dan membuat stress.
dengan melakukan coming out, seorang homoseksual dapat menerima identitas seksual mereka, yang merupakan bagian dari identitas keseluruhan diri mereka. Identitas personal dalam diri seseorang memiliki implikasi yang penting dalam seseorang memahami diri mereka dan juga dapat meningkatkan harga diri mereka. Hal tersebut menunjang terjadinya penyesuaian psikologis seseorang (Kelly, 2004).
Sedangkan , menurut Zera (dalam Brannon 1996), coming out menjadi sesuatu yang penting karena ini berhubungan dengan hilangnya rasa sakit dan rasa bingung dalam proses penerimaan diri & dan perkembangan seorang lesbian, sehingga pada akhirnya mereka akan menjadi individu yang lebih berbahagia dengan keadaan diri mereka sendiri, dan mempunyai hubungan yang lebih sehat dengan pasangannya. GLEN (2008), juga mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan psychological well-being yang
Universitas Sumatera Utara

sehat. Seperti yang sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa
yang paling menyakitkan bagi kaum lesbian adalah ketika mereka mendapat penolakan dan kekerasan dari orang tua, keluarga, dan temanteman mereka sehingga kaum lesbian sering merasa kesepian, merasa terisolasi dan merasa terasing (Fish, 2007). Pengisolasian yang dilakukan terhadap kaum lesbian juga menjadikan lesbian merasa berbeda dengan teman-teman mereka dan merasa bahwa mereka bukan merupakan anggota suatu masyarakat atau komunitas tertentu, sehingga kaum lesbian memiliki perasaan komunitas (sense of community) yang rendah.
Andeson (dalam Pace, 2002) mengatakan bahwa perasaan memiliki komunitas dengan orang lain adalah hal yang penting dalam perkembangan psychological well-being bagi seseorang. Perasaan terisolasi dari keluarga dan komunitas ini dapat menghancurkan atau menurunkan harga diri dan konsep diri yang negatif, sehingga kaum lesbian cenderung menilai diri mereka secara negatif (Paul, 2003). Stirratt (2009) menambahkan bahwa perasaan ini berpotensi besar bagi kaum lesbian untuk melakukan bunuh diri dan perilaku menyakiti diri sendiri. Berikut ini merupakan cuplikan kasus bunuh diri yang dialami oleh kaum
Universitas Sumatera Utara


lesbian karena mendapat penolakan dan kekerasan dari keluarga sehubungan dengan orientasi seksual mereka sebagai lesbian.
Jane adalah perempuan berusia 20 tahun, setelah diketahui oleh ibunya bahwa dia adalah lesbian, maka keluarganya mengusir dia dari rumah dan mengatakan bahwa dia adalah kutukan dari Tuhan sehingga harus dibuang. Akhirnya Jane kabur dari rumah dan hidup gelandangan selama 8 bulan. 5 bulan berikutnya mayat Jane ditemukan di sungai, polisi menduga bahwa meninggalnya Jane adalah karena bunuh diri (Gay and Lesbian Centre, 2000).
Pace (2005) yang selanjutnya diklarifikasi oleh GLEN (2008) mengatakan bahwa kaum lesbian yang diterima oleh orang tuanya dan teman-temannya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih baik daripada kaum lesbian yang ditolak oleh orang tua dan teman-teman mereka. Menurut D‟Augelli (2000), hubungan antara orangtua dan anak, dimana orang tua yang menolak anak mereka karena orientasi seksual mereka menjadi sumber stres besar bagi kaum lesbian yang bermuara pada timbulnya gangguan-gangguan psikis seperti depresi sehingga memberikan kontribusi terhadap rendahnya psychological well-being kaum lesbian itu sendiri
Kondisi yang demikian mendorong kaum lesbian bergabung atau melakukan suatu perkumpulan dalam sebuah komunitas gay dan lesbian, supaya mereka mendapat dukungan emosional dan penerimaan dari orang
Universitas Sumatera Utara

lain. Meski komunitas yang mereka miliki dapat menerima mereka apa adanya dan mereka berkumpul dalam suatu komunitas yang kohesif, namun menurut Warner , dkk (2004) kondisi yang demikian tidak dapat menyelesaikan perasaan terisolasi mereka. Justru tindakan itu mengakibatkan kaum lesbian semakin merasa terpisah dan berbeda dengan lingkungan sosial dan teman-teman mereka yang lain, dan merasa rendah diri terhadap kaum heteroseksual (Siegel dan Lowe, 2007; Warner, 2004).
Arber dan Davidson (2004) menambahkan bahwa orientasi seksual sebagai lesbian memiliki risiko besar untuk memiliki psychological wellbeing yang rendah. Sementara Bates (2005) menjelaskan bahwa orientasi seksual sebagai lesbian berkorelasi positif dengan psikopatologi. Pernyatan ini terbukti dari beberapa kesimpulan hasil penelitian internasional yang dilakukan oleh GLEN (Gay and Lesbian Equality Network), 2008 yaitu: (1). Kaum lesbian memiliki stres berat yang mengarah kepada tingginya kecenderungan untuk bunuh diri dan menyakiti diri sendiri, (2). Kaum lesbian memiliki psychological distress yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum heteroseksual, (3). Kaum lesbian memiliki risiko yang tinggi untuk menderita depresi, gangguan kecemasan, dan penyalahgunaan obat-obat terlarang dan minum
Universitas Sumatera Utara

minuman keras, (4). Kurangnya dukungan sosial yang diterima oleh kaum lesbian menjadi pemicu bagi mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Secara umum kaum lesbian memiliki kondisi psychological wellbeing yang lebih rendah daripada kaum heteroseksual (King, 2001). Warner (2004) juga mengatakan bahwa kaum lesbian memiliki gangguan psikologis yang lebih tinggi daripada kaum heteroseksual. Senada dengan pernyataan di atas, NAMI (2009) mengatakan bahwa kondisi orientasi homoseksual merupakan faktor risiko menderita gangguan mental dan memiliki tingkat psychological well-being yang rendah.
Menurut Greene (2000) isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh kaum lesbian adalah apakah ia akan melakukan coming out, akan menikah, atau akan hidup melajang. Berbagai isu perkembangan seputar kaum lesbian tentunya menunjukan adanya tantangan-tantangan khusus pada mereka. Hal itu kemudian juga memberi pengaruh tertentu pada kebahagiaan yang dimiliki. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengupas lebih dalam mengenai Psychological Well-Being pada lesbian, Telah disampaikan diatas, bahwa kaum lesbian mendapat resiko yang begitu komplek. Untuk mendapatkan gambaran Psychological Well-Being perempuan lesbian dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep
Universitas Sumatera Utara

psychological well-being yang dibuat oleh Ryff (1989). Konsep psychological well-being dari Ryff ini terbagi ke dalam enam dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
B. RUMUSAN MASALAH Secara terperinci, rumusan masalah dalam penelitian ini diajukan
melalui pertanyaan penelitian yaitu : 1. Bagaimanakah gambaran umum Psychological Well-Being pada lesbian yang berusia 20 tahun keatas? 2. Bagaimanakah gambaran Psychological Well-Being lesbian yang berusia 20 tahun keatas ditinjau dari dimensi-dimensinya, yaitu penerimaan diri, hubungn positive dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan , otonomi, perkembangan pribadi , dan tujuan hidup? 3. Apakah ada perbedaan Psychological Well-Being pada lesbian yang berusia 20 tahun keatas dengan yang non lesbian?
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung

mengenai psychological well-being pada lesbian. Data yang diperoleh
Universitas Sumatera Utara

nantinya akan digunakan dan diolah untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada lesbian
D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara
praktis maupun teoritis. Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang psychological well-being pada perempuan lesbian yang berusia diatas 20 tahun.
2. Memperkaya penelitian psikologi tentang kaum lesbian, mengingat keberadaan kaum homoseksual banyak ditemukan di Indonesia dan masih menjadi pertentangan di masyarakat, tentang bagaimana gaya hidup homoseksual, dan pandangan masyarakat mengenai status identitas homoseksual.
3. Menjadi referensi bagi peneliti dengan bidang kajian serupa. 4. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi
psychological well-being pada lesbian
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
Universitas Sumatera Utara

1. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi orang heteroseksual untuk memahami sahabat, teman, atau anggota keluarga yang memiliki orientasi homoseksual. Memberi masukan atau inspirasi kepada partisipan untuk menyingkapi kondisi dirinya dengan baik untuk menjalani penyesuaian dirinya dengan cara sehat dan adaptif

2. Bagi kaum homoseksual, pengetahuan ini bertujuan untuk memberi ilmu dan informasi dalam menyikapi persoalan yang dialami mereka secara bijaksana agar tercipta lingkungan yang lebih konstruksif bagi terbinanya jiwa dan mental yang lebih sehat.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini


adalah:

BAB I :

Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta

sistematika penulisan.

Universitas Sumatera Utara

BAB II: BAB III :
BAB IV : BAB V :

Landasan Teori Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan psychological well-being dan lesbian. Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan, uji validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode analisis data. Analisa dan Interpretasi Data Penelitian Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik


Universitas Sumatera Utara

untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitianpenelitian selanjutnya
Universitas Sumatera Utara

BAB II LANDASAN TEORI
A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological well-being
Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological well-being yang selanjutnya disingkat dengan PWB menjelaskan istilah PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja.
PWB merupakan gambaran kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan fungsi psikologis positif (Ryff, dalam Papalia, 2000). PWB seringkali dimaknai sebagai bagaimana seorang individu mengevaluasi dirinya. Adapun evaluasi tersebut memiliki dua bentuk, yaitu: evaluasi yang bersifat kognitif seperti: penilaian umum (kepuasan hidupnya/ life satisfaction), dan kepuasan spesifik/ domain spesifik
Universitas Sumatera Utara

(kepuasaan kerja, kepuasaan perkawinan). Dan evaluasi yang bersifat afektif, berupa frekuensi dalam mengalami emosi yang menyenangkan (misal: menikmati) dan mengalami emosi yang tak menyenangkan (misal: depresi).
PWB terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Ryff menambahkan bahwa PWB merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa.
PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian (hapiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang
Universitas Sumatera Utara

ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, pengguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995). Selain itu, setiap dimensi dari PWB menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995).
Dapat disimpulkan bahwa PWB adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi.
2. Dimensi Psychological well-being Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya
PWB adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psycholigical functioning) . Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu:
Universitas Sumatera Utara

a. Penerimaan diri (self-acceptance) Self-acceptance yang merupakan ciri sentral dari konsep
kesehatan mental dan juga karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang (Ryff, 1989). Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya, baik dari segi positif maupun negatif (Jahoda, 1958). Dengan cara menerima diri apa adanya maka seseorang dimungkinkan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri. Sikap positif selanjutnya akan meningkatkan toleransi seseorang akan frustasi dan berbagai kondisi yang tidak menyenangkan termasuk keterbatasan diri tanpa merasa menyesal atau marah yang mendalam.
Dalam hal ini Allport (1970) mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan kualitas yang penting bagi kehidupan manusia. Orang yang tidak dewasa kepribadiannya akan bertindak seperti anak kecil dalam menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Mereka akan bereaksi seperti temper tantrum, sering mengeluh, menyalahkan orang lain atau situasi dan sering menyesali diri. Sebaliknya orang yang matang akan berusaha mengolah frustasi yang dialami dan tidak melimpahkan kesalahan pada orang lain. Seseorang dengan pribadi yang matang dapat menunggu waktu yang tepat, jika situasi tidak memungkinkan,
Universitas Sumatera Utara

menyerah akan jadi jalan yang diambil. Ryff (1989) mengatakan bahwa seseorang dengan PWB yang baik akan cenderung bersikap positif terhadap kehidupan yang telah dijalani.
Individu dapat dikatakan memiliki taraf PWB dalam dimensi penerimaan diri bila ia:
1. Mengakui dan menerima berbagai aspek dirinya (baik yang positif maupun negatif)
2. Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri 3. Merasa positif terhadap kehidupan yang dijalani sekarang
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Beberapa kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan
membina hubungan interpersonal yang hangat dan Saling percaya , saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai , berempati, memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam (Ryff, 1989). Individu yang memiliki hubungan positif dengan sesamanya diharapkan memiliki hubungan yang hangat , memuaskan dan saling percaya dengan orang lain , peduli terhadap kesejahteraan orang lain, mampu berempati, berafeksi dan membina kedekatan
Universitas Sumatera Utara

danmemahami perlunya „memberi dan menerima‟ dalam membina hubungan dengan orang lain.
Individu yang matang akan mengembangkan minat untuk mengikuti berbagai aktivitas diluar dirinya. Seseorang yang matang memiliki partisipasi otentik pada berbagai area kehidupan manusia (Allport, 1970). Dalam hal ini Ryff (1989) juga menyebutkan adanya „kepedulian akan kesejahteraan orang lain‟ sebagai aspek penting dalam melihat Psychological Well-Being seseorang. Hal ini dapat diungkapkan misalnya dalam bentuk kegiatan social maupun pengembangan hobi dalam kelompok. Tujuannya adalah untuk mengembangkan sesama manusia dan diri sendiri. Maslow juga mengatakan bahwa orang yang teraktualisasi adalah yang memiliki kemampuan kuat untuk berempati dan membina hubungan afektif dengan manusia lain, dan mampu menjalin persahabatan (Maslow, 1970).
Jadi dapat disimpulkan bahwa taraf Psychological WellBeing seseorang dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain dapat dilihat dari sejauh mana ia :
1. Memiliki hubungan yang hangat dan memuaskan, saling percaya dengan manusia lain.
Universitas Sumatera Utara

2. Memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia lain. 3. Mampu membina hubungan yang empatis, afektif, dan
intim yang kuat dengan manusia lain. 4. Saling memberi dan menerima dalam hubungan dengan
manusia lain.
c. Otonomi (autonomy) Dimensi-dimensi otonomi meliputi kualitas-kualitas seperti
penentuan diri (self-determination), kemandirian, pengendalian perilaku dalam diri, dan peran locus internal dalam mengevaluasi diri (Ryff, 1989). Dengan kata lain, dimensi ini melihat kemandirian setiap individu dalam memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas dari tekanan pihak manapun. Orang yang dikatakan otonom adalah orang yang mandiri dan dapat membuat keputusan sendiri, dapat menolak tekanan dari lingkungan untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengatur perilakunya dari lingkungan untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, mengatur perilakunya dari dalam diri, mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi dan sejauh mana individu mempertahankan rasa hormat terhadap
Universitas Sumatera Utara

dirinya. Juga mencakup kemampuan untuk membedakan antara aspek-aspek yang ingin diterima dan yang tidak ingin diterima (Maslow dalam Jahoda, 1958). Jadi dalam kehidupan sehari-hari orang yang otonom mampu memutuskan situasi dimana ia akan conform atau tidak konform. Pilihan untuk konform juga didasari atas pilihannya sendiri yang otentik. Pendapat orang lain dapat dijadikan pertimbangan tetapi ia sendiri yang memutuskan keputusan akhir.
Ryff (1989) sependapat dengan pernyataan Rogers bahwa individu yang otonom memiliki pusat pengendalian internal dalam bertindak Individu yang memiliki kepercayaan penuh terhadap pengalamannya sendiri sebagai sumber informasi yang valid dalam memutuskan apa yang harus atau tidak harus mereka lakukan. Sedangkan orang yang tidak otonom adalah orang yang sangat peduli dengan harapan dan evaluasi orang lain terhadap dirinya, menggantungkan diri pada penilaian orang lain dalam mengambil keputusan, serta konform terhadap tekanan sosial untuk bertingkah laku dan berpikir dengan cara tertentu.
Jadi taraf psychological well-being individu dalam dimensi otonomi tercermin dari sejauh mana individu tersebut:
Universitas Sumatera Utara

1. Mampu mengarahkan diri dan bersikap mandiri 2. Memiliki patokan (standar personal) bagi perilakunya. 3. Mampu bertahan terhadap tekanan social untuk berpikir
dan bertindsk dengan cara tertentu.
d. penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery) individu mampu memilih atau menciptakan lingkungan
yang sesuai dengan kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan diliar dirinya, mengkontrol dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dan kesempatan dilingkungan (Ryff, 1989). Dengan kata lain, dimensi ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengaturnya sesuai dengan keadaan dirinya sendiri.
Individu dikatakan mampu menguasai lingkungannya adalah orang yang memiliki penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungannya, dapat mengendalikan situasi eksternal yang kompleks, dapat menggunakan kesempatan di lingkungan secara efektif, serta mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai dirinya. Sebaliknya, orang
Universitas Sumatera Utara

yang dikatakan tidak memiliki penguasaan terhadap lingkungannya adalah orang yang mengalami kesulitan dalam mengatur urusan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan lingkungannya, serta kurang memiliki kendali terhadap dunia eksternalnya.
Taraf psychological well-being individu dalam dimensi penguasaan lingkungan dapat tercermin dari sejauh mana ia:
1. Mampu mengelola dan mengontrol berbagai aktifitas eksternalnya.
2. Mampu memanfaatkan secara efektif setiap kesempatan yang ada.
3. Mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya.
4. Memiliki kompetensi dalam mengelola lingkungan.
e. Tujuan hidup (purpose in life) Individu yang telah memasuki dimensi ini adalah individu
yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasa bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna, serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup.
Universitas Sumatera Utara

Sebaiknya, orang yang dikatakan tidak memiliki tujuan hidup ditandai dengan karakteristik seperti: kurang memahami makna hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lampau, tidak memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dalam hidup.
Rogers (1970) menyebutkan adanya hidup yang berrmakna sebagai tujuan hidup dari pribadi yang berfungsi sepenuhnya. Setiap saat dalam hidup seringkali adalah sesuatu yang baru, tidak dapat diramalkan, memiliki makna tersendiri dan unik. Individu bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalamannya, individu akan merasa hidup lebih bermakna. Perasaan seperti itu akan membuat hidup lebih terarah dan tidak terjerat pada pengalaman masa lampau.
Jadi dapat disimpulakan taraf psychological well-being seseorang dalam dimensi keterarahan hidup tercermin dari sejauh mana ia:
1. Memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan hidup 2. Memiliki makna terhadap hidup sekarang dan masa lalu
f. Perkembangan pribadi (personal growth)
Universitas Sumatera Utara

Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu. Rogers mengatakan bahwa pribadi yang berfungsi sepenuhnya memiliki keterbukaa pada pe gala a . I dividu ya g terbuka terhadap pengalaman akan lebih sadar terhadap dunia sekelilingnya dan tidak berhenti pada pertimbangan-pertimbangan sebelumnya yang mungkin kurang benar. Pribadi yang berfungsi sepenuhnya selalu berkembang dan tidak puas hanya pada kondisi tetap, dimana semua masalah sudah selesai dipecahkan. Ryff (1989) mengatakan optimal psychological functioning sebagai suatu tedensi pengembangan potensi, untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Beberapa ahli menyebutnya sebagai aktualisasi diri, realisasi diri atau pertumbuhan. Maslow mengatakan bahwa manusia tidak pernah berada dalam kondisi statis, namun selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang berbeda (Maslow dalam Hjelle & Ziegler, 1992) Secara umum Ryff (1989)
Universitas Sumatera Utara

mengartikan realisasi diri atau aktualisasi diri sebagai sejauh mana seseorang merealisasikan potensinya melalui kegiatan nyata yang terus menerus. Sedangkan orang yang tahap dimensi pertumbuhan pribadinya merasa bahwa dirinya mengalami stagnasi, kurang merasa berkembang dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk membentuk sikap atau perilaku yang baru.
Dengan demikian taraf psychological well-being dalam dimensi pertumbuhan pribadi dapat tercermin dari sejauh mana seseorang:
1. Memiliki perasaan akan perkembangan yang berkelanjutan. 2. Terbuka terhadap pengalaman. 3. Merealisasikan potensi yang dimiliki. 4. Menyadari potensi, kemajuan diri dan tingkah laku setiap
saat. 5. Pemahaman diri dan efektifitas hidup yang semakin baik.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological well-being Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap PWB seseorang,
sehingga tidak semua orang memiliki tingkat PWB yang sama. Melalui berbagai penelitian yang dilakukan , Ryff ( 1989 ) mengemukakan
Universitas Sumatera Utara

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi PWB seseorang dan berikut ini akan dijelaskan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan PWB seseorang. a. Usia
Ryff (1989) menemukan adanya perbedaan tingkat PWB pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi pemguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertumbuhan usia. Semakin bertambah usia seseorang ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungan nya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.
b. Dukungan sosial Merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif
(mendukung) kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari orang-orang yang cukup bermakna dalam hidupnya. dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat memberikan peramalan akan wellbeing seseorang. Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan
Universitas Sumatera Utara

hidup. Dalam hal ini perempuan yang lesbian memiliki masalah , karena orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman biasa nya tidak mendukung dan tidak dapat menerima bahwa orang yang mereka sayangi adalah seorang lesbian. Namun ada juga sekelompok orang yang mendukung, yaitu teman-teman sekomunitas lesbian, yang merasa senasib dengan mereka. c. Status sosial ekonomi
Ryff dkk, (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status social ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki PWB yang lebih tinggi.
d. Budaya Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme
kolektivisme memberi dampak terhadap PWB yang dimiliki suatu
Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Budaya barat memilki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi kolektivitas memiliki skor lebih tinggi pada hubungan positif dengan orang lain. Dalam budaya Indonesia itu masih menentang menganggap tabu mengenai homoseksualitas, sehingga hal ini dapat mempengaruhi bagaimana PWB lesbian itu sendiri.
e. Religiusitas Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan
hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000). Individu lesbian sering merasa berdosa dan dirinya tidak layak mendekat kepada Tuhan karena telah melanggar koadrat dan norma masyarakat, hal ini dapat mempengaruhi rendahnya PWB pada lesbian.
f. Kepribadian Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan
sosial, seperti penerimaan diri, mampu menjalin hub