2.2. Kerangka Konseptual
2.2.1 Moral Ekonomi Petani
Konsep moral ekonomi petani dalam penelitian ini digunakan untuk memperkuat penelitian berkaitan dengan teori kaum petani peasant. Menurut
Scott, petani dilahirkan dalam satu kebudayaan yang di dalamnya terdapat nilai- nilai moral yang harus dipertahankan oleh petani demi terjaganya budaya mereka.
Hal yang sama dapat dikatakan mengenai setiap tujuan manusia dalam masyarakat. Kebutuhan akan teman hidup, umpamanya, biasa merupakan suatu
“hal yang sudah ditentukan”, akan tetapi bentuk-bentuk perkawinan, maknanya dan harapan-harapan timbal balik dari suaami-istri pada hakekatnya merupakan
ciptaan-ciptaan kebudayaan dan sejarah. Apabila kita mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam satu masyarakat, maka hal itu tidak berarti bahwa kita tidak
mengakui adanya kemampuan manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk baru dan membuang yang lama; kita hanya ingin mengingatkan bahwa manusia itu
tidak muncul di atas satu panggung yang kosong lantas bermain semau-gue. Masyarakat bersikap dan bertindak sesuai dengan budaya yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai yang mengaturnya. Dengan demikian, maka di dalam setiap tindakan sosial petani terkandung
nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan. Seorang pedesaan yang mengalami panen yang gagal tidak memberikan respon begitu saja. Ia mempunyai gambaran
yang jelas mengenai orang-orang yang layak dimintai bantuan dan tentang apa yang dapat ia harapkan secara wajar dari mereka masing-masing. Selama itu, ia
bertindak atas dasar perkiraan bahwa peta sosial lebih kurang adalah tepat, bahwa
pengertiannya mengenai struktur dari tuntutan-tuntutan moral sesuai dengan kesadaran tentang kewajiban yang terdapat pada orang-orang lain. Demikian pula
halnya, penyitaan padi secara meluas dari pemilik-pemilik tanah yang kaya dapat dibagi-bagikannya padi itu kepadaa penduduk Desa, sebagai mana yang telah
terjadi di Nghe-An dan Ha-Tinh, hanya dapat bersumber pada satu perasaan yang umum tentang apa yang dapat dibenarkan dalam keadaan waktu itu. Ketika Saya
San berseru kepada petani-petani di burma Hilir agar mereka tidak membayar pajak kepala, iapun mengarahkan himbauannya kepada suatu persepsi umum
tentang kondisi-kondisi di mana pemungutan pajak oleh negara tidak dapat dibenarkan. Himbauannya didasarkan atas penderitaan-penderitaan baru yang
akan diakibatkan oleh pajak-pajak itu ditengah suatu depresi, dan atas kenyataan bahwa orang-orang inggris telah memajaki apa yang oleh orang-orang Burma
dianggap sebagai pemberian dari alam. Dengan demikian, baik di dalam rutin-rutin setempat yang normal maupun di
dalam kekerasan suatu pemberontakan, terjalin ke dalam jaringan perilaku petani itu struktur suatu universum moral bersama, suatu pengertian bersama tentang apa
yang dinamakan adil. Warisan moral inilah yang, di dalam pemberontakan- pemberontakan petani, memilih sasaran-sasaran yang tertentu saja, bentuk-bentuk
yang tertentu saja, dan yang memungkinkan diambilnya tindakan yang kolektif meskipun jarang terorganisasi yang lahir dari kemarahan moral Scott, 1989:
252-254.
2.2.2 Teori Tindakan Sosial Max Weber