Deskripsi psychological well-being pada lesbian.

(1)

DESKRIPSI PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA LESBIAN

Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta Agatha Kharisma Ratnadewi

ABSTRAK

Orang yang memiliki orientasi seksual lesbian, mereka memiliki banyak sumber stres. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa lesbian memiliki beban psikologis karena orientasi seksual yang mereka miliki. Proses untuk menerima diri sudah cukup sulit, ditambah dengan prasangka, stigma dan penolakan yang ada di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan Psychological Well Being pada lesbian melalui metode kualitatif studi naratif. Peneliti mewawancarai 2 orang yang memiliki orientasi seksual lesbian untuk mengumpulkan data. Setiap informan yang diwawancarai menceritakan suatu aspek penting atau peristiwa tertentu yang pernah mereka alami. Data akan dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian ini adalah informan yang memiliki Psychological Well Being baik memiliki narasi kehidupan progresif/optimistik. Faktor yang mendukung Psychological Well Being adalah dukungan sosial, pemahaman diri, perasaan diterima, harapan kepada orang lain, perasaan kecewa karena harapan yang tidak terpenuhi, penilaian terhadap situasi yang dihadapi, dan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Hasil deskripsi penelitian menunjukkan bahwa penerimaan diri sejak awal dan dukungan sosial dapat membantu proses Psychological Well Being informan menjadi lebih cepat. Setelah menerima diri, barulah informan nyaman untuk menampilkan diri sebagai lesbian dan cenderung dapat mempersiapkan diri terhadap reaksi lingkungan. Pada akhirnya, informan akan merasa semakin nyaman, dapat menerima dan berdamai dengan diri serta lebih siap terhadap pandangan lingkungan.


(2)

THE DESCRIPTION OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ON LESBIAN

Narrative Qualitative Study in Yogyakarta Agatha Kharisma Ratnadewi

ABSTRACT

People who have a lesbian sexual orientation, they have many sources of stress. This research is motivated by the belief that lesbians have a psychological burden because of their sexual orientation. The process to accept yourself is hard enough, coupled with the prejudice, stigma and denial that exist in society. The purpose of this study is to describe the Psychological Well Being on lesbian narrative studies through qualitative methods. Researchers interviewed two people who have a lesbian sexual orientation to collect data. Each informant was interviewed tells an important aspect or a particular event they have ever experienced. Data will be analyzed using thematic analysis. The results of this study are informants who had Psychological Well Being both have a progressive life narrative / optimistic. Factors that support the Psychological Well Being is social support, self-understanding, a feeling of acceptance, hope to others, feelings of disappointment because expectations were not met, an assessment of the situation at hand, and openness to new experiences. The description of the research shows that since the beginning of self-acceptance and social support can help the process of Psychological Well Being of informants to be faster. After receiving himself, the informants convenient to present themselves as lesbian, and tend to be prepared for the reaction environment. In the end, informant will feel more comfortable, able to receive and make peace with themselves and better prepared against environmental point of view.


(3)

DESKRIPSI PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA LESBIAN

Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Agatha Kharisma Ratnadewi

109114153

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Pandanglah burung-burung dilangit, yang tidak menabur dan tidak menuai

dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh

Bapamu yang di surga.

Bukanlah kamu jauh melebihi burung-burung itu?

(Matius, 6 : 26)

Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake,

Sekti tanpo aji-aji, sugih tanpo bondho.

Ikhlas, menikmati apapun yang terjadi bersama semesta,

dan semua akan baik-baik saja


(7)

v

Karya ini kupersembahkan kepada:

Orang tuaku yang sangat luarbiasa

Thomas Harsono dan Retna Praseyaningrum “Uye”,

Kesayanganku Bethouven Van Cui dan Gilbertus

Bollu,

Segenap keluarga dan para sahabatku,

Sekaligus orang-orang yang selalu menopangku,

Terimakasih atas segala dukungan, doa, dan

pelajaran hidup yang kalian berikan

Terimakasih pula sarung ajaib yang selalu memberi

kenyamanan.

Tak lupa, aku juga berterimakasih kepadamu,

alam semesta.


(8)

(9)

vii

DESKRIPSI PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA LESBIAN

Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta Agatha Kharisma Ratnadewi

ABSTRAK

Orang yang memiliki orientasi seksual lesbian, mereka memiliki banyak sumber stres. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa lesbian memiliki beban psikologis karena orientasi seksual yang mereka miliki. Proses untuk menerima diri sudah cukup sulit, ditambah dengan prasangka, stigma dan penolakan yang ada di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan Psychological Well Being pada lesbian melalui metode kualitatif studi naratif. Peneliti mewawancarai 2 orang yang memiliki orientasi seksual lesbian untuk mengumpulkan data. Setiap informan yang diwawancarai menceritakan suatu aspek penting atau peristiwa tertentu yang pernah mereka alami. Data akan dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian ini adalah informan yang memiliki Psychological Well Being baik memiliki narasi kehidupan progresif/optimistik. Faktor yang mendukung Psychological Well Being adalah dukungan sosial, pemahaman diri, perasaan diterima, harapan kepada orang lain, perasaan kecewa karena harapan yang tidak terpenuhi, penilaian terhadap situasi yang dihadapi, dan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Hasil deskripsi penelitian menunjukkan bahwa penerimaan diri sejak awal dan dukungan sosial dapat membantu proses Psychological Well Being informan menjadi lebih cepat. Setelah menerima diri, barulah informan nyaman untuk menampilkan diri sebagai lesbian dan cenderung dapat mempersiapkan diri terhadap reaksi lingkungan. Pada akhirnya, informan akan merasa semakin nyaman, dapat menerima dan berdamai dengan diri serta lebih siap terhadap pandangan lingkungan.


(10)

viii

THE DESCRIPTION OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ON LESBIAN

Narrative Qualitative Study in Yogyakarta Agatha Kharisma Ratnadewi

ABSTRACT

People who have a lesbian sexual orientation, they have many sources of stress. This research is motivated by the belief that lesbians have a psychological burden because of their sexual orientation. The process to accept yourself is hard enough, coupled with the prejudice, stigma and denial that exist in society. The purpose of this study is to describe the Psychological Well Being on lesbian narrative studies through qualitative methods. Researchers interviewed two people who have a lesbian sexual orientation to collect data. Each informant was interviewed tells an important aspect or a particular event they have ever experienced. Data will be analyzed using thematic analysis. The results of this study are informants who had Psychological Well Being both have a progressive life narrative / optimistic. Factors that support the Psychological Well Being is social support, self-understanding, a feeling of acceptance, hope to others, feelings of disappointment because expectations were not met, an assessment of the situation at hand, and openness to new experiences. The description of the research shows that since the beginning of self-acceptance and social support can help the process of Psychological Well Being of informants to be faster. After receiving himself, the informants convenient to present themselves as lesbian, and tend to be prepared for the reaction environment. In the end, informant will feel more comfortable, able to receive and make peace with themselves and better prepared against environmental point of view.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yesus, atas berkat dan penyertaanya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Peneliti menyadari bahwa tanpa benih semangat, peristiwa, dan setiap perjumpaan yang merupakan rencana-Nya, peneliti tidak akan dapat segera menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi seseorang yang memiliki orientasi seksual Lesbian dan pihak-pihak terkait sehingga stigma dan diskriminasi terhadap Lesbian dapat diturunkan. Semoga penelitian ini dapat merangsang kemunculan penelitian lain mengenai psychological well-being pada Lesbian mengingat dampaknya yang sangat baik bagi kesejahteraan psikologis.

Terselesaikanya skripsi ini tidak akan terjadi tanpa kesempatan, semangat, dan masukkan dari beberapa pihak. Dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak.

1. Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing penulis dari awal pengerjaan penelitian ini sampai selesai. Terima kasih atas dukungan, kesabaran, pengarahan dan energi positifnya yang sangat membantu penulis.


(13)

xi

4. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. dan P. Henrietta P.D.D.S., M.A. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan sehingga penelitian ini memiliki kualitas yang lebih baik.

5. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabbati, MA. selaku dosen pembimbing akademik, yang selalu memberikan dukungan kepada peneliti. 6. Jajaran dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sudah

membantu setiap proses dalam kegiatan belajar mengajar. Terima kasih atas ilmu dan bimbingan selama peneliti menjadi mahasiswa.

7. Staf dan karyawan Fakultas Psikologi: Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Pak Gik atas pelayanan baik dalam administrasi dan sarana perkuliahan. 8. Thomas Harsono dan Retno Prasetyaningrum (Uye) selaku Orangtua peneliti

yang luar biasa memberikan motivasi, tidak lelah untuk mendukung dan mendoakan peneliti sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

9. Simbah Siti selaku nenek peneliti yang selalu mendukung, mendoakan dan merebuskan air panas untuk mandi di setiap harinya agar peneliti tetap sehat. 10.Dian Novita yang selalu memotivasi dan meluangkan waktunya untuk

mendampingi peneliti serta menyediakan diri untuk mendengar segala keluh kesah, curhatan dan kesabaran menghadapi naik turunnya emosi peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini.

11.Bethouven Van Cui dan Gilbertus Bollu anjing kesayangan yang sudah seperti kakak dan anak, selalu memberikan semangat baru dengan kelucuan dan kenakalannya.


(14)

xii

12.Echi Kiprit yang kadang menjengkelkan namun sering memotivasi mengucapkan “Ayo ibuk e Bollu cemangatt!”.

13.Benk-benk sahabat baik, selalu membantu sarana prasarana kepada peneliti. 14.Andang yang bersedia membantu dan membagikan pengalamannya dalam

penulisan skripsi ini.

15.Terimakasih untuk semua keluarga dan sahabat yang tidak ada hentinya mendoakan dan mendukung peneliti.

16.Tim IHAP Jogja ; mbak Mira, mas Maliq, Dian, mbak Nana, mbak Eni, Nuri dan Ari yang sering memberikan dukungan dengan candaan segar.

17.Para informan penelitian. Terimakasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan waktu kepercayaan dan keterbukaan kalian dalam menceritakan pengalamannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

18.Pihak-pihak lain yang telah memberikan dukungan. Sekali lagi peneliti mengucapkan terima kasih.

19.Alam semesta. Terimakasih alam semesta atas segala proses ini.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti bersedia membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun demi kualitas karya ini.

Yogyakarta, 17 Juni 2016 Peneliti,


(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR SKEMA... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 15

C. Tujuan ... 15


(16)

xiv BAB II

TINJAUAN TEORI

A. LGBT …... 18

B. Persoalan yang dihadapi lesbian... 21

1. Diskriminasi ... 21

2. Stigma ... 23

3. Kekerasan ... 24

4. Bullying ... 25

5. Kontruksi nilai di masyarakat ... 27

C. Psychological Well-Being (PWB) ... 28

1. Eudaimonia Happinness ... 28

2. Dimensi Psychological Well Being... 30

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Well-Being ... 41

D. Kerangka Pikir Teori ... 47

E. Pertanyaan Penelitian ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 48

B. Fokus Penelitian ... 50

C. Informan Penelitian ... 51

D. Teknik Pengumpulan Data ... 52


(17)

xv

1. Tahap Organisasi Data ... 55

2. Tahap Analisis Tematik ... 57

3. Tahap Interpretasi... 59

F. Keabsahan Data ... 60

1. Kredibilitas ... 61

2. Dependabilitas ... 63

3. Transferabilitas ... 64

4. Konfirmabilitas ... 65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 66

1. Proses Pengumpulan Data ... 66

2. Identitas Informan ... 67

3. Proses Pengambilan Data ... 67

B. Hasil Analisis Narasi ... 68

1. Narasi Informan A ... 68

2. Narasi Informan B ... 78

3. Analisis Struktur Narasi ... 89

C. Hasil Analisis Tematik/Interpretatif Psychological Well-Being ... 96

1. Penerimaan Diri ... 96

2. Penguasaan Lingkungan... 98


(18)

xvi

4. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 105

5. Perkembangan Diri... 109

6. Tujuan Hidup ... 112

D. Ringkasan dan Integrasi ... 117

E. Pembahasan ... 121

1. Keterkaitan antara Faktor PWB dengan Dimensi PWB ... 121

2. Keterkaitan antara Faktor PWB dengan Narasi Subjek ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 132

1. Bagi Orang yang Memiliki Orientasi Seksual Lesbian ... 132

2. Bagi Kerabat dan Instansi Terkait ... 132

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 134


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

A.ANALISIS TEMATIK

1. Analisis Tematik Informan A ... 138 2. Analisis Tematik Informan B ... 162


(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Panduan Pertanyaan ... 53

Tabel 2. Keterangan Koding ... 56

Tabel 3. Contoh Tabel Analisis Tematik ... 59

Tabel 4. Identitas Informan ... 67

Tabel 5. Jadwal Pengambilan Data ... 67

Tabel 6. Ringkasan Analisis Struktur Narasi ... 96


(21)

xix

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Kerangka Pikir Teori ...……… 47 Skema 2 : Proses Physchological well being pada informan A …...…..……. 91 Skema 3 : Proses Physchological well being pada informan B ……... 95 Skema 4 : Dinamika Proses Physchological well being pada kedua informan... 120


(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam kehidupan ini jika seseorang ditanya apakah yang mereka inginkan kebanyakan dari mereka akan mengatakan ingin bahagia, keadaan dimana seseorang merasa senang, nyaman, dan gembira. Kebahagiaan akan menjadi suatu prioritas utama untuk dicapai di dalam kehidupan setiap orang. Kebahagiaan merupakan hal yang tidak dapat dibayar, karena kebahagiaan merupakan perasaan senang yang tidak dapat ditukar oleh apapun. Pada dasarnya kebahagiaan tersebut tidak dapat diukur dengan barometer apapun, setiap orang memiliki tolok ukur tersendiri terhadap hal yang menyenangkan bagi dirinya, yaitu kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah hak setiap individu yang hidup di dunia, tanpa pengecualian pada kelompok minoritas seperti lesbian. Seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian juga berhak mendapatkan kebahagiaan baik secara pribadi yang berasal dari dalam dirinya sendiri maupun hubungan sosial masyarakat. Ada fakta yang menyatakan bahwa lesbian menjalani hidupnya dengan kepalsuan, ketidak bahagiaan, dan tertekan oleh posisi sosial yang diterima dari masyarakat. Stigma dan tekanan masyarakat justru menyebabkan banyak lesbian mencoba mengingkari


(23)

dirinya sendiri, dalam arti mengingkari seksualitas dan orientasi seksual mereka (Suara Perempuan, Senin 26 Agustus 2002).

Jumlah heteroseksual yang lebih dominan di dunia telah memunculkan asumsi bahwa semua orang adalah heteroseksual, dalam artian perempuan akan memilih laki-laki untuk menjadi pasangan hidupnya, begitupun sebaliknya. Nilai-nilai budaya heteronormatifitas menjadi salah satu akar asumsi bahwa jika ada anggota keluarga yang LGBT merupakan suatu aib sehingga tidak layak tinggal satu rumah dengan saudara yang mayoritas heteroseksual, pengalaman LGBT pergi dari rumah dan diusir merupakan kasus yang sering dijumpai. Disisi lain, budaya heteronormatifitas ditunjukkan oleh pemaksaan lesbian untuk menikah dengan orang yang tidak disukai atau selalu bertanya-tanya soal pernikahan. Hal ini memaksa seorang lesbian untuk berperilaku seolah-olah heteroseksual dengan membawa “Pasangan Palsu” demi membahagian orang tua dan keluarganya. Upaya lain dengan cara menghindari pulang atau bertemu orang tua agar tidak ditanya soal pernikahan dan dinasehati soal mempunyai keturunan (Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi pada LGBT di Indonesia. Arus Pelangi, 90; 2013).

Tidak adanya pengetahuan yang memadai inilah yang menyebabkan munculnya informasi-informasi yang simpang siur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berkenaan dengan homoseksualitas di Indonesia. Informasi yang simpang siur tersebut


(24)

akhirnya berdampak pada pemberian stigma negatif pada homoseksualitas terutama lesbian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa realita keberadaan lesbian, biseksual dan transgender (LBT) ini telah lama ada bahkan sudah ada sejak berabad-abad tahun yang lalu. Di Surakarta sendiri pada tahun 1824 telah ditemukan fenomena hubungan seksual antar perempuan. Demikian juga di lingkungan kraton dikenal dengan istilah “lingkaran relasi lesbian“ yang terjadi antara selir-selir Sultan Pakubuwono V (Wieringa, Blackwood, 2009:6).

Ada anggapan bahwa seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian terjadi karena pergaulan bebas, broken home, frustasi terhadap laki-laki dan alasan-alasan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Kemudian ada juga pendapat lain dari sebagian masyarakat yang menyatakan lesbian merupakan penyakit menular yang dapat disembuhkan. Sehingga pandangan ini menyebabkan homophobia di kalangan masyarakat.

Melihat fenomena-fenomena yang masih marak di masyarakat seperti diskriminasi, kekerasan dan bullying terhadap homoseksual, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai kebahagiaan pada lesbian. Pertanyaan besar yang mendasari penelitian ini adalah; Bagaimana seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian memperoleh kebahagiaan atau well-being. Melihat fenomena-fenomena yang sudah sering terjadi dan kondisi mereka yang sering terbentur dengan stigma


(25)

negatif dari masyarakat, maka akan berujung pada diskriminasi dan kekerasan yang diterima oleh seorang lesbian. Bagaimana seorang lesbian dapat melewati masa-masa sulitnya. Perlu diingat kembali bahwa kebahagiaan adalah hak setiap orang.

Meskipun pada tahun 1973, American Psychiatric Association

menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan mental dan karena itu homoseksualitas dikeluarkan dari daftar gangguan jiwa dalam DSM. Dua tahun kemudian, 1975, American Psychological Association menyetujui bahwa orientasi seksual sesama jenis tidak berdampak bagi kerusakan mental. Baru pada 1993, WHO mengeluarkan homoseksualitas dari daftar International Classification of Diseases atau ICD (Galliano, 2003). Namun ironisnya, ada penelitian yang menemukan bahwa 89,3% dari LGBT di Indonesia telah mengalami kekerasan, diantaranya; 79,1% kekerasan psikologis, 46,3% kekerasan fisik, 26,3% kekerasan ekonomi, 45,1% kekerasan seksual dan 63,3% kekerasan budaya (Arus Pelangi, KSM and PLUSH, 2013).

Sebuah survei yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI) pada 2012 menunjukkan meningkatnya intoleransi masyarakat Indonesia terhadap kelompok minoritas, termasuk lesbian. Survei ini menunjukkan sebanyak 80,6% subjek keberatan jika harus bertetangga dengan lesbian atau gay, meningkat sebanyak 15,9% dari survei yang sama pada tahun 2005. Bahkan yang lebih tragis pada tingkatan kognitif-intelektual, masih banyak masyarakat Indonesia modern yang sebetulnya terpelajar namun


(26)

masih merasa sulit menerima homoseksualitas, dan keberadaan lesbian. Profesi sebagai psikolog tentunya akan berhubungan langsung dengan masyarakat luas dan tidak dapat dipungkiri jika suatu saat akan menangani kasus yang behubungan dengan kelompok minoritas, seperti lesbian. Kita perlu pikirkan kembali, bagaimana jika psikolog yang berperan sebagai helper tersebut memiliki klien yang berorientasi lesbian? Apakah psikolog tersebut akan dapat membantu kliennya, jika ada penolakan di dalam diri seorang helper terhadap orientasi yang dimiliki kliennya. Seorang psikolog yang hanya mendengar kata-kata "homo atau lesbian" meskipun tidak bertemu secara langsung sudah timbul perspektif negatif di dalam pikirannya, maka bisa saja akan berdampak pada proses konseling.

Stigma yang diberikan oleh masyarakat kelas menengah urban modern merupakan pengaruh dari homophobia Barat. Menariknya, perkembangan positif di dunia Barat terkait homoseksualitas juga berimbas pada cara berpikir beberapa intelektual Indonesia yang melihat contoh bagaimana kalangan intelektual di Barat mulai menerima isu homoseksualitas berkat temuan-temuan dan kajian ilmiah (Oetomo, 2001). Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya fenomena-fenomena mengenai diskriminasi dan kekerasan yang terjadi pada Lesbian. Fenomena tersebut terlihat dari kasus yang terjadi pada tahun 2000 ketika diselenggarakannya penyuluhan HIV AIDS di salah satu daerah di kawasan Kaliurang oleh LGBT. Penyuluhan ini menuai protes dari banyak kalangan, disamping protes, acara yang mereka selenggarakan tersebut dibubarkan oleh massa


(27)

yang anarkis karena dianggap sebagai acara maksiat oleh para penggerak massa. Tidak hanya kasus ini saja, namun masih banyak lagi kasus yang dialami oleh kelompok LGBT yang berakhir pada penyiksaan dan kekerasan. Realita yang ada hingga saat ini adalah banyak kelompok LGBT yang dikucilkan dari lingkungan masyarakatnya. Namun sayangnya, tidak hanya masyarakat namun juga aparat berwajib seringkali melakukan tindakan kekerasan kepada LGBT. Mereka merasa tidak memiliki harga diri di mata aparat penegak hukum.

Tidak berhenti disitu, pada tahun 2008, kasus lesbian di Makassar yang sempat marak yaitu terjadi pemukulan mantan polisi terhadap lesbian. Kasus ini diawali dari pertemanan istri polisi dengan seorang lesbian yang bernama Linda dan Wilma, istri polisi tersebut datang ke tempat Linda dan Wilma untuk mengobrol. Suatu ketika polisi tersebut mengetahui istrinya berada di rumah Linda dan Wilma, polisi tersebut langsung memukul dan mengatai “Dasar kalian semua lesbian anjing, sundal, iblis tidak tahu untung!”.Lalu, dia menuduh Linda dan Wilma yang telah menjerumuskan istrinya menjadi seorang lesbian. Bahkan menarik untuk disimak ketika infotainment Silet menayangkan acaranya yang bertema Homoseksual di stasiun TV RCTI. Ini terkait banyaknya job bagi artis yang ‘dicap’ sebagai selebriti homo. Selain karena memang mereka berbeda dalam menghibur pemirsa baik di TV, rumah, maupun acara-acara off air lainnya, mereka selalu menampilkan hal-hal lucu, konyol, dan jahil, sehingga banyak masyarakat yang terhibur.


(28)

Sebut saja Mitha The Virgin, Ivan Gunawan, Ruben Onsu, Olga Syahputra, dan Aming, yang kini lagi naik daun. Para selebriti ini sering muncul di layar kaca dan inilah yang dinilai beberapa kalangan termasuk MUI (Majelis Ulama Indonesia), sebagai cerminan yang merusak moral agama dan bangsa. MUI pun mulai gerah dengan tayangan yang sebagian besar entertainer Indonesia mulai berani menampakkan sisi lain dari mereka. Acara Silet bertajuk khusus kelompok LGBTI ini ditayangkan pada 24 Januari 2008, pukul 11.30. Bahkan, salah satu ketua MUI, KH Amidhan, meminta supaya pemerintah mencekal artis-artis yang menganut paham homoseksual (Harian Nonstop, 1 Maret 2008, Artis Homo Dicekal).

Selain kasus tersebut, yang sekarang masih hangat diperbincangkan adalah kasus pembatalan rencana penyelenggaraan seminar tentang lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Seminar ini rencananya akan dilaksanakan pada 27 September 2014. Pada saat itu Forum Umat Islam (FUI) Yogyakarta menyebar pengumuman lewat telepon seluler dan media sosial berisi tuntutan pembatalan seminar pada Selasa, 16 September 2014. FUI menilai seminar bertajuk LGBTI, We Are Different, We Are Unique and We Are One itu menghina ajaran Islam. Rektor Universitas Sanata Dharma Johanes Eka Priyatma mengatakan keputusan membatalkan acara tersebut diambil pada Rabu siang 17 September 2014. Kemudian panitia penyelenggara seminar dari Jurusan


(29)

Psikologi dan Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Psikologi USD memenuhi panggilan Kepolisian Daerah Yoyakarta. Dia mengakui keputusan ini memang berat untuk diambil mengingat pihaknya harus mengabaikan prinsip kebebasan akademik di kampus. Eka berpendapat di universitas tidak bisa mengabaikan konteks bahwa ada masyarakat di Yogyakarta yang memprotes pembahasan tema LGBTI. "Percuma juga kalau dipaksakan pasti tidak produktif dan pesan utamanya malah tidak sampai," katanya. Dia mengakui, di tengah masyarakat yang masih belum terbuka, pelaksanaan prinsip kebebasan akademik susah diterapkan secara penuh. "Ini tanda kami perlu pakai bahasa lain yang lebih bisa diterima publik untuk melaksanakan itu," katanya. Fuad (FUI) menuding seminar dengan tema seputar lesbian dan gay merupakan upaya mengenalkan komunitas LGBTI ke publik. Organisasinya khawatir identitas komunitas LGBTI kelak semakin diterima oleh publik dan dianggap legal. "Itu (LGBTI) penyakit menular dan lama-lama mereka bisa minta legalisasi nikah sesama jenis," katanya. "Akhirnya muslim sebagai mayoritas jadi korban karena keluarganya ada yang tertular, padahal itu jelas dilarang agama." (tempo.co)

Pemaparan tentang berbagai bentuk kekerasan pada kelompok lesbian secara psikologis berdampak pada kondisi kejiwaan korban seperti perasaan tertekan, tersiksa, dan trauma yang sulit disembuhkan. Pelaku kekerasan mungkin tidak memahami bahwa dampak dari perilakunya akan dibawa seumur hidup oleh korban dan ini termaninfestasi dalam


(30)

kehidupan sehari-hari atau temporer (sewaktu-waktu) dan beresiko akan terjadinya kematian (Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi pada LGBT di Indonesia. Arus Pelangi, 95; 2013).

Melihat masalah-masalah dari lingkungan sosial yang sering dialami oleh lesbian, dapat dilihat bahwa faktor prasangka cukup mengambil peran di dalamnya. Prasangka terjadi dimana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu mempengaruhi kita semua. Prasangka dapat terjadi dalam dua arah: mengalir dari kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, begitupun sebaliknya. Kelompok manapun dapat menjadi sasaran prasangka. Banyak aspek dari identitas kita yang dapat menyebabkan kita diberi label dan didiskriminasi, antara lain kebangsaan, ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penampilan fisik, negara, dll. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok yang berlangsung terus-menerus akibatnya dapat meningkatkan kebencian ekstrim, bahkan dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh. Salah satu konsekuensi dari seringnya menjadi target prasangka terus menerus adalah penurunan harga diri seseorang (Handout Psi. Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini).

Menurut Bram & Kasim (dalam Sarwono, 2006) berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang ditujukan terhadap seseorang berdasar semata-mata pada keanggotaan mereka pada kelompok tertentu. Ini berarti bahwa prasangka melibatkan penilaian aprior sebab memperlakukan objek sasaran prasangka tidak berdasarkan karakteristik


(31)

unik individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya yang menonjol.

Situasi tersebut merupakan situasi-situasi sulit yang ada di dalam proses hidup seorang lesbian, yang pada akhirnya akan berdampak pada menurunnya kebahagiaan seorang homoseksual. Sebagai bagian dari homoseksual, lesbian mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan orientasi seksualnya. Apalagi ditambah dengan sulitnya menghadapi penolakan-penolakan yang ada di masyarakat seperti kekerasan dan diskriminasi serta bullying. Faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah faktor kurangnya informasi terhadap lesbian. Selain itu ada juga faktor warisan yaitu informasi yang diturunkan dari jaman dahulu yang belum tentu benar adanya. Melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat seperti itu, bagaimana seorang lesbian dapat mencapai kebahagiaan? Mampukah seorang lesbian mencapai kebahagiaan hakiki seperti yang dipaparkan oleh Aristoteles bahwa kebahagiaan merupakan keutamaan manusia melebihi kepemilikan (barang), dan sebagainya. Manusia harus hidup dengan baik yang menurutnya hidup dengan masuk akal (reason). Masuk akalkah bila lesbian tidak dapat hidup selayaknya manusia hidup dengan nyaman, tanpa rasa takut dan bersalah? (jurnal perempuan, 87).

Para ahli memperkirakan bahwa kira-kira 1 dari 10 orang mungkin lesbian atau gay. Angka ini merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Alfred Kinsey pada tahun 1940-an. Banyak orang-orang yang


(32)

terkenal dalam sejarah lesbian dan gay. Ada orang kulit putih, hitam, latin, Asia Timur, India, Afrika yang memiliki orientasi seksual lesbian. Mereka bisa saja orang Yahudi, Katolik, Protestanm Budha, Muslim, Atheis atau yang lainnya. Lesbian juga ada yang kaya, ada juga yang miskin, tua dan muda, difabel (Galink, 2013:18). Hal ini sama seperti orang yang memiliki orientasi seksual heteroseksual pada umumnya. Kesetaraan lesbian dan gay seperti heteroseksual masih marak diperjuangkan oleh para pejuang HAM pada organisasi yang bergerak dibidangnya. Berbicara mengenai kebahagiaan dan homoseksual, sepertinya menarik bagi peneliti untuk melihat bagaimana puncak kebahagiaan yang dimiliki seorang lesbian, apakah seorang lesbian dapat mencapai puncak kebahagiaan ditengah maraknya diskriminasi dan kekerasan yang ada di masyarakat, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk bahagia.

Bisa disimpulkan setelah melihat fenomena-fenomena yang terjadi ini sebagian besar kasus-kasus lain tidak pernah sampai ke permukaan. Masih ada puluhan kasus lain yang tidak diketahui. Dari beberapa kasus yang dialami oleh seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian di berbagai daerah seperti yang sudah ditulis, realitas di masyarakat sangat bertolak belakang dengan segala peraturan yang ada. Dari fenomena yang ada bisa dijadikan indikator bahwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia masih sangat marak. Pelakunya ada yang dari masyarakat, ada yang dari aparat pemerintah, yang menyatukan mereka


(33)

adalah kebencian atau perasaan hina terhadap lesbian atau homoseksual, pandangan itu ada di balik semua contoh diskriminasi dan/atau kekerasan.

Homoseksualitas itu sendiri adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas." (Sexual Orientation, Homosexuality dan Bisexuality, 2010).

Psychological well-being (PWB) merupakan sebutan bagi kesejahteraan (well-being) psikologis manusia. (Synder, Lopez, dan Pedrotti, 2011 dalam Preventi, 2015) mendefinisikan PWB sebagai tingkat kesejahteraan manusia yang dikarekteristikan oleh penerimaan diri (self-acceptance), perkembangan diri (personal growth), memiliki tujuan hidup (purpose in life), penguasaan lingkungan (environmental mastery), kemandirian (autonomy), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others).

Psychological well-being cenderung meninjau alasan seseorang sejahtera secara psikologis (Baumgardner & Crothers, 2009). Psychological well-being menggunakan perspektif eudaimonia, yang menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis diperoleh melalui perjuangan


(34)

menemukan diri yang sesungguhnya dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata (Ryff, 2014). Ryff berpendapat bahwa Psychological well-being merupakan sumber resiliensi/ ketahanan dalam menghadapi kesulitan hidup dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental (Braumgrardner & Crothers, 2009).

Pada dasarnya kebahagiaan itu bersifat subjektif, setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan dan faktor yang mendatangkan kebahagiaan yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Peneliti merasa PWB lebih tepat digunakan sebagi landasan dalam penelitian pada lesbian ini, karena PWB cenderung melihat kebahagiaan seseorang, bukan mengukur kebahagiaan seseorang (Subjective Well-Being).

Ada dua perspektif dalam psychological well-being, yaitu perspektif hedonis dan eudaimonis. Peneliti menggunakan perspektif eudaimonis dalam penelitian pada lesbian ini, karena perspektif eudaimonis menganggap bahwa manusia dapat meraih well-being dengan cara memenuhi “true-self” mereka, sedangkan hedonis lebih berfokus pada kesenangan semata untuk meraih kesejahteraan. Psychological well-being dinilai dapat meningkatkan resiliensi seseorang dalam mengatasi tantangan hidup (Ryff dalam Baumgardner dan Crothers, 2009).

Penelitian sebelumnya terkait dengan Psychological well-being pada lesbian adalah penelitian dari Universitas Sumatera Utara yang berjudul “Gambaran Psychological well-being pada lesbian” oleh (Cindy Angelina & Aarliza Lubis, 2011). Penelitian tersebut bersifat deskriptif


(35)

dan mengunakan teknik snow ball dengan sampel sebanyak 32 orang dengan jumlah item sebanyak 55. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mayoritas Psychological well-being pada lesbian tergolong sedang mengarah ke rendah pada dimensi penerimaan diri dan penguasaan terhadap lingkungan. Sedangkan dimensi yang mendapatkan skor cukup baik adalah dimensi perkembangan pribadi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Psychological well-being pada lesbian lebih rendah dari yang non lesbian. Dari penelitian tersebut peneliti ingin lebih jauh melihat Psychological well-being pada lesbian di Yogyakarta dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengalaman dan pemaknaan informan, sehingga peneliti menggunakan penelitian kualitatif naratif dalam penelitian ini.

Penelitian ini berjudul “Deskripsi psychological well-being pada lesbian". Peneliti mengunakan penelitian kualitatif karena ingin memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengenai hubungan antara peristiwa dengan makna, terutama menurut persepsi partisipan (dalam M, Djunaidi Ghony & Fauzan Al, 2014). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi naratif atau analisis naratif. Setiap partisipan yang diwawancarai menceritakan suatu aspek penting atau peristiwa tertentu yang pernah mereka alami (Riessman, 1993). Peneliti ingin melihat narasi serta melihat dimensi-dimensi psychological well-being di dalam proses hidup lesbian.


(36)

Dari judul tersebut peneliti ingin memberikan informasi kepada masyarakat dan pembaca mengenai deskripsi psychological well-being pada lesbian. Dengan adanya informasi yang jelas diharapkan akan membuat masyarakat lebih terbuka dan memahami LGBT. Pentingnya mengenal LGBT adalah untuk memperluas cara pandang masyarakat terhadap LGBT. Streotype negatif yang tertanam di masyarakat sudah menyulitkan seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian untuk menyesuaikan diri dengan orientasi seksualnya, ditambah dengan diskriminasi dan kekerasan. Informasi ini bertujuan untuk mengurangi stigma negatif dan meningkatkan kualitas kenyamanan psikologis supaya lebih produktif.

B. Rumusan Masalah

- Bagaimana deskripsi psychological well-being pada lesbian?

C. Tujuan Penelitian

- Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi psychological well-being dalam proses kehidupan lesbian.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Bagi akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan wawasan serta sebagai


(37)

dokumen akademik yang dapat menjadi acuan civitas akademika, khususnya bidang studi psikologi. Lebih jauh peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan dan kajian komprehensif pada perkembangan ilmu psikologi, terutama mengenai psychological well-being pada lesbian.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca, LSM/ organisasi yang peduli dan bergerak dalam mendampingi isu-isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mengenai deskriptif psychological well-being pada lesbian. Pembaca maupun masyarakat umum diharapkan untuk lebih menghargai mengenai keberagaman orientasi seksual terutama pada lesbian, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi streotype negatif yang masih melekat dimasyarakat, terutama bagi kalangan akademisi khususnya mahasiswa psikologi yang masih kurang paham mengenai realitas kehidupan lesbian.

Bagi seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian, peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi suatu pembelajaran atau pengalaman baru yang dapat diceritakan dengan teman lain yang mengalami masalah serupa. Hal ini, secara tidak langsung akan membantu teman-teman yang lain agar dapat lebih menerima diri dan dapat membantu dalam proses melewati masa-masa sulit.


(38)

Bagi informan sendiri, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu informan melihat ulang proses hidupnya sehingga dapat belajar dari pengalaman masa lalu untuk direfleksikan. Hal ini, berguna untuk membantu proses well-being informan dalam melanjutkan proses hidupnya.

Dengan tersebarluasnya pemahaman, pengalaman tersebut, peneliti berharap dapat memberikan sumbangsih dan ikut serta berupaya menurunkan jumlah diskriminasi dan kekerasan yang tengah dialami oleh seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian.


(39)

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan Transeksual 1. Lesbian

Lesbian adalah perempuan yang memiliki ketertarikan emosi, fisik dan seksual kepada sesama jenis atau sesama perempuan. Selain itu lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian juga didefinisikan bukanlah sekedar faktor alamiah, tetapi lebih kepada masalah preferensi seksual berdasarkan pengalaman perempaun yang tidak terjadi pada suatu titik spesifik dalam hidup seorang perempuan. Itu bisa terjadi setiap saat, ketika beranjak remaja, dewasa, saat menjadi orang tua ataupun dimasa tua. Lesbian tidak mengenal kelas sosial, ia bisa siapa saja, guru, perawat, model, aktris, agamawan dan lain sebagainya. (Novita, 2011;17).

Hal yang terpenting adalah seseorang itu menjadi dirinya sendiri apa adanya. Argument yang dilihat dari sudut pandang “alami” (sesorang menjadi seorang lesbian sejak lahir ) bertolak belakang jika dilihat dari sudut pandang “kejadian yang bukan alami” (adanya suatu kejadian yang membuat seseorang menjadi lesbian). Essensialnya adalah bahwa setiap perempuan dapat menjadi seorang lesbian setiap


(40)

saat di dalam kehidupannya. Jika menyadari bahwa diri adalah sesorang lesbian atau mempunyai perasaan lesbian, tidak secara otomatis harus berhubungan seks atau terlibat dalam suatu hubungan dengan sama jenis. Beberapa lesbian ada yang memilih untuk berstatus single ( sendiri ) dan merasa senang atau puas dengan identitas mereka sendiri. Setiap orang bebas dengan pilihan-pilihannya. Jika seseorang memilih menjadi lesbian maka hal tersebut akan menjadi identitas seksualnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lesbian adalah rasa ketertarikan perempuan dengan jenis kelamin yang sama baik secara fisik, emosional, maupun seksual.

2. Gay

Gay adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan emosi, fisik dan seksual kepada sesama jenis atau sesama laki-laki. Selain itu gay adalah istilah bagi laki-laki yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama laki-laki, mencintai laki-laki baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual (Novita, 2011;17).

3. Biseksual

Biseksual adalah seorang yang secara fisik, emosional dan seksual tertarik kepada laki-laki maupun perempuan walaupun tidak dalam saat yang bersamaan. ( Ardhanary Institute, 2008:18).


(41)

4. Transgender

Transgender adalah seseorang yang merasakan identitas gendernya berbeda dari jenis kelamin yang mereka miliki saat dilahirkan, bersikap dan berperilaku seperti lawan jenis kelaminnya. Kelompok ini biasannya tidak melakukan operasi (Galink, 185; 2013). Transgender ada 2, yaitu:

a. Waria : Trans dari gender laki-laki ke perempuan.

b.Transmen : Trans dari gender perempuan ke laki-laki.

5. Transeksual

Transeksual adalah orang yang memiliki keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota anggota dari jenis kelamin yang berlawanan dari jenis kelamin biologisnya. Ingin melakukan terapi hormonal dan oprasi untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan lawan jenis kelamin biologisnya dan sesuai dengan identitas gender mereka. Kategori ini berlaku bagi yang sudah atau belum melakukan terapi dan atau operasi (Galink, 186; 2013).

Penelitian ini mengambil informan Lesbian karena sesuai dengan kriteria informan penelitian yaitu, perempuan yang tertarik baik secara emosi, fisik maupun seksual dengan sesama perempuan, dan menerima diri apa adanya atau tidak mempunyai keinginan untuk meubah organ seksualnya. Dalam penelitian ini mengambil dua lesbian sebagai informan penelitian. Peneliti hanya mengambil


(42)

dua informan dengan alasan terbatasnya informan yang sesuai kriteria dan menyetujui untuk melakukan proses wawancara.

B. Persoalan yang dihadapi lesbian 1. Diskriminasi

Diskriminasi adalah setiap pebatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan peda pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekkonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. (UU HAM 39/1999 Pasal 1 Ayat 3).

Diskriminasi di sini dapat diartikan sebagai pelayanan dan/atau perlakuan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana pelayanan/perlakuan berbeda ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut, seperti karakteristik kelamin, orientasi seksual, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi 27 fisik atau karakteristik lain, yang tidak mengindahkan tujuan yang sah atau wajar. (Arus Pelangi & Yayasan Tifa, 2008).


(43)

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa diskriminasi merupakan suatu bentuk pembedaan perilaku seseorang maupun kelompok masyarakat karena alasan tertentu terhadap seseorang dengan perlakuan yang berbeda dengan umumnya.

Beberapa contoh diskriminasi yang sering dihadapi kelompok LGBTI di Indonesia adalah sebagai berikut (Arus Pelangi dan Yayasan Tifa, 2008: 28):

a. Diskriminasi sosial, contohnya adalah stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan pengucilan, tidak adanya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal, dan kekerasan fisik maupun psikis; contohnya melempar batu kerikil ke seorang lesbian, gay, maupun waria.

b. Diskriminasi hukum contohnya adalah kebijakan Negara yang melanggar hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda. Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini mengkriminalisasikan kelompok LGBTI dengan mengkategorikan kelompok LGBTI sebagai bagian dari perbuatan pelacuran (Arus Pelangi, 2011: 2).

c. Diskriminasi politik, contohnya adalah kesempatan berbeda dalam wilayah politik praktis dan pencekalan atau tidak adanya keterwakilan politik dari kelompok LGBTI.


(44)

d. Diskriminasi ekonomi, contohnya adalah pelanggaran hak atas pekerjaan di sektor formal. Contohnya pelarangan orang dengan LGBT bekerja disuatu perusahaan.

e. Diskriminasi kebudayaan, contohnya adalah upaya penghapusan dan penghilangan nilai-nilai budaya yang ramah terhadap kelompok LGBTI. Contohnya, selama dasawarsa 70-80an budaya Bissu di Sulawesi Selatan hampir musnah diberantas oleh kelompok Islam garis keras, DI-TII.

2. Stigma

Menurut Erving Goffman (1968) Stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari penerimaan seseorang. Sedangkan menurut (KBBI), stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.

Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa stigma adalah sikap merendahkan (mendiskreditkan) seseorang atau sekelompok yang memiliki atribut sehingga dapat menyebabkan pandangan masyarakat yang buruk kepada seseorang atau kelompok tertentu (Galink, 2013).

Kasus yang sering dijumpai pada orang dengan lesbian adalah bagaimana sebagian besar masyarakat hingga detik ini masih


(45)

berpandangan bahwa lesbian itu sakit jiwa, perilaku menyimpang dan tidak normal.

3. Kekerasan

a.Bentuk- bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT 1. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual cukup banyak dialami oleh kelompok LGBT. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute dengan metode wawancara menemukan 9 dari 10 orang LBT yang diwawancarai mengalami kekerasan seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan mulai dari keluarga, aparat penegak hukum, dokter, maupun masyarakat umum (Galink, 2013).

2. Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal merupakan salah satu kekerasan yang paling sering diterima oleh seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian. Kekerasan verbal yang sering diterima seperti; Menjatuhkan metal denegan komentar-komentar yang meremehkan, mengancam, dan memanggil dengan nama panggilan yang diskriminatif yang akan berdampak pada kepercayaan diri seseorang.


(46)

3. Kekerasan fisik

Kekerasan yang dialami dapat berupa pemukulan, tamparan, meludahi. Pelaku adalah keluarga, pasangan, keluarga pasangan (Galink, 2013).

4. Kekerasan emosional

Biasanya orang LGBT mengalami penolakan dari keluarga setelah mereka mengaku atau ketahuan sebagai LGBT. Kekerasan yang dilakukan keluarga dapat berupa ancaman untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, membatasi pergaulan, memaksa untuk ”berobat”, penolakan, ataupun pengusiran (Galink, 2013).

Kekerasan emosional yang lain juga dilakukan oleh media dengan membuat pemberitaan yang mendiskreditkan kalangan LGBT, misalnya dalam kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan.

4. Bullying

Bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan yang melibatkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan. Hal in dapat terjadi di semua bidang, batas-batas wilayah geografis, ras, sosial ekonomi (UNICEF, 2007).


(47)

Bullying sering kali terlihat sebagai perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti fisik ataupun psikologis terhadap seseorang atau

kelompok yang lebih “lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang

yang memprsepsikan dirinya lebih “kuat”. Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok (KPAI, 2012).

Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa bullying merupakan perilaku agresif yang tidak diinginkan, yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain (dianggap lebih lemah, baik secara fisik, psikologis, seksual maupun sosial).

Bentuk-bentuk bullying (UNICEF, 2007):

a. Bullying secara langsung: Contohnya pada perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki di ejek dan diteriaki lesbian, didorong, diserang, bahkan merusak barang-barang.

b. Bullying secara tidak langsung : Perempuan lesbian biasanya sering dikucilkan, di sebarkan gosip negatif, disindir dengan lelucon yang menyakitkan, dan dilecekan secara verbal serta perilaku sosial. c. Cyber bullying: Sering ditemui di media sosial seperti Facebook,

Instagram, SMS dan e-mailpelecehan atau penghinaan kepada lesbian.

d. Trans/ Homophobic Bullying: Trans/ Homophobic Bullying secara sederhana adalah bullying berbasis orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender (disingkat SOGIE), atau bullying terhadap jenis gender tertentu, berdasarkan fakta maupun


(48)

interpretasi pelaku tentang orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender korban yang bertentangan dengan normativitas gender tersebut (UNESCO, 2012)

5. Kontruksi nilai di masyarakat (Tuntutan budaya/ lingkungan) a. Tekanan nilai-nilai di masyarakat terkait dengan perempuan.

Teori kekeluargaan dan keluarga cenderung menekankan peran perempuan sebagai orang yang menghasilkan segalanya dan sebagai ibu, tetapi bukti ini justru memperluas pandangan mengenai kehidupan perempuan mencakup berbagai tingkatan hubungan sosial yang tidak didefinisikan melulu dengan bagaimana mereka merawat rumah tangga. Teori ini bahkan menggugat anggapan “kodrati” bahwa perempun harus berpasangan dengan laki-laki agar dapat membangun rumah tangga (Wieringa & Blackwood,2009:30) .

Rich (1980) berpendapat bahwa kewajiban akan heteroseksualisme ini dialami hampir semua perempuan diseluruh dunia, dengan menegaskan bahwa budaya mensyaratkan, bahkan dalam beberapa kasus, memaksakan adanya pernikahan (Wieringa & Blackwood,2009:31).

Pernikahan heteroseksual mungkin menjadi norma tatanan masyarakat, dan sering kali dikukuhkan sebagai satu-satunya cara menuju kedewasaan. Serangan terhadap perempuan lajang muncul


(49)

dalam berbagai bentuk seperti fitnah, cemooh sampai dengan genosidayang disengaja (Wieringa & Blackwood,2009:33-34).

Dengan demikian, tuntutan atau tekanan nilai-nilai di masyarakat sudah menjadi budaya bahwa perempuan agar berpenampilan feminim dan menikah. Norma dan tatanan masyarakat terssebut yang akhirnya menyumbangkan stressor yang cukup tinggi untuk mencapai kenyamanan di dalam kehidupan seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian.

C. Psychological Well-Being 1. Eudaimonic Happinness

Pendekatan eudaimonic dalam memandang kebahagiaan (happiness) dicetuskan oleh seorang filsuf Yunani, yakni Aristoteles.Menurut Aristoteles, kebahagiaan ditemukan ketika seseorang dapat mewujudkan kebenaran (virtue) dan melakukan apa yang berharga untuk dilakukan (Ryan & Deci, 2001). Ia mendefinisikan kebahagiaan sebagai hasil dari perwujudan diri, pemberian arti, dan pemenuhan potensi diri (Baumgardner & Crothers, 2009). Teori eudaimonia tidak memandang bahwa kebahagiaan dapat diraih dari usaha untuk selalu memperoleh kenikmatan. Kenikmatan yang diperoleh tidak selalu baik atau membuat manusia berkembang. Aristoteles menganggap bahwa kebahagiaan yang didasarkan pada prinsip hedonisme (kenikmatan) akan membuat manusia menjadi


(50)

hamba dari hasrat/nafsu. Penelitian mengenai eudaimonia telah banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan Eudaimonia yang dicetuskan oleh Aristoteles diwakili oleh psychological well-being dalam diri seseorang (Ryan & Deci, 2001).

Ryan dan Deci mendeskripsikan well-being sebagai konstruk kompleks yang menitikberatkan pada pengalaman dan fungsi diri yang optimal. Menurut Waterman, eudaimonic well-being memiliki unsur utama memenuhi dan mewujudkan sifat diri yang sebenarnya (Ryan & Deci, 2001). Sedangkan Ryff, pakar psychological well-being, berpendapat bahwa well-being seharusnya menjadi sumber resiliensi dalam menghadapi kesulitan dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental (Baumgardner & Crothers, 2009). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being adalah pemenuhan dan perwujudan diri seseorang yang menjadi sumber resiliensi/ketahanan diri dalam menghadapi kesulitan dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental.

Psychological well-being (PWB) merupakan sebutan bagi kesejahteraan (well-being) psikologis manusia. (Synder, Lopez, dan Pedrotti, 2011 dalam Preventi, 2015) mendefinisikan PWB sebagai tingkat kesejahteraan manusia yang dikarekteristikan oleh penerimaan diri (self-acceptance), perkembangan diri (personal growth), memiliki tujuan hidup (purpose in life), penguasaan lingkungan (environmental


(51)

mastery), kemandirian (autonomy), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others).

Menurut Hauser, 2005 (dalam Preventi, 2015), Psychological well-being merupakan kesejahteraan psikologis individu yang berfokus pada realisasi diri (self-realization), pernyataan diri (personal expressiveness), dan aktualisasi diri (self-actualization). Psychological well-being merujuk pada bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan mereka (Diener, 1997).

Menurut Ryff, 1995 penting untuk mendapatkan psychological well-being karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya yang akan membuat seseorang dapat mengidentifikasikan apa yang hilang dalam hidupnya. Kebahagiaan itu bersifat subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan dan faktor yang mendatangkan kebahagiaan yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Karena kebahagiaan itu bersifat subjektif, maka seorang dengan lesbian juga memiliki alasan sendiri dalam memperoleh kebahagiaan di dalam kehidupannya.

2. Dimensi Psychological Well Being

Psycholgical well-being terwujud dalam 6 dimensi, yakni penerimaan diri, penguasaan lingkungan, kemandirian, hubungan positif dengan orang lain, perkembangan diri, dan tujuan dalam hidup. Dimensi-dimensi tersebut diuraikan sebagai berikut:


(52)

a. Penerimaan diri (Self Acceptance)

Penerimaan diri diawali dengan pengenalan akan diri. Menurut Maslow, orang yang mampu menerima diri dapat menerima kekurangan dan kelemahannya tanpa rasa malu, bersalah, maupun defensif. Ia menerima kodrat sebagaimana adanya dan menerima nafsu tanpa rasa malu. Ia memiliki perasaan positif terhadap masa lalu (Ryff, 2014). Ia puas dengan dirinya. Diri merupakan sesuatu yang luas dan dalam karena semua pikiran dan perasaan mampu diungkapkan. Oleh karena itu, ia tidak memalsukan diri dan tidak menyembunyikan diri dibelakang topeng peran sosial. Ia sadar sedang memainkan peran dan tidak mencampurkan peran dengan diri. Pribadi ini mengembangkan keharmonisan antara dirinya yang sebenarnya dan kenyataan (Schultz, 1977/2010). Oleh karena itu, penerimaan diri merupakan kemampuan seseorang dalam menerima diri seutuhnya dan mampu mengungkapkannya secara leluasa.

Self-criticism merupakan keadaan yang berlawanan dengan self-acceptance. Seseorang dengan self-criticism memiliki perasaan inferior yang kuat. Ia merasa malu dan bersalah atas kelemahan dan kekurangannya (Blatt dalam Blatt, Quinlan, Chevron, McDonald, Zuroff, 1982 dalam Preventi 2015). Orang ini juga merasa tidak berharga dan mengembangkan sikap


(53)

defensif. Orang ini banyak membuang waktu untuk mencemaskan hal-hal yang tidak dapat diubah (Schultz, 1977/2010). Menurut Ryff (2014), orang yang tidak memiliki self-acceptance cenderung merasa kecewa terhadap masa lalu dan berharap menjadi seseorang yang berbeda dari dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian, self-criticism didefinisikan sebagai ketidakmampuan seeorang untuk menerima diri secara utuh sehingga diri merasa inferior, tidak berharga, dan berharap menjadi orang lain yang berbeda dari dirinya.

b. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi penguasaan lingkungan pada kepribadian sehat pertama kali dicetuskan oleh Phillips. Ia memaparkan bahwa penguasaan lingkungan dapat diraih dengan 5 tahap, yakni isolation, dependency, autonomy, cooperation, independence. Namun, penguasaan lingkungan tidak memperoleh perhatian khusus sebelum diperkenalkan kambali oleh Ryff (Perron, 2006 dalam Preventi 2015). Ryff mengutarakan bahwa penguasaan lingkungan dapat didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan seseorang untuk mengatur hidup dan dunia/lingkungan sekitar (dalam Preventi, 2015). Sedangkan Jahoda berpendapat bahwa penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memilih atau membuat lingkungan sesuai


(54)

dengan kondisi fisik. Allport menyatakan pendapatnya mengenai penguasaan lingkungan. Menurutnya, penguasaan lingkungan adalah kemampuan berpartisipasi dalam bidang penting dimana terjadi proses untuk keluar dari diri. Penguasaan lingkungan juga sering disinggung oleh teori perkembangan. Teori-teori tersebut menyatakan bahwa penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan kompleks melalui aktifitas mental dan fisik (Ryff & Singer, 2008). Ryff (2014) menyatakan bahwa mampu menggunakan kesempatan yang muncul dan kemampuan untuk memilih maupun menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi juga merupakan salah satu aspek penguasaan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penguasan lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol (memilih, membuat, mengatur) lingkungan yang kompleks serta menggunakan kesempatan yang muncul melalui aktivitas fisik dan mental agar sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.

Situasi yang berlawanan dengan penguasan lingkungan adalah ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness). Learned helplessnes merupakan keyakinan bahwa semua usaha yang dilakukan seseorang akan mengantarnya pada kesalahan/kegagalan. Learned helplessness muncul sebagai


(55)

akibat dari keyakinan seseorang bahwa peristiwa-peristiwa dalam hidupnya serta hasil-hasil yang ia peroleh dalam hidup secara umum tidak bisa dikontrol dan ia mendapati kegagalan dalam semua usaha yang ia lakukan (repeated failure) (Woolfolk, 2013). Ketika mereka merasa tidak dapat mengontol peristiwa-peristiwa dalam hidup, muncul pemikiran bahwa usaha untuk mencoba tidak diperlukan karena hasilnya akan sia-sia dan tidak akan berhasil. Mereka akhirnya menjadi seseorang yang merasa tidak memiliki harapan (hopelessness). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa learned helplessness adalah perasaan tidak berdaya karena tidak mampu mengendalikan hasil-hasil yang diperoleh dalam hidup.

c. Kemandirian (Autonomy)

Maslow berpendapat bahwa pribadi yang memiliki kemandirian (autonomy) tidak memiliki kebutuhan yang kuat akan orang lain. Pemuasan datang dari dalam diri sehingga mereka dapat menghasilkan kepuasan-kepuasan sendiri. Mereka tidak memerlukan orang lain atau hal-hal di luar diri untuk menghasilkan kepuasan. Perasaan dan tingkah laku terarah pada diri sendiri. Mereka memiliki kemampuan untuk membentuk pikiran, mencapai keputusan, melaksanakan dorongan, maupun disiplin yang mereka miliki. Oleh karena itu, mereka mampu


(56)

dengan baik melawan pengaruh sosial, mampu mempertahankan otonomi batin, dan tidak serta merta terpengaruh oleh budaya (Schultz, 1977/2010). Mereka juga mengevaluasi diri menggunakan standar pribadi Ryff (dalam Preventi, 2015). Dengan demikian, kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk membentuk pikiran dan melaksanakan dorongan sehingga tidak memiliki kebutuhan yang kuat akan orang lain.

Situasi yang bertolak belakang dengan autonomy adalah dependency/ketergantungan. Seseorang dengan dependency memiliki perasaan putus asa dan merasa lemah. Mereka berusaha memiliki relasi interpersonal yang baik untuk meningkatkan self-esteemnya yang rendah (Coyne dan Whiffen, 1995 dalam Preventi, 2015). Ia tidak mampu menghasilkan kepuasan sendiri (Schultz, 1977/2010). Orang ini merasa takut ditinggalkan orang lain. Ia berharap dirawat, dicintai, dan dilidungi oleh orang lain (Blatt dalam Blatt et al., 1982). Mereka tidak memiliki perasaan akan diri yang kuat sehingga mereka bersandar pada ide, nilai, dan tingkah laku orang lain. Perasaan akan diri yang mereka miliki hanya merupakan pantulan diri orang lain yang tidak berasal dari perkembangan mereka sendiri (Schultz, 1977/2010).

Berdasarkan uraian tersebut, ketergantungan merupakan keadaan dimana seseorang merasa lemah dan tidak memiliki


(57)

perasaan kuat akan diri sehingga mengusahakan relasi interpersonal untuk meningkatkan self-esteem.

d. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Dalam bukunya Pattern and Growth in Personality (1961), Gordon W. Allport menyebutkan 2 jenis hubungan hangat dengan orang lain, yakni keintiman (intimacy) dan belas kasih (compassion). Allport memaparkan bahwa keintiman merupakan perasaan cinta/sayang yang ditujukan kepada orang tua, anak, partner, dan teman. Seseorang mampu mengembangkan dengan baik suatu keintiman ketika ia telah memiliki perasaan identitas diri (Schultz, 1977/2010). Keintiman membuat seseorang memiliki relasi yang hangat, memuaskan, dan terpercaya. Mereka merasa bahwa kesejahteraan orang lain sama penting dengan kesejahteraan dirinya. Hal tersebut juga membuat orang ini memiliki rasa empati yang kuat (Ryff, 2014). Cinta dan perhatian yang mereka berikan kepada orang lain tanpa syarat dan tidak mengikat. Seseorang yang mampu mengembangkan keintiman dengan baik akan memiliki rasa perluasan diri yang berkembang baik pula (Schultz, 1977/2010).

Bentuk relasi hangat yang kedua adalah belas kasih (compassion). Perasaan ini muncul sebagai hasil dari perluasan


(58)

imajinatif diri seseorang bahwa ia adalah bagian dari keluarga semua bangsa. Hal ini membuat individu memahami pengalaman sakit, menderita, kuat, dan gagal yang muncul dalam kehidupan manusia. Belas kasih membuat seseorang sabar terhadap perilaku orang lain, tidak menghakimi maupun menghukum. Seseorang menjadi mampu menerima kelemahan-kelemahan manusia dan sadar bahwa dirinya memiliki kelemahan yang sama (Schultz, 1977/2010). Berdasarkan uraian tersebut dapat didefiniskian bahwa relasi positif dengan orang lain merupakan relasi yang didasari oleh keintiman dan belas kasih.

Orang yang tidak memiliki hubungan positif dengan orang lain cenderung tidak sabar dan tidak mampu memahami sifat universal dari pengalaman dasar manusia (Schultz, 1977/2010). Hal ini membuat mereka memiliki sedikit hubungan yang dekat, hangat, dan terpercaya. Ia sulit menjadi terbuka dan peduli dengan orang lain. Terkadang, orang-orang ini merasa terisolasi dan frustasi dengan hubungan interpersonal. Hal ini membuat mereka tidak memiliki keinginan untuk berusaha menjaga relasi yang penting dengan orang lain (Ryff, 2014). Dengang demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan positif dengan orang lain menjelaskan bahwa pentingnya mempunyai kemampuan untuk menyayangi orang lain. Menjalin hubungan yang hangat dengan


(59)

orang lain yang merupakan salah satu dimensi dalam Psychological Well Being.

e. Perkembangan Diri (Personal Growth)

Perkembangan dirimerupakan dimensi well-being yang paling dekat dengan teori eudaimonia yang dipaparkan oleh Aristoteles. Perkembangan diri bertitik berat pada perwujudan diri seseorang yang sesungguhnya (self-realization) (Ryff & Singer, 2008).

Perkembangan diri dimulai sejak masa kanak-kanak. Anak-anak mulai memiliki dorongan untuk melakukan sesuatu dan mengusahakan hubungan yang memuaskan dengan dunia. Hal tersebut menyebabkan munculnya dorongan untuk mengolah selera dan ketertarikan. Seseorang terdorong untuk meningkatkan dan memenuhi dirinya secara lengkap. Seseorang dapat terus berkembang ketika mampu menerima dirinya dengan penuh rasa penghargaan dan humor (Murphy, 1954).

Berdasarkan keterangan proses diatas, menurut Murphy (1954), pertumbuhan pribadi adalah pergerakan individu menuju pemenuhan potensi diri sebagai seorang pribadi. Robitscheck (dalam Preventi, 2015) berpendapat bahwa pertumbuhan pribadi merupakan keterlibatan seseorang dalam meningkatkan, mengembangkan, dan menumbuhkan diri sebagai pribadi. Ryff


(60)

dan Singer (2008) berpendapat bahwa pertumbuhan pribadi merupakan proses berkelanjutan untuk mengembangkan potensi. Dengan demikian, pertumbuhan pribadi dapat disimpulkan sebagai pergerakan indiviu untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menumbuhkan potensi diri sehingga diri seseorang yang sesungguhnya dapat terwujud.

Seseorang dengan personal growth yang baik akan terbuka pada pengalaman baru. Mereka berperilaku secara efektif dan menunjukkan pemahaman akan diri (Ryff, 2014). Mereka memiliki rasa kuat akan arah hidup, mengetahui aturan dirinya sendiri dalam hidup, dan memiliki rencana untuk memenuhi tujuan tertentu dalam hidup, Robitscheck dalam Stevic & Ward, 2008 (Chrisina, 2015: 24).Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi psikologis yang optimal dapat terus mengembangkan potensi yang dimiliki dan terbuka pada pengalaman baru agar dapat tumbuh menjadi seseorang yang efektif dan memiliki tujuan hidup.

f. Tujuan dalam hidup (Purpose In Life)

Carr, 1997 (dalam Preventi, 2015) menuturkan bahwa tujuan dalam hidup merupakan rasa keberartian dalam hidup seseorang. Frankl menekankan pentingnya menemukan arti dalam hidup dalam pendekat yang ia lakukan mengenai


(61)

kesehatan psikologis. Ketika seseorang mampu memberi arti/tujuan pada hidupnya, ia akan semakin menjadi manusia yang utuh. Kemauan akan arti hidup didorong oleh kebutuhan untukmemberi suatu maksud bagi keberadaan manusia. Tanggung jawab pribadi sangat diperlukan dalam proses memperoleh pengertian dan pemahaman akan arti/tujuan dari kehidupan manusia. Dalam menghadapi situas-situasi yang menantang dalam hidup, manusia secara bertanggung jawab dan bebas berusaha menemukan maksud dari kondisi yang muncul. Manusia bertanggung jawab menentukan caranya masing-masing dalam menemukan makna dan tetap bertahan didalam cara maupun makna tersebut segera setelah ditemukan. Arti maupun tujuan yang manusia peroleh mengenai hidup akan terwujud dalam kehidupan sehari-hari melalui 3 cara, yakni melalui pemberian kepada dunia dengan suatu ciptaan, pemaknaan yang diambil dari suatu pengalaman, dan sikap yang diambil terhadap penderitaan.

Orang yang mampu menemukan arti/tujuan dalam hidup mampu menghadap suatu penderitaan dengan sabar karena ia memiliki alasan untuk bertahan hidup (Schultz, 1977/2010). Orang yang memiliki tujuan dalam hidup merasa bahwa hidupnya memiliki arah. Ia mampu menemukan arti dalam masa lalunya. Ia juga memiliki kepercayaan yang memberi tujuan


(62)

akan hidupnya (Ryff, 2014). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hidup menjelaskan perlu adanya kepercayaan dalam individu bahwa dalam hidup selalu mempunyai makna dan tujuan. Seseorang diharapkan mempunyai tujuan dalam setiap kehidupan yang dijalaninnya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Well Being Faktor-faktor yang mempengaruhi Well Being, yaitu:

a. Faktor demografis

Penelitian Ryff menunjukkan bahwa faktor demografis seperti status ekonomi, usia, jenis kelamin dan budaya mempengaruhi psychological well-being.

b. Status sosial ekonomi

Faktor ini berkaitan dengan penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Seseorang dengan sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya terhadap sosial ekonomi tinggi.

c. Usia

Dalam penelitian Ryff terdapat perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai kelompok usia. Faktor penguasaan lingkungan meningkat seiring dengan


(63)

bertambahnya usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Individu pada usia dewasa akhir memiliki skor well-being lebih rendah pada tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu dalam usia dewasa madya memiliki skor well-being yang lebih tinggi dalam penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi.

Sebagai contoh, pada lesbian, usia berperan cukup penting dalam pembentukan kematangan sosio-emosi, selain itu setiap proses dan pengalaman juga merupakan bagian dari bagaimana kematangan sosio-emosi secara bertahap terbentuk.

d. Jenis kelamin

Menurut Ryff, satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Perbedaan pola pikir mempengaruhi strategi koping yang dilakukan, menyebabkan seseorang berjenis kelamin perempuan cenderung memiliki psychological well-being yang lebih baik daripada laki-laki. Perempuan umumnya lebih mampu mengekspresikan emosi dan menjalin relasi sosial dengan orang lain (Nofianti, 2012).


(1)

518 519 520 521 522 523 524 525

P : Ada perasaan apa nggak yang mbak MR alami sekarang? S : Nggak. Kupikir justru di situlah ke-Mahakuasa-an Tuhan dengan cinta kasihnya. Mencipta berbagai ragam identitas. Hanya memang persoalannya adalah mau nggak kita membaca. Di Islam ada statement pertama Iqro, bacalah. Kemudian kita mencari. Menurut persoalan saat ini adalah ketika ada seseorang yang kemudian merasa ada yang salah dengan dunia ini, kupikir orang itu harus meluangkan waktu untuk mencari.

Informan menerima bahwa manusia bisa saja berbeda, dan harusnya banyak belajar dan mencari untuk belajar menerima keadaan dunia

C4

526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540 541 542 543 544 545

P : Bagaimana proses mbak MR dapat berpikir seperti itu? S : Setelah terhajar banyak persoalan, interaksiku dengan staf di IHAP, interaksiku dengan para board dan anggota misalnya. Kemudian ada titik di mana aku putus dengan pasanganku yang kupikir kehidupan kami sangat-sangat perfect, yang kami membangun bisnis bersama, kami memiliki tanah bersama, kita punya sekian mimpi, sekian hal yang mau dicapai dan itu selesai. Itu titik aku sangat jatuh secara psikologis. Kupikir titik terberat selama hidupku, ada sekitar dua bulan. Yang tadinya kemarahan yang muncul menjadi sangat apatis dengan banyak hal dan aku tidak mempercayai semua hal. Tapi aku bertemu dengan satu kawan yang banyak membimbingku. Akhirnya ketemu dengan satu proses meditasinya Buddhist, Vipassana, yang melihat hidup sebagaimana adanya faktanya saja. Melihat fakta sebagaimana adanya fakta, tidak harus memaksakan kita harus menerima atau tidak menerima, tetapi itulah fakta. Proses dengan dia cukup lama. Aku pernah juga hipnoterapi. Belakangan aku menyadari bahwa aku pernah mengalami kekerasan seksual dan itu ternyata belum selesai. Tetapi dengan proses meditasi itu kemudian mulai terurai dan titik kupikir aku merasa terselamatkan adalah ketika

Pengalaman interaksi dengan berbagai pihak mengajarkan informan banyak hal dan pada putus dengan pasangan yang membuatnya down dalam waktu yang lama yang menimbulkan sikap apatis dengan banyak hal

Di saat mengalami down, informan menemukan untuk dapat belajar menerima diri sesuai fakta yang ada dan pada akhirnya mampu menemukan sumber masalah

E1


(2)

546 547

aku mengikuti retret meditasi 2 malam 1 hari di Vihara Mendut yang aku merasa justru aku menemukan cinta Tuhan di situ. 548

549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563

P : Terus apakah ada perlakuan yang sedang mbak MR terima saat ini terkait dengan orientasi seksual?

S : Secara pribadi tidak. Karena dengan aku merasa proses perubahan pola pikirku yang tadinya marah dengan semua orang dan sekarang aku merasa lebih stabil, akhirnya cara pandangku terhadap banyak hal menjadi cukup positif dan itu dampaknya hubunganku dengan banyak pihak juga cukup baik. Misalnya, dengan kedua adikku yang mereka sangat tahu siapa saudaranya dan mereka juga tidak ada soal. Aku tidak lagi merasa terbebani harus membicarakan orientasi seksualku pada orangtuaku. Bagiku, justru ketika seseorang open kepada orangtuanya itu bentuk ego dan ada untungnya bagi kita, tapi nggak ada untungnya bagi orangtua kita kalo menurutku. Jadi aku tidak lagi memandang itu sesuatu hal yang penting. Bagiku pengakuan atas siapa diriku juga udah nggak terlalu penting. Jadi aku nggak merasa ada persoalan.

Setelah informan mampu merubah pola pikir, informan memiliki cara pandang yang positif dan berdampak positif terhadap hubungannya dengan berbagai pihak misalnya kedua saudaranya, bahkan jika harus open kepada orang tuanya

E2

564 565 566 567 568 569 570 571 572 573

P : Kenapa sekarang bisa berpikir pengakuan diri itu nggak terlalu penting?

S : Kalo kenapanya dan dimulai dari titik mana aku juga nggak terlalu bisa menjawab. Tetapi berkenalan dengan cara pandang yang aku dapat di meditasi buddhist ini banyak membuka ruang berfikirku. Di mana letak ego kita? Bahwa banyak hal ternyata kita hidup dalam ego, dalam bayang-bayang ego misalnya. Kemudian berdamai dalam arti yang sesungguhnya dengan seluruh proses hidup kita. Berdamai bukan kemudian

memaksakan ini selesai atau memaksakan “yes okay, ini nggak

Informan menemukan bahwa tidak penting saat ini pengakuan dari berbagai pihak mengenai orientasi seksualnya, karena informan memandang bahwa hidup tidak hanya ego tapi berdamai dan menerima diri apapun keadaannya


(3)

574 575 576 577

ada soal” atau “oke, menurut agama nggak papa”. Tapi bener -bener yang menurutku.. aku nggak tau kenapa aku sulit mendeskripsikan. Ya menurutku ya sudah. Piye? Bantu aku mendeskripsikannya.

578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598 599 600 601

P : Ya intinya bahwa selesai tadi kan? Seperti yang mbak MR katakan tadi. Terus kalo boleh diceritakan lagi nih, ada hal yang mengganggu atau menggelisahkan atau hal yang bahkan menyenangkan saat ini? Terkait orientasi seksual boleh atau kehidupan mbak MR saat ini juga boleh.

S : Menyenangkan pasti menyenangkan. Setelah pola atau cara pandangku yang berubah, maka kemudian menurutku banyak hal menyenangkan. Melihat dari sisi positifnya. Dalam artian satu contoh misalnya, aku marah pada orang yang tidak bisa menerima orientasi seksual seseorang, aku akan membatasi, aku tidak akan berteman, aku akan marah pada dia. Tapi di titik sekarang aku menghargai bahwa semua orang itu punya pendapat masing-masing dan tidak ada gunanya memaksakan pendapat kita ini ke orang lain. Mending ada manfaatnya. Yang repot kan bikin orang stres trus jadi tambah persoalan. Jadi lebih bisa melihat seseorang bersikap itu dari cara pandang orang itu. Jadi kupikir aku lebih bisa legowo melihat banyak hal walaupun misalnya ada titik waktu ketika aku turun lagi, marah lagi. Ya wajar dalam konteks kehidupan ya. Aku cukup terganggu dengan pola pikir banyak pihak yang menurutku kenapa semua orang seneng memaksakan cara pandangnya. Misalnya, A itu benar B itu salah, maka semua orang harus ikut A atau misalnya semua orang harus memusuhi B. Kan semua orang, semua makhluk itu punya keunikan masing-masing, punya proses masing-masing. Menyalahkan itu tidak

Dengan mengubah cara

pandang, banyak hal positif yang ditemukan oleh informan

Informan belajar untuk tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain karena tidak ada gunanya

Informan mulai dapat menerima kenyataan meskipun tidak sesuai harapan

Informan menyadari bahwa setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, termasuk dirinya

E3

E3

B2


(4)

602 membantu menurutku. 603

604 605 606 607 608 609 610 611 612

P : Terus apa yang Anda rasakan saat menanggapi perilaku itu?

S : Tidak ada sih. Ya sudah, begitu saja adanya. Malah justru aku merasa Tuhan hadir dalam peristiwa-peristiwa seperti itu. Tuhan menunjukkan cinta kasihnya dalam banyak hal di kehidupan dia. Jadi kalo dulu aku sempat marah dan aku menyatakan aku meletakkan ke-Islam-anku, aku sempat marah pada orangtuaku karena mereka melabeliku Islam dan harus menjalani hidup ala Islam, tapi menurutku saat ini bukan begitu. Wajah Tuhan itu wajah cinta kasih.

Informan merasa bahwa pengalaman selama ini

membuatnya menyadari bahwa Tuhan menunjukkan cinta kasihnya.

E1

613 614 615 616 617 618 619

P : Terus hubungan sama keluarga gimana sekarang?

S : Baik. Setelah 5 tahun aku keluar dari rumah, ada satu momen ketika aku pingin balik tinggal bersama di dekat keluarga intiku. Sudah dua bulan ini aku tinggal bersama keluargaku dan sangat menyenangkan. Ternyata aku punya adik yang cukup suportif, orangtua yang sebenarnya mereka sangat kesepian, kasian juga barusan tau, keponakan yang lucu-lucu. Yang nggak ada: pacar

Pada akhirnya, informan mulai terbuka dengan keluarganya dan mulai menyadari bahwa adik-adiknya cukup suportif, dan orang tua yang

membutuhkannya karena kesepian

D1

620 621 622 623 624 625

P : Terus kalo hubungan sama orang lain gimana sekarang? Masyarakat atau teman..

S : Aku juga nggak bisa mendeskripsikan karena masing-masing orang punya cara pandang masing-masing. Tetapi yang kuyakini adalah ketika kita bersikap baik, maka orang lain akan bersikap baik juga ke kita. Jadi ya berusaha bersikap baik aja.

Informan tidak terlalu

memperdulikan sikap orang lain, informan percaya bahwa dengan berbuat baik maka orang lain

juga bersikap baik E3

626 627

P : Apa sih yang membuat mbak MR sekarang memiliki hubungan seperti itu?

Informan telah banyak belajar hal dan akhirnya menemukan


(5)

628 629 630 631 632

S : Terutama karena perubahan pola pikirku ya. Perubahan cara pandangku melihat dunia, melihat kehidupan, melihat warna, dan lain sebagainya. Ketika cara pandangku yang berubah, pada akhirnya semua akan mengikuti. Bukan saya yang harus berubah, tapi saya yang harus berubah.

cara pandang yang positif yang membuatnya dapat

menyelesaikan banyak masalahnya dengan baik

E3

633 634 635 636 637 638 639 640

P : Bagaimana mbak MR memandang diri mbak MR sekarang?

S : Baik. Bahwa pasti akan ada momen-momen kita aku turun. Pasti akan muncul lagi ketika aku merasa kesepian misalnya. Titik itu aku akan lari ke apapun yang bisa menjawab kesepianku. Tren terakhir adalah novel. Atau seminggu terakhir trennya adalah pengen punya pacar. Ya tinggal dijalani saja. Aku memandang hidupku biasa-biasa saja.

Informan menyadari bahwa dirinya dalam fase naik turun. Secara umum informan memandang bahwa hidupnya biasa saja

E3

641 642 643

P : Terus kalo memaknai hidup mbak MR saat ini?

S : Aku memandang hidup biasa saja. Hidup itu hanya soal kemauan untuk menjalani sebagaimana adanya fakta.

Informan menjalani kehidupan dan menerima keadaan sesuai faktanya

B1, B2

644 645 646 647 648 649 650 651 652 653 654 655

P : Pertanyaan terakhir, apa mbak MR punya atau memiliki harapan tertentu untuk kehidupan mbak MR?

S : Aku berharap tidak banyak menyusahkan orang. Udah. Kalo mo mati, ya segera mati misalnya. Artinya tidak kemudian membebani banyak pihak. Kalopun bahagia juga tidak merepotkan banyak pihak. Ya kupikir aku nggak pengen merepotkan banyak pihak aja.

P : Apakah ada harapan terkait orientasi seksual?

S : Ya pasti harapan personalnya aku pengen cari pasangan bule. Kalo harapan secara besar misalnya bahwa keadaan akan membaik paling tidak seperti akhir-akhir ini ketika LGBT menjadi sangat dimusuhi dan isunya muncul. Ya aku berharap ini

Informan berharap tidak banyak menyusahkan banyak orang, atau merepotkan banyak pihak

Informan berharap dapat pasangan bule

Informan berharap masalah yang menimpa kaumnya semakin

F4

F4


(6)

656 657 658 659 660 661 662

juga bisa mulai turun. Banyak absurdnya ya di fase ini.

P : Oke sebenarnya pertanyaan sudah selesai, tapi mungkin ada yang pengen mbak MR tambahkan atau sampaikan lagi yang belum tersampaikan tadi?

S : Nggak sih.

P : Oke berarti udah selesai ya, mbak. Makasih.. S : Sama-sama De