Menurut Kunert 2000, degradasi keratin pada fungi diduga merupakan hasil kerja tiga faktor yaitu “deaminasi” menghasilkan lingkungan alkali yang dibutuhkan
untuk pengembangan substrat, sulphitolysis, dan aksi proteolitik; “sulphitolysis”
denaturasi substrat dengan memutus jembatan disulfida dan “proteolisis” pemotongan substrat yang telah terdenaturasi menjadi produk terlarut.
2.4 Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan kapang anggota dari genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-kelas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, sub-
divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota Hardjo et al., 1989. Genus Aspergillus mempunyai morfologi sel seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Morfologi sel Aspergillus : a. Vesikel, b. Metulae, c. Spora Malloch,1997.
A. niger memiliki karakteristik yang khas dengan kepala pembawa konidia yang besar, padat, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini
mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya bersepta, spora yang bersifat seksual dan tumbuh memanjang di alas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam
pertumbuhannya memerlukan oksigen yang cukup. A. niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35-37°C. Derajat keasaman
untuk pertumbuhannya adalah 2,0-8,5 tetapi pertumbuhan akan lebih baik pada kondisi keasaman atau pH yang rendah Fardiaz, 1989.
Aspergillus niger merupakan salah satu mikroorganisme terpenting dalam bidang bioteknologi. Mikroba ini telah sering digunakan dalam produksi enzim
ekstraseluler seperti glucose oksidase, pektinase, α – Amilase dan glukoamilase, asam organik dan protein rekombinan. Selain itu, A. niger juga digunakan untuk
biotransformasi dan penanganan limbah. Salah satu fungsi A. niger sebagai agen biotik dalam penanganan limbah adalah penggunaan A. niger dalam mendegradasi
limbah keratin. Karakteristik A. niger ini telah dikonfirmasi berdasarkan hasil penelitian Lopez et al., 2011, yang menyatakan A. niger mampu mendegradasi
beberapa substrat keratin seperti rambut manusia, rambut babi, bulu ayam, tepung bulu ayam dan tanduk sapi.
2.5 Solid State Fermentation SSF
Solid State Fermentation SSF merupakan proses fermentasi yang melibatkan pertumbuhan mikroorganisme pada substrat padat tanpa adanya liquid bebas pada
substrat seperti dedak, ampas tebu, dan bubur kertas. Konsep penggunaan substrat padat kemungkinan merupakan metode tertua yang digunakan peneliti untuk
memanfaatkan mikroba dalam proses fermentasi. Beberapa tahun terakhir, SSF telah menunjukkan perkembangan yang menjanjikan, namun SSF tidak bisa digunakan
dalam fermentasi dengan agen hayati bakteri Bhargav et al, 2008. Pada metode SSF, kelembapan memiliki peranan penting untuk pertumbuhan
mikroba dalam matriks padat pada substrat. Tujuan dari metode SSF adalah untuk mengkultivasi fungi ataupun mikroorganisme lain pada substrat yang tidak larut
untuk mendapatkan konsentrasi nutrisi esensial maupun non-esensial dari substrat selama proses fermentasi Bhargav et al, 2008. Keuntungan utama menggunakan
substrat ini adalah bahwa bahan limbah kaya nutrisi dapat dengan mudah didaur ulang sebagai substrat. Dalam teknik fermentasi ini, substrat yang digunakan sangat
lambat dan kuat, sehingga substrat yang sama dapat digunakan untuk waktu yang lama dalam proses fermentasi. Oleh karena itu, teknik ini mendukung pengendalian
dalam hal pelepasan nutrisi. SSF ini paling cocok untuk teknik fermentasi yang melibatkan jamur dan mikroorganisme yang membutuhkan lingkungan minim kadar
air . Namun, tidak dapat digunakan dalam proses fermentasi yang melibatkan organisme yang membutuhkan a
w
tinggi aktivitas air, seperti bakteri. Babu dan
Satyanarayana, 1996.
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN