Gambaran Psychological Well-Being Pada Individu Biseksual yang Berpacaran

(1)

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA INDIVIDU

BISEKSUAL YANG BERPACARAN

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh :

ENNI HANAMI SIANTURI

051301118

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Enni Hanami Sianturi dan Rohdiatul Hassanah Siregar, M.Si

ABSTRAK

Hubungan romantis ataupun pacaran pada individu biseksual dapat mempengaruhi psychological well-being individu tersebut. Psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, 1995). Ryff (1989) menyebutkan bahwa psychological

well-being terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki

hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi

(autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara mendalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah individu biseksual yang berpacaran dengan laki-laki dan perempuan sebanyak tiga orang dimana responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak dua orang dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak satu orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan psychological

being pada ketiga responden yang terlihat dari kualitas dimensi psychological well-being pada setiap responden. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa adanya

faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran seperti dukungan sosial, kepribadian, pola asuh dan budaya.


(3)

A Description of Psychological Well-Being On The Dating Bisexual Individuals Enni Hanami Sianturi and Rohdiatul Hassanah Siregar, M.Si

ABSTRACT

Romantic relationship or dating on bisexual individuals may affect psychological well-being that individual

.

Psychological well-being refers to the one’s feelings about daily activity. These feeling can range from the negative mental conditions, such as life dissatisfaction, anxiety, and more to the positive mental state, such as realitation of potential or self actualization (Bradburn,1995). Ryff (1989) has argued that psychological well-being has six dimension; self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth. The purpose of this research is to describe psychological well-being on the dating bisexual individuals. The research respondent are three bisexsual who are dating with men and female, which is two female respondent and one men respondent.

Results shown that there is the psychological well-being differences at the three respondent from the psychological well-being dimension quality at each respondent. The result also shown that there are factors which affect psychological well-being on bisexuals who are dating, like social support, personality, parenting and culture.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan begitu banyak kekuatan dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Gambaran Psychological Well-Being Pada Individu Biseksual yang Berpacaran” Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah tercinta, Drs.Oloan P.Sianturi; dan Mama tersayang yang hebat, Elfina Purba atas segala do’a, cinta, kasih sayang, pengertian serta dukungannya baik moril maupun materil yang selalu menyertai langkah penulis. Semoga Tuhan selalu memberkati keduanya dalam setiap keadaan. Tak lupa pula kepada kakak, Mona Elisa Sianturi,Amd; kedua abangku, Juan Doli David Sianturi dan Zovai Hiskia Sianturi, SKG; adikku, Kapita Nadya Sianturi yang selalu memberikan doa, perhatian, saran dan dukungan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp.A.(K), selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Rohdiatul Hassanah Siregar, M.Si, selaku dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih telah bersedia meluangkan waktu dan menjadi pembimbing bagi penulis dengan penuh kesabaran dan semangat memberikan masukan, arahan, saran dan kritikan yang sangat membantu penulis dalam memahami dan menemukan esensi dari sebuah penelitian dan pada akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini meskipun berada di tengah-tengah kesibukan yang sangat padat dan rintangan yang sangat berat.


(5)

3. Ibu Siti Amnah, M.Si selaku dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian, bimbingan, masukan dan nasehat ibu dari awal saya kuliah sampai saat ini.

4. Ibu Ridhoi Meilona Purba, M.Si. Terimakasih banyak atas dukungan, perhatian, saran dan nasehatnya ya, kak. Tetap semangat dan semoga kakak bisa menjadi ibu bagi anak-anak remaja kota Medan.

5. Ibu Josetta M.R.T, M.Si, terima kasih banyak atas perhatian dan semangatnya ya, bu..

6. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Psikologi USU atas segala ilmu dan bantuan yang diberikan selama perkuliahan: Pak Iskandar, Pak Aswan, Pak Wanto, Kak Ari, Kak Devi, Bang Ali, Bu Ila dan Bu Ida yang selama ini membantu dalam urusan administrasi. Terima kasih ya.

7. Kak Ruslinda Desiana Ginting (kakak dan pengajar terbaik) yang selalu punya waktu untuk mendengarkan keluh kesahku. Terimakasih atas perhatian, motivasi,

brainstorming, nasehat, do’a yang terus menerus mengalir dan juga

marah-marahnya.

8. Para penghiburku yang luar biasa: Heni Juliartha, Edwina Tanya, Lindawaty Simbolon dan Ernita Sari. Terimakasih atas perhatian, semangat, doa dan penghiburan di saat-saat penuh tantangan.

9. Saudara-saudara se-pelayanan (YES Fellowship): Bang Hendra, Devi, Litha, Arimbi, Renova, Alex, Amel, Monica, Yulifa, Weni, Ivan, Inoq, Kiki, Jupanri, Priska, Iyus dan Sofie. Terimakasih atas doa, penghiburan dan semangatnya ya...! Kalian membuatku kuat!


(6)

10. Sahabat-sahabat terbaikku: Sevi, Acid, Mirna, Kinan, Raisa, Desti. Terimakasih untuk brainstorming, dukungan, semangat, kritik, marah-marahnya dan semuanya.

11. Teman-teman seperjuangan 2005: Roro, Mitha, Eka, Eva Anggi. Terimakasih atas bantuan, semangat dan dukungannya ya.. Retno dan Siti Masyitah, ayo lebih bersemangat!!!

12. Andy, Cici dan Diftha. Terimakasih untuk semangat, motivasi dan bantuan yang sangat berharga yang kalian berikan kepadaku. Tetap semangat dalam menjalani hidup ini ya... Pasti bisa!

13. M.Fadlan “Veadl”, terimakasih banyak atas bantuan, saran, dukungan dan penghiburannya. Jangan suka bolos kuliah lagi, dek.

14. Bang Tatar Jordan Panggabean, terimakasih banyak untuk nasehat, dorongan, doa dan semangatnya.

15. Sahabat-sahabat “poeja”: Eda Beatrix dan Eda Yani. Terimakasih banyak untuk penghiburan, motivasi dan doanya ya. Lanjutkan perjuangan!

16. Alexander, Benect, Gita, Angela “nenek” dan Nia. Terimakasih atas bantuan, semangat dan penghiburan yang kalian berikan kepadaku. Alex, Benect, Gita, dan nenek cepat nyusul ya.. semangat!

17. Adik-adik 2008: Septi Utami, Suri, Ririn, Annisa Hsb, Mayrinda, Della, Ester Hotma. Terimakasih banyak atas bantuan, semangat, marah-marahnya terutama kelucuan kalian. Jangan suka bolos kuliah, rajin-rajin belajar dan sering-sering diskusi ya, dek. Jangan suka ngegosip juga.

18. Seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terimakasih atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan.


(7)

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan. Penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Medan, Maret 2010

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Daftar Isi ...v

BAB I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

1. Manfaat Teorits ... 7

2. Manfaat Praktis ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. LANDASAN TEORI ... 10

A. Biseksual... 10

1. Pengertian Biseksual... 10

2. Perkembangan Identitas pada Biseksual...11

B. Psychological Well-Being...12

1. Definisi Psychological Well-Being... 12

2. Dimensi Psychological Well-Being...14

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological well-being………...19

C. Gambaran Psycological Well-Being pada Individu Biseksual yang Berpacaran...21

BAB III. METODE PENELITIAN ...24


(9)

B. Responden Penelitian ... 26

1. Karakteristik Responden Penelitian ...26

2. Jumlah Responden Penelitian ...26

3. Teknik Pengambilan Sampel ... 27

4. Lokasi Penelitian ... 27

C. Metode Pengumpulan Data... 27

1. Wawancara ... 27

D. Alat Bantu Pengumpulan data ... 28

1. Alat Perekam (tape recorder)... 29

2. Pedoman Wawancara ... 29

E. Lembar Observasi Respoden...29

F. Kredibilitas Penelitian... 30

G. Prosedur Penelitian... 30

1. Tahap Persiapan Penelitian... 30

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian... 33

3. Tahap Pencatatan Data... 35

H. Teknik dan Proses Pengolahan Data... 35

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI... 38

A. Responden I... 38

1. Analisa Data... 38

2. Interpretasi Intra Responden... 56

B. Responden II... 60

1. Analisa Data... ... 60

2. Interpretasi Intra Responden ... ... 77


(10)

1. Analisa Data... 82

2. Interpretasi Intra Responden ... 99

D. Pembahasan………..108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...113

A. Kesimpulan...113

B. Saran... 114

1. Saran Praktis... ... 114

2. Saran Penelitian Selanjutnya... 115 DAFTAR PUSTAKA


(11)

Enni Hanami Sianturi dan Rohdiatul Hassanah Siregar, M.Si

ABSTRAK

Hubungan romantis ataupun pacaran pada individu biseksual dapat mempengaruhi psychological well-being individu tersebut. Psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, 1995). Ryff (1989) menyebutkan bahwa psychological

well-being terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki

hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi

(autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara secara mendalam (in-depth interview). Responden penelitian adalah individu biseksual yang berpacaran dengan laki-laki dan perempuan sebanyak tiga orang dimana responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak dua orang dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak satu orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan psychological

being pada ketiga responden yang terlihat dari kualitas dimensi psychological well-being pada setiap responden. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa adanya

faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran seperti dukungan sosial, kepribadian, pola asuh dan budaya.


(12)

A Description of Psychological Well-Being On The Dating Bisexual Individuals Enni Hanami Sianturi and Rohdiatul Hassanah Siregar, M.Si

ABSTRACT

Romantic relationship or dating on bisexual individuals may affect psychological well-being that individual

.

Psychological well-being refers to the one’s feelings about daily activity. These feeling can range from the negative mental conditions, such as life dissatisfaction, anxiety, and more to the positive mental state, such as realitation of potential or self actualization (Bradburn,1995). Ryff (1989) has argued that psychological well-being has six dimension; self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, and personal growth. The purpose of this research is to describe psychological well-being on the dating bisexual individuals. The research respondent are three bisexsual who are dating with men and female, which is two female respondent and one men respondent.

Results shown that there is the psychological well-being differences at the three respondent from the psychological well-being dimension quality at each respondent. The result also shown that there are factors which affect psychological well-being on bisexuals who are dating, like social support, personality, parenting and culture.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan manusia tidak pernah statis. Dimulai dari pembuahan sampai kematian selalu terjadi perubahan, baik dalam kemampuan fisik maupun kemampuan psikologis. Perubahan inilah yang disebut sebagai perkembangan dalam rentang kehidupan manusia. Manusia memiliki tahapan perkembangan dengan tugas-tugas perkembangan yang penting untuk berbagai tahapan rentang kehidupan. Salah satu tahapan dalam rentang kehidupan manusia adalah masa dewasa awal atau dewasa dini (dalam Hurlock, 1999).

Masa dewasa awal atau dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Individu yang berada pada masa dewasa awal atau dewasa dini diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/isteri, orangtua, dan pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Masa dewasa awal atau dewasa dini memiliki beberapa tugas perkembangan, salah satu diantaranya adalah memilih pasangan. (dalam Hurlock, 1999).

Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 1998), masa dewasa awal (young adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy versus isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif dan membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini


(14)

timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.

Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Genbeck dan Patherick (2006) menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam berpacaran yaitu keintiman dengan pasangan dan berbagi dengan orang lain yang merefleksikan tugas perkembangan pada masa ini.

Individu dewasa awal atau dewasa dini mencari keintiman emosional dan fisik kepada pasangan romantis. Hubungan ini mensyaratkan keterampilan seperti kesadaran diri, empati, kemampuan mengkomunikasikan emosi, pembuatan keputusan seksual, penyelesaian konflik dan kemampuan mempertahankan komitmen. Keterampilan tersebut sangat penting ketika individu dewasa awal atau dewasa dini memutuskan untuk menikah, membentuk pasangan yang tidak terikat pernikahan, atau hidup seorang diri, atau memiliki atau tidak memiliki anak (Lambeth & Hallet dalam Papalia, 2008). Hal ini jugalah yang terjadi pada individu biseksual.

Biseksual merupakan sebuah istilah yang merupakan salah satu dari tiga klasifikasi utama orientasi seksual manusia disamping homoseksual dan heterogenitas. Orientasi seksual dapat dilihat sebagai salah satu dari empat komponen yaitu identitas seksual, jenis kelamin secara biologis, identitas gender, dan peran seks secara sosial (Shively & De Cecco dalam Fox, 2000). Suatu literatur penelitian telah mengemukakan secara jelas berbagai macam kriteria untuk mendefinisikan orientasi seksual, termasuk di antaranya perilaku seksual, affectional attachment (close


(15)

sebagai biseksual, heteroseksual, atau homoseksual (Shively, Jones & De Cecco dalam Fox, 2000).

Seksologis Jerman, Krafft-Ebing menyebut biseksual dengan sebutan

psychosexual hermaphroditism, yaitu merujuk pada eksistensi dua seks biologis dalam

satu spesies atau kejadian yang merupakan kebetulan dari karakteristik pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Namun, penggunaan dari biseksual telah mengalami perubahan. Ellis (dalam Storr, 1999) kemudian meninggalkan istilah

psychosexual hermaphroditism dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat

seksual untuk pria maupun wanita yang dialami oleh individu. Menurut Freud (1905), biseksual merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas sedangkan menurut Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homoseksualitas (dalam Storr, 1999).

Masters (1992) mengatakan bahwa biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada pria dan wanita (Robin & Hammer dalam Matlin, 2004). Selain itu, biseksual juga dapat didefinisikan sebagai orientasi seksual yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Orang-orang yang memiliki orientasi biseksual, dapat mengalami pengalaman seksual, emosional dan ketertarikan afeksi kepada sesama jenis dan lawan jenis (dalam wikipedia, 2008).

Kinsey dalam penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan sekitar 1% individu mengatakan bahwa diri mereka adalah biseksual yaitu 1,2% pria dan 0,7% wanita (dalam Santrock, 2003). Di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang


(16)

menunjukkan presentasi biseksual karena wacana sosial tentang biseksual masih terbatas (Oetomo, 2006).

Individu gay, lesbi atau biseksual sering mengalami diskriminasi. Di masyarakat Indonesia sering didengar larangan dan ancaman dari para pemimpin agama, yang tanpa berpikir panjang dan membaca lebih cermat teks-teks keagamaan dengan mudahnya menyatakan mereka sebagai orang berdosa. Hal ini sangat menyakitkan bagi kaum gay, lesbi dan biseksual di Indonesia. Tidak adanya pengakuan dalam kehidupan bermasyarakat juga merupakan perilaku diskriminatif. Media massa jarang membahas isu-isu yang penting untuk kaum gay, lesbi dan biseksual (Oetomo, 2006).

Secara khusus, kaum biseksual sering mendapatkan penolakan dari komunitas heteroseksual dan homoseksual. Hal ini dikarenakan adanya prasangka seksual. Kaum heteroseksual cenderung meyakini bahwa kaum biseksual seringkali tidak setia kepada pasangannya (Peplau & Spalding dalam Matlin, 2004). Bagi kaum lesbi dan gay, mereka sering meyakini bahwa individu biseksual membingungkan dan kaum lesbi dan gay kadang-kadang memunculkan prasangka seksual untuk mencegah kaum biseksual dari munculnya pengakuan kaum biseksual yang menyatakan mereka adalah kaum lesbi dan gay (Herdt, Rust, Peplau & Spalding dalam Matlin, 2004). Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Beby (bukan nama sebenarnya):

“Iya... aku pure lesbi dan dari kecil emang udah lesbi... Menurut pandangan aku, sebenarnya aku agak-agak sebel dengan yang namanya cewek biseksual. Tapi aku masih bisa kok menghargai mereka karena orientasi seksual masing- masing orang emang berbeda. Kenapa aku agak-agak sebel? Di mata aku, cewek biseksual itu kesannya munafik...sebenarnya mereka mau yang mana nih? Kenapa harus dua-duanya? Terus kesannya gimana ya? Agak-agak jijik juga ya sama biseksual, tapi kalo ini tentang melakukan hubungan seks ya. Males kali lah kalo tau mereka udah pernah ngeseks sama laki-laki... Ihhhh...gak banget deh... Jadi ya gitulah, bingung aja gitu aku sama biseks... Aku ngeliat mereka kayak orang plin plan” (komunikasi personal, Medan, 15 Februari 2009)


(17)

Pada umumnya, individu biseksual memiliki fluktuasi dalam ketertarikan yang romantis. Mereka merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis lebih awal dibandingkan merasakan ketertarikan terhadap sesama jenisnya (Fox & Weinberg et al dalam Matlin, 2004). Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Ogy (bukan nama sebenarnya):

“pertama kalinya tu suka ma ceweklah, nok.. kek mana ya..? kejadiannya tu gak disengaja gitu. Awalnya ada gay yang sukak ma aku, terakhirnya aku pun jadi suka juga ma dia. Dia pun baik kali samaku, terakhir jadi timbul perasaanlah sama dia (komunikasi personal, Medan, 17 Mei 2009).

Hubungan romantis ataupun pacaran dapat berpengaruh terhadap psychological

well-being individu biseksual. Kepuasan hubungan romantisme, komitmen terhadap

pasangan dan coming out ataupun self-disclosure terhadap pasangan dan orang lain dapat menimbulkan konflik intrapersonal maupun interpersonal seperti stress, kecemasan dan ketakutan yang akan berpengaruh terhadap psychological well-being individu biseksual tersebut (dalam Savin-William & Cohen, 1995). Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Jhoni (bukan nama sebenarnya):

“yang pasti stress lah membagi perasaan ini.. Itu dua, aku pun bingung, kalo bisa di belah, di belahlah... tapi ini gak bisa dibelah pula..” (komunikasi personal, Medan 21 Oktober 2009)

Hal serupa juga dialami oleh Ogy (bukan nama sebenarnya) dalam pernyataan berikut: .”Iya, nok… aku pacaran ma cewek cowok. Kek mana lah ya?? Fifty-fifty gitu dia yang ku rasakan. Di satu sisi aku ngerasa nyaman kali kalau berhubungan sama cowok, di sisi lain kek merasa takut gitulah. Takutlah kalau orang-orang tahu aku ni biseks. (komunikasi personal, Medan, 17 Mei 2009)”

Psychological well-being (yang selanjutnya disebut dengan PWB) merujuk

pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).


(18)

Ryff mengajukan beberapa literatur untuk mendefinisikan kondisi mental yang berfungsi positif yaitu Rogers menyebutnya dengan istilah fully functioning person, Maslow menyebutnya dengan konsep self-actualized person, dan Jung mengistilahkannya dengan individuasi, serta Allport menyebutnya dengan konsep

Maturity (Ryff,1989). Ryff (dalam Keyes,1995) juga menyatakan bahwa PWB dapat

ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi.

Ryff (1989) menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki hubungan positif dengan orang lain

(positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

“Bagaimana gambaran psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological

well-being pada individu biseksual yang berpacaran.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis


(19)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain: 1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi

terutama pada bidang klinis, mengenai gambaran psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran.

2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain: 1. Memberi gambaran kepada individu biseksual mengenai psychological

well-being.

2. Memberikan informasi kepada individu biseksual tentang pentingnya PWB sehingga individu biseksual dapat mengurangi faktor-faktor yang menyebabkan stress, kecemasan, depresi, sehingga mereka dapat lebih sejahtera secara psikologis .

3. Menjadi sumbangan informasi bagi lingkungan sekitar individu biseksual agar dapat memberikan dukungan positif sehingga kaum biseksual dapat memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi.

E. Sistematika Penulisan

Proposal penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Memuat latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.


(20)

Memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori biseksual, definisi psychological well-being, dimensi-dimensi

psychological well-being dan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being.

Bab III : Metode Penelitian

Menjelaskan Karakteristik Subjek dan Jumlah Subjek, Metode Pengambilan Data, Teknik Pengambilan Sampel, dan Alat Bantu Pengambilan Data.


(21)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Biseksual

1. Definisi Biseksual

Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu spesies atau kejadian yang merupakan kebetulan dari karakteristik pria dan wanita dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Ellis (dalam Storr, 1999) kemudian meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism dan memperluas makna dari biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria maupun wanita yang dialami oleh individu. Menurut Freud (1905), biseksual merupakan kombinasi dari maskulinitas dan feminitas, sedangkan menurut Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual bukanlah merupakan kombinasi dari maskulinitas dan femininitas melainkan heteroseksualitas dan homoseksualitas (dalam Storr, 1999).

Dalam pengertian umumnya, biseksual adalah orientasi seksual yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis, dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada laki-laki dan perempuan (Robin & Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004).

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biseksual adalah istilah untuk orang dengan orientasi seksual yang memiliki ketertarikan estetis, psikologis, emosional dan seksual baik kepada laki-laki maupun perempuan.


(22)

Terdapat empat tingkatan pada biseksual dalam menghadapi identitas mereka (Weinberg dkk, 1994):

a. Initial Confusion

Merupakan periode yang sangat membingungkan, ragu dan berjuang dengan identitas mereka sebelum mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai biseksual. Biasanya merupakan langkah awal dalam proses menjadi biseksual. Bagi beberapa biseksual, periode ini dilewati dengan perasaan seksual yang kuat terhadap kedua jenis kelamin yang sangat mengganggu, tanpa orientasi, dan terkadang menakutkan. b. Finding And Applying The Label

Pada beberapa orang yang awalnya belum mengenal istilah biseksual, biasanya mereka mendapatkan istilah tersebut dengan mendengar, membacanya di suatu sumber, atau mempelajarinya dari komunitas biseksual. Penemuan ini membuat perasaan mereka menjadi lebih bermakna sehinga hal ini kemudian menjadi titik balik dalam kehidupan mereka. Dilain pihak ada pula yang sudah memiliki pengetahuan tentang biseksual namun belum dapat melabelnya pada diri mereka. Hal ini terjadi pada mereka yang awalnya merasakan dirinya sebagai homoseksual. Selain itu ada pula yang tidak menjalani titik balik yang spesifik dalam kehidupannya namun perasaan seksual terhadap kedua jenis kelamin terlalu sulit untuk disangkal. Mereka pada akhirnya menyimpulkan untuk tidak memilih. Faktor terakhir yang mengarahkan seseorang untuk memakai label biseksual adalah dorongan yang datang dari teman-teman yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai biseksual.

c. Settling into the identity

Tingkatan ini dikarakteristikkan dengan transisi yang lebih rumit dalam

self-labeling. Pada tingkat ini mereka lebih dapat menerima diri, tidak begitu


(23)

d. Continued uncertainity

Banyak pria dan wanita yang meragukan identitas biseksual mereka karena hubungan seksual yang eksklusif. Setelah terlibat secara eklusif dengan pasangan berbeda jenis dalam waktu tertentu, beberapa diantara mereka mempertanyakan sisi homoseksual dari seksualitas mereka. Sebaliknya, setelah terlibat dengan pasangan sejenis, mereka mulai mempertanyakan komponen heeroseksual dalam seksualitas mereka.

B. Psychological Well-Being

1. Definisi Psychological Well-Being

Istilah Psychological Well-Being (PWB) berawal dari tulisan filsuf Aristoteles mengenai eudaimonia (Ryff,1989). Istilah ini tidak hanya sekedar berarti kebahagiaan atau menunjukkan antara kepuasaan terhadap keinginan yang benar dan salah

(Hedonistic), melainkan Eudaimonia lebih memberikan karakteristik yang tertinggi

dari keberadaan manusia, yaitu berjuan untuk mencapai kesempurnaan dengan jalan merealisasikan potensi yang sebenarnya. Aristoteles (dalam Ryff,1989) berpendapat bahwa pengertian bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu, melainkan melalui tindakan nyata yang mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki individu. Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggungjawab manusia sehingga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal.


(24)

Pada intinya psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff dan Keyes, 1995). Ryff mengajukan beberapa literatur untuk mendefinisikan kondisi mental yang berfungsi positif yaitu Rogers menyebutnya dengan istilah fully functioning person, Maslow menyebutnya dengan konsep

self-actualized person, dan Jung mengistilahkannya dengan individuasi, serta Allport

menyebutnya dengan konsep Maturity (Ryff,1989).

PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagiaan (hapiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

Ryff menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa psychological

well-being (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya

perasaan bahagia, mempunyai kepuasaan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi.


(25)

Menurut Ryff (dalam Keyes, 1995), pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif

(positive psychological functioning). Komponen individu yang mempunyai fungsi

psikologis yang positif yaitu:

1. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Self-acceptance dalam PWB ini berkaitan dengan penerimaan individu pada

masa kini dan masa lalunya. Selain itu juga berkaitan dengan adanya penilaian positif atas kondisi diri sendiri.

Seseorang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri adalah mereka yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya, individu yang memiliki nilai yang rendah adalah mereka yang menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, mengalami masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri.

2. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Komponen lain dari PWB adalah kemampuan individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan yang kuat dalam melakukan empati dan afeksi terhadap sesama manusia,


(26)

memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan identifikasi yang baik dengan orang lain.

Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan mempunyai hubungan yang intim, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi. Selain itu, ia memiliki kedekatan (intimacy) dengan orang lain dan mampu memberikan bimbingan serta pengarahan kepada orang lain (generativity). Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif menunjukkan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, terbuka dan peduli dengan orang, merasa terasing dan frustasi dalam hubungan interpersonalnya, serta tidak bersedia untuk melakukan kompromi agar dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain.

3. Otonomi (Autonomy)

Ciri utama seseorang yang memiliki otonomi yang baik antara lain kemampuan untuk menentukan nasib sendiri, kemampuan untuk mengatur tingkah laku, dan kemampuan untuk mandiri. Ia mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal, bukan tergantung pada penilaian orang lain terhadap dirinya.

Sebaliknya, individu yang kurang memiliki otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain,


(27)

berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu.

4. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Kemampuan untuk menguasai lingkungan didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, atau mengelola lingkungan agar berjalan seiring dengan kondisi psikologis dirinya dalam rangka pengembangan diri. Individu yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya, individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya.

5. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Kondisi mental yang sehat memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani serta mampu memberikan makna pada hidup yang ia jalani. Allport (1961) menjelaskan bahwa salah satu ciri kematangan individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni memiliki rasa keterarahan (sense of directedness) dan tujuan (intentionality). Selain itu, Rogers (1961) mengemukakan bahwa fully functioning person memiliki tujuan dan


(28)

cita-cita serta rasa keterarahan yang membuat dirinya merasa bahwa hidup ini bermakna (Ryff, 1989).

Individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan sasaran hidup yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1995).

6. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Individu yang matang secara psikologis tidak hanya mampu mencapai karakteristik-karakteristik pribadi dan pengalaman terdahulu., melainkan juga mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu yang fully functioning. Untuk dapat berfungsi sepenuhnya, individu harus memiliki keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang terbuka pada pengalaman akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya dan tidak berhenti pada pendapat-pendapat sebelumnya yang kemungkinan tidak benar. Rogers menyebutnya sebagai “keinginan untuk menjadi”. Individu yang mencapai kondisi tersebut tidak berhenti pada suatu keadaan statis dan berhenti mengembangkan dirinya. Justru keterbukaan terhadap pengalaman, selalu menghadapi tantangan dan tugas-tugas baru pada setiap fase kehidupannya. Individu yang matang selalu berusaha mengaktualisasikan dirinya dan menyadari potensi-potensi yang dimiliki.


(29)

Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik (Ryff, 1995).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang antara

lain:

1. Usia.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor psychological

well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri;


(30)

well-being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan; individu yang

berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan diri. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001). 2. Jenis Kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotype ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

3. Status sosial ekonomi

Ryff dkk., (dalam Ryan & Decci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang lebih baik darinya. Menurut Davis (dalam Robinson &


(31)

Andrew, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi.

4. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

D. Gambaran Psychological Well-Being Pada Individu Biseksual Yang Berpacaran.

Masa dewasa awal atau dewasa dini memiliki beberapa tugas perkembangan, salah satu diantaranya adalah memilih pasangan. (dalam Hurlock, 1999). Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran. Gembeck dan Patherick (2006) menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam berpacaran yaitu keintiman dengan pasangan dan berbagi dengan orang lain yang merefleksikan tugas perkembangan pada masa ini. Hal ini jugalah yang terjadi pada individu biseksual.

Biseksual merupakan sebuah istilah yang merupakan salah satu dari tiga klasifikasi utama orientasi seksual manusia disamping homoseksual dan heterogenitas. Masters (1992) mengatakan bahwa biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada pria dan wanita (Robin & Hammer dalam Matlin, 2004). Selain


(32)

itu, biseksual juga dapat didefinisikan sebagai orientasi seksual yang mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis dan hasrat seksual kepada pria dan wanita. Orang-orang yang memiliki orientasi biseksual, dapat mengalami pengalaman seksual, emosional dan ketertarikan afeksi kepada sesama jenis dan lawan jenis (dalam wikipedia, 2008).

Kinsey dalam penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan sekitar 1% individu mengatakan bahwa diri mereka adalah biseksual yaitu 1,2% pria dan 0,7% wanita (dalam Santrock, 2003). Di Indonesia sendiri belum ada data statistik yang menunjukkan presentasi biseksual karena wacana sosial tentang biseksual masih terbatas (Oetomo, 2006). Individu gay, lesbi atau biseksual sering mengalami diskriminasi. Secara khusus, kaum biseksual sering mendapatkan penolakan dari komunitas heteroseksual dan homoseksual.

Pada umumnya, individu biseksual memiliki fluktuasi dalam ketertarikan yang romantis. Mereka merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis lebih awal dibandingkan merasakan ketertarikan terhadap sesama jenisnya (Fox & Weinberg et al dalam Matlin, 2004). Bagi individu biseksual, hubungan romantis ataupun pacaran dapat berpengaruh terhadap Psychological Being mereka. Psychological

Well-Being (yang selanjutnya disebut dengan PWB) merujuk pada perasaan-perasaan

seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif, misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan sebagainya sampai ke kondisi mental positif, misalnya realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995). Ryff (dalam Keyes,1995) juga menyatakan bahwa PWB dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi.


(33)

Ryff (1989) menyebutkan bahwa PWB terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), memiliki hubungan positif dengan orang lain

(positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Kepuasan hubungan romantisme, komitmen terhadap pasangan dan coming out ataupun self-disclosure dapat menimbulkan masalah atau konflik intrapersonal maupun interpersonal seperti stress, kecemasan dan ketakutan yang akan berpengaruh terhadap PWB individu biseksual yang berpacaran (dalam Savin-William & Cohen, 1995).


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar responden penelitian beserta konteksnya.

Menurut Poerwandari (2001) pendekatan kualitatif dipandang sebagai pendekatan yang lebih sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan segala kekompleksitasnya sebagai makhluk subjektif. Untuk itu peneliti berusaha untuk menangkap, memahami dan menaksirkan apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan oleh responden penelitian. Maka kemudian yang dianggap penting adalah pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuan responden yang ditelitinya. Hasil dari pendekatan tersebut dapat diperoleh dari bagaimana gambaran

psychological-well being pada individu biseksual yang berpacaran.

Padgett (1998) mengemukakan beberapa alasan mengapa menggunakan penelitian kualitatif. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penelitian kualitatif digunakan jika peneliti ingin menggali suatu topik yang masih sedikit diketahui.

2. Jika topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman sensitivitas dan emosional.

3. Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan “pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan menciptakan arti darinya.


(35)

4. Diharapkan dapat memasuki “kotak hitam” dari program atau intervensi.

5. Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam mengumpulkan data atau dalam menjelaskan penemuan.

Sama halnya dengan beberapa alasan penggunaan metode penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh Padgett (1998) diatas, maka peneliti menilai bahwa jenis penelitian yang paling tepat untuk menguraikan, menggambarkan atau mendeskripsikan gambaran psychological-well being pada individu biseksual yang berpacaran dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.

Alasan peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif untuk melihat gambaran psychological-well being pada individu biseksual yang berpacaran dikarenakan tema tersebut tidak umum dikaji dalam penelitian psikologi klinis dan bersifat masih baru. Menurut peneliti, metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang dapat diamati sehingga data-data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui gambaran psychological-well being pada individu biseksual yang berpacaran.

Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah. Artinya tidak cukup mencari “what” dan “how much”, tetapi perlu juga memahaminya (“why” dan “how”) dalam konteksnya.


(36)

B. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah:

a. Laki-laki dan Perempuan. b. Usia 20-25 tahun.

c. Biseksual.

d. Sedang menjalani atau sudah pernah berpacaran dengan laki-laki dan perempuan. 2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah responden yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah responden sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

Pada penelitian ini jumlah responden yang direncanakan sebanyak 3 orang individu biseksual, dengan pertimbangan sudah pernah berpacaran dengan laki-laki dan perempuan.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Prosedur pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory based/ operasional

construct sampling), yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu, berdasarkan

teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007).


(37)

Penelitian ini dilakukan di Medan, karena terdapat alasan kemudahan bagi peneliti dalam menemukan responden.Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan keinginan dari responden penelitian agar responden merasa nyaman.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Hal ini sesuai dengan pendapat Padgett (1998) yang mengatakan bahwa ada tiga bentuk dasar metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yaitu: (a) wawancara, (b) observasi dan (c) analisis dokumen. Namun metode observasi dan analisis dokumen tidak dijadikan metode pengumpulan data dalam penelitian ini karena peneliti mempertimbangkan faktor efektifitas dan keterbatasan peneliti.

1. Wawancara

Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan cara tanya jawab antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai (Bungin, dalam Poerwandari, 2001). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan


(38)

tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Adanya pedoman yang demikian mengharuskan peneliti memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).

D. Alat Bantu Pengambilan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisa berdasarkan atas ”kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangatlah penting dan cukup rumit, untuk itu diperlukan suatu instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat perekam (tape recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin responden. Penggunaan

tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang

dikatakan oleh responden, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).


(39)

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

E. Lembar Observasi Responden

Lembar observasi responden digunakan untuk mempermudah proses observasi yang dilakukan. Observasi dilakukan seiring dengan wawancara. Lembar observasi antara lain memuat tentang penampilan fisik, setting wawancara, sikap partisipan pada peneliti selama wawancara berlangsung, hal-hal yang tidak biasa dalam wawancara serta hal-hal yang dilakukan partisipan dalam menjawab pertanyaan selama wawancara.

F. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah pertama, paling banyak dipilih dan paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikankan konsep validitas yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan


(40)

mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks.

G. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan biseksual dan

psychological well-being.

a. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan biseksual.

b. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan

psychological well-being, dimensi psychological well-being dan faktor-faktor yang

mempengaruhi psychological well-being. 2. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori yang ada untuk menjadi pedoman wawancara.

3. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan dan mengumpulkan informasi tentang responden penelitian. Setelah mendapatkannya, lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian.

Peneliti mengenal responden I melalui teman peneliti yang juga merupakan teman responden I. Setelah itu peneliti berteman dengan responden I. Lalu peneliti


(41)

menanyakan kepada responden I apakah ia mempunyai kenalan seorang biseksual yang berpacaran dengan laki-laki dan perempuan. Responden I mengenalkan temannya yang sesuai dengan kriteria. Peneliti kemudian membuat janji untuk bertemu dan berkenalan dengan teman responden I. Akhirnya peneliti bertemu dan berkenalan dengan teman responden I di salah satu rumah makan bersama responden I juga. Saat merasa teman responden I memiliki indikasi bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian, peneliti memintanya untuk menjadi partisipan, namun sebelumnya peneliti memberitahukan alasan serta meminta kesediaan partisipan untuk menjadi sampel dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Kemudian, responden I pun mengajukan diri untuk menjadi responden peneliti. Partisipan I mengaku jujur di hadapan peneliti bahwa ia adalah seorang biseksual yang berpacaran dengan laki-laki dan perempuan serta bersedia menjadi responden peneliti. Pada awalnya teman responden I sudah bersedia, namun tanpa ada alasan yang jelas temannya tersebut menghindar dan menolak untuk menjadi responden peneliti.

Peneliti mengenal responden II dari teman peneliti yang juga adalah teman responden II. Peneliti pun berteman dengan responden II. Peneliti dan responden II sering bertemu dan sudah banyak bercerita sampai akhirnya peneliti mengetahui bahwa responden II adalah seorang biseksual. Responden II pun juga mengetahui bahwa saat ini peneliti sedang mencari responden yang sesuai dengan kriteria. Responden II pun mengatakan bahwa dirinya adalah seorang biseksual yang berpacaran dengan laki-laki dan perempuan. Sebelum meminta kesediaan, responden II mengajukan diri terlebih dahulu untuk menjadi responden peneliti. Lalu kemudian peneliti memberitahukan alasan dan tujuan penelitian yang dilakukan peneliti.

Peneliti mengenal responden III dari teman peneliti yang adalah teman satu kampus responden III. Peneliti bertanya kepada teman peneliti apakah ia memiliki


(42)

kenalan yang adalah seorang biseksual yang berpacaran dengan laki-laki dan perempuan. Teman peneliti pun mengatakan bahwa ia memiliki seorang teman yang adalah biseksual. Lalu peneliti dan teman peneliti mendatangi rumah responden III dan berkenalan langsung dengan responden III. Saat merasa responden III memiliki indikasi bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian, peneliti memintanya untuk menjadi responden, namun sebelumnya peneliti memberitahukan alasan dan tujuan penelitian lalu meminta kesediaannya untuk menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

4. Membangun rapport pada responden

Hal ini dilakukan oleh peneliti terlebih dahulu untuk membangun kepercayaan pada calon responden dalam pengambilan data. Peneliti mengusahakan hubungan yang akrab terlebih dahulu dengan responden. Tanpa membangun rapport yang baik, peneliti tidak akan mendapat informasi yang lebih atau berarti dari subjek penelitian dan hal ini akan menghambat jalannya penelitian dan pengambilan data.

5. Menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti meminta responden untuk bertemu mengambil data. Hal ini dilakukan setelah peneliti melakukan rapport kepada responden sebelumnya. Setelah itu, peneliti dan responden penelitian mengatur dan menyepakati waktu untuk melakukan wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara


(43)

tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani Lembar Persetujuan Wawancara yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Dalam melakukan wawancara, peneliti sekaligus melakukan observasi terhadap responden.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim

Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

3. Tahap Pencatatan Data

Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat


(44)

lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan Hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

H. Teknik dan Proses Pengolahan Data

Data akan dianilisis menurut prosedur penelitian kualitatif, dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode kualitatif. Menurut Poerwandari (2007) proses analisa data adalah sebagai berikut :

a. Koding

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan medetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang dikumpulkannya. Kemudian peneliti memberikan perhatian pada substansi data yang telah dikumpulkan, membaca transkrip begitu transkrip selesai dibuat, membaca transkrip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk menghindari kesulitan dalam mengambil kesimpulan (Poerwandari, 2007).

b. Organisasi Data

Setelah melakukan koding, peneliti lalu mengorganisasikan data-data tersebut dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (kaset hasil rekaman), transkrip wawancara, data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang


(45)

kronologis mengenai perkumpulan data dan langkah analisis (Highlen dan Finley dalam Poerwandari, 2001).

c. Pengujian terhadap dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, kita mengembangkan dugaan-duagaan yang adalah juga kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang berkembang tersebut harus dipertajam serta diuji ketepatannya. Saat tema-tema dan pola-pola muncul dari data untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut (Poerwandari, 2007).

d. Strategi analisis

Analisis terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2007) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata partisipan sendiri maupun konsep yang dkembangkan atau dipilih oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis.

e. Interpretasi

Menurut Kvale (dalam Poerwandari, 2007) interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan partisipan untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkripsi wawancara).


(46)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami bagaimana psychological

well-being pada individu biseksual yang berpacaran maka data akan dijabarkan, dianalisa,

dan diinterpretasi per-subjek. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

A. Responden I 1. Analisa Data

a. Deskripsi identitas diri responden I

Tabel 1. Gambaran Umum Responden I

Keterangan Responden I

Inisial Santi

Usia 25 tahun

Agama Islam

Jenis Kelamin Perempuan

Urutan Dalam Keluarga Anak ketiga dari tiga bersaudara

b. Latar Belakang Responden I (Santi)

Responden I bernama Santi (bukan nama sebenarnya) yang genap berusia 25 tahun pada bulan 12 ini adalah seorang perempuan berkulit putih, mata sedikit sipit dengan bola mata berwarna hitam, tinggi badan 160 cm, berat badan 50 kg dan berambut hitam yang panjangnya sebahu.

Santi yang berstatus belum menikah ini merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Santi memiliki dua abang yang keduanya sudah menikah. Abangnya yang pertama sudah memiliki 2 anak perempuan sedangkan yang kedua belum memiliki anak. Sebagai anak yang paling kecil di dalam keluarga, Santi tetap dituntut untuk


(47)

mandiri dari sejak kecil. Oleh orangtuanya Santi sering ditinggal di rumah sejak kecil, sehingga hal tersebut membuat Santi tumbuh menjadi manusia mandiri. Selama ia mampu segala sesuatu ia kerjakan sendiri. Santi lahir dari campuran keluarga Melayu dan Tionghoa. Ayah Santi yang suku Melayu sampai sekarang memiliki usaha dagang dan ibunya yang suku Tionghoa merupakan pensiunan pegawai swasta.

Santi adalah seorang biseksual yang saat ini sedang berpacaran sekaligus dengan laki-laki dan perempuan. Dalam perjalanan hidupnya Santi memiliki masa lalu yang sangat mengecewakan dirinya sehingga ia berpikir bahwa masa lalu itulah yang membuat ia menjadi seorang biseks. Masa lalu itu adalah sikap ayahnya yang terlalu kasar dan suka memukul Santi sejak dia masih anak-anak sampai sekarang. Bukan hanya kepada Santi tetapi juga kepada ibu dan kedua abangnya. Santi sudah tidak merasa takut atas perlakuan ayahnya karena sudah terbiasa dipukul sejak Santi masih anak-anak sehingga dia berani melawan ayahnya. Perasaan capek dan jenuh atas pertengkaran dengan ayahnya ini membuat dia memutuskan untuk pergi dari rumah. Saat ini Santi tinggal bersama temannya di rumah kost. Santi mengakui bahwa ia memiliki wujud seorang bapak yang tidak berguna sehingga ia berpikir bahwa tanpa laki-laki ia pun bisa hidup.

Pada awalnya, Santi mengalami ketertarikan dengan laki-laki pada saat ia berada di bangku SMP. Ketika menginjak bangku SMA, Santi dekat dengan seorang perempuan, ia tertarik dan kagum pada kepribadiannya sehingga membuat Santi merasa ingin lebih dekat lagi dengan perempuan itu. Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk menjalani hubungan pacaran dengan perempuan tersebut. Inilah pertama kalinya Santi berpacaran, yaitu dengan perempuan. Sampai saat ini ia telah berpacaran dengan pacaran perempuan sebanyak 5 kali.


(48)

Pada usianya yang ke 22 tahun, Santi pernah menjalin hubungan pacaran dengan laki-laki. Namun hubungan tersebut hanya berlangsung selama 2 minggu, karena Santi hanya kasihan kepada laki-laki itu dan tidak menyukainya. Ketika pacaran untuk kelima kalinya dengan perempuan (pacar Santi saat ini), Santi yang sudah berhubungan pacaran jarak jauh dengan kekasihnya ini mengalami konflik yang pada akhirnya membuat mereka harus berpisah. Sampai akhirnya Santi dekat dengan temannya yang laki-laki yang sudah berteman dengannya selama 4 tahun dan akhirnya mereka memutuskan untuk berpacaran. Seiring berjalannya waktu, mantan pacar Santi yang perempuan datang ke Medan dan membuat mereka menjadi dekat kembali, tanpa ada kata “jadian” mereka berhubungan. Pada awalnya Santi menolak dan mengatakan bahwa ia sudah memiliki pacar laki-laki. Namun karena rasa sayang yang masih dimiliki oleh keduanya, pada akhirnya mereka kembali menjalin hubungan. Sampai saat ini, Santi terlibat dua cinta yang berlainan jenis dan hubungan ini sudah berlangsung selama 3 tahun. Santi berpacaran jarak jauh dengan perempuan dan tinggal satu kota dengan pacarnya yang laki-laki.

Ketika menjalani hubungan dengan kedua pacarnya tidak jarang Santi membawa hubungannya ini dengan sholat. Sebagai seorang yang beragama Islam, terkadang Santi merasa malu kepada Tuhan ketika menjalani sholat, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain mengadu kepada Penciptanya. Walaupun menjalankan sholat, Santi tidak terlibat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan agama Islam. Santi lebih memilih untuk berjalan sendiri daripada harus mengikuti kegiatan-kegiatan agama. Di usia Santi yang menginjak usia 25 tahun, ia belum bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk hubungannya. Sebenarnya Santi ingin memilih untuk berhubungan dengan salah satu pacarnya namun sampai sekarang ia tidak bisa berbuat


(49)

apa-apa karena belum mendapatkan celah untk berpisah dengan salah satu dari mereka.

Peneliti mengenal Santi dari teman peneliti yang merupakan teman Santi. Peneliti mengenal Santi sejak 5 bulan yang lalu. Peneliti menanyakan secara langsung apakah Santi seorang biseksual dan apakah bersedia menjadi responden penelitian pada penelitian ini dan peneliti menjelaskan prosedur penelitian yang akan dilakukan. Setelah mendapatkan kesediaan langsung dari Santi untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti kemudian menentukan jadwal pertemuan berikutnya dengan Santi untuk selanjutnya melakukan wawancara.

Tabel 2. Waktu Wawancara Responden I

Hari/Tanggal wawancara Waktu wawancara Tempat wawancara

Sabtu/14 November 2009 11.15 – 12.15 WIB Rumah Kost Responden I

Rabu/18 November 2009 17.30 – 18.45 WIB Rumah Teman Responden I Jumat/20 November 2009 20.30 – 21.45 WIB Rumah Kost Responden I

c. Data hasil wawancara

Dimensi Psychological Well – Being Individu Biseksual Yang Berpacaran a). Penerimaan Diri atau Self-Acceptance

Santi menyadari bahwa dirinya adalah seorang biseksual namun ia tidak terima jika dirinya dikatakan sebagai seorang biseksual karena ia beranggapan bahwa biseksual bukanlah suatu kebanggaan melainkan sifat buruk.

“menyadarilah.. sadar.. cuma gak mau aja aku di bilang orang kek gitu..” (R1, W1/b.121-122/h.3)


(50)

”gak mau aku.. aku gak mau dikatakan seperti itu, walopun tu terjadi sama aku gitu ya.. karena buat aku tu bukan suatu kebanggaan tapi sifat buruk.. Kalo orang lain tau bisa di bilang gilaklah aku..hahaha.” (R1, W1/b.107-111/h.3) ”...hmm, karena bukan suatu kebanggaan tapi sifat buruk itu.. bunuh-bunuhan pun jadi kalo di bilang orang kek gitu..hehehe.. gimana ya? Lebih baek di bilang lesbilah daripada biseks, karna lebih baek punya satu peranan daripada aku berperan jadi dua.. gitu.” (R1, W2/b.33-43/h.1)

Karena itu Santi memiliki penilaian yang buruk terhadap dirinya. Santi juga kecewa dan menyalahkan sang ayah atas perlakuan kasar ayahnya yang membuat ia menjadi biseksual.

”ehm.. gimana ya nok, aku tu punya pemikiran buruklah sama diri aku... terus yang pasti merasa kecewalah nok.. kecewa besar. Jujur kalo aku ditanya, aku gak mo kek gini...” (R1, W1/b.551-559/h.10)

”kalo reinkarnasi ke kehidupan yang mendatang, aku gak pengen jadi anak dia

lagi...” (R1, W1/b.459-461/h.8)

Ia merasa hidup yang ia jalani seperti ini adalah sia-sia.

”gak ada.. (berpikir) manfaatnya sih, gak ada manfaatnya kurasa.. sia-sia itu.. judulnya udah sia-sia..” (R1, W3/b.384-386/h.6)

b). Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Karena Santi merasa bahwa biseksual adalah suatu sifat buruk, maka ia pun tidak mau membuka identitasnya kepada banyak orang. Ia hanya membuka dirinya sebagai biseksual kepada teman-temannya yang lesbi dan biseksual dan pacarnya yang perempuan. Pengakuan Santi kepada teman-temannya dan pacarnya yang perempuan membuat mereka tetap menerima Santi.

“dia terima.. dia yang mau diduain…hehe.. dia bilang, okey jalan, jalan gak papa sama abang itu, tapi jangan jalan ma cewek lain.”

(R1, W1/b.516-518/h.9)

”yang belok-belok ini cuek, biasa-biasa aja nanggepinnya...” (R1, W2/b.495/h.9)


(51)

Lain halnya kepada teman-teman heteroseksual Santi. Santi hanya mengatakan bahwa dirinya adalah seorang lesbi. Namun demikian teman-temannya tidak merasa takut. Sebaliknya, mereka bisa menerima keadaan Santi dan tetap menyadarkan, menasehati serta memotivasi Santi agar berubah menjadi heteroseksual.

”baik… mereka tetap ngawanin aku, mereka gak takut samaku..” (R1, W1/b.444-445/h.8)

”nasehatin aku lah.. dia bilang, kalo bisa dalam jangan dalam waktu yang lamalah, oke..oke.. hanya sekedar terbawa lingkungan, pergaulan ya kata dia, tapi jangan pernah di bawa sampai matilah kek gitu..” (R1, W1/b.414-418/h.7) Sebaliknya, Santi tidak berniat membuka identitas dirinya sebagai biseksual kepada keluarga dan pacarnya yang laki-laki. Ia berpendapat tidak mungkin membuka kejelekan kepada keluarganya. Santi mampu menutupi identitasnya kepada keluarga dan pacarnya yang laki-laki. Sampai kapanpun Santi tidak akan mengungkapkan identitasnya kepada keluarga maupu pacarnya yang laki-laki.

”kalo keluarga gak mungkinlah nok.. kalo aku ngomong ke keluarga, karena aku tau kondisi keluargaku tu bagaimana, jadi itu.. itu yang buat aku gak mungkin ngomong ke keluarga.. udah itu aja.. lagian gak mungkin aku buka kejelekan aku di keluarga aku sendiri kan, ibaratnya gimana ya kalo aku buat... gimana ya, mungkin orangtua ku gak bisa nerima seperti itu..”

(R1, W1/b.451-459/h.8)

”sampai kapan pun gak bakal aku cerita.. inilah aku, inilah kepribadian aku, cukup aku sendiri yang tau..” (R1, W1/b.498-500/h.9)

Dalam kehidupan sehari-hari Santi adalah orang yang suka bergaul, memiliki banyak teman. Santi juga dibutuhkan oleh teman-temannya. Santi adalah orang yang mau membantu dan sulit untuk cuek kepada teman-temannya. Namun lama-kelamaan bagi Santi itu semua tidak ada artinya. Dia melihat dan berpikir bahwa ternyata rata-rata temannya hanya mengambil keuntungan dari dia. Karena kebanyakan temannya hanya mengambil keuntungan dari dia Santi mencoba untuk menutup diri dan tidak mau bergaul lagi dengan teman-temannya.


(52)

”banyak sih kawan aku sebenarnya nok.. cuma hanya.. bagi aku sih, gak ada arti.. gak ada arti teman itu..”(R1, W1/b.208-210/h.5)

”...di lingkungan kerja juga aku dibutuhkan kali nok..” (R1, W3/b14-16/h.1)

”...prinsip aku sih, kalo aku bisa, kalo aku mampu kenapa enggak, gitu aja prinsip aku.. makanya terkadang sifat itu yang susah ku buang, aku mo cuek sama orang, gitu, gak bisa.” (R1, W3/b.19-31/h.1)

”karena temen yang berkawan samaku tu, rata ya.. ku perhatiin ya.. rata-rata mengambil keuntungan dari aku, apalagi kawan satu tongkrongan aku semua.. iya, bener.. (diam sejenak) semua rata-rata mo enaknya...”

(R1, W1/b.212-222/h.5)

”mencoba untuk nutup diri sendiri aja.. dari kawan-kawan aku semua... ” (R1, W3/b.348-355/h.6)

Santi juga lebih memilih berteman dekat dengan laki-laki karena Santi tidak suka dengan sifat perempuan dalam menjaga perkataan.

”yah, tau sendiri kan mulut perempuan gimana.. ngomong kesini A, ngomong kesana B, itu aja sih sebenarnya yang buat aku.. perempuan gak bisa kujadiin kawan deket aku..” (R1, W1/b.385-389/h.6)

Di dalam keluarga, hubungan Santi dengan mama dan abang terjalin dengan baik, namun tidak demikian dengan ayah Santi. Santi adalah orang yang paling menentang ayahnya dan ayahnya merupakan musuh terbesar yang dihadapi Santi. Dari dulu memang ayahnya terlalu kasar dan suka memukul Santi dari dia masih kecil. Tidak hanya sewaktu masih kecil, di usianya yang sekarang pun ketika ayahnya marah, ia masih mau memukul Santi. Kebiasaan dipukul ayahnya sejak ia kecil membuat Santi sudah merasa kebal dengan yang namanya pukulan. Tidak membuatnya takut lagi dengan pukulan, tidak membuatnya sakit, bahkan karena sudah terbiasanya pukulan itu sudah dirasa enak oleh Santi. Sampai akhirnya, ia merasa capek dan jenuh sehingga memutuskan untuk pergi dari rumah.

”hubungan aku dengan keluarga baik, dengan mama aku, abang aku, aku baik, cuma kalo bapak aku, aku sangat.. aku sangat.. aku orang yang paling paling menentang dia. Dan musuh terbesar yang aku hadapin itu bapak aku, karena dia terlalu kasar sama aku..” (R1, W2/b.412-417/h.7)


(53)

”gimana ya nok.. udah kebal aja gitu, makanya aku gak takot apapun aku gak takot, aku udah terbiasa dari kecil digituin, jadi yah udah terbiasa yang kalian bilang kalo di pukul yah sakit gitu, karena udah terbiasa aku nerima itu jadi udah enak samaku, udah gak sakit lagi.. makanya kemaren dia mukul ini enak loh jadi bawaannya, pegel-pegel enak gitu.. iya loh, ini juga pernah terkilir loh.. (sambil menunjukkan jari tangan yang pernah terkilir), pernah bengkok dia, di plintir sama bapak aku..” (R1, W2/b.449-459/h.8)

“perasaan aku.. aku capeklah.. capek aja perasaan aku, menghadapi yang gitu-gitu sih dah capek, dah jenuh.. makanya aku mutusin untuk keluar dari rumah.. capek, jenuh, sakit lagi.. di pukulkan sakit sih.. sehingga sakit itu jadi enak samaku.. kan gak mungkin kan, kalo kita udah ngerasain kebalikannya kan...” (R1, W3/b.109-119/h.3)

Dengan kedua pasangannya, Santi merasa tidak tenang dalam menjalani hubungan pacaran. Pada awalnya Santi ingin menghindar dari pacaran sekaligus dengan laki-laki dan perempuan namun tidak berhasil. Memasuki 3 tahun perjalanan hubungan pacaran dengan laki-laki dan perempuan, membuat Santi merasa capek, tertekan, tersiksa dan ia menganggap bahwa hubungan yang ia jalani adalah sia-sia sehingga pada akhirnya Santi menyesali hubungan pacaran yang sedang ia jalani ini.

”karena begini ya, kemaren sih aku sempat menghindari yang namanya berpacaran sekaligus ya ... ternyata aku jadi seperti inilah nok, jadi ngejalanin dua cinta yang berbeda gitu..” (R1, W2/b.64-70/h.2)

”tersiksalah.. sakit nok.. sakitlah pokoknya, segala bidang semua sakit..” (R1, W3/b.203-204/h.5)

”...tertekan dari masyarakat, dari kehidupan masyarakat.. tertekan lagi dari cowok aku gitu, tertekan lagi dari dia gitu, seluruhnya, keluarga aku...”(R1, W2/b.525-531/h.9)

”gak ada.. (berpikir) manfaatnya sih, gak ada manfaatnya kurasa.. sia-sia itu.. judulnya udah sia-sia..” (R1, W3/b.384-386/h.6)

”menyesallah... seharusnya aku, menyesal sih pasti ada...” (R1, W2/562-570/h.10)

c). Otonomi (Autonomy)

Santi adalah pribadi yang mandiri. Mulai dari kecil Santi sudah terbiasa untuk mandiri sehingga Santi menjadi terbiasa untuk melakukan aktivitas sendiri.


(1)

Ryff (1989) juga mengatakan bahwa individu yang berada di usia awal memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi. Hal ini tampak jelas pada responden 1 dan responden 2. Tetapi pada responden 3 tidak memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi. Dimulai dari ketidakaktifannya sebagai remaja masjid dan berhenti dari kegiatan salsanya sampai lebih memilih sendiri daripada harus terlibat dalam kegiatan sosial. Responden 3 lebih banyak mengalami penurunan dan stagnasi dalam kehidupannya terutama ketika ia menjalani hubungan pacaran dengan laki-laki dan karena banyaknya konflik yang ia alami dengan pasangannya.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan pada Bab I sebelumnya, maka dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini yaitu bagaimana gambaran psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran.

1. Dimensi Penerimaan Diri atau Self-Acceptance

Pada dimensi ini, responden 1 dan responden 3 tidak dapat menerima diri sebagai biseksual sedangkan responden 2 sudah dapat menerima dirinya sebagai biseksual.

2. Dimensi Hubungan Positif dengan Orang Lain.

Pada dimensi ini responden 2 memiliki hubungan positif dengan orang lain yang lebih baik dibandingkan responden 1 dan responden 3.

3. Otonomi

Dalam dimensi otonomi ketiga responden kurang memiliki otonomi yang baik. 4. Penguasaan Lingkungan

Dalam dimensi ini, responden 2 memiliki penguasaan lingkungan yang lebih baik dibandingkan responden 1 dan responden 3.

5. Tujuan Hidup

Pada dimensi ini, ketiga responden memiliki tujuan hidup masing-masing. Dalam kehidupan berpacaran responden 1 dan responden 2 memiliki arah yang jelas dengan pacar laki-laki sehingga dengan demikian salah satu tujuan mereka dapat tercapai. Berbeda halnya dengan responden 3 yang merasa bahwa kehidupan berpacarannya tidak memiliki arah yang jelas. Dengan demikian, dapat dikatakan


(3)

bahwa responden 1 dan responden 2 lebih baik dibandingkan responden 3 dalam dimensi ini.

6. Pertumbuhan Pribadi

Pada dimensi ini, responden 1 dan responden 2 memiliki pertumbuhan pribadi yang lebih baik dibandingkan dengan responden 3.

B. Saran

1. Saran Praktis

a. Diharapkan kepada individu biseksual agar lebih memikirkan kehidupan dirinya baik fisik dan psikologis sehingga dapat lebih meningkatkan psychological well-beingnya.

b. Bagi teman-teman individu biseksual yang berpacaran agar memberi dukungan emosional dan bisa mengerti keadaan individu biseksual yang berpacaran. Memberikan saran dan nasehat kepada individu biseksual yang berpacaran sehingga mereka dapat menentukan pilihan yang tepat untuk hubungan mereka.

c. Bagi masyarakat sebaiknya lebih memahami kondisi yang dirasakan individu biseksual yang berpacaran. Memberikan dukungan secara psikologis dan tidak membuat penilaian yang buruk terhadap hubungan berpacaran individu biseksual tersebut.

d. Bagi psikolog agar dapat mengetahui konflik-konflik pada individu biseksual yang berpacaran sehingga dapat memberikan alternatif solusi pemecahan konflik yang pada akhirnya dapat lebih meningkatkan psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran.


(4)

2. Saran penelitian selanjutnya.

a. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan tambahan responden pria sehingga didapat gambaran yang lebih luas dan bervariasi tentang psychological well-being pada individu biseksual yang berpacaran.

b. Peneliti selanjutnya agar mendapatkan teori tambahan tentang biseksual sehingga didapat gambaran yang lebih luas tentang biseksual itu sendiri.

c. Peneliti selanjutnya agar mendapatkan teori tambahan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being terutama pada biseksual sehingga didapat gambaran yang lebih luas dan bervariasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhinya.

d. Peneliti selanjutnya diharapkan agar lebih memperhatikan kondisi dan lingkungan saat proses wawancara berlangsung.

e. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan pengambilan data tambahan seperti kroscek data terhadap orang-orang yang mengetahui identitas responden, dokumen pribadi seperti catatan harian responden.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Banister, P. (1994). Qualitative Methods in Psychology A Research Guide. Buckingham: Open University Press.

Hendrick, S & Hendrick, C. (1992). Liking, loving, & relating. (2nd edition). California: Brooks/ Cole Publishing Company.

Fox, R. C. (2000). Bisexuality In Perspective. In B.Greene & L.Croom (eds). Education, Research, and Practice In Lesbian, Gay, Bisexual and Transgendered Psychology : A resource Manual. USA: Sage Pub, Inc.

Genbeck & Patherick (2006). Intimacy Dating Goal and Relationship Satisfaction During Adolescence and Emerging Adulthood Identity Formation, Age, and Sex as Moderation. International Journal of Behavioural Developmnet, 30; 167. Maccoby, E.E., (1980). Social Development : Psychological Growth and Parent

Child Relationship. New York : Harcourt Brace Jovanich.

Matlin, M. W. (2004). The Psychology of Women (5thed). Thomson Wadsworth. Masters, W. H., Johnson, V. E., & Kolodny, R. C. (1992). Human Sexuality (4thed).

New York: Harper Collins

Moleong, L. J. Dr. MA. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif (Cet. 13). Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.

Oetomo, D. [On-line]. http://gayanusantara.or.id/HRNotes.06.01.051oetomo.pdf. Tanggal Akses: 17 Mei 2009

Offord. (1992). Community Psychology : theory and practice. New York: John-Wiley and Son. Inc

Padget, D. (1998). Qualitative Methods in Social Works Research. USA: Sage Publication.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman R.D. (1998). Human Development (7th Ed). USA. McGraw Hill Companies.

Papalia. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Edisi Sembilan. Jakarta: Kencana.

Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana


(6)

Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Purnama, E.S. (2001). Gambaran sikap dan dukungan sisial teman sebaya yang bukan pengguna narkoba terhadap ex pengguna narkoba. [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Reevy, G.M., Maschlach, C .(2001). Use of social support: gender and personality differences. Sex Roles: A journal Research.

Santrock, J. W. (2003). Adolesence: Perkembangan Remaja. Edisi Enam. Jakarta: Erlangga

Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology: biopsychosocial interaction (3rd ed). New York: John-Wiley and Son. Inc.

Savin-Williams, R. C., & Cohen, K. M. (1995). The Lives of Lesbians, Gays & Bisexuals. Harcourt Brace College Publication.

Storr, M. (1999). Bisexuality: A critical reader. London: Routledge. Wikipedia. (2009). [On-line]. http://en.wikipedia.org/wiki/Bisexuality.